Tag Archives: hikmah

Hikmah Naskh

11 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Memelihara kepentingan hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

&

Do’a Agar Diberi Hikmah

21 Apr

Kumpulan Doa Sehari-hari
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia

26. Doa Agar Diberi Hikmah

 

 

&

Hikmah Diperlihatkannya Neraka kepada Nabi Muhammad ketika Isra’ Mi’raj

23 Feb

Hikmah Diperlihatkannya Neraka kepada Nabi Muhammad ketika Isra’ Mi’raj
Neraka, Kengerian dan Siksaannya; Berita Akhirat; Mahir Ahmad Ash-Shufiy

Menurut Imam al-Qurthubi dalam kitabnya at-Tadzkirah fii Ahwalil Mauta wa Umuril Aakhirah; jahanam adalah nama alam untuk seluruh neraka. sedangkan makna dari “Neraka diperlihatkan” adalah dia didatangkan dari tempatnya diciptakan oleh Allah swt. lalu dia dikelilingkan di bumi mahsyar sehingga tidak ada jalan ke surga kecuali sirath, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Adapun makna dari “tali kekang” adalah sesuatu yang diikatkan dengan kuat. Tali kekang ini dipergunakan untuk mengendalikan neraka agar tidak keluar dari bumi mahsyar. Tidak ada yang keluar dari neraka itu, kecuali leher-leher yang diperintahkan Allah swt. untuk membakar siapa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun sifat para malaikatnya garang dan bengis.

Para ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. dikhususkan untuk menolak neraka dan mengekangnya dari penduduk mahsyar karena Allah swt telah memperlihatkan neraka kepadanya dalam perjalanan isra’ dan shalatnya. Dalam hal ini terdapat delapan manfaat sebagai berikut.

1. Pertama, ketika orang-orang kafir memperolok-olok Nabi Muhammad saw., mendustakan, dan menyiksanya dengan keras, Allah swt memperlihatkan kepadanya neraka yang disediakan bagi mereka. hal ini dimaksudkan untuk menenangkan hati Nabi Muhammad saw.

2. Kedua, sebagai petunjuk bahwa berbuat baik kepada para penolong dan orang yang dicintai dengan memberikan kehormatan dan syafaat serta kemuliaan lebih utama daripada berbuat baik kepada musuhnya yang menghinakannya.

3. Ketiga, diperlihatkannya neraka kepada Nabi Muhammad saw. agar orang-orang yang beriman mengetahui karunia Allah swt yang diberikan kepada mereka, yaitu ketika mereka diselamatkan dari neraka dengan syafaat-Nya.

4. Keempat, diperlihatkannya neraka kepada Nabi Muhammad agar hari kiamat ketika seluruh Nabi mengatakan “selamatkanlah aku, selamatkanlah aku,” maka Nabi Muhammad saw. mengatakan, “Umatku, umatku,” dan hal itu terjadi ketika neraka dinyalakan. Oleh karena itu, Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw. mengatakan lewat firman-Nya, “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi.” Al-Hafidz Abul Khaththab mengatakan bahwa hikmah dari semua itu agar Nabi Muhammad saw. pergi ke umatnya untuk memberi syafaat. Jika Allah belum menenteramkannya, Nabi Muhammad saw. akan sibuk, sebagaimana para nabi lain.

5. Kelima, para nabi lain belum melihat sesuatu pun tentang neraka sebelum hari kiamat. Jika mereka diperlihatkan neraka, tentu mereka akan terkejut dan membungkam mulut mereka karena merasa ngeri melihatnya dan sibuk dengan urusan mereka sendiri. Namun Nabi Muhammad saw. telah diperlihatkan semuanya sehingga tidak terkejut seperti mereka. Jadi beliau mampu menceritakan tentang neraka kepada umatnya.

6. Keenam, terdapat dalil fikih bahwa surga an neraka telah diciptakan. Hal ini bertentangan dengan keyakinan kaum mu’tazilah yang mengingkari bahwa keduanya belum diciptakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya “disediakan bagi orang-orang yang kafir”

7. Ketujuh, diperlihatkannya neraka kepada Nabi Muhammad saw. agar beliau tahu kehinaan dunia daripada apa yang diperlihatkan kepadanya. Dengan demikian, beliau dapat menjadi zuhud ketika di dunia, bahkan sabar terhadap kekerasannya hingga ditunjukkan ke surga. Dikatakan pula oleh para ulama, “Alangkah baik cobaan yang mengakibatkan pelakunya pada kebahagiaan. Dan alangkah buruknya kenikmatan yang mengakibatkan pelakunya pada penderitaan.”

