Tag Archives: Ilmu Al-Hadits

Pembagian Hadits (Khabar) Berdasarkan Aspek Orang Yang Disandarinya

21 Jun

‘Ulumul Hadits; ilmu hadits; DR. Mahmud Thahan

Dilihat dari sisi orang yang disandarinya, hadits [khabar] terbagi menjadi empat:
1. Hadits Qudsi
2. Hadits Marfu’
3. Hadits Mauquf
4. Hadits Maqthu’

Su’ul Al-Hifdhi

21 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi: Orang yang aspek kebenarannya tidak dapat dikuatkan atas aspek kekeliruannya

2. Jenisnya:
a. Buruknya hafalan sudah ada sejak awal kehidupannya, dan keadaan ini berlangsung sepanjang hidupnya. Menurut sebagian ahli hadits, yang seperti ini dinamakan syadz
b. Kadangkala buruknya hafalan ini muncul secara mendadak, baik karena semakin tua usianya, atau penglihatannya berkurang, atau kitabnya terbakar. Yang semacam ini disebut dengan mukhtalath.

3. Hukum meriwayatkannya:
a. Apabila termasuk yang pertama, yaitu buruk hafalannya sudah ada sejak awal kehidupannya, maka riwayatnya mardud [tertolak]
b. Apabila termasuk yang kedua, yaitu mukhtalath, maka hukum atas riwayatnya itu dapat dirinci sebagai berikut:
i. Jika riwayatnya itu terjadi sebelum ikhtilath, dalam hal ini bisa dibedakan, maka riwayatnya maqbul [diterima]
ii. Namun jiwa riwayatnya terjadi setelah ikhtilath, maka haditsnya mardud
iii. Jika tidak bisa dibedakan apakah riwayatnya terjadi sebelum atau sesudah ikhtilath, maka haditsnya dibekukan [tawaqquf], hingga jelas bisa dibedakan.

Hadits Pembuat Bid’ah

17 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi
a. Menurut bahasa: merupakan masdar dari kata bada’a, yang berarti mengadakan sesuatu, sebagaimana dijumpai di dalam kamus.
b. Menurut istilah: kejadian baru di dalam agama, setelah sempurna, atau hal-hal baru sesudah Nabi saw. baik berupa keinginan [hawa nafsu] maupun perbuatan.

2. Jenisnya
a. Bid’ah mukaffirah: karena sebab-sebab tersebut pelakunya menjadi kafir. Seperti sesorang yang meyakini sesuatu yang jelas-jelas kufur; atau orang yang menolak perkara syariat yang mutawatir dan tergolong ma’lumun min ad-din bi adl-Dlarurah; atau orang yang meyakini kebalikannya.
b. Bid’ah mufassiqah: karena sebab-sebab tersebut pelakunya menjadi fasik; baik yang pada dasarnya tidak nisa ditolerir.

3. Hukum riwayat pembuat bid’ah
a. Jika bid’ahnya termasuk bid’ah mukaffirah, maka riwayatnya tertolak.
b. Jika bid’ahnya mafassiqah: menurut pendapat jumhur riwayatnya dapat diterima, dengan dua syarat: selama dia tidak mempropagandakan [mengajak] pada bid’ahnya; dan tidak meriwayatkan suatu perkara yang memperkuat bid’ahnya.

4. Untuk hadits yang diriwayatkan pembuat bid’ah tidak ada nama khusus. Hadits ini tergolong hadits mardud, seperti yang sudah dikenal. Dan haditsnya tidak diterima kecuali memenuhi dua syarat tadi.

Al-Jihalah Bi Ar-Rawi

17 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi:
a. Menurut bahasa: merupakan masdar dari kata jahila, lawan dari ‘alima; artinya tidak dikenal rawi
b. Menurut istilah: tidak dikenalnya sosok rawi dan keberadaannya

