Tag Archives: madzab

Ta’zir

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Ta’zir disyariatkan untuk setiap kemaksiatan yang tidak dikenai had dan tidak pula kafarah. Hukum ini tidak diperselisihkan lagi di antara para imam madzhab.

Apakah ta’zir itu suatu perkara yang wajib ataukah tidak? Syafi’i berkata: tidak diwajibkan hanya disyariatkan. Hanafi dan Maliki mengatakan: apabila menurut dugaan kuat seseorang yang dita’zir bisa menjadi baik maka ia wajib di-ta’zir. Sedangkan jika menurut dugaan bahwa orang yang bermaksiat itu dapat diperbaiki dengan cara lain maka tidak wajib ta’zir.

Hambali berkata: apabila seseorang pantas dikenai ta’zir karena telah melakukan kemaksiatan maka hukumnya wajib. Apabila hakim melakukan ta’zir terhadap seseorang lalu orang tersebut mati karena ta’zir itu, maka hakim tidak dibebani membayar pertanggungan. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Syafi’i mengatakan: dikenai pertanggungan.

Apakah dibolehkan ta’zir melebihi batas had yang paling tinggi? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak boleh. Maliki berkata: hal demikian terserah pada pertimbangan hakim. Jika pertimbangannya menghendaki lebih, hendaknya dilakukan.

Apakah hukuman ta’zir berbeda-beda menurut perbedaan sebab perbuatannya? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: ta’zir yang paling tinggi adalah sejumlah had yang paling rendah. Adapun serendah-rendah ta’zir, menurut pendapat Hanafi adalah 40 kali jika penyebabnya adalah meminum khamr. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hambali: serendah-rendahnya adalah 20 kali.

Setinggi-tingginya hukuman ta’zir menurut Hanafi adalah 39 kali. Menurut Syafi’i dan Hambali adalah 19 kali. Sedangkan Maliki berkata: hakim boleh melakukan ta’zir sebanyak yang menjadi pertimbangannya.

Hambali berkata: ta’zir itu berbeda-beda menurut perbedaan sebabnya. Apabila penyebabnya berupa persetubuhan yang syubhat pada kemaluan perempuan, atau menyetubuhi tidak pada kemaluannya, maka boleh dikenai ta’zir lebih dari hukuman minimal had, tetapi tidak boleh melebihi batas maksimalnya, yaitu dipukul 99 kali. Sedangkan jika perbuatannya bukan soal kemaluan, seperti mencium orang lain, memaki, atau mencuri kurang dar isatu nisab, maka ta’zirnya tidak boleh melebihi batas minimal had.

Apakah orang yang sakit dijatuhi had, apakah boleh ditunda hukuman ta’zirnya? Hanafi berkata: apabila had itu berupa rajam maka tidak boleh ditunda, kecuali seorang wanita yang sedang hamil. Sedangkan jika berupa cambuk maka boleh ditunda jika memang diharapkan kesembuhannya.

Maliki dan Hambali mengatkan: apabila had disebabkan pembunuhan maka tidak boleh ditunda, kecuali perempuan yang sedang hamil hingga telah melahirkan. Sedangkan jika berupa jilid [cambukan dengan kulit], jika diharapkan kesembuhannya maka boleh ditunda. Jika tidak dapat diharapkan kesembuhannya maka tidak boleh ditunda. Hambali berkata: tidak boleh ditunda secara mutlak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sifat pelaksanaan had terhadap orang sakit. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: orang sakit itu dipukul sebanyak yang dikenainya. Tetapi jika dikhawatirkan akan meninggal, hendaknya dipukul dengan ujung kain atau dengan sesuatu yang diperkirakan tidak mematikan. Demikian juga terhadap orang yang lemah.

Maliki berkata: tidak boleh diperlakukan had kecuali dengan cambukan. Pencambukan itu tidak harus terus-menerus, dan harus dipukul sebanyak yang diperlukan. Tidak boleh kurang. Sedangkan jika orang yang dikenai had tersebut merasa sakit maka ditunggulah sampai sembuh.

Apakah orang yang dikenai ta’zir harus dalam keadaan berdiri ataukah duduk? Maliki berkata: di-ta’zir dalam keadaan duduk. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: dalam keadaan berdiri. Dari Hambali dalam masalah ini diperoleh dua riwayat.

Apakah melepaskan bajunya? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dilepas jika hadnya berupa had qadzaf. Sedangkan dalam had lainnya harus dilepas bajunya. Maliki berkata: dalam semua had bajunya harus dilepas. Sedangkan Hambali berkata: untuk semua jenis had tidak dilepas bajunya.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang memukul pada anggota badan. Hanafi dan Hambali mengatakan: seluruh anggota badan boleh dipukul, kecuali muka, kemaluan dan kepala. Syafi’i berkata: yang tidak boleh dipukul adalah muka, kemaluan, pinggang dan bagian-bagian yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian. Maliki berkata: yang dipukul adalah pinggang dan sisi-sisinya.

Orang laki-laki yang dikenai hukuman rajam boleh digalikan tanah untuknya. Sedangkan orang perempuan bole digalikan untuknya jika ia terbukti berzina. Sedangkan jika ia hanya mengaku saja maka tidak boleh. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berkata: dalam hal ini hakim boleh memilihnya.
Syafi’i berkata: orang laki-laki yang dirajam boleh digalikan lubang dan boleh juga tidak. Sedangkan jika yang dirajam itu perempuan hendaklah digalikan lubang dan dibenamkan sebagian badannya ke dalam lubang tersebut.

Apakah boleh berbeda pukulan dalam had? Hanafi berkata: pukulan yang paling keras adalah ta’zir, lalu zina, minum khamar, kemudian qadzaf.
Maliki berkata: pukulan dalam semua had adalah sama saja. hambali berkata: pukulan dalam had zina harus lebih keras daripada pukulan dalam had qadzaf, dan dalam had qadzaf harus lebih keras daripada pukulan pada peminum khamar. &

Pemeliharaan Anak (Hadhanah)

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa hak pemeliharaan anak [hadhanah] ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suaminya yang baru maka gugurlah hak pemeliharaannya.

Para imam madzhab berbeda pendapat jika seorang perempuan ditalak ba’in oleh suaminya yang baru, apakah hak pemeliharaan itu kembali kepadanya? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hak pemeliharaan kembali kepadanya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai sedangkan mereka mempunyai anak. Siapakah yang lebih berhak memelihara anaknya? Menurut Hanafi dalam salah satu riwayatnya: ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan bisa mandiri dalam memenuhi keperluan makan, minum, pakaian, beristinjak dan berwudlu. Setelah itu bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya sampai ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.

Maliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan seorang laki-laki dan disetubuhi. Untuk anak laki-laki juga demikian, menurut pendapat Maliki yang masyhur hingga anak itu dewasa.

Syafi’i berkata: ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Sesudah itu bapak dan ibunya boleh memilih untuk memelihara. Siapa yang mengambilnya maka dialah yang memeliharanya.

Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat. Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai umur tujuh tahun. Setelah itu anak itu boleh memilih ikut ibu atau bapak. Sedangkan anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia tetap ikut ibunya tanpa pilihan. Kedua, seperti pendapat Hanafi.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang saudara perempuan sebapak dan seibu [kandung]. Apakah ia lebih berhak memelihara daripada saudara perempuan sebapak saja? Hanafi berkata: saudara perempuan sekandung lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak dan daripada saudara laki-laki ibu. Saudara perempuan seibu lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak. Inilah menurut salah satu riwayat dari Hanafi. Sedangkan menurut riwayat lain, perempuan seibu lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak. Syafi’i dan Hambali mengatakan: saudara perempuan sebapak lebih berhak daripada saudara perempuan seibu dan saudara perempuan ibu.

