Tag Archives: Masyarakat

Islam dan Konsep Perkembangan

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Sebagian ahli dan filosofi pendidikan kontemporer menganggap bahwa tujuan inti pendidikan adalah perkembangan, baik perkembangan intelektual, fisik, batin, maupun sosial. Namun konsepsi mereka hanya terbatas pada perkembangan yang semata-mata menyangkut perkembangan wujud, perubahan berat, penambahan pengetahuan, atau peningkatan kualitas pola kehidupan anak sejak ia lahir hingga dewasa yang menyangkut perilaku dan segala aktifitasnya. Para ahli pendidikan kontemporer pun sepakat mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidaklah hanya menyangkut penambahan dari segi kuantitatif. Ketika harus mengetengahkan pengembangan perilaku manusia, para ahli pendidikan tersebut terbagi menjadi dua kubu.

1. pertama, adalah kubu yang cenderung mengembalikan konsep pengembangan perilaku pada aspek mekanistik dan reaksi feflektif sehingga mereka memperlakukan manusia sebagai pabrik besar. Jika tombol utama ditekan, mesin akan jalan dan menggerakkan mesin lainnya hingga sampailah pada produksi akhir. Hasil produksi itu sampai pada konsumen berupa refrigerator, mobil, atau adaptor. Menurut mereka, begitulah aktifitas yang dilakukan manusia. Selain itu, ketika manusia dipengaruhi oleh aspek eksternal atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya, secara reflek dia akan mengarahkan aktifitasnya pada sesuatu yang dia inginkan.

Ketika membahas masalah ini, para ahli pendidikan yang setuju dengan konsep di atas tidak memerlukan argumentasi-argumentasi yang berhubungan dengan kehendak manusiawi. Padahal, respon manusia terhadap suatu hal tidak sama, bergantung pada daya intelektual, situasi dan kondisinya, serta keinginan-keinginannya. Dengan demikian, ketika memberikan respon terhadap sesuatu pun, setiap manusia akan melaluinya dengan proses berfikir karena dia bukanlah mesin yang tidak memiliki tujuan atau sasaran hidup.

2. kedua, kubu yang berpandangan bahwa perilaku manusia itu berkembang sesuai dengan pengalaman yang terbentuk dalam dirinya. Seorang anak yang mengotori baju dengan makanan lantas mendapat kecaman, celaan, dan beberapa tindakan emosional lainnya akan membekaskan keterkaitan antara kepedihan psikologi dan kekotoran bajunya dalam perjalanan hidup anak itu hingga ia dewasa.

John Dewey mendefinisikan keterkaitan itu dengan istilah pengalaman. Jika bersumber dari masyarakat, pengalaman itu dapat didefinisikan sebagai pengalaman kemasyarakatan yang tidak hanya terbatas pada interaksi kelompok. Contoh lainnya adalah pengalaman sosial anak seputar tingkah lakunya yang dicela di depan tamu atau tingkah lakunya yang dianggap manis. Padahal pengalaman sosial anak itu berkembang sesuai dengan berkembangnya perasaan-perasaan kemasyarakatan melalui keakraban dan kebencian pada orang lain. Perkembangan semacam ini bisa diaplikasikan melalui berbagai pelajaran yang dinikmati anak-anak, seperti pelajaran berhitung, bahasa, cerita, pertukangan, atau kerajinan.

Rangkaian pengalaman mampu mengembangkan kemampuan anak dan membentuk perilaku anak dekat pada kehidupan masyarakat, baik itu melalui peradaban maupun berbagai situasi dan tuntutan hidup. Namun yang perlu dikaji ulang lagi, tidak semua pengalaman hidup manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia yang baik. Dengan demikian, tidak semua perkembangan itu digunakan untuk kebaikan.

Contoh konkretnya, kita menemukan banyak penjahat di Amerika yang menggunakan pengalaman, perkembangan intelektual, dan ketrampilannya untuk merugikan orang lain, misalnya dengan merampok, mencuri, dan kejahatan lainnya. Lebih jauh lagi, mereka memiliki tujuan mendidik generasi mudanya atau bawahan-bawahannya, jika mereka pengusaha, untuk memanfaatkan pengalamannya sebagai sarana kejahatan. Kecenderungan itu timbul karena mereka lebih banyak menggunakan pengalaman dan ketrampilannya sebagai sarana menggapai tujuan lahiriah, yaitu memperoleh kekayaan atau pemuas nafsu belaka.

Dari ilustrasi di atas dan dari kenyataan hidup sekarang, kita dapat memahami bahwa perkembangan merupakan sarana mewujudkan tujuan yang lebih jauh daripada sekedar perkembangan. Dari kecil hingga dewasa, perkembangan merupakan modal dasar dalam kehidupan manusia. Keteledoran dalam mengarahkan perkembangan akan menjerumuskan seorang anak dalam pemahaman yang keliru. Bisa jadi, jika seorang anak harus beraplikasi dalam kehidupan bermasyarakat, dia akan mendapatkan hasil perkembangannya untuk tujuan-tujuan yang tidak jelas atau membahayakan pihak lain.

