Tag Archives: ‘iddah

‘Iddah

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para Imam madzhab sepakat bahwa ‘iddah perempuan yang hamil adalah dengan melahirkan anak, baik karena ditalak oleh suaminya atau ditinggal mati.

Masa ‘iddah bagi perempuan yang tidak berhaid atau perempuan yang sudah putus haidnya adalah 3 bulan. Adapun, masa ‘iddah bagi perempuan yang berhaid adalah tiga quru’ jika ia adalah perempuan merdeka. Demikian kesepakatan para imam madzhab.

Dawud berpendapat: perempuan merdeka dan budak perempuan adalah sama masa ‘iddahnya yaitu tiga quru’. Quru’ adalah masa suci. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: quru’ adalah haidh. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia berada di tengah perjalanan menuju Makkah untuk haji. Hanafi berkata dalam masalah ini: ia harus berhenti, tidak meneruskan perjalanannya hingga selesai masa ‘iddahnya jika ia telah berada dalam suatu negeri yang dekat dengannya.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jika ia khawatir tertinggal hajinya, maka ia boleh meneruskan perjalanannya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang istri yang suaminya pergi ke tempat yang tidak diketahui (mafqud). Menurut Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya, serta pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: istri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu masa [menurut adat] bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa tersebut.

Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi’i dan Hambali memberi batasan 90 tahun. Juga menurut pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya dan pendapatnya yang paling kuat: istri berhak menuntut nafkah dari harta suaminya untuk selama-lamanya. Jika suaminya tidak mempunyai harta maka ia boleh meminta pembatalan pernikahan lantaran tidak adanya pemberian nafkah.

Adapun menurut Maliki dan Syaf’i’i dalam qaul qadim-nya yang dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh ‘Umar ra. tanpa ada seorangpun di antara para shahabat lainnya mengingkari perbuatannya, dan juga menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: istri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimum masa mengandung ditambah 4 bulan 10 hari, yakni sebagai masa ‘iddah atas kematian suami. Sesudah itu boleh menikah lagi.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sifat-sifat suami yang dinamakan mafqud. Menurut pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya: mafquf adalah suami tidak diketahui lagi beritanya, dan menurut dugaan kuat ia telah meninggal. Menurut Maliki dan dalam qaul qadim Syafi’i: tidak ada perbedaan antara putus berita karena mengalami musibah, seperti kecelakaan, tenggelam jatuh dari kapal dan sebagainya yang serupa dan lainnya.

Hambali berpendapat: suami mafqud adalah suami yang tidak diketahui kabar beritanya oleh karena suatu sebab, yang pada umumnya mengakibatkan kematian, seperti orang yang hilang dalam peperangan, kapal tenggelam yang sebagian penumpangnya ada yang selamat dan ada yang tenggelam. Adapun jika suami pergi untuk berdagang dan tidak diketahui kabar beritanya, serta tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati, maka istri tidak boleh menikah lagi sampai ia yakin akan kematian suaminya, atau datang suatu masa yang tidak mungkin lagi suaminya hidup.

Hanafi berpendapat: suami mafqud adalah suami yang pergi dan tidak diketahui kabar beritanya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami pertama datang, sementara istrinya sudah bersuami sesudah menanti selam masa yang telah ditentukan. Hanafi berpendapat: akad nikah kedua batal dan istri tetap menjadi milik suami pertama. jika suami kedua telah menyetubuhinya maka dikenakan mahar mitsli, lalu istrinya melakukan ‘iddah dari suami kedua. Setelah itu kembali ke suami pertama.

Maliki berpendapat: jika sudah disetubuhi oleh suami kedua maka jadilah ia istri bagi suami kedua, dan ia wajib menyerahkan mahar kepada suami pertama sebanyak mahar yang telah diberikan kepadanya. Juga menurut pendapat Maliki dalam riwayat lainnya: istri tersebut secara mutlak milik suami yang pertama.

Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang shahih: pernikahan kedua menjadi batal. Pendapat lainnya: batal pernikahan pertama secara mutlak. Hanafi berpendapat: jika suami kedua belum menyetubuhinya maka ia tetap menjadi milik suami pertama. sedangkan jika sudah disetubuhi maka suami pertama boleh memilih antara memilikinya dan membayar mahar kepadanya, atau meninggalkannya untuk dimiliki suami kedua dan mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya dulu.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah ‘iddah ummul walad apabila tuannya meninggal atau memerdekakannya. Hanafi berkata: ‘iddahnya adalah tiga kali haid, baik dimerdekakan maupun ditinggal mati oleh tuannya. Maliki dan Syafi’i mengatakan: ‘iddah ummul walad apabila tuannya meninggal atau ia dimerdekakakan adalah satu kali haid saja.

Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama satu kali haid saja. pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua, jika ia dimerdekakan maka ‘iddahnya adalah satu kali haid sedangkan jika ditinggal mati masa ‘iddahnya adalah ‘iddah ditinggal wafat [4 bulan 10 hari].

Para imam madzhab sepakat bahwa batas minimal perempuan mengandung adalah 6 bulan, tetapi para imam madzhab berbeda pendapat tentang batas maksimalnya. Hanafi berpendapat: dua tahun, dan Maliki diperoleh beberapa riwayat, pertama empat tahun. Kedua lima tahun. Ketiga tujuh tahun.

Syafi’i berkata: empat tahun. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama seperti pendapat Syafi’i [empat tahun]. Inilah pendapat yang paling masyhur. Kedua seperti pendapat Hanafi [dua tahun].

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang perempuan ‘iddah yang mengeluarkan segumpal darah atas segumpal daging. Hanafi dan Hambali dalam riwayatnya yang jelas mengatakan: ‘iddahnya tidak habis lantaran mengalami hal tersebut. Maliki dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya mengatakan: dengan keluarnya benda tersebut maka berakhiralah masa ‘iddahnya. Demikian juga pendapat Hambali dalam riwayat yang lain.

Ihdad diwajibkan bagi perempuan ‘iddah yang ditinggal mati suaminya. Demikian menurut kesepakatan pendapat imam madzhab. Ihdad adalah meninggalkan berhias diri dan meninggalkan sesuatu yang dapat mendorong orang lain tertarik kepadanya dan menikahinya.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan asy-Syaf’bi bahwa ihdad tidak diwajibkan bagi perempuan yang menjalani ‘iddah mabtutah [‘iddah yang tidak memungkinkan bagi suami untuk kembali kepada istrinya].

Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat: menurut qaul qadimnya perempuan yang menjalani ‘iddah mabtutah adalah wajib melakukan ihdad. Seperti ini juga pendapat Hanafi dan salah satu pendapat Hambali.

Dalam qaul jadid-nya Syafi’i berpendapat: tidak diwajibkan melakukan ihdad atasnya. Seperti ini juga pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat yang lain.

Apakah perempuan yang tertalak ba’in dibolehkan keluar dari rumahnya pada siang hari karena adanya suatu keperluan? Hanafi berpendapat: tidak boleh keluar kecuali dalam keadaan darurat. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat di atas. Tetapi pendapatnya yang paling shahih adalah seperti pendapat Hanafi.

Adapun perempuan dewasa ataupun yang masih kecil dalm hal ihdaad ini tidak ada perbedaan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak ada ihdad bagi perempuan kecil. Perempuan dzimmi jika berada di bawah kekuasaan orang Islam, maka ia wajib menjalankan ‘iddah dan melakukan ihdad. Apabila suami orang dzimmi itu adalah seorang laki-laki dzimmi, maka perempuan itu wajib menjalani ‘iddah tetapi tidak wajib melakukan ihdad. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: wajib melakukan ihdad tetapi tidak wajib menjalani ‘iddah.

&