Apabila ibu mengambil anaknya yang masih kecil untuk dipeliihara, lalu bapaknya hendak pergi jauh membawanya serta berniat menetap di tempat tersebut, apakah ia boleh mengambil anak itu dari ibunya? Hanafi berkata: tidak boleh. Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam riwayatnya yang masyhur mengatakan: boleh ayahnya mengambil anak tersebut dari ibunya.

Apabila orang yang hendak pergi jauh adalah ibunya dengan membawa anak tersebut, apakah hal itu dibolehkan? Hanafi berkata: ia boleh membawanya dengan dua syarat: 1) kepergian istrinya untuk menuju kampung halaman; 2) akad nikahnya dulu dilakukan di kampung yang dituju. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, ia tidak boleh membawa anak itu, kecuali berpindah ke tempat yang jauh dari tempat asal, yang memungkinkan pulang pergi dalam sehari. Sedangkan apabila dibawa pindah ke negeri musuh, atau dari kota ke desa, walaupun dekat, maka tidak boleh.

Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatkan: bapaknya lebih berhak atas anak itu, baik yang berpindah itu bapak maupun ibu si anak. Menurut pendapat Hambali dan riwayat lainnya: ibu lebih berhak atas anaknya selama ibu itu tidak menikah lagi.

&

‘Iddah

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para Imam madzhab sepakat bahwa ‘iddah perempuan yang hamil adalah dengan melahirkan anak, baik karena ditalak oleh suaminya atau ditinggal mati.

Masa ‘iddah bagi perempuan yang tidak berhaid atau perempuan yang sudah putus haidnya adalah 3 bulan. Adapun, masa ‘iddah bagi perempuan yang berhaid adalah tiga quru’ jika ia adalah perempuan merdeka. Demikian kesepakatan para imam madzhab.

Dawud berpendapat: perempuan merdeka dan budak perempuan adalah sama masa ‘iddahnya yaitu tiga quru’. Quru’ adalah masa suci. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: quru’ adalah haidh. Dari Hambali diperoleh dua riwayat.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia berada di tengah perjalanan menuju Makkah untuk haji. Hanafi berkata dalam masalah ini: ia harus berhenti, tidak meneruskan perjalanannya hingga selesai masa ‘iddahnya jika ia telah berada dalam suatu negeri yang dekat dengannya.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jika ia khawatir tertinggal hajinya, maka ia boleh meneruskan perjalanannya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang istri yang suaminya pergi ke tempat yang tidak diketahui (mafqud). Menurut Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya, serta pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: istri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu masa [menurut adat] bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa tersebut.

Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi’i dan Hambali memberi batasan 90 tahun. Juga menurut pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya dan pendapatnya yang paling kuat: istri berhak menuntut nafkah dari harta suaminya untuk selama-lamanya. Jika suaminya tidak mempunyai harta maka ia boleh meminta pembatalan pernikahan lantaran tidak adanya pemberian nafkah.

Adapun menurut Maliki dan Syaf’i’i dalam qaul qadim-nya yang dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh ‘Umar ra. tanpa ada seorangpun di antara para shahabat lainnya mengingkari perbuatannya, dan juga menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: istri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimum masa mengandung ditambah 4 bulan 10 hari, yakni sebagai masa ‘iddah atas kematian suami. Sesudah itu boleh menikah lagi.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sifat-sifat suami yang dinamakan mafqud. Menurut pendapat Syafi’i dalam qaul jadid-nya: mafquf adalah suami tidak diketahui lagi beritanya, dan menurut dugaan kuat ia telah meninggal. Menurut Maliki dan dalam qaul qadim Syafi’i: tidak ada perbedaan antara putus berita karena mengalami musibah, seperti kecelakaan, tenggelam jatuh dari kapal dan sebagainya yang serupa dan lainnya.

Hambali berpendapat: suami mafqud adalah suami yang tidak diketahui kabar beritanya oleh karena suatu sebab, yang pada umumnya mengakibatkan kematian, seperti orang yang hilang dalam peperangan, kapal tenggelam yang sebagian penumpangnya ada yang selamat dan ada yang tenggelam. Adapun jika suami pergi untuk berdagang dan tidak diketahui kabar beritanya, serta tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati, maka istri tidak boleh menikah lagi sampai ia yakin akan kematian suaminya, atau datang suatu masa yang tidak mungkin lagi suaminya hidup.

Hanafi berpendapat: suami mafqud adalah suami yang pergi dan tidak diketahui kabar beritanya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami pertama datang, sementara istrinya sudah bersuami sesudah menanti selam masa yang telah ditentukan. Hanafi berpendapat: akad nikah kedua batal dan istri tetap menjadi milik suami pertama. jika suami kedua telah menyetubuhinya maka dikenakan mahar mitsli, lalu istrinya melakukan ‘iddah dari suami kedua. Setelah itu kembali ke suami pertama.

Maliki berpendapat: jika sudah disetubuhi oleh suami kedua maka jadilah ia istri bagi suami kedua, dan ia wajib menyerahkan mahar kepada suami pertama sebanyak mahar yang telah diberikan kepadanya. Juga menurut pendapat Maliki dalam riwayat lainnya: istri tersebut secara mutlak milik suami yang pertama.

Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang shahih: pernikahan kedua menjadi batal. Pendapat lainnya: batal pernikahan pertama secara mutlak. Hanafi berpendapat: jika suami kedua belum menyetubuhinya maka ia tetap menjadi milik suami pertama. sedangkan jika sudah disetubuhi maka suami pertama boleh memilih antara memilikinya dan membayar mahar kepadanya, atau meninggalkannya untuk dimiliki suami kedua dan mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya dulu.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah ‘iddah ummul walad apabila tuannya meninggal atau memerdekakannya. Hanafi berkata: ‘iddahnya adalah tiga kali haid, baik dimerdekakan maupun ditinggal mati oleh tuannya. Maliki dan Syafi’i mengatakan: ‘iddah ummul walad apabila tuannya meninggal atau ia dimerdekakakan adalah satu kali haid saja.

Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama satu kali haid saja. pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Kedua, jika ia dimerdekakan maka ‘iddahnya adalah satu kali haid sedangkan jika ditinggal mati masa ‘iddahnya adalah ‘iddah ditinggal wafat [4 bulan 10 hari].

Para imam madzhab sepakat bahwa batas minimal perempuan mengandung adalah 6 bulan, tetapi para imam madzhab berbeda pendapat tentang batas maksimalnya. Hanafi berpendapat: dua tahun, dan Maliki diperoleh beberapa riwayat, pertama empat tahun. Kedua lima tahun. Ketiga tujuh tahun.

Syafi’i berkata: empat tahun. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama seperti pendapat Syafi’i [empat tahun]. Inilah pendapat yang paling masyhur. Kedua seperti pendapat Hanafi [dua tahun].

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang perempuan ‘iddah yang mengeluarkan segumpal darah atas segumpal daging. Hanafi dan Hambali dalam riwayatnya yang jelas mengatakan: ‘iddahnya tidak habis lantaran mengalami hal tersebut. Maliki dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya mengatakan: dengan keluarnya benda tersebut maka berakhiralah masa ‘iddahnya. Demikian juga pendapat Hambali dalam riwayat yang lain.

Ihdad diwajibkan bagi perempuan ‘iddah yang ditinggal mati suaminya. Demikian menurut kesepakatan pendapat imam madzhab. Ihdad adalah meninggalkan berhias diri dan meninggalkan sesuatu yang dapat mendorong orang lain tertarik kepadanya dan menikahinya.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan asy-Syaf’bi bahwa ihdad tidak diwajibkan bagi perempuan yang menjalani ‘iddah mabtutah [‘iddah yang tidak memungkinkan bagi suami untuk kembali kepada istrinya].

Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat: menurut qaul qadimnya perempuan yang menjalani ‘iddah mabtutah adalah wajib melakukan ihdad. Seperti ini juga pendapat Hanafi dan salah satu pendapat Hambali.

Dalam qaul jadid-nya Syafi’i berpendapat: tidak diwajibkan melakukan ihdad atasnya. Seperti ini juga pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat yang lain.