2. Penyebabnya
a. Terlampau banyaknya sifat si rawi: baik menyangkut namanya, atau kunyahnya, atau laqabnya, atau sifatnya atau pekerjaannya atau nasabnya. Ia lebih populer dengan sebutan salah satunya. Jika disebutkan dengan sebutan yang tidak populer –dengan berbagai maksud- maka hal itu disangka sebagai rawi lain. Akibatnya kondisinya tidak dikenal. Contoh: Muhammad bin Saib bin Bisyr al-Kulbi; sebagian ulama menasabkan pada kakeknya, lalu berkata: Muhammad bin Bisyr. Sebagian lainnya memberinya sebutan Hammad bin Saib, yang memiliki kunyah Abu Nadlir, sebagian lainnya memberinya kunyah Abu Sa’id, lainnya Abu Hisyam. Maka hal ini disangka sebagai sekelompok orang, padahal orangnya hanya satu.
b. Terlampau sedikit riwayatnya. Tidak banyak yang mengambil [hadits] darinya karena amat sedikit riwayatnya; kadangkala tidak diriwayatkan darinya kecuali hanya satu buah saja. contoh: Abu al-‘Usyara ad-Darimi; beliau berasal dari kalangan tabi’in, tidak ada orang yang mendapatkan riwayat darinya keculai Hammad bin Salmah.
c. Tidak jelas namanya, karena dimaksudkan untuk menyingkat atau yang semacamnya. Rawi yang tidak jelas dinamakan dengan mubham. Contoh: Perkataan rawi: Telah menuturkan kepadaku fulan, atau syekh, atau seseorang, atau yang semacamnya.

3. Definisi Majhul
Orang yang tidak diketahui identitas atau sifat-sifatnya. Ini berarti, dia adalah rawi yang tidak diketahui sosok atau kepribadiannya, atau diketahui dikenal sosoknya namun tidak diketahui sifat-sifatnya, yaitu menyangkut keadilannya dan kedlabitannya.

4. Jenis-jenis Majhul
a. Majhul sosoknya; definisinya: namanya disebut, tetapi tidak ada orang yang meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang rawi. Hukum riwayatnya: tidak diterimma, kecuali jika dipercaya [ditsiqahkan] dengan melalui dua cara: 1) ditsiqahkan orang lain yang tidak meriwayatkan haditsnya. 2) ditsiqahkan oleh orang yang meriwayatkan haditsnya, namun orang itu harus dari kalangan ahli jarh wa ta’dil. Tidak ada nama khusus bagi hadits ini, tetapi termasuk jenis hadits dla’if.
b. Majhul kondisinya [disebut juga hadits mastur]; definisi: orang yang meriwayatkan darinya, dua orang atau lebih, tetapi tidak ditsiqahkan. Hukum riwayatnya: tertolak, menurut pernyataan jumhur yang shahih. Tidak ada nama khusus bagi hadits ini, tetapi termasuk jenis hadits yang dla’if.
c. Mubham: mubham dianggap jenis lain dari majhul, akan tetapi hakekatnya serupa dengan majhul.
Definisi: orang yang namanya tidak dijelaskan dalam hadits
Hukum riwayatnya: tidak diterima, hingga ada rawi [haditsnya] yang menyebutkan namanya; atau namanya diketahui melalui jalur lain yang menjelaskannya. Penyebab ditolak riwayatnya karena sosok rawinya tidak dikenal. Sebab, siapa pun yang tidak dikenal namanya berarti tidak diketahui pula sosoknya, tentu saja termasuk keadilannya. Riwayatnya tidak dapat diterima.
Jika mubham disertai lafadz ta’dil, apakah riwayatnya diterima? Seperti misalnya seorang rawi berkata: “Telah mengabarkan kepadaku orang yang tsiqah. Jawabannya adalah riwayatnya tetap tidak bisa diterima, karena ketsiqahannya itu menurut si rawi, belum tentu tsiqah menurut yang lain.
Untuk hadits ini ada nama khusus yaitu mubham. Hadits mubham adalah hadits yang di dalamnya terdapat rawi yang tidak disebut namanya. Al-Baiquni berkata dalam Mandhumatnya: “Mubham itu hadits yang di dalamnya terdapat rawi yang tidak disebut namanya.”

5. Kitab yang populer yang memuat sebab-sebab majhul
a. Yang menyangkut banyaknya sifat rawi: kitab Mudlih Auham al-Jama’ wa at-Tafriq, karya al-Khathib.
b. Yang menyangkut rawi yang sedikit meriwayatkan: al-Wuhdan, karya Imam Muslim; kitab ini memuat orang-orang yang tidak meriwayatkan melainkan hanya satu orang saja.
c. Yang menyangkut ketidakjelasan nama rawi: mengenai aspek mubham ini disusun kitab al-Asmau al-Mubhamah fi al-Anbai al-Muhkamah, karya al-Khathib al-Baghdadi. Dan kitab al-Mustafad min Mubhamat al-Matni wa al-Isnad, karya Waliyuddin al-‘Iraqi.

