Tag Archives: ilmu

Ruang Lingkup Naskh

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita [khabar] yang bermakna amar [perintah] atau nahy [larangan], jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan aqidah, yang berfokus pada Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.

Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok [ushul] semua syariat adalah sama. Firman Allah yang artinya:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (al-Baqarah: 183)

“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,” (al-Hajj: 27)

Dalam hal qiyas Dia berfirman yang artinya:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,” (al-Ma’idah: 45)

Dalam hal jihad Dia berfirman yang artinya:
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.” (Ali ‘Imraan: 146)

Mengenai akhlak Dia berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18)

Nasikh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab [tuntutan, perintah, atau larangan], seperti janji [al-wa’d] dan ancaman [al-wa’id].

&

Pengertian Naskh dan Syarat-Syaratnya

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izaalah [menghilangkan]. Misalnya: nasakhatisy syamsudh dhalla (“matahari menghilangkan bayang-bayang”) dan: wa nasakhatir riihu atsral masy-yi (“angin menghilangkan jejak perjalanan”).

Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasakhtul kitaaba (“saya memindahkan [menyalin] apa yang ada di dalam buku.”) di dalam al-Qur’an dinyatakan: innaa kunnaa nastansikhu maa kuntum ta’maluun (al-Jaatsiyah: 29). Maksudnya: Kami memindahkan [mencatat] amal perbuatan ke dalam lembaran [catatan amal].

Menurut istilah, naskh ialah mengangkat [menghapuskan] hukum syara’ dengan dalil hukum [khitab] syara’ yang lain. Dengan pengkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian nasikh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal [al-baraa’ah al asliyah]. Dan kata-kata “dengan khitab syara” mengecualikan pengangkatan [penghapusan] hukum disebabkan mati atau gila atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

Kata naasikh [yang menghapus] dapat diartikan dengan “Allah”, seperti terlihat dalam : maa nansakh min aayatin (al-Baqarah: 106) dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui, seperti kata: HaadziHil aayatu naasikhatanil aayati kadzaa (“ayat ini menghapus ayat anu”) dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.

Mansuukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawarits atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan [naasikh] hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat [mansuukh] sebagaimana akan dijelaskan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat [dibatasi] dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

Makki bin Hamusy berkata: Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas waktu tertentu, seperti firman Allah: fa’fuu wash-fahuu hattaa ya’tiyallaaHu bi amriHi (“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya”) (al-Baqarah: 109) adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.

&

Kadar Kemukjizatan al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan al-Qur’an, bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap surahnya secara lengkap.

2. Sebagian ulama berpendapat, sebagian kecil atau sebagian besar al-Qur’an, tanpa satu surah penuh, juga merupakan mukjizat, berdasarkan firman Allah:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal al-Qur’an…” (at-Tuur: 34)

3. Ulama yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat atau beberapa ayat.

Memang, al-Qur’an telah mengajukan tantangan agar didatangkan sesuatu yang sama persis dengan al-Qur’an; dengan keseluruhannya [al-Israa’: 88], dengan sepuluh surah (Huud: 13), dengan satu surah (Yunus: 38), dan dengan suatu pembicaraan seperti al-Qur’an (at-Thuur: 34)

Namun demikian, kita tidak berpendapat, kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surah-surahnya. Al-Qur’an adalah Kalamullah. Ini saja sudah cukup.

Adapun mengenai segi atau kadar manakah yang mukjizat itu, maka jika seorang penyelidik yang obyektif dan mencari kebenaran memperhatikan al-Qur’an dari aspek manapun yang ia sukai, segi uslubnya, segi ilmu pengetahuannya, segi pengaruh yang ditimbulkannya di dalam dunia dan wajah sejarah yang diubahnya atau semua segi tersebut, tentu kemukjizatan itu ia dapatkan dengan jelas dan terang.

&

Aspek-Aspek Kemukjizatan al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kelahiran ilmu kalam di dalam Islam mempunyai implikasi yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai kalam di dalam kalam. Percikan pemikiran yang ada di dalamnya menarik pengikutnya ke dalam kerancuan pemikiran yang tumpang tindih, sebagaimana berada di atas sebagian yang lain. Tragedi tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan kemakhlukan al-Qur’an. Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizatan al-Qur’an pun berbeda-beda dan beragam.

1. Abu Ishaq Ibrahim an-Nizaam dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara sirfah [pemalingan]. Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam ialah, bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang al-Qur’an. Padahal, sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa [mukjizat]. Sedang sirfah menurut pandangan al-Murtada ialah bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat seperti al-Qur’an.

Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya itu sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan [mu’jiz] adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian al-Qur’an bukan mukjizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemukjizatan al-Qur’an, bukan kemukjizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.

Berkata Qadi Abu Bakar al-Baqalani: “Salah satu hal yang membatalkan pendapat sirfah ialah, kalaulah menandingi al-Qur’an itu mungkin tetapi mereka dihalangi oleh sirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan sirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.”

