Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Semua ulama madzab sepakat mengenai disunnahkannya memperbanyak mengingat kematian, dan disukai bagi orang yang berharta atau memiliki sesuatu yang perlu diwasiatkan, supaya mewasiatkannya ketika masih sehat. Terlebih lagi ketika sakit. Merekapun sepakat bahwa apabila kematian seseorang telah diyakini, hendaknya diarahkan mukanya ke arah kiblat.
Menurut pendapat Maliki yang masyhur, Syafi’i dan Hambali: anak Adam tidaklah menjadi najis karena kematiannya. Sedangkan Hanafi berpendapat: anak Adam menjadi najis karena kematiannya. Oleh karena itu setelah dimandikan barulah ia menjadi suci. Ini juga salah satu qaul Syafi’i dan satu riwayat dari Hambali.
Para imam madzab berpendapat bahwa biaya perawatan jenazah diambil dari harta peninggalannnya dan harus didahulukan atas utangnya. Diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berpendapat: jika hartanya banyak, maka diambilkan dari hartanya. Sedangkan jika hartanya sedikit, maka diambilkan dari sepertiganya.
Empat imam madzab sepakat bahwa memandikan jenazah hukumnya fardlu kifayah. Hanafi, Maliki berpendapat: memandikannya dalam keadaan telanjang lebih utama asalkan tertutup auratnya. Sedangkan pendapat Syafi’i dan Hambali: yang lebih utama adalah dalam keadaan memakai gamis. Lebih utama lagi menurut Syafi’i: memandikan langsung di bawah langit (tanpa atap). Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah memandikannya di bawah atap.
Memandikannya dengan air dingin adalah lebih utama (daripada dengan air hangat) kecuali pada hari yang sangat dingin jika pada tubuhnya terdapat banyak kotoran. Sedangkan Hanafi berpendapat: lebih diutamakan memandikan jenazah dengan air hangat.
Empat imam sepakat tentang bolehnya memandikan jenazah suami oleh istri. Akan tetapi apakah suami boleh memandikan jenazah istrinya? Dalam hal ini Hanafi berpendapat: tidak boleh, sedangkan imam lainnya berpendapat boleh.
Apabila seorang perempuan meninggal dan tidak ada orang lain selain laki-laki bukan muhrimnya, atau sebaliknya, maka menurut Hanafi dan Maliki dan pendapat yang paling shahih dari Syafi’i: hendaknya keduanya ditayamumkan. Sementara itu dari Hambali diperoleh dua riwayat, salah satunya: ditayamumkan.
Orang yang memandikannya harus melapisi kedua tangannya dengan sarung tangan. Ini adalah pendapat lain dari Syafi’i. Al-Awza’i berpendapat: dimakamkan tanpa dimandikan dan tidak ditayamumkan.
Menurut tiga imam madzab, orang Islam boleh memandikan kerabatnya yang kafir. Menurut maliki: tidak boleh.
Dimustahabkan memandikan jenazah itu, mewudlukannya, menyikat gigi-giginya, memasukkan jari-jarinya ke dalam lubang hidung serta telinganya, dan membersihkan keduanya. menurut Hanafi: hal demikian mustahab.
Jiga janggutnya tebal, hendaknya disisir dengan sisir yang bergigi jarang dan perlahan-lahan. Hanafi berpendapat: tidak perlu dilakukan hal itu.
Jika jenazah yang dimandikan adalah perempuan, hendaknya dijalin rambutnya menjadi tiga jalinan dan diletakkan ke belakang. Hanafi berpendapat: dibiarkan saja seperti keadaannya semula tanpa dijalin.
Perempuan hamil apabila meninggal, sedangkan dalam perutnya ada janin yang masih hidup, maka ia harus dibedah perutnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i. Hambali berpendapat: tidak boleh dibedah. Dari Maliki diperoleh dua keterangan yaitu seperti kedua pendapat di atas.