8. Kedelapan, Allah swt menghendaki agar tidak seorang pun yang memiliki kehormatan seperti yang yang dimiliki Nabi Muhammad saw.. Adapun ketika Nabi Idris as. diberi kehormatan untuk memasuki surga sebelum hari kiamat, hal itu dikarenakan kesucian, keberhasilan dan kepercayaannya terhadap wahyu yang akan diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Semua itu dikatakan oleh al-Hafidz bin Dihyah ra. dalam kitab al-Ibtihaj yang membahas mi’raj Nabi Muhammad saw.

&

Hikmah dari Perdamaian Hudaibiyah

14 Agu

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah;
analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Sebelum masuk kepada rincian tentang pelajaran-pelajaran yang harus diambil dari perdamaian Hudaibiyah ini, terlebih dahulu kami paparkan secara singkat beberapa hikmah dari perdamaian Hudaibiyahini. Sesungguhnya peradamaian ini merupakan salahsatu bentuk tadbir Ilahi (rekayasa Ilahi) untuk menampakkan tindakan kenabian dan pengaruhnya. Kesuksesan perdamaian ini merupakan rahasia yang berkait erat dengan perkara ghaib yang tersimpan di dalam pengetahuan Allah semata. Oleh karena itu kaum Muslimin merasa heran dan terperanjat melihat peristwa tersebut karena mereka lebih banyak mengandalkan pemikiran dan pertimbangan mereka. Dari sinilah maka mai menganggap masalah perdamaian ini, dengan segala Muqadimmah, isi dan hasilnya , termasuk dasar-dasar yang penting dalam meluruskan aqidah Islamiyah dan mengukuhkannya.

Pertama, kita bahas terlebih dahulu beberapa hikmah Ilahiah ynag terkandung di dalam perdamaian yang agung ini. Kemudian kita kaji hukum-hukum syariat yang dikandung oleh beberapa kasus perdamaian ini.

Di antara hikmah ynag nampak secara jelas, bahwa perdamaian Hudaibiyah ini merupakan „muqadimmah“ bagi penaklukan kota Mekkah. Perdamaian ini seperti dikatakan oleh Ibnul Qayyim merupakan pintu dan kunci bai penaklukan kota Mekkah. Sudah menjadi kebiasaan Allah, apabila menghendaki terjadinya suatu perkara besar senantiasa memperlihatkan beberapa „muqadimmahnya“nya terlebih dahulu sebagai isyaraat kepadanya.

Kaum Muslimin pada saat itu tidak memahami isyarat tersebut, karena masalah ini termasuk masa depan yang ghaib bagi mereka. Bagaimana mungkin mereka dapat memahami hubungan antara kenyataan yang mereka lihat dengan masalah ghaib yang belum pernah mereka bayangkan sama sekali?

Tetapi tidak lama kemudian kaum Muslimin merasakan urgensi perdamaian ini dan sejumlah kebaikan yang terkandung di dalamnya. Dengan perdamaian ini, setiap orang merasa aman dari gangguan orang-orang lain. Kaum Muslimin dapat lebih leluasa bergaul dengan orang-orang kafir guna menyampaikan ayat-ayat Al-Quran kepada mereka. Bahkan orang-orang yang tadinya menyembunyikan keislamannya, dengan perdamaian ini mereka berani memunculkannya. Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari Az-Zuhri ia berkata :“Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam penaklukan (futuh) yang lebih besar dari perdamaian Hudaibiyah. Sebelumnya, selalu dicapai melalui peperangan, tetapi perjanjian Hudaibiyah ini telah berhasil menghindarkan peperangan dan memberikan keamanan kepada manusia sehingga mereka bisa melakukan dialog dan perundingan. Selama masa perdamaian ini, tak seorangpun yang berakal sehat yang diajak bicara Islam kecuali segera masuk Islam. Selama dua tahun tersebut orang-orang yang masuk Islam sebanyak jumlah orang Islam sebelum peristiwa tersebut atau lebih banyak.