Pendidikan Islam yang meletakkan segala perkara dalam posisi alamiah memandang seluruh aspek perkembangan sebagai sarana mewujudkan aspek ideal, yaitu penghambaan dan ketaatan kepada Allah serta aplikasi keadilan dan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan Islam ini mencakup pemeliharaan seluruh aspek perkembangan, baik aspek material, spiritual, intelektual, perilaku sosial, apresiasi atau pengalaman. Dan yang penting, Islam mengarahkan perkembangan tersebut ke arah perwujudan tujuan pendidikan yang tinggi.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Sosial

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Dalam kerangka pendidikan, perkembangan sosial meliputi aspek-aspek berikut ini:
1. Perkembangan perasaan kemasyarakatan, seperti perasaan terikat, kecenderungan untuk berkelompok, dan kegandrungan untuk saling mengikuti.
2. Perkembangan pengalaman kemasyarakatan dan hal-hal yang dihasilkannya, seperti pola-pola interaksi kelompok, pengetahuan aturan-aturan, pola-pola perilaku bermasyarakat, serta norma-norma kehidupan berkelompok
3. Perkembangan imajinasi kemasyarakatan serta tujuan bersama yang tercermin dalam diri setiap individu sebagai hasil pendidikan masyarakat yang mereka terima. Pendidikan masyarakat ini bisa tercipta melalui partisipasi dalam pesta-pesta, upacara keagamaan, pengenalan berbagai fenomena kelompok, atau melalui bidang ekonomi dan militer.

Pada dasarnya, pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketundukan, ketaatan, dan ibadah kepada Allah akan berakhir pada pengembangan perasaan kemasyarakatan yang lebih mulia dan terbuka pada kebaikan. Hal yang pertama kali ditetapkan oleh para sosiolog adalah konsepsi tentang masyarakat. Para sosiolong sepakat mengatakan bahwa masyarakat terbentuk akibat berkumpulnya sekelompok individu yang memiliki gambaran, tujuan, atau kepentingan yang sama, dan semuanya bekerja sama untuk kepentingan tersebut. Kesamaan tersebut mempersatukan mereka dalam berbagai ikatan yang mengikat seluruh individu. Sebagian membantu sebagian yang lain. Mereka membiasakan diri untuk menyukai kehidupan bersama, tolong menolong, dan tanggung jawab.

Dalam pendidikan Islam, tujuan kemasyarakatan didefinisikan sebagai upaya mempersatukan individu yang tercerai berai serta mengikat hati dan perasaan mereka dalam ikatan yang kuat, kokoh, dan tidak berubah-ubah. Realisasi tujuan tersebut memerlukan konsistensi individu dalam berfikir, beribadah, dan mempraktikkan syariat pada konsepsi Islam tentang alam semesta. Konsistensi terhadap syariat Islam serta realisasi syariat itu dalam kehidupan sehari-hari harus menjadi rangkaian konsepsi masyarakat muslim yang menjanjikan kedalaman, kesadaran, kejelasan, keteguhan, kemurnian, dan kelogisan. Itulah yang membedakan masyarakat muslim dari masyarakat lainnya.

Pada masyarakat yang tidak Islami, kita akan menemukan individu yang menerima konvensi kemasyarakatan secara membabi buta melalui peniruan-peniruan. Jika kita melihat pendidikan Islam, kita akan menemukan individu-individu yang merasa puas jika telah diberi kebebasan berfikir, kejelasan atas tujuan bersama, dan perasaan bangga atas tujuan tersebut. Selain itu, masyarakat muslim pun akan merasakan kebersamaan yang direalisasikan melalui Idul Adha, atau melalui shalat berjamaah. Demikian kita menemukan gambaran kolektif islami ini membentuk kebudayaan dan pemikiran seorang muslim, menjadi kontrol utama dalam perilaku bermasyarakat, dan menjadi tendensi psikologis yang mendalam tanpa kepura-puraan.

Melalui pendidikan islami, masyarakat akan memiliki otoritas dalam pelaksanaan syariat dan akidah Islam dengan tetap berpedoman pada konsepsi saling berpesan dalam kebenaran, saling menasehati, dan saling melarang dalam kemunkaran. Dengan tujuan yang bersifat kolektif, pendidikan Islam telah memurnikan penghambaan murni hanya kepada Allah serta menyatukan ide dan fikiran dalam tujuan yang sama. Dengan demikian, seluruh umat Islam akan terikat pada tauhid yang memegang amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana difirmankan Allah ini:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali Imran: 110)

Al-Qur’an pun menjelaskan kewajiban berwali kepada Allah:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [yaitu] orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Sebagian mukmin pun merupakan wali bagi sebagian yang lain. Mereka dilarang mengambil wali selain mukmin untuk dirinya. Yang harus mengikat mereka hanyalah persaudaraan dalam keimanan.