Para imam madzab sepakat bahwa anak yang meninggal karena keguguran, apabila umurnya belum sampai empat bulan, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan jika ia lahir sesudah umur empat bulan, maka menurut Hanafi: jika terdapat petunjuk atas kehidupannya seperti bersin, bergerak dan menghisap, hendaknya dimandikan dan dishalatkan. Pendapat Maliki juga demikian namun ia mensyaratkan dalam bergerak harus nyata dan lama sehingga meyakinkan kalau ia lahir dalam keadaan hidup. Menurut Syafi’i: hendaknya dimandikan. Apakah dishlatkan juga? Dalam hal ini ada dua pendapat: dalam qaul jadid, adalah tidak dishalatkan selama tidak tampak tanda-tanda kehidupan, seperti bergerak. Adapun menurut Hambali: dimandikan dan dishalatkan.
Mereka sepakat bahwa bayi yang dilahirkan kemudian menangis, maka disamakan hukumnya dengan orang dewasa. Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair bahwa ia tidak menshalatkan jenazah anak kecil kecuali jika sudah baligh.
Menurut pendapat Syafi’i yang shahih, niat bagi orang yang memandikan mayat tidak wajib, demikian juga menurut Hanafi. Menurut Maliki: wajib.
Apabila sesuatu keluar dair tubuh mayat sesudah ia dimandikan, wajib dihilangkan saja. demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Juga demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Sedangkan Hambali: wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.
Apakah dibolehkan mencabut bulu ketiaknya, mencukur bulu kemaluannya, atau mencukur rambut? Dalam masalah ini pendapat Hanafi dan Maliki: hal demikian tidak dimakruhkan. Hambali: tidak apa-apa. Adapun Syafi’i ada dua pendapat: dalam qaul jadid: tidak apa-apa jika jenazah itu bukan orang yang sedang berihram haji. Sedangkan dalam qaul qadim: makruh, dan ini yang dipilih.
Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang mati syahid, yakni orang yang mati dalam pertempuran melawan orang kafir, tidak dimandikan. Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia dishalatkan atau tidak? Menurut Hanafi dan Hambali dalam suatu riwayat: dishalatkan. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lain: tidak dishalatkan karena sudah tidak memerlukan penolong lagi.
Para imam madzab sepakat bahwa perempuan mati dalam keadaan nifas harus dimandikan dan dishalatkan. Menurut pendapat tiga imam, orang yang terinjak-injak binatang dalam suatu pertempuran, terjatuh dari kuda, atau terkena senjata sendiri, kemudian mati di medan pertempuran melawan orang musyrik, maka ia dimandikan dan dishalatkan. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dimandikan dan dishalatkan.
Empat imam sepakat bahwa wajib hukumnya memandikan mayat hingga bersih, disunnahkan mengganjilkan bilangannya, dengan air hendaknya dicampur dengan daun bidara serta pada tahab terakhir dengan kapur barus.
Hanafi dan Hambali berpendapat: dimustahabkan setiap kali membasuh, airnya dicampur dengan daun bidara. Maliki dan Syafi’i berpendapat: tidak dimustahabkan, kecuali satu kali saja.
Menurut kesepakatan empat imam madzab, mengkafani mayat wajib hukumnya, serta harus didahulukan keperluan ini daripada membayar utang dan membagi harta warisan. Sekurang-kurangnya kafan itu sehelai kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayat. Menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali: mustahab mengkafani mayat laki-laki dengan tiga lapis kain. Hanafi: boleh dengan sarung, selendang dan gamis.
Disunnahkan kain kafan berwarna putih. Sedangkan untuk mayat perempuan dimustahabkan rangkap lima, yaitu baju kurung, kain sarung, selimut, kerudung dan lapis kelima dipergunakan untuk mengikat dua pahanya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: itulah yang lebih utama, jika hanya tiga lapis maka kerudung diletakkan di atas gamis di bawah selimut badan. Maliki berpendapat: tidak ada batasan bagi kain kafan itu. Tetapi yang wajib adalah menutup aurat.
