Tag Archives: perempuan

Haram Perempuan Pergi Sendirian

1 Mei

Riyadhush shalihin, Imam Nawawi,
Akhlak dan Tuntunan Kaum Muslimin

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak halal-yakni haram-bagi seseorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan, kalau ia bepergian sejauh jarak sehari semalam, melainkan wajib disertai orang yang menjadi mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia men-dengar Nabi s.a.w. bersabda:
“Janganlah seseorang lelaki itu menyendiri dengan seseorang wanita, melainkan wanita itu wajiblah disertai oleh orang yang menjadi mahramnya, juga janganlah seseorang wanita itu pergi, melainkan ia wajiblah disertai orang yang menjadi mahramnya.”
Ada seorang lelaki berkata: “Sesungguhnya isteri saya hendak keluar untuk beribadat haji, sedang saya telah dicatat diriku untuk mengikuti peperangan ini dan ini?” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Pergilah berhaji dengan isterimu.” (Muttafaq ‘alaih)

&

Warisan Perempuan ?

3 Mar

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Al-Qur`an dan Kitab al-Muqaddas berbeda pendapat mengenai hukum-hukum khusus yang berkaitan dengan warisan perempuan dari salah seorang kerabatnya yang meninggal. Pendeta Ibstain telah menjelaskan dengan ringkas mengenai hukum-hukum warisan perempuan:

“Sejak Kitab al-Muqaddas (kitab suci) turun, perempuan (isteri atau anak perempuan) tidak mempunyai hak dalam warisan, karena perempuan dikategorikan bagian dari warisan ini dan dia tidak berhak untuk mewarisi karena dia sama dengan budak. Di mana undang-undang al-Mausui (yang dinisbatkan kepada Nabi Musa as.) dia membolehkan bagi anak-anak perempuan untuk mewarisi jika di sana tidak terdapat anak-anak yang lain, akan tetapi isteri tetap tidak mendapatkan warisan pada keadaan seperti ini”. (Epstein, hal.175)

Kenapa perempuan dikategorikan bagian dari harta warisan? Pendeta Ibstain menjawabnya: “Karena perempuan milik bapaknya sebelum dia menikah dan milik suaminya setelah dia menikah”. Hukum-hukum warisan dijelaskan dalam Kitab al-Muqaddas (No. 27: 1-11).

Perempuan tidak mempunyai hak sedikitpun pada harta peninggalan suaminya. Akan tetapi suami adalah pewaris pertama untuknya setelah dia (isteri) meninggal, hingga sebelum anak-anak laki-lakinya. Dan anak perempuan boleh saja mewarisi jika di sana tidak terdapat anak laki-laki. Adapun ibu tidak mempunyai hak sedikitpun dalam hal warisan.

Jika terdapat anak laki-laki, maka seorang janda dan anak perempuan berlindung di bawah kasih sayang para anak laki-laki. Oleh karena itu, janda dan anak perempuannya adalah orang yang paling fakir pada masyarakat Yahudi. Dan akidah orang-orang Masihi juga mengikuti hukum-hukum seperti itu pada beberapa tahun yang lalu. Maka undang-undang sipil dan undang-undang gereja mengharamkan anak-anak perempuan untuk ikut bergabung dengan anak-anak laki-laki pada harta peninggalan bapak mereka. Sebagaimana isteri tidak mempunyai hak apapun dalam warisan. Dan senantiasa undang-undang ini dan hukum-hukum yang zalim ini berlangsung hingga akhir abad yang lalu. (Gage, op. cit., p. 142.)

Orang-orang Arab sebelum Islam mereka mengharamkan perempuan mendapatkan warisan. Kemudian al-Qur`an datang mengharamkan semua adat-adat yang zalim ini dan memberikan hak perempuan dalam warisan:

“Untuk anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan untuk anak-anak perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisaa: 7).

Maka ibu, isteri, anak-anak perempuan dan saudari-saudari dalam Islam mereka semua mendapatkan haknya dalam hal warisan sebelum hal ini diketahui oleh orang-orang Eropa beratus-ratus tahun yang lalu. Dan pembagian warisan dijelaskan dalam al-Qur`an dengan secara terperinci (Surat An-Nisaa ayat 7, 11, 12, 176). Yaitu bahwasanya bagian seorang perempuan dalam warisan setengah dari bagian laki-laki selain pada sebagian keadaan yang mengharuskan bagian ibu harus sama dengan bagian bapak. Jika hukum ini dibaca dengan memisahkan kewajiban laki-laki dan perempuan akan ditemui bahwa hukum ini zalim!

