Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Para ahli bahasa telah menekuni ilmu bahasa ini dengan segala variasinya sejak bahasa itu tumbuh sampai remaja dan mekar dan menjadi raksasa perkasa yang tegar dalam masa kemudaannya. Mereka menggubah puisi dan prosa, kata-kata bijak dan masal yang tunduk pada aturan bayan dan diekspresikan dalam uslub-uslubnya yang memukau, dalam gaya hakiki dan majaazi [metafora], itnaab dan ijaz, serta tutur dan ucapannya.
Meskipun bahasa itu telah meningkat dan tinggi, tetapi di hadapan al-Qur’an, dengan kemukjizatan bahasanya, ia menjadi pecahan-pecahan kecil yang tunduk menghormat dan takut terhadap uslub al-Qur’an.
Sejarah Arab yang tidak pernah mengenal suatu masa di mana bahasa berkembang sedemikian pesatnya melainkan tokoh-tokoh dan guru-gurunya bertekuk lutut di hadapan bayaan qur’ani, sebagai manifestasi pengakuan akan ketinggiannya dan mengenali misteri-misterinya.
Hal ini tidaklah mengherankan, sebab “itulah sunnah Allah dalam ayat-ayat yang dibuat dengan kedua tangan-Nya. Semakin anda mengenali dan mengetahui rahasia-rahasianya, akan semakin akan semakin tunduk pula kepada kebesarannya dan semakin yakin akan kemukjizatannya. Ini sangat berbeda dengan karya-karya makhluk. Pengetahuan tentang rahasia-rahasianya akan menjadikan anda menguasainya dan membukakan bagi anda jalan untuk menambahnya. Atas dasar itulah tukang-tukang sihir Fir’aun adalah orang yang pertama-tama beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun.
Dalam pada itu mereka yang dirasuki ketertipuan dan ditimpa noda kesombongan serta berusaha menandingi uslub al-Qur’an, menirunya dengan dengan bualan kosong yang lebih menyerupai kata-kata hina, rendah, igauan dan kesia-siaan. Dan akhirnya mereka kembali dalam keadaan rugi, seperti mereka yang mengaku menjadi nabi, para dajjal, pendusta dan sebangsanya.
Sejarah menyaksikan, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan festifal bahasa dan mereka memperoleh kemenangan. Tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani memproklamirkan dirinya menantang al-Qur’an, melainkan ia hanya mendapatkan kehinaan dan kekalahan.
Bahkan sejarah mencatat, kelemahan bahasa ini terjadi justru pada masa kejayaan dan kemajuannya ketiak al-Qur’an diturunkan. Saat itu bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa.
Dan al-Qur’an berdiri tegak di hadapan para ahli bahasa dengan sikap menantang, dengan berbagai bentuk tantangan. Volume tantangan ini kemudian secara berangsur-angsur diturunkan menjadi lebih ringan, dari sepuluh surah menjadi satu surah, dan bahkan menjadi satu pembicaraan yang serupa dengannya.
Namun demikian tidak seorangpun dari mereka sanggup menandingi dan mengimbanginya, padahal mereka adalah orang-orang sombong, tinggi hati dan pantang dikalahkan. Seandainya mereka punya kemampuan untuk meniru sedikit saja daripadanya atau mendapatkan celah-celah kelemahan di dalamnya, tentu mereka tidak akan repot-repot menghunus pedang dalam menghadapi tantangan tersebut, sesudah kemampuan retorika mereka lemah dan pena mereka pecah.
Kurun waktu terus silih berganti melewati ahli-ahli bahasa Arab, tetapi kemukjizatan al-Qur’an tetap tegar bagai gunung yang menjulang tinggi. Di hadapannya semua kepala bertekuk lutut dan tunduk, tidak terpikirkan untuk mengimbanginya, apalagi mengunggulinya, karena terlalu lemah dan tidak bergairah menghadapi tantangan berat ini. Dan senantiasa akan tetap demikian keadaannya sampai hari kiamat.
Tidak seorangpun dapat mendakwakan bahwa menandingi al-Qur’an itu tidak perlu, meskipun hal demikian itu sesuatu yang mungkin. Sebab sejarah mencatat bahwa telah terpenuhi faktor-faktor kuat yang mendorong mereka untuk menandingi al-Qur’an. Yaitu di saat mereka bersikap ingkar, menolak risalah dan pembawanya, juga di saat al-Qur’an mengobarkan fanatisme mereka, menganggap dungu fikirannya serta menantang mereka secara terbuka yang dapat membangkitkan dendam para pengecut licik, padahal mereka orang-orang sombong dan tinggi hati.
Maka mereka melakukan berbagai tindakan terhadap Rasulullah saw., menawarkan kepadanya harta dan kerajaan agar beliau berhenti dari aktifitas dakwahnya di samping melakukan blokade terhadapnya dan orang-orang yang bersamanya agar mati kelaparan; juga mereka menuduhnya sebagai tukang sihir yang gila, lalu berkomplot untuk menangkap, membunuh atau mengusirnya.