Oleh sebab itu al-Quran menyebut peristiwa ini dengan istilah Fath (kemenangan). Firman Allah : „Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedangkan kamu tidak merasa takut maka Alah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan ynag dekat.“ (QS Al- Fath 27)

Di antara hikmah lainnya bahw aAllah dengan perdamaian tersebut menampakkan perbedaan yang sangat jelas antara wahyu kenabian dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan (taufiq) Nabi yang diutus dan tindakan seorang pemikir jenius antara ilham Ilahi yang datang dari luar alam sebab akibat dan memperturutkan isyarat sebab akibat. Allah ingin memenangkan nubuwwat Nabi-Nya, Muhammad saw dihadapan penglihatan setiap orang yang cerdas dan berpikiran mendalam. Barangkali ini merupakan sebagian dari penafsiran firman Allah :“Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.“ (QS al-Fath 3). Yakni pertolongan yang unik caranya sehingga kaan menyatakan akal-akal yang lalai dan pikiran yang tertutup. Oleh sebab itulah Nabi saw memberikan semua persyaratan yang diminta kaum Musyrikin. Nabi saw menyetujui beberapa perkara yang menurut para sahabat kurang menguntungkan. Anda tahu tentunya bagaimana Umar ra merasa cemas dan bersempit dada menanggapi masalah tersebut, sampai di kemudian hari Umar ra berkata tentang
dirinya sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya : „Aku terus berpuasa, shalat, bersedekah dan membebaskan budak (sebagai kafarat) dari apa yang pernah au lakukan, karena takut akan ucapanku yang pernah aku ucapkan pada hari itu.“

Andapun tahu bagaimana rasa sedih campur enggan melanda para sahabat ketika diperintahkan oleh Rasulullah saw agar bercukur rambut dan menyembelih binatang qurban untuk kembali ke Madinah, kendatipun Rasulullah saw mengulangi perintah tersebut sampai tiga kali. Sebabnya ialah para sahabat ra waktu itu mengamati dan menganalisa tindakan-tindakan Nabi saw dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa. Karena itu mereka tidak dapat melihat dan memahaminya kecuali sebatas apa yang dapat dipahami oleh akal mereka sebagai manusia biasa dan didasarkan kepada pengalamanpengalaman empirik. Sedangkan Nabi saw dalam mengambil tindakan-tindakannya berpijak di atas pijakan kenabian. Pelaksanaan perinta Ilahi semata-matalah yang melandasi tindakan-tindakan Nabi saw tersebut.

Hal ini tampak secara jelas dari jawaban Nabi saw kepada Umar ra ketika mendatangi Nabi saw untuk menanyakan atau meragukan tindakan tersebut. Nabi saw menjawab kepada Umar ra : „Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Aku tidak menyalahi-Nya dan Dia pasti membelaku.“ Juga nampak secara jelas dari wasiat Nabi saw kepada Ustman ra ketika diutusnya ke Mekkah untuk berunding dengan Quraisy membahas maksud kedatangan Nabi saw. Nabi saw memerintahkan Ustman agar mendatangi orang-orang Mukmin di Mekkah, lelaki dan wanita, guna menyampaikan kabar kemenangan kepada mereka dan bahwa Allah memenangkan agama-Nya di Mekkah sehingga tidak perlu lagi menyembunyikan keimanan.

Tidak heran jika kaum Muslimin tercengang menanggapi sikap Rasulullah saw yang di luar jangkauan pemahaman dan ukuran manusia biasa pada waktu itu, tetapi ketercenganan dan kekagetan itu segera sirna setelah Rasulullah saw membacakan kepada mereka surat Al-Fath yang diturunkan kepada beliau setelah pembicaraan mengenai perdamaian itu usai. Setelah itu barulah para sahabat menyadari bahwa mereka menerima syarat-syarat perdamaian tersebut merupakan mata air kemenangan bagi mereka, dan kehinaan serta kekalahan bagi kaum Musyrikin, kendatipun secara sepintas perdamaian itu memberikan kemangan kepada kaum Musyrikin. Akhirnya dari balik itu semua terbukti kemenangan yang sangat gemilang berada di tangan Rasul-Nya dan kaum Mukminin tanpa campur tangan usulan pikiran dan akal manusia.

Adakah bukti kenabian Muhammad saw yang lebih nyata dari hal ini? Pada mulanya kaum Muslimin merasa keberatan menyetujui Nabi saw dalam menerima syarat yang diajukan oleh Suhail bin Amer :
„Jika ada seorang dari Quraisy datang kepada Muhammad tanpa ijin walinya maka dia (Muhammad) harus mengembalikan kepada mereka dan barang siapa di antara pengikut Muhammad datang kepada Quraisy maka dia tidak akan dikembalikan.“