Demikianlah, melalui penempatan anak dengan konsep pendidikan Islam, kita telah mempersiapkan anak-anak dalam pengembangan ikatan sosialnya sehingga dalam praktiknya, anak-anak akan terhindar dari praktik diskriminasi, kedhaliman, invasi, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Dengan demikian, keterkaitan pendidikan Islam terwujud hanya karena agama yang satu, bukan hanya karena kesamaan bahasa atau nasionalisme.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Akal

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Dalam pandangan Islam, akal merupakan potensi manusiawi yang paling penting. Itulah yang mendasari pemahaman dan kesempurnaan akal dalam rukun iman. Lebih jauh lagi al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal dalam merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada diri manusia atau yang ada pada alam semesta.

Al-Qur’an mengarahkan akal manusia untuk merenungi penciptaan manusia melalui analogi terhadap hari kebangkitan di akhirat kelak serta kepastian akan balasan Allah sesuai amal perbuatan manusia. Melalui al-Qur’an pula manusia manusia dianjurkan untuk menafakuri penciptaan langit dan bumi serta mengambil hikmah dari penciptaan umat-umat terdahulu. Bagi manusia yang mengingkari anjuran untuk merenungi dan memahami ayat-ayat al-Qur’an, Allah telah memberi predikat sebagai manusia yang bisu, tuli dan buta karena mereka tidak memikirkan apa yang dilihat dan didengarnya. Atau kalaupun mereka memikirkannya, mereka menolak untuk mengakui kebenaran yang mereka temukan. Pada dasarnya, mereka buta karena tidak melihat kebenaran atau ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini. Mereka juga tuli karena tidak mau mendengarkan kebenaran yang diserukan kepadanyaa atau merenungkan tempatnya kembali nanti.

Jika kita hitung, al-Qur’an mengandung 46 ayat yang menyatakan kata ta’qiluun atau ya’qiluun, 14 ayat yang menyatakan yatafakkaruun atau tatafakkaruun, dan 13 ayat yang menyatakan yafqaHuun. Ayat ayat itu tampil dengan anjuran untuk berfikir atau peringatan untuk orang-orang berakal. Anjuran untuk merenungi al-Qur’an dapat kita temui dalam 4 ayat. Al-Qur’an pun menyajikan 16 ayat yang menyeru orang-orang berakal untuk mengambil pelajaran dari berbagai kisah al-Qur’an atau tanda-tanda alam semesta melalui perenungan atas dalil-dalil yang menunjukkan kekuasan Allah.

Demikianlah, dalam rangka merealisasikan keimanan dan ketundukan kepada Allah, melalui perenungan atas kebesaran-Nya, pendidikan Islam mengajak manusia untuk memanfaatkan akal dalam berargumentasi, mencari kepuasan, merenung dan berobservasi. Pendidikan Islam pun mengajak manusia pada pemanfaatan fasilitas alam semesta sehingga tergalilah berbagai sunnah yang disediakan Allah bagi manusia. Jelasnya, pendidikan Islam mengembangkan akal manusia menurut pola perkembangan yang terbaik sehingga tidak akan pernah ada manusia berakal yang sombong, tidak mau menerima kebenaran.

Pendidikan Islam menghindarkan manusia dari ketulian sehingga manusia terhindar dari eksploitasi nafsu dan syahwat. Begitu juga, pendidikan Islam menghindarkan manusia dari kekerasan hati dan kejumudan akal sehingga manusia terhindar dari pengutamaan atas materi, kedudukan, dan kehormatan yang palsu. Islam pun menawarkan pendidikan yang mengajarkan berfikir sehat, tawadlu, ikhlas menerima kebenaran, jujur dalam keilmuan, dan optimis dalam mengaplikasikan teori-teori yang dia peroleh.

Dengan demikian, mantaplah konsep yang mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan akal manusia yang disempurnakan dengan pengembangan jasmaniah. Dalam pendidikan Islam, aspek intelektual berkembang dari kecermatan dan kejujuran berfikir serta aplikasi praktis menuju pengakuan akan adanya Dzat Yang Mahatinggi, melalui pencarian petunjuk serta menjauhkan diri dari eksploitasi hawa nafsu. Dengan begitu, manusia akan mudah menemukan argumentasi dan pengetahuan yang meyakinkan, jauh dari praduga.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Jasmani

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”

Hadits di atas tersirat konsepsi bahwa ketaatan, penghambaan, dan seruan kepada Allah memerlukan upaya dan kekuatan fisik. Selain itu, Islam pun mengharamkan perbuatan bunuh diri, membunuh orang lain, atau sengaja menyakiti fisik. Bagi umat Islam, shalat, shaum, atau haji merupakan sarana mengaktifkan alat-alat tubuh. Islam pun sangat memperhatikan kesejahteraan umatnya dengan mewajibkan seorang bapak, suami, wali atau bahkan negara untuk memberikan nafkah kepada anak dan wanita yang sedang menyusuhi.

