Tag Archives: kemukjizatan

Kemukjizatan Bahasa al-Qur’an

13 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Para ahli bahasa telah menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa kemudaannya. Mereka menggubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majaazi [metafora], itnaab dan ijaz, serta tutur dan ucapannya.

Meskipun bahasa itu telah meningkat dan tinggi, tetapi di hadapan al-Qur’an, dengan kemukjizatan bahasanya, ia menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut terhadap uslub al-Qur’an.

Sejarah Arab yang tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan bayaan qur’ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya.

Hal ini tidaklah mengherankan, sebab “itulah sunnah Allah dalam ayat-ayat yang dibuat dengan kedua tangan-Nya. Semakin anda mengenali dan mengetahui rahasia-rahasianya, akan semakin akan semakin tunduk pula kepada kebesarannya dan semakin yakin akan kemukjizatannya. Ini sangat berbeda dengan karya-karya makhluk. Pengetahuan tentang rahasia-rahasianya akan menjadikan anda menguasainya dan membukakan bagi anda jalan untuk menambahnya. Atas dasar itulah tukang-tukang sihir Fir’aun adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun.

Dalam pada itu mereka yang dirasuki ketertipuan dan ditimpa noda kesombongan serta berusaha menandingi uslub al-Qur’an, menirunya dengan dengan bualan kosong yang lebih menyerupai kata-kata hina, rendah, igauan dan kesia-siaan. Dan akhirnya mereka kembali dalam keadaan rugi, seperti mereka yang mengaku menjadi nabi, para dajjal, pendusta dan sebangsanya.

Sejarah menyaksikan, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa dan mereka memperoleh kemenangan. Tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani memproklamirkan dirinya menantang al-Qur’an, melainkan ia hanya mendapatkan kehinaan dan kekalahan.

Bahkan sejarah mencatat, kelemahan bahasa ini terjadi justru pada masa kejayaan dan kemajuannya ketiak al-Qur’an diturunkan. Saat itu bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa.

Dan al-Qur’an berdiri tegak di hadapan para ahli bahasa dengan sikap menantang, dengan berbagai bentuk tantangan. Volume tantangan ini kemudian secara berangsur-angsur diturunkan menjadi lebih ringan, dari sepuluh surah menjadi satu surah, dan bahkan menjadi satu pembicaraan yang serupa dengannya.

Namun demikian tidak seorangpun dari mereka sanggup menandingi dan mengimbanginya, padahal mereka adalah orang-orang sombong, tinggi hati dan pantang dikalahkan. Seandainya mereka punya kemampuan untuk meniru sedikit saja daripadanya atau mendapatkan celah-celah kelemahan di dalamnya, tentu mereka tidak akan repot-repot menghunus pedang dalam menghadapi tantangan tersebut, sesudah kemampuan retorika mereka lemah dan pena mereka pecah.

Kurun waktu terus silih berganti melewati ahli-ahli bahasa Arab, tetapi kemukjizatan al-Qur’an tetap tegar bagai gunung yang menjulang tinggi. Di hadapannya semua kepala bertekuk lutut dan tunduk, tidak terpikirkan untuk mengimbanginya, apalagi mengunggulinya, karena terlalu lemah dan tidak bergairah menghadapi tantangan berat ini. Dan senantiasa akan tetap demikian keadaannya sampai hari kiamat.

Tidak seorangpun dapat mendakwakan bahwa menandingi al-Qur’an itu tidak perlu, meskipun hal demikian itu sesuatu yang mungkin. Sebab sejarah mencatat bahwa telah terpenuhi faktor-faktor kuat yang mendorong mereka untuk menandingi al-Qur’an. Yaitu di saat mereka bersikap ingkar, menolak risalah dan pembawanya, juga di saat al-Qur’an mengobarkan fanatisme mereka, menganggap dungu fikirannya serta menantang mereka secara terbuka yang dapat membangkitkan dendam para pengecut licik, padahal mereka orang-orang sombong dan tinggi hati.