Hadits Syadz dan Hadits Mahfudh

17 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi Syadz
a. Menurut bahasa: merupakan isim fa’il dari kata syadz, yang berarti yang menyendiri [asing]. Jadi syadz itu bermakna terasing dari kebanyakan orang.
b. Menurut istilah: hadits yang diriwayatkan rawi maqbul [bisa diterima], yang menyelisihi dengan orang yang lebih utama.

2. Penjelasan
Yang dimaksud dengan maqbul adalah, [rawinya] adil dan sempurna kedlabitannya, atau [rawinya] adil tetapi tingkat kedlabitannya lebih ringan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang lebih utama adalah, lebih rajih [kuat] dibandingkan dengan dirinya, baik karena derajat kedlabitannya lebih tinggi, atau lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang termasuk dalam aspek tarjih.
Para ulama tidak sepakat mengenai definisinya dengan berbagai pernyataan, akan tetapi al-Hafidh Ibnu Hajar telah memilih definisi tersebut seraya berkata: “Definisi itu menjadi sandaran bagi definisi hadits syadz yang sesuai dengan istilah.

3. Syadz bisa terjadi pada sanad maupun matan
a. Contoh syadz pada sanad: hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah melalui jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amru bin Dinar dari ‘Ausajah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seorang lelaki telah meninggal pada masa Rasulullah saw. sementara dia tidak meninggalkan waris kecuali hamba sahaya yang telah dimerdekakannya. Yang menghubungkan Ibnu ‘Uyainah hingga sampai kepadanya adalah Ibnu Juraji dan yang lainnya. Hammad bin Zaid menyelisihi mereka; riwayatnya dari Amru bin Dinar dari ‘Ausajah dan tidak menyebut Ibnu Abbas. Karena itu Abu Hatim berkata: “Yang mahfudh adalah haditsnya Ibnu ‘Uyainah.” Hammad bin Zaid termasuk golongan yang adil dan dlabith, tetapi Abu Hatim telah menguatkan riwayat dari orang yang jumlahnya lebih banyak.
b. Contoh syadz pada matan: hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari haditsnya Abdul Wahid bin Ziad dari al-A’masy dari Abi Shaleh dari Abu Hurairah, secara marfu’: “Apabila salah seorang dari kalian shalat fajar, hendaknya berbaring ke sebelah kanan.”
Al-Baihaqi berkata, dalam hal ini Abdul Wahid menyalahi banyak rawi. masyarakat itu meriwayatkan tentang perbuatan Nabi saw. bukan perkataannya. Dalam lafadz ini Abdul Wahid menyendiri dari rawi-rawi tsiqah yang menjadi shahabat al-A’masy.

4. Al-Mahfudh
Al-Mahfudh merupakan lawan dari syadz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqah, yang menyelisihi dengan riwayat tsiqah lain. Contohnya sama dengan dua contoh yang disinggung jenis hadits syadz.

5. Hukum hadits syadz dan hadits Mahfudh
Sudah diketahui bahwa hadits syadz itu mardud [tertolak], sedangkan hadits mahfudh termasuk maqbul [diterima]

Hadits Mushahhaf

17 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi
a. Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata at-tashhif, yang berarti kekeliruan pada halaman. Dari situ terdapat kata ash-shafiyu, yaitu orang yang keliru membaca halaman, kemudian sebagai lafadz jadi berubah disebabkan kekeliruan membacanya.
b. Menurut istilah: berubahnya kata di dalam hadits dengan kata selain yang diriwayatkan oleh [rawi] tsiqah, baik lafadznya maupun maknanya.

2. Urgensi dan nilainya
Termasuk cabang ilmu hadits yang amat tinggi dan bernilai. Sangat penting untuk mengungkap kekeliruan yang terjadi pada sebagian rawi. di antara para hafidh hadits yang tergerak karena pentingnya perkara ini adalah ad-Daruquthni.

