Tag Archives: naskh

Macam-Macam Naskh dalam al-Qur’an

19 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh dalam al-Qur’an ada tiga macam:

1. Pertama, naskh tilawah dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari ‘Aisyah ra, ia berkata:
“Di antara yang diturunkan kepada beliau ialah ‘sepuluh susunan yang maklum itu menyebabkan muhrim,’ kemudian [ketentuan] ini dinaskh oleh ‘lima susunan yang maklum.’ Maka ketika Rasulullah saw. wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca [matlu’].

Kata-kata ‘Aisyah: “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca,” pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Utsmani. Kesimpulan demikian dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika beliau menjelang wafat. (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’alaq, dari Umar).

Yang jelas ialah bahwa tilawah-nya itu telah dinaskh [dihapuskan], tetapi penghapusan itu tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya.

Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-Intisaar tentang kaum yang mengingkari naskh seperti ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya adalah khabar ahad. Padahal tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah al-Qur’an atau menasakh al-Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannya hanya bersifat dugaan.

Pendapat ini dijawab, bahwa penetapan naskh adalah suatu hal sedang penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an adalah hal lain. Penetapan naskh cukup dengan khabar ahad yang dhanni, tetapi penetapan sesuatu sebagai al-Qur’an harus dengan dalil qath’i, yakni khabar mutawatir. Pembicaraan kita di sini adalah mengenai penetapan naskh, bukan penetapan al-Qur’an, sehingga cukuplah dengan khabar ahad. Dan andaikata dikatakan bahwa qira’ah ini tidak ditetapkan dengan khabar mutawatir, maka hal ini adalah benar.

2. Kedua, naskh hukum sedang tilawahnya tetap. Misalnya naskh hukum ayat ‘idah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai naskh macam ini banyak dikarang kitab-kitab yang didalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah diteteliti, ayat-ayat seperti ini hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul ‘Arabi.

Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan hukum sedang tilawahnya tetap? Jawabannya ada dua segi:

a. al-Qur’an, disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.

b. Pada umumnya naskh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingat akan nikmat dihapuskannya kesulitan [masyaqqah].

3. Ketiga, naskh tilawah sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh. Di antaranya ayat rajam yang artinya:
“Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Dan di antaranya pula adalah apa yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain, dari Anas tentang kisah orang-orang yang dibunuh dekat sumur Ma’unah, sehingga Rasulullah saw. berqunut untuk mendoakan para pembunuh mereka. Anas mengatakan: “Dan berkenaan dengan mereka turunlah [ayat] al-Qur’an yang kami baca sampai ia diangkat kembali yaitu: an ballaghuu ‘annaa qaumanaa annaa laqainaa rabbanaa faradliya ‘annaa wa ardlaanaa (“Sampaikanlah dari kami kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu dengan Rabb kami, maka Dia ridla kepada kami dan menyenangkan kami.”). ayat ini kemudian dinasakh tilawahnya.

Sementara itu sebagian ahli Ilmu tidak mengakui naskh semacam ini, sebab khabarnya adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dengan khabar ahad.

Ibnu Hassar menjelaskan, naskh ini sebenarnya kembali ke nukilan [kutipan keterangan] yang jelas dari Rasulullah, atau dari shahabat, seperti perkataan “Ayat ini menasakh ayat anu.”

Naskh, jelasnya lebih lanjut, dapat ditetapkan pula ketika terdapat pertentangan pasti [tidak dapat dipertemukan] serta diketahui sejarahnya, untuk mengetahui mana yang terdahulu dan mana pula yang datang kemudian.

Di samping itu, naskh tidak dapat didasarkan pada pendapat pada mufasir yang awam. Bahkan tidak pula pada ijtihad para mujtahid, tanpa ada nukilan yang benar dan tanpa ada pertentangan pasti. Sebab naskh mengandung arti penghapusan dan penetapan sesuatu hukum yang telah tetap pada masa Nabi.

