Tag Archives: Prioritas

PARA ULAMA YANG PUNYA KEPEDULIAN TERHADAP FIQH PRIORITAS

6 Jan

Yusuf Qardhawy, Fiqih Prioritas

Di antara ulama yang hidup sezaman dengan al-Ghazali ialah al-‘Allamah al-Raghib al-Isfahani (w. 502 H.) yang memiliki pemikiran cemerlang dalam fiqh prioritas. Ada baiknya kami kutipkan ucapannya di sini tentang kesibukan orang-orang terhadap perkara yang sunnah sehingga mereka meninggalkan perkara yang wajib. Dia berkata, “Barangsiapa disibukkan mencari perkara fardhu sehingga dia tidak dapat mencari tambahan (sunnah) maka dia dimaafkan. Tetapi barangsiapa yang sibuk mencari tambahan (sunnah) dan melalaikan kewajiban, maka sesunngguhnya dia tertipu.”

Setelah itu kita juga menemukan seorang imam kritikus, Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) memiliki pengalaman yang sangat luas tentang kritik terhadap masyarakat dan berbagai kelompoknya yang bermacam-macam, ketimpangan dalam memberikan prioritas, dan tipu daya setan atas mereka. Pemikiran ini dapat kita baca dalam buku-buku Talbis Iblis; Shayd al-Khathir; Dzamm al-Hawa; dan lain-lain. Di samping itu, Ibn al-Jawzi telah memiliki kesadaran mengenai betapa pentingnya memberikan perhatian kepada ketimpangan dalam prioritas pada manusia awam; khususnya yang berkaitan dengan pengaruh hadits-hadits yang lemah dan mawdhu, terhadap pola kehidupan mereka. Sehingga dia mengarang dua buah buku besar yang berjudul al-Mawdhu’at dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah.

Kita juga mempunyai seorang ulama yang kuat, Izzuddin bin Abd al-Salam (w. 660 H.) yang memiliki pandangan sangat tajam, pemikiran yang menerawang jauh dalam fiqh perbandingan dan fiqh prioritas. Pengaruh pemikirannya menyebar kepada masyarakat melalui buku kajiannya yang sangat mendasar, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, yang beberapa paragraph isinya telah kami kutip pada bab kedua buku ini.

IBN TAIMIYAH DAN FIQH PRIORITAS

Di antara imam yang memberikan petunjuknya kepada umat manusia dan memiliki tonggak yang kuat dalam fiqh prioritas –fiqh perbandingan– ialah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H.) yang kemudian diikuti oleh muridnya, al-Muhaqqiq al-Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H.)

Saya telah mengutip dalam sebuah buku saya Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, sebanyak dua bab yang berasal dari buku Syaikh al-Islam, yang mencerminkan pemahaman dan pemikirannya dalam bidang ini, yang saya tempatkan sebagai lampiran di akhir buku tersebut.

Dalam buku-buku, risalah, fatwa dan pendiriannya, Syaikh al-Islam memiliki banyak jasa dan baik sekali untuk dipergunakan sebagai bukti yang sangat memuaskan, karena perkara-perkara itu berkaitan dengan sumber-sumber petunjuk Ilahi dan petunjuk Nabi. Pada kesempatan ini saya menganggap cukup untuk menyebutkan dua buah contoh pandangan imam Ibnu Taimiyah, semoga bermanfaat.

1) PERBEDAAN KEUTAMAAN AMAL KARENA PERBEDAAN KEADAAN

Contoh yang pertama, pernah saya sebutkan ringkasannya dalam buku saya al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yang berkaitan dengan perbedaan keutamaan amal karena perbedaan situasi dan kondisinya, serta tenggang rasa dengan orang-orang di sekitarnya.

Syaikh al-Islam berkata, “Satu amalan boleh jadi kita dianjurkan untuk mengerjakannya dalam satu waktu, dan boleh jadi pula kita dianjurkan untuk meninggalkannya, tergantung kepada kemaslahatan yang timbul ketika kita mengerjakan atau meninggalkannya, berdasarkan dalil-dalil syari’ah agama.

Seorang Muslim kadangkala mesti meninggalkan sesuatu yang dianjurkan manakala sesuatu itu apabila dikerjakan akan menimbulkan kerusakan dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau meninggalkan pembangunan Baitullah di atas fondasi yang didirikan oleh Ibrahim, sambil berkata kepada ‘Aisyah, ‘Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan zaman jahiliyah, niscaya akan kuhancurkan Ka’bah dan akan kubangun di atas tanah dengan dua pintu. Satu pintu untuk masuk dan satu pintu lagi untuk pintu keluar.’ Hadits ini disebutkan dalam as-Shahihain.

Nabi meninggalkan niatnya ini karena ada sesuatu yang lebih utama darinya. Yaitu seandainya niat ini beliau lakukan, sedangkan kaum Muslim Quraisy baru saja meninggalkan zaman jahiliyah, niscaya perbuatan itu akan membuat mereka menjauh dari Islam. Sehingga menghindari kerusakan yang akan terjadi lebih diutamakan atas kemaslahatan yang akan diperoleh.

Oleh sebab itu, Imam Ahmad dan ulama lainnya lebih senang melakukan sesuatu yang lebih utama, jika perbuatan itu dianggap dapat tetap menjaga keutuhan persatuan umat Islam. Menurutnya, memisalkan shalat witir dianggap lebih utama; yaitu dengan melakukan salam pada dua rakaat yang pertama, kemudian baru melakukan shalat satu rakaat pada salam yang kedua; jika dia menjadi imam pada suatu kaum yang memiliki pandangan memisahkan witir. Misalnya tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan witir, dan dia terus menyambungkannya, maka kemaslahatannya sendiri dapat dicapai tetapi orang-orang merasa benci untuk shalat di belakangnya.

Begitu pula halnya dengan orang yang berpandangan bahwa membaca basmalah dengan suara pelan lebih utama, atau dengan suara keras yang lebih utama, tergantung kepada kebanyakan ma’mumnya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang diutamakan sehingga kemaslahatan dan menjaga persatuan tetap dapat dijalankan.

Begitu pula halnya apabila kita mengerjakan sesuatu yang berbeda tetapi lebih utama, untuk memberikan penjelasan terhadap sunnah dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, merupakan sesuatu yang baik. Seperti membaca doa iftitah, ta’awwudz, atau basmalah dengan suara keras, agar diketahui oleh manusia bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang disyari’ahkan di dalam shalat, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah hadits shahih bahwa Umar bin Khattab membaca iftitah dengan suara keras. Dahulu Umar bin Khattab melakukan takbiratul-ihram, kemudian mengucapkan, “Mahasuci Engkau wahai Allah dan Maha Terpuji, yang nama-Mu membawa berkah, dan kesungguhan-Mu yang Maha Tinggi, dan tiada Tuhan selain Engkau.” Al-Aswad bin Yazid berkata, “Aku shalat di belakang Umar lebih dari tujuh puluh kali shalat. Dia bertakbir, kemudian dia mengucapkan doa tersebut.” Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya.

Dan oleh sebab itu, doa iftitah tersebut sangat populer di kalangan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan hal yang sama. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Ibn ,Abbas, kedua orang ini mengeraskan bacaan ta’awwudz, dan tidak sedikit sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah. Dan menurut para imam jumhur, yang tidak berpandangan mengeraskan basmalah dalam shalat, bahwa hal itu dilakukan agar semua orang mengetahui bahwa bacaan basmalah adalah sesuatu yang disunnahkan di dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Ibn Abbas melakukan perbuatan itu agar masyarakat mengetahui bahwa ia adalah sesuatu yang sunnah. Oleh sebab itu, ada dua pandangan besar yang berkaitan dengan shalat jenazah.

Pertama, kelompok yang tidak memandang bahwa di dalam shalat itu ada bacaan, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama salaf, dan ini merupakan mazhab Abu Hanifah.

Kedua, kelompok yang memandang bahwa bacaan di dalam shalat itu merupakan sesuatu yang sunnah. Dan ini adalah mazhab Syafi’i dan Ahmad; berdasarkan hadits Ibn Abbas dan lain-lain.

Kemudian ada kelompok lain lagi yang mengatakan bahwa bacaan di dalam shalat itu adalah wajib sebagaimana kewajiban yang berlaku di dalam shalat.

Sebagian kelompok lainnya mengatakan, “Bacaan ayat al-Qur’an itu hukumnya sunnah, dan tidak wajib.” Pendapat ini merupakan pendapat yang moderat dibandingkan dengan tiga pendapat sebelumnya. Karena sesungguhnya para ulama salaf mengerjakan ini dan yang lainnya mengerjakan itu. Dan kedua perbuatan mereka sangat masybur di kalangan mereka. Dahulu mereka melakukan shalat jenazah dengan bacaan dan tanpa bacaan, sebagaimana mereka kadang-kadang mengeraskan bacaan basmalah dan kadangkala tidak mengeraskannya. Kadangkala mereka membaca doa iftitah dan kadangkala tidak membacanya.

Kadangkala mereka mengangkat kedua tangan pada tiga tempat, dan kadangkala tidak mengangkatnya. Kadangkala mereka mengucapkan dua salam dalam shalat, tetapi kadangkala mereka hanya mengucapkan satu kali salam saja. Kadangkala mereka membaca bacaan di belakang imam dengan hati, tetapi kadang-kadang mereka tidak membaca. Kadangkala mereka bertakbir empat kali dalam shalat jenazah, kadang-kadang membaca takbir lima kali. Bahkan ada yang bertakbir sebanyak tujuh kali. Semua perbuatan ini dilakukan oleh para sahabat r.a.

Begitu pula riwayat yang menyatakan bahwa di kalangan para sahabat ada yang melakukan adzan lagi, dan ada pula yang tidak melakukannya. Mereka juga ada yang mengganjilkan iqamat dan ada pula yang menggenapkannya. Kedua hal ini merupakan riwayat yang berasal dari para sahabat Nabi saw.

Ketiga hal ini, walaupun salah satu di antaranya lebih kuat daripada yang lain, seandainya ada yang melakukan pendapat yang tidak kuat, maka dia dianggap melakukan sesuatu yang boleh dilakukan. Dan kadangkala sesuatu yang tidak kuat menjadi lebih kuat melihat kepada kemaslahatan yang dapat diperoleh; sebagaimana meninggalkan suatu perkara yang dianggap kuat dinilai lebih baik karena ada kemaslahatan yang ada di balik itu.

Perkara seperti ini dapat berlaku dalam semua amalan. Karena sesungguhnya amalan yang termasuk lebih penting, kadang-kadang menempati suatu kondisi lain yang lebih penting lagi. Seperti shalat merupakan sesuatu yang lebih penting daripada membaca al-Qur’an, dan membaca al-Qur’an lebih utama daripada dzikir, dan dzikir lebih utama daripada doa. Kemudian shalat setelah shalat Subuh dan shalat Asar merupakan sesuatu yang dilarang padahal bacaan al-Qur’an, dzikir, dan doa diperbolehkan pada waktu-waktu itu. Begitu pula bacaan al-Qur’an pada waktu ruku’ dan sujud itu dilarang, sehingga zikir pada saat seperti itu dianggap lebih utama daripadanya. Dan doa pada akhir shalat setelah melakukan tasyahud dipandang lebih utama daripada dzikir.

Dan kadang-kadang ada sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan tetapi ia dapat menjadi lebih utama ketika dilakukan oleh orang tertentu, karena orang itu tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih utama daripada perbuatan tersebut, atau karena kecintaan, kesenangan, perhatian, dan faedah yang diperoleh dari sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan itu lebih banyak, sehingga perbuatan tersebut menjadi lebih utama baginya, karena adanya peningkatan amalan, kecintaan, kemauan, dan manfaat. yang diperkirakan dapat diperoleh. Seperti yang terjadi pada orang sakit, yang hanya mau meminum obat kesukaannya dan bermanfaat bagi kesehatannya, tetapi tidak mau meminum obat yang tidak disukai, walaupun obat yang terakhir ini dianggap lebih utama.

