Tag Archives: jenazah

Memilih Tempat untuk Mengubur Jenazah

28 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Abu Dawud ath-Thayalisi berkata: telah menceritakan kepada kami, Siwar bin Maimun Abul Jarah al-‘Abdi, dia berkata, telah menceritakan kepadaku, seseorang dari keluarga Umar, dari Umar, dia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

“Barangsiapa berziarah ke kuburku,” atau beliau bersabda, “Barangsiapa berziarah kepadaku, maka aku menjadi saksi atau pemberi syafaat baginya. Dan barangsiapa meninggal dunia di salah satu Tanah Haram [Makkah atau Madinah], maka Allah akan membangkitkannya dalam golongan orang-orang yang aman pada hari kiamat.” (Dlaif al-Jami’ [5608] karya al-Albani dengan lafadz yang sama, tetapi dari hadits riwayat Anas ra)

Hadits yang senada dikeluarkan pula oleh ad-Daruquthni dari Hathib, sabda Rasulullah saw.:

“Barangsiapa berziarah kepadaku sepeninggalku, maka seakan-akan dia berziarah kepadaku selagi aku masih hidup. Dan barangsiapa mati di salah satu Tanah Haram, maka ia akan dibangkitkan dalam golongan orang-orang yang aman pada hari kiamat.” (Saya tidak mengenal hadits ini, tapi kepalsuan dan kemungkarannya tampak jelas pada matannya)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Malaikat Maut pernah diutus kepada Nabi Musa as [untuk mencabut nyawanya]. Ketika dia datang, maka Nabi Musa meninjunya sampai copot matanya. Maka malaikat itu kembali kepada Tuhannya seraya berkata, ‘Engkau telah mengutus aku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati.’”

Perawi berkata, “Maka Allah mengembalikan mata Malaikat Maut dan berfirman, ‘Kembalilah kamu kepadanya dan katakanlah, hendaknya dia meletakkan tangannya pada bagian luar kulit lembu, dia akan memperoleh tambahan umur satu tahun untuk setiap helai lembu yang ditutupi oleh tangannya.’

Malaikat Maut berkata, ‘Ya Tuhanku, sesudah itu apa?’
‘Sesudah itu mati,’ jawab Allah.
Malaikat Maut berkata, ‘Sekarang juga aku berangkat.’

Adapun Nabi Musa sendiri kemudian memohon kepada Allah agar mendekatkan dirinya kepada Negeri Yang Disucikan [al-ardl al-Muqaddasah] sejauh lemparan batu.

Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan aku ada di sana, niscaya aku tunjukkan kepada kamu sekalian kuburannya, ada di sebelah jalan, di bawah gundukan pasir merah.” (Shahih al-Bukhari [1339], Shahih Muslim [2372])

Menurut riwayat lain, Abu Hurairah berkata: Malaikat Maut datang kepada Nabi Musa as, lalu berkata, “Penuhilah panggilan Tuhanmu.” Maka Nabi Musa as. meninju mata Malaikat Maut sampai copot, atau seterusnya seperti hadits di atas.

At-Tirmidzi berkata, dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa bisa mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku memberi syafaat kepada orang yang mati di sana.” (Shahih al-Jami’ [6015] karya al-Albani; dinyatakan shahih pula oleh Abu Muhammad Abdul Haqq)

Dalam al-Muwaththa’ disebutkan, bahwa Umar ra pernah berdoa: “Ya Allah, karuniailah ku mati syahid di jalan-Mu, dan wafat di negeri Nabi-Mu.” (Shahih al-Bukhari [1890], dan Malik dalam al-Muwaththa’ [Kitab al-Jihad, bab Maa Takuunu fiiHi ShaHadaH)

Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid ra telah berpesan supaya jasadnya kalau mati dibawa dari al-Aqiq ke al-Baqi’, yaitu kuburan di Madinah, dan supaya dikubur di sana, karena keutamaannya yang mereka ketahui. wallaaHu a’lam.

Dan sesungguhnyalah, bahwa keutamaan Madinah tidak bisa dipungkiri dan tidak samar. Dan andaikan keutamaannya hanya sekedar bertetangga dengan orang-orang shalih dan para syuhada yang utama, itupun cukup.

Dan diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, bahwa dia berkata kepada salah seorang penduduk Mesir, ketika dia ditanya, “Ada perlu apa?” dia menjawab, “Saya perlu sekantong tanah lereng al-Muqaththam,” maksudnya sebuah gunung di Mesir.
“Semoga Allah merahmatimu,” kata si penanya, “Untuk apakah tanah itu?” dia jawab, “Akan aku taruh dalam kuburku.”
“Kenapa begitu, padahal kamu tinggal di Madinah, dan kata orang, kuburan al-Baqi’ itu begini-begitu?” tanya orang itu pula. Maka jawab Ka’ab al-Ahbar, “Kami dapatkan dalam sebuah kitab kuno, bahwasannya ada tanah suci antara al-Qushair dan al-Yahmum.”

&

Mempercepat Penguburan Jenazah

27 Jan

At-Tadzkirah; Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Dalam bab ini akan diterangkan tentang perintah mengubur jenazah dengan segera, dan bahwa mayit juga berbicara.

Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
“Apabila jenazah telah dibaringkan lalu diangkat oleh beberapa orang di atas leher [pundak] mereka, maka jika dia orang shalih, dia berkata, ‘Percepatlah aku, percepatlah aku!’ dan jika dia bukan orang shalih, maka dia berkata, ‘Celaka jasadku. Mau kalian bawa kemana dia?’ Suaranya terdengar oleh makhluk apa saja selain manusia. Padahal, andaikan manusia mendengar niscaya dia jatuh pingsan.’” (Shahih al-Bukhari [1314])

Dan sebelumnya telah disebutkan dalam hadits Anas, bahwa jenazah itu berkata, “Hai keluargaku, hai anakku…” (pada bab Aktifitas Malaikat Maut sehari-hari)

Al-Bukhari telah menjelaskan pula dari Nabi saw. beliau bersabda, “Percepatlah kamu sekalian [mengubur] jenazah. Kalau dia orang shalih maka suatu kebaikan telah kamu berikan kepadanya. Dan kalau dia bukan orang shalih, maka [dengan mempercepat itu] kamu telah membuang keburukan dari pundak kalian.” (Shahih Bukhari [1315] dan shahih Muslim)

PENJELASAN HADITS

“Jatuh pingsan” adalah terjemahan dari kata “Sha’iqan” yang bisa juga berarti mati.
“Percepat” maksudnya supaya mempercepat berjalan ketika membawanya ke kuburan. Dan ada pula yang berpendapat, mempercepat dalam mengusungnya setelah nyata mati, sehingga tidak berubah [membusuk].

Tetapi, pendapat pertama lebih jelas pengertiannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Muhammad bin Abdul A’la, dari Khalid, dari Uyainah bin Abdur Rahman, dia berkata, Telah menceritakan kepadaku ayahku, dia berkata, “Aku telah menyaksikan jenazah Abedur Rahman bin Samurah. Waktu itu Ziyad tampil dengan keranda. Maka beberapa orang laki-laki dari keluarga Abdurrahman dan budak-budak mereka berada di belakang keranda dan berjalan mengikuti orang-orang seraya berkata, “Pelan, pelan, semoga Allah memberkahi kalian.”

Mereka seolah-olah merayap sehingga ketika kami tiba di suatu jalan, kami bertemu dengan Abu Bakrah ra mengendarai seekor baghal [peranakan kuda dan keledai]. Ketika ia melihat orang-orang berjalan seperti itu, maka ia mengejar mereka dengan mencambuk baghalnya, seraya berkata, “Minggir, demi Allah yang telah memuliakan Abu al-Qasim, sungguh, aku telah melihat [jenazah] kami dulu bersama Rasulullah, dan kami benar-benar hampir berlari membawanya.” Maka orang-orang pun memberinya jalan. (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Abu Muhammad Abdul Haq)

Abu Dawud telah meriwayatkan pula sebuah hadits dari Abu Majidah, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Kami pernah bertanya kepada Nabi kita Muhammad saw. tentang berjalan membawa jenazah, Beliau bersabda:

“Jangan sampai bergoncang. Jika dia orang baik, maka percepatlah kepada kebaikan [kubur]. Dan jika bukan orang baik, maka [percepatlah] kehinaan bagi ahli neraka.” (dlaif: Sunan Abu Dawud [3184] dan dinyatakan dlaif oleh al-Albani.)

Hadits ini disebutkan pula oleh Abu Umar, dari Abdul Barr, dan dia katakan, “Padalah yang dianut oleh sejumlah ahli ilmu adalah, sedikit dipercepat dari berjalan yang wajar. Dan tergesa-gesa lebih mereka sukai daripada berjalan lambat. Namun demikian, makruh hukumnya berjalan cepat yang sampai mempersulit orang-orang lemah yang mengikutinya.”

Dan kata Ibrahim an-Nakha’i, “Percepatlah sedikit ketika membawa jenazah, jangan berjalan merayap seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani.”

Yang dimaksud dengan berjalan wajar [sajiyyah] ialah berjalan biasa.

&

Do’a shalat jenazah

1 Jan

Kumpulan Doa dalam Al-Qur’an dan Hadits;
Said bin Ali Al-Qahthani

doa dalam shalat jenazah 1 doa dalam shalat jenazah 2

Jenazah

11 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Semua ulama madzab sepakat mengenai disunnahkannya memperbanyak mengingat kematian, dan disukai bagi orang yang berharta atau memiliki sesuatu yang perlu diwasiatkan, supaya mewasiatkannya ketika masih sehat. Terlebih lagi ketika sakit. Merekapun sepakat bahwa apabila kematian seseorang telah diyakini, hendaknya diarahkan mukanya ke arah kiblat.

Menurut pendapat Maliki yang masyhur, Syafi’i dan Hambali: anak Adam tidaklah menjadi najis karena kematiannya. Sedangkan Hanafi berpendapat: anak Adam menjadi najis karena kematiannya. Oleh karena itu setelah dimandikan barulah ia menjadi suci. Ini juga salah satu qaul Syafi’i dan satu riwayat dari Hambali.

Para imam madzab berpendapat bahwa biaya perawatan jenazah diambil dari harta peninggalannnya dan harus didahulukan atas utangnya. Diriwayatkan dari Thawus bahwa ia berpendapat: jika hartanya banyak, maka diambilkan dari hartanya. Sedangkan jika hartanya sedikit, maka diambilkan dari sepertiganya.

Empat imam madzab sepakat bahwa memandikan jenazah hukumnya fardlu kifayah. Hanafi, Maliki berpendapat: memandikannya dalam keadaan telanjang lebih utama asalkan tertutup auratnya. Sedangkan pendapat Syafi’i dan Hambali: yang lebih utama adalah dalam keadaan memakai gamis. Lebih utama lagi menurut Syafi’i: memandikan langsung di bawah langit (tanpa atap). Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah memandikannya di bawah atap.