Pendapat tentang sirfah ini batil dan ditolak oleh al-Qur’an sendiri dalam firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (al-Israa’: 88)

Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kemampuan. Dan seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan orang-orang mati. Sedang kelemahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut disebut-sebut.

2. Satu golongan ulama berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat dengan balaghahnya, yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.

3. Sebagian mereka berpendapat, segi kemukjizatan al-Qur’an itu ialah karena ia mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal perkataan orang Arab, seperti faasilah dan maqta.

4. Golongan lain berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab. Misalnya firman Allah tentang penduduk Badar:

“Golongan itu pasti dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar: 45)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya.” (al-Fath: 27)

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.” (an-Nuur: 55)

“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (ar-Ruum: 1-3)

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadanya [Muhammad]; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini.” (Huud: 49) dan kisah-kisah orang-orang terdahulu lainnya.

Pendapat golongan ini tidak dapat diterima [mardud], sebab ia menuntut ayat-ayat yang tidak mengandung berita tentang hal-hal ghaib yang akan datang dan yang telah lalu, tidak mengandung mukjizat. Dan ini adalah bathil, sebab Allah telah menjadikan setiap surah sebagai mukjizat tersendiri.

5. Satu golongan berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek kemukjizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana telah dihimpun oleh sebagian ulama, mencapai sepuluh aspek atau lebih. Padalah hakekatnya al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan dikandung oleh lafadz-lafadznya.

Ia mukjizat dalam lafadz-lafadz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada di tempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata. Satu kata yang berada di tempatnya juga merupakan mukjizat dalam ikatan kalimat. Dan satu kalimat yang ada di tempatnya pun merupakan mukjizat dalam jalinan surahl

Ia mukjizat dalam hal bayaan [penjelasan, retorika] dan nazam [jalinan]-nya. Di dalamnya seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup bagi kehidupan, alam dan manusia. Ia adalah mukjizat dalam makna-maknanya yang telah menyingkapkan tabir hakekat kemanusiaan dan misinya di dalam kosmos ini.

Ia mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar hakekatnya yang ghaib telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.

Ia adalah mukjizat dalam tasyri’ dan pemeliharaannya terhadap hak-hak asasi manusia serta dalam pembentukan masyarakat teladan yang di tangannya dunia akan berbahagia.

Al-Qur’an, seluruhnya, itulah yang membuat orang Arab yang semula hanya penggembala domba dan kambing, menjadi pemimpin bangsa-bangsa dan panutan umat. Dan ini saja cukup menjadi bukti mukjizat.

Berkata al-Khattabi dalam kitabnya:

Maka dapat disimpulkan dari keterangan tersebut bahwa al-Qur’an itu mukjizat karena ia datang dengan lafadz-lafadz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah dan mengandung makna-makna yang paling valid, sahih, seperti peng-Esa-an Allah, penyucian sifat-sifat-Nya, ajakan taat kepada-Nya, penjelasan cara ibadah kepada-Nya, dengan menerangkan hal yang dihalalkan dan diharamkan, dilarang dan dibolehkan. Juga seperti nasehat dan bimbingan, amar makruf, nahi munkar, serta bimbingan akhlak yang baik dan larangan dari akhlak buruk.

Semua hal di atas diletakkan pada tempatnya masing-masing sehingga tidak tampak ada sesuatu lain yang lebih baik daripadanya, dan tidak bisa dibayangkan dalam imajinasi akal ada sesuatu lain yang lebih pantas daripadanya.

Di samping itu, ia juga memuat berita tentang sejarah manusia di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang-orang yang durhaka dan menentangnya di antara mereka.

Juga ia menceritakan tentang realitas-realitas yang akan terjadi jauh sebelum terjadi, mengemukakan secara lengkap argumentasi dan hal yang diberi argumentasi, dalil atau bukti dan hal yang dibuktikannya, agar dengan demikian ia lebih kuat, mantap, dalam menetapkan kewajiban dan diperintahkannya dan larangan yang dicegahnya, sebagaimana diserukan dan diberitakannya.

Jelaslah bahwa mendatangkan hal-hal seperti itu lengkap dengan berbagai ragamnya hingga tersusun rapi dan teratur, merupakan sesuatu yang tidak ditanggapi kekuatan manusia dan di luar jangkauan kemampuannya. Dengan demikian, sia-sialah makhluk di hadapannya dan menjadi lemah, tidak mampu, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.

&

Turunnya al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasul kita, Muhammad saw. untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.

Turunnya al-Qur’an pertama kali pada malam Lailatul Qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad saw. Umat ini telah dimuliakan dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.

Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahab, berbeda dengan kitab-kitab yang turun sebelumnya, sangat mengagetkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia hikmah ilahi yang ada di balik itu.

