Tag Archives: kontemporer

Berbaik Sangka kepada Allah Ta’ala

13 Mar

Berbaik Sangka kepada Allah Ta’ala
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Disukai bagi si sakit –khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda mendekati kematian– untuk berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab-Nya, selalu mengingat betapa besar kemurahan-Nya, betapa indah pengampunan-Nya, betapa luas rahmat-Nya, betapa sempurna karunia-Nya, dikedepankan-Nya kebaikan dan kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada ahli tauhid dan rahmat yang disediakan-Nya untuk mereka pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.”90

Hal ini diperkuat oleh hadits qudsi yang telah disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman: “Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”91

Ibnu Abbas berkata, “Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik sangka kepada-Nya; dan apabila Anda lihat orang yang hidup –yakni sehat– maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla.”

Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Ketika akan meninggal dunia, ayah berkata kepadaku, ‘Wahai Mu’tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah (kemurahan-kemurahan), supaya aku menghadap Allah Ta’ala dengan berbaik sangka kepada-Nya.”92

Imam Nawawi berkata, “Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan harapannya kepada rahmat Allah, menganjurkannya untuk berbaik sangka kepada Allah, mengingatkannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai pengharapan dan ditimbulkan semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya sebutkan ini banyak terdapat dalam hadits-hadits sahih, diantaranya sejumlah hadits yang saya sebutkan dalam “Kitab al-Jana’iz” dari kitab al-Adzkar. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a. ketika menghadapi maut, juga dilakukan Ibnu Abbas terhadap Aisyah, dan dilakukan pula oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan riwayat yang sahih.”93

&

Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit

13 Mar

Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit
Dr. Yusuf Qardhawi; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Dalam hadits-hadits yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun ringan.

Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu’ meriwayatkan: “Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi.”

Mengenai hadits ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Berarti riwayat hadits ini tidak marfu’ sampai Nabi saw., dan tidak ada yang dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Mengenai menjenguk orang yang sakit mata terdapat hadits khusus yang membicarakannya, yaitu hadits Zaid bin Arqam, dia berkata: “Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit mata.”12

Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna menjenguk orang sakit maupun tidak.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam “Kitab al-Mardha” dari kitab Shahih-nya, “Bab ‘Iyadatul-A’rab,” hadits Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu beliau bersabda, “Tidak apa-apa, suci insya Allah.” Orang Arab Badui itu berkata, “Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan mengantarkannya ke kubur.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Oh ya, kalau begitu.”13

Makna perkataan Nabi saw., “Tidak apa-apa, suci insya Allah,” itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan kepedihan dari orang Arab Badui itu, sebagaimana beliau mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Jika ia sembuh, maka ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan kesalahannya.

Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak harapan dan doa Nabi saw., lalu Nabi mentolerirnya dengan menuruti jalan pikirannya seraya mengatakan, “Oh ya, kalau begitu.” Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah anggapanmu.

Disebutkan juga dalam Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam ash-Shahabah meriwayatkan kisah orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu Nabi saw. bersabda, “Apa yang telah diputuskan Allah pasti terjadi.” Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.

Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, “Pengertian hadits ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui yang kasar tabiatnya; juga tidak ada kekurangannya bagi orang yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya, menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk menenangkan hatinya dan hati keluarganya.

Diantara faedah lain hadits itu ialah bahwa seharusnya orang yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya dengan jawaban yang baik.”14

&

Euthanasia

13 Mar

Euthanasia
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

PENGANTAR
Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta adab-adabnya, yang disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika Selatan. Persoalan pertama mengenai masalah berikut:

QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:

1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa’il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati –padahal masih ada kemungkinan untuk diobati– akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan –tanpa diberi pengobatan—apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/control pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.

Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.

Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

PERTANYAAN
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) ditolerir oleh Islam?
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?

JAWABAN
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan euthanasia negatif.

EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu –baik dalam contoh nomor satu maupun nomor dua– berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”2

Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.3

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya’ Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua– berpendapat wajib.

Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimanayang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma’ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter—maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat,
apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan demikian– semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.

Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU PERNAPASAN
Sekarang saya akan menjawab contoh kedua dari euthanasia positif menurut pertanyaan tersebut –bukan negatif—yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah rusak.

Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa’ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).

Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di luar daerah “memudahkan kematian dengan cara aktif” (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)

Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara’, tidak terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir –yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut nadi saja– padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.

Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat tersebut.

Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.

Catatan kaki:
1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260, terbitan Mathba’ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo.
2 Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Mardhaa” dan Muslim dalam “Kitab al-Birr wash-Shilah,” hadits nomor 2265.
3 Ibnu Taimiyah, op cit.
4 Ihya ‘Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya.
5 Zadul-Ma’ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.

&

Peranan Hawa dalam Pengusiran Adam dari Surga

13 Mar

Peranan Hawa dalam Pengusiran Adam dari Surga
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka terusir dari surga dan menyebabkan penderitaan bagi kita (anak cucunya) di dunia.

Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan kedudukan kaum wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering dituding sebagai cikal bakal datangnya segala musibah yang terjadi di dunia, baik pada orang-orang dahulu maupun sekarang.

Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah dalam Islam dalil yang menunjukkan hal itu, atau kebalikannya?

Kami harap Ustadz berkenan menjelaskannya. Semoga Allah memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.

Jawaban:
Pendapat yang ditanyakan saudara penanya, tentang kaum wanita -seperti ibu kita Hawa – yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan hidup manusia, dengan mengatakan bahwa Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan buah terlarang … dan seterusnya, tidak diragukan lagi adalah pendapat yang tidak islami.

Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian dan tambahannya. Ini merupakan pendapat yang diimani oleh kaum Yahudi dan Nasrani, serta sering menjadi bahan referensi bagi para pemikir, penyair, dan penulis mereka. Bahkan tidak sedikit (dan ini sangat disayangkan) penulis muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.

Namun, bagi orang yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur’an yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun dalam beberapa surat, tidak akan bertaklid buta seperti itu. Ia akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.

1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah berfirman: “Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.'” (al-Baqarah: 35)

2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan, sebagaimana difirmankan Allah: “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula …” (al-Baqarah: 36)
Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai tipu daya dan bujuk rayu setan: “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’ Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orangyang merugi.'” (al-A’raf: 20-23)

Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu, bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus. Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang dipersalahkan – karena pelanggaran itu – pun adalah Adam. Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.

Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami berkata, ‘Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya. ‘Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 115-122)

3. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan memakan buah terlarang.

Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan befirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar?’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?'” (al-Baqarah: 30-33)

Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s. bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu (lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan ini tercantum dalam Taurat.

Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama, bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang dimasukkan orang ke dalam Taurat.

Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi.

4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.

Para ulama berbeda pendapat mengenai “surga” Adam ini, apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah “jannah” (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
(jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari.” (al-Qalam: 17)

Dalam surat lain Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.” (al-Kahfi: 32-33)

Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris Sa’adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh masalah ini. Wallahu a’lam.

&

Bank Susu

13 Mar

Bank Susu
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah. Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan … tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek. Maka, apakah oleh syara’ mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah stadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan –yang jumlah mereka sangat sedikit– dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?

Jawaban:

Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur’an serta contoh riil kaum muslim.

Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu -yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya– patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala. Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini?

Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya.

Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain –menurut pendapat jumhur fuqaha– karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah … serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.

Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
– Pertama, menjelaskan pengertian radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ untuk menetapkan pengharaman.
– Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.
– Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn’ (Penyusuan):
Makna radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha –termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i– ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa’uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa’ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa’uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa’uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.

Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan di dalam al-Mughni “Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha’ al-Khurasani mengenai sa’uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh.”

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging”

Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali
isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.).

Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, “Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama –jika dilakukan melalui penyusuan– serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut.”

Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, “Kalau ‘illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta
perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.”

Menurut pendapat saya, asy-Syari’ (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya: “… dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …” (an-Nisa’: 23)

Adapun “keibuan” yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari’ di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha’ dan radha’ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.
Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.

Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata: “Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan) hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.

Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …’ (an-Nisa’:23)

Dan sabda Rasulullah saw.: “Haram karena susuan apa yang haram karena nasab.”

Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha’ (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha’athu-turdhi’uhu-irdha’an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha’ah dan radha’/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha’a – yardha’u/yardhi’u radha’an/ridha’an wa radha’atan/ridha’atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan irdha’, radha’ah, dan radha’, melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa’ad berkata, ‘Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman –yakni Daud, imam Ahli Zhahir– dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir.”‘

Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil dengan hadits: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena lapar,” Ibnu Hazm berkata: “Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah): “… Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)2

Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha’ (menyusui) dan radha’/ridha’ (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut –bukan menghisap dari tetek– dan menelannya), sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan –lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran– dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni: “Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya.”3

Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan: “Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampong (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati.”4

Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam “bank susu” selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.

Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, “Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?”

Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara’ (lebih jauh dari syubhat), bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.

Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang telah mantap.

Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai himpunan “kehati-hatian” dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. “(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan: “Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan …” (al-Baqarah: 143)

Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali … (Pen;.).
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.
3 Al-Mughni ma’a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.

&

Hukum Al-Qat (Nama Tanaman)

26 Jul

Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Kami telah mengetahui pendapat Ustadz tentang hukum merokok, dan kecenderungan Ustadz untuk mengharamkannya, karena dapat menimbulkan mudarat bagi si perokok, baik terhadap badan, jiwa, maupun hartanya, dan merokok itu merupakan semacam tindakan bunuh diri secara perlahan-lahan.

Selain itu, kami juga ingin mengetahui pendapat Ustadz mengenai bencana lain, yakni al-qat, yang tersebar diantara kami di Yaman sejak beberapa waktu lampau dan sudah dikenal di kalangan masyarakat, dari anak-anak muda hingga kalangan orang tua, sehingga para ulama dan para pengusaha pun memakannya tanpa ada yang mengingkari. Tetapi kami membaca dan mendengar bahwa sebagian ulama di negara lain mengharamkan al-qat ini dan mengingkari orang yang membiasakan dan selalu menggunakannya, karena menimbulkan mudarat dan israf, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang yang israf (penghambur harta).

Kami mohon penjelasan mengenai masalah yang sensitif bagi masyarakat Yaman ini. Mudah-mudahan Allah memberi balasan yang baik kepada Ustadz.