Memandikannya dengan air dingin adalah lebih utama (daripada dengan air hangat) kecuali pada hari yang sangat dingin jika pada tubuhnya terdapat banyak kotoran. Sedangkan Hanafi berpendapat: lebih diutamakan memandikan jenazah dengan air hangat.

Empat imam sepakat tentang bolehnya memandikan jenazah suami oleh istri. Akan tetapi apakah suami boleh memandikan jenazah istrinya? Dalam hal ini Hanafi berpendapat: tidak boleh, sedangkan imam lainnya berpendapat boleh.

Apabila seorang perempuan meninggal dan tidak ada orang lain selain laki-laki bukan muhrimnya, atau sebaliknya, maka menurut Hanafi dan Maliki dan pendapat yang paling shahih dari Syafi’i: hendaknya keduanya ditayamumkan. Sementara itu dari Hambali diperoleh dua riwayat, salah satunya: ditayamumkan.
Orang yang memandikannya harus melapisi kedua tangannya dengan sarung tangan. Ini adalah pendapat lain dari Syafi’i. Al-Awza’i berpendapat: dimakamkan tanpa dimandikan dan tidak ditayamumkan.

Menurut tiga imam madzab, orang Islam boleh memandikan kerabatnya yang kafir. Menurut maliki: tidak boleh.

Dimustahabkan memandikan jenazah itu, mewudlukannya, menyikat gigi-giginya, memasukkan jari-jarinya ke dalam lubang hidung serta telinganya, dan membersihkan keduanya. menurut Hanafi: hal demikian mustahab.

Jiga janggutnya tebal, hendaknya disisir dengan sisir yang bergigi jarang dan perlahan-lahan. Hanafi berpendapat: tidak perlu dilakukan hal itu.
Jika jenazah yang dimandikan adalah perempuan, hendaknya dijalin rambutnya menjadi tiga jalinan dan diletakkan ke belakang. Hanafi berpendapat: dibiarkan saja seperti keadaannya semula tanpa dijalin.

Perempuan hamil apabila meninggal, sedangkan dalam perutnya ada janin yang masih hidup, maka ia harus dibedah perutnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i. Hambali berpendapat: tidak boleh dibedah. Dari Maliki diperoleh dua keterangan yaitu seperti kedua pendapat di atas.

Para imam madzab sepakat bahwa anak yang meninggal karena keguguran, apabila umurnya belum sampai empat bulan, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Sedangkan jika ia lahir sesudah umur empat bulan, maka menurut Hanafi: jika terdapat petunjuk atas kehidupannya seperti bersin, bergerak dan menghisap, hendaknya dimandikan dan dishalatkan. Pendapat Maliki juga demikian namun ia mensyaratkan dalam bergerak harus nyata dan lama sehingga meyakinkan kalau ia lahir dalam keadaan hidup. Menurut Syafi’i: hendaknya dimandikan. Apakah dishlatkan juga? Dalam hal ini ada dua pendapat: dalam qaul jadid, adalah tidak dishalatkan selama tidak tampak tanda-tanda kehidupan, seperti bergerak. Adapun menurut Hambali: dimandikan dan dishalatkan.

Mereka sepakat bahwa bayi yang dilahirkan kemudian menangis, maka disamakan hukumnya dengan orang dewasa. Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair bahwa ia tidak menshalatkan jenazah anak kecil kecuali jika sudah baligh.

Menurut pendapat Syafi’i yang shahih, niat bagi orang yang memandikan mayat tidak wajib, demikian juga menurut Hanafi. Menurut Maliki: wajib.

Apabila sesuatu keluar dair tubuh mayat sesudah ia dimandikan, wajib dihilangkan saja. demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Juga demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Sedangkan Hambali: wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.

Apakah dibolehkan mencabut bulu ketiaknya, mencukur bulu kemaluannya, atau mencukur rambut? Dalam masalah ini pendapat Hanafi dan Maliki: hal demikian tidak dimakruhkan. Hambali: tidak apa-apa. Adapun Syafi’i ada dua pendapat: dalam qaul jadid: tidak apa-apa jika jenazah itu bukan orang yang sedang berihram haji. Sedangkan dalam qaul qadim: makruh, dan ini yang dipilih.

Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang mati syahid, yakni orang yang mati dalam pertempuran melawan orang kafir, tidak dimandikan. Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia dishalatkan atau tidak? Menurut Hanafi dan Hambali dalam suatu riwayat: dishalatkan. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lain: tidak dishalatkan karena sudah tidak memerlukan penolong lagi.

Para imam madzab sepakat bahwa perempuan mati dalam keadaan nifas harus dimandikan dan dishalatkan. Menurut pendapat tiga imam, orang yang terinjak-injak binatang dalam suatu pertempuran, terjatuh dari kuda, atau terkena senjata sendiri, kemudian mati di medan pertempuran melawan orang musyrik, maka ia dimandikan dan dishalatkan. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dimandikan dan dishalatkan.

Empat imam sepakat bahwa wajib hukumnya memandikan mayat hingga bersih, disunnahkan mengganjilkan bilangannya, dengan air hendaknya dicampur dengan daun bidara serta pada tahab terakhir dengan kapur barus.
Hanafi dan Hambali berpendapat: dimustahabkan setiap kali membasuh, airnya dicampur dengan daun bidara. Maliki dan Syafi’i berpendapat: tidak dimustahabkan, kecuali satu kali saja.

Menurut kesepakatan empat imam madzab, mengkafani mayat wajib hukumnya, serta harus didahulukan keperluan ini daripada membayar utang dan membagi harta warisan. Sekurang-kurangnya kafan itu sehelai kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayat. Menurut Syafi’i, Maliki dan Hambali: mustahab mengkafani mayat laki-laki dengan tiga lapis kain. Hanafi: boleh dengan sarung, selendang dan gamis.