Akhirnya menemukan jalan satu-satunya untuk membungkam Rasulullah saw. yaitu dengan cara mendatangkan kehadapannya kalam yang serupa dengan apa yang dibawanya kepada mereka. “Bukankah yang demikian itu lebih mudah bagi mereka dan lebih kekal jika persoalannya ada di tangan mereka? akan tetapi, mereka menempuh segala cara kecuali cara ini. Dan adalah pembunuhan, penawanan, kemiskinan dan kehinaan, semua itu dirasa lebih ringan bagi mereka daripada menempuh jalan rumit yang mereka temukan itu. Adakah kelemahan lain jika yang demikian itu bukan kelemahan?”
Al-Qur’an di mana orang Arab tidak mampu menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafadz dan huruf-hurufnya maupun susunan dan uslubnya. Akan tetapi al-Qur’an jalinan huruf-hurufnya serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiah dan fi’liah-nya, dalam nafi’ dan isbat-nay, dalam dzikr dan hazf-nya, dalam tankir dan ta’rif-nya, dalam taqdim dan ta’khir-nya, dalam itnab dan ijaz-nya, dalam umum dan khususnya, dalam mutlaq dan muqayyad-nya, dalam nass dan fahwa-nya, maupun dalam hal lainnya. Dalam hal-hal tersebut dan yang serupa al-Qur’an telah mencapai puncak tertinggi yang tidak sanggup kemampuan bahasa manusia untuk menghadapinya.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Walid bin Mughirah datang kepada Nabi saw. lalu Nabi membacakan al-Qur’an kepadanya, maka hati Walid menjadi lunak karenanya. Berita ini sampai kepada Abu Jahal. Lalu ia mendatanginya seraya berkata, “Wahai pamanku, Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta benda untuk diberikan kepadamu, tetapi kamu malah datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya.”
Walid menjawab, “Sungguh kaum Quraisy telah mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling banyak hartanya.” Abu Jahal berkata, “Kalau begitu katakanlah tentang dia, kata-kata yang akan kau sampaikan kepada kaummu bahwa kamu mengingkari dan membenci Muhammad.” Walid menjawab, “Apa yang harus kukatakan? Demi Allah, di antara kamu tidak ada seorangpun yang lebih tahu daripada aku tentang syair-syair tersebut. Demi Allah, kata-kata yang diucapkannya sungguh manis; bagian atasnya berbuah dan bagian bawahnya mengalirkan air segar. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya.”
Abu Jahal menimpali: “Demi Allah, kaummu tidak akan senang sampai kamu mengatakan sesuatu tentang dia.” Walid menjawab, “Biarlah aku berfikir sebentar.” Maka setelah berfikir, ia berkata, “Ini adalah sihir yang dipelajari. Ia mempelajarinya dari orang lain.” Lalu turunlah firman Allah: ‘Biarlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendiri.’ (al-Muddatstsir: 11)”
(Hadits dikeluarkan dan dinyatakan shahih oleh Hakim, dan Baihaqi dalam ad-Dalaa’il)
Setiap manusia memusatkan perhatiannya pada al-Qur’an, ia tentu akan mendapatkan rahasia-rahasia kemukjizatan aspek bahasanya tersebut. Ia dapatkan kemukjizatan itu dalam keteraturan bunyinya yang indah melalui nada huruf-hurufnya ketika ia mendengar harakat dan sukun-nya, madd dan ghunnahnya, faasilah dan maqta’nya, sehingga telinga tidak pernah merasa bosan, bahkan ingin senantiasa terus mendengarnya.
Kemukjizatan itu pun dapat ia temukan dalam lafadz-lafadznya yang memenuhi hak setiap makna pada tempatnya. Tidak satupun di antara lafadz-lafadz itu yang dikatakan sebagai kelebihan. Juga tidak ada seorang peneliti terhadap suatu tempat [dalam al-Qur’an] menyatakan bahwa pada tempat itu perlu ditambahkan suatu lafadz karena ada kekurangan.
Kemukjizatan didapatkan pula dalam macam-macam khitab di mana berbagai golongan manusia yang berbeda tingkat intelektualitas dapat memahami khitab itu sesuai dengan tingkat akalnya, sehingga masing-masing dari mereka memandangnya cocok dengan tingkatan akalnya dan sesuai dengan keperluannya, baik mereka orang awam maupun kalangan ahli. “Dan sesungguhnya Kami telah memudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)
Demikian pula kemukjizatan ditemukan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan menyenangkan perasaan. Al-Qur’an dapat memenuhi kebutuhan jiwa manusia, pemikiran maupun perasaan, secara sama dan berimbang. Kekuatan pikir tidak akan menindas kekuatan rasa dan kekuatan rasa pun tidak akan menindas kekuatan pikir.