Menurut Syafi’i dan Hambali, makruh mengkafani mayat perempuan dengan kain kumkuma (sejenis batik) dan sutera. Hanafi: tidak makruh.
Jika istri mempunyai harta, maka ia dikafani dengan kain hasil pembelian hartanya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan jika ia tidak mempunyai harta, menurut Maliki, hal ini menjadi kewajiban suaminya. Muhammad berpendapat: diambilkan dari baitul mal, sebagaimana jika suami melarat maka diambilkan dari baitul mal. Pendapat ini disepakati oleh para ulama. Hambali berpendapat: suami tidak wajib membiayai kafan istrinya. Dalam hal ini pendapat Syafi’i: kain kafan diambilkan dari harta peninggalannya.
Jika peninggalannya tidak ada, menjadi tanggungan orang yang wajib memberikan nafkah, seperti kerabat dan suami. Atau, kalau mayat itu adalah budak maka ditanggung oleh tuannya. Demikian juga halnya suami, menurut pendapat yang shahih. Yang benar, menurut para ulama ahli tahqiq pengikut Syafi’i, kafan istri adalah tanggungan suami.
Orang yang meninggal ketika sedang ihram tidak boleh diberi wangi-wangian, tidak boleh dikafani dengan pakaian yanag berjahit dan tidak ditutup kepalanya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab. Diriwayatkan dari Hanafi bahwa ihramnya batal lantaran kematiannya. Oleh karena itu, ia boleh diperlakukan sebagai mayat pada umumnya.
Tidak dimakruhkan shalat jenazah dikerjakan pada tiap-tiap waktu. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan Hanafi dan Hambali berpendapat: makruh dikerjakan pada tiga waktu yang dimakruhkan. Maliki berpendapat: makruh dikerjakan ketika matahari terbit dan ketika matahari terbenam.
Menurut kesepakatan empat imam mandzab, shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid, menurut pendapat Syafi’i dan Hambali tidak dimakruhkan. Sedangkan menurut Hanafi dan maliki: makruh.
Dimakruhkan meratapi dan memanggil-manggil mayat. Menurut Hanafi tidak makruh.
Empat imam madzab berbeda pendapat tentang orang yang berhak mengimami shalat jenazah. Menurut Hanafi, Maliki dan Hambali dan pendapat Syafi’i dalam qaul qadim: penguasa lebih berhak, kemudian walinya. Hanafi berpendapat: yang lebih utama bagi walinya apabila penguasa tidak datang, adalah mengajukan seorang imam di kala hidupnya. Sedangkan menurut Syafi’ii dalam qaul jadid: yang kuat, walinya lebih berhak dari penguasa.
Adapun jika mayat pernah berwasiat kepada seseorang untuk menshalatkannya maka tidak ada yang lebih berhak di antara para walinya. Demikian menurut pendapat tiga imam. Sedangkan Hambali berpendapat: orang yang diberi wasiat itu didahulukan atas tiap-tiap wali. Maliki berpendapat: anak didahulukan atas ayah, saudara lebih utama daripada kakek, dan anak laki-laki lebih utama daripada suami walaupun ayah si anak sendiri. Hanafi berpendapat: suami tidak mempunyai kekuasaan apa pun, dan makruh mendahulukan anak atas bapaknya.
Di antara syarat-syarat sahnya shalat jenazah adalah suci dan menutup aurat. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab. Asy-Sya’bi dan Muhammad bin Jarir ath-Thabari berpendapat: dibolehkan shalat jenazah tanpa bersuci.
Menurut pendpat Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, dalam shalat jenazah imam berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki dan di sisi pinggang jenazah perempuan. Maliki berpendapat: jika jenazah itu laki-laki, imam berdiri di sisi dadanya. Sedangkan jika jenazah perempuan, imam berdiridi samping pinggangnya.