Apakah perempuan yang tertalak ba’in dibolehkan keluar dari rumahnya pada siang hari karena adanya suatu keperluan? Hanafi berpendapat: tidak boleh keluar kecuali dalam keadaan darurat. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat di atas. Tetapi pendapatnya yang paling shahih adalah seperti pendapat Hanafi.

Adapun perempuan dewasa ataupun yang masih kecil dalm hal ihdaad ini tidak ada perbedaan. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak ada ihdad bagi perempuan kecil. Perempuan dzimmi jika berada di bawah kekuasaan orang Islam, maka ia wajib menjalankan ‘iddah dan melakukan ihdad. Apabila suami orang dzimmi itu adalah seorang laki-laki dzimmi, maka perempuan itu wajib menjalani ‘iddah tetapi tidak wajib melakukan ihdad. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: wajib melakukan ihdad tetapi tidak wajib menjalani ‘iddah.

&

Upah Atas Usaha Seseorang

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang biaya yang diperlukan oleh orang yang membawa kembali barang temuannya. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak wajib diganti oleh pemiliknya, yakni jika ia mengeluarkan biaya tanpa izin hakim maka wajib diganti oleh pemiliknya, dan yang membawanya boleh menahan barang temuannya sampai pemiliknya mengganti biaya.

Hanafi berpendapat: biaya tersebut menjadi tanggungan pemiliknya. Sedangkan menurut pendapat madzhab Maliki: upah yang diterima oleh pembawanya hanya upah mitsli (yang umum).

&

Shalat Gerhana

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Empat imam madzab sepakat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah muakkaddah secara berjamaah. Namun mereka berbeda pendapat mengenai keadaannya. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: shalat gerhana adalah dua rakaat. Pada setiap rakaat terdapat dua berdiri, dua qiraat, dua rukuk, dan dua sujud. Hanafi berpendapat: shalat gerhana adalah shalat dua rakaat sebagaimana shalat shubuh.

Apakah surah dalam shalat gerhana itu dibaca dengan suara keras atau perlahan? Hanafi, Syafi’i dan Maliki: dengan suara perlahan. Menurut Hambali: dengan suara keras.

Apakah dalam shalat gerhana terdapat khutbah? Dalam masalah ini, pendapat Hanafi dan Hambali yang masyhur: tidak disunnahkan berkhutbah pada shalat gerhana matahari dan bulan. Menurut Syafi’i, Hambali dalam riwayat lainnya, dan Maliki: disunnahkan dua khutbah pada shalat gerhana.

Jika terjadi gerhana bertepatan dengan waktu yang dimakruhkan shalat, maka tidak boleh shalat padanya, tetapi waktu shalat gerhana dijadikan diisi dengan bacaan tasbih. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali yang mayhur. Menurut Syafi’i: boleh shalat pada waktu itu. Dari Maliki diperoleh tiga riwayat: pertama: boleh dikerjakan pada segala waktu. Kedua, boleh dikerjakan pada waktu selain yang dimakruhkan. Ketiga, tidak boleh dikerjakan sesudah matahari condong ke barat, karena menyamai shalat hari raya.

Apakah shalat gerhana bulan dusunnahkan dikerjakan secara berjamaah? Hanafi dan Maliki: tidak disunnahkan, tetapi masing-masing orang shalat sendiri-sendiri. Syafi’i dan Hambali berpendapat: disunnahkan sebagaimana shalat gerhana matahari.

Membaca surah dalam shalat gerhana bulan adalah dengan suara keras, dan shalat gerhana matahari dikerjakan sebagaimana shalat berjamaah. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.

Ats-Tsauri dan Muhammad bin Hasan menyatakan: apabila kepala negera shalat, maka hendaknya rakyat shalat berjamaah bersamanya, jika tidak maka rakyat shalat sendiri-sendiri.

Pada tanda-tangan kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang lain, seperti gempa bumi, petir, dan gelap pada siang hari, tidak disunnahkan shalat. Demikian menurut tiga imam, sedangkan menurut Hambali: untuk tiap-tiap kejadian tanda-tanda kebesaran Allah swt. hendaknya dilakukan shalat berjamaah. Diriwayatkan dari Sayyidina ‘Ali ra. bahwa ia shalat di kala terjadi gempa bumi.

Sekian.

Hukum Sihir dan Tukang Sihir

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Sihir adalah mantera-mantera, jampi-jampi serta bungkusan-bungkusan yang dapat mempengaruhi badan dan jiwa, dan dapat menyebabkan orang menjadi sakit, dapat membunuh, serta dapat menceraikan hubungan suami istri.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: sihir itu ada hakekatnya. Hanafi berkata: sihir itu tidak ada hakekatnya. Demikian juga menurut pendapat Abu Ja’far al-Istirabazi, seorang ulama Syafi’i.

Mempelajari sihir hukumnya haram. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang orang yang belajar sihir dan mengajarkannya. Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: orang tersebut dihukumi kafir. Di antara sahabat Hanafi ada juga yang mengatakan: jika ia belajar untuk menjauhkan dan menjaga diri dari sihir maka ia tidak dihukumi kafir. Sedangkan jika ia mempelajarinya dengan suatu kepercayaan bahwa sihir adalah suatu perbuatan yang dibolehkan atau membawa kemanfaatan, barulah ia dihukumi kafir. Demikian juga, jika ia mempercayai bahwa setan-setan dapat bekerja sama dengan tukang sihir, menerutu kehendaknya, maka ia dihukumi kafir.

Syafi’i berkata: hendaknya kita katakan kepada orang yang mempelajari ilmu sihir: “Tunjukkan kepada kami sifat sihirmu” lalu ia mensifatinya dengan sesuatu yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti yang diyakini oleh penduduk Babilon kuno, yaitu mendekatkan diri pada bintang yang tujuh, dan bintang-bintang tersebut dapat memenuhi permintaannya, maka orang tersebut dihukumi kafir. Jika ia mensifati dengan sesuatu yang tidak membawa kekafiran, tetapi ia berkeyakinan bahwa sihir itu diperbolehkan, maka tetaplah dihukumi kafir juga.

Apakah tukang sihir itu boleh dibunuh dengan semata-mata bahwa ia mempelajari ilmu sihir dan menggunakannya? Menurut pendapat Maliki dan Hambali: ia boleh dibunuh oleh sebab demikian.

Apabila tukang sihir membunuh seseorang dengan sihirnya maka ia wajib dibunuh. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzhab, kecuali menurut Hanafi, yaitu tidak boleh dibunuh sehingga ia mengakui sendiri perbuatannya itu. Sedangkan menurut satu riwayat lain dari Hanafi: tidak boleh dibunuh sehingga ia berulang kali berbuat demikian.

Apakah ia dibunuh dengan cara qishash atau dengan had? Menurut Hanafi, Maliki dan Hambali: dengan had. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i: dengan qishash.

Apakah tobat tukang sihir dapat diterima? Menurut pendapat yang masyhur dari Hanafi dan Maliki: tidak diterima tobatnya dan tidak didengar, melainkan ia dibunuh seperti zindiq. Syafi’i berkata: diterima tobatnya. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas menyatakan tidak diterima tobatnya.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai tukang sihir ahli kitab. Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: tidak dibunuh. Hanafi berkata: dibunuh sebagaimana dibunuhnya tukang sihir yang beragama Islam.

Apakah hukum tukang sihir perempuan Islam sama hukumnya dengan tukang sihir laki-laki Islam? Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hukumnya adalah sama sebagaimana yang diberlakukan terhadap tukang sihir laki-laki Islam. Hanafi berkata: ia dipenjarakan, tidak dibunuh.

Imam al-Haramain berkata: sihir itu tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh orang-orang fasik, sebagaimana karamah tidak mungkin ada pada orang-orang fasik melainkan diperoleh menurut kesepakatan umat.

Maliki berkata: perbuatan sihir adalah penyebab zindiq. Apabila seseorang berkata, “Aku dapat menjadikannya baik dengan sihirku” hendaknya orang tersebut dibunuh dan tobatnya tidak diterima.