Dalam membina kekuatan fisik, Rasulullah saw. menganjurkan umat Islam untuk berolah raga, seperti berkuda, memanah, atau renang. Beliau dan Aisyah pernah melongokkan kepalanya dari kamar mereka ke halaman masjid ketika orang-orang Habsyi bermain perang-perangan, bahkan beliau pernah bergulat melawan seorang pegulat Habsyi Rukanah dan beliau dapat mengalahkannya. Pada kesempatan lain, beliau pernah balapan lari dengan Aisyah. Para shahabat sering berlatih melempar anak panah setelah mereka shalat maghrib.

Dalam sebuah hadits dikatakan, Rafi’ bin Khadij pernah berkata: “Kami shalat maghrib bersama Nabi saw. Lalu salah seorang di antara kami berpaling sedang dia masih bisa melihat sasaran anak panahnya.” (HR Bukhari)

Abdullah bin Umar pun pernah mengatakan: “Rasulullah saw. melombakan kuda-kuda kurus mulai dari al-Hafya hingga Tsaniyyatil Wada dan beliau melombakan kuda-kuda gemuk dari Tsaniyyatil Wada hingga masjid Bani Zuraiq.” (HR Bukhari)

Dari gambaran di atas, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan Islam pun memperhatikan masalah pengembangan fisik dan pelatihan anggota tubuh yang diarahkan untuk kebaikan manusia dan masyarakat. Pengarahan tersebut dilakukan melalui dua langkah berikut:

1. Mengarahkan segala kekuatan pada segala perkara yang diridlai Allah, misalnya membantu orang yang sedang kesulitan atau untuk berjihad di jalan Allah.
2. Menjauhkan kekuatan fisik dari segala perkara yang dibenci Allah, seperti memberatkan hukuman, menyulut permusuhan, atau sombong dengan kekuatan dan kedudukannya.

&

Islam dan Konsep Aktualisasi Diri

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Sir Barsey Nun, tokoh pendidikan Barat dalam bukunya “Pendidikan” mengatakan bahwa sesungguhnya pembinaan kepribadian merupakan tujuan tertinggi dari sebuah pendidikan. Seperti sebagian besar tokoh pendidikan Barat, Barsey pun menganggap perbedaan karakter dan identitas individu merupakan dasar diterapkannya kebebasan mutlak serta pemberian kesempatan dan situasi yang sesuai bagi setiap orang sehingga setiap orang dapat mewujudkan setiap karakter dan identitasnya dalam situasi sosial tertentu. Bagi mereka, pendidikan harus mempertinggi aktifitas individu, baik pria maupun wanita sehingga melalui pendidikan prinsip aktualisasi diri berjalan sesuai dengan hukum alam dan dapat membuktikan berbagai kebenaran hidup.

Islam memandang konsep pendidikan barat tersebut dari dua segi.
Pertama, kebebasan dan aktivitas individu harus berjalan dalam keadaan terkontrol sehingga individu itu terlindungi dari tipuan yang merugikan diri sendiri atau masyarakat sekitar. Jika setiap anak didik tumbuh dengan prinsip bahwa seluruh alam semesta ini dapat dijadikan ajang aktualisasi diri tanpa kontrol yang menjadikan aktualisasi itu lebih mulia dan terarah, masyarakat macam apakah yang dihasilkan dari pendidikan seperti itu?
Kedua, kebebasan beraktifitas bagi setiap individu hanya akan melahirkan masyarakat yang individualis. Karenanya, aktualisasi itu tidak hanya menuntut adanya pembebasan, tetapi juga memerlukan kebersamaan sehingga dengan identitas masing-masing manusia tidak merasa adanya sikap membeda-bedakan individu.

Tujuan pendidikan di atas tidak kita temukan dalam teori aktualisasi diri. Sir Bersey Nun sendiri tidak terlalu berani untuk jelas-jelas mendasarkan teorinya pada standar baik dan burukk. Dia hanya mengatakan bahwa pandangan orang yang menganggap teori-teorinya tidak didasarkan pada baik dan buruk adalah pendapat yang salah. Bagaimanapun ia terikat konsensus dengan tokoh pendidikan Barat lainnya.

Gambaran di atas membuktikan betapa perlunya prinsip mutlak yang mengatur konsep pendidikan manusia. Dengan demikian kita tidak akan terjebak pada teori-teori buatan manusia yang cenderung sarat perselisihan antar ahli. Ternyata Islam menawarkan prinsip pendidikan yang sesuai dengan kondisi seluruh manusia, baik kondisi sosialnya, psikologinya dan lain-lain.

