Ilmu Al-Qur’an (‘Ulumul Qur’an)
Studi Ilmu-ilmu Al-qur’an; Mannaa’ Khaliil al-Qattaan
Naskh ada empat bagian:
1. Pertama, naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya ayat tentang ‘idah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.
2. Kedua, naskh al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh ini ada dua macam:
a. Naskh al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad adalah dhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum [jelas diketahui] dengan yang madhnun [diduga].
b. Naskh al-Qur’an dengan hadits mutawatir. Naskh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman yang artinya:
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya].” (an-Najm: 3-4), dan firman-Nya pula yang artinya:
“Dan Kami wahyukan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl: 44). Dan naskh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Dalam pada itu asy-Syafi’i, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah yang artinya:
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan [manusia] lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (al-Baqarah: 106). Sedang hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan al-Qur’an.
3. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinaskh-kan oleh al-Qur’an dengan firman-Nya yang artinya:
“Maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil Haram.” (al-Baqarah: 144)
Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah juga dinasakh oleh firman Allah yang artinya:
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan Ramadlan, hendaklah ia berpuasa…” (al-Baqarah: 185).
Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam suatu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an. Dan apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
4. Naskh sunnah dengan sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi perbedaan pendapat seperti halnya naskh al-Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun naskh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
&