3. Pembagian hadits Mushahhaf
Para ulama membagi hadits mushahhaf menjadi tiga bagian, masing-masing adalah:
a. Dilihat dari sisi tempatnya: hadits mushahhaf terbagi dua:
i. Tashhif pada sanad: contohnya adalah hadits Syu’bah dari al-‘Awwam bin Murajim; Ibnu Ma’in keliru dan merubahnya seraya berkata: dari al-‘Awwam bin Muzzahim
ii. Tashhif pada matan: contohnya adalah hadits Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw.: ihtajara fii al masjid…(menahannya di masjid); Ibnu Lahimah keliru dan merubahnya: ihtajama fii al-masjid.. (berbekam di masjid)
b. Dilihat dari sisi keadaannya: hadits mushahhaf juga terbagi dua:
i. Tashhif penglihatan: ini kasus tashhif yang paling banyak, yaitu kaburnya tulisan di mata pembacanya, bisa karena buruknya tulisannya atau tidak adanya titik. Contohnya: “Barangsiapa yang shaum di bulan Ramadlan, kemudian melanjutkan [shaumnya] selama enam hari dari bulan Syawal..”
Abu Bakar ash-Shuli keliru membacanya, dan menyebutkan: “Barangsiapa yang shaum di bulan Ramadlan, kemudian melanjutkan [shaumnya] dengan sesuatu dari bulan Syawal….” dia mengira kata sittan [enam hari] sebagai syai-an [sesuatu]
ii. Tashhif pendengaran: yaitu kaburnya pendengaran atau jauhnya si pendengar dari sumber suara, atau yang semacamnya. Lalu ia menyamakan sebagian kata dengan kata lain yang wazannya serupa. Contoh: hadits yang diriwayatkan dari ‘Ashim al-Ahwa. Sebagian mereka keliru dan menganggapnya sebagai, dari Washil al-Ahdab.
c. Dilihat dari sisi lafadz atau maknanya: hadits mushahhaf terbagi dua:
i. Tashhif pada lafadz: ini yang paling banyak. Sama dengan contoh sebelumnya.
ii. Tashhif pada makna: yaitu si rawi mushahhif menuturkan lafadz hadits sesuai dengan keadaannya, akan tetapi ia menafsirkan [lafadz hadits tersebut] yang menunjukkan penafsiran berbeda dengan makna yang dimaksud. Contohnya: Perkataan Abu Musa al-‘Anazi: “Kami adalah kaum yang memiliki kemuliaan, dan kami juga memiliki anazah [tombak]. Kemudian Rasulullah saw. shalat [menghadap] kepada kami.”
Ia mengira bahwa maksud dari hadits tersebut adalah, Nabi saw. shalat bagi anazah, yaitu menyangka bahwa Nabi saw. shalat bagi kabilah anazah. Padahal yang dimaksud anazah disini adalah tombak yang ditancapkan di hadapan yang shalat.

4. Pembagian menurut Ibnu Hajar
Iamam Ibnu Hajar membagi hadits mushahhaf yang berbeda, beliau membaginya menjadi dua:
a. Al-Mushahhaf: jika perubahannya hanya pada titik-titik huruf saja, sedangkan bentuk tulisannya tetap.
b. Al-Muharraf: jika perubahannya pada bentuk huruf, sementara tulisannya tetap.

5. Apakah tashhif bisa merusak rawi?
a. Jika tashhif yang dilakukan rawi itu sangat jarang maka hal itu tidak merusak kedlabitannya, sebab ia tidak selamat dari kesalahan, lagi pula tashhif yang dilakukannya sedikit.
b. Namun, jika yang dilakukannya itu banyak [sering], maka hal itu merusak kedlabitannya; sekaligus menunjukkan [tingkatannya] yang meringankan, dan ia tidak memiliki kelayakan dalam masalah ini.

6. Penyebab para perawi melakukan banyak tashhif
Pada umumnya, penyebab para rawi melakukan tashhif karena mengambil hadits dari dalam kitab dan lembaran-lembaran; tidak ada pertemuan dengan syekh atau guru-gurunya. Karena itu para imam hadits mengingatkan untuk tidak mengambil hadits dari tulisan, mereka berkata: “Hadits tidak boleh diambil dari tulisan [catatan].” Maksudnya hadits tidak boleh diambil dari orang yang mengambilnya dari catatan.

7. Kitab yang populer
a. At-Tashhif, karya Daruquthni
b. Ishlah Khatah’ al-Muhadditsin, karya al-Khathabi
c. Tshhifat al-Muhadditsin, Abu Ahmad al-‘Askari

Hadits Mudltharib

12 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi
a. Menurut bahasa: merupakan isim fa’il dari kata al-idlthirab, yang berarti kacaunya sesuatu dan rusaknya keteraturannya. Asalnya dari tidak teraturnya ombak, yang semakin banyak bergerak maka akan saling memukul satu sama lain.
b. Menurut istilah: hadits yang diriwayatkan dari arah yang bermacam-macam, yang kekuatannya sama.