Lalu bagaimana konsep pendidikan Islam mampu memenuhi tujuan aktualisasi diri? Di bawah ini ada beberapa kiat pendidikan Islam:

1. Ketika manusia memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya, Allah memberikan bekal kemampuan membedakan yang baik dan buruk. Artinya, Allah memberikan kebebasan memilih kepada manusia serta menjelaskan konsekuensi pilihan yang akan dirasakan manusia di akhirat kelak. Dalam hal ini, Allah telah menentukan takdir setiap manusia, sehingga ada manusia yang memilih jalan kebaikan dan ada juga yang memilih keburukan.

2. Allah membiarkan ajang kompetisi dalam kebaikan tetap terbuka bagi manusia. Prinsip yang Dia tekankan adalah penyesuaian balasan di akhirat kelak dengan perbuatan manusia di dunia. Yang membedakan balasan Allah kepada manusia hanyalah ketakwaan manusia kepada-Nya.

3. Allah menjadikan penghambaan dan ketaatan manusia kepada-Nya sebagai tujuan tertinggi. Hanya itulah yang menjadi tolok ukur aktualisasi diri dalam Islam sehingga jelaslah, mana aktualisasi yang tepat dan mana aktualisasi yang tidak tepat. Artinya, aktualisasi itu bukanlah tujuan akhir kehidupan manusia. Itu hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

4. Beberapa ayat dan hadits menjelaskan pentingnya manusia beraktifitas atau bekerja sesuai dengan kesiapan dirinya. Artinya setiap manusia memiliki kesiapan-kesiapan yang satu sama lain berbeda tanpa kehilangan semangat untuk memperoleh petunjuk Allah. Untuk itu, Allah swt berfirman:
“Sucikanlah nama Rabb-mu Yang Mahatinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan [penciptaan-Nya]. dan yang menentukan kadar [masing-masing] dan memberi petunjuk.” (al-A’laa: 1-3)
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (at-Taubah: 105)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bekerjalah kamu, maka setiap orang akan dimudahkan menuju sesuatu yang diciptakan Allah untuknya.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini dengan kemampuan atau kompetisi yang membawa manusia pada pembedaan profesi sesuai keahliannya. Dalam Tuhfatut al-Maududi bi ahkami al Maulud, Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hal yang harus menjadi pegangan, seorang anak harus mengerjakan sesuatu sesuai dengan kesiapan dan kesanggupannya dengan tetap berada pada jalur yang islami. Jika kita mengetahui pekerjaan yang memang diminati anak, dia tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan lain. Pemaksaan untuk melakukan pekerjaan lain hanyalah akan menghasilkan kesia-siaan. Jika seorang anak memiliki pemahaman yang baik, daya tangkap yang shahih serta hafalan yang bagus, tandanya dia respon dan siap menerima ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, jika seorang anak lebih tertarik pada kegiatan melempar tombak, menunggang kuda, memanah, dan lain-lain, merupakan indikasi untuk diarahkan pada kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan olah raga. Jika seorang anak terpesona oleh pertukangan yang kita yakini sebagai pertukangan yang positif, sebaiknya anak kita ditempatkan pada bidang itu. Tentu saja dimanapun seorang anak ditempatkan, dia harus dibekali dengan kesadaran hidup beragama.”

Hal itu dipertegas oleh Ibnu Sina dalam al-Qanun: “Seorang pendidik harus mencari materi-materi pertukangan untuk anak didiknya. Seorang anak tidak boleh dipaksa untuk menyerap konsep-konsep pengetahuan jika ternyata dia tidak berminat pada bidang itu. Jika pun seorang anak diarahkan pada pertukangan, dia tidak boleh dibiarkan berjalan sesuai dengan ambisinya, karena, bisa jadi apa yang diinginkannya itu tidak sesuai dengan apa yang dapat ia kerjakan. Dengan demikian, dia harus mendapatkan pengarahan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

&

Islam dan Tujuan Pendidikan Barat

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Perealisasian pendidikan melalui ibadah tidak diartikan sebagai upaya yang terfokus pada aspek ritual seperti pergi ke masjid atau membaca al-Qur’an. Untuk menyempurnakannya, kita harus memaknai ibadah itu sebagai ketaatan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, pada dasarnya, konsep pendidikan Islam pun mencakup seluruh tujuan pendidikan yang dewasa ini diserukan oleh Barat.

Lebih dari itu pendidikan Islam adalah satu-satunya konsep pendidikan yang menjadikan makna dan tujuan pendidikan lebih tinggi sehingga mampu mengarahkan manusia pada visi ideal dan menjauhkan manusia dari ketergelinciran serta penyimpangan. Karena Islam-lah, pendidikan memiliki misi sebagai pelayan kemanusiaan dan mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat. Artinya, Islam akan berhasil mewujudkan tujuan pendidikan yang selama ini menjadi obsesi tokoh pendidikan Barat.