Disunnahkan kain kafan berwarna putih. Sedangkan untuk mayat perempuan dimustahabkan rangkap lima, yaitu baju kurung, kain sarung, selimut, kerudung dan lapis kelima dipergunakan untuk mengikat dua pahanya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: itulah yang lebih utama, jika hanya tiga lapis maka kerudung diletakkan di atas gamis di bawah selimut badan. Maliki berpendapat: tidak ada batasan bagi kain kafan itu. Tetapi yang wajib adalah menutup aurat.
Menurut Syafi’i dan Hambali, makruh mengkafani mayat perempuan dengan kain kumkuma (sejenis batik) dan sutera. Hanafi: tidak makruh.

Jika istri mempunyai harta, maka ia dikafani dengan kain hasil pembelian hartanya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan jika ia tidak mempunyai harta, menurut Maliki, hal ini menjadi kewajiban suaminya. Muhammad berpendapat: diambilkan dari baitul mal, sebagaimana jika suami melarat maka diambilkan dari baitul mal. Pendapat ini disepakati oleh para ulama. Hambali berpendapat: suami tidak wajib membiayai kafan istrinya. Dalam hal ini pendapat Syafi’i: kain kafan diambilkan dari harta peninggalannya.
Jika peninggalannya tidak ada, menjadi tanggungan orang yang wajib memberikan nafkah, seperti kerabat dan suami. Atau, kalau mayat itu adalah budak maka ditanggung oleh tuannya. Demikian juga halnya suami, menurut pendapat yang shahih. Yang benar, menurut para ulama ahli tahqiq pengikut Syafi’i, kafan istri adalah tanggungan suami.

Orang yang meninggal ketika sedang ihram tidak boleh diberi wangi-wangian, tidak boleh dikafani dengan pakaian yanag berjahit dan tidak ditutup kepalanya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab. Diriwayatkan dari Hanafi bahwa ihramnya batal lantaran kematiannya. Oleh karena itu, ia boleh diperlakukan sebagai mayat pada umumnya.

Tidak dimakruhkan shalat jenazah dikerjakan pada tiap-tiap waktu. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Sedangkan Hanafi dan Hambali berpendapat: makruh dikerjakan pada tiga waktu yang dimakruhkan. Maliki berpendapat: makruh dikerjakan ketika matahari terbit dan ketika matahari terbenam.

Menurut kesepakatan empat imam mandzab, shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid, menurut pendapat Syafi’i dan Hambali tidak dimakruhkan. Sedangkan menurut Hanafi dan maliki: makruh.
Dimakruhkan meratapi dan memanggil-manggil mayat. Menurut Hanafi tidak makruh.

Empat imam madzab berbeda pendapat tentang orang yang berhak mengimami shalat jenazah. Menurut Hanafi, Maliki dan Hambali dan pendapat Syafi’i dalam qaul qadim: penguasa lebih berhak, kemudian walinya. Hanafi berpendapat: yang lebih utama bagi walinya apabila penguasa tidak datang, adalah mengajukan seorang imam di kala hidupnya. Sedangkan menurut Syafi’ii dalam qaul jadid: yang kuat, walinya lebih berhak dari penguasa.

Adapun jika mayat pernah berwasiat kepada seseorang untuk menshalatkannya maka tidak ada yang lebih berhak di antara para walinya. Demikian menurut pendapat tiga imam. Sedangkan Hambali berpendapat: orang yang diberi wasiat itu didahulukan atas tiap-tiap wali. Maliki berpendapat: anak didahulukan atas ayah, saudara lebih utama daripada kakek, dan anak laki-laki lebih utama daripada suami walaupun ayah si anak sendiri. Hanafi berpendapat: suami tidak mempunyai kekuasaan apa pun, dan makruh mendahulukan anak atas bapaknya.

Di antara syarat-syarat sahnya shalat jenazah adalah suci dan menutup aurat. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab. Asy-Sya’bi dan Muhammad bin Jarir ath-Thabari berpendapat: dibolehkan shalat jenazah tanpa bersuci.

Menurut pendpat Syafi’i, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, dalam shalat jenazah imam berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki dan di sisi pinggang jenazah perempuan. Maliki berpendapat: jika jenazah itu laki-laki, imam berdiri di sisi dadanya. Sedangkan jika jenazah perempuan, imam berdiridi samping pinggangnya.

Takbir dalam shalat jenazah ada empat kali. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab. Diriwayatkan dari Ibnu Sirin: Tiga kali takbir. Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman: lima kali takbir. Ibnu Mas’ud ra berpendapat: Rasulullah saw. pernah bertakbir dalam shalat jenazah sembilan kali, pernah tujuh kali, permah lima kali, dan pernah juga empat kali. Oleh karena itu, bertakbirlah sebanyak imam takbir.

Jika takbir itu lebih dari empat kali maka tidak membatalkan shalat jenazah. Jika seseorang shalat di belakang imam, lalu imam menambah takbirnya lebih dari empat kali, maka makmum tidak boleh mengikuti tambahan tersebut. Hambali membolehkan mengikutinya sampai tujuh kali takbir.
Menurut pendapat madzab Syafi’i, dalam semua takbir itu disertai mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak. Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak mengangkat kedua tangan kecuali dalam takbir pertama.

Menurut pendpat Imam Syafi’i dan Hambali, membaca surah al-fatihah setelah takbir pertama hukumnya adalah fardlu. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak ada suatu ayatpun dari al-Qur’an dalam shalat jenazah.