Rasulullah saw. tidak menerima risalah agung ini sekaligus, dan kaumnya pun tidak pula puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. oleh karena itu wahyu pun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasulullah saw. dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.

&

Manfaat Pembahasan Mengenai Ayat yang Turun Pertama dan Terakhir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pengetahuan mengenai ayat-ayat yang pertama kali dan terakhir kali diturunkan itu mempunyai banyak manfaat, yang terpenting di antaranya:

1. Menjelaskan perhatian yang diperoleh al-Qur’an guna menjaganya dan menentukan ayat-ayatnya. Para shahabat telah menghayati al-Qur’an ini ayat demi ayat. Sehingga mereka mengerti kapan dan dimana ayat itu diturunkan. Mereka telah menerima dari Rasulullah saw. ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau dengan sepenuh hati, hati-hati dan percaya bahwa al-Qur’an adalah dasar agama, penggerak iman dan sumber kemuliaan serta kehormatannya.

Dan ini membawa pada akibat positif yaitu bahwa al-Qur’an selamat dari perubahan dan kekacauan. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan Kami pulalah yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)

2. Mengetahui rahasia perundang-undangan Islam menurut sejarah sumbernya yang pokok. Ayat-ayat al-Qur’an dapat mengatasi persoalan kejiwaan manusia dengan petunjuk ilahi, dan mengantarkannya dengan cara-cara yang bijaksana dan menempatkan mereka ke tingkat kesempurnaan. Ia dapat bertahan dalam menetapkan hukum-hukum, sehingga dengan demikian cara hidup mereka menjadi benar dan urusan masyarakat berada pada jalan yang lurus.

3. Membedakan yang nasikh dan mansukh. Kadang terdapat dua ayat atau lebih dalam satu masalah, tetapi ketentuan hukum dalam satu ayat berbeda dengan ayat lain. Apabila diketahui mana yang pertama diturunkan dan mana yang kemudian, maka ketentuan hukum dalam ayat yang diturunkan kemudian menasakh [menghapus] ketentuan ayat yang diturunkan sebelumnya.

&

Pengetahuan Mengenai Ayat yang Turun Pertama dan Terakhir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Ungkapan bahwa Rasulullah saw. menerima al-Qur’an yang diturunkan kepadanya itu mengesankan suatu kekuatan yang dipegang seseorang dalam menggambarkan segala yang turun dari tempat yang lebih tinggi.

Hal ini karena tingginya kedudukan al-Qur’an dan agungnya ajaran-ajarannya yang dapat mengubah perjalanan hidup umat manusia, menghubungkan langit dan bumi, dan dunia dengan akhirat.

Pengetahuan mengenai sejarah perundang-undangan Islam dari sumber pertama dan pokok –yaitu al-Qur’an- akan memberikan kepada kita gambaran mengenai pentahapan hukum dan penyesuaiannya dengan keadaan temapt hukum itu diturunkan, tanpa adanya kontradiksi antara yang lalu dengan yang akan datang.

Hal demikian memerlukan pembahasan mengenai apa yang pertama kali turun dan apa yang terakhir turun. Demikian pula pembicaraan mengenai apa yang pertama kali dan yang teakhir kali turun itu memerlukan pembahasan mengenai segala perundang-undangan ajaran-ajaran Islam, seperti makanan, minuman, peperangan dan lain sebagainya.

Dalam hal apa yang pertama kali diturunkan dan apa yang terakhir kali, para ulama mempunyai banyak pendapat, yang akan diuraikan dalam bahasan berikutnya.

&

Syarat-Syarat dan Adab bagi Mufasir

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kajian ilmiah yang obyektif merupakan asas utama bagi pengetahuan yang valid yang memberikan kemanfaatan bagi para pencarinya, dan buahnya merupakan makanan yang lezat bagi santapan fikiran dan perkembangan akal.

Oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan hal yang mempunyai nilai tersendiri bagi kematangan buah kajiannya dan kemudahan memetiknya.

Kajian ilmu-ilmu syariat pada umumnya dan ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan dan mengetahui sejumlah syarat dan adab, agar dengan demikian jernihlah salurannya dan terpelihara keindahan wahyu dan keagungannya.

&

Asbabun Nuzul

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kepada tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-risalah-Nya. Juga memberikan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.

Sebagian besar al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para shahabat bersama Rasulullah saw. telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah saw. untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun nuzul.

&

Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Para penyelidik ilmu-ilmu al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbabun nuzul. Untuk menafsirkan al-Qur’an maka ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang ini. Yang terkenal di antaranya adalah Ali bin Madini, guru al-Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbaabun Nuzuul, kemudian al-Ja’bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambah sesuatu. Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul, satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh as-Suyuti, tetapi ia tidak dapat menemukan seluruhnya. Kemudian as-Suyuti yang mengatakan tentang dirinya: “Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum ada satu kitab pun dapat menyamainya. Kitab ini aku namakan Lubaabul Manquul fi ashaabin Nuzuul.”

&