Jawaban:
Hukum merokok itu sudah tidak diragukan lagi bahwa ketetapan-ketetapan ilmu pengetahuan dan kedokteran modern sekarang beserta dampak merokok bagi perokoknya, menguatkan apa yang telah saya sebutkan secara berulang-ulang didalam fatwa-fatwa kami serta apa yang telah kami jelaskan dalam kitab kami Fatawi Mu’ashirah (Fatwa-fatwa Kontemporer), Jilid 1, akan haramnya orang yang selalu melakukan hal yang merusak badan dan harta serta memperbudak kemauan manusia ini. Bahkan penemuan ilmu pengetahuan sekarang meningkat lagi dengan ditemukannya sesuatu yang baru lagi berkaitan dengan masalah merokok ini, yaitu apa yang sekarang dikenal dengan istilah “perokok pasif,” yaitu pengaruh rokok terhadap orang yang tidak merokok yang berada dekat orang yang merokok. Pengaruh atau akibat yang ditimbulkannya ini sangat membahayakan kadang-kadang melebihi bahaya rokok terhadap perokoknya sendiri.

Islam mengatakan: “Tidak boleh memberi bahaya kepada diri sendiri dan tidak boleh memberi bahaya kepada orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah)

Maksudnya, janganlah kamu memberi mudarat (bahaya) kepada dirimu sendiri; dan janganlah kamu memberi mudarat kepada orang lain, sedangkan merokok itu menimbulkan mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Selain itu, syariat diturunkan untuk memelihara kemaslahatan yang teramat pokok bagi makhluk, yang oleh para ahli syariat diringkaskan pada lima hal: din (agama), jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedangkan merokok menimbulkan mudarat terhadap kemaslahatan-kemaslahatan ini.

Adapun al-qat, maka muktamar internasional pemberantasan minum-minuman keras, narkotik, dan rokok –yang diselenggarakan di Madinah al-Munawwarah dan disponsori oleh al-Jami’ah al-Islamiyah di sana beberapa tahun lalu—telah memasukkannya kedalam kategori benda-benda terlarang yang disamakan dengan narkotik dan rokok.

Tetapi banyak saudara kita dari syekh-syekh dan lembaga pengadilan di Yaman menentang keputusan muktamar yang sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) ini dan menganggap bahwa para peserta muktamar tidak mengetahui hakikat al-qat. Menurut mereka, peserta muktamar berlebih-lebihan dalam memutuskan hukum serta terlalu ketat terhadap masalah yang tidak terdapat larangannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal, masyarakat Yaman sudah mempergunakannya sejak beberapa abad yang lalu, termasuk para ulama, fuqaha, dan shalihinnya. Mereka masih tetap mempergunakannya sampai hari ini.

Diantara yang menentang keputusan itu ialah rekan kami yang alim dan penuh ghirah, yaitu Qadhi Yahya bin Luth al-Fusayyil, yang menerbitkan sebuah risalah untuk ini dengan judul “Dahdhusy-Syubuhat Haulal-Qat” (Membantah Syubhat Seputar Masalah al-Qat) yang memuat beberapa pengertian (pemikiran) sebagaimana yang saya isyaratkan di muka. Dia menyangkal adanya unsur keserupaan antara al-qat dengan narkotik, sebagaimana ia juga menyangkal adanya mudarat seperti yang dikemukakan oleh orang-orang yang bersikap keras. Akan tetapi, ada sesuatu yang bersifat khusus berkenaan dengan sebagian orang sehingga larangannya pun harus dibatasi hanya untuk mereka, sebagaimana halnya mudarat madu terhadap orang tertentu, demikian juga dengan israf, bahwa ia hanya untuk orang-orang tertentu saja.

Namun demikian, informasi yang saya peroleh ketika saya berkunjung ke Yaman pada akhir tahun tujuh puluhan, melalui penglihatan dan pendengaran saya, bahwa al-qat menimbulkan dampak sebagai berikut:

1. Harganya sangat mahal. Saya terkejut, saya kira harganya seperti harga rokok, tetapi ternyata berkali-kali lipat.
Saya pernah makan siang di rumah seorang tokoh bersama beberapa orang teman, tiba-tiba datang seorang tamu dengan membawa ranting-ranting kayu hijau. Para hadirin memperhatikan bahwa saya melihatnya dengan terheran-heran, lalu mereka bertanya kepada saya, “Apakah Anda kenal tumbuh-tumbuhan yang hijau ini?” Saya jawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Itu adalah al-qat.” Kemudian saya tanyakan kepada mereka berapa harga seikat al-qat yang dibawa saudara kita itu, lalu dia menjawab, “Seratus lima puluh real.” Saya tanyakan lagi, “Seikat itu cukup untuk berapa hari?” Mereka menjawab, “al-qat itu akan dimakannya setelah makan siang ini, dan sebelum magrib pasti akan habis.”

Saya bertanya, “Apakah pengeluaran untuk al-qat sebesar ini tidak akan memberatkan keluarganya?” Mereka menjawab, “Bahkan ada yang lebih dari itu, ada yang menghabiskan tiga ratus, empat ratus, dan ada yang lebih banyak lagi.”

Saya yakin bahwa yang demikian itu sudah termasuk israf (berlebih-lebihan), kalau tidak dikatakan mubadzir dan menghambur-hamburkan harta dengan tiada bermanfaat untuk kepentingan dunia dan akhirat.

Apabila kebanyakan ulama menganggap bahwa mengisap rokok atau tembakau –atau “tutun” menurut istilah sebagian yang lain– termasuk israf yang terlarang, maka memakan al-qat lebih layak lagi tergolong dalam kategori ini.

