Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.
Al-Qur`an dan Kitab al-Muqaddas berbeda pendapat mengenai hukum-hukum khusus yang berkaitan dengan warisan perempuan dari salah seorang kerabatnya yang meninggal. Pendeta Ibstain telah menjelaskan dengan ringkas mengenai hukum-hukum warisan perempuan:
“Sejak Kitab al-Muqaddas (kitab suci) turun, perempuan (isteri atau anak perempuan) tidak mempunyai hak dalam warisan, karena perempuan dikategorikan bagian dari warisan ini dan dia tidak berhak untuk mewarisi karena dia sama dengan budak. Di mana undang-undang al-Mausui (yang dinisbatkan kepada Nabi Musa as.) dia membolehkan bagi anak-anak perempuan untuk mewarisi jika di sana tidak terdapat anak-anak yang lain, akan tetapi isteri tetap tidak mendapatkan warisan pada keadaan seperti ini”. (Epstein, hal.175)
Kenapa perempuan dikategorikan bagian dari harta warisan? Pendeta Ibstain menjawabnya: “Karena perempuan milik bapaknya sebelum dia menikah dan milik suaminya setelah dia menikah”. Hukum-hukum warisan dijelaskan dalam Kitab al-Muqaddas (No. 27: 1-11).
Perempuan tidak mempunyai hak sedikitpun pada harta peninggalan suaminya. Akan tetapi suami adalah pewaris pertama untuknya setelah dia (isteri) meninggal, hingga sebelum anak-anak laki-lakinya. Dan anak perempuan boleh saja mewarisi jika di sana tidak terdapat anak laki-laki. Adapun ibu tidak mempunyai hak sedikitpun dalam hal warisan.
Jika terdapat anak laki-laki, maka seorang janda dan anak perempuan berlindung di bawah kasih sayang para anak laki-laki. Oleh karena itu, janda dan anak perempuannya adalah orang yang paling fakir pada masyarakat Yahudi. Dan akidah orang-orang Masihi juga mengikuti hukum-hukum seperti itu pada beberapa tahun yang lalu. Maka undang-undang sipil dan undang-undang gereja mengharamkan anak-anak perempuan untuk ikut bergabung dengan anak-anak laki-laki pada harta peninggalan bapak mereka. Sebagaimana isteri tidak mempunyai hak apapun dalam warisan. Dan senantiasa undang-undang ini dan hukum-hukum yang zalim ini berlangsung hingga akhir abad yang lalu. (Gage, op. cit., p. 142.)
Orang-orang Arab sebelum Islam mereka mengharamkan perempuan mendapatkan warisan. Kemudian al-Qur`an datang mengharamkan semua adat-adat yang zalim ini dan memberikan hak perempuan dalam warisan:
“Untuk anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan untuk anak-anak perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisaa: 7).
Maka ibu, isteri, anak-anak perempuan dan saudari-saudari dalam Islam mereka semua mendapatkan haknya dalam hal warisan sebelum hal ini diketahui oleh orang-orang Eropa beratus-ratus tahun yang lalu. Dan pembagian warisan dijelaskan dalam al-Qur`an dengan secara terperinci (Surat An-Nisaa ayat 7, 11, 12, 176). Yaitu bahwasanya bagian seorang perempuan dalam warisan setengah dari bagian laki-laki selain pada sebagian keadaan yang mengharuskan bagian ibu harus sama dengan bagian bapak. Jika hukum ini dibaca dengan memisahkan kewajiban laki-laki dan perempuan akan ditemui bahwa hukum ini zalim!
Akan tetapi kita akan memahami hikmah dari hukum ini dengan mengetahui terlebih dahulu bahwa seorang suami harus bertanggung jawab mengenai harta (lihat bab tanggungan harta terhadap isteri?). Maka, bagi pengantin laki-laki harus memberikan hadiah terhadap pengantin perempuan. Dan hadiah ini senantiasa milik isteri walaupun dia sudah tertalak. Dan tidak ada kewajiban bagi pengantin perempuan untuk memberikan hadiah terhadap pengantin laki-laki. Sebagaimana dalam Islam, suami wajib membelanjai isterinya dan anak-anaknya. Dan isteri tidak berkewajiban untuk membantunya dalam hal ini kecuali dia senang untuk melakukan hal tersebut.
Maka setiap barang-barang dan hartanya adalah miliknya. Karena sesungguhnya Islam mensucikan kehidupan suami-isteri dan memberikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah dan membenci talak dan Islam tidak mendukung hidup membujang. Oleh karena itu kehidupan suami-isteri suatu yang sangat urgen dalam masyarakat Islam, sedangkan kehidupan membujang sangat jarang. Oleh karena beban laki-laki (suami) muslim terhadap materi sangat banyak dibandingkan dengan perempuan (isteri) muslimah, maka datanglah hukum-hukum tentang kewarisan yang adil untuk mencegah perselisihan-perselisihan atau pertentangan-pertentangan. Seorang wanita muslimah bekebangsaan inggris berkata:
“Islam tidak hanya berlaku adil terhadap perempuan tapi dia juga memuliakannya”. (B. Aisha Lemu and Fatima Heeren, Woman in Islam (London: Islamic Foundation, 1978) p.23. )
&
Tag:islam, perempuan, wanita, warisan