Tag Archives: Macam

Macam-Macam Naskh dalam al-Qur’an

19 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh dalam al-Qur’an ada tiga macam:

1. Pertama, naskh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau ialah ‘sepuluh susunan yang maklum itu menyebabkan muhrim,’ kemudian [ketentuan] ini dinaskh oleh ‘lima susunan yang maklum.’ Maka ketika Rasulullah saw. wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca [matlu’].

Kata-kata ‘Aisyah: “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’alaq, dari Umar).

Yang jelas ialah bahwa tilawah-nya itu telah dinaskh [dihapuskan], tetapi penghapusan itu tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.

Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisaar tentang kaum yang mengingkari naskh seperti ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah al-Qur’an atau menasakh al-Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.

Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang dhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an harus dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. Pembicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan al-Qur’an, sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa qira’ah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.

2. Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukum ayat ‘idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteteliti, ayat-ayat seperti ini hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.

Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua segi:

a. al-Qur’an, disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.

b. Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan [masyaqqah].

3. Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh. Di antaranya ayat rajam yang artinya:
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Dan di antaranya pula adalah apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw. berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “Dan berkenaan dengan mereka turunlah [ayat] al-Qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali yaitu: an ballaghuu ‘annaa qaumanaa annaa laqainaa rabbanaa faradliya ‘annaa wa ardlaanaa (“Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridla kepada kami dan menyenangkan kami.”). ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.

Sementara itu sebagian ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dengan khabar ahad.

Ibnu Hassar menjelaskan, naskh ini sebenarnya kembali ke nukilan [kutipan keterangan] yang jelas dari Rasulullah, atau dari shahabat, seperti perkataan “Ayat ini menasakh ayat anu.”

Naskh, jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti [tidak dapat dipertemukan] serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian.

Di samping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat pada mufasir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa Nabi.

Jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufasir atau mujtahid. Dan yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat ini. (lihat al-Itqaan, jilid 2 hal 24).

Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.

Pendapat demikian dijawab: bahwa ketetapan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika Syaari’ [Allah, Rasul] tidak menegakkan dalil atas naskh tilawah dan ketetapan hukumnya. Tetapi jika Syaari’ telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.

&

Macam-Macam Ibadah

9 Okt

Tauhid Uluhiah
Muhammad Ibn Ibrahim al Hamd; Islamhouse.com

(Lihat Taisîrul Azizil Hamid hal.39-42 dan Al-Irsyad oleh Syaik Soleh al-Fauzan hal.19. Lihat juga Aqidatut Tauhid oleh Syaikh Muhamad Khalil Harrâs hal.47-70.)

Ibadah memiliki banyak macam, sebagiannya qouli (ucapan) seperti syahadat Lailaha illallah, sebagian lagi fi’li (perbuatan) seperti jihad fisabilillah, menyingkirkan ganguan yang ada di tengah jalan, dan sebagian lagi qolbi (ibadah hati), seperti malu, cinta, takut, harap dan sebagainya, sebagian lagi musytarok (gabungan dari tiga pertama), seperti shalat yang menggabungkan semua macam itu.

Di antara macam ibadah tambahan dari yang sebelumnya, seperti: zakat, puasa, haji, jujur, menunikan amanat, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturahmi, menunaikan perjanjian, amar makruf, nahi munkar, berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir, baik kepada: anak yatim, orang miskin, orang terlantar, pekerja dan hewan (Penyebutan hewan sengaja diurutkan diakhir untuk penyesuaian –pent.), berdoa, zikir, penyembelihan, nazar, isti’adzah (minta perlindungan), istiqhasah (minta bantuan), isti’anah (minta tolong), tawakal, tobat, istighfar (minta pengampunan dosa). Ibadah-ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kecuali hanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Siapa yang memalingkannya kepada selain -Nya, maka dia telah berbuat syirik.

&

Macam-Macam Najis

22 Jul

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Najis ialah kotoran yang bagi setiap Muslim wajib menyucikan diri daripadanya dan menyucikan apa yang dikenainya.
Firman Allah: “Mengenai pakaianmu, hendaklah kamu bersihkan.” (al-Muddatstsir: 4)
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang tobat, dan mengasihi orang-orang yang bersuci.” (al-Baqarah: 222)
Sabda Rasulullah saw.: “Bersuci itu sebagian dari keimanan.”