Menurut pendapat tiga imam madzab, salam dalam shalat jenazah adalah dua kali. Sedangkan Hambali berpendapat: sekali salam saja, yaitu ke sebelah kanan.
Orang yang datang terlambat hingga ketinggalan sebagian shalat imam, hendaknya ia langsung memulai shalat, tidak perlu menunggu takbir imam. Demikian menurut pendapat Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: hendaknya ia menanti takbir imam agar dapat bertakbir bersama-sama.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat.
Orang yang tidak sempat shalat jenazah sebelum jenazah dikuburkan, hendaknya ia mengerjakan di atas kuburan. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.

Sampai kapan boleh menshalatkanya? Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’i. ada yang berpendapat satu bulan, demikian pula pendapat Hambali. Ada yang berpendapat selama jenazah belum busuk. Ada yang berpendapat kapan saja. Pendapat yang paling shahih adalah bahwa shalat jenazah dikerjakan di atas kubur bagi orang yang sudah masuk ke golongan yang difardlukan shalat jenazah atasnya ketika si mayat tersebut meninggal. Hanafi dan Maliki berpendapat: tidak boleh dikerjakan shalat jenazah di atas kuburnya kecuali jika ia telah dimakamkan tetapi belum dishalatkan.

Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali: Shalat ghaib dibenarkan. Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Maliki: tidak sah.
Tidak dimakruhkan mengubur jenazah pada malam hari. Demikian kesepakatan empat imam madzab. Al-Hasan al-Bashri berpendapat: makruh.

Jika diketemukan sebagian anggota badan mayat maka hendaklah ia dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi dan Maliki mengatakan: jika ditemukan sebagian anggota badan yang lebih banyak, maka dishalatkan. Sedangkan jika tidak, maka tidak dishalatkan.

Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang bunuh diri boleh dishalatkan. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah penguasa wajib menshalatinya? Hanafi dan Syafi’i: penguasa wajib menshalatkannya. Menurut Maliki: orang yang mati bunuh diri atau orang yang mati karena menjalankan hukum had, maka kepala negara tidak wajib menshalatkannya.
Hambali berpendapat: tidak boleh kepala negara menshalatkan jenazah pembunuh dan yang bunuh diri. Az-zuhri berpendapat: tidak dishalatkan orang yang mati dirajam atau karena qisas. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak suka menshalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Al-Awza’i berpendapat: tidak dishalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri. Qatadah tidak menshalatkan jenazah anak hasil zina. Al-Hasan tidak menshalatkan jenazah perempuan yang mati dalam keadaan nifas.

Apabila orang yang mati syahid dalam keadaan junub maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Demikian menurut pendapat Maliki dan pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i. Menurut Hanafi: dimandikan dan dishalatkan. Menurut Hambali: dimandikan tapi tidak dishalatkan.

Orang yang mati terbunuh dalam memerangi pembangkang bukanlah syahid. Oleh karen itu ia dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut Maliki dan pendapat yang paling kuat dari Syafi’i. Menurut Hanafi: tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.

Menurut pendapat tiga imam madzab, anggota pembangkang yang mati dalam suatu pertempuran, dimandikan dan dishalatkan. Hanafi berpendapat: tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

Orang yang mati karena teraniaya dan bukan dalam peperangan dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: jika ia terbunuh dengan besi (senjata tajam) maka ia dimandikan. Sedang jika terbunuh karena suatu yang berat, maka ia dimandikan dan dishalatkan.

Tiga imam madzab sepakat tentang tidak boleh menyisir rambut mayat. Tetapi Syafi’i membolehkan dan mengatakan: boleh menyisirnya secara perlahan.

Empat imam madzab sepakat bahwa apabila orang mati dalam keadaan belum dikhitan, maka ia tidak boleh dikhitan, tetapi dibiarkan saja seperti keadaannya.
Apakah boleh memotong kuku mayat dan memotong rambutnya jika panjang? Menurut Syafi’i dalam al-Imla dan Hambali: boleh. Sedangkan menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam qaul qadim: tidak boleh. Bahkan Maliki sangat keras dalam hal ini sehingga ia mewajibkan ta’zir terhadap orang yang melakukannya.

Empat imam madzab sepakat bahwa membawa jenazah dengan baik adalah suatu kemuliaan mengusungnya di antara dua kayu adalah lebih utama daripada di atas empat kayu. Demikian menurut pendapat yang paling kuat dalam madzab Syafi’i. An-Nakha’i memkruhkan membawa jenazah di antara dua kayu. Hanafi dan Maliki mengatakan: dengan empat kayu adalah lebih utama.
Berjalan di hadapan jenazah adalah lebih utama daripada berjalan di belakangnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: berjalan di belakangnya adalah lebih utama. Ats-Tsauri mengatakan: orang yang berkendaraan berjalan di belakang jenazah. Sedang yang berjalan kaki boleh berjalan dimana ia suka. Pendapat ats-Tsauri ini berdasarkan sebuah hadits.

Tidak dibolehkan menggali kubur untuk menguburkan jenazah lain kecuali jika sudah lama, yang menurut adat adalah rusak dan hancur jasadnya. Jika demikian maka boleh menggalinya. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan: apabila mayat tersebut sudah lama dikubur, setahun misalnya, maka boleh dikuburkan mayat dalam kuburannya.
Empat imam madzab sepakat bahwa mengubur jenazah dalam peti tidak disukai.

Kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara perlahan-lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Demikian menurut pendapat tiga imam madzab. Sedangkan Hanafi berpendapat: jenazah diletakkan di sisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat), kemudian diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang.