Atas dasar ini, dzikir untuk sebagian manusia dalam beberapa waktu adalah lebih baik daripada membaca al-Qur’an; dan membaca al-Qur’an bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu adalah lebih baik daripada shalat sunnah; melihat kegunaannya dan tidak melihat kepada jenisnya yang lebih utama.

Pembahasan mengenai persoalan ini, “melebihkan sebagian amalan atas sebagian yang lain”, jika belum dikenal adanya prioritas di dalamnya, akan sangat beragam dan terpulang kepada kondisi ketika amalan itu dilakukan. Dan jika tidak ada ketergantungan kepada kondisi seperti itu, maka akan terjadi banyak kekacauan. Karena ada orang yang tetap berkeras hati menganggap suatu perkara sebagai sesuatu yang utama di mana saja dan pada keadaan apapun, tanpa mempedulikan keadaan, sehingga akhirnya dia menjadi pengikut hawa nafsunya dan sangat fanatik terhadap pandangannya. Sebagaimana kita temukan orang-orang yang menganut suatu mazhab sehingga dalam satu persoalan dia selalu berpegang kepada mazhabnya sekaligus menganggapnya sebagai syiar mazhabnya.

Di antara mereka juga ada yang berpandangan terhadap suatu perkara lebih utama meninggalkan hal seperti itu. Dia selalu berpegang kepada pandangan ini walaupun ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia tinggalkan , misalnya meninggalkan hal-hal yang diharamkan kepadanya. Sehingga orang ini mengikuti hawa nafsunya dan fanatik terhadap pandangannya. Juga ada orang yang berpandangan bahwa meninggalkan suatu perkara yang dilarang dalam mazhabnya, harus dipertahankan sedemikian rupa. Hal itu tentu merupakan suatu kesalahan.

Seharusnya kita memberikan hak kepada sesuatu yang berhak menerimanya, dan memberikan keleluasaan sebagaimana yang diberikan Allah SWT dan rasul-Nya, dan merapatkan hati manusia yang dianjurkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, menjalin jalinan yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, memelihara berbagai kemaslahatan yang dicintai oleh Allah SWT dan rasul-Nya, memelihara tujuan-tujuan syari’ah, dan mengajarkan bahwa sebaik-baik ucapan ialah Kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw. Dan bahwasanya Allah SWT telah mengutusnya sebagai rahmat untuk alam semesta, mengutusnya untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat, dalam segala urusan. Ajaran yang bersifat global itu harus dijelaskan rinciannya, sehingga manusia tidak hanya berkeyakinan terhadap perkara yang bersifat global, tetapi tidak meyakini rinciannya, baik karena kebodohannya, kezalimannya atau karena mengikuti hawa nafsunya. Kami bermohon kepada Allah SWT agar Dia memberi petunjuk kepada kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat dan karunia Allah SWT, yang terdiri dari para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada’, dan orang-orang shaleh, karena mereka itulah sebaik-baiknya ikhwah (teman).” (27 Majmu, Fatawa Syaikh al-Islam, 24: 195-196)

Atas dasar fiqh inilah, Imam Hasan al-Banna, pernah mengeluarkan fatwa ketika dia ditanya oleh orang-orang yang berselisih pendapat mengenai shalat tarawih: apakah ia harus dilakukan sebanyak dua puluh rakaat seperti yang dilakukan di al-Haramain dan tempat-tempat lain, dan seperti yang masyhur dalam mazhab yang empat; ataukah shalat itu dilakukan sebanyak delapan rakaat, sebagaimana yang dianjurkan oleh para ulama salaf? Dalam pada itu, semua penduduk desa yang bertanya kepada Syaikh al-Banna nyaris saling baku hantam karena persoalan ini.

Syaikh al-Banna memberikan pandangan kepada mereka bahwa sesungguhnya shalat tarawih itu hukumnya sunnah dan persatuan umat Islam itu hukumnya wajib. Lalu, bagaimana mungkin orang-orang itu mengabaikan sesuatu yang fardhu untuk melakukan perkara yang hukumnya sunnah. Kalau mereka akan shalat di rumah-rumah mereka tanpa melakukan permusuhan dan pergaduhan, tentu hal itu akan lebih baik dan dianggap lebih benar.

2) PERTENTANGAN ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Contoh kedua sebagaimana yang saya sebutkan dalam lampiran kedua buku saya, yang terdapat di akhir buku Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, dengan sub-judul “Pembahasan Menyeluruh tentang Benturan antara Kebaikan dan Keburukan.”

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah pernah membahas tentang pertentangan antara kebaikan dan keburukan sebagai berikut:

“Kalau kebaikan itu betul-betul mendatangkan manfaat
sekaligus wajib dikerjakan, dan jika ia ditinggalkan
akan mengandung bahaya, tetapi pada saat yang sama
dalam keburukan juga terhadap bahaya, sedangkan dalam
perkara yang makruh ada sebagian kebaikan, maka
pertentangan itu dapat terjadi antara dua kebaikan
yang tidak mungkin digabungkan antara keduanya.
Sehingga kebaikan yang dianggap lebih baik harus
didahulukan atas kebaikan yang kurang baik. Atau,
pertentangan itu juga bisa terjadi antara dua
keburukan yang tidak mungkin dihindarkan keduanya,
sehingga harus dipilih keburukan yang lebih ringan
bahayanya. Selain itu, pertentangan juga dapat
terjadi antara kebaikan dan keburukan yang keduanya
tidak dapat dipisahkan karena kebaikan itu, jika
dilakukan akan mendatangkan keburukan, atau jika
keburukan itu ditinggalkan akan mengakibatkan
ditinggalkannya kebaikan. Sehingga untuk kasus
seperti ini harus dipilih yang lebih baik di antara
manfaat kebaikan dan bahaya keburukan.”

Yang pertama adalah seperti sesuatu yang wajib dan yang dianjurkan. Misalnya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah; dan mendahulukan pembayaran utang atas shadaqah yang hukumnya sunnah.

Sementara yang kedua adalah seperti mendahulukan pemberian nafkah kepada keluarga atas pemberian nafkah untuk perjuangan yang belum sampai kepada fardhu ‘ain. Dan mendahulukan pemberian nafkah kepada kedua orangtua atas jihad; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih, “Perbuatan apakah yang paling mulia?” Nabi menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”
Saya berkata, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orangrua.” Saya berkata, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.” Mendahulukan jihad atas haji, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, merupakan pendahuluan fardhu ‘ain atas fardhu ‘ain yang lain, mendahulukan sesuatu yang dianjurkan atas sesuatu yang dianjurkan lainnya. Begitu pula halnya dengan mendahulukan bacaan al-Qur’an atas dzikir karena keduanya sama-sama amalan hati dan lisan; dan mendahulukan shalat atas kedua hal itu, karena shalat juga merupakan amalan hati. Jika tidak, maka dzikir dengan pemahaman dan getaran hati akan didahulukan atas bacaan al-Qur’an yang tidak melampaui batas tenggorokan. Pembahasan seperti ini akan menjadi sangat luas sekali.

Ketiga, ialah seperti mendahulukan wanita yang berhijrah dengan perjalanan tanpa mahram atas tetapnya wanita itu di kawasan musuh (dar al-harb); sebagaimana dilakukan oleh Umm al-Mu’minin Kultsum, di mana ada sebuat ayat al-Qur’an yang diturunkan mengenai dirinya.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka…” (al-Mumtahanah: 10)

Begitu pula persoalan yang berkaitan dengan peperangan. Sesungguhnya kita dilarang membunuh orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti para wanita, anak-anak dan lain-lain. Akan tetapi kadang-kadang kita terpaksa membunuh mereka karena tidak sengaja, misalnya kalau kita melemparkan granat dan melancarkan serangan di waktu malam, maka kita diperbolehkan melakukannya –tentu saja dengan perhitungan yang matang. Sebagaimana yang pernah terjadi dalam sunnah Rasulullah ketika mengepung Thaif dan melempari mereka dengan manjanik. Di sana terdapat orang-orang musyrik, sehingga pelemparan manjanik yang dimaksudkan untuk melenyapkan fitnah tersebut terpaksa membunuh orang-orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh.

Begitu pula halnya dengan orang yang dijadikan sebagai “tameng hidup” oleh musuh, seperti yang disebutkan oieh para fuqaha. Karena sesungguhnya peperangan adalah untuk menyingkirkan fitnah orang-orang kafir, tetapi tindakan ini mesti disertai dengan risiko yang tingkatnya berada di bawah bahaya tersebut.

Oleh sebab itu, para fuqaha sepakat bahwa jika tidak mungkin melenyapkan fitnah tersebut dari umat Islam kecuali dengan mengorbankan umat Islam yang menjadi “tameng hidup” tersebut, maka kita diperbolehkan untuk mengorbankan mereka. Akan tetapi jika bahaya itu tidak begitu besar tetapi bahaya tersebut tidak dapat disingkirkan kecuali dengan mengambil tindakan tersebut, maka ada dua pandangan yang berkaitan dengan membunuh “tameng hidup” itu.

Keempat, adalah seperti makan bangkai binatang ketika seseorang berada di dalam kesempitan. Dia harus memakan makanan yang tidak baik itu, karena kemaslahatanya telah tampak. Sebaliknya, ialah seperti obat yang buruk, karena bahayanya dipandang lebih kuat daripada manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit, sementara ada obat lain yang dapat menggantikannya; sebab kesembuhan itu hanya diyakini berasal dari obat yang baik. Dan begitu pula halnya meminum khamar sebagai obat: tidak boleh dilakukan.

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu. Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita. Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.

Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara yang diharamkan untuk keperluan dunia, seperti bolehnya berbuka puasa karena sedang bepergian, dan gugurnya hal-hal yang dilarang dalam ihram dan rukun shalat karena sakit.

Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan agama dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di dalam syari’ah. Persoalan ini berbeda dengan persoalan yang kita bicarakan sebelumnya, di mana syari’ah tidak memberikan aturan yang berbeda-beda walaupun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan: “Orang yang berakal itu bukanlah orang yang mengetahui
kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang baik dan mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk.”

“Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan mengobati yang lebih berbahaya.”

Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.

Oleh sebab itu, dalam pandangan manusia, turunnya hujan ketika musim kering merupakan rahmat bagi mereka. Tidak adanya hujan sama sekali lebih berbahaya bagi mereka. Sehingga mereka lebih menguatkan adanya penguasa walaupun zalim daripada tidak ada penguasa sama sekali. Sebagaimana dikatakan:

“Enam puluh tahun dengan penguasa yang zalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa.”

Setelah itu, penguasa akan disiksa karena melakukan permusuhan dan melanggar hak-hak mereka. Akan tetapi saya ingin mengatakan, “Kalau yang memegang kekuasaan adalah penguasa untuk seluruh wilayah, atau sebagian wilayah, seperti imaroh, dan pendidikan, kemudian dia tidak mampu melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, akan tetapi dia melakukannya dengan tidak sengaja dan di luar kemampuannya, maka dia boleh bahkan wajib memegang kekuasaan tersebut. Dan bahkan wajib melakukannya.

Karena kekuasaan yang dapat menghasilkan berbagai kemaslahatan, seperti melakukan peperangan terhadap musuh, membagi barang pampasan, menegakkan hukum agama, mengamankan negara, maka sesungguhnya memegang kekuasaan itu hukumnya wajib. Akan tetapi, manakala kekuasaan itu dipegang oleh orang yang tidak berhak memegangnya, sehingga ia mengambil sesuatu yang tidak halal, memberikan sebagian hak kepada orang yang seharusnya tidak menerimanya, tetapi hal ini tidak dapat dihindarkan, maka perkara ini termasuk dalam pembahasan “sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban atau perkara sunnah kecuali dengannya”.