Maka mereka melakukan berbagai tindakan terhadap Rasulullah saw., menawarkan kepadanya harta dan kerajaan agar beliau berhenti dari aktifitas dakwahnya di samping melakukan blokade terhadapnya dan orang-orang yang bersamanya agar mati kelaparan; juga mereka menuduhnya sebagai tukang sihir yang gila, lalu berkomplot untuk menangkap, membunuh atau mengusirnya.

Akhirnya menemukan jalan satu-satunya untuk membungkam Rasulullah saw. yaitu dengan cara mendatangkan kehadapannya kalam yang serupa dengan apa yang dibawanya kepada mereka. “Bukankah yang demikian itu lebih mudah bagi mereka dan lebih kekal jika persoalannya ada di tangan mereka? akan tetapi, mereka menempuh segala cara kecuali cara ini. Dan adalah pembunuhan, penawanan, kemiskinan dan kehinaan, semua itu dirasa lebih ringan bagi mereka daripada menempuh jalan rumit yang mereka temukan itu. Adakah kelemahan lain jika yang demikian itu bukan kelemahan?”

Al-Qur’an di mana orang Arab tidak mampu menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafadz dan huruf-hurufnya maupun susunan dan uslubnya. Akan tetapi al-Qur’an jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi’liah-nya, dalam nafi’ dan isbat-nay, dalam dzikr dan hazf-nya, dalam tankir dan ta’rif-nya, dalam taqdim dan ta’khir-nya, dalam itnab dan ijaz-nya, dalam umum dan khususnya, dalam mutlaq dan muqayyad-nya, dalam nass dan fahwa-nya, maupun dalam hal lainnya. Dalam hal-hal tersebut dan yang serupa al-Qur’an telah mencapai puncak tertinggi yang tidak sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Walid bin Mughirah datang kepada Nabi saw. lalu Nabi membacakan al-Qur’an kepadanya, maka hati Walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai kepada Abu Jahal. Lalu ia mendatanginya seraya berkata, “Wahai pamanku, Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tetapi kamu malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.”

Walid menjawab, “Sungguh kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling banyak hartanya.” Abu Jahal berkata, “Kalau begitu katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau sampaikan kepada kaummu bahwa kamu mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid menjawab, “Apa yang harus kukatakan? Demi Allah, di antara kamu tidak ada seorangpun yang lebih tahu daripada aku tentang syair-syair tersebut. Demi Allah, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya.”

Abu Jahal menimpali: “Demi Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.” Walid menjawab, “Biarlah aku berfikir sebentar.” Maka setelah berfikir, ia berkata, “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempelajarinya dari orang lain.” Lalu turunlah firman Allah: ‘Biarlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendiri.’ (al-Muddatstsir: 11)”

(Hadits dikeluarkan dan dinyatakan shahih oleh Hakim, dan Baihaqi dalam ad-Dalaa’il)

Setiap manusia memusatkan perhatiannya pada al-Qur’an, ia tentu akan mendapatkan rahasia-rahasia kemukjizatan aspek bahasanya tersebut. Ia dapatkan kemukjizatan itu dalam keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harakat dan sukun-nya, madd dan ghunnahnya, faasilah dan maqta’nya, sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.

Kemukjizatan itu pun dapat ia temukan dalam lafadz-lafadznya yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya. Tidak satupun di antara lafadz-lafadz itu yang dikatakan sebagai kelebihan. Juga tidak ada seorang peneliti terhadap suatu tempat [dalam al-Qur’an] menyatakan bahwa pada tempat itu perlu ditambahkan suatu lafadz karena ada kekurangan.

Kemukjizatan didapatkan pula dalam macam-macam khitab di mana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitas dapat memahami khitab itu sesuai dengan tingkat akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya cocok dengan tingkatan akalnya dan sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli. “Dan sesungguhnya Kami telah memudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

Demikian pula kemukjizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Al-Qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak akan menindas kekuatan pikir.

Demikianlah, setiap perhatian difokuskan maka akan tegaklah di hadapannya hujjah-hujjah al-Qur’an dalam sikap menantang dan memperlihatkan kemukjizatan.