2. Penjelasan
Yaitu hadits yang diriwayatkan dalam bentuk yang saling bertentangan dan bertolak belakang, yang tidak mungkin dikompromikan satu sama lain selamanya, seluruh riwayatnya –dilihat dari berbagai aspek- juga sama-sama kuat, tidak mungkin dilakukan tarjih –dari aspek manapun- terhadap yang lainnya.

3. Syarat terjadinya idlthirab
Berdasarkan definisi dan penjelasannya, jelas bahwa hadits mudltharib tidak akan terjadi kecuali memenuhi dua syarat:
a. Riwayat-riwayat hadits saling berselisih, yang tidak memungkinkan dilakukannya kompromi [jama’].
b. Sama kekuatan riwayat-riwayat haditsnya, yang tidak memungkinkan dilakukannya tarjih yang satu terhadap yang lainnya.
Jika salah satu riwayat dapat ditarjih terhadap riwayat lainnya, atau memungkinkan dilakukannya jama’ [kompromi] di antara keduanya dalam bentuk yang dapat diterima, maka sifat idlthirab hadits tadi menjadi hilang. Karenanya kita dapat mengamalkan seluruh riwayat dalam kondisi kedua hadits dapat dikompromikan [dijama’].

4. Pembagian hadits mudltharib
Berdasarkan tempat idlthirabnya, hadits mudltharib terbagi dua: mudltharib sanad dan mudltharib matan. Dan tempat terjadinya idlthirab pada sanad itu amat banyak.
a. Mudltharib sanad: contohnya adalah hadits Abu Bakar ra. bahwa beliau berkata: “Wahai Rasulallah, aku melihatmu masih tetap muda.” Nabi saw. menjawab: “Yang membuatku tetap muda adalah surah Huud dan saudaranya [yaitu al-Waqi’ah, al-Haqqah, at-Takwir, al-Ma’arij: pen]
Ad-Daruquthni berkata: “Hadits ini mudltharib, karena diriwayatkan hanya melalui jalur Abu Ishak. Hadits ini diperselisihkan sekitar sepuluh aspek. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa riwayatnya mursal, ada juga yang mengatakan maushul, ada yang katanya diambil dari musnad Abu Bakar, ada yang dari musnad Sa’ad, dari musnad Aisyah, dan lain-lain. Para perawi haditsnya tsiqah, tidak mungkin dilakukan tarjih satu sama lain, juga tidak mungkin kompromi [jama’].
b. Mudltharib matan. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Syarik dari Abi Hamzah dari as-Sya’bi dari Fathimah binti Qais ra. yang berkata: Kepada Rasulullah saw. ditanya mengenai zakat’. Maka jawabannya: “Sesungguhnya pada harta itu terdapat hak selain zakat.”
Dari Ibnu Majah diriwayatkan dengan lafadz: “Tidak ada hak di dalam harta itu selain zakat.”
Al-‘Iraqi berkata: “Hadits ini idlthirab, dan tidak dapat ditakwil.”

5. Pada siapa terjadinya idlthirab?
a. Idlthirab bisa terjadi pada seorang rawi, karena dia meriwayatkan hadits melalui sisi yang berbeda-beda.
b. Bisa juga idlthirab itu pada sekelompok orang, karena masing-masing dari mereka meriwayatkan hadits yang aspek periwayatannya berbeda-beda dengan yang lainnya.

6. Penyebab lemahnya mudltharib
Penyebab lemahnya mudltharib dapat dirasakan dengan tidak adanya rawi dlabith.

7. Kitab yang populer
Kitab al-Muqtarib fii Bayani al-Mudltharib, karya Hafidh Ibnu Hajar

Hadits Al-Mazid fii Muttashil al-Asanid

11 Jun

‘Ulumul Hadits; ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi:
a. Menurut bahasa: al-Mazid merupakan isim maf’ul dari kata az-ziyadah [tambahan]; kata muttashil merupakan lawan dari munqathi’ [terputus]; sedangkan asanid adalah bentuk jamak dari isnad.
b. Menurut istilah: bertambahnya rawi di tengah-tengah sanad yang secara dhahir sudah bersambung.

2. Contoh
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak yang berkata: Telah menuturkan kepada kami Sufyan dari Abdurrahman bin Yazid, telah menuturkan kepadaku Yusr bin Ubaidillah, yang berkata aku mendengar Abu Idris berkata, aku mendengar Watsilah mengatakan, aku mendengar Abu Martsad mengatakan, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah kalian shalat [menghadap] kuburan.”
Keterangan: HR muslim. Bab Jenazah, juz vii/38. Tirmidzi juz iii/367. Masing-masing menambahkan Abu Idris dan membuang tambahannya.