&

Tujuan Pendidikan Islam

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh manusia melalui syariat Islam. Konsep ketinggian dan keuniversalan pendidikan Islam harus dipahami sebelum kita beranjak pada metode dan karakteristik pendidikan tersebut. Pengkajian alam semesta yang disertai pemahaman atas kejelasan landasan dan tujuan penciptaan akan memperkuat keyakinan dan keimanan manusia atas keberadaan Allah.

Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang jelas. Dia menciptakan manusia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini melalui ketaatan kepada-Nya. Untuk mewujudkan tujuan itu, Allah memberikan hidayah serta berbagai fasilitas alam semesta kepada manusia. Artinya, manusia dapat memanfaatkan alam semesta ini sebagai sarana merenungi kebesaran Penciptanya. Hasil perenungan itu memotivasi manusia untuk lebih menaati dan mencintai Allah. Di sini Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih pekerjaan mana yang akan dipilih manusia, kebaikan atau keburukan. Namun, melalui para Rasul, Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar memahami tujuan hidup yang semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Dalam memaknai tujuan hidup ini, manusia diberi kesempatan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Allah melalui musnahnya kehidupan duniawi ini. Dari situ, Allah menjadikan manusia dan semesta sebagai makhluk baru yang kemudian dihisab dan dibalas sesuai dengan amal perbuatan. Allah akan membalas kekufuran dengan jahannam, dan kebaikan dengan kenikmatan surga abadi.

Konsepsi tentang alam semesta memperjelas tujuan dasar keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu penghambaan, ketundukan kepada Allah, dan kekhalifahannya di muka bumi ini. Kesadaran akan tugas kekhalifahan di muka bumi ini akan menjauhkan manusia dari sikap eksploitasi alam. Yang ada hanya sikap memakmurkan alam semesta melalui perwujudan ketaatan pada syariat Allah. Al-Qur’an pun telah jelas-jelas menegaskan tujuan penciptaan manusia ini melalui firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56)

Jika tugas manusia dalam kehidupan ini demikian penting, pendidikan harus memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Bagaimanapun, pendidikan Islam sarat dengan pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan dinul Islam. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial.

&

Sasaran Pendidikan Islam

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena terdorong oleh kerakusan naluriah, sebagian orang melakukan sesuatu tanpa mengenal atau memahami sasaran yang dituju oleh perilakunya. Artinya orang tersebut menjadikan dorongan naluriah sebagai landasan perbuatannya. Hal itu bisa diibaratkan orang yang tidur yang secara reflek menarik tangannya ketika ditusuk jarum. Gerak reflek tersebut terdorong oleh kecintaan pada hidup walaupun orang yang sedang tidur itu sama sekali tidak menyadari kehidupan selama ia tidur.

Biasanya manusia yang hidup terarah, berakal, serta berkesadaran akan berfikir dan berperilaku sesuai dengan sasaran tertentu, ibarat seorang mahasiswa yang sungguh-sungguh belajar dengan tujuan berhasil meraih nilai bagus, ilmu yang bermutu tinggi, status sosial yang tinggi, atau penghasilan yang memadai. Namun perlu diingat bahwa tidak semua hasil itu bisa dicapai, atau bahkan tidak ada satu pun yang tercapai. Dengan demikian, hasil suatu usaha terkadang tidak sesuai dengan sasaran yang ditentukan. Begitu juga, motivasi atau dorongan sebuah perilaku bukanlah tujuan dari perilaku itu sendiri.

Hasil adalah perolehan yang bersumber dari sebuah perilaku dan dicapai oleh yang ada, baik hasil itu merealisasikan sasaran atau tidak. Sasaran itu sendiri adalah tujuan yang digambarkan oleh manusia dan diletakkan di depannya sehingga dia mengatur segala perilakunya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Motivasi adalah penggerak fisik atau psikis yang mendorong manusia untuk berperilaku. Motivasi pun dapat mensuplai kekuatan pendorong berperilaku ke dalam jiwa dan tubuh, kemudian secara dinamis dan sesuai dengan kondisi manusia menggerakkan dan mengaktifkannya sehingga dia dapat mewujudkan tujuan.

Jika manusia diperintah untuk berjalan di jalur tertentu, tanpa penjelasan mengapa ia harus berjalan di jalan itu, niscaya dia berjalan dalam keraguan, tanpa motivasi dan dalam ketidakjelasan. Namun jika padanya diberi kejelasan tujuan, dia akan melangkah dengan pasti. Misalnya ketika seseorang yang menempuh perjalanan jauh dan merasa ingin makan kita beri petunjuk sepeti ini: “Berjalanlah di jalan ini, di ujung sana anda akan menemukan kebun yang bagus milik orang-orang dermawan yang suka mengundang orang-orang yang datang untuk makan” niscaya kita akan menemukan orang itu kegirangan sehingga dia akan berjalan ke arah kebun itu dengan semangat dan tekad yang kuat melalui pengerahan potensi yang dimilikinya.