Jadi yang menjadi pegangan dalam hal ini hanyalah nukilan dan sejarah, bukan ra’y dan ijtihad. Lebih lanjut ia menjelaskan, manusia dalam hal ini berada di antara dua sisi yang saling bertentangan. Ada yang berpendapat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi adil tidak dapat diterima dalam hal naskh. Dan ada pula yang menganggap enteng sehingga mencukupkan dengan pendapat seorang mufasir atau mujtahid. Dan yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat ini. (lihat al-Itqaan, jilid 2 hal 24).

Mungkin akan dikatakan, sesungguhnya ayat dan hukum yang ditunjukkannya adalah dua hal yang saling berkaitan, sebab ayat merupakan dalil bagi hukum. Dengan demikian jika ayat dinasakh maka secara otomatis hukumnya pun dinasakh pula. Jika tidak demikian, hal tersebut akan menimbulkan kekaburan.

Pendapat demikian dijawab: bahwa ketetapan antara ayat dengan hukum tersebut dapat diterima jika Syaari’ [Allah, Rasul] tidak menegakkan dalil atas naskh tilawah dan ketetapan hukumnya. Tetapi jika Syaari’ telah menegakkan dalil bahwa sesuatu tilawah telah dihapuskan sedang hukumnya tetap berlaku, maka keterkaitan itu pun batil. Dan kekaburan pun akan sirna dengan dalil syar’i yang menunjukkan naskh tilawah sedang hukumnya tetap.

&

Pembagian Naskh

18 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh ada empat bagian:

1. Pertama, naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang ‘idah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.

2. Kedua, naskh al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
a. Naskh al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad adalah dhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum [jelas diketahui] dengan yang madhnun [diduga].
b. Naskh al-Qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman yang artinya:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (an-Najm: 3-4), dan firman-Nya pula yang artinya:
“Dan Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44). Dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.

Dalam pada itu asy-Syafi’i, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah yang artinya:
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106). Sedang hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan al-Qur’an.

3. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinaskh-kan oleh al-Qur’an dengan firman-Nya yang artinya:

“Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil Haram.” (al-Baqarah: 144)

Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh oleh firman Allah yang artinya:

“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadlan, hendaklah ia berpuasa…” (al-Baqarah: 185).

Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam suatu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an. Dan apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

4. Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad.

Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi perbedaan pendapat seperti halnya naskh al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.

Adapun naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.

&

Pendapat tentang Naskh dan Dalil Ketetapannya

18 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:

1. Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka, naskh mengandung konsep “al-badaa’” yakni nampak jelas setelah kabur [tidak jelas]. Yang mereka maksud ialah, naksh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.

Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, karena masing-masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu. Jadi, pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Dia membawa hamba-hamba-Nya dari suatu hukum ke hukum lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.

Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan syariat sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya:

“Semua makanan adalah hala bagi bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil [Ya’qub] untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imraan: 93)

Dan firman-Nya yang artinya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (al-An’am: 146)

Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan bani Israil agar membunuh siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun kemudian perintah itu dicabut kembali.

2. Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-badaa’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka sangat kontradiksi dengan orang Yahudi.

Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali ra. secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah yang artinya:

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan [apa yang Dia kehendaki].” (ar-Ra’d: 39), dengan pengertian bahwa Allah siap untuk menghapus dan menetapkan.

Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah: Allah menghapus sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Di samping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam bentuk banyak hal, misalnya menghapuskan keburukan dan kebaikan:

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa] perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)

Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka. Hal demikian itu tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului kekaburan bagi Allah. Tetapi Dia melakukan itu semua berdasarkan pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.

3. Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya yang artinya:

“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” (Fushshilat: 42). Dengan pengertian bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak akan dibatalkan selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya ia takhsiskan.

Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebu ialah bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.