2. Bahwa al-qat benar-benar menyita waktu bagi pemakan atau pengunyahnya. Setiap hari mereka menghabiskan waktu yang panjang, yaitu setelah zuhur hingga magrib, padahal menurut kebanyakan orang rentang waktu tersebut cukup produktif. Maka orang yang mengunyah al-qat ini menghabiskan waktunya di mulutnya dan menikmati dengan mulutnya itu, sementara ia abaikan segala sesuatunya hanya demi mengunyah al-qat ini. Waktu yang dihabiskan untuk mengunyah al-qat ini tidak sedikit, padahal waktu atau kesempatan merupakan modal bagi manusia. Apabila ia menyia-nyiakan waktunya dengan cara seperti ini, maka benar-benar ia telah menipu dirinya sendiri, dan tidak dapat menjadikan kehidupannya berbuat sebagaimana layaknya seorang muslim.

Apabila dilihat dalam skala nasional, maka hal itu merupakan kerugian umum yang amat buruk, sangat merugikan produktivitas dan perkembangan ekonomi, dan menyia-nyiakan potensi masyarakat tanpa alasan yang positif.

Mudarat ini sudah merupakan fakta yang tidak diperdebatkan oleh siapa pun, dan sudah terkenal di kalangan saudara-saudara di Yaman kata-kata mutiara yang berbunyi: “Bahaya al-qat yang pertama ialah tersia-siakannya waktu.”

3. Saya mendapat informasi dari saudara-saudara yang menaruh perhatian terhadap masalah ini di Yaman bahwa sekitar tanah negeri Yaman ditanami dengan al-qat, yaitu di tanah yang paling subur dan paling bermanfaat, sementara negara ini mengimpor gandum dan macam-macam bahan makanan pokok serta sayur-mayur.

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan kerugian ekonomi yang besar bagi bangsa Yaman. Saya kira tidak seorang pun –yang punya kemauan untuk kebaikan dan masa depan negeri ini– yang membesar-besarkan masalah tersebut. Artinya, informasi yang mereka kemukakan itu bukan mengada-ada dan tidak dibesar-besarkan.

4. Penduduk Yaman berselisih pendapat mengenai pengaruh dan bahaya al-qat terhadap badan dan jiwa. Banyak diantara mereka yang menganggap tidak membahayakan, sebagian lagi menganggap bahayanya kecil bila dibandingkan dengan manfaatnya, dan orang yang telah mengalaminya sukar untuk tidak mengatakan demikian. Maka ia tidak dapat menghindar dari hukum dan kesaksiannya ini.

Tetapi banyak juga orang yang telah sadar, yang menyatakan bahwa al-qat menimbulkan mudarat yang bermacam-macam, dan anggapan terdapatnya manfaat pada al-qat itu tidak ada artinya sama sekali, karena dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Bahkan sebagian dokter mengatakan bahwa al-qat merupakan sarana untuk memindahkan (menularkan) penyakit dan memiliki dampak yang buruk terhadap kesehatan.

Diantara ulama Yaman yang berbicara secara terang-terangan untuk mengingatkan bahaya al-qat ini ialah al-Allamah al-Mushlih Syekh Muhammad Salim
Baihani. Ketika mensyarah sebuah hadits Nabawi yang berkenaan dengan khamar dan benda-benda memabukkan, di dalam kitabnya Ishlahul-Mujtama’ (Memperbaiki Masyarakat), beliau mengatakan: “Disini saya mendapatkan peluang dan kesempatan yang tepat untuk membicarakan al-qat dan tembakau (rokok), dan orang yang terkena ujian dengan kedua hal ini banyak sekali, padahal keduanya merupakan musibah dan penyakit sosial yang fatal. Meskipun keduanya tidak memabukkan, tetapi bahayanya hampir sama dengan bahaya khamar dan judi, karena keduanya dapat menyia-nyiakan harta, menyita waktu, dan merusak kesehatan. Selain itu, karena keduanya dapat melalaikan orang dari melaksanakan shalat dan kewajiban-kewajiban penting lainnya. Ada orang yang mengatakan, ‘Ini adalah sesuatu yang didiamkan oleh Allah, dan tidak ada satu pun dalil yang mengharamkan dan melarangnya. Sesungguhnya yang halal itu ialah apa yang dihalalkan oleh Allah dan yang haram itu ialah apa yang diharamkan oleh Allah, sedangkan Allah telah berfirman: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …” (al-Baqarah: 29)

“Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi …” (al-An’am: 145)

Apa yang dikatakan oleh pembela al-qat dan tembakau itu memang benar, tetapi salah penempatannya sebagai dalil. Ia pura-pura lupa terhadap premis-premis umum yang menunjukkan wajibnya memelihara kemaslahatan dan haramnya barang-barang yang buruk serta keharusan menjaga diri agar tidak terjatuh kedalam mafsadat. Sedangkan sudah dimaklumi bahwa al-qat sangat berpengaruh terhadap kesehatan badan, dapat menimbulkan kerusakan gigi, menyebabkan bawasir (ambeien), merusak lambung, mengurangi nafsu makan, menyebabkan wadi1 melimpah, kadang-kadang merusak sungsum, melemahkan sperma, menjadikan kurus, menyebabkan lama tidak berak, dan bermacam-macam penyakit. Dan anak-anak pemakan al-qat itu biasanya tubuhnya lemah, badannya kecil, pendek perawakannya, kurang darah, dan ditimpa bermacam-macam penyakit.