Sehingga memegang kekuasaan itu hukumnya bisa menjadi wajib atau sunnah apabila keburukannya lebih sedikit daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kekuasaan itu tidak wajib dan mengandung kezaliman, sehingga orang yang memegang kekuasaan itu melakukan kezaliman sampai diganti oleh orang yang hendak memperingan kezaliman dan orang yang memegang kekuasaan tersebut. Pada hakikatnya kita harus memilih resiko yang paling ringan, dan ini dianggap sebagai tindakan yang paling baik.

Pembahasan ini berkisar pada perbedaan niat dan tujuannya. Oleh sebab itu, barang siapa dimintai bantuan oleh seorang zalim yang berkuasa, kemudian dia diberi harta benda, sedangkan orang yang dimintai bantuan ini dapat mengambil tindakan yang netral antara yang menzalimi dan yang dizalimi, dan dapat mencegah terjadinya kezaliman yang lebih banyak, kemudian dengan cara seperti itu dapat mencegah terjadinya kezaliman tersebut, maka dia dianggap sebagai orang yang baik. Akan tetapi, apabila dia menjadi penengah dan malah membantu orang yang zalim itu, maka dia dianggap sebagai orang yang buruk.

Hanya saja, kebanyakan kasus yang terjadi terpulang kepada rusaknya niat dan tindakan orangnya. Yaitu niat untuk memperoleh kekuasaan dan harta kekayaan; dan tindakannya dalam melakukan hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan. Persoalannya sudah bukan lagi pada benturan dan mencari sesuatu yang lebih bermanfaat dan lebih bermaslahat.

Kemudian, masalah yang berkaitan dengan kekuasaan, sekalipun hukumnya boleh, mustahab, atau wajib, tetapi kekuasaan itu untuk orang lain dapat menjadi lebih wajib, atau lebih dianjurkan, sehingga untuk hal ini harus didahulukan sesuatu yang lebih baik di antara dua kebaikan, baik yang hukumnya wajib atau mustahab.

Termasuk di dalam kategori ini ialah tindakan Yusuf al-Shiddiq untuk menguasai perbendaharaan negara milik raja Mesir. Bahkan Yusuf sendiri yang meminta kepadanya untuk menjadi penjaga kekayaan negara, padahal raja dan kaumnya adalah orang-orang kafir. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu…” (al-Mu’min: 34)

“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu alaukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya…” (Yusuf: 39)

Telah diketahui bersama bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang telah memiliki adat istiadat dan tradisi tersendiri dalam menyimpan dan membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki oleh raja, kerabatnya, tentara dan rakyatnya. Dan sudah barang tentu adat istiadat dan tradisi itu tidak berjalan pada garis yang ditentukan oleh para nabi dan keadilan mereka. Yusufpun menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan segala yang diinginkannya, sesuai dengan pandangan yang didasarkan ajaran agama Allah; karena kaumnya tidak menyambut apa yang diserukannya. Akan tetapi dia melakukan apa yang mungkin dilakukannya, yaitu keadilan dan kebajikan. Sehingga dia memperoleh kekuasaan melalui penghormatan kaum mu’min, dan keluarganya, yang tidak mungkin dia peroleh melalui jalan yang lain. Semua ini termasuk dalam firman Allah SWT:

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (at-Taghabun: 16)

Oleh sebab itu, apabila ada dua kewajiban yang tidak mungkin digabungkan, maka harus didahulukan yang lebih kuat di antara kedua kewajiban tersebut; yang pada hakikatnya bukan berarti kita meninggalkan kewajiban.

Begitu pula halnya apabila ada dua perkara haram yang bertemu dan tidak mungkin kita meninggalkan perkara haram yang lebih besar kecuall dengan melakukan perkara haram yang lebih kecil, maka melakukan perbuatan haram yang lebih kecil itu pada hakikatnya tidak dianggap melakukan perbuatan yang haram; walaupun orang menamakannya dengan “meninggalkan kewajiban” atau “melakukan perbuatan haram”. Dalam hal ini ada ungkapan yang paling pas untuk dikatakan: “Meninggalkan kewajiban karena ada suatu uzur, dan melakukan sesuatu yang haram karena ada kemaslahatannya, atau dalam keadaan darurat, atau untuk menahan sesuatu yang lebih diharamkan.”

Pembahasan yang berkaitan dengan masalah pembenturan seperti ini sangat luas, terutama pada masa dan tempat yang tidak banyak dipengaruh ajaran Nabi saw dan para khalifahnya. Masalah seperti ini akan banyak sekali dijumpai di masyarakat tersebut. Semakin lemah pengaruh Islam, maka akan semakin bertambah permasalahannya. Hal inilah yang banyak menimbulkan fitnah di antara umat. Karena sesungguhnya apabila kebaikan bercampur dengan keburukan, maka akan terjadi kerancuan.

Ada umat Islam yang melihat kepada pelbagai kebaikan dan menguatkannya walaupun di dalam kebaikan itu tersimpan berbagai keburukan yang besar. Ada pula umat Islam yang melihat kepada pelbagai keburukan dan memegang erat pandangan ersebut, walaupun dia harus mengorbankan berbagai kebaikan yang besar. Sedangkan orang-orang yang moderat akan memandang dari dua sudut tersebut.

Oleh sebab itu, orang yang alim harus melihat dan menghayati semua persoalan ini. Karena kadang-kadang sebagian kewajiban –sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka– dapat berubah menjadi pemaafan dalam persoalan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan bukan penghalalan atau pengharaman. Seperti, memerintahkan suatu ketaatan dengan melakukan kemaksiatan yang lebih besar, sehingga tidak memerintahkan ketaatan itu dianggap sebagai penjagaan terhadap terjadinya suatu kemaksiatan.

Contohnya adalah melaporkan orang yang berbuat dosa kepada penguasa yang zalim, sehingga bila hal itu dilakukannya, maka penguasa itu akan menyiksanya secara berlebihan, dan melebihi batas dosa yang telah dilakukan olehnya. Contoh lainnya ialah melarang suatu kemungkaran dengan meninggalkan perbuatan baik yang lebih besar manfaatnya daripada meninggalkan kemungkaran tersebut; sehingga larangan itu tidak dihiraukan karena mengandung risiko meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, di mana perkara ini lebih besar manfaatnya daripada sekadar meninggalkan kemungkaran tersebut.” (Ringkasan Kumpulan Fatwa Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah, 20: 48-61)

&

PANDANGAN PARA PEMBARU TENTANG FIQH PRIORITAS

6 Jan

Yusuf Qardhawy; Fiqih Prioritas

BARANGSIAPA melihat perjalanan hidup para juru da’wah dan pembaru di zaman modern, maka. dia akan menemukan –dua aspek amaliyah mereka– bahwa setiap orang di antara mereka memberikan perhatian tertentu dalam bidang da’wah dan pembaruan, dan memprioritaskannya atas hal-hal yang lain. Perhatian kepada persoalan tersebut menyita seluruh pikiran dan usaha kerasnya, berdasarkan pemahamannya terhadap hakikat Islam dari satu segi, dan pandangannya terhadap adanya kekurangan dan kelemahan dalam kehidupan nyata ummat Islam dari segi yang lain, serta adanya keperluan untuk menghidupkan, mengangkat dan membina ummat.

IMAM MUHAMMAD BIN ABD AL-WAHHAB

Prioritas dalam da’wah Imam Muhammad bin Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia ialah pada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhid dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telah mencemari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mempraktekkannya dalam rangka menghancurkan berbagai fenomena kemusyrikan.

AZ-ZA’IM MUHAMMAD AHMAD AL-MAHDI

Zaim Muhammad Ahmad al-Mahdi ialah seorang tokoh dari Sudan. Prioritas perjuangannya ialah mendidik para pengikutnya bersikap keras dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris dan antek-anteknya.

SAYYID JAMALUDDIN

Prioritas yang ada pada Sayid Jamaluddin al-Afghani ialah membangunkan ummat, dan menggerakkannya untuk mengusir penjajah, yang merupakan bahaya bagi kehidupan agama dan dunianya. Di samping itu, dia menyadarkan mereka bahwa ummat Islam adalah satu, memiliki kiblat, aqidah, arah dan tujuan hidup yang satu pula.

Perjalanan hidup dan pemikirannya tampak di dalam majalah “al-Urwah al-Wutsqa” yang diterbitkan olehnya dan murid sekaligus kawannya, yaitu Syaikh Muhammad Abduh.

IMAM MUHAMMAD ABDUH

Imam Muhammad Abduh sangat peduli dengan pembebasan pemikiran kaum Muslim dari belenggu taqlid, dan mengaitkannya dengan sumber-sumber Islam yang jernih; sebagaimana ditegaskan sendiri tentang dirinya dan tujuan-tujuannya: Suaraku lantang
dalam melakukan da’wah kepada dua perkara yang besar. Pertama, membebaskan pikiran ummat dari belenggu taqlid, dan memahami ajaran agama melalui jalan ulama-ulama salaf sebelum munculnya berbagai perbedaan pendapat, serta menggali pengetahuan dengan
kembali kepada rujukan-rujukan utamanya. Di samping itu pemahaman tersebut harus diletakkan dalam pertimbangan akal manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT untuk
mengembalikan manusia dari kesesatan, dan mengurangi kesalahan, agar rahmat Allah SWT menjadi sempurna dalam menjaga tatanan hidup manusia. Dengan jalan ini, akal pikiran
manusia dapat dianggap sebagai partner dalam ilmu pengetahuan, pendorong ke arah pengkajian rahasia-rahasia alam semesta, dan penyebab adanya penghargaan terhadap berbagai hakikat yang tidak berubah. Akal pikiran manusia dapat dituntut untuk
memberikan pemecahan terhadap hakikat tersebut sehingga dapat dipergunakan untuk mendidik jiwa manusia dan memperbaiki amal perbuatan mereka. Semua hal di atas dalam pandangannya merupakan satu perkara. Namun, apa yang dilakukan oleh Abduh ini ditentang oleh dua kelompok besar yang terdapat di dalam tubuh ummat; yaitu para mahasiswa ilmu-ilmu agama dan kelompok yang sefaham dengan mereka, serta para mahasiswa dalam bidang
ilmu-ilmu modern dan sejenisnya. Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab.

Ada hal lain, di mana saya juga ikut menjadi penyerunya yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya karena memang mereka dijauhkan darinya, padahal persoalan itu merupakan tiang penyangga kehidupan sosial mereka, sehingga tanpa tiang penyangga itu kehidupan sosial mereka akan lemah tak berdaya. Persoalan itu ialah pemisahan antara hak pemerintah untuk ditaati oleh rakyat dan hak rakyat untuk memperoleh keadilan dari pemerintah… Sesungguhnya, seorang penguasa, walaupun harus ditaati, tetapi dia adalah manusia yang bisa melakukan kesalahan dan dikalahkan oleh hawa nafsunya. Sementara itu,
tidak ada sesuatu yang efektif dalam menghentikan kesalahan dan kesewenang-wenangannya selain dari nasihat ummat kepadanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Kita harus berani menyuarakan hati kita dengan lantang untuk menghadapi kediktatoran dan kezaliman, tangan besi, dan kezaliman, di saat semua orang menjadi tak berdaya menghadapinya.

IMAM HASAN AL-BANNA,

Imam Syahid Hasan al-Banna, memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam, ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme.

Mereka menginginkan aqidah tanpa syari’ah, agama tanpa negara, kebenaran tanpa kekuatan, perdamaian –penyerahan diri—tanpa perjuangan, tetapi al-Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah dan syari’ah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, perdamaian dan perjuangan, al-Qur’an dan pedang.