Mereka semakin merasa keberatan ketika Abu Jandal (anak Suhail bin Amer) datang melarikan diri dari kaum Musyrikin dalam keadaan terborgol rantai besi, kemudian bapaknya beridri menangkapnya seraya berkata :“Wahai Muhammad , permasalahan sudah kita sepakati sebelum anak ini datang.“ Nabi saw menyerahkan Abu Jandal kepada Quraisy, kendatipun Abu Jandal berteriak-teriak dengan suara keras :“Wahai kaum Muslimin ! Apakah aku diserahkan kembali kepada kaum Musyrikin yang akan merongrong agamaku?“ Kemudian Nabi saw bersabda kepada Abu Jandal : „Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan berserah dirilah (Kepada Allah)! Sesungguhnya Allah pasti memberikan jalan keluar kepada kamu dan orang-orang ynag tertindas. Kita telah membuat perjanjian dengan mereka dan kita tidak boleh mengkhianati mereka.“Para sahabat memandang masalah ini dengan hati sedih….

Tetapi apakah yang terjadi setelah itu ? Sesampainya di Madinah, datanglah kepada Nabi saw salah seorang dari Quraisy bernama Abu Bashir, menyatakan diri masuk Islam. Kemudian Quraisy mengirimkan dua orang utusannya yang meminta pemulangan Abu Bashir. Sesuai perjanjian yang baru saja ditandatangani Rasulullah saw harus menyerahkan Abu Bashir kepada kedua utusan Quraisy tersebut. Lalu kedua utusan itu memawa pulang. Tetapi ketika sampai di Dzil Hulaifah, Abu Bashir berhasil merebut pedang salah seorang utusan yang membawanya tersebut dan membunuhnya, sedangkan temannya lari menyelamatkan diri. Kemudian Abu Bashir kembali menemui Rasulullah saw seraya berkata :“Wahai Nabi Allah, sungguh demi Allah, Allah telah memenuhi apa yang pernah engkau janjikan. Engkau kembalikan aku kepada mereka, kemudian Allah menyelamatkan aku dari mereka.“ Lalu ia pergi ke Saiful Bahr (daerah pantai) yang kemudian disusul oleh Abu Jandal. Akhirnya tempat ini menjadi tempat penampungan kaum Muslimin dari penduduk Mekkah. Semua orang Quraisy yang telah menyatakan diri masuk Islam pergi menyusul Abu Bashir dan kawan-kawannya ke tempat ini. Setiap kali mendengar ada kafilah Quraisy membawa perdagangan ke negeri Syam , mereka selalu mencegatnya dan mengambil harta benda mereka. Akhirnya Quraisy mengirim utusan kepada Rasulullah saw meminta agar Rasulullah saw menerima dan menarik mereka ke Madinah. Lalu mereka pun datang ke Madinah.

Ketika penaklukan Mekkah, Abu Jandal inilah yang memintakan jaminan keamanan untuk bapaknya. Ia hidup hingga mendapatkan syahid di pertempuran Yamamah. Demikianlah para sahabat Nabi saw sadar dan bangkit dari kesedihan mereka dengan keimanan yang semakin mantap terhadap hikmah Ilahiah dan kenabian Muhammad saw. Diriwayatkan oleh sebuah riwayat shahih bahwa Sahal bin Sa‘id berkata pada perang Shiffin : „Wahai manusia, tuduhlah pendapat kalian. Sesungguhnya engkau telah menyaksikan aku pada peristiwa Abu Jandal , sekiranya aku bisa menolak sikap Rasulullah saw niscaya aku tolak“.

Di antara hikmah lainnya, bahwa Allah hanyalah ingin menjadikan peristiwa penaklukan kota Mekkah dengan cara damai dan penuh rahmat, bukan penaklukan yang menimbulkan tragedi dan peperangan. Penaklukan yang menjadikan ummat manusia berduyun-duyun memeluk agama Allah dan menerima taubat orang-orang yang pernah menganiaya serta mengusir Nabi-Nya. Karena itu sebelumnya Allah menyelenggarakan pendahuluan ini :Quraisy menyadari akan dirinya dan bersama-sama para sahabat Nabi saw mengambil pelajaran dari perdamaian ini, sehingga pemikiran mereka telah matang dan siap untuk menerima kebenaran ynag mutlak.

&

Hikmah Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Huruf

15 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syariat, apalagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadits antara lain dalam ungkapan berikut:

Ubai berkata: Rasulullah bertemu dengan Jibril di Ahjarul Mira’, sebuah tempat di Kuba, lalu berkata: “Aku ini diutus kepada umat yang ummi. Di antara mereka ada anak-anak, pembantu, kakek-kakek tua dan nenek-nenek jompo.” Maka kata Jibril: “Hendaklah mereka membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Tabari dengan isnad yang shahih)

“Allah memerintahkan aku untuk membacakan al-Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf. Lalu aku mengatakan: “Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.”