Takbir dalam shalat jenazah ada empat kali. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin: Tiga kali takbir. Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman: lima kali takbir. Ibnu Mas’ud ra berpendapat: Rasulullah saw. pernah bertakbir dalam shalat jenazah sembilan kali, pernah tujuh kali, permah lima kali, dan pernah juga empat kali. Oleh karena itu, bertakbirlah sebanyak imam takbir.
Jika takbir itu lebih dari empat kali maka tidak membatalkan shalat jenazah. Jika seseorang shalat di belakang imam, lalu imam menambah takbirnya lebih dari empat kali, maka makmum tidak boleh mengikuti tambahan tersebut. Hambali membolehkan mengikutinya sampai tujuh kali takbir.
Menurut pendapat madzab Syafi’i, dalam semua takbir itu disertai mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak. Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak mengangkat kedua tangan kecuali dalam takbir pertama.
Menurut pendpat Imam Syafi’i dan Hambali, membaca surah al-fatihah setelah takbir pertama hukumnya adalah fardlu. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak ada suatu ayatpun dari al-Qur’an dalam shalat jenazah.
Menurut pendapat tiga imam madzab, salam dalam shalat jenazah adalah dua kali. Sedangkan Hambali berpendapat: sekali salam saja, yaitu ke sebelah kanan.
Orang yang datang terlambat hingga ketinggalan sebagian shalat imam, hendaknya ia langsung memulai shalat, tidak perlu menunggu takbir imam. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: hendaknya ia menanti takbir imam agar dapat bertakbir bersama-sama.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat.
Orang yang tidak sempat shalat jenazah sebelum jenazah dikuburkan, hendaknya ia mengerjakan di atas kuburan. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
Sampai kapan boleh menshalatkanya? Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’i. ada yang berpendapat satu bulan, demikian pula pendapat Hambali. Ada yang berpendapat selama jenazah belum busuk. Ada yang berpendapat kapan saja. Pendapat yang paling shahih adalah bahwa shalat jenazah dikerjakan di atas kubur bagi orang yang sudah masuk ke golongan yang difardlukan shalat jenazah atasnya ketika si mayat tersebut meninggal. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak boleh dikerjakan shalat jenazah di atas kuburnya kecuali jika ia telah dimakamkan tetapi belum dishalatkan.
Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali: Shalat ghaib dibenarkan. Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Maliki: tidak sah.
Tidak dimakruhkan mengubur jenazah pada malam hari. Demikian kesepakatan empat imam madzab. Al-Hasan al-Bashri berpendapat: makruh.
Jika diketemukan sebagian anggota badan mayat maka hendaklah ia dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki mengatakan: jika ditemukan sebagian anggota badan yang lebih banyak, maka dishalatkan. Sedangkan jika tidak, maka tidak dishalatkan.
Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang bunuh diri boleh dishalatkan. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah penguasa wajib menshalatinya? Hanafi dan Syafi’i: penguasa wajib menshalatkannya. Menurut Maliki: orang yang mati bunuh diri atau orang yang mati karena menjalankan hukum had, maka kepala negara tidak wajib menshalatkannya.
Hambali berpendapat: tidak boleh kepala negara menshalatkan jenazah pembunuh dan yang bunuh diri. Az-zuhri berpendapat: tidak dishalatkan orang yang mati dirajam atau karena qisas. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak suka menshalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Al-Awza’i berpendapat: tidak dishalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Qatadah tidak menshalatkan jenazah anak hasil zina. Al-Hasan tidak menshalatkan jenazah perempuan yang mati dalam keadaan nifas.
Apabila orang yang mati syahid dalam keadaan junub maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Demikian menurut pendapat Maliki dan pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Menurut Hanafi: dimandikan dan dishalatkan. Menurut Hambali: dimandikan tapi tidak dishalatkan.