Macam-macam najis adalah:
1. Bangkai: ialah yang mati secara begitu saja artinya tanpa disembelih menurut ketentuan agama. Termasuk juga dalam hal ini apa yang dipotong dari binatang hidup, berdasarkan hadits Abu Waqib al-Laitsi:
Telah bersabda Rasulullah saw.: “Apa yang dipotong dari binatang ternak, sedang ia masih hidup, adalah bangkai.” (HR Abu Daud dan Turmudzi yang diakuinya sebagai hadits hasan. Katanya: “Bagi ahli ilmu, ketentuan ini dituruti.”)

Dikecualikan dari itu:
a. Bangkai ikan dan belalang, maka ia suci, karena hadits Ibnu Umar ra.: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah, ia adalah hati dan limpha.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi dan Daruquthni, tetapi hadits ini dlaif. Hanya Imam Ahmad yang mensahkannya sebagai hadits mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Zar’an dan Abu Hatim)

Sedang hadits seperti ini hukumnya marfu’ artinya silsilah sanadnya sampai kepada Nabi, karena ucapan shahabat: dihalalkan bagi kami ini, atau diharamkan bagi kami itu, adalah serupa dengan ucapannya: kami diperintahkan dan kami dilarang.
Dan telah kita sebutkan sebelumnya sabda Nabi saw. mengenai laut yang artinya: “Airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal buat dimakan.”

b. Bangkai binatang yang tidak punya darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkannya bernajis.

Berkata Ibnul Mundzir: “Tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat tentang sucinya apa yang disebutkan tadi, kecuali apa yang diriwayatkan dari Syafi’i. Dan yang lebih populer dari madzabnya ialah najis, hanya dimaafkan jika jatuh ke dalam benda cair selama benda cair itu tidak berubah karenanya.”

c. Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci karena asalnya semua itu adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najisnya.

Berkata az-Zuhri mengenai tulang-belulang bangkai seperti misalnya gajah dan lain-lain: “Saya dapati orang-orang dari ulama-ulama Salaf mengambil sebagai sisir dan menjadi minyak, demikian itu tidak jadi apa-apa.” (Riwayat Bukhari)

Dan diterima dari Ibnu Abbas, katanya: majikan dari Maimunah menyedekahkan kepadaku seekor domba, tiba-tiba ia mati. Kebetulan Rasulullah saw. lewat maka sabdanya: “Kenapa tidak kalian ambil kulitnya buat disamak, hingga dapat dimanfaatkan?” “Bukankah itu bangkai?” ujar mereka. “Yang diharamkan ialah memakannya.” Ujar Nabi pula. (HR Jama’ah Ibnu Majah yang di dalam riwayatnya tersebut: “Dari Maimunah”, sementara dalam riwayat Bukhari dan Nasa’i tidak disebutkan soal menyamak)

Dan dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia membacakan ayat berikut ini: “Katakanlah: menurut apa yang diwahyukan kepadaku tidak kujumpai makanan yang diharamkan kecuali bangkai.” (sampai akhir ayat 145 dari surah al-An’am). Kemudian ulasannya: “Yang diharamkan itu hanyalah apa yang dimakan. Mengenai kulit, air kulit, gigi, tulang, rambut dan bulu, maka ia halal.” (HR Ibu Mundzir dan Ibnu Hasyim)

Begitu pula sari susu bangkai dan susunya suci, karena para shahabat sewaktu menaklukkan negeri Irak, mereka memakan keju orang-orang Majusi padahal itu dibuat dari susu, sedang sembelihan mereka itu dipandang sama dengan bangkai.

Sebuah riwayat yang berasal dari Salman al-Farisi ra. bahwa ia ditanya mengenai sedikit keju, lemak dan bulu, maka jawabnya: “Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram apa yang diharamkan dalam kitab-Nya, dan apa-apa yang didiamkan-Nya termasuk barang yang dimaafkan-Nya.” Dan sebagaimana diketahui pertanyaan tersebut adalah mengenai keju orang-orang Majusi, yakni sewaktu Salman menjadi gubernur ‘Umar bin Khaththab di Madain.