4. Jumhur Ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:

a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia lah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.

b. Nas-Nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan terjadinya, antara lain:

Firman Allah yang artinya: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl: 101) dan firman-Nya yang artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106)

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas ra, Umar ra. berkata: “Yang paling paham dan paling menguasai al-Qur’an di antara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ padahal Allah telah berfirman: ‘Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya…’ (al-Baqarah: 106).”

&

Hikmah Naskh

11 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

1. Memelihara kepentingan hamba
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

&

Pedoman Mengetahui Naskh dan Manfaatnya

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasir dan ahli ushul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar [perkataan shahabat dan atau tabi’in] yang mendorong agar mengetahui masalah ini.

Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya, “Apakah anda mengetahui yang nasikh dan yang mansukh?” “Tidak,” jawab hakim itu. Maka kata Ali: “Celakalah anda dan mencelakakan orang lain.”

Dari Ibn Abbas bahwa ia berkata tentang firman Allah: “Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebajikan yang banyak.” (al-Baqarah: 269), “Yang dimaksud ialah nasikh dan mansukhnya dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharnya, serta hala dan haramnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan Ibn Abi Hatim dari Ibn Abbas)

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:

1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits: “Aku [dulu] pernah melarangmu berziarah kubur, maka [kini] berziarah kubur-lah.” (Hadits Hakim)
Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah, sebagaimana akan dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami baca sampai kemudian diangkat kembali.”

2. Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.

3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir nampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman salah seorang dari dua perawi.

&

Ruang Lingkup Naskh

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita [khabar] yang bermakna amar [perintah] atau nahy [larangan], jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan aqidah, yang berfokus pada Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.

Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok [ushul] semua syariat adalah sama. Firman Allah yang artinya:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (al-Baqarah: 183)

“Dan serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,” (al-Hajj: 27)

Dalam hal qiyas Dia berfirman yang artinya:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,” (al-Ma’idah: 45)

Dalam hal jihad Dia berfirman yang artinya:
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa.” (Ali ‘Imraan: 146)

Mengenai akhlak Dia berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18)

Nasikh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab [tuntutan, perintah, atau larangan], seperti janji [al-wa’d] dan ancaman [al-wa’id].

&

Pengertian Naskh dan Syarat-Syaratnya

10 Mar

Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izaalah [menghilangkan]. Misalnya: nasakhatisy syamsudh dhalla (“matahari menghilangkan bayang-bayang”) dan: wa nasakhatir riihu atsral masy-yi (“angin menghilangkan jejak perjalanan”).

Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasakhtul kitaaba (“saya memindahkan [menyalin] apa yang ada di dalam buku.”) di dalam al-Qur’an dinyatakan: innaa kunnaa nastansikhu maa kuntum ta’maluun (al-Jaatsiyah: 29). Maksudnya: Kami memindahkan [mencatat] amal perbuatan ke dalam lembaran [catatan amal].

Menurut istilah, naskh ialah mengangkat [menghapuskan] hukum syara’ dengan dalil hukum [khitab] syara’ yang lain. Dengan pengkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian nasikh menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal [al-baraa’ah al asliyah]. Dan kata-kata “dengan khitab syara” mengecualikan pengangkatan [penghapusan] hukum disebabkan mati atau gila atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

Kata naasikh [yang menghapus] dapat diartikan dengan “Allah”, seperti terlihat dalam : maa nansakh min aayatin (al-Baqarah: 106) dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui, seperti kata: HaadziHil aayatu naasikhatanil aayati kadzaa (“ayat ini menghapus ayat anu”) dan juga dengan “hukum yang menghapuskan” hukum yang lain.

Mansuukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Maka ayat mawarits atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan [naasikh] hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat [mansuukh] sebagaimana akan dijelaskan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3. Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat [dibatasi] dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.

Makki bin Hamusy berkata: Segolongan ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas waktu tertentu, seperti firman Allah: fa’fuu wash-fahuu hattaa ya’tiyallaaHu bi amriHi (“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya”) (al-Baqarah: 109) adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.

&