“Allah memerintahkan engkau untuk membacakan al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Nabi menjawab: ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya. Umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.’”

2. Bukti kemukjizatan al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Araab. Al-Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga setiap orang Arab telah mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan al-Qur’an dengan mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan itu. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.

3. Kemukjizatan al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan daripadanya berbagai hukum. Hal inilah yang menyebabkan al-Qur’an relevan untuk setiap zaman. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat [menyimpulkan hukum] dan ijtihad berhujjah dengan qira’at bagi ketujuh huruf ini.

&

Hikmah Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahab

6 Jan

Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Hikmah pertama: menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah saw.
Rasulullah saw. menyampaikan dakwahnya kepada manusia, tetapi beliau menghadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Beliau ditentang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai gangguan dan ancaman kepada Rasul. Padahal dengan hati tulus beliau ingin menyampaikan segala yang baik kepada mereka, sehingga dalam hal ini Allah berfirman:

“Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Qur’an).” (al-Kahfi: 6)

Wahyu turun kepada Rasulullah saw. dari waktu ke waktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kakinya di jalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang dihadapinya dari masyarakatnya sendiri, karena yang demikian hanyalah kabut di musim panas yang akan segera berakhir.

Allah menjelaskan kepada Rasul akan sunnah-sunnnah-Nya yang berkenaan dengan para Nabi terdahulu yang didustakan dan dianiaya oleh kaum mereka; tetapi mereka tetap bersabar sehingga datang pertolongan dari Allah. Dijelaskan pula bahwa kaum Rasulullah itu mendustakannya hanya karena kecongkakan dan kesombongan mereka, sehingga beliau akan menemukan “sunnah ilahi” dalam iring-iringan para nabi sepanjang sejarah. Yang demikian itu dapat menjadi hiburan dan penerang baginya dalam menghadapi gangguan dan cobaan dari kaumnya dan dalam menghadapi sikap mereka yang selalu mendustakan dan menolaknya.

“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (al-An’am: 33-34)

“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah mendustakan pula, mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (Ali ‘Imraan: 184)

Al-Qur’an juga memerintahkan Rasul bersabar sebagaimana rasul-rasul sebelumnya:
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari para rasul yang telah bersabar.” (al-Ahqaaf: 35)

Jiwa Rasulullah saw. menjadi tenang karena Allah menjamin akan melindungi dari gangguan orang-orang yang mendustakan firman-Nya:
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku saja yang bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan, dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.” (al-Muzzammil: 10-11)

Demikianlah hikmah yang terkandung dalam kisah para nabi yang terdapat di dalam al-Qur’an: “Dan kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (Hud: 120)

Setiap kali penderitaan Rasulullah saw. bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan mereka sedih karena penganiayaan mereka, maka al-Qur’an turun untuk melepaskan derita dan menghiburnya serta mengancam orang-orang yang mendustakan bahwa Allah mengetahui hal-ihwal mereka dan akan membalas apa yang mereka lakukan itu.

“Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.” (Yaasiin: 76)

“Dan janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Mahamendengar dan Mahamengetahui.” (Yunus: 65)

Demikian pula Allah menyampaikan berita gembira kepadanya dengan ayat-ayat [yang isinya menjanjikan] perlindungan, kemenangan dan pertolongan:
“Allah memelihara kamu dari gangguan mereka.” (al-Maidah: 67)
“Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.” (al-Fath: 3)
“Allah telah menetapkan: ‘Aku dan Rasul-Ku pasti menang.’ Sesungguhnya Allah Mahakuat dan Mahaperkasa.’” (al-Mujadalah: 21)

Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an itu turun kepada Rasulullah secara berkesinambungan sebagai penghibur dan pendukung sehingga ia tidak dirundung kesedihan dan dihinggapi rasa putus asa. Di dalam kisah para nabi itu terdapat teladan baginya. Dalam kisah yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan terdapat hiburan baginya. Dan dalam janji akan memeperoleh pertolongan Allah terdapat berita gembira baginya. Setiap kali beliau merasa sedih sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia, ayat-ayat penghiburpun datang berulang kali sehingga beliau berketetapan hati untuk melanjutkan dakwah dan merasa tenteram dengan pertolongan Allah.

