Hendaknya Seorang Muslim Berprasangka Baik kepada Saudaranya dan Memandangnya Lebih Baik daripada Dirinya Sendiri
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud
Seorang muslim dituntut untuk berbaik sangka kepada saudaranya dan pada saat bersamaan berburuk sangka kepada diri sendiri. Itulah sebagian dari tanda-tanda kearifannya.
Mengenai kewajiban berbaik sangka kepada kaum muslimin secara umum, Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” (al-Hujurat: 12)
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu merupakan sedusta-dusta perkataan.”
Prasangka yang disebutkan dalam ayat di atas adalah tuduhan. Adapun yang dilarang adalah menuduh tanpa sebab-sebab atau alasan-alasan yang membenarkannya. Misalnya, seseorang menuduh orang lain berzina atau minum khamr, padahal ia tidak melihat bukti-buktinya.
Para ulama salaf berkata bahwa ciri yang membedakan prasangka yang harus dijauhi dari prasangka-prasangka lain adalah bahwa apasaja yang tidak diketahui bukti-buktinya yang benar atau sebab-sebabnya secara jelas maka kita diharamkan untuk berprasangka. Apabila orang itu tidak nampak berperilaku buruk, terlihat baik dan amanah, maka menuduhnya sebagai orang yang tidak baik dan berkhianat diharamkan, berbeda halnya dengan orang yang dikenal oleh masyarakat sebagai pelaku tindakan negatif dan terang-terangan biasa berbuat aniaya.
Prasangka dalam kacamata syariah dibedakan menjadi dua:
1. Prasangka yang baik, yaitu prasangka yang bisa membawa keselamatan agama bagi yang berprasangka maupun yang disangka, jika sangkaan itu sampai kepadanya.
2. Prasangka yang tercela, yakni prasangka yang tidak membawa keselamatan agama orang yang berprasangka maupun yang disangka, apabila sangkaan itu sampai kepadanya. Ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (al-Hujurat: 12)
“Mengapa ketika kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri?” (an-Nuur: 12)
“Kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (al-Fath: 12)
Diriwayatkan dari Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan dari seorang muslim darah dan kehormatannya, serta mengharamkan pula prasangka kepadanya dengan prasangka yang buruk.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6152, tetapi tidak penulis tidak mendapatkannya dalam Kutub Tsamaniyah)
Dari Hasan diriwayatkan, “Dahulu kami berada di suatu zaman, yang berprasangka kepada orang lain adalah perbuatan haram. Sedangkan engkau sekarang ini berada di suatu zaman, yang engkau bebas; berbuatkah, diamkah, atau berprasangkakah, terhadap sesuatu yang secara lahir tampak buruk.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6152, Kairo tanpa tahun)
Demikianlah seyogyanya seseorang selalu berprasangka baik kepada saudaranya. Hendaklah ia juga membandang saudaranya itu lebih baik daripada dirinya sendiri. Artinya, hendaklah ia menundukkan dirinya terlebih dahulu sebelum menundukkan saudaranya.
Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Syadad bin Aus ra. dari Nabi saw. ia bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menghitung dirinya dan beramal dengan orientasi setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, tetapi berangan-angan kepada Allah.”
Sufyan berkata, “Apabila dikatakan kepadamu, ‘Wahai manusia paling jahat!’ lalu engkau marah, maka engkau adalah manusia yang paling jahat.”
Hal ini berarti bahwa manusia hendaknya meyakini hal itu pada dirinya, lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari keburukan serta mengubahnya menjadi baik. (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6153, Kairo tanpa tahun)
Salah satu etika berukhuwah adalah engkau hendaknya memandang dirimu lebih rendah daripada saudaramu, dan melihatnya lebih baik daripadamu.
Abu Muawiyah al-Aswad berkata, “Semua shahabatku lebih baik daripada diriku.” Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” ia menjawab, “Mereka semua memandangku lebih baik daripada dirinya, berarti dia lebih baik daripada diriku.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6153, Kairo tanpa tahun)
Salah satu etika ukhuwah adalah engkau hendaknya memberikan perhatian kepada saudaramu dan jangan memalingkan wajah ketika ia berbicara kepadamu. Itu merupakan sunnah Nabi saw.
Tirmidzi meriwayatkan dalam asy-Syamil dengan sanadnya dari Ali ra. Nabi saw. selalu memberikan kepada setiap orang yang duduk menghadap beliau sebagian dari wajahnya. Tidaklah seseorang yang didengar pembicaraannya oleh beliau kecuali beliau menyangka bahwa dialah orang yang paling dihormati oleh beliau. Barangsiapa meminta suatu kebutuhan kepada beliau, pasti beliau memberikannya, atau kalau tidak, pasti beliau menjawabnya dengan perkataan yang baik.
Ashbahani meriwayatkan dalam kitabnya Akhlaq an-Nabi saw. dengan sanadnya dari Anas bin Malik ra. ia berkata, “Saya tidak pernah melihat sama sekali seseorang yang menggandeng tangan Rasulullah saw. kecuali beliau membiarkan tangannya hingga orang itu sendiri yang melepaskannya tangannya.”
Demikianlah, apabila orang-orang yang berukhuwah karena Allah mau melaksanakannya, niscaya mereka bisa memperkuat tali ukhuwah dalam Islam dan membuka jalan mereka menuju apa yang mereka cita-citakan.
&