2. Darah, baik ia darah yang mengalir atau tertumpah, misalnya yang mengalir dari hewan yang disembelih, ataupun darah haid. Tetapi dimaafkan kalau hanya sedikit.
Dari Ibnu Juraij mengenai firman Allah Ta’ala: aw damam masfuuhan; katanya yang dimaksud dengan darah masfuha itu ialah darah yang mengucur sedang yang terdapat dalam urat-urat itu tidak jadi apa (dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir)

Dan sewaktu kepada Abu Mijlaz ditanyakan tentang darah yang terdapat di bekas sembelihan domba (leher) atau darah yang dijumpai di permukaan periuk, ujarnya: “Tidak apa-apa yang dilarang itu hanyalah darah yang tertumpah.” (diriwayatkan oleh Abdu Hamid dan Abu Syeikh)

Dari ‘Aisyah ra. katanya: “Kami makan daging sedang darah tampak merupakan benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula: “Kaum Muslimin tetap melakukan shalat dengan luka-luka mereka.” (diriwayatkan oleh Bukhari)

Kemudian ada lagi sebuah riwayat yang sah dari Umar ra. bahwa ia shalaat sedang lukanya masih berdarah. (Disebutkan oleh Hafidh dalam al-Fat-h)

Sementara Abu Hurairah ra. berpendapat tidak apa dibawa shalat kalau hanya setetes atau dua tetes darah.
Adapun darah nyamuk dan darah yang menetes dari bisul-bisul, maka dimaafkan berdasarkan atsar, atau riwayat dari para shahabat tadi. Dan ditanyakan kepada Abu Mijlaz mengenai bisul yang menimpa badan atau pakaian. Ujarnya: “Tidak apa, kerena yang disebutkan oleh Allah hanya darah dan tidak disebut-Nya dengan tentang nanah.” Berkata Ibnu Taimiyah: “Wajib mencuci kain dari nanah beku dan nanah yang bercampur darah.” Ulasnya pula: “Tetapi tidak ditemukan dalil mengenai najisnya.”
Demikianlah dan yang lebih utama, agar manusia menjaganya sedapat mungkin.

3. Daging babi
Firman Allah: “Katakanlah: Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena itu adalah najis.” (sampai akhir ayat 145 surah al-An’am)
Maksudnya karena semua itu adalah menjijikkan yang tak disukai oleh selera yang sehat. Maka kata ganti “itu” kembali kepada ketiga jenis tersebut. Mengenai bulu babi, menurut pendapat ulama yang terkuat, dibolehkan untuk diambil benang jahit.

4. Muntah
5. Kencing
6. Kotoran manusia.
Najis semua itu disepakati oleh bersama, hanya kalau muntah itu sedikit, maka dimaafkan. Begitu pula diberi keringanan terhadap kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan, maka cukup buat menyucikannya dengan jalan memercikkannya dengan air, berdasarkan hadist Ummu Qais ra. yang artinya: “Bahwa ia datang kepada Nabi saw. membawa bayinya yang laki-laki yang belum lagi sampai usia untuk diberi makan, dan bahwa bayinya itu kencing dalam pangkuan Nabi. Maka Nabi pun meminta air lalu memercikkannya (maksudnya sebagaimana tersebut pada riwayat-riwayat lain ialah menebarkan air dengan jari-jari, tidak sampai banyak hingga mengalir) ke atas kainnya, dan tidak mencucinya berkali-kali.” (disepakati oleh ahli-ahli hadits)

Dari Ali ra. katanya: telah bersabda Rasulullah saw.: “Kencing bayi laki-laki diperciki air, sedangkan kencing bayi perempuan hendaklah dicuci.” Berkata Qatadah: “Ini selama kedua mereka ini belum diberi makan, jika sudah, maka kencing mereka hendaknya dicuci.” (HR Ahmad –dengan lafadh atau susunan kata daripadanya- dan Ashabus Sunan kecuali Nasa’i. Berkata Hafidh dalam al-Fat-h: “Isnadnya adalah sah.”)

Kemudian memerciki itu hanya cukup, selama bayi tiada beroleh makanan selain dari jalan menyusu. Adapun bila ia telah diberi makan, maka tak ada perbedaan pendapat tentang wajib mencucinya. Keringanan dengan cukup diperciki itu mungkin sebabnya karena gemarnya orang-orang buat menggendong bayi hingga sering kena kencing dan masyaqqah atau sulit buat mencucinya, diberi keringanan dengan cara tersebut.