Hasan al-Banna, berusaha dengan gigih memberikan penjelasan kepada ummat bahwa politik merupakan bagian dari Islam, dan sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu kewajibannya. Dia juga memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi muda Muslim yang istiqamah terhadap dirinya, Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya, dan Muhammad sebagai teladannya. Generasi yang memahami Islam secara mendalam, memiliki iman yang kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain , yang mengamalkan ajaran itu dalam dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dia harus menyatukan ummat dan tidak memecah belahnya. Oleh sebab itu, dia tidak memunculkan isu-isu yang dapat memecah belah barisan kaum Muslimin, memecah belah kalimatnya, dan membagi-bagi manusia menjadi berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam pandangannya, ummat Islam harus disatukan dalam satu landasan Islam yang universal.

Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa kesadaran untuk itu telah ada sejak masa mudanya, yaitu ketika dia berusia awal dua puluhan. Dia berpendirian bahwa anak-anak ummat dapat disatukan pada landasan aqidah, syari’ah dan akhlak, serta dijauhkan dari perselisihan pendapat pada masalah-masalah furu’iyah yang tidak akan ada habis-habisnya.

Adalah sebuah sudut masjid kecil tempat al-Banna, menyampaikan pelajaran-pelajarannya. Di situlah dia mengatakan, “Inilah sudut yang kedua, yang dibangun oleh Haji Musthafa sebagai upaya pendekatan dirinya kepada Allah SWT. Di situ para pelajar menimba ilmu pengetahuan,
belajar ayat-ayat Allah dan hikmah dengan penuh persaudaraan dan kejernihan hati.”

Tidak lama kemudian, tersebarlah ke seluruh pelosok tentang adanya kegiatan belajar tersebut, yang disampaikan antara waktu Maghrib dan Isya’; kemudian setelah itu mereka dapat pergi ke warung kopi, sehingga banyak orang yang hendak mengikutinya. Di antara mereka ada orang-orang yang suka memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah, dan perkara-perkara yang dapat menimbulkan fitnah.

“Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang aneh, suasana pertengkaran, keributan, dan perpecahan. Saya melihat para pendengar dalam ceramah yang saya sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan mengambil tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya mulai ceramah, saya dikejutkan oleh satu pertanyaan, ‘Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?’ Kemudian saya menjawabnya, ‘Wahai saudaraku, saya kira Anda tidak hanya ingin bertanya kepadaku tentang masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku tentang masalah shalat, salam setelah adzan, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum,at, penggunaan kata sayyid untuk Rasulullah saw dalam tasyahhud, tentang nasib kedua orangtua Nabi saw, di manakah tempat mereka, di surga atau neraka? Dan juga tentang bacaan al-Qur’an yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia apakah pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? Juga pertemuan yang diadakan oleh para ahli tarikat, apakah itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT? Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar fitnah dan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat di antara mereka.’ Karenanya, orang yang bertanya itu merasa heran, lalu dia berkata, ‘Ya, saya menginginkan jawaban untuk semua pertanyaan itu.'”

Saya berkata kepada orang itu, “Aku bukanlah seorang ulama, akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal beberapa ayat al-Qur’an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum agama yang saya peroleh dari beberapa buku, dan aku berbaik hati mengajarkannya kepada orang banyak. Apabila engkau keluar bersama diriku untuk membicarakan masalah-masalah itu, maka sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini. Dan siapa yang berkata bahwa dia tidak tahu berarti dia telah memberikan fatwa. Jika kamu merasa tertarik terhadap apa yang aku katakan, dan melihat ada kebaikan di dalamnya, maka dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, dan apabila engkau hendak memperluas lagi pengetahuan itu, maka bertanyalah kepada ulama-ulama selain diriku yang memiliki kelebihan dan spesialisasi. Mereka mungkin dapat memberikan kepuasan yang engkau cari, sedangkan diriku ini tidak lain hanyalah penyampai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali
sesuai dengan kemampuannya.” Orang itu kemudian merasa terpukul dengan jawaban itu, dan tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia sampaikan. Begitulah cara yang
sengaja saya lakukan dalam memberikan jawaban kepadanya, dengan berkelakar. Semua orang –atau kebanyakan –yang hadir pada pertemuan itu merasa puas hati dengan adanya penyelesaian seperti itu.

Akan tetapi, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
tersebut. Saya berpaling ke arah mereka sambil berkata, “Wahai
saudara-saudaraku, aku menyadari sepenuhnya kepada saudara
kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang hadir di
majelis ini. Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu,
yaitu untuk mengetahui siapakah guru baru ini dan dari
golongan manakah dia? Apakah dia termasuk golongan Syaikh Musa
ataukah dari golongan Syaikh Abd al-Sami’? Sesungguhnya
pengetahuan tersebut sama sekali tidak akan bermanfaat untuk
kamu semua, karena kamu telah bergelimang dalam fitnah selama
delapan puluh tahun, dan itu sudah cukup.
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh kaum
Muslimin selama ratusan tahun dan mereka hingga kini tetap
berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita
apabila kita saling mencintai dan bersatu, dan tidak suka
kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah belah.
Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji
kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut,
dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama,
mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang baik, pengarahan yang
menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang difardukan
dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari
masalah dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa
semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan satu tujuan yang
hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar
mencari kemenangan berpendapat. Dengan cara seperti itu kita
dapat belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta,
saling percaya, kesatuan dan keikhlasan. Saya juga berharap
kamu semua dapat menerima pandangan saya ini, dan berjanji
kepada saya untuk melakukan perkara di atas.”

“Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali
kita masih memegang janji setia antara kita, dan
hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat
untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk
perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita
masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang
mesti dilaksanakan.”

Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung
dalam suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat
taufiq dari Allah. Suasana pada majelis itu semakin baik,
karena setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan
makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk
memantapkan persaudaraan dalam jiwa mereka. Di samping itu,
masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak
diperdalam dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian
timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di antara
mereka. Cara seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari
para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam
memberikan toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di
antara kita.

Saya sebutkan satu contoh yang sangat praktis, saya berkata
kepada mereka, “Siapakah di antara kamu sekalian yang
bermazhab Hanafi?” Kemudian ada salah seorang di antara mereka
yang datang kepadaku. Lalu aku berkata lagi, “Siapakah di
antara kamu yang bermazhab Syafi’i?” Ada seseorang yang maju
kepadaku. Setelah itu aku berkata kepada mereka, “Aku akan
shalat dan menjadi imam bagi kedua orang saudara kita ini.
Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab
Hanafi?” Dia menjawab, “Aku diam dan tidak membacanya.” Aku
bertanya lagi, “Dan bagaimana engkau wahai kawan yang
bermazhab Syafi’i?” Dia menjawab, “Aku harus membacanya.”
Kemudian aku berkata lagi, “Setelah kita selesai shalat, maka
bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi’ i tentang
shalat yang dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?”
Dia menjawab, “Batal, karena dia tidak membaca surat
al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu
rukun shalat.” Aku bertanya lagi, “Dan bagaimana pula
pendapatmu wahai kawan yang bermazhab Hanafi tentang shalat
yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi’i?” Dia
menjawab, “Dia telah melakukan sesuatu yang makruh dan
mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah
pada saat seseorang menjadi ma’mum adalah makruh tahrimi.”
Lalu aku berkata, “Apakah salah seorang di antara kamu berdua
memungkiri yang lain?” Kedua orang itu menjawab, “Tidak.”
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ,
“Apakah kamu memungkiri salah seorang di antara mereka
berdua?” Mereka menjawab, “Tidak.” Lalu aku berkata,
“Subhanallah, kamu semua dapat diam dalam menghadapi masalah
seperti ini, padahal ini adalah perkara yang berkaitan dengan
batal dan sahnya shalat; pada saat yang sama kamu tidak dapat
memberikan toleransi kepada orang yang dalam shalatnya membaca
“Allahumma shalli ala Muhammad” atau “Allahumma shalli ‘ala
sayyidina Muhammad” dalam tasyahud, serta menjadikannya
sebagai bahan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat.”
Metode seperti itu sangat berkesan, karena mereka dapat
mempertimbangkan sikap sebagian orang atas sebagian yang lain,
dan mengetahui bahwa agama Allah SWT sangat luas dan mudah,
serta tidak ditentukan oleh pendapat satu orang atau satu
kelompok. Semua amalan itu ditujukan kepada Allah dan
Rasul-Nya, kepada jamaah kaum Muslimin dan imam mereka, kalau
mereka dianggap memiliki jamaah dan imam. 2

IMAM AL-MAUDUDI

Imam Abu al-A’la al-Maududi memberikan prioritas perjuangannya
dalam memerangi “jahiliyah” modern, mengembalikan manusia
kepada agama dan ibadah dengan maknanya yang komprehensif,
tunduk kepada kekuasaan Allah saja, dan menolak kekuasaan
segala makhluk-Nya, bagaimanapun kedudukan dan tugas mereka.
Baik mereka sebagai pemikir, ataupun sebagai pemegang kendali
politik. Dia juga memberikan perhatian kepada pembentukan
peradaban Islam yang eksklusif, menolak pemikiran Barat dalam
bidang peradaban, ekonomi, politik, kehidupan individu,
keluarga dan masyarakat. Metode seperti ini harus dipergunakan
untuk mengadakan revolusi atau perubahan secara besar-besaran.
Pandangannya tercermin dalam berbagai buku dan risalahnya,
yang mengungkapkan tentang filsafat da’wahnya kepada Islam dan
ide-ide pembaruannya. Jamaahnya mengapresiasi dan menyebarkan
pikiran-pikirannya.

AS-SYAHID SAYID QUTHUB

As-Syahid Sayid Quthub memberikan prioritas pada aqidah
sebelum terciptanya tatanan hukum Islam dan terwujudnya
kekuasaan Allah di muka bumi. Itulah yang sering dia sebutkan
dan sangat ditekankan dalam buku-butu karangannya, khususnya
buku al-Zhilal. Sebagian orang menyangka bahwa pemikiran
‘kekuasaan’ merupakan pemikiran yang dicetuskan oleh Maududi
dan Sayid Quthub. Dugaan ini sama sekali tidak benar.
Pemikiran ini adalah suatu perkara yang telah disepakati oleh
para ahli usul fiqh ketika mereka membahas tentang ‘kekuasaan’
yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam usul fiqh, yang
menyatakan, “Sesungguhnya penguasa (penentu hukum) adalah
Allah, tidak ada penentu hukum selain Dia. Dan sesungguhnya
Rasulullah saw yang mulia adalah penyampai hukum tersebut.”
Pemikiran seperti ini merupakan salah satu anasir dalam tauhid
yang disebutkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah,
padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur’an)
kepadamu dengan terperinci…” (al-An’am: 114)

As-Syahid juga memberikan perhatian kepada pelurusan
“pandangan aqidah” Islam, karena menurutnya tidak mungkin kita
dapat melakukan pelurusan amalan yang dilakukan oleh suatu
generasi muda kalau pandangan hidup mereka rusak atau sakit.
Kapankah bayangan dapat lurus kalau tongkatnya bengkok?

Atas dasar pemikiran itu dia menolak segala bentak ‘jahiliyah’
modern dalam seluruh bidang kehidupan. Dalam aqidah,
pemikiran, perilaku, kehidupan individu, keluarga, dan
masyarakat. Dia menganggap bahwa masyarakat yang ada di
negara-negara dunia –di antaranya negara-negara Islam–
adalah masyarakat jahiliyah, karena mereka menolak kekuasaan
Allah, yakni kekuasaan yang merujuk kepada batasan yang telah
ditetapkan oleh syari’ah dan hukum Islam, meletakkan nilai dan
pertimbangan yang telah ditetapkan oleh Islam, atau aturan dan
konsep-konsepnya, yang semuanya menjadi dasar bagi perjalanan
hidup manusia dan masyarakat. Semua bentuk pengakuan kekuasaan
kepada selain Allah merupakan perampasan terhadap Allah dalam
hal penentuan syari’ah-Nya untuk makhluk-Nya.