Qadi Abu Bakar al-Baqalani berkata: Keindahan susunan Al-Qur’an mengandung beberapa aspek kemukjizatan. Di antaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan al-Qur’an, dengan berbagai wajah dan madzhabnya berbeda dengan sistem dan tata urutan yang telah umum dan dikenal luas dalam perkataan mereka. Ia mempunyai uslub yang khas dan berbeda dengan uslub-uslub kalam biasa.

Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, cara-cara membuat dan menentukan kalam yang indah dan teratur terbagi atas ‘aruud-‘aruud syair dengan berbagai macamnya; terbagi lagi atas macam-macam kalam berwazan tanpa memperhatikan qaafiyah [kata terakhir dalam bait]; kemudian atas macam-macam kalam yang berimbang dan bersajak; kalam berimbang dan berwazan tanpa sajak; prosa yang di dalamnya dituntut ketepatan, kemanfaatan dan pemberian makna yang dikemukakan dalam bentuk yang indah dan susunan yang halus sekalipun wazannya tidak seimbang.

Dan itu serupa dengan sejumlah kalam yang direka-reka tanpa fungsi. Kita tahu bahwa al-Qur’an berlainan dengan cara-cara seperti itu dan berbeda dengan semua ragamnya. Al-Qur’an tidak termasuk sajak dan tidak pula termasuk golongan syair. Oleh karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khitab mereka, maka jelaslah bahwa al-Qur’an keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat. Inilah sifat-sifat khas yang kembali kepada al-Qur’an secara global dan berbeda dengan semuanya itu..

Orang Arab tidak mempunyai kalam yang mencakup fasaahah, gharaabah [keanehan], rekayasa yang indah, makna yang halus, faedah yang melimpah, hikmah yang meruah, keserasian balaghah dan ketrampilan baraa’ah sebanyak dan dalam kadar seperti itu. Kata-kata hikmah [bijak] mereka hanyalah beberapa patah kata dan sejumlah lafaz.

Dan para penyairnya pun hanya mampu menggubah beberapa buah qasidah. Itupun mengandung kerancuan dan kontradiksi serta pemaksaan dan kekaburan. Sedangkan al-Qur’an, yang sedemikian banyak dan panjang, ke-fasaahah-annya senantiasa indah dan serasi, sesuai dengan apa yang digambarkan Allah:

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik [yaitu] al-Qur’an yang serupa [mutu ayat-ayatnya] lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (az-Zumar: 23)

“Dan sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisaa’: 82) dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perkataan manusia itu jika banyak, maka akan terjadi kontradiksi di dalamnya dan akan nampak pula kekacauannya.

Betapa menakjubkan rangkaian al-Qur’an dan betapa indah susunannya. Tidak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal ia membeberkan banyak segi yang dicakupnya, seperti kisah dan nasehat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka, serta akhlak mulia, pekerti tinggi, perilaku baik dan lain sebagainya.

Sementara itu kita dapatkan kalam pujangga pentolan, penyair ulung dan orator agitator akan berbeda-beda dan berlainan sesuai dengan perbedaan hal-hal tersebut. Di antara penyair ada yang hanya pandai memuji tetapi tidak pandai mencela. Ada yang unggul dalam kelalaian tetapi tidak pandai dalam peringatan. Ada juga yang hanya pandai melukiskan unta dan kuda, memerikan perjalanan malam, menggambarkan peperangan, taman, khamar, senda gurau, cumbuan dan lain-lainnya yang dapat dicakup dalam syair dan dituangkan dalam kalam.

Oleh karena itu maka dijadikanlah Umru’ul Qais sebagai contoh dalam berkendaraan, an-Nabighah sebagai contoh dalam mengancam dan Zuhair dalam membujuk. Dan yang demikian ini pun berbeda-beda pula dalam hal pidato, surat-menyurat dan jenis-jenis kalam lainnya…

Setelah merenungkan sistem jalinan dan susunan al-Qur’an, kita akan mendapatkan bahwa semua aspek dan segi yang ditangani dan dikandungnya, sebagaimana telah kita sebutkan, berada dalam satu batas keindahan sistem dan keelokan susunan dan pemerian, tanpa perbedaan dan penurunan dari tingkat yang tinggi. Dan dengan demikian kita yakin, al-Qur’an adalah sesuatu hal di luar kemampuan manusia.