7. Wadi
Yaitu air putih kental yang keluar mengiringi kencing. Ia adalah najis tanpa perbedaan pendapat. Berkata ‘Aisyah ra.: “Adapun wadi ia adalah setelah kencing, maka hendaklah seseorang mencuci kemaluannya lalu berwudlu dan tidak usah mandi.” (Riwayat Ibnul Mundzir)

Dan dari Ibnu Abbas ra. mengenai mani, wadi dan madzi, katanya: “Adapun mani, hendaklah mandi, mengenai madzi dan wadi, pada keduanya berlaku cara bersuci.” (diriwayatkan oleh Atsram dan Baihaqi, sedang pada Baihaqi lafadhnya adalah sebagai berikut: “Adapun wadi dan madzi, katanya, cucilah kamaluanmu atau tempat kemaluanmu, dan laukanlah pekerjaan wudlu-mu untuk shalat.”)

8. Madzi: yakni air putih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda. Kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Terdapat pada laki-laki dan perempuan hanya lebih banyak pada golongan perempuan. Hukumnya najis menurut kesepakatan ulama, hanya bila ia menimpa badan wajib dicuci, dan jika menimpa kain, cukuplah dengan memercikinya dengan air karena ini merupakan najis yang sukar menjaganya sebab sering menimpa pakaian pemuda-pemuda sehat, hingga lebih layak mendapat keringanan dari kencing bayi.

Dari ‘Ali ra., katanya: Aku adalah seorang laki-laki yang banyak madzi, maka kusuruh seorang kawan menanyakan kepada Nabi saw. mengingat aku adalah suami putrinya. Kawan itupun menanyakan, maka jawab Nabi: ‘Berwudlulah dan cucilah kemaluanmu.’” (HR Bukhari dan lain-lain)

Dari Sahl bin Hanif ra. katanya: Aku mendapat kesusahan dan kesulitan disebabkan madzi dan sering mandi karenanya. Maka kusampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. dan ujarnya: “Cukuplah kamu berwudlu karena itu.” Lalu kataku pula: “Ya Rasulallah, bagaimana yang menimpa kainku?” Sabdany: “Cukup bila engkau ambil sesauk air lalu percikkan ke kainmu hingga jelas olehmu mengenainya.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi serta katanya: “Hadits ini hasan lagi shahih.”)

Di dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Ishak, dan ia adalah dlaif bila meriwayatkan disebabkan mudallas, hanya di sini ia tegas-tegas meriwayatkan hadits.

Juga hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Astram ra. dengan lafadh: “Aku banyak menemukan kesusahan karena madzi, maka akupun datang menemui Nabi saw. dan mengatakan hal itu kepadanya. Ujarnya: “Cukuplah bila kau mengambil sesauk air lalu memercikkan ke atasnya.”

9. Mani.
Sebagian ulama berpendapat bahwa ia najis. Pendapat yang kuat adalah ia suci, tetapi disunahkan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Berkata ‘Aisyah ra.: “Kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.” (Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar)

Dari Ibnu Abbas, katanya: Nabi saw. ditanya orang mengenai mani yang mengenai kain, maka jawabnya: “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni, Baihaqi dan Thahawi, sedang hadits menjadi perbantahan mengenai marfu’ atau mauqufnya, yakni tentang sampai sanadnya kepada Nabi saw. atau hanya sampai shahabat saja).

10. Kencing dan tahi binatang yang tidak dimakan dagingnya
Keduanya adalah najis karena hadits Ibnu Mas’ud ra. katanya: Nabi saw. hendak buang air besar, maka disuruhnya aku mengambilkan tiga buah batu. Dapatlah aku dua buah, dan kucari sebuah lagi tapi tidak ketemu. Maka kuambillah tahi kering lalu kuberikan kepadanya. Kedua batu itu diterima oleh Nabi, tetapi tahi tadi dibuangnya. Sabdanya: “Ini najis.” (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah)
Yang menambahkan dalam sebuah riwayat: “Ini najis, ini adalah tahi keledai.” Dan dimaafkan bila hanya sedikit, karena susah menjaganya. Berkata Walid bin Muslim: “Saya tanyakan kepada Auza’i: “Bagaimana tentang kencing binatang yang tidak dimakan dagingnya seperti bagal, keledai dan kuda?” Ujarnya: “Mereka mendapatkan kesulitan disebabkan itu dalam peperangan, dan tidaklah mereka cuci baik yang mengenai tubuh ataupun kain.”

