Tag Archives: Mansukh

Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar [perkataan shahabat dan atau tabi’in] yang mendorong agar mengetahui masalah ini.

Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah anda mengetahui yang nasikh dan yang mansukh?” “Tidak,” jawab hakim itu. Maka kata Ali: “Celakalah anda dan mencelakakan orang lain.”

Dari Ibn Abbas bahwa ia berkata tentang firman Allah: “Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (al-Baqarah: 269), “Yang dimaksud ialah nasikh dan mansukhnya dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharnya, serta hala dan haramnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan Ibn Abi Hatim dari Ibn Abbas)

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:

1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits: “Aku [dulu] pernah melarangmu berziarah kubur, maka [kini] berziarah kubur-lah.” (Hadits Hakim)
Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah, sebagaimana akan dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian diangkat kembali.”

2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.

3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.

&

Ruang Lingkup Naskh

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita [khabar] yang bermakna amar [perintah] atau nahy [larangan], jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan aqidah, yang berfokus pada Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.

Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok [ushul] semua syariat adalah sama. Firman Allah yang artinya:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (al-Baqarah: 183)

“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,” (al-Hajj: 27)

Dalam hal qiyas Dia berfirman yang artinya:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,” (al-Ma’idah: 45)

Dalam hal jihad Dia berfirman yang artinya:
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.” (Ali ‘Imraan: 146)

Mengenai akhlak Dia berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18)

Nasikh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab [tuntutan, perintah, atau larangan], seperti janji [al-wa’d] dan ancaman [al-wa’id].

&

Pengertian Naskh dan Syarat-Syaratnya

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izaalah [menghilangkan]. Misalnya: nasakhatisy syamsudh dhalla (“matahari menghilangkan bayang-bayang”) dan: wa nasakhatir riihu atsral masy-yi (“angin menghilangkan jejak perjalanan”).

Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasakhtul kitaaba (“saya memindahkan [menyalin] apa yang ada di dalam buku.”) di dalam al-Qur’an dinyatakan: innaa kunnaa nastansikhu maa kuntum ta’maluun (al-Jaatsiyah: 29). Maksudnya: Kami memindahkan [mencatat] amal perbuatan ke dalam lembaran [catatan amal].

Menurut istilah, naskh ialah mengangkat [menghapuskan] hukum syara’ dengan dalil hukum [khitab] syara’ yang lain. Dengan pengkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian nasikh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal [al-baraa’ah al asliyah]. Dan kata-kata “dengan khitab syara” mengecualikan pengangkatan [penghapusan] hukum disebabkan mati atau gila atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

Kata naasikh [yang menghapus] dapat diartikan dengan “Allah”, seperti terlihat dalam : maa nansakh min aayatin (al-Baqarah: 106) dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui, seperti kata: HaadziHil aayatu naasikhatanil aayati kadzaa (“ayat ini menghapus ayat anu”) dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.

Mansuukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawarits atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan [naasikh] hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat [mansuukh] sebagaimana akan dijelaskan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat [dibatasi] dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

Makki bin Hamusy berkata: Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas waktu tertentu, seperti firman Allah: fa’fuu wash-fahuu hattaa ya’tiyallaaHu bi amriHi (“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya”) (al-Baqarah: 109) adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.

&

Nasikh dan Mansukh

6 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Tasyri’ samawi diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya untuk memperbaiki umat di bidang aqidah, ibadah dan mu’amalah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena ditegakkan atas auhid uluhiyah dan rububiyyah maka dakwah atau seruan para rasul kepada aqidah yang satu ini semuanya sama. Firman Allah:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’” (al-Anbiyaa’: 25)

Mengenai bidang ibadah dan mu’amalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain.

Di samping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian juga hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa Pembuat syariat [Musyarri’] yaitu Allah, rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya.

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (al-Anbiyaa’: 23)

Oleh karena itu wajarlah jika Allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.

&

Hadits Nasikh dan Mansukh

7 Mei

‘Ulumul Hadits; Ilmu Hadist Praktis; DR. Mahmud Thahan

1. Definisi nasakh: a) menurut bahasa memiliki dua arti: al-izalah (menghilangkan), seperti kalimat nasyakhati asy-syamsu adh-dhilla- matahari menghilangkan naungannya. Dan an-naqlu (memindahkan) –seperti kalimat nasakhtu al-kitaaba (aku memindahkan apa yang ada di dalam buku). Jadi nasikh itu menghilangkan yang mansukh, atau memindahkannya pada hukum yang lain.
Menurut istilah: asy-Syari’ (pembuat hukum) mengangkat hukum yang terdahulu (sebelumnya) dengan hukum lain (yang terakhir)

2. Urgensi dan Kesulitannya, serta tokohnya dalam masalah ini
Pengetahuan mengenai nasikh dan mansukhnya suatu hadits merupakan cabang ilmu yang amat penting lagi amat sulit. Az-Zuhri berkata: “Perkara yang paling melelahkan dan melemahkan para fuqaha adalah mengetahui hadits yang nasikh dan mansukh.”
Tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Imam Syafi’i. Beliau memiliki kemampuan yang mumpuni dan tergolong pionirnya. Imam Ahmad mengatakan bahwa Ibnu Warah –tatkala baru datang dari Mesir- : “Apakah engkau telah mencatat kitab-kitabnya Syafi’i?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka Imam Ahmad menimpali: “Engkau telah lalai. Kita tidak pernah mengetahui hadits yang mujmal dari yang mufassar, juga hadits yang nasikh dari yang mansukh sampai kita duduk dengan Syafi’i.”

3. Dengan apa mengetahui yang nasikh dari yang mansukh. Yakni dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain:
a. Melalui penjelasan Rasulullah saw. seperti haditsnya Buraidah dalam Shahih Muslim: “Aku telah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) berziarahlah, karena hal itu mengingatkanmu terhadap akhirat.”
b. Melalui perkataan shahabat Nabi. Seperti perkataan Jabir bin Abdullah ra.: “Termasuk dua perkara terakhir dari Rasulullah saw. adalah meninggalkan wudlu setelah makan (makanan) yang dimasak oleh api.” Dikeluarkan oleh para pemilik sunan.
c. Melalui pengetahuan sejarah. Seperti hadits Syaddad bin Aus: “Telah terbuka (batal puasanya) orang yang membekam dan dibekam.” Hadits ini telah dihapus oleh hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. berbekam, padahal beliau sedang melakukan ihram dan berpuasa. Melalui berbagai jalur hadits dari Syaaddad diketahui bahwa hal itu terjadi pada waktu fathu Makkah. Sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani beliau saw. pada waktu haji wada.’
d. Melalui petunjuk ijma’. Seperti hadits: “Barangsiapa meminum khamr, maka jilidlah ia. Dan jika ia kembali melakukan hal serupa sebanyak empat kali, maka bunuhlah ia.” Imam Nawawi berkata: “Ijma’ telah menunjukkan hadits tersebut dinasakh.” Ijma’ sendiri tidak (saling) menasakh dan dinasakh, melainkan hanya menunjukkan adanya nasakh.

4. Kitab-kitab yang populer
a. Al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Abu Bakar Muhammad Ibnu Musa al-Hazimi
b. An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Imam Ahmad
c. Tajrid al-Ahadits al-Mansukhakh, karya Ibnu Jauzi

Sekian.