Orang yang mati terbunuh dalam memerangi pembangkang bukanlah syahid. Oleh karen itu ia dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut Maliki dan pendapat yang paling kuat dari Syafi’i. Menurut Hanafi: tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.
Menurut pendapat tiga imam madzab, anggota pembangkang yang mati dalam suatu pertempuran, dimandikan dan dishalatkan. Hanafi berpendapat: tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.
Orang yang mati karena teraniaya dan bukan dalam peperangan dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: jika ia terbunuh dengan besi (senjata tajam) maka ia dimandikan. Sedang jika terbunuh karena suatu yang berat, maka ia dimandikan dan dishalatkan.
Tiga imam madzab sepakat tentang tidak boleh menyisir rambut mayat. Tetapi Syafi’i membolehkan dan mengatakan: boleh menyisirnya secara perlahan.
Empat imam madzab sepakat bahwa apabila orang mati dalam keadaan belum dikhitan, maka ia tidak boleh dikhitan, tetapi dibiarkan saja seperti keadaannya.
Apakah boleh memotong kuku mayat dan memotong rambutnya jika panjang? Menurut Syafi’i dalam al-Imla dan Hambali: boleh. Sedangkan menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam qaul qadim: tidak boleh. Bahkan Maliki sangat keras dalam hal ini sehingga ia mewajibkan ta’zir terhadap orang yang melakukannya.
Empat imam madzab sepakat bahwa membawa jenazah dengan baik adalah suatu kemuliaan mengusungnya di antara dua kayu adalah lebih utama daripada di atas empat kayu. Demikian menurut pendapat yang paling kuat dalam madzab Syafi’i. An-Nakha’i memkruhkan membawa jenazah di antara dua kayu. Hanafi dan Maliki mengatakan: dengan empat kayu adalah lebih utama.
Berjalan di hadapan jenazah adalah lebih utama daripada berjalan di belakangnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: berjalan di belakangnya adalah lebih utama. Ats-Tsauri mengatakan: orang yang berkendaraan berjalan di belakang jenazah. Sedang yang berjalan kaki boleh berjalan dimana ia suka. Pendapat ats-Tsauri ini berdasarkan sebuah hadits.
Tidak dibolehkan menggali kubur untuk menguburkan jenazah lain kecuali jika sudah lama, yang menurut adat adalah rusak dan hancur jasadnya. Jika demikian maka boleh menggalinya. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan: apabila mayat tersebut sudah lama dikubur, setahun misalnya, maka boleh dikuburkan mayat dalam kuburannya.
Empat imam madzab sepakat bahwa mengubur jenazah dalam peti tidak disukai.
Kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara perlahan-lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Demikian menurut pendapat tiga imam madzab. Sedangkan Hanafi berpendapat: jenazah diletakkan di sisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat), kemudian diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang.
Orang yang mati di laut jauh dari tepi pantai, hendaknya diikatkan pada dua bilah papan, lalu dilemparkan ke laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-orang Islam. Sedangkan jika yang mendiami adalah orang kafir, maka jenazah diikatkan pada benda yang berat, lalu dilempar ke laut agar tenggelam. Demikian pendapat tiga imam madzab. Hambali berpendapat: hendaknya diikat pada benda yang berat dan dilemparkan ke laut apabila tidak mungkin dikuburkan.
Menurut sunnah, kuburan diratakan, dan inilah yang lebih utama menurut pendapat madzab Syafi’i yang paling kuat. Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: yang lebih utama ditinggikan tanah di atas kubur, karena meratakannya itu telah menjadi syi’ar orang Syi’ah.
Menurut pendapat tiga imam madzab, tidak dimakruhkan memasuki pekuburan dengan mengenakan sandal. Hambali berpendapat: makruh.