Perkara yang bersifat umum ini harus diberi prioritas atas
perkara yang lain, didahulukan atas setiap persoalan yang
sifatnya parsial yang diperjuangkan dengan gigih oleh sebagian
kaum Muslimin yang baik; seperti melarang dari sebagian
kemungkaran, tetapi melalaikan kemungkaran yang lebih besar,
yang dijadikan dasar bagi berdirinya suatu masyarakat.

Ada baiknya pada kesempatan ini saya kutipkan satu bagian dari
tafsir al-Zhilal, yang memberikan komentar terhadap apa yang
disebutkan oleh al-Our’an tentang bani Israil.

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang selalu mereka perbuat itu” (al-Ma’idah: 79)

Sesungguhnya perjuangan yang gigih, pengorbanan yang mulia
harus diarahkan pertama-tama untuk mendirikan masyarakat yang
baik… masyarakat yang baik ialah masyarakat yang berdiri di
atas jalan Allah… sebelum berjuang dan berkorban untuk
melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang kecil, yang
bersifat pribadi dan individual, melalui cara amar ma’ruf dan
nahi mungkar.

Sesungguhnya tidak ada gunanya sama sekali melakukan usaha
dalam hal yang kecil-kecil dan parsial ketika semua masyarakat
rusak, kejahiliyahan merajalela, masyarakat berjalan bukan di
jalan Allah, dan ketika syari’ah yang dipergunakannya bukan
syari’ah Allah. Ketika itulah kita harus memulai usaha kita
dari dasar, menumbuhkan akar. Semua perjuangan dan usaha kita
harus diarahkan untuk mewujudkan kekuasaan Allah di muka bumi
ini… Manakala kekuasaan ini telah terwujudkan, maka perkara
amar ma’ruf nahi mungkar dapat dibangun pada landasan yang
telah dibuat itu.

Usaha ini memerlukan kepada keimanan, dan pengetahuan tentang
hakikat iman, serta peranannya dalam tatanan hidup manusia.
Iman dalam hal ini menjadikan seluruh ketergantungan
disandarkan kepada Allah SWT, yang menciptakan kepercayaan
bahwa Dia akan memberikan pertolongan dalam melakukan kebaikan
–walaupun untuk ini memakan masa yang cukup panjang– serta
membuat pahala di sisi-Nya. Oleh sebab itu, orang yang
melakukan tugas tersebut tidak boleh menunggu balasan di muka
bumi ini, penghargaan dari masyarakat yang tersesat, dan
dukungan dari para pengikut jahiliyah di mana pun berada.

Sesungguhnya semua nash-nash al-Qur’an dan hadits Nabi saw,
yang menyebutkan perkara amar ma’ruf dan nahi mungkar selalu
berbicara tentang kewajiban seorang Muslim dalam masyarakat
Muslim yang mengakui bahwa kekuasaan itu hanyalah milik Allah
SWT; masyarakat yang menetapkan hukum berdasarkan
syari’ah-Nya; walaupun kadang-kadang masih terjadi tindakan
hukum sewenang-wenang, dan masih tersebarnya perbuatan dosa di
dalamnya.

Begitulah, kita menemukan sabda Rasulullah saw, “Perjuangan
yang paling utama ialah mengucapkan kalimat yang hak di depan
pemimpin yang zalim.” Dia dapat dikatakan sebagai pemimpin
kalau dia mengakui kekuasaan Allah dan menetapkan hukum dengan
syari’ah-Nya. Seseorang yang tidak menetapkan hukum
berdasarkan syari’ah Allah SWT maka dia tidak dapat dikatakan
sebagai pemimpin, karena Allah SWT berfirman:

“… barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orangyang kafir.” (al-Ma’idah: 44)

Masyarakat-masyarakat jahiliyah yang tidak menetapkan hukum
berdasarkan syari’ah Allah, adalah pelaku kemungkaran yang
paling besar, pelaku kemungkaran yang menjadi sumber segala
bentuk kemungkaran… Masyarakat ini dapat dianggap menolak
ketuhanan Allah, karena menolak syari’ah-Nya dalam kehidupan
manusia… Kemungkaran paling besar, mendasar, dan mengakar
inilah yang harus dilenyapkan terlebih dahulu sebelum kita
memberantas pelbagai bentuk kemungkaran kecil yang bercabang
darinya.

Sesungguhnya upaya para pejuang, perjuangan orang-orang yang
shaleh memerangi kemungkaran yang kecil akan sia-sia dan tidak
ada gunanya, karena kemungkaran itu bersumber dari kemungkaran
yang pertama, yang paling besar… yakni kemungkaran yang
berbentuk keberanian terhadap Allah SWT, menolak ketuhanan
Allah, menolak syari’ah-Nya dalam kehidupan ini. Sesungguhnya
tidak ada gunanya bagi kita memerangi berbagai bentuk
kemungkaran yang bersumber dari kemungkaran utama, karena
kemungkaran kecil itu hanya merupakan buah darinya.

Lalu dengan apakah kita memberikan keputusan hukum terhadap
orang yang melakukan kemungkaran? Timbangan apakah yang kita
pergunakan untuk menimbang amal perbuatan mereka, sehingga
kita dapat mengatakan: “Ini perbuatan mungkar, maka jauhilah
ia”? Mungkin sekali Anda mengatakan, “Sesungguhnya ini adalah
perbuatan mungkar,” kemudian pada kala yang sama muncul dari
berbagai arah orang yang menyergah Anda, (mengatakan kepada
Anda) “Tidak, sesungguhnya ini bukan perbuatan mungkar.” Suatu
perbuatan dapat dianggap sebagai kemungkaran pada zaman
tertentu, kemudian dunia berkembang dan masyarakat menjadi
maju, sehingga istilah untuk kemungkaranpun ikut bergeser.

Oleh sebab itu, harus ada timbangan dan ukuran yang tetap yang
kita pergunakan sebagai rujukan untuk menilai amal perbuatan
manusia. Harus ada nilai yang diakui, yang dapat kita jadikan
sebagai ukuran untuk perbuatan baik dan juga perbuatan
mungkar. Dari manakah kita mengambil nilai-nilai tersebut? Dan
dari manakah kita mendatangkan timbangan itu?

Apakah dari hasil rekayasa manusia, adat istiadat, dan hawa
nafsu mereka, yang tidak tetap dan berubah-ubah keadaannya?
Kalau demikian, berarti kita telah terjerumus ke dalam
kebimbangan dan kesesatan yang tidak ada petunjuk di dalamnya.
Oleh sebab itu, kita mesti membangun timbangan… dan
timbangan itu harus tetap, dan tidak dapat diguncangkan oleh
hawa nafsu manusia.

TIMBANGAN YANG TETAP ITU ADALAH TIMBANGAN ALLAH SWT.

Apa yang akan terjadi kalau masyarakat tidak mengenal
kekuasaan Allah? Dan apa yang terjadi kalau mereka tidak
menetapkan hukum berdasarkan syari’ah-Nya? Dan bahkan apa yang
akan terjadi kalau masyarakat menghina, mencemoohkan, dan
mengingkari orang yang mengajaknya kepada jalan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT?

Jangan sampai ada perjuangan yang sia-sia, tidak berguna dan
hampa. Yakni jangan ada masyarakat yang menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran, dalam perkara-perkara kecil
di dalam kehidupan mereka berdasarkan pertimbangan dan nilai
yang berbeda-beda, dan diperselisihkan oleh pendapat dan hawa
nafsu mereka.

Oleh sebab itu, pertama-tama harus ada kesepakatan yang
prinsipil terhadap masalah hukum, timbangan, dan kekuasaan,
yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi orang-orang yang
berselisih pendapat dalam pandangan dan hawa nafsu mereka.

Mau tidak mau, harus ada amar ma’ruf kepada perkara yang
paling besar. Yaitu pengakuan terhadap kekuasaan Allah dan
jalan hidup yang ditentukan oleh-Nya; serta pencegahan
terhadap kemungkaran yang paling besar, yaitu penolakan
terhadap ketuhanan Allah, penolakan terhadap syari’ah-Nya bagi
kehidupan ini… Setelah kita membangun landasan itu, kita
dapat mendirikan bangunan di atasnya. Oleh sebab itu, kekuatan
yang terpecah-pecah sekarang ini harus disatukan semuanya
menuju kepada satu arah untuk membangun landasan yang di
atasnya dapat didirikan bangunan.

Kadang-kadang manusia terlalu memuji dan kagum kepada orang-
orang yang baik, yang berjuang dengan gigih untuk melaksanakan
amar ma’ruf dan nahi mungkar, dalam hal-hal yang kecil,
padahal dasar yang menjadi landasan hidup masyarakat Muslim,
dan tegakaya amar ma’ruf dan nahi mungkar itu terlupakan.

Lalu, apakah ada artinya engkau melarang manusia untuk memakan
makanan yang haram, misalnya, pada suatu masyarakat yang
ekonominya didasarkan kepada riba, sehingga seluruh harta
kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi haram, dan
tidak ada lagi seseorang yang dapat memakan makanan yang
halal… Semua itu karena aturan sosial dan ekonomi mereka
tidak didasarkan kepada syari’ah Allah, atau karena mereka
menolak ketuhanan Allah dengan menolak penerapan syari’ah-Nya
dalam kehidupan ini.

Apa artinya kalau kita melarang manusia melakukan kefasikan,
misalnya, dalam suatu masyarakat yang undang-undangnya tidak
menganggap perzinaan sebagai suatu kejahatan –kecuali dalam
kondisi yang sangat terpaksa– dan tidak mengenakan sanksi
terhadap pelakunya yang sesuai dengan syari’ah Allah SWT. Jika
demikian, hal itu dianggap menolak ketuhanan Allah dengan
menolak penerapan syari’ah-Nya dalam kehidupan ini.

Apa artinya kalau kita melarang manusia untuk bermabuk-mabukan
dalam masyarakat yang undang-undangnya membolehkan peredaran
minuman keras, dan tidak memberikan sanksi kepada orang-orang
yang jelas mabuk di tengah-tengah keramaian manusia. Ia tidak
diberi sanksi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah,
karena masyarakat itu tidak mengakui prinsip kekuasaan Allah.

Apa artinya, kita melarang manusia menghina agama dalam suatu
masyarakat yang tidak mengakui kekuasaan Allah, dan tidak
menyembah-Nya. Masyarakat yang menyembah pelbagai tuhan selain
Dia. Masyarakat yang menurunkan syari’ah dan
undang-undang-Nya, tatanan dan aturan-Nya, nilai dan
timbangan-Nya. Orang yang menghina dan yang dihina sama-sama
bukan berada dalam agama Allah SWT, karena mereka sama-sama
menurunkan syari’ah dan undang-undang-Nya, dan tidak
meletakkannya sebagai satu nilai dan timbangan.