An-Nawawi dalam kitabnya ar-Rawdlah mengatakan: mendatangi tukang sihir dan mempelajari tenung serta ilmu melihat nasib yang semacam ramalan, dan sebagainya hukumnya adalah haram berdasarkan nas yang shahih.

Ibn Qadamah dalam kitab al-Kafi berkata: tukang tenung, menurut riwayat dari Hambali, hukumnya adalah dibunuh atau dipenjara hingga mati. Adapun orang yang membuat rajahan untuk orang yang kemasukan jin dan menyatakan bahwa jin itu taat kepadanya maka dalam hal ini sahabat-sahabat kami [para ulama Hambali] memandangnya termasuk tukang sihir.

Riwayat lain dari Hambali: hukum mengenai masalah ini ditangguhkan. Ibn al-Musayyab pernah ditanya tentang hukum seseorang laki-laki yang berada di rumah perempuan untuk mencari orang yang dapat mengobatinya. Ibn al-Musayyab berkata: Allah melarang perbuatan-perbuatan yang membahayakan, dan tidak melarang perbuatan-perbuatan yang bermanfaat. Jika engkau dapat memberikan pertolongan kepada saudaramu maka tolonglah ia. Selanjutnya, Hambali mengatakan: hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah boleh dan tidak menjadikan kafir bagi orang yang mengerjakannya untuk kebaikan, serta tidak dibunuh.

&

Kafarah Pembunuhan

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Param imam madzab sepakat bahwa kafarah dalam pembunuhan yang tidak disengaja hukumnya adalah wajib apabila korban yang terbunuh bukan seoran dzimmi atau budak. Namun mereka berbeda pendapat jika korban tersebut dzimmi atau budak.

Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: diwajibkan kafarah. Sedangkan menurut Maliki: jika korban adalah orang dzimmi maka tidak wajib kafarah.

Apakah dalam pembunuhan yang disengaja juga diwajibkan kafarah? Syafi’i berkata: diwajibkan kafarah. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, yaitu seperti kedua pendapat Syafi’i.

Apabila orang kafir membunuh orang Islam tanpa sengaja maka ia dikenai kewajiban membayar kafarah. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan Maliki: tidak dikenai kafarah.

Apabila orang gila dan anak kecil membunuh, apakah mereka juga dikenai kewajiban membayar kafarah? Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: dikenai kewajiban kafarah. Sedangkan menurut Hanafi: mereka tidak diwajibkan kafarah.

Para imam madzab sepakat bahwa kafarah pembunuhan yang tidak disengaja adalah memerdekakan seorang budah yang beriman. Sedangkan jika tidak didapatkan maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Kemudian para imam madzhab berbeda pendapat tentang memberi makanan. Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: tidak dibolehkan membayar kafarah pembunuhan dengan memberikan makanan. Sedangkan menurut riwayat lainnya dari Hambali: boleh memberi makanan.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapat yang paling shahih: tidak boleh.

Apakah dikenai kafarah orang yang menyebabkan kematian seseorang dengan cara menggali sumur, menancapkan pisau atau meletakkan batu besar di tengah jalan? Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam hal ini: wajib diberi kafarah. Sedangkan menurut pendapat Hanafi: tidaklah wajib dikenai kafarah sama sekali, meskipun mereka sepakat untuk memberikan diyat kepadanya.

&

Nafkah

14 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat atas wajibnya seseorang yang menafkahi orang-orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah dan anak yang masih kecil. Namun mereka berbeda pendapat tentang nafkah para istri, apakah diukur menurut ketentuan syara’ ataukah disesuaikan dengan keadaan suami istri?

Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: diuikur menurut keadaan suami-istri. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi suami yang kaya memberi nafkah kepada istri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah yang biasa diberikan kepada orang kaya. Sedangkan suami yang miskin wajib memberikan nafkah kepada istri yang miskin yaitu sebesar kecukupannya. Suami yang kaya wajib memberikan nafkah kepada istri yang fakir, yaitu dengan nafkah pertengahan antara dua nafkah mereka. suami yang fakir memberikan nafkah kepada istri yang kaya adalah sekedar yang diperlukannya, sedangkan yang lainnya menjadi utangnya.

Syafi’i berpendapat: nafkah istri ditentukan oleh ukuran syara’ dan tidak ada ijtihad di dalamnya yang dipertimbangkan menurut keadaan suami saja. oleh karena itu, suami wajib memberikan nafkah dua mud sehari. Suami yang pertengahan wajib memberikan nafkah satu setengah mud sehari. Suami yang miskin wajib memberi nafkah satu mud sehari.

Para imam madzhab sepakat atas wajibnya suami memenuhinya jika istri memerlukan pelayan. Akan tetapi, para imam madzhab berbeda pendapat apabila istri membutuhkan pelayan lebih dari satu. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak wajib memenuhinya kecuali seorang saja, walaupun diperlukan banyak pelayan. Sedangkan menurut Maliki yang masyhur: jika memerlukan dua atau tiga pelayan maka semuanya wajib dipenuhi.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai nafkah istri yang masih kecil, yang belum dapat disetubuhi oleh suaminya. Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: tidak berhak nafkah. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan yang paling shahih: tidak berhak nafkah.

Apabila istri sudah besar, sementara suaminya masih kecil dan belum bisa bersenggama, maka ia tidak wajib memberikan nafkah. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak wajib memberikan nafkah. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih: wajib memberikan nafkah.

Suami yang tidak sanggup memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya, apakah istri berhak meminta pembatalan pernikahan? Hanafi berpendapat: tidak berhak, tetapi hendaknya istri diberi kesempatan untuk mencari penghidupan. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: benar, ia behak meminta pembatalan pernikahan lantaran suaminya tidak sanggup memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal.

Apabila masa pemberian nafkah sudah lewat, sementara suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istrinya, apakah hal itu masih tetap menjadi kewajiban suami? Hanafi berpendapat: nafkah menjadi gugur selama hakim tidak menetapkan nafkah tersebut. Tetapi, hal demikian menjadi utang bagi suami.

Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas mengatakan: nafkah bagi istri tdiak menjadi gugur karena lewat masanya. Tetapi ia menjadi utang bagi suaminya.

Para imam madzhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak nafkah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang istri yang bepergian dengan izin suaminya, tetapi bukan bepergian yang wajib, apakah ia masih berhak mendapatkan nafkah? Hanafi berpendapat: gugur nafkahnya. Syafi’i dan Maliki mengatakan: tidak gugur.

Istri yang tertalak ba’in, apabila ia menuntut upah, misalnya dalam menyusui anaknya, apakah ia lebih berhak daripada orang lain? Hanafi berpendapat: jika ada orang lain yang mau menyusui tanpa mengamil upah atau dengan upah yang lebih murah daripada upah umumnya, maka ayah berhak menyusukan anaknya kepada orang lain tersebut dengan syarat penyusuan itu dilakukan di sisi ibunya, karena hak pemeliharaan ada padanya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, ibunya lebih berhak. Kedua seperti pendapat Hanafi.

Hanafi mempunyai dua pendapat, pertama, ibunya lebih berhak dalam segala keadaan, dan hakim boleh memaksa mantan suami untuk memenuhi permintaan istrinya. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua, seperti pendapat Hanafi.