Al-qat adalah ide beracun
Melemparkan jiwa kepada bencana paling buruk Ia meluncur kedalam perut
sebagai penyakit berbahaya

Jika Anda ingin tahu bencananya bencana Lihatlah mabuk kepayangnya mengunyah al-qat Al-qat membunuh segala kemampuan dan kekuatan
Melahirkan kesusahan dan kekecewaan
Menjadikan urat saraf mengalami benturan Ia membiarkan akal berkelana dalam kebingungan
Menyuguhinya gelas kecelakaan yang tinggi
Membunuh semangat generasi muda
Melelehkan segala kemauan dan kemantapan hati
Menyita usia dan menguras harta
Menyuguhinya bermacam siksa dan bencana
Ia membunuh semangat dan keperwiraan
Ia menghapus keceriaan dari wajah
Jika Anda lihat wajah penggemar al-qat
Akan terlihat pucat seperti mayat

Begitulah keadaan pecandu al-qat, selain dirampasnya pula apa yang dibutuhkan oleh keluarganya. Seandainya uangnya dipergunakan untuk membeli mahanan yang baik-baik dan membiayai pendidikan anak-anaknya, atau disedekahkan di jalan Allah, sudah barang tentu hal itu lebih baik baginya. Dan tepatlah apa yang dikatakan seorang pujangga:

“Kuingin meninggalkan al-qat
Untuk menjaga wibawa dan waktuku tiada tersia-sia
Dulu aku pembela al-qat yang berbahaya ini
Selama masa yang panjang dengan bersuara lantang
Ketika tampak terang bahaya dan hakikatnya
Aku pun segera menentang dan melawannya
Tabiat kering, berselimut dingin
Saudara kematian, perampas kemuliaan
Harga pembeli al-qat dalam pandangan penghuni pasar
Seperti harga al-qat yang diperjualbelikan.”

Mereka biasa berkumpul untuk memakannya sejak tengah hari hingga terbenam matahari. Kadang-kadang pertemuan itu diteruskan hingga tengah malam sambil memakan al-qat, membuat-buat kebohongan terhadap kekurangan orang ketiga yang tiada di hadapan mereka, tenggelam mempercakapkan kebatilan dan membicarakan hal-hal yang tidak berguna. Sebagian mereka beranggapan bahwa cara begitu dapat membantu mereka untuk melaksanakan shalat malam, dan al-qat merupakan makanan orang-orang saleh, bahkan mereka berkata, ‘Al-qat dibawa oleh Nabi Khidhir dari bukit Qaf kepada Raja Dzulqarnain.’ Untuk hal ini mereka reka hikayat dan dongeng
yang sangat banyak jumlahnya. Bahkan diantara mereka ada yang menjunjung tinggi kelebihan al-qat dengan mengatakan:

“Jernih dan bagus waktu dengan memakan al-qat
Makanlah ia untuk dunia dan akhirat yang Anda kehendaki
Untuk menolak kemelaratan dan menarik kemudahan.”

Disamping itu, ada pula orang-orang tua yang menghaluskan al-qat dengan gigi gerahamnya, didengarnya suaranya, kemudian dikunyahnya dan dihisap airnya. Ada pula yang mengeringkannya dan dibawanya kemana saja mereka pergi. Bagi orang yang belum mengetahui al-qat, apabila melihat ulah mereka ini, pasti ia menertawakannya. Ada seorang Mesir yang menyindir orang-orang Yaman dengan kasidahnya:

“Wahai tawanan-tawanan al-qat
Janganlah Anda menganiaya orang
Yang memandang al-qat bukan obat mujarab.”

Adapun tembakau, maka bahaya dan musibahnya lebih besar lagi. Ia tidak jauh dari khabaits (benda-benda buruk atau kotor) yang dilarang Allah. Andaikata pada tembakau itu tidak terdapat keburukan selain dari apa yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan, maka hal itu sudah cukup menjadi alasan untuk menjauhi dan menghindarinva. Beberapa golongan kaum muslim ada yang berlebih-lebihan dalam menghukuminya sehingga mereka samakan dengan khamar dan mereka perangi dengan segala cara bahkan pengisapnya mereka sebut fasik, sebagaimana di pihak lain mempergunakannya secara berlebih-lebihan hingga melampaui batas.

Tembakau adalah pohon yang buruk yang masuk ke negara-negara kaum muslim pada sekitar tahun 1012 H, kemudian menyebar ke seluruh negeri dan dipergunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka di antara mereka ada yang memilihnya menjadi rokok, dan menyalakannya, ada juga yang meminumnya dengan dicampur kelapa. Tembakau atau rokok ini terus-menerus dipergunakan di seluruh negeri Yaman, sehingga menjadi perhiasan majelis-majelis dan jamuan di rumah-rumah, selalu dibawa oleh para perokok baik di rumah maupun pada waktu bepergian, dan mereka sanjung dan puja dengan nyanyian-nyanyian, diantaranya ada yang membuat lirik yang berbunyi:

“Ia kawanku yang abadi
Ia menemaniku kala aku sendiri
Anda berkata dalam dendang merdu
Wahai sobat, ambillah aku dengan sesuatu …”

Lebih buruk lagi ialah orang yang mengunyah tembakau dan dicampurnya dengan benda-benda lain, lalu ditumbuk, lantas ditaruh di antara kedua bibir dan giginya yang disebut susur, dan pengunyahnya biasa meludah di sembarang tempat, yang ludahnya menjijikkan dan kotor, bahkan terkadang seperti kotoran ayam.