Apa artinya menyuruh orang melaksanakan kebaikan dan mencegah
kemungkaran dalam kondisi seperti ini? Dan apa gunanya
melarang orang untuk melakukan dosa-dosa besar dan juga
dosa-dosa kecil lainnya, kalau dosa yang sangat besar tidak
ada larangan… yakni kufur terhadap Allah dan menolak jalan
hidup yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Sesungguhnya persoalannya lebih besar, lebih luas, dan lebih
dalam daripada apa yang telah diperjuangkan oleh orang-orang
yang “berhati baik” itu. Sesungguhnya dalam masa seperti ini
kita tidak perlu memberikan perhatian kepada perkara-perkara
furu’iyah bagaimanapun besarnya masalah itu, walaupun sampai
melanggar batas yang ditetapkan oleh Allah, karena
sesungguhnya batas yang telah ditetapkan oleh-Nya pada
prinsipnya adalah mengakui kekuasaan-Nya tanpa kekuasaan yang
lainnya. Apabila pengakuan itu belum ada dan belum menjadi
kenyataan, di mana syari’ah Allah SWT diakui sebagai
satu-satunya sumber dalam penetapan hukum, dan Allah SWT
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan… Segala usaha yang
diupayakan dalam perkara cabang dianggap sia-sia, dan semua
usaha dalam masalah furu’iyah tidak ada gunanya… Kemungkaran
yang paling besar lebih utama untuk diberantas dan ditangani
daripada segala bentuk kemungkaran yang lain. 3

USTADZ MUHAMMAD AL-MUBARAK

Di antara tokoh pembaru Islam yang tergerak hatinya untuk
menerapkan fiqh prioritas ialah seorang tokoh pemikir Islam
dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz Muhammad Mubarak.
Ia berbicara tentang satu sisi yang sangat penting dalam
perkara ini dengan mendalam dalam bukunya, al-Fikr al-Islami
al-Hadits fi Muwajahah al-Afkar al-Gharbiyyah, yang pada
hakikatnya merupakan kumpulan kajian dan kuliah yang ia tulis
atau ia sampaikan pada berbagai kesempatan.

Dalam bukunya itu, dia banyak berbicara tentang “Aturan
Peringkat Kerja dalam Islam” yang saya kutipkan dalam
baris-baris berikut ini mengingat pentingnya masalah ini:

“Ciri khas kesatuan aturan Islam harus disertai dengan
kesatuan lain yang tidak kalah pentingnya dengan hal
itu; yaitu kesatuan aturan peringkat kerja yang
mengatur berbagai sektor kehidupan manusia dan
nilainya. Harta kekayaan, kenikmatan, pekerjaan, akal
pikiran, pengetahuan, kekuatan, ibadah, kekerabatan,
kemanusiaan adalah nilai-nilai kehidupan. Islam
menempatkan perkara-perkara di atas pada tempat
tertentu dalam tatanan hidup dan tingkatan tertentu
yang tidak boleh dilanggar oleh manusia sehingga tidak
ada nilai yang terabaikan.

Sesungguhnya salah satu bentuk penyimpangan dalam Islam
ialah menggantikan tingkat kedudukan nilai-nilai
tersebut dengan cara menambah atau menguranginya kepada
nilai yang lain; sebagaimana yang terjadi pada
akhir-akhir ini. Sesungguhnya penggantian nilai-nilai
yang berlaku di dalam tatanan kehidupan ini dapat
berupa perubahan peringkat amalan dengan acak, tanpa
aturan, yang memberikan petunjuk yang samar kepada
manusia, atau dengan cara bersenda gurau. Tindakan
seperti itu adalah seperti mencampurkan berbagai obat,
tanpa aturan, sehingga menyebabkan kerusakan, dan
perubahan sifat dan karakteristik obat tersebut. Dan
bahkan obat itu dapat berubah menjadi suatu bahan yang
berbahaya dan mengandung racun.

Kalau kita berasumsi membagi kehidupan ini menjadi
seratus bagian, maka kita akan menemukan bahwa
kekhususan ibadah dalam Islam itu terbagi menjadi
beberapa bagian. Begitu pula halnya dengan perkara yang
berkaitan dengan infaq, pencarian rizki, jihad, dan
menikmati berbagai kelezatan hidup lainnya. Semuanya
memiliki bagian tersendiri. Kalau masing-masing bagian
itu kita ubah, lalu kita kurangi bagian jihad, dan kita
tambah bagian ibadah, kemudian kita kurangi juga
mencari rizki dan memberikan infaq, lalu kita menangkan
penikmatan hidup sehingga kita menjadi orang yang
lalai, maka berarti kita telah keluar dari aturan yang
hakiki, keluar dari aturan Islam, dan kita juga
dianggap menghilangkan keseimbangan nilai-nilai
kehidupan yang telah ditetapkan olehnya (Islam).

Maka orang Muslim yang “sempurna” pada beberapa kurun
waktu terakhir ini adalah orang yang melakukan ibadah
dengan maknanya yang sempit dan tidak memiliki
kesibukan lainnya, yang senantiasa melakukan i’tikaf di
masjid/mushalla dan senantiasa berdzikir dan membaca
wirid. Sesungguhnya gambaran seperti ini sama sekali
tidak sama dengan gambaran yang dahulu pernah dilakukan
oleh Rasulullal saw yang mulia serta para sahabatnya
yang mengikutinya. Walaupun ibadah merupakan bagian
yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka, tetapi
jihad tetap memenuhi hati mereka. Jihad di jalan Allah
untuk membebaskan masyarakat dari berbagai aqidah yang
rusak dan menanamkan aqidah yang benar dalam hati
mereka, serta membebaskan kezaliman orang-orang yang
zalim, dan kediktatoran para diktator untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang yang lemah dan
menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Begitu
pula kehidupan orang Muslim yang menyibukkan diri dalam
perjuangan dan perbaikan masyarakat akan dianggap
kurang apabila tidak disertai dengan ibadah sehingga
hubungannya dengan Allah SWT tidak begitu erat.

Para ahli fiqh kita terdahulu telah menyadari pemikiran
ini, pemikiran mengenai adanya perbedaan tingkat dan
persentase dalam amal perbuatan manusia, sehingga
mereka meminta kepada kaum Muslimin untuk melakukan
berbagai fardu dengan tertib sesuai dengan tingkat
permintaan yang diajukan kepada mereka. Begitu pula
pandangan mereka kepada perkara-perkara yang dilarang
dan diharamkan. Mereka menempatkan tingkat pelarangan
dan pengharamannya secara berperingkat-peringkat. Oleh
sebab itu, tidaklah sama dosa yang dilakukan oleh
seorang pejuang yang meninggalkan barisan perangnya
sehingga dia membuka celah bagi masuknya musuh Islam
dengan dosa meminum khamar dan memakan daging babi,
padahal kedua perkara tersebut adalah haram. Banyak
sekali ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw
mengisyaratkan kepada pemikiran tersebut. Misalnya
firman Allah SWT:

“Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus
masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah…”
(at-Taubah: 19)

Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah saw ketika
beliau ditanya tentang suatu amalan yang menyamai
tingkat jihad di jalan Allah. Orang yang bertanya itu
mengulangi dua atau tiga kali Kemudian Rasulullah saw
bersabda, “Mereka tidak dapat menyamainya.” Lalu beliau
saw bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang berjihad di
jalan Allah, adalah seperti orang yang berpuasa, lalu
melakukan qiyamul lail kemudian dia membaca ayat-ayat
Allah dan tidak menghentikan puasa dan shalatnya
sehingga orang yang berjuang itu kembali lagi ke
rumahnya.” 4

Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa ada seorang sahabat yang
bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, manusia
manakah yang paling utama?” Beliau saw menjawab, “Orang mu’min
yang berjihad dengan jiwa dan harta bendanya di jalan Allah.”
Kemudian beliau saw ditanya lagi, “Lalu siapa setelah itu?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang berada di suatu bangsa yang
bertaqwa kepada Allah, kemudian dia meninggalkan manusia
karena takut kejahatan mereka.” 5

Ahmad meriwayatkan sabda Rasulullah saw dengan sanad yang
shahih,

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan
dia mengetahuinya, maka dosanya lebih berat daripada
tiga puluh enam kali berzina.” 6

Maka riba adalah jenis kezaliman dalam harta benda yang
dosanya lebih berat daripada melakukan zina.

Kalau kita berusaha mengumpulkan hadits-hadits seperti ini,
yang memberikan nilai suatu amalan dibandingkan dengan amalan
lainnya, maka kita akan menemukan berbagai peringkat amalan
itu secara matematis antara pelbagai nilai hidup. Sebagaimana
sabda Nabi saw, “Satu hari yang dijalani oleh seorang Imam
yang adil adalah lebih utama daripada ibadah selama enam puluh
tahun.” 7

“Kelebihan seorang yang berilmu atas orang yang
beribadah adalah seperti kelebihan diriku atas orang
yang paling hina di antara kamu.” 8

“Seorang ahli fiqh adalah lebih berat bagi setan
daripada seribu orang ahli ibadah.” 9

Dari uraian tersebut jelaslah kesalahan orang yang menumpukan
perhatiannya kepada satu perkara yang kadang-kadang dituntut
atau dilarang dalam Islam, tetapi dia tidak menghadapi perkara
yang jauh lebih penting daripada itu. Negara-negara Islam pada
zaman ini ditimpa dua bahaya yang sangat besar; yaitu
imperialisme dan atheisme; atau penguasaan atas bumi mereka
sekaligus aqidah mereka. Harta kekayaan material musnah dan
kehidupan spiritual mereka terampas. Apabila negara itu telah
dapat dikuasai sepenuhnya dan aqidah mereka dapat dihancurkan,
maka mereka tidak mungkin lagi mendirikan syiar-syiar agama
dan melaksanakan segala perintahnya, serta menerapkan
hukum-hukumnya. Oleh sebab itu, para penjajah mengalihkan
pikiran kaum Muslimin kepada persoalan-persoalan yang lain
sehingga mereka memusatkan perhatian dan perjuangan mereka ke
sana sehingga melalaikan persoalan yang lebih penting dan
mendasar; dan dengan cara seperti itu mereka dapat menguasai
negara-negara Islam secara langsung atau tidak langsung,
menghancurkan aqidah Islam melalui berbagai cara, menyebarkan
pemikiran dan mazhab-mazhab atheisme dengan berbagai
bentuknya. Apakah dalam keadaan seperti ini kita masih perlu
membagi-bagi kaum Muslimin kepada kelompok yang berpendapat
bahwa shalat tarawih delapan rakaat dan kelompok yang
berpendapat dua puluh rakaat? Dan membagi mereka kepada
kelompok yang berpendapat boleh mengulang-ulang shalat jamaah
dan yang tidak mengatakannya? Ataukah kita masih perlu
melayani pertarungan antara sunnah dan bid’ah yang sama sekali
tidak menyentuh masalah aqidah?

Saya tidak berkata bahwa perkara-perkara seperti itu tidak
perlu dibahas lagi secara ilmiah, tetapi saya hanya
mengatakan, “Kita hanya perlu mengambil perhatian kalau
seandainya masalah tersebut telah menyentuh aqidah kita. Dan
kita lebih baik memberikan perhatian kepada cara yang benar
dalam melakukan ibadah. Karena sesungguhnya ibadah itu
tawqifi, tidak ditambah dan juga tidak dikurangi dari apa yang
telah diperintahkan oleh Nabi saw. Walaupun demikian, jika
terjadi suatu fitnah atau pergaduhan antara dua kelompok kaum
Muslimin maka kita wajib meninggalkannya karena ada
kemungkaran yang lebih besar yang memecah belah kaum Muslimin
menjadi beberapa bagian dalam keadaan tertentu dan dapat
melemahkan kekuatan mereka. Sepatutnya kita tidak perlu
menyibukkan diri kecuali kepada persoalan yang mendasar dan
besar.” 10

SYAIKH AL-GHAZALI

Di antara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh
prioritas melalui pandangan, pemikiran, dan penjelasan yang
diberikannya ialah seorang juru da’wah besar, Syaikh Muhammad
al-Ghazali. Ia telah memberikan perhatian yang sangat besar
kepada masalah ini dalam buku-buku yang ditulisnya, terutama
buku-buku yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia
lakukan dan ia beri perhatian karena pengalamannya dalam
melakukan da’wah di tengah-tengah manusia yang mengaku sebagai
orang Islam dan juru da’wah Islam, yang menjungkirbalikkan
pohon Islam. Mereka menjadikan pohon dan akarnya yang kuat
sebagai ranting-ranting yang lemah, dan menjadikan
ranting-rantingnya sebagai dedaunan yang menghembuskan angin,
dan menjadikan daun-daunnya sebagai akar, yang bertumpu
kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.