Demikianlah, setiap perhatian difokuskan maka akan tegaklah di hadapannya hujjah-hujjah al-Qur’an dalam sikap menantang dan memperlihatkan kemukjizatan.
Qadi Abu Bakar al-Baqalani berkata: Keindahan susunan Al-Qur’an mengandung beberapa aspek kemukjizatan. Di antaranya ada yang kembali kepada kalimat, yaitu bahwa susunan al-Qur’an, dengan berbagai wajah dan madzhabnya berbeda dengan sistem dan tata urutan yang telah umum dan dikenal luas dalam perkataan mereka. Ia mempunyai uslub yang khas dan berbeda dengan uslub-uslub kalam biasa.
Dalam hubungan ini perlu dijelaskan, cara-cara membuat dan menentukan kalam yang indah dan teratur terbagi atas ‘aruud-‘aruud syair dengan berbagai macamnya; terbagi lagi atas macam-macam kalam berwazan tanpa memperhatikan qaafiyah [kata terakhir dalam bait]; kemudian atas macam-macam kalam yang berimbang dan bersajak; kalam berimbang dan berwazan tanpa sajak; prosa yang di dalamnya dituntut ketepatan, kemanfaatan dan pemberian makna yang dikemukakan dalam bentuk yang indah dan susunan yang halus sekalipun wazannya tidak seimbang.
Dan itu serupa dengan sejumlah kalam yang direka-reka tanpa fungsi. Kita tahu bahwa al-Qur’an berlainan dengan cara-cara seperti itu dan berbeda dengan semua ragamnya. Al-Qur’an tidak termasuk sajak dan tidak pula termasuk golongan syair. Oleh karena berbeda dengan semua macam kalam dan uslub khitab mereka, maka jelaslah bahwa al-Qur’an keluar dari kebiasaan dan ia adalah mukjizat. Inilah sifat-sifat khas yang kembali kepada al-Qur’an secara global dan berbeda dengan semuanya itu..
Orang Arab tidak mempunyai kalam yang mencakup fasaahah, gharaabah [keanehan], rekayasa yang indah, makna yang halus, faedah yang melimpah, hikmah yang meruah, keserasian balaghah dan ketrampilan baraa’ah sebanyak dan dalam kadar seperti itu. Kata-kata hikmah [bijak] mereka hanyalah beberapa patah kata dan sejumlah lafaz.
Dan para penyairnya pun hanya mampu menggubah beberapa buah qasidah. Itupun mengandung kerancuan dan kontradiksi serta pemaksaan dan kekaburan. Sedangkan al-Qur’an, yang sedemikian banyak dan panjang, ke-fasaahah-annya senantiasa indah dan serasi, sesuai dengan apa yang digambarkan Allah:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik [yaitu] al-Qur’an yang serupa [mutu ayat-ayatnya] lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (az-Zumar: 23)
“Dan sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisaa’: 82) dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perkataan manusia itu jika banyak, maka akan terjadi kontradiksi di dalamnya dan akan nampak pula kekacauannya.
Betapa menakjubkan rangkaian al-Qur’an dan betapa indah susunannya. Tidak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal ia membeberkan banyak segi yang dicakupnya, seperti kisah dan nasehat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka, serta akhlak mulia, pekerti tinggi, perilaku baik dan lain sebagainya.
Sementara itu kita dapatkan kalam pujangga pentolan, penyair ulung dan orator agitator akan berbeda-beda dan berlainan sesuai dengan perbedaan hal-hal tersebut. Di antara penyair ada yang hanya pandai memuji tetapi tidak pandai mencela. Ada yang unggul dalam kelalaian tetapi tidak pandai dalam peringatan. Ada juga yang hanya pandai melukiskan unta dan kuda, memerikan perjalanan malam, menggambarkan peperangan, taman, khamar, senda gurau, cumbuan dan lain-lainnya yang dapat dicakup dalam syair dan dituangkan dalam kalam.
Oleh karena itu maka dijadikanlah Umru’ul Qais sebagai contoh dalam berkendaraan, an-Nabighah sebagai contoh dalam mengancam dan Zuhair dalam membujuk. Dan yang demikian ini pun berbeda-beda pula dalam hal pidato, surat-menyurat dan jenis-jenis kalam lainnya…
Setelah merenungkan sistem jalinan dan susunan al-Qur’an, kita akan mendapatkan bahwa semua aspek dan segi yang ditangani dan dikandungnya, sebagaimana telah kita sebutkan, berada dalam satu batas keindahan sistem dan keelokan susunan dan pemerian, tanpa perbedaan dan penurunan dari tingkat yang tinggi. Dan dengan demikian kita yakin, al-Qur’an adalah sesuatu hal di luar kemampuan manusia.
&