Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Para imam madzhab sepakat bahwa hak pemeliharaan anak [hadhanah] ada pada ibu selama ia belum bersuami lagi. Apabila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi oleh suaminya yang baru maka gugurlah hak pemeliharaannya.
Para imam madzhab berbeda pendapat jika seorang perempuan ditalak ba’in oleh suaminya yang baru, apakah hak pemeliharaan itu kembali kepadanya? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hak pemeliharaan kembali kepadanya.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami istri yang bercerai sedangkan mereka mempunyai anak. Siapakah yang lebih berhak memelihara anaknya? Menurut Hanafi dalam salah satu riwayatnya: ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak itu besar dan bisa mandiri dalam memenuhi keperluan makan, minum, pakaian, beristinjak dan berwudlu. Setelah itu bapaknya lebih berhak memeliharanya. Untuk anak perempuan, ibu lebih berhak memeliharanya sampai ia dewasa, dan tidak diberi pilihan.
Maliki berkata: ibu lebih berhak memelihara anak perempuan hingga ia menikah dengan seorang laki-laki dan disetubuhi. Untuk anak laki-laki juga demikian, menurut pendapat Maliki yang masyhur hingga anak itu dewasa.
Syafi’i berkata: ibu lebih berhak memeliharanya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan, hingga ia berusia tujuh tahun. Sesudah itu bapak dan ibunya boleh memilih untuk memelihara. Siapa yang mengambilnya maka dialah yang memeliharanya.
Hambali dalam hal ini mempunyai dua riwayat. Pertama, ibu lebih berhak atas anak laki-laki sampai umur tujuh tahun. Setelah itu anak itu boleh memilih ikut ibu atau bapak. Sedangkan anak perempuan, setelah ia berumur tujuh tahun, ia tetap ikut ibunya tanpa pilihan. Kedua, seperti pendapat Hanafi.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang saudara perempuan sebapak dan seibu [kandung]. Apakah ia lebih berhak memelihara daripada saudara perempuan sebapak saja? Hanafi berkata: saudara perempuan sekandung lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak dan daripada saudara laki-laki ibu. Saudara perempuan seibu lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak. Inilah menurut salah satu riwayat dari Hanafi. Sedangkan menurut riwayat lain, perempuan seibu lebih berhak daripada saudara perempuan sebapak. Syafi’i dan Hambali mengatakan: saudara perempuan sebapak lebih berhak daripada saudara perempuan seibu dan saudara perempuan ibu.
Apabila ibu mengambil anaknya yang masih kecil untuk dipeliihara, lalu bapaknya hendak pergi jauh membawanya serta berniat menetap di tempat tersebut, apakah ia boleh mengambil anak itu dari ibunya? Hanafi berkata: tidak boleh. Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam riwayatnya yang masyhur mengatakan: boleh ayahnya mengambil anak tersebut dari ibunya.
Apabila orang yang hendak pergi jauh adalah ibunya dengan membawa anak tersebut, apakah hal itu dibolehkan? Hanafi berkata: ia boleh membawanya dengan dua syarat: 1) kepergian istrinya untuk menuju kampung halaman; 2) akad nikahnya dulu dilakukan di kampung yang dituju. Apabila salah satu dari syarat tersebut tidak dipenuhi, ia tidak boleh membawa anak itu, kecuali berpindah ke tempat yang jauh dari tempat asal, yang memungkinkan pulang pergi dalam sehari. Sedangkan apabila dibawa pindah ke negeri musuh, atau dari kota ke desa, walaupun dekat, maka tidak boleh.
Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatkan: bapaknya lebih berhak atas anak itu, baik yang berpindah itu bapak maupun ibu si anak. Menurut pendapat Hambali dan riwayat lainnya: ibu lebih berhak atas anaknya selama ibu itu tidak menikah lagi.
&