Pada kesempatan ini saya menganggap cukup mengutip sebuah teks
dari Syaikh al-Ghazali yang dapat menggambarkan sejauh mana
pemahaman dan kesadarannya terhadap fiqh prioritas, dan
kesadarannya untuk menciptakan pandangan yang menyeluruh dan
seimbang dalam Islam, sehingga setiap segala sesuatu
mendapatkan haknya dan ditempatkan pada tempatnya. Dalam
sebuah kajiannya tentang sebab-sebab kehancuran peradaban
Islam dan kemunduran ummat Islam setelah ia menjadi ummat yang
maju, dengan Judul al-Tashwir al-Juz’iy li al-Islam, dalam
bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Tastaqbil
Qarnaha al-Khamis ‘Asyar.

Dia mengatakan, “Iman itu ada enam puluh macam lebih atau
tujuh puluh cabang lebih. Apakah bagian-bagian ini tersusun
bertindih-tindih antara sebagian dengan sebagian yang lain
dengan begitu saja? Ataukah dia seperti barang dagangan yang
dibeli oleh seseorang dari pasar kemudian diletakkan di dalam
tasnya begitu saja sehingga memudahkan baginya untuk
membawanya? Tidak! Sesungguhnya bagian-bagian itu
bertingkat-tingkat sesuai dengan kepentingan dan nilainya. Dan
setiap bagian mempunyai tempat yang tersendiri dan tidak dapat
diganggu oleh yang lainnya.

Bagan yang menggambarkan bagian-bagian iman ini serupa dengan
bagan organisasi pada suatu kementerian atau satu organisasi.
Di sana ada direktur, ada wakil-wakil direktur, pekerja, dan
ada pula pengawasnya. Di antara bagian-bagian itu ada garis
hubungan secara timbal-balik, garis perintah dan garis
produktif.

Sesungguhnya bagian-bagian iman yang jumlahnya ada puluhan itu
seperti sebuah mobil yang memiliki bentuk, kerangka, stir,
bahan bakar, rem, lampu, kursi, dan lain-lain. Setiap bagian
darinya memiliki tugas dan nilai tersendiri.

Sejak peradaban Islam mulai muncul di permukaan, telah ada
rukun iman dan perbuatan-perbuatan sunnah, perkara-perkara
pokok dan cabang amalan hati dan amalan badaniah.

Satu hal yang terjadi pada sebagian manusia ialah bahwa satu
bagian tertentu dari Islam itu menjalar memakan kepada
bagian-bagian yang lain sebagaimana luka di badan yang
menjalar dan menjangkiti bagian yang lain, sehingga tubuh itu
hancur semuanya.

Kelompok Khawarij merupakan kelompok yang pertama kali terkena
penyakit pemikiran ini, dan tidak memahami Islam sehingga
mereka memerangi Ali atau melepaskan diri dari peristiwa
tahkim, dan memerangi Umar bin Abd al-Aziz atau melaknat para
nenek moyangnya, para penguasa bani Umayyah.

Penguasaan pemikiran tertentu atas manusia, yang memenuhi
kekosong dirinya, akan menguasai dirinya dan tidak memberikan
tempat kepada pemikiran yang lain.

Saya pernah berjumpa dengan seorang lelaki yang dikenal
sebagai orang yang baik. Dia bertanya kepada saya: “Apakah
engkau percaya dengan karamah Syaikh Fulan?” Saya menjawabnya:
“Saya belum pernah membaca riwayat hidup Syaikh itu.” Dia
berkata, “Saya akan membawakan kepadamu buku yan menjelaskan
riwayat hidupnya.” Tidak lama kemudian saya berjumpa
dengannya, dan dia bertanya kepada saya, “Bagaimana pendapat
kamu?” Saya menjawab, “Saya lupa membaca buku itu.” Dia
bertanya, “Bagaimana?” Dengan tegas saya katakan: “Perkara itu
tidak penting… Apabila saya meninggal dunia dan saya tidak
tahu sahabatmu itu, maka sesungguhnya Allah tidak akan
bertanya kepadaku tentang dirinya dan karamahnya.” Kemudian
dia pergi dariku karena aku dianggap tidak mempercayai
berbagai karamah itu.

Saya berjumpa dengan orang lain yang berkata: “Bagaimanakah
pendapatmu tentang musik?” Saya jawab: “Kalau musik itu
patriotik, membangkitkan semangat dan pengorbanan, tidak
apa-apa. Kalau musik sentimental yang membangkitkan semangat
atau kasih sayang tidak apa-apa… Tetapi kalau musik itu
membangkitkan kesia-siaan dan pornografi, maka tidak boleh.”
Orang itu kemudian pergi menjauh dari diri saya dan menganggap
bahwa saya menghalalkan untuk mendengarkan hal-hal yang haram.

Kedua orang itu beriman kepada sesuatu yang menjadi salah satu
bagian agama yang menyeluruh. Dia menghukumi orang lain dan
keadaan orang lain berdasarkan ukuran dirinya.

‘Luka’ seperti inilah yang menjangkiti sebagian sisi tertentu
dari agama ini. Itulah sebabnya mengapa ada sejumlah fuqaha
yang memiliki pemikiran cemerlang, tetapi mereka tidak
mempunyai ‘hati ahli ibadah’; atau orang sufi yang memiliki
‘perasaan halus’ tetapi tidak memiliki ‘akal pikiran’ seperti
para fuqaha.

Itulah sebabnya mengapa ada sejumlah ahli hadits yang hanya
menghalalkan nash-nashnya, tetapi mereka tidak meletakkan pada
proporsinya dan tidak pandai mengambil suatu kesimpulan hukum.

Itulah pula sebabnya mengapa ada orang-orang yang yang
memiliki pemikiran cemerlang, tetapi mereka tidak memiliki,
sandaran nash, untuk itu.

Itulah pula sebabnya mengapa ada sejumlah hakim yang bekerja
–sesuai dengan syarat-syarat tertentu– sebagai pengayom
rakyat, yang sangat rendah kadar ketaqwaan mereka, dan
orang-orang awamnya khusyu’ dalam melakukan ibadah individual,
tetapi apabila sampai kepada suatu persoalan yang melibatkan
pemberian nasehat, perintah, larangan, dan pertentangan yang
menyebabkan kemarahan para penguasa itu, maka mereka berdiam
diri saja.

Itulah pula sebabnya mengapa ada orang-orang yang tekun
beribadah, yang tidak pernah lalai sedetikpun dalam melakukan
ketaatan dalam beribadah itu, tetapi mereka tidak menyadari
setitik pun hikmah dari ibadah tersebut dan tidak
memanfaatkannya sebagai bagian dari perilakunya. Padahal,
shalat dapat menimbulkan keteraturan dan kebersihan, tetapi
mereka tidak teratur dan kotor.

Padahal haji merupakan pengembaraan yang memenuhi hati dan
tubuh manusia dengan rasa tenteram dan kasih sayang, tetapi
mereka di tengah-tengah melakukan ibadah haji dan sesudahnya
bersikap garang dan buruk.

Sesungguhnya da’wah Islam mengambil duri dari orang-orang yang
sedikit pemahamannya, tetapi banyak semangatnya, yang
berangkat dengan akal pemikirannya yang tumpul kemudian mereka
tidak melakukan pekerjaan yang baik, dan hanya melakukan
perbuatan buruk.

Apakah peranan yang dapat dimainkan oleh Islam pada diri para
pemuda yang sangat kaku terhadap masyarakat Eropa dan Amerika
itu? Mereka mengenakan jubah putih, duduk di atas tanah,
memakan makanan dengan tangan mereka kemudian membersihkan
ujung jemari mereka dengan mulut. Menurut pandangan mereka,
begitulah petunjuk dari Rasulullah saw yang mulia tentang cara
makan, dan sunnah yang harus mereka lakukan sebagai upaya
penentangan Islam terhadap orang-orang Barat.

Apakah itu tata cara makan yang diajarkan oleh Islam?

Ketika orang-orang Eropa melihat seorang lelaki yang hendak
minum, mengambil gelas, kemudian dia duduk –sebelum itu dia
berdiri– untuk mengikuti tata cara minum, apakah pemandangan
yang aneh ini yang menarik hati mereka untuk masuk Islam?

Mengapa perkara-perkara yang remeh ini ditampilkan padahal
perkara ini malah dapat menghalangi jalan Allah, dan
menampilkan Islam dengan cara seperti itu akan lebih
menggambarkan Islam berwajah garang?

Sesungguhnya da’wah kepada Islam tidak menerima
perkara-perkara khilafiyah walaupun hal itu dianggap sangat
penting oleh sebagian juru da’wah. Makan di atas tanah, atau
makan dengan tangan merupakan masalah biasa dan bukan masalah
ibadah. Itulah yang mereka tampilkan sebagai wajah Islam.
Kemudian meletakkan tutup wajah di muka perempuan adalah
perkara yang masih diterima dan ditolak, dan jangan dijadikan
hal itu sebagai penampilan agama Allah kepada para hamba-Nya.

Renungkanlah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang
metoda da’wah Islam sebagaimana yang ditetapkan oleh Tuhan
yang Maha Agung; yang diriwayatkan dari Yusuf bin Mahik, yang
berkata, “Sesungguhnya aku berada di sisi ‘ Aisyah ketika ada
orang Irak yang datang dan bertanya kepadanya: ‘Kain kafan
manakah yang lebih baik?’

‘Aisyah menjawab, ‘Celaka, apa yang engkau anggap penting di
situ.’

Dia berkata lagi, ‘Wahai Umm al-Mu’minin, perlihatkan kepadaku
Mushafmu.’

‘Aisyah berkata, ‘Kenapa?’

Dia berkata: ‘Barangkali aku dapat menyusun al-Qur’an seperti
itu, karena al-Qur’an yang aku baca tidak tersusun.’

‘Aisyah berkata, ‘Apa yang engkau anggap penting di situ. Dan
apa yang engkau baca sebelumnya? Sesungguhnya yang pertama
kali diturunkan ialah golongan surat-surat Mufashshal yang
menyebutkan sorga dan neraka kemudian ketika orang-orang sudah
mulai cenderung kepada Islam diturunkanlah perkara halal dan
haram. Seandainya yang pertama kali diturunkan ialah:
‘janganlah kamu meminum khamar,’ niscaya mereka berkata, ‘Kami
tidak akan meninggalkan khamar.’ Seandainya yang pertama kali
turun adalah ayat tentang larangan untuk berzina, niscaya
mereka akan berkata, ‘Kam tidak akan meninggalkan zina
selama-lamanya.’ Sungguh ayat-ayat ini turun di Makkah kepada
Muhammad dan ketika itu aku masih kecil dan suka bermain.

“Sebenarnya hari kiamat itulah adalah hari yang
dijanjikan kepada mereka; dan kiamat itu lebih dahsyat
dan lebih pahit” (al-Qamar: 46)

Surat al-Baqarah dan surat an-Nisa’ tidak turun kepadanya
kecuali saya bersama dengannya. Setelah itu ‘Aisyah berkata,
‘Kemudian saya keluarkan mushaf untuknya dan saya diktekan
surat itu kepadanya.” 11

Akan tetapi, masih banyak orang yang menyibukkan diri dalam
dunia da’wah, tetapi mereka tidak memiliki fiqh dan
pengetahuan untuk itu, sehingga mereka menampilkan wajah agama
ini dengan buruk dan tidak baik. Di antara mereka ada yang
mencampuradukkan kekurangan itu dan kekurangan orang lain.