Mengenai kencing atau tahi hewan yang dimakan dagingnya, di antara ulama mengatakan suci adalah Malik, Ahmad dan segolongan dari ulama madzab Syafi’i. Berkata Ibnu Taimiyah: “Tak seorang pun di antara shahabat yang mengatakan najis, bahkan mengatakannya najis itu adalah ucapan yang dibuat-buat yang tak ada dasarnya di kalangan shahabat yang dulu-dulu. Sekian.

Dari Anas ra. katanya: Orang-orang Ukul dan Ukrainah datang ke Madinah dan tertimpa sakit perut. Maka Nabi saw. menyuruh mereka untuk mencari unta perahan dan supaya meminum kencing dan susunya.” (HR Ahmad dan kedua Syaikh yakni Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjadi dalil tentang sucinya kencing unta.

Dan binatang-binatang lain yang dimakan dagingnya diqiyaskan kepadanya. Berkata Ibnul Mundzir: “Orang-orang yang mengatakan bahwa ini khusus bagi orang tesebut, tidaklah benar, karena keistimewaan itu tidak dapat diterima kecuali bila ada alasan.” Ulasnya lagi: “Dibiarkannya oleh ahli-ahli ilmu orang-orang itu menjual tahi kambing di pasar-pasar, dan menggunakan kencing unta buat obat-obatan baik di masa dulu maupun sekarang tanpa dapat disangkal, menjadi bukti atas sucinya.”

Berkata Syaukani: “Yang kuat ialah sucinya kencing dan sisa makanan dari setiap hewan yang dimakan dagingnya, berpegang kepada asal dan ishtish-hab lil baraatil ashliyah artinya mempertahankan hukum lama yakni kebebasan menurut asal. Sedang sifat dan keadaan najis itu adalah suatu hukum syara’, yang berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh asal dan kebebasan, hingga ucapan orang yang mengakuinya tak dapat diterima kecuali bila ada dalil yang dapat dipakai alasan untuk memindahkan daripadanya, padahal dari orang-orang yang mengatakannya najis, tidak kita temui alasan tersebut.

11. Binatang jallalah, karena ada larangan terhadap mengendarai jallalah, memakan daging atau meminum susunya.
Dari Ibnu Abbas ra. katanya: Telah melarang Rasulullah saw. meminum susu jallalah.” (diriwayatkan oleh Yang Berlima kecuali Ibnu Majah, dan oleh Turmudzi dikatakan shahih)
Dan pada sebuah riwayat: “Nabi melarang mengendarai jallalah.” (HR Abu Dawud)

Dan diterima dari Umar bin Syu’aib, dari ayah dan seterusnya dari kakeknya ra. katanya: Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai piaraan, begitu pun jallalah, baik mengendarai atau memakan dagingnya.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Abu Daud)

Yang dimaksud dengan jallalah adlah binatang-binatang yang memakan kotoran, baik berupa unta, sapi, kambing, ayam, itik dan lain-lain sampai baunya berubah.
Tetapi jika ia dikurung dan terpisah dari kotoran-kotoran itu beberapa waktu dan kembali memakan makanan yang baik, hingga dagingnya jadi baik dan nama jallalah tadi jadi hilang dari dirinya, maka halal, karena illat atau alasan dilarang ialah karena berubah, sedang sekarang sudah tiada perubahan lagi.

12. Khamr / Arak. Bagi jumhur ulama ia adalah najis karena firman Allah: “Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk perkara setan.” (al-Maidah: 90)

Sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, sedang kata-kata najis pada ayat tersebut mereka tafsirkan sebagai najis maknawi, karena kata “Najis” itu merupakan predikat dari arak serta segala yang dihubungkan dengannya, padahal semua itu sekali-sekali tak dapat dikatakan najis biasa.

Firman Allah: “Hendaknya kamu jauhi najis yang berupa berhala.”
Ternyata bahwa berhala itu najis maknawi yang bila disentuh tidak menyebabkan kita bernajis. Juga karena dalam ayat tersebut ada ditafsirkan bahwa ia merupakan pekerjaan setan yang menimbulkan permusuhan dan saling benci serta jadi penghalang terhadap mengingat Allah dan melakukan shalat.