Akan tetapi kita akan memahami hikmah dari hukum ini dengan mengetahui terlebih dahulu bahwa seorang suami harus bertanggung jawab mengenai harta (lihat bab tanggungan harta terhadap isteri?). Maka, bagi pengantin laki-laki harus memberikan hadiah terhadap pengantin perempuan. Dan hadiah ini senantiasa milik isteri walaupun dia sudah tertalak. Dan tidak ada kewajiban bagi pengantin perempuan untuk memberikan hadiah terhadap pengantin laki-laki. Sebagaimana dalam Islam, suami wajib membelanjai isterinya dan anak-anaknya. Dan isteri tidak berkewajiban untuk membantunya dalam hal ini kecuali dia senang untuk melakukan hal tersebut.

Maka setiap barang-barang dan hartanya adalah miliknya. Karena sesungguhnya Islam mensucikan kehidupan suami-isteri dan memberikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah dan membenci talak dan Islam tidak mendukung hidup membujang. Oleh karena itu kehidupan suami-isteri suatu yang sangat urgen dalam masyarakat Islam, sedangkan kehidupan membujang sangat jarang. Oleh karena beban laki-laki (suami) muslim terhadap materi sangat banyak dibandingkan dengan perempuan (isteri) muslimah, maka datanglah hukum-hukum tentang kewarisan yang adil untuk mencegah perselisihan-perselisihan atau pertentangan-pertentangan. Seorang wanita muslimah bekebangsaan inggris berkata:

“Islam tidak hanya berlaku adil terhadap perempuan tapi dia juga memuliakannya”. (B. Aisha Lemu and Fatima Heeren, Woman in Islam (London: Islamic Foundation, 1978) p.23. )

&

PEREMPUAN YANG HAID MENGOTORI SEKITARNYA?

20 Feb

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Sesungguhnya undang-undang dan hukum-hukum orang Yahudi sangat keras terhadap perempuan yang haid. Kitab Perjanjian Lama mengatakan perempuan yang haid itu kotor dan juga mengotori sekitarnya, atau siapa saja yang memenyentuhnya maka dia akan senantiasa kotor satu hari penuh.

“Jika perempuan mengalami pendarahan dan pendarahannya tersebut darah pada dagingnya (farajnya) maka tujuh hari dia akan merasakan haid dan setiap orang yang menyentuhnya akan bernajis sampai sore, dan setiap tempat dia berbaring pada waktu dia haid akan terkotori (bernajis), dan setiap yang dia duduki akan ikut bernajis, dan setiap orang yang menyentuh tempat tidurnya harus mencuci bajunya dan mandi, dan dia akan bernajis sampai sore, dan setiap orang yang menyentuh barang-barang yang dia tempati duduk harus mencuci pakaiannya dan mandi dan dia akan bernajis sampai sore, dan tempat tidur yang pernah dia pakai tidur dan barang-barang yang pernah dia duduk di atasnya ketika disentuh setiap barang-barang tersebut akan bernajis sampai sore”. (Lawien 15: 19-23).

Disebabkan hal ini, maka perempuan yang haid terkadang disingkirkan untuk menjauhkan orang berinteraksi dengannya. Maka dia diasingkan (dikirim) ke rumah yang dinamakan “Rumah Kotor” selama dia haid. Sedangkan Talmuud mengibaratkan perempuan yang haid sebagai pembunuh, agar dia tidak menyentuh siapapun. Seorang pendeta berkata:

“Jika seorang perempuan yang haid lewat di depan dua orang laki-laki pada permulaan masa haidnya maka seolah-olah akan mati kedua laki-laki tersebut karenanya. Dan jika dia lewat pada akhir masa haidnya dia akan menyebabkan perselisihan di antara keduanya”. (Bpes. 111 a).