Bermacam-macam ide yang muncul dari penggemar tembakau itu, ada yang menuangkannya ke dalam hidungnya setelah ditumbuk dan dilumatkan untuk mempengaruhi otak atau pikiran, pendengaran, dan penglihatannya. Kemudian terus-menerus bersin dan mengeluarkan ingus, lantas diusap dengan tangannya, dengan saputangannya, atau dibuang di lantai di hadapan para peserta pertemuan

Saya pernah mendapat informasi dari salah seorang teman tentang kerabatnya yang suka menggunakan tetes hidung dari tembakau bahwa ketika orang itu meninggal dunia, ia dibiarkan selama tiga jam, sebab hidungnya terus mengeluarkan kotoran.

Seandainya manusia mencukupkan diri dengan apa yang menjadi kebutuhan yang pokok-pokok saja dalam kehidupan ini niscaya mereka akan dapat terbebas dari beban dan nafkah yang berat, dan tidak akan menghadapkan dirinya kepada hal-hal yang
buruk seperti ini.

Saya tidak menggiyaskan haramnya al-qat dan tembakau dengan khamar beserta akibat dan risikonya di akhirat. Tetapi saya hanya mengatakan bahwa al-qat dan tembakau ini mendekati khamar. Dan segala sesuatu yang membahayakan atau merusak kesehatan manusia, baik pada tubuhnya, akalnya, maupun hartanya, maka dia adalah haram. Dan kebaikan itu ialah apa yang menenangkan jiwa dan menenteramkan hati; sedangkan dosa adalah yang mengacaukan jiwa dan mengguncangkan dada, meskipun orang-orang memberikan petuah dan argumentasi begini dan begitu kepadamu.2

Semoga Allah memberi rahmat kepada Syekh al-Baihani. Beliau telah mengemukakan pendapat yang bagus dan berguna.

Catatan kaki:
1 Yaitu cairan putih kental yang keluar mengiringi kencing. Lihat, Fiqhus-Sunnah, karya Sayid Sabiq, juz 1, hlm. 24 (Penj.).
2 Dikutip dari Ishlahul-Mujtama’, al-Baihani, hlm. 406-408.

&

Hukum Fotografi

26 Jul

Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Saya mempunyai kamera untuk memotret ketika saya berekreasi atau pada acara-acara tertentu lainnya, apakah yang demikian itu berdosa atau haram?
Di kamar saya juga ada foto beberapa tokoh, selain itu saya mempunyai beberapa surat kabar yang di dalamnya ada foto-foto wanita, apakah yang demikian itu terlarang? Bagaimana hukumnya menurut syariat Islam?

Jawaban:
Mengenai foto dengan kamera, maka seorang mufti Mesir pada masa lalu, yaitu Al ‘Allamah Syekh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i – termasuk salah seorang pembesar ulama dan mufti pada zamannya – didalam risalahnya yang berjudul “Al Jawabul Kaafi fi Ibahaatit Tashwiiril Futughrafi” berpendapat bahwa fotografi itu hukumnya mubah. Beliau berpendapat bahwa pada hakikatnya fotografi tidak termasuk kedalam aktivitas mencipta sebagaimana disinyalir hadits dengan kalimat “yakhluqu kakhalqi” (menciptakan seperti ciptaanKu …), tetapi foto itu hanya menahan bayangan. Lebih tepat, fotografi ini diistilahkan dengan “pemantulan,” sebagaimana yang diistilahkan oleh putra-putra Teluk yang menamakan fotografer (tukang foto) dengan sebutan al ‘akkas (tukang memantulkan), karena ia memantulkan bayangan seperti cermin. Aktivitas ini hanyalah menahan bayangan atau memantulkannya, tidak seperti yang dilakukan oleh pemahat patung atau pelukis. Karena itu, fotografi ini tidak diharamkan, ia terhukum mubah.

Fatwa Syekh Muhammad Bakhit ini disetujui oleh banyak ulama, dan pendapat ini pulalah yang saya pilih dalam buku saya Al Halal wal Haram.

Fotografi ini tidak terlarang dengan syarat objeknya adalah halal. Dengan demikian, tidak boleh memotret wanita telanjang atau hampir telanjang, atau memotret pemandangan yang dilarang syara’. Tetapi jika memotret objek-objek yang tidak terlarang, seperti teman atau anak-anak, pemandangan alam, ketika resepsi, atau lainnya, maka hal itu dibolehkan.

Kemudian ada pula kondisi-kondisi tertentu yang tergolong darurat sehingga memperbolehkan fotografi meski terhadap orang-orang yang diagungkan sekalipun, seperti untuk urusan kepegawaian, paspor, atau foto identitas. Adapun mengoleksi foto-foto para artis dan sejenisnya, maka hal itu tidak layak bagi seorang muslim yang memiliki perhatian terhadap agamanya.

Apa manfaatnya seorang muslim mengoleksi foto-foto artis? Tidaklah akan mengoleksi foto-foto seperti ini kecuali orang-orang tertentu yang kurang pekerjaan, yang hidupnya hanya disibukkan dengan foto-foto dan gambar-gambar. Adapun jika mengoleksi majalah yang didalamnya terdapat foto-foto atau gambar-gambar wanita telanjang, hal ini patut disesalkan. Lebih-lebih pada zaman sekarang ini, ketika gambar-gambar dan foto-foto wanita dipajang sebagai model iklan, mereka dijadikan perangkap untuk memburu pelanggan. Model-model iklan seperti ini biasanya dipotret dengan penampilan yang seronok. Majalah dan surat kabar juga menggunakan cara seperti itu, mereka sengaja memasang foto-foto wanita pemfitnah untuk menarik minat pembeli. Anehnya, mereka enggan memasang gambar pemuda atau orang tua.