Para imam madzhab sepakat bahwa yang wajib atas istrinya dalam menyusui anak adalah susuan pertama sampai tiga kali saja. setelah itu apakah boleh ibunya dipaksa untuk menyusui anaknya? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jika ada orang lain yang dapat menyusuinya maka istri tidak boleh dipaksa. Maliki berpendapat: boleh dipaksa selama ibunya masih tetap menjadi istri ayah anak tersebut, kecuali ibunya tidak terbiasa menyusui anak-anaknya, baik karena kebangsawanannya, ada penyakit, atau air susunya kurang baik.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai apakah pewaris dipaksa untuk menafkahi orang yang mewarisi hartanya, baik sebagai ash-haabul furudh maupun sebagai ‘ashabah? Hanafi berpendapat boleh dipaksa untuk memberikan nafkah kepada dwalil arham, seperti saudara perempuan ibu dan saudara perempuan ayah. Tetapi tidak termasuk ke dalamnya anak paman dan semua orang yang bernasab kepadanya karena persusuan. Maliki berpendapat: tidak wajib memberikan nafkah, kecuali kepada kedua orang tua dan anak-anak kandungannya. Syafi’i berpendapat: wajib diberikan nafkah untuk ibu, bapak dan kakek, dan anak-anak kandung, tetapi tidak melampaui tiang keturunan.
Hambali berpendapat: tiap-tiap dua orang yang ada hubungan perwarisan di antara keduanya, baik sebagai ash-haabul furudh maupun sebagai ‘ashabah, maka mereka wajib saling menafkahi, seperti ibu-bapak, anak-anak saudara, saudara-saudara perempuan, dan para paman serta anak-anak mereka. demikian menurut satu riwayat Hambali. Sedangkan menurut pendapat lainnya dari Hambali: jika warisan hanya berlaku dari satu arah, yaitu dzawil arham, seperti saudara laki-laki bersama saudara perempuan bapak dan anak saudara bapak bersama anak perempuan paman.

Para imam madzhab berbeda pendapat apakah wajib tuan memberi nafkah kepada budak yang dimerdekakan? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak wajib ditanggung lagi oleh mantan tuannya. Hambali berpendapat: lazim diberikan oleh mantan tuannya. Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi dan Syafi’i. Kedua, jika dimerdekakannya ketika budak itu masih kecil, belum sanggup berusaha, lazimlah ia dinafkahi oleh tuannya hingga sanggup berusaha.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang anak yang sudah dewasa, tetapi miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. Hanafi berpendapat: nafkah bagi anak yang sudah dewasa dan sehat dari orang tuanya menjadi gugur. tetapi nafkah bagi anak perempuan dari orang tuanya tidak menjadi gugur kecuali ia sudah menikah. Seperti ini juga pendapat Maliki, tetapi ia mewajibkan kepada bapak untuk memberikan nafkah kepada anak perempuannya hingga ia dicampuri oleh suaminya. Syafi’i berpendapat: nafkah anak yang sudah dewasa gugur dari kewajiban orang tuanya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan. Hambali berpendapat: nafkah anak yang sudah dewasa tetap menjadik kewajiban bapaknya jika anak tersebut tidak memiliki harta dan pekerjaan.

Para imam madzhab sepakat bahwa anak yang sudah dewasa, tetapi dalam keadaan sakit, maka nafkahnya tetap menjadi kewajiban bapaknya. Apabila sakitnya sembuh, lalu sakit lagi, maka kewajiban memberi nafkah kembali kepada bapaknya, kecuali menurut pendapat Maliki yang menyatakan tetap menjadi kewajibannya sendiri.

Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali: apabila anak perempuan menikah, lalu disetubuhi oleh suaminya, kemudian ditalak, maka kewajiban memberi nafkah kembali kepada bapaknya. Maliki berpendapat: tidak kembali kepada bapaknya.

Apabila seorang anak kecil mempunyai ibu dan kakek, atau berkumpul anak perempuan dan akan laki-laki, atau anak perempuan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau anak perempuan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau mempunyai ibu dan anak perempuan, maka siapakah yang berkewajiban memberikan nafkah?

Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: nafkah anak kecil ditanggung oleh ibu dan kakeknya, masing-masing satu setengah. Demikian juga jika berkumpul antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut Hanafi: jika berkumpul anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak perempuan maka nafkah ditanggung oleh anak perempuan. Sedangkan menurut pendapat Hambali: nafkah ditanggung oleh keduanya yaitu separuh-separuh. Jika berkumpul ibu dan anak perempuan, nafkah menjadi kewajiban mereka berdua, yaitu seperempat atas ibu dan tiga perempat atas anak perempuan.

Syafi’i berpendapat: nafkah menjadi kewajiban pihak laki-laki saja, yaitu kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki. Dalam hal ini ahli waris terdiri dari ibu dan anak perempuan, maka yang memberi nafkah adalah anak perempuan saja.

Maliki berpendapat: nafkah ditanggung oleh anak kandung laki-laki dan perempuan. Masing-masing dari mereka menanggung setengah jika mereka sama-sama kaya. Sedangkan jika yang satu kaya dan yang lainnya miskin, maka yang kaya wajib memberi nafkah, sedangkan yang miskin tidak.

Apabila seseorang mempunyai hewan piaraan, tetapi tidak diberi makan, apakah hakim boleh memaksanya untuk memberikan makan? Hanafi berpendapat: hakim hendaknya menyuruhnya memberi makan dengan cara yang amar ma’ruf nahi munkar, tidak dengan cara paksaan.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hakim boleh memaksa pemiliknya untuk memberi makan atau menjualnya. Namun Maliki dan Hambali melarang pemiliknya untuk membebaninya dengan beban yang tidak sanggup dibawa oleh hewan piaraannya.

&

Penyusuan

13 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa kemuhriman lantaran sepersusuan sama dengan kemuhriman karena nasab. Namun, mereka berbeda pendapat tentang jumlah susuan yang mengharamkan pernikahan.

Hanafi dan Maliki mengatakan: sekali susuan saja. Syafi’i berpendapat: lima kali susuan. Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat, yaitu lima, tiga dan sekali susuan.

Para imam madzhab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim adalah jika anak bayi yang disusukan tersebut dalam usia kurang dari dua tahun. Mereka berbeda pendapat apabila usia anak yang disusukan lebih dari dua tahun. Hanafi berpendapat: tetap kemuhrimannya hingga ia berumur dua setengah tahun. Zufar berpendapat hingga umur tiga tahun. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: batas maksimalnya hanya sampai dua tahun. Maliki menganggap baik jika kemuhrimannya itu sampai lebih satu tahun.

Dawud berpendapat: menyusui orang dewasa tetap menjadikan muhrim. Hal ini berbeda pendapat kebanyakan fuqaha, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.

Para imam madzab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah apabila air susu itu dari tetek perempuan, baik masih gadis maupun sudah janda, baik sudah disetubuhi maupun belum. Namun Hambali mempunyai pendapat: susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah dari tetek perempuan yang memancarkan air susu karena kehamilan.

Para imam madzhab sepakat bahwa laki-laki yang mempunyai payudara, lalu disusu oleh bayi, maka tidak menjadikan muhrim. Mereka juga sepakat tentang haramnya menghirup susu ke hidung dan menuangkannya dalam kerongkongan. Namun ada sebuah riwayat dari Hambali yang mensyaratkan susuan itu langsung dari puting susu.

Para imam madzhab sepakat atas tidak haramnya mengumpulkan air susu, kecuali pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan sebuah riwayat dari Maliki.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang air susu yang bercampur dengan makanan. Hanafi berpendapat: jika susu lebih banyak dari air maka hal itu menjadi muhrim. Sedangkan jika airnya lebih banyak daripada susu maka hal itu tidak menjadi muhrim. Adapun, air susu yang bercampur dengan makanan, menurut Hanafi tidak menjadikan muhrim, baik yang lebih banyak air susu maupun makanan.

Maliki berpendapat: air susu yang bercampur dengan air adalah menjadikan muhrim jika percampuran itu tidak menghilangkan sifat susu. Oleh karena itu, jika hal tersebut menghilangkan sifat susu, seperti disamak, dicampur obat atau dengan yang lainnya, maka tidak menjadikan muhrim. Demikian menurut jumhur ulama pengikut Maliki. Dalam masalah ini Maliki sendiri tidak menyebutkan ketetapan hukumnya.

Syafi’i dan Hambali mengatakan: kemuhriman dari air susu yang bercampur dengan makanan dan minuman bergantung pada lima kali pemberian, baik air susu tersebut menjadi rusak maupun tidak.