Dengan hikmah yang demikian Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir mengapa al-Qur’an diturunkan secara bertahab, dengan firman-Nya:
“Demikianlah, supaya Kami memperkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.” (al-Furqaan: 32)

Abu Sayamah [nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Islamil al-Maqdisi; seorang ahli fiqih madzab Syafi’i. Karyanya ialah: al-Wajiiz ilaa ‘Uluumin Tata’allaqu bil Qur-aanil ‘Aziiz dan Syarhun ‘alasy Syaatibiyyah al-Masyhuraah fil Qiraa-aat. Wafat tahun 665 H) berkata: “Apabila ditanya: ‘Apakah rahasia al-Qur’an diturunkan secara bertahahb dan mengapakah ia tidak diturunkan sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang lain? Kami jawab: pertanyaan yang demikian itu sudah dijawab oleh Allah. Allah berfirman: (Dan orang-orang yang kafir berkata: Mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?). mereka bermaksud, mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya seperti halnya kitab-kitab lain yang diturunkan kepada rasul sebelum dia. Maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya: “Demikianlah, (Kami menurunkannya secara berangsur) untuk memperkuat hatimu dengannya.” Sebab apabila wahyu selalu baharu dalam setiap peristiwa, maka pengaruhnya dalam hati menjadi kuat dan orang yang menerimanya mendapat perhatian. Hal yang demikian itu menghendaki seringnya malaikat turun kepadanya, kebaharuan situasi dan risalah yang dibawanya dari sisi Allah yang Mahaperkasa. Hal ini menimbulkan kegembiraan di hati Rasul saw. yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. sangat bermurah hati di bulan-bulan Ramadlan karena dalam bulan itu Jibril sering menemuinya.”

2. Hikmah kedua: Tantangan dan Mukjizat
Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan sehingga melampaui batas. Mereka sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menantang, untuk menguji kenabian Rasulullah saw.

Mereka juga sering menyampaikan kepada beliau hal-hal bathil yang tidak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat: “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat.” (al-A’raaf: 187), dan minta disegerakan azab: “Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan.” (al-Hajj: 47) maka turunlah al-Qur’an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya firman Allah:

“Dan tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (al-Furqaan: 33)

Maksud ayat tersebut ialah: “Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan kepadamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya daripada pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesia-siaan saja.”

Di saat mereka keheranan terhadap turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka kebenaran hal itu; sebab tantangan kepada mereka dengan al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur sedang mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya, akan lebih memperlihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya daripada kalau al-Qur’an diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya itu.

Oleh sebab itu ayat di atas datang sesudah pertanyaan mereka, mengapa al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? maksudnya ialah: setiap mereka datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka minta seperti turunnya al-Qur’an sekaligus, Kami berikan kepadamu apa yang menurut kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yang lebih jelas maknanya dalam melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur. Hikmah yang demikian juga telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dalam beberapa riwayat dalam hadits Ibn Abbas mengenai turunnya al-Qur’an: “Apabila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.” (hadits riwayat Ibn Abi Hatim dair Ibn Abbas)

3. Hikmah ketiga: mempermudah hafalan dan pemahamannya.
Al-Qur’anul Karim turun di tengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis. Catatan mereka adalah hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal dan memahaminya.

“Dialah yang mengutus kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)

“[yaitu] orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi…” (al-A’raaf: 157)

Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh al-Qur’an seandainya al-Qur’an itu diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya dan memikirkan ayat-ayatnya. Jelasnya bahwa turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun satu atau beberapa ayat, para shahabat segera menghafalnya, memikirkan maknanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Tradisi demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para tabi’in.

Abu Nadrah berkata: “Abu Sa’id al-Khudri mengajarkan al-Qur’an kepada kami, lima ayat di tiap pagi dan lima ayat di tiap waktu petang. Dia memberitahukan bahwa Jibril menurunkan al-Qur’an lima ayat-lima ayat.” (HR Ibnu ‘Asakir)

Dari Khalid bin Dinar dikatakan: “Abul ‘Aliyah berkata kepada kami: ‘Pelajarilah al-Qur’an itu lima ayat demi lima ayat; karena Nabi saw. mengambilnya dari Jibril lima ayat- lima ayat.” (HR Baihaqi)

‘Umar berkata: “Pelajarilah al-Qur’an itu lima ayat demi lima ayat, karena Jibril menurunkan al-Qur’an kepada Nabi saw. lima ayat demi lima ayat.” (HR Baihaqi dalam Syu’abul iimaan)

4. Hikmah keempat: Kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan Pentahapan dalam Penetapan Hukum.

Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang baru ini seandainya al-Qur’an tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksana dan memberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa di antara mereka, maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang memberikan kejelasan statusnya dan petunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara demikian ini menjadi obat bagi hati mereka.

