Kumpulan Doa dalam Al-Qur’an dan Hadits;
Said bin Ali Al-Qahthani
Do’a musafir ketika menjelang Subuh
4 JanDo’a orang mukim kepada musafir
4 JanKumpulan Doa dalam Al-Qur’an dan Hadits;
Said bin Ali Al-Qahthani
Do’a musafir kepada orang yang ditinggalkan
4 JanKumpulan Doa dalam Al-Qur’an dan Hadits;
Said bin Ali Al-Qahthani
Shalat Musafir
11 JulKajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Empat imam madzab sepakat tentang dibolehkannya mengqashar shalat dalam perjalanan. Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah qashar shalat itu merupakan rukhshah (keringanan) atau ‘azimah (ketetapan mutlak). Hanafi berpendapat: ia adalah azimah dan ditetapkan dalam safar. Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia adalah rukhshah dalam suatu perjalanan dalam tujuan halal.
Diriwayatkan dari Dawud bahwa ia tidak membolehkan qashar kecuali dalam perjalalan wajib dan tertentu dalam suatu ketakutan.
Tidak boleh shalat qashar dalam perjalanan maksiyat, sebagaimana tidak boleh mengerjakan rukshah yang diberikan kepada orang yang bepergian untuk tujuan halal. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat boleh.
Qashar tidak diperbolehkan kecuali dalam perjalanan dua marhalah denggan perjalanan berat. Dua pos sama dengan perjalanan dua hari atau sehari semalam, sama dengan 16 farsakh 4 pos. Demikian pendapat Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak boleh mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari tiga marhalah, yaitu 24 farsakh.
Al-Awza’i berpendapat: boleh shalat qashar dalam perjalanan sehari. Dawud berpendapat: boleh mengqashar shalat, baik perjalanan itu jauh maupun dekat.
Menurut kesepakatan empat imam madzab, dalam perjalanan tiga hari lebih utama dilakukan qashar.
Menurut pendapat tiga imam, apabila sudah sampai di tempat tujuan, boleh menyempurnakan shalat yang diqashar. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak boleh. Demikian juga menurut pendapat sebagian ulama Maliki. Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali: tidak boleh mengqashar shalat kecuali benar-benar sesudah meninggalkan perkampungan. Sedangkan dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, sudah harus meninggalkan perkampungan sampai ke tempat yang tidak ada lagi perumahan di kanan kirinya. Kedua, hendaknya sudah berlalu tiga mil dari kotanya.
Diriwayatkan dari al-Harits bin Abi Rabi’ah bahwa ia hendak mengadakan perjalanan, lalu ia shalat berjamaah dua rakaat di rumahnya. Diriwayatkan dari beberapa shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud dari Mujahid: jika seseorang keluar dari rumahnya pada siang hari, maka ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum masuk malam hari. Jika ia keluar malam hari dari rumahnya maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya sebelum masuk siang hari.
Apabila seorang musafir bermakmum mengikuti orang yang mukim dalam sebagian shalatnya maka ia wajib menyempurnakan shalatnya, yakni tidak diqashar. Hal ini berbeda pendapat dengan Maliki yang mengatakan: jika seseorang mendapati shalat orang mukim sekedar satu rakaat maka ia wajib menyempurnakannya. Jika ia tidak mendapatinya maka ia tidak wajib menyempurnakannya.
Ishaq bin Rahwaih berpendapat: bagi musafir dibolehkan mengqashar shalat di belakang orang mukim.
Siapa yang mengerjakan shalat Jum’at, lalu diikuti oleh musafir berniat shalat dhuhur secara qashar, maka musafir itu wajib menyempurnakan shalat dhuhurnya. Sebab, shalat Jum’at itu adalah shalat orang mukim. Demikian pendapt yang rajih dalam madzab Syafi’i.
Anak buah kapal, apabila berlayar di dalam kapal yang berisi keluarga dan harta bendanya, menurut Syafi’i: boleh mengqashar shalatnya. Demikian juga pendapat madzab Hanafi dan Maliki. Sedangkan Hambali berpendapat: tidak boleh mengqashar shalat.
Demikian juga tentang pengemudi kendaraan yang terus-menerus bermusafir, maka ia boleh mengqashar dan berbuka puasa (Ramadlan). Demikian pendapat tiga imam madzab. Sedangkan Hambali berpendapat: ia tidak mendapat rukhshah.