Bagaimanapun juga, apabila saudara penanya mengoleksi majalah tertentu karena berita atau pengetahuan yang ada didalamnya – tidak bermaksud mengumpulkan gambar atau foto,
bahkan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak ia perlukan – maka tidak apalah melakukannya. Namun yang lebih utama ialah membebaskan diri dari gambar-gambar telanjang yang menyimpang dari tata krama dan kesopanan. Kalau ia tidak dapat menghindarinya, maka hendaklah disimpan di tempat yang tidak mudah dijangkau dan dilihat orang, dan hendaklah ia hanya membaca isinya.

Sedangkan menggantungkan atau memasang foto-foto itu tidak diperbolehkan, karena hal itu dimaksudkan untuk mengagungkan. Dan yang demikian itu bertentangan dengan syara’, karena pengagungan hanyalah ditujukan kepada Allah Rabbul ‘Alamin.

&

Hukum Mengoleksi Patung

24 Jul

Dr. Yusuf Qardhawi; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Bagaimana hukum patung menurut pandangan Islam? Saya mempunyai beberapa buah patung pemuka Mesir tempo dulu, dan saya hendak memajangnya di rumah sebagai perhiasan, tetapi ada beberapa orang yang mencegahnya dengan alasan bahwa hal itu haram. Benarkah pendapat itu?

Jawaban:
Islam mengharamkan patung dan semua gambar yang bertubuh, seperti patung manusia dan binatang. Tingkat keharaman itu akan bertambah bila patung tersebut merupakan bentuk orang yang diagungkan, semisal raja, Nabi, Al Masih, atau Maryam; atau berbentuk sesembahan para penyembah berhala, semisal sapi bagi orang Hindu. Maka yang demikian itu tingkat keharamannya semakin kuat sehingga kadang-kadang sampai pada tingkat kafir atau mendekati kekafiran, dan orang yang menghalalkannya dianggap kafir.

Islam sangat menaruh perhatian dalam memelihara tauhid, dan semua hal yang akan bersentuhan dengan aqidah tauhid ditutup rapat-rapat.
Sebagian orang berkata, “Pendapat seperti ini berlaku hanya pada zaman berhala dan penyembahan berhala, adapun sekarang tidak ada lagi berhala dan penyembah berhala.” Ucapan ini tidak benar, karena pada zaman kita sekarang ini masih ada
orang yang menyembah berhala dan menyembah sapi atau binatang lainnya. Mengapa kita mengingkari kenyataan ini? Bahkan di Eropa banyak kita jumpai orang yang tidak sekadar menyembah berhala. Anda akan menyaksikan bahwa pada era teknologi canggih ini mereka masih menggantungkan sesuatu pada tapal kudanya misalnya, atau pada kendaraannya sebagai tangkal.

Manusia pada setiap zaman selalu saja ada yang mempercayai khurafat. Dan kelemahan akal manusia kadang-kadang menyebabkan mereka menerima sesuatu yang tidak benar, sehingga orang yang mengaku berperadaban dan cendekia pun dapat terjatuh ke dalam lembah kebatilan, yang sebenarnya hal ini tidak dapat diterima oleh akal orang buta huruf sekalipun.

Islam jauh-jauh telah mengantisipasi hal itu sehingga mengharamkan segala sesuatu yang dapat menggiring kebiasaan tersebut kepada sikap keberhalaan, atau yang didalamnya mengandung unsur-unsur keberhalaan. Karena itulah Islam mengharamkan patung. Dan patung-patung pemuka Mesir tempo dulu termasuk ke dalam jenis ini.

Bahkan ada orang yang menggantungkan patung-patung tersebut untuk jimat, seperti memasang kepala “naqratiti” atau lainnya untuk menangkal hasad, jin, atau ‘ain. Dengan demikian, keharamannya menjadi berlipat ganda karena bergabung antara haramnya jimat dan haramnya patung.

Kesimpulannya, patung itu tidak diperbolehkan (haram), kecuali patung (boneka) untuk permainan anak-anak kecil, dan setiap muslim wajib menjauhinya.

&

Hukum Mempergunakan Zakat untuk Membangun Masjid

24 Jul

Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Saya seorang muslim yang diberi banyak karunia oleh Allah yang saya tidak mampu mensyukurinya dengan sepenuhnya meski apa pun yang saya lakukan, karena apa yang saya lakukan itu sendiri juga merupakan nikmat dari Allah yang harus disyukuri.

Diantara karunia yang Allah berikan kepada saya adalah kekayaan yang – alhamdulillah – cukup banyak, dan saya mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Saya juga menerapkan pendapat Ustadz untuk menzakati penghasilan gedung-gedung yang saya peroleh setiap bulan tanpa menunggu perputaran satu tahun, dengan besar zakat seperdua puluh dari total penghasilan.

Pertanyaan yang saya lontarkan kepada Ustadz sekarang adalah mengenai penggunaan zakat untuk pembangunan masjid yang digunakan untuk mengerjakan shalat didalamnya, mengadakan majelis taklim, dan mengumpulkan kaum muslim untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Kami – yang berdomisili di negara Teluk – sering didatangi saudara-saudara dari negara-negara miskin yang ada di Asia dan Afrika yang mengeluhkan berbagai penderitaan, sedikitnya penghasilan, banyaknya jumlah penduduk, seringnya ditimpa bencana alam, disamping tekanan dari kelompok-kelompok yang memusuhi Islam, baik dari negara-negara Barat maupun Timur, dari golongan salib, komunis, dan lainnya.

