Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi
Sebagian ahli dan filosofi pendidikan kontemporer menganggap bahwa tujuan inti pendidikan adalah perkembangan, baik perkembangan intelektual, fisik, batin, maupun sosial. Namun konsepsi mereka hanya terbatas pada perkembangan yang semata-mata menyangkut perkembangan wujud, perubahan berat, penambahan pengetahuan, atau peningkatan kualitas pola kehidupan anak sejak ia lahir hingga dewasa yang menyangkut perilaku dan segala aktifitasnya. Para ahli pendidikan kontemporer pun sepakat mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidaklah hanya menyangkut penambahan dari segi kuantitatif. Ketika harus mengetengahkan pengembangan perilaku manusia, para ahli pendidikan tersebut terbagi menjadi dua kubu.
1. pertama, adalah kubu yang cenderung mengembalikan konsep pengembangan perilaku pada aspek mekanistik dan reaksi feflektif sehingga mereka memperlakukan manusia sebagai pabrik besar. Jika tombol utama ditekan, mesin akan jalan dan menggerakkan mesin lainnya hingga sampailah pada produksi akhir. Hasil produksi itu sampai pada konsumen berupa refrigerator, mobil, atau adaptor. Menurut mereka, begitulah aktifitas yang dilakukan manusia. Selain itu, ketika manusia dipengaruhi oleh aspek eksternal atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya, secara reflek dia akan mengarahkan aktifitasnya pada sesuatu yang dia inginkan.
Ketika membahas masalah ini, para ahli pendidikan yang setuju dengan konsep di atas tidak memerlukan argumentasi-argumentasi yang berhubungan dengan kehendak manusiawi. Padahal, respon manusia terhadap suatu hal tidak sama, bergantung pada daya intelektual, situasi dan kondisinya, serta keinginan-keinginannya. Dengan demikian, ketika memberikan respon terhadap sesuatu pun, setiap manusia akan melaluinya dengan proses berfikir karena dia bukanlah mesin yang tidak memiliki tujuan atau sasaran hidup.
2. kedua, kubu yang berpandangan bahwa perilaku manusia itu berkembang sesuai dengan pengalaman yang terbentuk dalam dirinya. Seorang anak yang mengotori baju dengan makanan lantas mendapat kecaman, celaan, dan beberapa tindakan emosional lainnya akan membekaskan keterkaitan antara kepedihan psikologi dan kekotoran bajunya dalam perjalanan hidup anak itu hingga ia dewasa.
John Dewey mendefinisikan keterkaitan itu dengan istilah pengalaman. Jika bersumber dari masyarakat, pengalaman itu dapat didefinisikan sebagai pengalaman kemasyarakatan yang tidak hanya terbatas pada interaksi kelompok. Contoh lainnya adalah pengalaman sosial anak seputar tingkah lakunya yang dicela di depan tamu atau tingkah lakunya yang dianggap manis. Padahal pengalaman sosial anak itu berkembang sesuai dengan berkembangnya perasaan-perasaan kemasyarakatan melalui keakraban dan kebencian pada orang lain. Perkembangan semacam ini bisa diaplikasikan melalui berbagai pelajaran yang dinikmati anak-anak, seperti pelajaran berhitung, bahasa, cerita, pertukangan, atau kerajinan.
Rangkaian pengalaman mampu mengembangkan kemampuan anak dan membentuk perilaku anak dekat pada kehidupan masyarakat, baik itu melalui peradaban maupun berbagai situasi dan tuntutan hidup. Namun yang perlu dikaji ulang lagi, tidak semua pengalaman hidup manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia yang baik. Dengan demikian, tidak semua perkembangan itu digunakan untuk kebaikan.
Contoh konkretnya, kita menemukan banyak penjahat di Amerika yang menggunakan pengalaman, perkembangan intelektual, dan ketrampilannya untuk merugikan orang lain, misalnya dengan merampok, mencuri, dan kejahatan lainnya. Lebih jauh lagi, mereka memiliki tujuan mendidik generasi mudanya atau bawahan-bawahannya, jika mereka pengusaha, untuk memanfaatkan pengalamannya sebagai sarana kejahatan. Kecenderungan itu timbul karena mereka lebih banyak menggunakan pengalaman dan ketrampilannya sebagai sarana menggapai tujuan lahiriah, yaitu memperoleh kekayaan atau pemuas nafsu belaka.
Dari ilustrasi di atas dan dari kenyataan hidup sekarang, kita dapat memahami bahwa perkembangan merupakan sarana mewujudkan tujuan yang lebih jauh daripada sekedar perkembangan. Dari kecil hingga dewasa, perkembangan merupakan modal dasar dalam kehidupan manusia. Keteledoran dalam mengarahkan perkembangan akan menjerumuskan seorang anak dalam pemahaman yang keliru. Bisa jadi, jika seorang anak harus beraplikasi dalam kehidupan bermasyarakat, dia akan mendapatkan hasil perkembangannya untuk tujuan-tujuan yang tidak jelas atau membahayakan pihak lain.
Pendidikan Islam yang meletakkan segala perkara dalam posisi alamiah memandang seluruh aspek perkembangan sebagai sarana mewujudkan aspek ideal, yaitu penghambaan dan ketaatan kepada Allah serta aplikasi keadilan dan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan Islam ini mencakup pemeliharaan seluruh aspek perkembangan, baik aspek material, spiritual, intelektual, perilaku sosial, apresiasi atau pengalaman. Dan yang penting, Islam mengarahkan perkembangan tersebut ke arah perwujudan tujuan pendidikan yang tinggi.
&