Orang yang mati di laut jauh dari tepi pantai, hendaknya diikatkan pada dua bilah papan, lalu dilemparkan ke laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-orang Islam. Sedangkan jika yang mendiami adalah orang kafir, maka jenazah diikatkan pada benda yang berat, lalu dilempar ke laut agar tenggelam. Demikian pendapat tiga imam madzab. Hambali berpendapat: hendaknya diikat pada benda yang berat dan dilemparkan ke laut apabila tidak mungkin dikuburkan.

Menurut sunnah, kuburan diratakan, dan inilah yang lebih utama menurut pendapat madzab Syafi’i yang paling kuat. Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: yang lebih utama ditinggikan tanah di atas kubur, karena meratakannya itu telah menjadi syi’ar orang Syi’ah.

Menurut pendapat tiga imam madzab, tidak dimakruhkan memasuki pekuburan dengan mengenakan sandal. Hambali berpendapat: makruh.

Empat imam madzab sepakat bahwa takziyah hukumnya adalah sunnah. Tetapi di antara mereka terjadi perbedaan pendapat tentang waktunya. Hanafi: takziyah hanya disunnahkan sebelum jenazah dikuburkan, tidak berlaku sesudahnya. Syafi’i dan Hambali mengatakan: takziyah disunnahkan sebelum jenazah dimakamkan dan tiga hari sesudahnya. Ats-Tsauri berpendapat: tidak ada takziyah setelah jenazah dimakamkan.

Duduk-duduk untuk menunggu orang yang menyampaikan takziyah adalah makruh. Demikian menurut pendapat maliki, Syafi’i dan Hambali.
Mengumumkan kematian seseorang dibolehkan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Menurut Maliki: hal demikian disunnahkan agar kaum Muslimin dapat mengetahuinya. Hambali berpendapat: hal demikian adalah makruh.

Empat imam madzab sepakat tentang kemustahaban memberi tanda dengan bata atau bambu di atas kuburan. Tetapi hal itu makruh jika berupa tembokk dan kayu. Menurut tiga imam madzab tidak boleh membangun bangunan di atas kuburan, tidak boleh dikapur. Tetapi Hanafi membolehkannya.

Empat imam sepakat tentang disunnahkannya membuat lahad di dalam kuburan. Adapun membuat lubang ke bawah sehingga menyerupai keranda berlawanan dengan sunnah..
Sifat lahad dibuat lubang di sebelah kiblat supaya mayat berada di bawah kiblat kuburan sesudah didirikan atau diletakkan batu bata. Adapun sifat yang kedua, membuat lubang di tengah-tengah, kiri dan kanan kuburan ditembok dengan bata dan pertengahan kubur dijadikan sebagai keranda.

Empat imam madzab sepakat bahwa memohon ampun, medoakan, bersedekah, berhaji, dan memerdekakan budak dapat membawa manfaat bagi mayat serta akan sampai pahala kepadanya. Membaca Al-Qur’an di sisi kubur adalah mustahab. Tetapi Hanafi memakruhkan membaca al-Qur’an di sisi kubur.

Menurut madzab Ahlus sunnah, siapapun dapat menjadikan pahala amalnya untuk orang lain berdasarkan hadits dari al-Khats’amiyah. Sedangkan yang masyhur dalam madzab Syafi’i: hal itu tidak akan sampai kepada mayat.
Ibn ash-Shalah, seorang ulama madzab Syafi’i mengatakan: tentang menghadiahkan bacaan al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat di antara ahli fiqih. Kebanyakan dari mereka membolehkan. Sebaiknya jika menghendaki yang demikian, hendaknya mengucapkan: “AllaaHumma aushil tsawaaba maa qara’tuHu li fulan….” (Ya Allah, sampaikanlah pahala apa yang telah aku bacakan kepada si…)
Oleh karena itu, dawamkanlah doa tersebut. Tidak ada perbedaan tentang manfaat doa dan sampainya doa tersebut kepada mayat. Orang yang suka berbuat kebaikan telah mendapatkan berkah dalam menyampaikan bacaan al-Qur’an dan doa-doa kepada orang-orang yang meninggal.

Al-Muhib ath-Thabari, salah seorang ulama besar Syafi’i kemudian, mengatakan: adapun membaca al-Qur’an di sisi kuburan, seperti (sebagaimana) dijelaskan dalam kitab al-Bahr adalah mustahab dan dalam al-Hawi telah ditetapkan sampainya bacaan al-Qur’an kepada mayat serta keadaannya sebagaimana doa. Karena, para ulama telah membolehkan menancapkan bata pada kuburannya. An-Nawawi memilih pendapat ini dalam kitabnya ar-Raudhah.
Madzab Hambali menetapkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat serta dapat menghasilkan kemanfaatan.

Sekian.