Empat imam madzab sepakat bahwa takziyah hukumnya adalah sunnah. Tetapi di antara mereka terjadi perbedaan pendapat tentang waktunya. Hanafi: takziyah hanya disunnahkan sebelum jenazah dikuburkan, tidak berlaku sesudahnya. Syafi’i dan Hambali mengatakan: takziyah disunnahkan sebelum jenazah dimakamkan dan tiga hari sesudahnya. Ats-Tsauri berpendapat: tidak ada takziyah setelah jenazah dimakamkan.
Duduk-duduk untuk menunggu orang yang menyampaikan takziyah adalah makruh. Demikian menurut pendapat maliki, Syafi’i dan Hambali.
Mengumumkan kematian seseorang dibolehkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Menurut Maliki: hal demikian disunnahkan agar kaum Muslimin dapat mengetahuinya. Hambali berpendapat: hal demikian adalah makruh.
Empat imam madzab sepakat tentang kemustahaban memberi tanda dengan bata atau bambu di atas kuburan. Tetapi hal itu makruh jika berupa tembokk dan kayu. Menurut tiga imam madzab tidak boleh membangun bangunan di atas kuburan, tidak boleh dikapur. Tetapi Hanafi membolehkannya.
Empat imam sepakat tentang disunnahkannya membuat lahad di dalam kuburan. Adapun membuat lubang ke bawah sehingga menyerupai keranda berlawanan dengan sunnah..
Sifat lahad dibuat lubang di sebelah kiblat supaya mayat berada di bawah kiblat kuburan sesudah didirikan atau diletakkan batu bata. Adapun sifat yang kedua, membuat lubang di tengah-tengah, kiri dan kanan kuburan ditembok dengan bata dan pertengahan kubur dijadikan sebagai keranda.
Empat imam madzab sepakat bahwa memohon ampun, medoakan, bersedekah, berhaji, dan memerdekakan budak dapat membawa manfaat bagi mayat serta akan sampai pahala kepadanya. Membaca Al-Qur’an di sisi kubur adalah mustahab. Tetapi Hanafi memakruhkan membaca al-Qur’an di sisi kubur.
Menurut madzab Ahlus sunnah, siapapun dapat menjadikan pahala amalnya untuk orang lain berdasarkan hadits dari al-Khats’amiyah. Sedangkan yang masyhur dalam madzab Syafi’i: hal itu tidak akan sampai kepada mayat.
Ibn ash-Shalah, seorang ulama madzab Syafi’i mengatakan: tentang menghadiahkan bacaan al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat di antara ahli fiqih. Kebanyakan dari mereka membolehkan. Sebaiknya jika menghendaki yang demikian, hendaknya mengucapkan: “AllaaHumma aushil tsawaaba maa qara’tuHu li fulan….” (Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang telah aku bacakan kepada si…)
Oleh karena itu, dawamkanlah doa tersebut. Tidak ada perbedaan tentang manfaat doa dan sampainya doa tersebut kepada mayat. Orang yang suka berbuat kebaikan telah mendapatkan berkah dalam menyampaikan bacaan al-Qur’an dan doa-doa kepada orang-orang yang meninggal.
Al-Muhib ath-Thabari, salah seorang ulama besar Syafi’i kemudian, mengatakan: adapun membaca al-Qur’an di sisi kuburan, seperti (sebagaimana) dijelaskan dalam kitab al-Bahr adalah mustahab dan dalam al-Hawi telah ditetapkan sampainya bacaan al-Qur’an kepada mayat serta keadaannya sebagaimana doa. Karena, para ulama telah membolehkan menancapkan bata pada kuburannya. An-Nawawi memilih pendapat ini dalam kitabnya ar-Raudhah.
Madzab Hambali menetapkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat serta dapat menghasilkan kemanfaatan.
Sekian.
Tag:agama, alquran, bahasa indonesia, empat, fiqh, fiqih, hadits, ilmu fiqih, imam, islam, jenazah, kajian, madzab, muhammad, Nabi, rasulullah, religion, sunah, sunnah