&

Aspek-Aspek Kemukjizatan al-Qur’an

9 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Kelahiran ilmu kalam di dalam Islam mempunyai implikasi yang lebih tepat untuk dikatakan sebagai kalam di dalam kalam. Percikan pemikiran yang ada di dalamnya menarik pengikutnya ke dalam kerancuan pemikiran yang tumpang tindih, sebagaimana berada di atas sebagian yang lain. Tragedi tokoh-tokoh ilmu kalam ini mulai tampak ketika membicarakan kemakhlukan al-Qur’an. Maka pendapat dan pandangan mereka tentang kemukjizatan al-Qur’an pun berbeda-beda dan beragam.

1. Abu Ishaq Ibrahim an-Nizaam dan pengikutnya dari kaum Syi’ah seperti al-Murtada berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an adalah dengan cara sirfah [pemalingan]. Arti sirfah dalam pandangan an-Nizam ialah, bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menantang al-Qur’an. Padahal, sebenarnya mereka mampu menghadapinya. Maka pemalingan inilah yang luar biasa [mukjizat]. Sedang sirfah menurut pandangan al-Murtada ialah bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qur’an agar mereka tidak mampu membuat seperti al-Qur’an.

Pendapat ini menunjukkan kelemahan pemiliknya itu sendiri. Sebab tidak akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang melemahkan [mu’jiz] adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian al-Qur’an bukan mukjizat. Padahal pembicaraan kita tentang kemukjizatan al-Qur’an, bukan kemukjizatan Allah, akan tetap ada sepanjang masa.

Berkata Qadi Abu Bakar al-Baqalani: “Salah satu hal yang membatalkan pendapat sirfah ialah, kalaulah menandingi al-Qur’an itu mungkin tetapi mereka dihalangi oleh sirfah, maka kalam Allah itu tidak mukjizat, melainkan sirfah itulah yang mukjizat. Dengan demikian, kalam tersebut tidak mempunyai kelebihan apa pun atas kalam yang lain.”

Pendapat tentang sirfah ini batil dan ditolak oleh al-Qur’an sendiri dalam firman-Nya yang artinya:

“Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.” (al-Israa’: 88)

Ayat ini menunjukkan kelemahan mereka meskipun mereka masih mempunyai kemampuan. Dan seandainya kemampuan mereka telah dicabut, maka berkumpulnya jin dan manusia tidak lagi berguna karena perkumpulan itu sama halnya dengan perkumpulan orang-orang mati. Sedang kelemahan orang mati bukanlah sesuatu yang patut disebut-sebut.

2. Satu golongan ulama berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat dengan balaghahnya, yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Ini adalah pendapat ahli bahasa Arab yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.

3. Sebagian mereka berpendapat, segi kemukjizatan al-Qur’an itu ialah karena ia mengandung badi’ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal perkataan orang Arab, seperti faasilah dan maqta.

4. Golongan lain berpendapat, kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang yang tidak dapat diketahui kecuali dengan wahyu, dan pada pemberitaannya tentang hal-hal yang sudah terjadi sejak masa penciptaan makhluk, yang tidak mungkin dapat diterangkan oleh seorang ummi yang tidak pernah berhubungan dengan ahli kitab. Misalnya firman Allah tentang penduduk Badar:

“Golongan itu pasti dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (al-Qamar: 45)

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya.” (al-Fath: 27)

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.” (an-Nuur: 55)

“Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang.” (ar-Ruum: 1-3)

“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadanya [Muhammad]; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak [pula] kaummu sebelum ini.” (Huud: 49) dan kisah-kisah orang-orang terdahulu lainnya.

Pendapat golongan ini tidak dapat diterima [mardud], sebab ia menuntut ayat-ayat yang tidak mengandung berita tentang hal-hal ghaib yang akan datang dan yang telah lalu, tidak mengandung mukjizat. Dan ini adalah bathil, sebab Allah telah menjadikan setiap surah sebagai mukjizat tersendiri.