Dari ilustrasi itu kita menemukan bahwa penentuan sasaran itu akan membentuk sasaran menjadi sarana imperatif sehingga melahirkan perilaku yang berkesadaran. Jika demikian, sudah tentu bahwa penentuan sasaran itu akan jauh lebih penting jika diterapkan dalam dunia pendidikan. Dengan begitu, kita dapat membimbing generasi kita untuk menjadi umat utama dan menentukan pola perilaku dalam kehidupan individu maupun kelompok sehingga manusia melintasi kehidupan ini dengan bahagia, sistematis, kerja sama, harmonis, optimis, dinamis, berkesadaran, dan bernalar.
&

Beriman Pada Takdir Allah

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Allah lah yang menakdirkan segala perkara yang akan terjadi pada alam semesta ini. Karenanya keimanan kepada takdir Allah ini merupakan bagian terpenting dalam konsep keimanan kepada Allah. Yang jelas, Allah telah mengatur seluruh proses semesta ini, mulai dari hal yang menyangkut penciptaan alam semesta ini, hubungan manusiawi, hubungan manusia dengan alam semesta, dan seterusnya.

Pada dasarnya, keimanan pada takdir Allah ini, takdir baik maupun takdir buruk, merupakan landasan pendidikan Islam. Karena itu Rasulullah saw. menjadikan keimanan tersebut sebagai rujukan tersendiri. Dari keimanan tersebut, banyak dampak edukatif yang dapat diambil oleh orang beriman.

1. Munculnya kekuatan tekad dan hilangnya keraguan. Dalam komunitas manusia, tidak akan ada tekad yang setajam tekadnya seorang mukmin dalam menghadapi takdir Allah. Jika seoran mukmin menghadapi berbagai permasalahan, lantas berniat untuk meminta nasehat kepada orang lain dan beristikharah kepada Rabb-nya, dia akan memiliki kemantapan hati serta meniatkan dan mengerjakan segalanya tanpa ragu, takut, atau termangu. Dia sangat meyakini bahwa seluruh situasi dan kemungkinan yang akan terjadi itu betul-betul di luar kemampuan. Semuanya merupakan bagian dari perkara yang ada dalam pengetahuan dan takdir Allah. Dia sangat yakin bahwa Allah akan menolongnya dengan memilih yang terbaik untuknya. Jika dia merasa bahwa Allah memudahkan pelaksanaan suatu niat, dia yakin bahwa Allah telah memberikan kepadanya sesuatu yang terbaik. Dia yakin bahwa Allah memeliharanya dari keburukan-keburukan.

2. Tidak menyesali atau merasa rugi terhadap sesuatu yang tidak dapat dia raih. Seorang mukmin tidak akan pernah meratapi hal-hal yang telah terjadi melalui penyesalan atau kesedihan yang berlebihan sebab dia menyadari bahwa penyesalan itu tidak akan dapat mengembalikan apa yang tidak dapat ia raihnya itu. Ia hanya bertekad untuk semaksimal mungkin meraih apa yang telah ditetapkan Allah untuknya dan tidak ada dalam benaknya upaya untuk menghalangi takdir Allah selama sesuatu telah terjadi. Untuk sesuatu yang membuatnya salah langkah, dia senantiasa mengambil hikmah dari semuanya, kemudian bertobat. Dia bertekad untuk tidak digigit ular dua kali pada lubang yang sama.

3. Berani menghadapi kematian. Jiwa ini tidak akan ditimpa kematian kecuali atas izin dan ketetapan dari Allah swt.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya…” (Ali Imraan: 145)
Karena itu, tidak mungkin seorang mukmin sejati sesumbar bahwa dia tidak akan pernah mati. Untuk itu Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imraan: 156)

Jika seorang mukmin dididik untuk berani menghadapi maut, dia akan berani menghadapi segala tantangan hidup, baik itu berupa kehilangan anak, kekayaan, kedudukan, atau menghadapi musibah dan penyakit karena dia sangat yakin bahwa semua itu adalah rangkaian takdir Allah.

4. Optimis, rela, dan menghindarkan upaya pencarian penyebab musibah melalui ramal-meramal. Tidak mungkin dia mencari penyebab musibahnya melalui suara burung hantu atau seperti ramalan kaum kafir. Tentang itu Allah swt mengisahkannya dalam ayat berikut ini:

“Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya Kami bernasib malang karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya Kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.’ Utusan-utusan itu berkata: ‘Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.’ (Yaasiin: 18-19)

Dalam hadits riwayat Dawud dikatakan bahwa Urwah bin Amar telah menuturkan sebuah ramalan kesialan di hadapan Rasulullah saw. Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik ramalan adalah pengharapan yang baik. Ramalan tidak akan menggamangkan seorang muslim. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka katakanlah: ‘Ya Allah, tiada yang mendatangkan berbagai kebaikan selain Engkau dan tiada yang dapat menolak berbagai keburukan selain Engkau. Tiada upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.’”