Dan suami perempuan yang haid dilarang untuk masuk Sinagog (rumah ibadah kaum Yahudi) karena suami tersebut telah terkotori hingga tanah yang dilewati oleh isterinya. Santo (pendeta atau orang suci) yang isterinya atau anak perempuannya atau ibunya sedang haid tidak diperbolehkan bagi dia untuk menyampaikan khutbah di Sinagog (rumah ibadah kaum Yahudi).
Leonard J. Swidler, women in Judaism: the status of women in formative Judaism (Metuchen, N.J: Scarecrow press, 1976) p. 138.

Oleh karena itu, masih senantiasa sebagian perempuan-perempuan Yahudi mengistilahkan haid adalah “laknat”. (Sally Priesand, Judaism and the new woman (New York: Behrman House, Inc., 1975) p. 24.

Adapun dalam Islam, dia tidak mengibaratkan perempuan yang sedang haid mengotori atau mencemari lingkungan sekitarnya. Dan haid bukanlah laknat bagi perempuan. Bahkan diharuskan bagi perempuan yang sedang haid untuk menjalani kehidupan kesahariannya seperti hari-hari yang lain (secara normal), selain melakukan ibadah-ibadah seperti puasa dan shalat.

&

PENDIDIKAN PEREMPUAN

20 Feb

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Sesungguhnya perbedaan pandangan mengenai gambaran perempuan dalam Taurat dan al-Qur`an tidak hanya sebatas mengenai kelahiran anak perempuan, akan tetapi lebih dari pada itu. Kita akan mulai dengan membandingkan antara hukum al-Qur`an dan Kitab Al-Muqaddas (kitab suci) terhadap perempuan yang ingin mempelajari agamanya.

Sesungguhnya dasar orang-orang Yahudi adalah Taurat, dan telah disebutkan dalam Taurat: “Sesungguhnya perempuan tidak mempunyai hak untuk belajar taurat”. Dan seorang pendeta Yahudi telah mengumumkan bahwa: “Sesungguhnya lebih bagus kitab Taurat itu dibakar dari pada dibaca oleh perempuan”, dan “Bahwasanya seorang ayah tidak berhak mengajarkan anak perempuannya Taurat”.

Kemudian seorang Santo (orang suci) yang bernama Paul berkata dalam Kitab Perjanjian Baru: “Jadikanlah diam isteri-isteri kalian di dalam gereja, karena sesungguhnya mereka tidak diizinkan untuk berbicara bahkan mereka harus tunduk sebagaimana yang dikatakan oleh Namus juga. Akan tetapi jika mereka ingin belajar sesuatu maka mereka harus bertanya kepada suami mereka di rumahnya karena jelek bagi perempuan jika berbicara di gereja”. (Koruntsous 14: 34-35).

Bagaimana seorang perempuan dapat belajar jika dia tidak diperbolehkan berbicara? Bagaimana pikiran dia dapat berkembang jika dia wajib tunduk? Bagaimana wawasan dia dapat berkembang jika sumber pengetahuan dia hanya satu yaitu suaminya di rumah? Agar saya memutuskan dengan adil seharusnya kita bertanya lebih dahulu: Apakah al-Qur`an berbeda dengan ini?

Terdapat hikayat dalam al-Qur`an tentang perempuan yang bernama Khaulah, suaminya (Aus) berkata kepada dia ketika marah: “Kau haram untukku seperti haramnya ibuku terhadapku”. Ibarat ini dipergunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam untuk mentalak dan terbebas dari tanggung jawabnya sebagai suami, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi isteri untuk meninggalkan rumah suaminya atau menikah dengan laki-laki lain. Maka Khaulah sangat bersedih ketika dia mendengar ucapan ini dari suaminya.

Kemudian dia pergi menghadap Rasulullah Muhammad Saw. untuk menceritakan cobaan (kesedihan) yang menimpa dirinya kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. memerintahkannya untuk bersabar terhadap cobaan ini karena belum ada solusi pada waktu itu. Akan tetapi Khaulah senantiasa mengajukan gugatan kepada Rasulullah Saw. demi untuk menyelamatkan pernikahannya, maka al-Qur`an datang untuk memberikan solusi terhadap permasalahannya dan Allah Swt. mengharamkan adat (kebiasaan) yang zalim ini.

Maka turunlah satu surat dengan sempurna mengenai permasalahan ini, yaitu Surat al-Mujaadilah: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan terhadap kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Mujaadilah: 1).