&

Sumpah

13 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa orang yang bersumpah untuk melakukan ketaatan maka ia wajib memenuhinya. Apakah dibolehkan ia mengganti dengan kafarah saja, padahal ia mampu memenuhi sumpahnya? Hanafi dan Hambali mengatakan: tidak boleh. Syafi’i berpendapat: yang utama adalah tidak menggantinya dengan kafarah.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat seperti dua pendapat di atas.

Para imam madzhab sepakat tentang tidak bolehnya menjadikan nama Allah sebagai penghalang dalam melakukan kebajikan dan bersilaturahim. Yang utama adalah sumpah demikian dibatalkan saja, dan dibayar kafarahnya jika bersumpah untuk meninggalkan suatu kebajikan.

Para imam madzhab sepakat bahwa segala sumpah kembali pada niat. Kalau tidak ada niat maka dilihat sebab-sebab yang membangkitkan adanya sumpah tersebut.

Para imam madzhab sepakat bahwa sumpah itu sah dengan menyebutkan nama Allah dan semua nama-Nya yang terdapat dalam asmaul husna. Demikian juga menggunakan semua sifat Allah, seperti: “Demi keperkasaan Allah serta keagungan-Nya.”

Hanafi mengecualikan sumpah dengan menggunakan lafadz ‘ilmullah [ilmu Allah]. Menurutnya, hal itu tidak dipandang sebagai sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang bersumpah palsu, yakni bersumpah dengan menggunakan nama Allah terhadap suatu perkara yang telah berlalu dengan sengaja berdusta. Apakah sumpah yang demikian itu dikenai kafarah?

Hanafi, Maliki dan Hambali dalam suatu riwayatnya mengatakan: tidak dikenai kafarah karena dosa bersumpah palsu itu lebih besar daripada pahala yang membayar kafarah. Syafi’i dalam riwayat lain dari Hambali mengatakan: harus membayar kafarah.

Adapun jika seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya pada masa yang akan datang, kemudian sumpah tersebut dilanggar, maka wajiblah atasnya kafarah. Demikian menurut ijma para imam madzhab.

Apabila seseorang berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah” atau “Aku telah bersaksi dengan nama Allah”, maka hal demikian itu dihukumi sebagai sumpah, walaupun ia tidak berniat sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali.

Maliki berpendapat: jika ia mengatakan, “Aku bersumpah” kemudian diteruskan dengan kalimat “dengan nama Allah”, baik diucapkan maupun diniatkan, maka yang demikian dihukumi sumpah. Sedangkan jika tidak diucapkan dan tidak diniatkan, maka hal itu bukanlah sumpah.

Menurut Syafi’i: orang yang mengatakan: “Kami bersumpah dengan nama Allah” dan diniatkan sumpah maka hal itu dihukumi sebagai sumpah. Sedangkan jika ia niatkan kabar saja, maka hal itu bukan sumpah.

Jika hal itu tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pengikut Syafi’i. Sebagian mereka berpendapat: bukan sumpah. Inilah pendapat yang paling kuat.

Syafi’i berpendapat: tentang orang yang mengatakan: “Aku bersaksi dengan nama Allah” jika diniatkan sumpah maka jadilah sumpah. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka bukanlah sumpah. Inilah pendapat Syafi’i yang dipandang paling kuat oleh para ulama pengikutnya.

Apabila seseorang mengatakan: “Aku bersaksi, aku tidak mengerjakannya” dan tidak diniatkan apa-apa maka jadilah sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan salah satu riwayat pendapat Hambali. Menurut Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi hak Allah,” maka jadilah sumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “la amrullah” atau “wa aymullah” maka yang demikian menjadi sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama pengikut Syafi’i: jika tidak diniatkan sumpah maka hal itu bukanlah sumpah. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat lainnya.

Apabila seseorang bersumpah dengan al-Qur’an maka sah sumpahnya, dan jika dilanggar ia dikenai kafarah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Ibn Hubairah berpendapat: dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat jika yang bersumpah melanggar sumpahnya. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abdil Barr dalam kitab al-Tahmid bahwa mengenai hal ini ada beberapa pendapat dari kalangan para shahabat dan Tabi’in, serta kesepakatan mereka atas wajibnya kafarah atasnya. Ibn ‘Abdil Barr mengatakan: tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini, kecuali tentang seseorang yang melanggar sumpahnya.

Para imam madzhab berbeda pendapta tentang banyaknya kafarah sumpah dengan al-Qur’an. Maliki dan Syafi’i mengatakan: wajib satu kafarah. Sedangkan Hambali mempunyai dua riwayat. Pertama, satu kafarah. Kedua tiap-tiap ayat diberikan satu kafarah.

Apabila seseorang bersumpah dengan nama Nabi saw. maka sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah. Demikian menurut Hambali dalam riwayatnya yang jelas. Sedangkan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan: sumpahnya tidak jadi, dan ia tidak dikenai kafarah.

Apakah sumpah orang kafir itu sah? Hanafi berpendapat: tidak sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah.

Para imam madzhab sepakat bahwa kafarah menjadi wajib lantaran pelanggaran sumpah, baik sumpah untuk mengerjakan ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan maupun mengerjakan perkara yang mubah.

Akan tetapi para imam madzhab berbeda pendapat tentang membayar kafarah, apakah didahulukan atau ditunda sesudah pelanggaran. Hanafi berpendapat: kafarah tidak boleh dibayarkan kecuali setelah terjadi pelanggaran. Syafi’i berpendapat: boleh mendahulukan kafarah atas pelanggaran sumpah dalam perkara yang mubah. Dari Maliki diperoleh dua riwayat: pertama boleh didahulukan. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua tidak boleh didahulukan.

Apabila membayar kafarah sumpah dengan puasa, adakah perbedaannya dengan kafarah berupa memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin? Maliki berpendapat: tidak ada perbedaan. Syafi’i berpendapat: tidak boleh mendahulukan pembayaran kafarah dengan puasa, tetapi yang lain boleh.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sumpah yang tidak disengaja. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam satu riwayatnya mengatakan: sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah dengan nama Allah terhadap suatu urusan, tetapi ternyata tidak sama, baik dengan sengaja maupun tidak, atau karena terlanjur mengatakannya. Namun Maliki dan Hanafi berpendapat: hal itu boleh untuk apa yang telah lalu atau yang akan terjadi. Adapun menurut pendapat Hambali: hal itu diperbolehkan dalam masalah yang telah berlalu saja. kemudian ketiga imam tersebut sepakat bahwa sumpah yang demikian tidak berdosa dan tidak pula ia dikenai kafarah.

Menurut Maliki, sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang yang berkata, “Tidak, demi Allah” atau “ya, demi Allah” yaitu yang terjadi dalam suatu percakapan tanya jawab tanpa dimaksudkan bersumpah.