Dan dalam buku Subulus Salam tertera sebagai berikut: “Yang benar bahwa asal pada semua benda yang tersebut itu adalah suci, dan bahwa diharamkannya, tidaklah berarti bahwa ia najis. Contohnya candu, ia adalah haram tetapi tetap suci. Adapun barang najis, maka selamanya haram. Jadi setiap najis adalah haram, tetapi tidak sebaliknya. Keterangannya ialah menetapkan sesuatu sebagai najis, berarti melarang menyentuhnya dengan cara apapun juga. Maka menetapkan sesuatu barang sebagai najis, berarti menetapkan haramnya.

Lain halnya dengan menetapkan haramnya, misalnya memakai sutera dari emas, padahal keduanya adalah suci berdasarkan syara’ dan ijma’. Nah bila ini dapat anda pahami, maka diharamkannya berbagai macam tuak berikut arak sebagaimana dimaksudkan oleh dalil-dalil keterangan, tidak berarti bahwa itu najis, untuk itu hendaklah ada dalil atau keterangan lain.
Dan seandainya dalil itu tidak dijumpai, tetaplah ia berada dalam keadaan asal yang telah disepakati bersama yakni suci. Siapa-siapa yang menyangkal, berartilah ia menyangkal dalil itu sendiri.

13. Anjing. Ia adalah najis dan wajib mencuci apa yang dijilatnya, sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah.” (HR Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi)

Mencuci dengan tanah maksudnya ialah mencampurkannya ke dalam air hingga menjadi keruh.
Jika ia menjilat ke dalam bejana yang berisi makanan kering, hendaklah dibuang mana yang kena dan sekelilingnya, sedang sisanya tetap dipergunakan karena sucinya tadi.
Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat adalah suci, dan tak ada alasan mengatakannya najis.

Thaharah (Bersuci); Macam-macam Air

22 Jul

Fiqih Sunnah; Sayid Sabiq

1. Air Mutlak.
Hukumnya ialah bahwa air suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan menyucikan bagi lainnya. Macam-macamny:

a. Air hujan, salju, es, embun, berdasarkan firman Allah: “dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.” (al-Anfaal: 11)
Dan firman-Nya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan.” (al-Furqan: 48)

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katannya: Adalah Rasulullah saw. bila membaca takbir di dalam shalat diam sejenak sebelum membaca al-Fatihah, maka saya tanyakan: “Demi kedua orang tuaku wahai Rasulallah. Apakah kiranya yang and abaca ketika berdiam diri di antara takbir dengan membaca al-Fatihah?” Rasulullah saw. menjawab: “Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau menjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah dari sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.” (HR Jama’ah kecuali Turmudzi)

b. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang laki-laki menanyakan kepada Rasulullah saw. katanya: “Ya Rasulallah, kami biasa berlayar di lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudlu, akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudlu dengan air laut?” Berkatalah Rasulullah saw.: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal dimakan.” (diriwayatkan oleh yang berlima)

Dalam jawaban itu Rasulullah saw. tidak menjawab: “Ya.” Dengan tujuan untuk menyatakan illat atau alasan bagi hukum, yaitu kesucian seluas-luasnya; disamping itu ditambahkannya keterangan mengenai hukum yang tidak ditanya agar lebih bermanfaat dan tersingkapnya hukum yang tidak ditanya itu, yaitu tentang halalnya bangkainya. Manfaat itu akan dirasakan sekali di saat timbul kebutuhan akan hukum tersebut, dan ini merupakan suatu kebijaksanaan dalam berfatwa.
Berkata Turmudzi: “Hadits ini hasan lagi shahih, ketika kutanyakan kepada Muhammad bin Ismail al Bukhari tentang hadits ini, jawabannya ialah: hadits ini shahih.

c. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dari Ali ra. artinya “bahwa Rasulullah saw. meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya buat berwudlu.” (HR Ahmad)

d. Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan bercampur dengan apa yang menurut ghalibnya tak terpisah dari air seperti kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air tersebut tetap termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang bisa disebut air secara mutlak ialah tempat kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman Allah: “Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah kamu.” (al-Maidah: 6)

2. Air Musta’mal, yang terpakai.
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota tubuh orang yang berwudlu dan mandi. Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasanpun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga dikarenakan hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudlu Rasulullah saw. katanya: “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudlu yang terdapat pada kedua tangannya.”