Sesungguhnya perempuan tersebut (Khaulah) dalam al-Qur`an dia berhak untuk mengajukan gugatan kepada Rasulullah Saw. dengan dirinya sendiri. Dan tidak seorangpun berhak untuk menjadikannya diam. Dia tidak wajib untuk menjadikan suaminya satu-satunya sumber untuk menimba ilmu dan agama.

&

ANAK PEREMPUAN MEMBERIKAN AIB?

20 Feb

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Pada hakikatnya perbedaan pandangan al-Qur`an dan Taurat terhadap perempuan dimulai sejak lahirnya perempuan. Sebagai contoh, dikatakan dalam Injil bahwasanya masa tidak bersihnya ibu setelah melahirkan anak perempuan adalah selama (dua minggu), sedangkan masa tidak bersihnya ibu setelah melahirkan anak laki-laki adalah (tujuh hari saja). Artinya, masa keadaan tidak bersih setelah melahirkan anak perempuan adalah “berlipat ganda” waktunya dibandingkan setelah melahirkan anak laki-laki. (Laawien 12:2 -5).

Maka Injil orang-orang Katolik mengatakan dengan sejelas-jelasnya: “Sesungguhnya kelahiran seorang anak perempuan adalah suatu kerugian”. (Ecclesiasticus 22:3).
Di mana di sisi lain Injil memuji laki-laki: “Suami yang mengetahui anaknya laki-laki maka akan membuat iri musuh-musuhnya”. (Ecclesiasticus 30:3).

Salah seorang pendeta Yahudi memerintahkan orang Yahudi agar memperbanyak keturunan supaya jumlah mereka bertambah, akan tetapi mereka lebih mengutamakan keturunan laki-laki: “Sesungguhnya lebih baik jika kalian mempunyai keturunan laki-laki, dan akan buruk jika kalian mempunyai keturunan perempuan”, “ketika bayi laki-laki lahir diberikan kesalamatan di atas bumi, akan tetapi ketika lahir seorang perempuan maka tidak diberi sesuatu apapun”.

Maka anak perempuan diibaratkan beban yang berat dan sumber kesedihan bagi ayahnya: “Jika ada anak perempuanmu pembangkang maka berhati-hatilah para musuhmu akan menertawakanmu dan akan menjadi titik pembicaraan orang-orang kota dan obrolan, dan kamu akan memperoleh aib (celaan)”. (Ecclesiasticus 41:11).
“Wajib bagi kamu keras terhadap perempuan yang pembangkang, jika tidak dia akan mengambil manfaat atas sifat lemah lembutmu terhadapnya dan kau terus menerus dalam kesalahan, jadilah orang yang tegas dan jangan kamu heran jika dia mendatangkan aib untukmu”. (Ecclesiasticus 26:10-11).

Dan hal ini juga yang terjadi di kalangan Arab orang-orang kafir, sebelum Islam muncul, mereka mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan. Al-Qur`an telah memberikan hukuman dengan keras perbuatan yang tercela ini:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”. (QS. An-Nahl: 58-59).

Seandainya al-Qur`an tidak mengharamkan perbuatan yang keji ini, maka akan berlangsung secara terus menerus sampai sekarang, karena al-Qur`an tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dan hal ini bertolak belakang dengan apa yang disebutkan dalam Injil. Karena al-Qur`an menyebutkan lahirnya seorang perempuan adalah nikmat dan pemberian dari sisi Allah Swt. bandingannya sama dengan lahirnya anak laki-laki (tanpa ada perbedaan di antara keduanya), dan telah disebutkan nikmat lahirnya anak perempuan dalam al-Qur`an terlebih dahulu:

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Asy-Syuura: 49).

Dan dalam larangan untuk mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup secara sempurna, Rasulullah Saw telah menjanjikan kepada siapa saja yang dikarunia anak perempuan dan dia mendidiknya dengan baik, dia akan memperoleh pahala yang besar. Rasulullah Saw. bersabda:

“Barangsiapa diberikan cobaan dengan dikaruniai anak-anak perempuan lalu dia mendidiknya dengan baik maka mereka (anak-anak perempuan) akan menjadi pelindung baginya dari api neraka”. Dan sabda Rasulullah Saw.: “Barangsiapa mendidik dua anak perempuannya sampai keduanya dewasa maka akan datang pada hari kiamat saya dan dia”, dan Rasulullah menempelkan dua jarinya (secara berdampingan).