Mengurus Jenazah (1)

10 Jun

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; hadits

Dari Mu’adz ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah Laa ilaaHa illallaaH, maka ia masuk surga.” (HR Abu Dawud dan al-Hakim)

Dari Abu Said al-Khudriy ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Tuntunlah orang yang hendak meninggal dunia dengan ucapan Laa ilaaHa illallaaH.” (HR Muslim)

Dari Ummu Salamah ia berkata: Rasulullah saw. masuk ke rumah Abu Salamah yang pada waktu itu masih terbuka matanya kemudian beliau memejamkannya, seraya bersabda: “Sesungguhnya apabila nyawa itu telah dicabut maka diikuti oleh mata.” Mendengar sabda beliau itu para keluarganya menangis dengan keras sekali. Kemudian beliau bersabda: “Jangan kamu berdoa untuk dirimu sendiri kecuali dengan yang baik-baik, karena sesungguhnya malaikat itu mengamini apa yang kamu ucapkan.” Lantas beliau berdoa: “AllaaHumaghfir li-abii salamata warfa’ darajataHuu fil maHdiina, wakhlufHu fii ‘aqibiHii fil ghaabiriin, waghfirlanaa walaHuu yaa rabbal ‘aalamiin, wafsah laHuu qabriHii, wa nawwirlaHu fiiHi (Ya Allah, ampunilah dosa Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan orangyang mendapat petunjuk, berikan keturunan yang baik di belakang hari, ampunilah dosa kami dan dosanya wahai Rabb semesta alam, lapangkanlah kuburnya dan terangilah ia di dalam kuburnya). (HR Muslim)

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu datang kepada orang yang sakit atau orang yang meninggal dunia maka berkatalah yang baik-baik karena sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kamu ucapkan.” Maka ketika Abu Salamah meninggal dunia, saya datang kepada Nabi saw. dan berkata: “Wahai Rasulallah, sesungguhnya Abu Salamah telah meninggal dunia.” Beliau bersabda: “Ucapkanlah: AllaaHumaghfirlii wa laHuu wa a’qabanii minHu ‘uqban hasanatan (Wahai Allah, ampunilah dosa saya dan dosa Abu Salamah, serta gantilah kepada saya yang lebih baik).” Ummu salamah berkata: “Kemudian Allah mengganti kepada saya seseorang yang lebih baik dari Abu Salamah, yakni Muhammad saw.” (HR Muslim)

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang di waktu tertimpa musibah mengucapkan: innaa lillaaHi wa innaa ilaiHi raaji-‘uun. AllaaHumma’jurnii fii mushiibatii, wakhluflii khairan minHaa [sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami pasti akan kembali kepada-Nya. Wahai Allah berilah saya pahala dalam mushibah ini dan berilah saya ganti yang lebih baik daripada mushibah ini berilah saya ganti yang lebih baik daripada mushibah itu.” Ummu Salamah berkata: “Ketika Abu Salamah meninggal dunia, saya mengucapkan doa yang diajarkan Rasulullah saw. kemudian Allah Ta’ala memberi ganti kepada saya dengan orang yang lebih baik daripada Abu Salamah yakni Rasulullah saw.” (HR Muslim)

Dari Abu Musa ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila anak seseorang itu meninggal dunia, maka Allah Ta’ala bertanya kepada Malaikat-Nya: ‘Kamu telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?’ Malaikat menjawab: ‘Ya.’ Allah Ta’ala bertanya lagi: ‘Kamu telah mencabut buah hatinya?’ Malaikat menjawab: ‘Ya.’ Allah berfirmah: “Maka apa yang diucapkan oleh hamba-Ku itu?’ Malaikat menjawab: ‘Ia memuji kepada-Mu dan mengucapkan: innaa lillaaHi wa innaa ilaiHi raaji-‘uun.’ Kemudian Allah Ta’ala berfirman: ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku sebuah rumah di dalam surga, dan namakanlah rumah itu dengan nama Baitul hamdi [Rumah pujian].” (HR Turmudzi)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Aku tidak akan memberi balasan kepada hamba-Ku yanng mukmin apabila Aku mengambil kekasihnya di dunia ini, kemudian ia ridla dan mengharapkan pahala kepada-Ku melainkan balasan surga.” (HR Bukhari)

Dari Usamah bin Zaid ra. ia berkata: “Salah seorang putri Nabi saw. mengutus seseorang untuk mengundang dan memberitahu kepada beliau bahwa anak putri Nabi itu akan meninggal dunia. Kemudian beliau bersabda kepada utusan itu: “Kembalilah kamu kepada putriku dan katakanlah kepadanya bahwa menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi sesuatu. Segala sesuatu itu ada batas yang telah ditentukan oleh-Nya. Maka suruhlah ia supaya bersabar dan mengharapkan pahala kepada-Nya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud ra. melawat Sa’ad bin ‘Ubadah, kemudian beliau menangisi. Ketika para shahabat melihat Rasulullah saw. menangis, maka merekapun menangis. Rasulullah saw. lantas bersabda: “Tidakkah kalian semua mau mendengar? Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa seseorang karena linangan air mata dan tidak pula karena kesedihan hati, tetapi Allah menyiksa atau mengasihi seseorang itu karena ini.” Beliau menunjuk kepada lidahnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Usamah bin Zaid ra. bahwasannya ketika cucu Rasulullah saw. yang hampir meninggal dunia diserahkan kepadanya, maka kedua mata beliau mencucurkan air mata. Kemudian Sa’ad bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulallah, mengapa engkau bersikap demikian?” Beliau menjawab: “Ini adalah suatu rahmat yang Allah limpahkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya, dan sesungguhnya Allah akan mengasihi hamba-hamba-Nya yang mempunyai belas kasihan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Anas ra. bahwasannya ketika Rasulullah saw. masuk ke kamar puteranya Ibrahim ra. yang sedang menghebuskan nafasnya yang terakhir, maka kedua mata Rasulullah saw. mencucurkan air mata. Kemudian Abdurrahman bin Auf bertanya kepada beliau: “Engkau juga menangis wahai Rasulallah?” Beliau menjawab: “Wahai Abu Auf, sesungguhnya ini adalah suatu rahmat, tetapi kemudian diikuti dengan ketentuan lain.” Beliau bersabda pula: “Sesungguhnya meski mata berlinang dan hati merasa sedih, tetapi kami tidak boleh mengucapkan sesuatu kecuali apa yang diridlai oleh Rabb. Dan sungguh saya merasa sedih karena harus berpisah denganmu wahai Ibrahim.” (HR Bukhari)