5. Satu golongan berpendapat, al-Qur’an itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah sangat dalam. Dan masih banyak lagi aspek-aspek kemukjizatan lainnya yang berkisar pada sekitar tema-tema di atas, sebagaimana telah dihimpun oleh sebagian ulama, mencapai sepuluh aspek atau lebih. Padalah hakekatnya al-Qur’an itu mukjizat dengan segala makna yang dibawakan dan dikandung oleh lafadz-lafadznya.

Ia mukjizat dalam lafadz-lafadz dan uslubnya. Satu huruf daripadanya yang berada di tempatnya merupakan suatu mukjizat yang diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata. Satu kata yang berada di tempatnya juga merupakan mukjizat dalam ikatan kalimat. Dan satu kalimat yang ada di tempatnya pun merupakan mukjizat dalam jalinan surahl

Ia mukjizat dalam hal bayaan [penjelasan, retorika] dan nazam [jalinan]-nya. Di dalamnya seorang pembaca akan menemukan gambaran hidup bagi kehidupan, alam dan manusia. Ia adalah mukjizat dalam makna-maknanya yang telah menyingkapkan tabir hakekat kemanusiaan dan misinya di dalam kosmos ini.

Ia mukjizat dengan segala ilmu dan pengetahuan yang sebagian besar hakekatnya yang ghaib telah diakui dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern.

Ia adalah mukjizat dalam tasyri’ dan pemeliharaannya terhadap hak-hak asasi manusia serta dalam pembentukan masyarakat teladan yang di tangannya dunia akan berbahagia.

Al-Qur’an, seluruhnya, itulah yang membuat orang Arab yang semula hanya penggembala domba dan kambing, menjadi pemimpin bangsa-bangsa dan panutan umat. Dan ini saja cukup menjadi bukti mukjizat.

Berkata al-Khattabi dalam kitabnya:

Maka dapat disimpulkan dari keterangan tersebut bahwa al-Qur’an itu mukjizat karena ia datang dengan lafadz-lafadz yang paling fasih, dalam susunan yang paling indah dan mengandung makna-makna yang paling valid, sahih, seperti peng-Esa-an Allah, penyucian sifat-sifat-Nya, ajakan taat kepada-Nya, penjelasan cara ibadah kepada-Nya, dengan menerangkan hal yang dihalalkan dan diharamkan, dilarang dan dibolehkan. Juga seperti nasehat dan bimbingan, amar makruf, nahi munkar, serta bimbingan akhlak yang baik dan larangan dari akhlak buruk.

Semua hal di atas diletakkan pada tempatnya masing-masing sehingga tidak tampak ada sesuatu lain yang lebih baik daripadanya, dan tidak bisa dibayangkan dalam imajinasi akal ada sesuatu lain yang lebih pantas daripadanya.

Di samping itu, ia juga memuat berita tentang sejarah manusia di abad-abad silam dan azab yang diturunkan Allah kepada orang-orang yang durhaka dan menentangnya di antara mereka.

Juga ia menceritakan tentang realitas-realitas yang akan terjadi jauh sebelum terjadi, mengemukakan secara lengkap argumentasi dan hal yang diberi argumentasi, dalil atau bukti dan hal yang dibuktikannya, agar dengan demikian ia lebih kuat, mantap, dalam menetapkan kewajiban dan diperintahkannya dan larangan yang dicegahnya, sebagaimana diserukan dan diberitakannya.

Jelaslah bahwa mendatangkan hal-hal seperti itu lengkap dengan berbagai ragamnya hingga tersusun rapi dan teratur, merupakan sesuatu yang tidak ditanggapi kekuatan manusia dan di luar jangkauan kemampuannya. Dengan demikian, sia-sialah makhluk di hadapannya dan menjadi lemah, tidak mampu, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya.

&

Definisi Kemukjizatan al-Qur’an dan Ketetapannya

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

I’jaz [kemukjizatan] adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz [sesuatu yang melemahkan].

Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembicaraan ini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mu’jizat adalah sesuatu yang luar biasa yang disertai dengan tantangan dan selamat dari perlawanan.