&

Percakapan Bahasa Arab 54: Pilihlah Perempuan yang Baik Agamanya

3 Sep

60 CONTOH PERCAKAPAN DALAM BAHASA ARAB
Mumtaz Production

Percakapan bahasa arab 54a Pilihlah Perempuan yang Baik Agamanya Percakapan bahasa arab 54b Pilihlah Perempuan yang Baik Agamanya

Batas Aurat bagi Wanita

21 Jan

Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq

Seluruh tubuh perempuan itu merupakan aurat yang wajib bagi mereka menutupinya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Firman Allah yang artinya: “Dan janganlah mereka memperlihatkan tempat-tempat perhiasan kecuali bagiannya yang lahir!” (an-Nuur: 31)

Maksudnya janganlah mereka memperlihatkan tempat-tempat perhiasan kecuali muka dan kedua telapak tangan, sebagaimana diterangkan oleh hadits dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan ‘Aisyah.

Dan dari ‘Aisyah bahwa Nabi saw. bersabda: “Allah tidak menerima shalat perempuan yang telah baligh kecuali dengan memakai selendang.” (HR Yang Berlima kecuali Nasa’i dan dinyatakan sah oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim, sedang Turmudzi menyatakannya sebagai hadits Hasan)

Dan dari Ummu Salamah: Bahwa ia menanyakan kepada Nabi saw.: “Bolehkah wanita shalat dengan memakai baju kurung dan selendang, tanpa kain atau sarung?” Ujar Nabi: “Boleh, asal saja baju itu dalam, hingga menutupi punggung dan kedua tumitnya.” (HR Abu Daud dan para Imam mensahkannya sebagai mauquf)

Dan dari ‘Aisyah bahwa ia ditanya orang: “Berapa macam pakaian yang harus dikenakan wanita yang hendak shalat?” Jawabnya kepada si penanya: “Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian kembali dan beritahukan jawabannya kepada saya.”
Orang itupun datang mendapatkan Ali dan menanyakan hal itu padanya. Maka ujarnya: “Memakai selendang dan baju dalam.”
Sewaktu orang itu kembali kepada ‘Aisyah dan menceritakan hal itu, maka jawab ‘Aisyah: “Benarlah ia.”

&

Haram Perempuan Berkabung Melebihi Tiga Hari; dan wewangian

12 Jul

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; Hadits

Dari Zainab binti Abu Salamah ra. ia bercerita: “Saya datang ke rumah Ummu Habibah ra. –istri Nabi saw.- yakni Abu Sufyan bin Harb. Ra [wafat]. Ummu Habibah minta diambilkan minyak wangi yang kuning warnanya atau selainnya, maka seorang jariyah (budak perempuan) meminyakinya dengan minyak itu, kemudian juga mengolesi kedua pipinya. Lalu Ummu Habibah berkata: “Demi Allah, sedikitpun saya tidak memerlukan wewangian. Hanya saja saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Tidak halal bagi perempuan yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung atas orang mati lebih dari tiga malam, kecuali berkabung atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari.’”
Zainab binti Salamah melanjutkan: “Beberapa waktu kemudian saya datang kepada Zainab binti Jashy ra. ketika saudaranya wafat. Ia juga minta diambilkan wewangian dan mengusapkannya lalu berkata: “Demi Allah saya tidak memerlukan wewangian ini, karena saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda di atas mimbar: ‘Tidak halal bagi perempuan yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berkabung atas orang mati lebih dari tiga malam, kecuali berkabung atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari.’”

