Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Para imam madzhab sepakat bahwa kemuhriman lantaran sepersusuan sama dengan kemuhriman karena nasab. Namun, mereka berbeda pendapat tentang jumlah susuan yang mengharamkan pernikahan.
Hanafi dan Maliki mengatakan: sekali susuan saja. Syafi’i berpendapat: lima kali susuan. Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat, yaitu lima, tiga dan sekali susuan.
Para imam madzhab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim adalah jika anak bayi yang disusukan tersebut dalam usia kurang dari dua tahun. Mereka berbeda pendapat apabila usia anak yang disusukan lebih dari dua tahun. Hanafi berpendapat: tetap kemuhrimannya hingga ia berumur dua setengah tahun. Zufar berpendapat hingga umur tiga tahun. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: batas maksimalnya hanya sampai dua tahun. Maliki menganggap baik jika kemuhrimannya itu sampai lebih satu tahun.
Dawud berpendapat: menyusui orang dewasa tetap menjadikan muhrim. Hal ini berbeda pendapat kebanyakan fuqaha, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.
Para imam madzab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah apabila air susu itu dari tetek perempuan, baik masih gadis maupun sudah janda, baik sudah disetubuhi maupun belum. Namun Hambali mempunyai pendapat: susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah dari tetek perempuan yang memancarkan air susu karena kehamilan.
Para imam madzhab sepakat bahwa laki-laki yang mempunyai payudara, lalu disusu oleh bayi, maka tidak menjadikan muhrim. Mereka juga sepakat tentang haramnya menghirup susu ke hidung dan menuangkannya dalam kerongkongan. Namun ada sebuah riwayat dari Hambali yang mensyaratkan susuan itu langsung dari puting susu.
Para imam madzhab sepakat atas tidak haramnya mengumpulkan air susu, kecuali pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan sebuah riwayat dari Maliki.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang air susu yang bercampur dengan makanan. Hanafi berpendapat: jika susu lebih banyak dari air maka hal itu menjadi muhrim. Sedangkan jika airnya lebih banyak daripada susu maka hal itu tidak menjadi muhrim. Adapun, air susu yang bercampur dengan makanan, menurut Hanafi tidak menjadikan muhrim, baik yang lebih banyak air susu maupun makanan.
Maliki berpendapat: air susu yang bercampur dengan air adalah menjadikan muhrim jika percampuran itu tidak menghilangkan sifat susu. Oleh karena itu, jika hal tersebut menghilangkan sifat susu, seperti disamak, dicampur obat atau dengan yang lainnya, maka tidak menjadikan muhrim. Demikian menurut jumhur ulama pengikut Maliki. Dalam masalah ini Maliki sendiri tidak menyebutkan ketetapan hukumnya.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: kemuhriman dari air susu yang bercampur dengan makanan dan minuman bergantung pada lima kali pemberian, baik air susu tersebut menjadi rusak maupun tidak.
&