Pada mulanya, al-Qur’an meletakkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kiamat serta apa yang ada pada hari kiamat itu seperti kebangkitan, hisab, balasan, surga dan neraka. untuk itu al-Qur’an menegakkan bukti-bukti dan alasan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang-orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya aqidah Islam.

Al-Qur’an mengajarkan akhlak mulia yang dapat membesihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah pebuatan keji dan mungkar, sehingga dapat terkisis habis akar kejahatan dan keburukan. Ia menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang-tiangnya dalam hal makanan, minuman, hartabenda,kehormatan dan nyawa.

Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit-penyakit sosial yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan rukun-rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya menyembah kepada-Nya seta tidak mempersekutukan-Nya.

Demikian pula al-Qu’ran turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi bagi kaum Muslimin dalam perjuangan mereka yang panjang untuk meninggikan kalimat Allah. Hal-hal tersebut di atas, semuanya mempunyai dalil-dalil berupa nas-nas al-Qur’an bila kita meneliti ayat-ayat Makki dan Madani-nya serta kaidah-kaidah perundang-undangannya. Sebagai contoh di Makkah disyariatkan shalat; dan prinsip umum mengenai zakat yang diperbandingkan dengan riba:

“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (ar-Ruum: 38-39)

Surah al-An’am yang Makkiyyah itu turun untuk menjelaskan pokok-pokok keimanan dan dalil-dalil tauhid, menghancurkan kemusyrikan. Menerangkan tentang makanan yang halal dan yang haram serta ajakan untuk menjaga kemuliaan harta benda, darah dan kehormatan. Allah berfirman:

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (al-An’am: 151-152)

Kemudian setelah itu turunlah perincian hukum-hukum ini. Pokok-pokok hukum perdata [terutama hukum benda] turun di Makkah, tetapi perincian hukumnya turun di Madinah, seperti ayat tentang utang piutang dan ayat-ayat yang mengharamkan riba. Asas-asas hubungan kekeluargaan ini turun di Makkah; tetapi penjelasan mengenai hak suami istri dan kewajiban hidup berumah tangga serta hal-hal yang bertalian dengannya seperti keberlangsungan terus rumah tangga tadi atau keterputusannya dengan perceraian atau dengan kematian, kemudian bagaimana warisannya, maka penjelasan mengenai hal itu semua diterangkan dalam perundang-undangan yang Madani. Sedang mengenai zina dasarnya sudah diharamkan di Makkah:

“Dan janganlah kamu dekati zina; zina itu suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (al-Israa’: 32)

Tetapi hukuman-hukuman yang diakibatkan oleh zina itu turun di Madinah. Adapun mengenai pembunuhan dasarnya sudah turun di Makkah:

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.” (al-Israa’: 33)

Tetapi perincian hukuman tentang pelanggaran terhadap jiwa dan anggota badan itu turun di Madinah.
Contoh yang paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah diharamkannya minuman keras. Mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman:

“Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizky yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memikirkan.” (an-Nahl: 67)

Ayat ini menyebutkan tentang nikmat atau karunia Allah. Apabila yang dimaksud dengan “sakar” ialah khamr atau minuman yang memabukkan dan yang dimaksud “rizky” ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis –dan inilah pendapat jumhur ulama-, maka pemberian predikat “baik” kepada rizky sementara sakar tidak diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pujian Allah hanya ditujukan kepada rizky dan bukan kepada sakar. Kemudian firman Allah:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia; tetapi dosa kedua lebih besar daripada manfaatnya.’” (al-Baqarah: 219)

Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras [khamr] yang timbul sesudah meminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena memperdagangkaannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta dan membangkitkan dorongan-dorongan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkah khamr dengan cara menonjolkan segi bahayanya daripada manfaatnya. Kemudian firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (an-Nisaa’: 43)

Ayat ini menunjukkan larangan meminum khamr pada waktu-waktu tertentu bila pengaruh minuman itu akan sampai ke waktu shalat. Ini mengingatkan adanya larangan mendekati shalat dalam keadaan mabuk, sampai pengaruh minuman itu hilang dan mereka mengetahui apa yang mereka baca dalam shalatnya. Selanjutnya firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maaidah: 90-91)

Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap menuman keras dalam segala waktu. Hikmah penetapan hukum dengan sistemm bertahab ini lebih lanjut diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. ketika mengatakan: “Sesungguhnya yang pertama kali turun dari al-Qur’an ialah surah Mufassal yang di dalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia sudah lari kepada Islam, maka turunlah hukum halal dan haram. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah: ‘Jangan kamu meminum khamr,’ tentu mereka akan menjawab: ‘Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.’ Dan kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah: ‘Janganlah kamu berzina.’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.’”