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa ditawari harum-haruman maka janganlah ia menolak, karena sesungguhnya harum-haruman itu ringan dibawa lagi pula harum baunya.” (HR Muslim)

Dari Anas bin Malik ra. bahwasannya Nabi saw. tidak pernah menolak harum-haruman.” (HR Bukhari)

Haram Melihat Perempuan yang Bukan Muhrim

11 Jul

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an – Hadits

Firman Allah: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (an-Nuur: 30)

Firman Allah: “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu diminta pertanggung jawabannya.” (al-Israa’: 36)

Firman Allah: “Allah mengetahui (pandangan) yang khianat.” (al-Mu’min: 19)

Firman Allah: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Telah ditentukan bagi anak Adam (manusia) bagian zinanya, dimana ia pasti mengerjakannya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lisan adalah bicara, zina tangan adalah memukul, zina kaki adalahberjalan, serta zina hati adalah bernafsu dan berangan-angan, yang semuanya itu dibuktikan atau tidak dibuktikan oleh kemaluan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al Khudriy ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian duduk-duduk di jalan.” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulallah, kami tidak dapat meninggalkan tempat duduk kami (di jalan) yang kami gunakan untuk berbincang-bincang.” Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kalian enggan untuk tidak duduk di sana, maka penuhilah hak jalan itu.” Para shahabat bertanya: “Apa hak jalan itu wahai Rasulallah?” Beliau menjawab: “Yaitu memejamkan mata, membuang kotoran, menjawab salam, serta menyuruh berbuat baik dengan mencegah kemungkaran.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Thalhah Zaid bin Sahl ra. ia berkata: “Ketika kami duduk di halaman rumah yang dekat jalan, dimana kami berbincang-bincang disitu, kemudian Rasulullah datang dan mendekati kami serta bersabda: “Kenapa kalian duduk di pinggir jalan? Jauhilah duduk di pinggir jalan.” Kami berkata: “Kami duduk di sini sama sekali tidak mengganggu. Kami di sini tukar pikiran dan berbincang-bincang.” Beliau bersabda: “Kalau begitu penuhilah haknya, yaitu memejamkan mata, menjawab salam dan berbicara dengan baik.” (HR Muslim)

Dari Jabir ra. ia berkata: Kami menanyakan tentang melihat sesuatu yang diharamkan yang datang dengan tiba-tiba kepada Rasulullah saw. kemudian beliau bersabda: “Palingkanlah matamu.” (HR Muslim)

Dari Ummu Salamah ra. ia berkata: “Ketika kami bersama Maimunah berada di dekat Rasulullah saw. kemudian putra Ummi Maktum masuk. Kejadian ini setelah turunnya ayat yang memerintahkan kami untuk berhijab.” Kemudian Nabi saw. bersabda: “Berhijablah kamu daripadanya.” Kami berkata: “Wahai Rasulallah, bukankah ia orang buta yang tidak dapat melihat dan mengetahui kami?” Nabi saw. bersabda: “Apakah kamu juga buta? Tidakkah kamu melihat orang itu?” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Dari Abu Sa’id ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat sesama laki-laki, begitu pula seorang perempuan tidak boleh melihat aurat sesama perempuan. Seorang laki-laki tidak boleh bersentuhan kulit dengan sesama lelaki dalam satu selimut, begitu pula orang perempuan tidak boleh bersentuhan kulit dengan sesama perempuan dalam satu selimut.” (HR Muslim)

Haram di Tempat Sepi dengan Perempuan yang Bukan Muhrim

11 Jul

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an – Hadits

Firman Allah: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada orang-orang perempuan, maka mintalah dari belakang tabir.” (al-Ahzab: 53)

Dari Uqbah bin Amir ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Takutlah kalian untuk bertemu kepada wanita (lain, sendirian).” Seorang laki-laki Anshar menyela: “Bagaimana kalau wanita itu ipar?” Rasulullah saw. bersabda: “Ipar sama dengan kematian (bersunyi-sunyi dengan ipar yang berlainan jenis bisa menyebabkan fitnah yang membawa pada kerusakan).” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Abbas ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah sekali-sekali salah seorang di antara kalian bersunyi-sunyi dengan perempuan lain, kecuali disertai muhrimnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Buraidah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Kehormatan istri orang-orang yang berperang di jalan Allah bagi orang yang tidak ikut berperang, seperti haramnya ibu mereka. Seseorang yang tidak ikut berperang dan diserahi oleh orang yang berperang untuk menjaga istrinya lalu ia mengkhianatinya, maka nanti pada hari kiamat ia akan berhenti untuk diambil kebaikan-kebaikannya oleh orang yang berperang sekehendak hatinya, sampai ia merasa puas.” Kemudian Rasulullah saw. menoleh kepada kami dan bersabda: “Bagaimana perasaanmu?” (HR Muslim)