3. Tambahan pada contoh di atas
Tambahan pada contoh di atas terdapat pada dua tempat. Yang pertama adalah lafadz Sufyan, dan yang kedua lafadz Abu Idris. Penyebab tambahan di dua tempat tersebut karena adanya persangkaan.
a. Tambahan Sufyan merupakan persangkaan dari orang-orang selain Ibnu Mubarak, karena terdapat sejumlah rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits itu dari Ibnu Mubarak dari Abdurrahman bin Yazid. Dari mereka ada yang memberi penjelasan berupa ikhbar [pemberitahuan].
b. Tambahan Abu Idris merupakan persangkaan dari Ibnu Mubarak, karena terdapat sejumlah rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits itu dari Abdurrahman bin Yazid, akan tetapi tidak menyebut Abu Idris. Dari mereka ada yang menegaskannya berdasarkan pendengaran Busr dan Watsilah.

4. Syarat ditolaknya tambahan.
Untuk menolak tambahan dan dianggapnya sebagai persangkaan, diisyaratkan dua hal, yaitu:
a. Jika rawi yang tidak mengalami penambahan lebih cermat [mutqin] tingkatannya dari yang menambahnya.
b. Harus ada penjelasan dalam bentuk as-sima’ [mendengar] pada tempat yang ditambahkan.
Jika kedua syarat atau salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka tambahannya diunggulkan [diprioritaskan] dan dapat diterima; dan sanad yang hilang dari tambahan tadi dianggap munqathi’ [terputus], akan tetapi terputusnya itu tersembunyi. Inilah yang dinamakan dengan hadits mursal khafi.

5. Respon yang dilakukan terhadap adanya tambahan.
a. Jika sanadnya sepi dari tambahan kata ‘an [dari] pada tempat tambahan, maka haditsnya adalah munqathi’
b. Jika dalam sanadnya menegaskan adanya bentuk as-sima’ [mendengar]; mengandung arti mendengarnya dari rawi yang pertama, kemudian mendengar darinya secara langsung. Terhadap hal ini terdapat jawaban: i) jika menyangkut tanggapan yang pertama, maka seperti yang dikatakan oleh si penanggap; ii) jika menyangkut tanggapan kedua, maka ada kemungkinan memang disebutkan di dalamnya, tetapi para ulama tidak menetapkannya sebagai tambahan, karena hal itu persangkaan, kecuali disertai indikasi [qarinah] yang menunjukkannya.

6. Kitab yang populer
Kitab Tamyiz al-Mazid fii Muttashili al-Asanid, karya Khathib al-Baghdadi

Hadits Maqlub

11 Jun

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi
a. Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata al-Qalbu, yang berarti memalingkan sesuatu dari arahnya
b. Menurut istilah: menukar lafadz dengan lafadz lain pada sanad hadits atau pada matan hadits, dengan cara mendahulukan, mengakhirkan atau yang sejenisnya.

2. Pembagian hadits Maqlub
a. Maqlub Sanad: penukaran hadits yang terjadi pada sanad, yang mempunyai dua bentuk:
i. Rawi mengedepankan dan mengakhirkan nama salah seorang rawi dan nama bapaknya. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ka’ab bin Murrah, namun rawi meriwayatkannya dari Murrah bin Ka’ab
ii. Rawi menukar seseorang dengan nama lainnya dengan maksud untuk mengasingkannya. Seperti hadits masyhur dari Salim, namun rawi menukarnya dari Nafi’.
Di antara para perawi yang melakukan hal itu adalah Hammad bin Amru an-Nashibi. Contohnya: hadits yang diriwayatkan Hammad bin Amru an-Nashibi dari al-A’masy dari Abi Shaleh dari Abi Hurairah secara marfu’: “Jika kalian bertemu dengan orang-orang musyrik di jalan, janganlah kalian memberi salam.”
Hadits ini maqlub, ditukar oleh Hammad dan menjadikannya dari al-A’masy. Padahal, yang terkenal adalah dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah. Begitulah yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.
Jenis penukaran seperti ini, rawinya dinamakan sebagai pencuri hadits.
b. Maqlub Matan: penukaran hadits yang terjadi pada matan, yang juga mempunyai dua bentuk:
i. Rawi mengedepankan dan mengakhirkan sebagian matan hadits. Contoh: hadits Abu Hurairah yang memaparkan tentang seorang muslim yang akan dilindungi Allah pada hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, di dalamnya terdapat: “Dan seseorang yang memberikan sedekah secara sembunyi-sembunyi, sampai-sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kirinya.” Ini adalah contoh hadits maqlub yang ditukar oleh sebagian rawi; yang benar adalah: “Sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”
ii. Rawi menempatkan matan suatu hadits kepada sanad [hadits] lain, dan menempatkan sanadnya terhadap matan hadits lain. Hal ini dimaksudkan untuk menguji atau semacamnya. Contohnya adalah apa yang dilakukan penduduk Baghdad terhadap Imam Bukhari. Mereka telah menukar seratus hadits, lalu mereka bertanya kepada Imam Bukhari untuk menguji hafalannya. Beliau mengembalikan [sanad dan matan] hadits-hadits tersebut seperti semula, dan tidak ada kekeliruan satu hadits pun.