Dari Abu Rafi’ Aslam pelayan Rasulullah saw. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memandikan mayat kemudian ia menyembunyikan rahasianya [mayat] maka Allah mengampuni baginya empat puluh kali.” (HR al-Hakim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menyaksikan [menghadiri] jenazah sampai dishalatkan, maka ia memperoleh pahala satu qirath, dan barangsiapa yang menyaksikan [menghadirinya] sampai jenazah itu dikuburkan, maka ia memperoleh pahala dua qirath.” Ada seseorang bertanya: “Apakah dua qirath itu?” Beliau menjawab: “Sebesar dua gunung yang besar.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menghantar jenazah seorang muslim dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah serta ia terus menungguinya sampai jenazah itu dishalatkan, dan selesai dikuburkan, maka ia pulang dengan membawa pahala dua qirath; setiap qirath menyerupai gunung Uhud. Dan barangsiapa yang pulang hanya sampai jenazah itu dishalatkan dan tidak menyaksikan penguburannya, maka ia pulang dengan membawa pahala satu qirath.” (HR Bukhari)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Setiap mayat yang dishalatkan oleh orang muslim yang jumlahnya mencapai seratus orang, dimana kesemuanya memintakan syafaat untuknya, niscaya mayat itu akan memperoleh syafaat.” (HR Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim yang meninggal dunia, kemudian jenazahnya dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apapun, niscaya Allah menerima syafaat mereka itu.” (HR Muslim)

Dari Martsad bin Abdullah al-Yazanniy, ia berkata: Apabila Malik bin Hubairah ra. menyalatkan jenazah dan orang yang akan menshalatkannya itu sedikit, maka ia membaginya menjadi tiga bagian, kemudian ia berkat: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang dishalatkan oleh tiga shaf [baris], maka ia dapat dipastikan untuk diampuni dosanya.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
(bersambung ke bagian 2)

Adab Terhadap Orang Sakit dan Jenazah

6 Mei

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; hadits Bukhari-Muslim

Dari al-Barra’ bin Azib ra. ia berkata: Rasulullah saw. memerintahkan kepada kami untuk menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang bersin (yang memuji Allah), menepati sumpah, menolong orang teraniaya, memenuhi undangan dan menyebarluaskan salam.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Hak orang Islam atas orang Islam lain ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, mendoakan orang yang bersin (yang memuji Allah).” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Pada hari kiamat, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Hai anak Adam (manusia)! Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Anak Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, bagaimana aku meski menjenguk-MU, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam.” Allah berfirman: “Tidakkah kamu tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, tetapi kamu tidak mau menjenguknya. Tidakkah kamu tahu bahwa seandainya kamu mau menjenguknya, niscaya kamu menemukan Aku ada di sisinya. Wahai anak Adam, aku minta makan kepadamu tetapi kamu tidak mau memberi makan kepada-Ku.” Anak Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, bagaimana aku mesti memberi makan kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah berfirman: “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan minta makan kepadamu tetapi kamu tidak mau memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberinya makan niscaya kamu mendapatkan hal itu tertulis di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku minta minum kepadamu tetapi kamu tidak mau memberi minum kepada-Ku.” Anak Adam menjawab: “Wahai Tuhanku bagaimana aku mesti memberimu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam.” Allah berfirman: “Hamba-Ku si fulan minta minum kepadamu sedangkan kamu tidak mau memberinya minum. Sungguh seandainya kamu memberinya minum niscaya kamu akan menemukan hal itu tertulis di sisi-Ku.” (HR Muslim)

Dari Abu Musa ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Kalian tengoklah orang sakit, berilah makan orang yang lapar dan lepaskanlah (tolonglah) orang yang menderita.” (HR Bukhari)

Dari Tsauban ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: Sungguh orang Islam itu apabila ia mengunjungi saudaranya sesama muslim, maka ia tetap berada di kebun surga hingga ia kembali.” Ditanyakan: “Wahai Rasulallah. Apakah khurfatul jannah itu?” Rasulullah saw. bersabda: “Kebun yang sedang berbuah di surga.” (HR Muslim)

Dari Ali ra ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang muslim yang menjenguk sesama muslim pada waktu pagi, maka ia akan dimintakan rahmat oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai waktu sore. Dan apabila ia menjenguknya pada waktu sore, maka ia akan dimintakan rahmat oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai waktu pagi, serta ia mendapat jaminan buah-buahan yang siap dimakan di dalam surga.” (HR Turmudzi)

Dari Anas ra. ia berkata: Ada seorang pemuda Yahudi yang biasa melayani Nabi saw. sakit dan Nabi datang untuk untuk menjenguknya, lantas beliau duduk dekat kepalanya seraya bersabda: “[Masuk] Islam-lah.” Ia melihat ayahnya yang berada di situ juga, kemudian ayahnya berkata: “Patuhilah Abu Qasim.” Maka ia pun masuk Islam. Kemudian Nabi saw. keluar sambil mengucapkan: alhamdu lillaaHil ladzii anqadzaHuu minan naar (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.) (HR Bukhari)

Dari Ibu ‘Abbas ra. bahwasannya Ali bin Abi Thalib ra. keluar dari rumah Rasulullah saw. pada waktu beliau sakit menjelang meninggal, kemudian para shahabat bertanya: “Wahai Abul Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah saw. pagi ini?” Ali menjawab: “Alhamdulillah, pagi ini agak baik.” (HR Bukhari)