Tidak jarang manusia yang merasa jengkel terhadap penyakit. Padahal jika kita merenungkan lebih jauh, ketika kita tengah menghadapi penyakit, banyak waktu yang bisa kita gunakan untuk berdzikir dan instropeksi diri, sehingga kita berniat untuk menghaluskan budi pekerti dan menebus berbagai kesalahan kita.

Dalam hadits riwayat Muslim dikatakan, Rasulullah saw. pernah bertamu ke rumah Umi Sa’ib [Umi al-Musib]. Ketika itu beliau bertanya, “Mengapa engkau terengah-engah wahai Umi Sa’ib?” Dia menjawab, “Aku demam dan tiada keberkahan Allah di dalamnya.” Rasulullah saw. bersabda, “Jangan engkau memaki demammu, sebab ia dapat menghilangkan kesalahan-kesalahan manusia sebagaimana alat penghembus api [ubub] menghilangkan karat besi.”

Demikian juga kita dilarang mengaitkan kesialan pada suatu kejadian atau mengumpat masa [zaman] sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. lewat Abu Hurairah ini: “Janganlah sekali-sekali salah seoran dari kamu mengatakan, ‘Hai zaman yang mengecewakan’ karena Allah adalah [pemilik] zaman.”

Rasulullah pun melarang mengaitkan kesialan kepada angin sebagaimana sabdanya melalui Ubai bin Ka’ab berikut ini: “Janganlah kamu memaki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak kamu sukai, katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon angin yang baik dan kebaikannya, dan kami berlindung kepada-Mu dari angin yang jahat dan kejahatannya serta kejahatan perkara yang Engkau suruh.’”

5. Semua dampak edukatif dari keimanan kepada takdir Allah itu mendidik kaum mukminin untuk bernalar dan tidak mengeksploitasi hawa nafsu dalam mencari penyebab suatu persoalan. Seorang mukmin akan mengetahui bahwa segala fenomena alam semesta ini berkisar antara kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, dia harus berwaspada serta hanya memilih kebaikan dan membuang keburukan.

&

Beriman kepada Para Rasul

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Para rasul adalah teladan dan pendidik pertama generasi ideal. Kehidupan Nabi Muhammad saw. adalah metode teladan untuk menyelenggarakan pendidikan Islami.

Pada dasarnya, Allah menyuruh manusia untuk mengimani risalah para rasul yang menuntut manusia untuk memurnikan penghambaan kepada Allah dan mengakui ketuhanan-Nya dengan segala konsepsi atau universalitas konsep-konsep tersebut. Walaupun begitu, keberhasilan pendidikan yang diteladankan oleh para rasul, terutama oleh Rasulullah saw. bergantung pada keyakinan bahwa beliau ditopang oleh wahyu dan petunjuk dari Allah swt. sehingga Allah tidak membiarkan beliau keliru dalam menentukan syariat. Jika keyakinan tersebut menjadi sebuah keimanan yang sempurna, manusia akan merasakan kebahagiaan yang besar setiap kali mengikuti salah satu perintah Rasulullah saw. khususnya ketika mengikuti metode pendidikan beliau.

Pada hakekatnya, ketika menyusun berbagai teori pendidikan, para filosof atau pakar-pakar pendidikan modern hanya melakukan berbagai dugaan kontemporer yang mereka uji cobakan kepada sebagian generasi. Jika ternyata gagal, mereka mengalihkan perhatian pada teori lain seraya meninggalkan generasi yang menjadi kelinci percobaan mereka. sebaliknya, risalah pendidikan Rasulullah saw. bersifat alamiah dan manusiawi sehingga darinya terpancar persaudaraan dan persatuan antarmanusia dari berbagai generasi di bawah metode pendidikan yang mengibarkan panji Sang Pencipta manusia. Untuk itu, Allah swt telah berfirman:

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku.” (al-Mu’minun: 51-52)

Allah telah menutup risalah kenabian dengan Rasul Muhammad saw. karenanya tidak ada nabi lagi sesudahnya. Risalah kenabian beliau sangat istimewa, paling sempurna, dan meliputi seluruh alam semesta. Sesuai dengan kesempurnaannya, risalah pendidikan beliau pun dibangun secara alamiah dan selaras dengan fitrah manusia di manapun manusia berada. Allaha telah menyempurnakan risalah-risalah terdahulu dan menyuruh seluruh umat agar mengikuti risalah Rasulullah saw.

&