Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq
Waktu shalat ‘isya bermula di waktu lenyapnya syafak merah dan berlangsung hingga seperdua malam. Dari ‘Aisyah ra. katanya: para shahabat melakukan shalat ‘Isya di antara terbenamnya mega merah sampai sepertiga malam yang pertama. telah bersabda Rasulullah saw.: “Kalau tidaklah akan memberatkan umatku, tentu kusuruh mereka mengundurkan ‘isya sampai sepertiga atau seperdua malam.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Turmudzi yang menyatakan sahnya)
Dan dari Abu Sa’id, katanya: Kami tunggu Rasulullah saw. pada suatu malam untuk melakukan shalat ‘Isya, hingga berlalu kira-kira sebagian malam.”
Ulasnya pula: “Maka Nabi pun datanglah dan shalat bersama kami, sabdanya: “Ambillah tempat dudukmu masing-masing walau orang-orang telah menempati tempat tidur mereka. dan kamu berarti dalam shalat semenjak saat menunggunya. Kalau bukanlah karena kedlaifan orang lemah, halangan dari orang yang sakit, serta keperluan dari orang yang berkepentingan, tentulah akan aku undurkan shalat ini hingga sebagian dari waktu malam.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, sedang isnadnya sah)
Demikian adalah waktu ikhtiar. Mengenai waktu jawaz dan darurat maka berlangsung hingga waktu fajar berdasarkan hadits Abu Qatadah: telah bersabda Rasulullah saw.: “Ketahuilah bahwa tidur itu tidaklah berarti lalai. Yang dikatakan lalai ialah orang yang masih belum shalat hingga datang waktu shalat lain.” (HR Muslim)
Dan hadits yang lain mengenai waktu-waktu shalat menunjukkan bahwa waktu masing-masing shalat itu berlangsung sampai masuknya waktu shalat lain kecuali shalat fajar karena ia tidak berlangsung hingga waktu Dhuhur. Para ulama telah ijma’ bahwa waktunya berakhir dengan terbitnya matahari.
Disunnahkan menta’khirkan shalat ‘isya dari awal waktunya. Yang lebih utama adalah mengundurkan shalat ‘isya sampai waktu ikhtiar, yaitu separuh malam berdasarkan hadits ‘Aisyah ra: Bahwa pada suatu malam Nabi saw. mengundurkan shalat ‘Isya hingga berlalu umumnya waktu malam, dan penghuni masjid pun telah pada tidur, kemudian keluar lalu melakukan shalat, dan sabdanya: “Sekarang waktu yang sesungguhnya, kalau tidaklah akan memberatkan umatku.” (HR Muslim dan Nasa’i)
Dan sebelumnya telah disebutkan hadits Abu Hurairah dalam hadits Abu Sa’id yang keduanya semakna dengan hadits Aisyah ini. Semua mengatakan disunnahkan dan lebih utama ta’khir shalat ‘isya, dan Nabi saw. pun menghentikan mengerjakannya terus menerus ialah karena memberatkan bagi umat.
Dan dalam hal ini Nabi saw. selalu memperhatikan keadaan makmum-makmum, maka kadang-kadang disegerakan, dan kadang-kadang dita’khirkannya.
Dari Jabir, katanya: Nabi saw. melakukan shalat Dhuhur itu ketika hari amat panas setelah tergelincir matahari, shalat ‘Ashar ketika matahari sedang bersih, shalat maghrib ketika matahari terbenam, shalat ‘Isya kadang-kadang diundurkan dan kadang-kadang dimajukannya. Bila telah dilihatnya orang-orang berkumpul maka disegerakannya, dan kalau dilihatnya mereka terlambat maka diundurkannya. Sedang shalat shubuh, mereka –atau Nabi saw.- melakukannya pada saat gelap akhir malam. (HR Bukhari dan Muslim)
Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya dan bercakap-cakap sesudahnya, karena hadits Abu Barzah al-Aslami: Bahwa Nabi saw. menyatakan sunah menta’khirkan ‘Isya yang biasa mereka sebut ‘Atmah, dan menyatakan makruh tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya.” (HR Jama’ah)
Dan diterima dari Ibnu Mas’ud: Rasulullah saw. menjawab kami bercakap-cakap setelah shalat ‘Isya.” (HR Ibnu Majah, katanya: “Menjawab maksudnya ialah mencela dan melarang.”)
Alasan dimakruhkannya tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya, ialah karena orang yang tidur bisa luput shalat sunahnya atau shalat berjamaah sebagaimana mengobrol setelahnya menyebabkan menghabiskan waktu dan menyia-nyiakan kesempatan.
Tetapi jika tidur itu ada yang membangunkan, atau bercakap-cakap guna memperbincangkan suatu hal yang bermanfaat, maka tidaklah dimakruhkan.
Dari Ibnu ‘Umar ra, katanya: “Adalah Rasulullah saw. juga bercakap-cakap pada malam itu di rumah Abu Bakar membicarakan salah satu urusan kaum muslimin, dan ketika itu saya ikut bersamanya.” (HR Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan)
Dan dari Ibnu ‘Abbas, katanya: “Saya bermalam di rumah Maimunah pada malam Rasulullah saw. bergilir di sana, untuk mempelajari tata cara shalatnya di waktu malam. Maka saya lihat Nabi saw. bercakap-cakap dengan keluarganya sebentar, kemudian baru pergi tidur.” (HR Muslim)
&
Tag:agama, alquran, ‘Isya, bahasa indonesia, fiqh, fiqih, hadits, ilmu fiqih, imam, islam, madzab, Nabi, religion, shalat, sunah, sunnah, Waktu