3. Penyebab yang membawa pada penukaran
Ada beberapa sebab yang menjadikan perawi hadits melakukan penukaran, yaitu:
a. Dimaksudkan untuk mengasingkan, agar masyarakat suka terhadap haditsnya dan mengambil haditsnya.
b. Dimaksudkan untuk menguji dan memperkuat hafalan hadits serta menyempurnakan kedlabitan.
c. Terdapat kesalahan atau kekeliruan yang tidak disengaja.

4. Hukum hadits maqlub
a. Jika penukarannya dimaksudkan untuk mengasingkan, tidak diragukan lagi hal itu tidak dibolehkan; karena hal itu sama saja dengan merubah hadits. Ini juga menjadi kelakuan para pembuat hadits palsu.
b. Jika penukarannya dimaksudkan untuk menguji, maka dibolehkan, untuk memperkuat hafalan ahli hadits dan kelayakannya. Tetapi disyaratkan untuk menjelaskan yang shahihnya sebelum majelisnya berakhir.
c. Jika penukarannya karena kekeliruan atau lupa, maka tidak diragukan lagi pelakunya sudah udzur dengan kekeliruan itu. Namun, jika hal itu seringkali dilakukan, berarti ia telah hilah kedlabitannya, dan menjadi dla’if.
Hadits maqlub itu merupakan salah satu jenis hadits dla’if dan mardud [tertolak], sebagaimana telah dimaklumi.

5. Kitab yang populer
Yaitu kitab Rafi’ul al-Irtiyab fii al-Maqlub min al-Asmai wa al-Alqab; karya Khatib al-Baghdadi. Dari judul kitabnya terlihat bahwa beliau hanya membahas maqlub sanad saja.

Hadits Mudraj

27 Mei

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadits; DR.Mahmud Thahan

1. Definisi
a. Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata adrajtu, yang berarti aku memasukkan sesuatu pada sesuatu yang lain.
b. Menurut istilah: hadits yang dirubah susunan sanadnya, atau matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa ada pemisah.

2. Jenis-jenis hadits Mudraj
Hadits mudraj terdiri dari dua macam: mudraj isnad dan mudraj matan
a. Mudraj isnad.
1) Definisi: hadits yang dirubah susunan sanadnya
2) Bentuknya: seorang rawi menyusun suatu sanad, terhadapnya dilontarkan sanad lain. Lalu si rawi mengucapkan kata-kata yang merupakan pernyataannya sendiri; tetapi sebagian orang yang mendengarnya menduga bahwa pernyataannya itu merupakan matan hadits. Kemudian hal itu diriwayatkan dalam bentuk seperti itu darinya.
3) Contoh: Kisah Tsabit bin Musa az-Zahid dalam riwayatnya: “Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya manjadi indah.”
Kisahnya bermula bahwa Tsabit bin Musa masuk ke [ruangan] Syaikh bin Abdullah al-Qadli, sementara Syarik tengah mendiktekan sesuatu, dan berkata: “Telah bercerita kepada kami al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir, yang berkata: Rasulullah tatkala ia melihat Tsabit, ia berkata: ‘Barangsiapa memperbanyak shalatnya di malam hari, maka pada siang hari wajahnya menjadi indah.’ Hal itu ditujukan kepada Tsabit karena kejuhudan dan sikap wara’nya, namun Tsabit mengira bahwa hal itu merupakan matan hadits. Lalu iapun menceritakannya.
b. Mudraj Matan.
1. Definisi: hadits yang matannya dimasuki sesuatu yang bukan menjadi bagiannya, tanpa pemisah.
2. Jenisnya ada tiga macam:
a. Idrajnya dilakukan pada awal [matan] hadits. Kasus ini sangat sedikit, karena yang terbanyak justru di bagian tengah.
b. Idrajnya dilakukan pada bagian tengah hadits. Ini lebih sedikit dari yang pertama.
c. Idrajnya dilakukan pada bagian akhir hadits. Ini yang paling banyak.