Al-Qur’anul Karim digunakan oleh Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fashaahah dan balaghah-nya. Hal ini tiada lain karena al-Qur’an adalah mu’jizat.

Rasulullah saw. telah meminta orang-orang Arab menandingin al-Qur’an dalam tiga tahapan:

1. Menantang mereka dengan seluruh al-Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain, manusia dan jin, dengan tangangan yang mengalahkan kemampuan mereka secara padu melalui firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.’” (al-Israa’: 88)

2. Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari al-Qur’an dalam firman-Nya:

“Ataukah mereka mengatakan: ‘Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu,’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah,” (Huud: 13-14)

3. Menantang mereka dengan satu surah saja dari al-Qur’an, dalam firman-Nya:

“Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad membuat-buatnya.’ Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar.’” (Yunus: 38)

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 23)

Orang yang mempunyai sedikit saja pengetahuan tentang sejarah bangsa Arab dan sastra bahasanya, tentu akan mengetahui faktor-faktor bagi diutusnya Rasulullah yang meninggikan bahasa Arab, menghaluskan tutur katanya dan mengumpulkan ragam dialeknya yang paling banyak dari pasar-pasar sastra dan perlombaan puisi dan prosa. Sehingga muara selokan-selokan fasahah dan peredaran kalam yang retorik berakhir pada bahasa Quraisy, dengan bahasa mana al-Qur’an diturunkan.

Selain itu bangsa Arab mempunyai kebanggaan diri yang mereka unggul-unggulkan atas bangsa-bangsa lain dengan congkak dan sombong, sehingga menjadi perumpamaan di dalam sejarah yang mencatat “kejayaan” mereka karena pertempuran dan peperangan hebat yang dinyalakan oleh api kesombongan dan kecongkakan.

Bangsa seperti mereka, dengan terpenuhinya potensi kebahasaan dan kekuatan retorika yang dinyalakan oleh semangat kesukuan dan dikobarkan oleh tungku fanatisme, andaikata telah dapat menandingi al-Qur’an tentu hal demikian akan menjadi buah bibir dan beritanya akan tersiar di setiap generasi.

Sebenarnya mereka telah menelaah ayat-ayat kitab, membolak-baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya.

Sebaliknya yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat al-Qur’an menggoncangkan hati mereka, seperti yang terjadi pada Walid bin Mughirah.

Dan di saat mereka sudah tidak sanggup lagi berdaya upaya, mereka melemparkan kepada al-Qur’an itu kata-kata yang membingungkan: “Al-Qur’an ini adalah sihir yang dipelajari, karya penyair gila atau dongengan bangsa purbakala.”

Mereka tidak dapat menghindar lagi di hadapan kelemahan dan kesombongannya selain harus menyerahkan leher kepada pedang; seakan-akan keputusasaan yang mematikan telah memindahkan para penderitanya dari pandangan mereka terhadap kehidupan panjang dan umur panjang ke saat kematian, sampai akhirnya mereka menyerah pada kematian yang mendadak. Dengan demikian terbuktilah sudah kemukjizatan al-Qur’an tanpa diragukan lagi.

Mendengarkan al-Qur’an juga merupakan hujjah yang pasti: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah.” (at-Taubah: 6).

Aspek-aspek mukjizat yang dikandungnya pun melebihi segala mukjizat kauniyah terdahulu dan tidak membutuhkan semua itu:

“Dan orang-orang kafir Mekah berkata: ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.’ Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) sedang Dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (al-Ankabut: 50-51)

Kelemahan orang Arab untuk menandingi al-Qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor dan potensi untuk itu, merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa Arab di masa bahasa itu berada pada puncak kemajuan dan kejayaannya.

Kemukjizatan al-Qur’an bagi bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi tantangan yang tegar. Misteri-misteri yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian dari fenomena hakekat-hakekat tinggi yang terkandung dalam misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi eksistensi Pencipta dan Perencananya. Dan inilah yang dikemukakan secara global atau diisyaratkan oleh al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qur’an tetap merupakan mukjizat bagi seluruh umat manusia.

&