Bolehkah kami memberikan zakat kepada saudara-saudara kami kaum muslim yang miskin yang tertekan dalam kehidupan beragama dan dunia mereka, ataukah tidak boleh? Fatwa yang pernah diberikan para mufti berbeda-beda mengenai masalah ini, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Dan kami
tidak merasa puas melainkan dengan fatwa Ustadz.
Semoga Allah meluruskan langkah Ustadz, memuliakan Ustadz, dan menjadikan yang lain mulia karena Ustadz.

Jawaban:
Semoga Allah memberikan berkah kepada saudara penanya yang terhormat mengenai apa yang telah dikaruniakan-Nya kepadanya. Mudah-mudahan Allah menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya atasnya dan menolongnya untuk selalu ingat kepada-Nya dan bersyukur kepada-Nya serta memperbaiki ibadah kepada-Nya. Saya merasa gembira bahwa dia telah mengeluarkan zakat dari penghasilan gedung-gedungnya sesuai dengan pendapat yang saya pandang kuat, tanpa menunggu berputarnya masa satu tahun. Mudah-mudahan saja dia menginfakkan seluruh hasilnya atau sebagiannya.

Adapun menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang. Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai “fi sabilillah” sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-Qur’anul Karim dalam surat at-Taubah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 60) Ataukah kata “sabilillah itu artinya terbatas pada “jihad” saja sebagaimana yang dipahami oleh jumhur?

Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam kitab saya Fiqh az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan lagi masalah tersebut. Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama, dengan memperluas pengertian “jihad” (perjuangan) yang meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad tarbawi (pendidikan), jihad da’wi (dakwah), jihad dini (perjuangan agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau dari Free Masonry dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.

Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya zakat disana digunakan untuk membangun masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.

Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu orang. Dari sini saya merasa mantap memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi serangan kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah, Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang mendistribusikan zakat untuk keperluan ini – dalam kondisi seperti ini – lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.

Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam:
Pertama, mereka adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di Negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan dengannya sehingga tidak ada kaum muslim yang hidup tanpa mempunyai masjid.

Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan makan dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka. Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi saw. setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.

Kedua, masjid di negara-negara yang sedang menghadapi bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada dibawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.

Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa berarti mengguncang/ menggoyang; Penj.) yang pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan “Intifadhah al masajid.” Kemudian oleh media informasi diubah menjadi “Intifadhah al-Hijarah” batu-batu karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.

Kesimpulan: menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah (di jalan Allah).
Wa billahit taufiq.

&

Hukum Mendengarkan Nyanyian

24 Jul

Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan alasan firman Allah:
“Dan diantara nnanusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.

Mereka juga beralasan pada ayat lain: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …” (Al Qashash: 55)

Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk “laghwu” (perkataan yang tidak bermanfaat).

Pertanyaannya, tepatkah penggunaan kedua ayat tersebut sebagai dalil dalam masalah ini? Dan bagaimana pendapat Ustadz tentang hukum mendengarkan nyanyian? Kami mohon Ustadz berkenan memberikan fatwa kepada saya mengenai masalah yang pelik ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini, sehingga memerlukan hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah berkenan memberikan pahala yang setimpal kepada Ustadz.

Jawaban:
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).

Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.

Kita perhatikan ayat pertama: “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna …” Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu: “‘Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untulc menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan …”

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al Qur’an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur’an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau
menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan.”

Adapun ayat kedua: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir “al laghwu” dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)

Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap ‘ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih): “… dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al Furqan: 63)

Andaikata kita terima kata “laghwu” dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya. Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw. memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?” Beliau menjawab, “Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?”

Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya’. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia meIihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: “Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga?1 Allah SWT berfirman: “… maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan …” (Yunus, 32)

Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan.”

Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya.”2

Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya. Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al-Hakam: “Tidak satu pun hadits sahih yang mengharamkannya.” Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: “Semua riwayat mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil dan palsu.”

Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur, maka tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash sahih yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Kemudian Rasulullah saw. menimpali: “Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”

Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada hari selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang tidak terlarang.

Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:

1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat “dunia adalah rokok dan gelas arak” bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.

Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 30)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya …” (An Nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.

2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak “kotor,” tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.

Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.: “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)

3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa’: “Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan.”

Bagi pendengar – setelah memperhatikan ketentuan dan batas-batas seperti yang telah saya kemukakan – hendaklah dapat mengendalikan dirinya. Apabila nyanyian atau sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam dalam khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah ia menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi jalan berhembusnya angin fitnah kedalam hatinya, agamanya, dan akhlaknya.

Tidak diragukan lagi bahwa syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan mereka, atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.

Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk mengekang dirinya, menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu yang akan dapat menjerumuskannya ke dalam lembah yang haram – suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.

Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan), maka hendaklah sedapat mungkin memilih yang baik, yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya, maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena masuk ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos dengan selamat (terlepas dari dosa).

Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan wanita agar memelihara dan menjaga diri serta bersikap sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat menjauhkan kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari mulut-mulut kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah: “Hai Nabi katakanIah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (Al Ahzab: 59)

“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya …” (Al Ahzab: 32)

Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan alasan untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram menurut syariat Islam.

Catatan kaki
1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran
dan kesesatan, (ed.)
2 Ibnu Hazm, Al Muhalla.

&