Menurut Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan jumhur ulama, orang yang mengqashar shalat tidak dimakruhkan mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanannya, baik sunnah rawatib maupun lainnya. Akan tetapi sebagian golongan dari mereka, seperti Ibnu Umar ra. tidak membenarkan hal itu. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa ia membantah hal demikian kepada orang yang berpendapat dan mengamalkannya.
Apabila seseorang musafir berniat akan menetap selama empat hari selain hari-hari kedatangan dan kepulangannya maka ia dipandang menjadi orang mukim. Demikian pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedang Hanafi berpendapat: apabila ia berniat bermukim selama lima belas hari maka ia menjadi mukim. Sedangkan jika ia berniat tinggal kurang dari itu maka tidak dihukumi sebagai mukim. Ibn Abbas ra. berpendapat sembilan belas hari.
Dari Hambali diperoleh riwayat bahwa apabila seseorang berniat menetap selama ia bekerja di tempat yang ia tuju lebih dari dua puluh hari maka ia shalat dengan sempurna. Adapun jika seseorang menetap di suatu tempat dengan niat pergi lagi apabila keperluannya sudah terpenuhi, dan ia melakukan qashar pada setiap waktu, maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dari Syafi’i. Pertama, pendapat yang paling kuat bahwa ia boleh mengqashar shalat hingga delapan belas hari. Kedua, boleh mengqashar hingga empat hari. Ketiga, boleh mengqashar selamanya. Hal ini juga merupakan pendapat madzab Hanafi.
Barangsiapa yang tertinggal shalat di tempat mukimm, lalu ia harus mengqadlanya dalam perjalanan, maka ia harus mengqadla dengan sempurna.
Ibnu Mundzir berpendapat: kami tidak mengetahui dalam masalah ini ada perbedaan pendapat kecuali yang diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.
Al-Mustadh Ha’iri berpendapat: diriwayatkan dari al-Muzani dalam masalahnya yang muktabar, bahwa ia membolehkan dengan cara mengqashar.
Jika seseorang tertinggal shalat dalam bepergian, lalu ia mengqadlanya di tempat mukim, maka dari Syafi’i ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang paling shahih adalah haru diqadla dengan sempurna. Kedua, diqashar. Pendapat kedua ini sesuai dengan pendapat Hanafi dan Maliki.
Boleh menjamak shalat antara dhuhur dan asyar, magrib dan Isya’, baik didahulukan (taqdim) maupun diakhirkan (ta’khir) karena ada udzur dan safar. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak boleh menjamak dua shalat karena ada udzur dan safar.
Boleh menjamak shalat antara dhuhur dan asyar dengan jama’ taqdim pada waktu pertama (dhuhur) karena hujan. Demikian pendapat Syafi’i. Menurut pendapat Hanafi dan para ulama pengikutnya: tidak boleh secara mutlak. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali: boleh antara maghrib dan isya’, tetapi tidak boleh antara dhuhur dan asyar, baik hujannya deras maupun tidak, jika baju basah.
Boleh jama’ karena hujan ditentukan bagi orang yang shalat berjamaah di suatu masjid dan yang datang dari tempat yang jauh. Sedangkan bagi orang yang berada dalam masjid atau yang shalat di rumahnya dengan berjamaah atau rumahnya dekat masjid, tidak dibolehkan. Demikian pendapat Syafi’i dalam suatu pendapatnya yang shahih. Hambali menyetujui pendapat ini. Sedangkan dalam kitab al-Imla’, dengan tegas Syafi’i membolehkannya.
Adapun jalan berlumpur bukan karena hujan maka tidak dibolehkan mejama’ shalat. Demikian pendapat Syafi’i. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali: boleh.
Orang yang sakit dan ketakutan tidak boleh menjamak shalat, demikian pendapat madzab Syafi’i yang paling jelas. Menurut pendapat Hambali: boleh. Pendapat Hambali ini dipilih juga oleh para ulama terakhir pengikut Syafi’i. An-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab berpendapat: pendapat ini kuat sekali.
Ibnu Sirin membolehkan jama’ tidak karena ketakutan atau sakit, tetapi karena suatu keperluan yang menurut kebiasaan tidak dapat ditinggalkan, asalkan tidak dijadikan kebiasaan.
Ibnu al-Mundzir dan segolongan ulama membolehkan jama’ shalat di tempat mukim, tidak karena sakit, takut, dan hujan.
Sekian.