3. Contoh
a. Contoh idraj pada bagian awal hadits: penyebabnya karena si rawi mengucapkan suatu perkataan yang dimaksudkan untuk menunjukkan [menerangkan] hadits tersebut, tetapi ucapannya itu tanpa ada [tanda] pemisah. Lalu orang yang mendengarnya mengira hal itu termasuk bagian dari hadits. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan al-Khathib melalui riwayat Abu Quthn dan Syababah –beliau memisahkan keduanya- dari Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah, yang berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sempurnakanlah wudlu kalian, karena kecelakaan [berupa api neraka] bagi tumit kalian [yang tidak terkena air wudlu].
Kalimat: sempurnakanlah wudlu kalian; merupakan mudraj, yaitu perkataan Abu Hurairah yang tersusupkan. Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah, yang berkata: “Sempurnakanlah wudlu kalian, karena Aba al-Qasim saw. bersabda: “Kecelakaan [berupa api neraka] bagi tumit kalian [yang tidak terkena air wudlu].”
Al-Khathib berkata: “Abu Qathn dan Syababah bersikap ragu dalam meriwayatkan kepadanya dari Syu’bah, al-Khathib menggabungkan riwayat seperti riwayat [tentang] Adam.”

b. Contoh idraj di pertengahan hadits: yaitu hadits ‘Aisyah tentang permulaan wahyu: “Nabi saw. melakukan tahannuts [menyepi] di gua Hira –beliau beribadah- beberapa malam.”
Disini terdapat perkataan: wa Huwa ta’abbud (beliau beribadah), ini meupakan mudraj dari perkataannya az-Zuhri.

c. Contoh idraj pada bagian akhir hadits: hadits Abu Hurairah secara marfu’: “Bagi hamba sahaya yang dimiliki ada dua pahala. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya jihad fii sabilillah, menunaikan haji dan berbuat baik terhadap ibuku itu tidak dilakukan, aku lebih menyukai mati dan aku dalam kondisi sebagai hamba sahaya.”
Perkataan: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,…. merupakan ucapan Abu Hurairah. Sebab tidak mungkin hal itu berasal dari ucapan Nabi saw. karena tidak mungkin beliau berandai-andai sebagai budak, lagipula ibunya sudah tidak ada meskipun beliau berbuat baik kepadanya.

4. Tuntutan idraj
Idraj dilakukan karena adanya tuntutan yang bermacam-macam, yang populer diantaranya:
a. Untuk menjelaskan hukum syara
b. Melakukan istimbath hukum syar’i dari hadits tersebu sebelum haditsnya sempurna [diucapkan atau ditulis]
c. Untuk menjelaskan lafadz-lafadz yang asing di dalam hadits

5. Cara mengetahui hadits Mudraj
a. Terdapat hadits [yang terpisah] dalam riwayat lain
b. Adanya penetapan terhadap hadits tersebut dari sebagian imam dan pakar
c. Pengakuan rawi itu sendiri bahwa diia telah menyusupkan perkataan
d. Kemustahilan bahwa hal itu merupakan ucapan Rasulullah saw.

6. Hukum hadits Mudraj
Menurut kesepakatan ulama dari kalangan ahli hadits, fuqaha dan selain mereka, idraj itu tidak boleh dilakukan. Pengecualiannya hanya untuk menafsirkan lafadz-lafadz hadits yang asing, hal ini tidak dilarang. Karena itu az-Zuhri dan imam-imam lain telah melakukannya.

7. Kitab Hadits Mudraj yang Populer
a. Al-Fashlu li al-Washil al-Mudraj fi an-Naqli, karya al-Khathib al Baghdadi
b. Taqrib al-Manhaj bi Tartib al-Mudraj, karya Ibnu Hajar. Kitab ini adalah ringkasan dari kitabnya al-Khathib, dan diberi tambahan oleh penyusunny.