Demikianlah pentahapan dalam mendidik umat ini sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat tersebut. Rasulullah saw. pernah meminta pertimbangan para shahabatnya mengenai tawanan perang Badar. Maka Umar berkata: “Potong saja leher mereka. sedang Abu Bakar berkata: “Menurut pandangan kami, sebaikny anda memaafkan mereka dan menerima tebusan dari mereka.” dan Rasulullah saw. pun mengambil pendapat Abu Bakar. Maka turunlah firman Allah:

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (al-Anfaal: 67-68)

Kaum Muslimin merasa kagum atas besarnya jumlah pasukan mereka pada perang Hunain, sehingga seorang di antara mereka berkata: “Kami pasti tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang kecil.” Maka mereka pun menerima pelajaran yang berat dalam hal itu, dan turun firman Allah:

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan Demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 25-27)

Ketika Abdullah bin Ubay pemimpin orang-orang munafik meninggal dunia, Rasulullah diundang untuk menshalatkannya. Beliau pun memenuhinya. Namun ketika beliau berdiri, Umar berkata: “Apakah engkau hendak melakukan shalat atas Abdullah bin Ubay, musuh Allah yang mengatakan begini dan begitu?” Umar menyebutkan peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay; sedang Rasulullah saw. tersenyum saja. kemudian berkata kepada Umar: “Sebenarnya dalam hal ini saya diberi kebebasan untuk memilih. Sebab telah dikatakan kepadaku: ‘Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak mau memohonkan ampun bagi mereka [adalah sama saja]. kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-sekali tidak akan memberi ampun kepada mereka.’ (at-Taubah: 80). Sekiranya aku tahu bahwa jika aku memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, tentu aku akan memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali.”

Kemudian Rasulullah saw. menshalatkan juga; dan berjalan bersama Umar dan berdiri di atas kuburnya hingga selesai penguburan. Umar berkata: “Aku heran terhadap diriku dan keberanianku kepada Rasulullah saw. padahal Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Demi Allah tidak lama kemudian turunlah ayat ini:

“Janganlah sekali-sekali kamu melakukan shalat atas jenazah siapapun yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya…” (at-Taubah: 84-85).

Maka sejak itu Rasulullah saw. tidak lagi melakukan shalat atas seorang munafik pun sampai beliau dipanggil Allah ‘Azza wa Jalla.”

Ketika beberapa orang di antara kaum mukminin yang sejati tidak ikut dalam perang Tabuk dan mereka tetap tinggal di Madinah, sedang Rasulullah saw. tidak mendapatkan alasan bagi ketidakikutan mereka, beliau menjauhi dan mengucilkan mereka sehingga mereka merasa hidup sempit. Kemudian turunlah ayat-ayat al-Qur’an untuk menerima tobat mereka:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 117-118)

Yang demikian itu juga diisyaratkan oleh keterangan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas mengenai turunnya al-Qur’an: “Al-Qur’an diturunkan oleh Jibril dengan membawa jawaban atas pertanyaan para hamba dari perbuatan mereka.”

5. Hikmah kelima: bukti yang pasti bahwa al-Qur’anul Karim diturunkan dari sisi Yang Mahabijaksana dan Mahaterpuji.
Al-Qur’an yang turun secara berangsur-angsur kepada Rasulullah saw. dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayatnya atau ayat-ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selam itu orang membacanya dan mengkajinya surah demi surah. Ketika itu ia melihat rangakaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan dengan makna yang saling bertaut, dengna gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikan untaian mutiara yang indah yang belum pernah ada bandingannya dalam perkataan manusia:

“Ini adalah suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana dan Mahatahu.” (Huud: 1)

Seandainya al-Qur’an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah di dalamnya terjadi ketidakserasian dan saling bertentangan satu dengan yang lain, serta sulit terjadi keseimbangan.

“Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya.” (an-Nisaa’: 82)

Hadits-hadits Rasulullah saw. sendiri yang merupakan puncak kefasikan dan paling bersastra sesudah al-Qur’an, tidaklah tersusun dalam bentuk sebuah buku dengan ungkapan yang lancar serta satu dengan yang lainnya saling berkait dalam suatu kesatuan dan ikatan seperti halnya al-Qur’anul Karim atau dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni yang mendekatinya sekalipun, apalagi ucapan dan perkataan manusia lainnya.

“Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (al-israa’: 88)

&