Juga dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah, sedang waktu itu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw. lalu mandi, kemudian datang kembali. ditanyakan oleh Nabi saw.; kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemani Rasulullah saw. dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tidak mungkin najis.” (HR Jama’ah)
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena di sana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tidak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci dengan tangan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.

Berkata Ibnu Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan, dan demikianlah pula pendapatku.”
Dan madzab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan as-Sauri, Abu Tsaur dan semua ahli Dzahir.

3. Air yang bercampur dengan barang yang suci.
Misalnya dengan sabun, kiambang, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari ari. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tidak dapat lagi dikataan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak menyucikan bagi lainnya.

Diterima dari ‘Athiyah, katanya: Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw. ketika wafat putrinya, Zainab, lalu katanya: “Mandikanlah ia tiga atau empat kali atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurkanlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika telah selesai beritahukanlah kepadaku.” Maka setelah selesai, kami sampaikan kepada Nabi. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta sabdanya: “Balutkanlah pada rambutnya.” Maksudnya kainnya itu. (HR Jama’ah)

Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk menyucikan orang yang hidup.
Dan menurut riwayat Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dari hadits Ummu Hani’. Bahwa Nabi saw. mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang di dalamnya ada sisa tepung.
Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai demikian rupa yang menyebabkannya tidak dapat lagi disebut air mutlak.

4. Air yang bernajis
Pada macam ini terdapat dua keadaan:

a. Bila najis itu mengubah salah satu dari antara rasa, warna dan baunya. Dalam keadaan ini para ulama sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnul Mulqin.

b. Bila ari tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu di antara sifatnya yang tiga tadi tidak berubah. Hukumnya ialah suci dan menyucikan, biar sedikit atau banyak. Alasannya ialah hadits Abu Hurairah ra. katanya: Seorang Badui berdiri lalu kencing di masjid. Orang-orang pun sama berdiri untuk menangkapnya. Maka bersabdalah Nabi saw.: “Biarkanlah dia, hanya tuangkanlah pada kencingnya setimba air atau seember air. Kamu dibangkitkan adalah untuk memberi keringanan, bukan untuk menyulitkan.” (HR Jama’ah kecuali Muslim)

Juga dari Abu Said al-Khudriy ra. katanya: Dikatakan orang: “Ya Rasulallah, bolehkah kita berwudlu dari telaga Budha’ah?” Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Air itu suci lagi menyucikan, tak satupun yang akan menajisinya.” (HR Ahmad, Syafi’i, Abu Daud dan Turmudzi. Turmudzi mengatakan hadits ini hasan, sedang Ahmad mengatakan: “Hadits Telaga Budha’ah adalah shahih.” Hadits ini disahkan pula oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Muhammad bin Hazmin)

Telaga Budha’ah ialah telaga di Madinah. Berkata Abu Daud: Saya dengar Qutaibah bin Sa’id berkata: “Saya tanyakan kepada penjaga Telaga Budha’ah berapa dalamnya.” Jawabnya: “Sebanyak-banyaknya air setinggi pinggang.” Saya tanyakan pula: “Bila di waktu kurang?” “Di bawah aurat,” ujarnya. Dan saya ukur sendiri Telaga Budha’ah itu dengan kainku yang kubentangkan di atasnya lalu saya hastai, maka ternyata lebarnya 6 hasta. Dan kepada orang yang telah membukakan bagiku pintu kebun dan membawaku ke dalam, saya tanyakan apakah bangunannya pernah dirombak. Jawabnya: “Tidak. Dan dalam sumur itu kelihatan air yang telah berubah warnanya.”

Demikian pula pendapat dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hasan Basri, Ibnu Musaiyab, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Laila, Tsauri, Daud Azh-Zhairi, Nakha’i, Malik dan lain-lain. Gazzali berkata: “Saya berharap kiranya madzab Syafi’i mengenai ari, akan sama dengan madzab Malik.”

Adapun hadits Abdullah bin Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika air sampai dua kulah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (HR Yang berlima) maka ia adalah Mudhtharib, artinya tidak karuan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr di dalam at-Tahmid: “Pendirian Syafi’i mengenai hadits dua kulah, adalah madzab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi alasan.