Syafi’i berpendapat: sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya, “laa wallaaHi” (tidak, demi Allah) atau “balaa wallaaHi” (benar, demi Allah) yang terjadi dalam suatu percakapan, ketika marah tanpa disengaja, baik mengenai sesuatu yang sudah lewat maupun yang akan datang. Tidak ada kafarah dan tidak pula dosa dalam hal ini. Seperti ini pula sebuah riwayat dari Hambali.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengerjakan demikian” maka itu menjadi sumpah, baik diniatkan sumpah maupun tidak. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab Syafi’i.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air Zaid” dengan niat untuk memutuskan hubungan, tetapi ia memanfaatkan barang milik Zaid, baik dengan memakan, meminum, meminjam, maupun mengendarainya, berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dihukumi melanggar sumpah, kecuali diperoleh manfaatnya dengan cara meminum air.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, padahal ia berada di dalamnya, kemudian ia keluar sendirian saja tanpa diikuti oleh keluarga dan kendaraannya, maka hal itu tidak dibenarkan kecuali dengan membawa keluar semuanya, tidak cukup dirinya saja. demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: cukup dirinya saja yang keluar.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, lalu ia menetap di atas atapnya atau memasuki rumah yang merupakan bagian dari rumah tadi, yang di dalamnya terdapat jalan menuju jalan raya, maka ia dihukumi telah melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah, kecuali ia menginjakkan kakinya sedikit saja ke dalam halamannya. Jika ia menepat di atas atapnya dan tidak turun maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah Zaid, lalu Zaid menjualnya, kemudian orang yang bersumpah tersebut memasukinya setelah rumah itu dibeli orang lain, maka ia tetap dihukumi melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara kepada anak kecil, lalu anak itu menjadi tua; atau tidak akan makan daging kambing muda, lalu kambing itu menjadi tua; atau tidak akan makan kurma mentah lalu kurma itu menjadi matang; atau tidak akan makan kurma basah lalu kurma itu menjadi kering; atau tidak akan makan kurma kering lalu kurma itu menjadi manisan; atau tidak akan masuk suatu rumah lalu rumah itu menjadi halaman kering; atau tidak akan makan kurma, maka menurut Hanafi: ia tidak melanggar sumpah dalam memakan kurma mentah, kurma basah, dan kurma kering, sedangkan dalam hal lainnya dianggap melanggar sumpah. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Maliki dan Hambali mengatakan: semuanya dapat dihukumi melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah lalu ia memasuki masjid atau tempat mandi, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menetap di suatu rumah, lalu ia menetap di dalam rumah yang terbuat dari bulu atau kulit, atau kemah, sedangkan ia adalah penduduk suatu kota, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Hal demikian tidak terdapat dalam ketetapan Maliki, tetapi usuannya menetapkan pelanggaran sumpah.

Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah jika tidak diniatkan, baik ia penduduk kota maupun penduduk desa. Menurut sebagian para ulama madzhab Syafi’i: terdapat perbedaan di antara keduanya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan melakukan suatu pekerjaan, lalu ia menyuruh orang lain untuk mengerjakannya, kemudian ia mengerjakannya, maka ia dipandang telah melanggar sumpah jika pekerjaan itu berupa pernikahan atau talak, bukan berupa jual beli dan sewa menyewa kecuali pekerjaan tersebut tidak ia kerjakan sendiri. Jika dikerjakan sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi. Maliki berpendapat: jika ia tidak berniat mewakilkan kepada orang itu untuk dirinya sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah.

Syafi’i berpendapat: jika orang tersebut adalah seorang penguasa atau orang yang tidak bisa mengerjakan sendiri pekerjaannya, atau tidak ada niat untuk mengerjakan demikian, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika keadaannya tidak demikian, maka ia dipandang telah melanggar sumpah. Hambali berpendapat: ia dianggap telah melanggar sumpah secara mutlak.

Apabila seseorang bersumpah untuk membayar utangnya besok, lalu dibayar sebelumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat ia melanggar sumpah.

Apabila orang yang mempunyai piutang meninggal sebelum hari besok maka dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah. Maliki berpendapat: jika pembayaran oleh ahli waris atau hakim dilakukan hari besok, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Sedangkan jika orang lain membayarkannya maka ia dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini besok, lalu air itu tumpah sebelum hari besok, maka ia tidak dipandang melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i: jika gelas rusak sebelum hari besok bukan karena perbuatannya maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini, lalu air tidak ada, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab. Abu Yusuf berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang ia sumpahkan tidak akan dikerjakan, tetapi karena lupa ia mengerjakannya, maka ia dipandang melanggar sumpah secara mutlak, baik ia bersumpah dengan nama Allah, atau dengan talak atau dhihar. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang yang lebih jelas menyatakan: tidak dipandang melanggar sumpah secara mutlak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama, jika sumpah itu dengan nama Allah atau dengan dhihar maka ia tidak melanggar sumpah. Kedua, semuanya merusak sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang orang yang dipaksa bersumpah. Maliki dan Syafi’i berkata: tidak sah. Hanafi berpendapat sumpahnya sah.

Para imam madzhab sepakat apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak berbicara dengan si fulan pada suatu waktu” dan ia meniatkan dengan sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut niatnya. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka ia tidak boleh berbicara dengan orang yang dimaksud. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak boleh berbicara selama satu tahun. Syafi’i: sesaat saja.

Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan si fulan, lalu ia menulis surat dan dikirimkan kepadanya, atau ia memberi isyarat dengan tangannya, matanya atau kepalanya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya. Maliki berpendapat: jika dengan tulisan, maka ia melanggar sumpah. Sedangkan jika dengan surat atau isyarat maka dalam hal ini Maliki mempunyai dua pendapat. Dan Hambali berpendapat: melanggar sumpah. Seperti itu juga qaul qadim Syafi’i.

Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Jika engkau keluar tanpa izinku maka engkau tertalak.” Dan ia niatkan untuk sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut yang dia niatkan. Jika tidak dimaksudkan apa-apa, atau suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak jika keluar kecuali aku mengizinkanmu atau hingga aku mengizinkanmu” menurut pendapat Hanafi, jika suami mengatakan “Jika engkau keluar tanpa izinku”, maka setiap kali keluar haruslah diperlukan izin dari suaminya. Sedangkan jika suaminya mengatakan, “kecuali aku mengizinkanmu” atau “sehingga aku mengizinkanmu” atau “sampai aku mengizinkanmu” maka cukuplah minta izin satu kali saja.

Maliki dan Syafi’i mengatakan: keluar yang pertama memerlukan izin dari suaminya, sedangkan keluar berikutnya tidak diperlukan izin. Hambali berpendapat: setiap kali keluar diperlukan izin dari suaminya.

Apabila suami mengizinkannya, tetapi hal itu tidak terdengar istrinya, maka tidak dihukumi izin. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: dihukumi izin yang shahih.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan kepala dan ia pun tidak meniatkan untuk kepala tertentu, tetapi kepala secara mutlak, maka sumpah itu berlaku pada semua yang dinamakan kepala, baik secara hakekat dari segi bahasa maupun dari adat kebiasaan, seperti kepala hewan, kepala burung, dan kepala ikan. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berpendapat: khusus untuk kepala sapi dan kepala kambing saja. syafi’i berpendapat: termasuk kepala unta, sapi dan kambing.

Apabila seseorang bersumpah akan memukul Zaid dengan seratus cambukan, lalu ia memukulnya dengan menggunakan tangkai pohon bercampur rerumputan seratus kali, apakah hal demikian dapat dibenarkan? Maliki dan Hambali mengatakan: tidak dibernarkan? Syafi’i berpendapat dapat dibenarkan.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan hibah kepada si fulan dengan suatu pemberian, lalu ia bersedekah kepadanya, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah akan membunuh si fulan, dan si fulan telah menjadi mayat, tetapi ia tidak mengetahui kematiannya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika sudah mengetahuinya maka ia dipandang melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: tidak melanggar sumpah secara mutlak, baik ia mengetahui kematiannya ataupun tidak.

Jika seseorang bersumpah bahwa dirinya tidak memiliki harta sama sekali, tetapi ternyata ia memiliki piutang, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: melanggar sumpah.

Seseorang yang bersumpah tidak akan makan buah-buahan, kemudian ia makan kurma, anggur atau delima, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lauk-pauk, lalu ia makan daging, keju, atau telur maka ia tidak melanggar sumpahnya, kecuali ia memakan sesuatu yang dimasak dengannya. Demikian pendapat Hanafi. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia telah melanggar sumpah dengan memakan masing-masing dari makanan tersebut.

Jika seseorang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i.

Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak makan daging, kemudian ia memakan lemak, maka ia tidak melanggar sumpah. Menurut Maliki: melanggar sumpah.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lemak, kemudian ia makan lemak punggung maka ia telah melanggar sumpahnya. Menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah. Apabila seseorang bersumpah akan mencium bunga lalu mencium minyaknya, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dan Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara, kemudian membaca al-Qur’an, maka secara mutlak ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: jika ia membacanya dalam shalat maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika membacanya di luar shalat, maka ia dipandang telah melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memasukkan si fulan ke dalam suatu rumah, lalu ia memasukkan orang yang dimaksud ke dalamnya, dan memintanya agar lebih lama tinggal dengannya maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam salah satu pendaptnya. Menurut Maliki dan Hambali serta pendapat yang keduanya dari Syafi’i: ia telah melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berdiam di suatu rumah bersama si fulan, lalu mereka membagi rumah tersebut dan membuat pagar di antara kedua bagian tersebut, masing-masing bagian itu ada pintu dan kuncinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Maliki. Sedangkan Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian tidak melanggar sumpah. Dari Hanafi ada dua riwayat.

Para imam madzab sepakat bahwa kafarah sumpah adalah memberikan makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Orang yang bersumpah boleh memilih mana yang dikehendakinya. Sedangkan jika ia tidak dapat melaksanakannya, hendaknya menggantinya dengan berpuasa tiga hari. Apakah puasa itu wajib dikerjakan berturut-turut? Hanafi dan Hambali mengatakan wajib berturut-turut. Maliki mengatakan tidak wajib berturut-turut. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Menurut qaul jadidnya dan yang paling kuat: tidak wajib berturut-turut.

Para imam madzhab sepakat bahwa apabila diberikan makanan kepada seorang miskin saja dalam masa sepuluh hari maka hal itu tidak sah, melainkan dipandang memberi makan seorang saja. Namun Hanafi membolehkannya, yaitu dihitung sepuluh orang miskin.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai kadar yang harus diberikan kepada tiap-tiap orang miskin. Maliki berpendapat: satu mud, yaitu dua rithl Baghdad ditambah lauk-pauk. Tetapi jika dibayar dengan satu mud saja tanpa lauk-pauk, hal itu tetap sah.
Hanafi berpendapat: jika ia mengeluarkan gandum maka kadarnya adalah setengah sha’. Sedangkan jika berupa syair atau kurma maka kadarnya adalah satu sha’.
Hambali berpendapat: satu mud gandum atau dua mud kurma atau dua rithal tepung roti.
Syafi’i berpendapat: untuk tiap-tiap orang miskin satu mud.

Adapun untuk pakaian, sedikitnya adalah seukuran kain yang dapat dipakai untuk shalat, yaitu seperti baju gamis atau kain sarung untuk laki-laki, dan baju kurung dan kerudung untuk perempuan. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i: ukuran minimalnya adalah apa saja yang dapat dinamakan pakaian. Namun Hanafi memberi batasan, yaitu berupa baju luar, gamis, atau kain selendang. Jika berupa serban, kerudung, celana, atau sarung maka Hanafi mempunyai dua riwayat. Syafi’i berpendapat: semua jenis tersebut sudah mencukupi. Adapun jika berupa kopiah, menurut ulama madzhab Syafi’i ada dua pendapat.

Para imam madzhab sepakat kafarah tersebut hanya boleh diberikan kepada fakir miskin yang beragama Islam dan merdeka. Juga, boleh kepada anak kecil yang sudah makan makanan yang diterima oleh walinya.

Apakah boleh diberikan kepada anak kecil yang belum makan makanan? Hanafi, Maliki dan Syafi’i mengatakan: boleh diberikan kepada mereka. Hambali berpendapat: tidak boleh.

Apabila diberikan makanan kepada lima orang dan diberikan pakaian kepada lima orang lainnya, maka hal demikian adalah boleh. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Syafi’i: tidak boleh.

Jika seseorang mengulangi sumpahnya terhadap satu barang, atau terhadap beberapa barang, dan ia melanggarnya, maka ia dikenai kafarah untuk masing-masing sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Namun menurut Maliki: jika dimaksudkan dengan berulang itu untuk menguatkan maka kafarahnya hanya satu. Sedangkan jika dimaksudkan untuk masing-masing barang maka ia dikenai kafarah untuk tiap-tiap sumpah. Menurut Hambali dalam riwayat lainnya: diberikan satu kafarah saja untuk seluruhnya.

Syafi’i berpendapat: jika sumpah itu untuk satu barang, dan diulangnya sumpah tersebut dengan niat untuk menguatkan maka ia hanya dikenakan satu kafarah. Sedangkan jika diniatkan untuk memulai lagi sumpahnya, bukan untuk menguatkan, maka dianggap dua kali sumpah, artinya dua kali kafarah. Jika untuk beberapa barang yang berbeda-beda, maka masing-masing dikenai satu kafarah.

Apabila seseorang berpendapat, “Jika ia berbuat demikian maka ia menjadi Yahudi,” “Kafir”, “terlepas dari Islam”, atau “terlepas dari Rasul”, lalu dikerjakan apa yang diucapkannya, maka ia wajib membayar kafarah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: tidak dikenai kafarah.

Apabila seseorang berkata, “Demi janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang berkata, “Bagiku ada janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.

Jika seseorang mengatakan, “Demi amanat Allah” maka ia pun dihukumi telah bersumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakai perhiasan, lalu ia memakai cincin, maka ia melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah.

Jika seorang perempuan bersumpah tidak akan memakai perhiasan lalu ia mengenakan permata dan intan, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpah kecuali jika ia mengenakan perhiasan berupa emas atau perak.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakan roti ini” lalu ia memakan sebagiannya; atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air gelas ini” lalu ia meminum sebagian, atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakai pakaian dari benang si fulanah” lalu ia mengenakan pakaian yang di dalamnya terdapat benang hasil pintalan si fulanah itu; atau seseorang mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan memasuki rumah itu” lalu ia memasukkan tangan atau kakinya; maka dalam hal ini tidak melanggar sumpahnya demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali: melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan yang dibeli oleh si fulan, lalu ia memakan sebagian yang dibelinya atau lainnya, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki dan Hambali. Demikian pula jika ia bersumpah tidak akan memakai pakaian yang dibeli si fulan dan yang serupa dengan itu.
Hanafi berpendapat: semua itu dianggap telah melanggar sumpah, meskipun dengan memakan makanannya saja. syafi’i: semuanya itu tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan makan tepung ini, lalu ia membuat roti darinya dan memakannya, maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedang Hanafi berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Syafi’i berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menempati rumah si fulan maka dianggap melanggar sumpah jika menempatinya secara makruh. Juga apabila ia bersumpah tidak akan mengendarai kendaraan si fulan, lalu ia mengendarai kendaraan budaknya maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: jika tidak diniatkan maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan minum dari sungai Dajlah, sungai Eufrat, atau sungai Nil, lalu ia menciduk air darinya dengan tangan atau bejananya kemudian diminum, maka dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya hingga ia meminum dengan mulutnya.

Jika seseorang bersumpah tidak akan minum air sumur ini, lalu ia meminumnya sedikit, maka ia tidak dianggap telah melanggar sumpah, kecuali jika diniatkan meminum seluruhnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memukul istrinya, lalu ia mencekiknya, menggigitnya tau mencabut rambutnya maka berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut Syafi’i tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan sesuatu kepada si fulan, lalu ia memberinya tetapi tidak diterima oleh si fulan yang dimaksud, maka ia dihukumi telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap telah melanggar sumpah hingga diserahkan atau diterima oleh si fulan.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menjual sesuatu, lalu ia menjualnya dengan syarat khiyar untuk dirinya sendiri, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang memiliki harta yang jauh, atau berupa piutang, dan ia tidak mendapatkan makanan yang akan dibagikan, dan tidak ada pula pakaian, maka ia tidak boleh terus membayar kafarahnya dengan langsung berpuasa. Ia harus bersabar menunggu hingga hartanya yang jauh itu tiba, kemudian kafarahnya dibayar dengan harta tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: boleh langsung berpuasa ketika tidak ada harta.

&