Kekurangan dalam da’wah terus berkembang sehingga saya melihat
para pengajar yang semu, yang menggambarkan Islam dari empat
sudut saja, yaitu orang lelaki harus berjenggot, wanita harus
menutup wajahnya, penolakan untuk menggambar walaupun di atas
kertas, larangan terhadap lagu dan musik walaupun pada
munasabah (acara) yang sangat mulia dengan rangkaian kata-kata
yang sangat baik.

Saya tidak ingin memutuskan hukum tertentu dalam perkara ini,
tetapi saya hanya ingin agar tindakan itu tidak melampaui
batas, dan jangan sampai orang-orang yang melakukannya
menyangka bahwa itulah puncak pengabdian dalam agama, padahal
perkara itu sebenarnya adalah perkara kecil dan terbatas,
dimana peperangan untuk membelanya justru akan mematikan Islam
dan memporakporandakan ummatnya.

Demikianlah kajian tentang fiqh prioritas yang saya ungkapkan
secara mendasar, komprehensif, dan terperinci sebagaimana yang
dianjurkan oleh para tokoh pembaruan Islam. Saya berharap
bahwa pemikiran ini menjadi salah satu sumbangan dalam
perkembangan pemikiran Islam di zaman modern ini. Segala puji
bagi Allah di awal dan di akhir kajian ini.

“Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir” (al-Baqarah: 286).

Catatan kaki:

1 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz Imam Syaikh
Muhammad Abduh, juzu’ 1, h. 11-12, cetakan al-Manar, Kairo,
1931.

2 Mudzakkirat ad-Da’wah wa al-Da’iyah, hal. 58-60.

3 Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, juz 6, h. 949-951, cet. Dar
as-Syuruq.

4 Muttafaq ‘Alaih.

5 Muttafaq Alaih

6 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

7 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

8 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

9 Diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata, “Ini
adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari
al-Walid bin Muslim. Ibn al-Jawzi berkata dalam al-‘Ilal,
“Hadits ini tidak shahih.” Al, Iraqi berkata, “Isnad hadits
ini lemah.” Al-Albani berkata, “Hadits ini dha’if.” Al-Jami’
al-Shaghir, “Mawdhu'”

10 al-Fikr al-Islami al-Hadits, 65-69, Penerbit Dar al-Fikr.

11 Dikutip dari buku al-Da’wah al-Islamiyyah, h. 68-71

&

PRIORITAS PERJUANGAN PEMIKIRAN

3 Jan

Yusuf Qardhawy, Fiqih Prioritas

Yang juga patut kita beri perhatian dalam usaha perbaikan masyarakat ialah mendahulukan segala hal yang berkaitan dengan pelurusan pemikiran, cara pandang, dan cara bertindak mereka. Tidak diragukan lagi bahwa kita memerlukan suatu landasan yang sangat kuat untuk melakukan perbaikan di dalam masyarakat. Karena sangat tidak masuk akal, bahwa amal perbuatan dapat meniti jalan yang benar, kalau pemikirannya tidak lurus. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang penyair:

“Bilakah bayangan akan lurus kalau tongkatnya sendiri bengkok?”

Oleh sebab itu, barangsiapa yang pandangannya tidak baik terhadap suatu perkara, maka perilakunya yang berkaitan dengan perkara itu juga tidak akan baik. Karena sesungguhnya perilaku itu sangat dipengaruhi oleh pandangannya, baik ataupun buruk.

Atas dasar itu, pertarungan pemikiran –yakni pelurusan pemikiran yang menyimpang, dan konsep-konsep yang tidak benar– harus diberi prioritas dan didahulukan atas perkara yang lain. Hal ini digolongkan sebagai ‘perang besar’ –dengan al-Qur’an sebagai senjatanya– sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat al-Furqan; dan juga tergolong sebagai perang dengan lidah dengan memberikan penjelasan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw, “Perangilah orang-orang musyrik dengan harta benda, jiwa, dan lidah kalian. ”

PERJUANGAN PEMIKIRAN DI DALAM PELATARAN ISLAM

Ada dua jenis medan pertarungan dalam pemikiran:

Pertama, pertarungan di luar Islam, melawan atheisme, orang-orang Nasrani, dan orang-orang orientalis yang selalu memerangi Islam, dari segi aqidah, syariah, warisan pemikiran, dan budaya. Mereka senantiasa memerangi kebangkitan apapun yang didasarkan pada Islam.

Kedua, pertarungan di dalam pelataran Islam, untuk membetulkan arah perbuatan yang patut dilakukan dalam Islam. Mengarahkan perjalanan hidupnya, dan meluruskan gerakannya, sehingga perbuatan tersebut dapat meniti jalan yang benar untuk menuju tujuan yang benar pula. Kami akan mempersingkat perbincangan tentang hal itu, karena sesungguhnya perbaikan secara internal merupakan dasar dan landasan yang harus kita beri prioritas.

Tidak diragukan lagi bahwa kita sekarang ini menghadapi berbagai arus pemikiran yang tidak benar:

a. Arus Pemikiran Khurafat:

1. Khurafat dalam aqidah;
2. bid’ah dalam ibadah;
3. Pemikiran yang stagnan;
4. Taqlid dalam fiqh;
5. Perilaku yang negatif; dan
6. Permainan yang tidak benar dalam politik.

b. Arus Pemikiran Literal

Yakni arus pemikiran yang literal. Arus pemikiran ini, walaupun keras dalam perkara agama dan pembelaannya, memiliki sifat-sifat yang menjadi ciri khas penganutnya; seperti:

1. Kontroversialisme dalam Aqidah;
2. Formalisme dalam ibadah;
3. Zahiriyah dalam fiqh;
4. Parsialisme dalam memberikan perhatian;
5. Kering dalam ruh;
6. Kasar dalam melakukan da’wah; dan
7. Menyempitkan diri dalam perselisihan pendapat.

c. Arus Pemikiran yang Reaktif dan Keras

Ada lagi aliran yang menolak masyarakat dengan semua institusinya. Walaupun pengikut aliran ini memiliki kelebihan dalam hal semangat dan keikhlasannya, tetapi ada sifat-sifat lain yang dimiliki olehnya; antara lain:

1. Keras dan kaku dalam menjalankan ajaran agama;
2. Membanggakan diri sehingga merasa superior dan melecehkan masyarakat;
3. Memiliki wawasan yang sempit dalam memahami agama, kenyataan hidup, suMah kauniyah, dan sunnah kemasyarakatan;
4. Tergesa-gesa mengambil tindakan sebelum waktunya;
5. Cepat mengkafirkan dan tidak hati-hati;
6. Mempergunakan kekuatan untuk mewujudkan cita-citanya; dan
7. Berprasangka buruk kepada selain kelompoknya.

d. Arus pemikiran yang moderat

Akan tetapi, ada pula arus pemikiran yang moderat, yang didasarkan pada keseimbangan dalam memahami agama, kehidupan, dan perjuangan untuk memenangkan agama. Arus pemikiran ini juga memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari arus pemikiran lainnya; antara lain penekanannya terhadap prinsip-prinsip berikut ini:

1. Memahami ajaran agama dengan pemahaman yang menyeluruh, seimbang, dan mendalam;
2. Memahami kehidupan nyata tanpa meremehkan atau takut kepadanya. Yaitu kehidupan nyata kaum Muslimin dan kehidupan nyata musuh-musuh mereka;
3. Memahami sunnatullah dan hukum-hukum-Nya yang tetap dan tidak berubah-ubah, khususnya hukum yang berkaitan dengan masyarakat manusia;
4. Memahami tujuan syariah, dengan amalan lahiriah yang tidak stagnan;
5. Memahami masalah prioritas, yang berkaitan dengan fiqh pertimbangan;
6. Memahami perselisihan pendapat dan tata caranya, serta menghadapinya dengan sifat yang diajarkan oleh Islam (bekerja sama dalam masalah yang disepakati dan memberikan toleransi kepada orang yang berselisih pendapat dengannya);
7. Mempertimbangkan antara perkara-perkara syariah yang tetap dengan perubahan zaman;
8. Menggabungkan antara pendapat salaf dan khalaf (antara pendapat yang orsinil dan pendapat yang modern);
9. Percaya kepada adanya perubahan pemikiran, kejiwaan dan perilaku yang didasarkan kepada perubahan budaya manusia;
10.Mengemukakan Islam sebagai proyek peradaban yang sempurna, untuk membangkitkan umat dan menyelamatkan manusia dari filsafat materialisme modern;
11.Mengambil jalan yang paling mudah dalam memberikan fatwa dan memberikan kabar gembira dalam melakukan da’wah;
12.Memunculkan nilai-nilai sosial dan politik dalam Islam, seperti: kebebasan, kehormatan, musyawarah, keadilan sosial, dan menghormati hak asasi manusia;
13.Mau berdialog dengan orang lain dengan cara yang baik, yaitu dengan para penentang dari orang-orang bukan Islam, atau orang Islam yang inferior secara pemikiran dan keruhanian; dan
14.Mempergunakan jihad sebagai jalan untuk mempertahankan kehormatan kaum Muslimin dan negeri mereka.

Itulah arus pemikiran yang harus kita percayai dan kita anjurkan, serta kita anggap sebagai ungkapan hakiki tentang Islam, sebagaimana diturunkan oleh Allah SWT dalam Kitab-Nya, dan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw dalam sunnah dan sirah-nya; serta seperti apa yang dipahami dan diterapkan oleh para sahabat dan khulafa’ rasyidin serta yang dipahami oleh para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik; sehingga mereka menjadi abad yang terbaik dalam perjalanan hidup umat ini.

TUGAS PENTõNG ARUS PEMIKIRAN MODERAT

Tidak diragukan lagi bahwa arus pemikiran di atas menjadi tumpuan harapan bagi hari esok dan masa depan umat. Kita harus berusaha keras untuk menganjurkan orang berpikiran seperti itu; mendidik para pendukungnya; memberikan jawaban yang memuaskan terhadap musuhnya; melakukan dialog dengan para penentangnya.

Di antara perkara yang kita ketahui bersama sekarang ini dengan bukti-bukti yang cukup memadai ialah bahwasanya kekuatan-kekuatan yang menentang –baik yang ada di dalam dan di luar– lebih takut terhadap arus pemikiran seperti ini daripada yang lainnya. Bahkan kekuatan itu cenderung lebih membenci dan memusuhinya daripada arus-arus pemikiran lainnya.

Dahulu musuh-musuh Islam mewaspadai arus pemikiran yang keras dan kaku, namun kini telah muncul ancaman baru, sehingga mereka berkata, “Hati-hati terhadap Islam yang moderat. Ia lebih berbahaya daripada yang lainnya. Arus-arus pemikiran yang lain umurnya pendek dan tidak dapat hidup lama. Adapun arus pemikiran Islam yang moderat ini terus-menerus berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Kemoderatan arus ini –menurut dugaan mereka– tidak dapat dianggap aman. Ia mulai bergerak dengan moderat tetapi kemudian berkembang menjadi ekstrem, karena sesungguhnya ekstremitas tetap tersimpan dalam Islam, sebagaimana yang mereka katakan.

Dari sini musuh-musuh Islam mengkhawatirkan bahaya Islam yang terus merangkak menuju mereka, yang mereka namakan sebagai ‘bahaya hijau,’ sekaligus mereka jadikan sebagai musuh baru, sebagai ganti ‘bahaya merah’ yang telah lenyap bersamaan dengan lenyapnya komunisme dari daratan Eropa. Akan tetapi musuh-musuh Islam yang betul-betul sadar, percaya bahwa bahaya Islam hanyalah khayalan belaka dan bukan kenyataan.

Arus pemikiran yang moderat ini mesti menghadapi orang-orang seperti itu dan menyingkapkan kepalsuan mereka, serta mau melakukan dialog dengan orang-orang yang moderat dari kalangan mereka.

Di samping itu, arus pemikiran ini selayaknya juga menghadapi anak-anak mereka sendiri dan para mahasiswa yang ada di dalam negeri Islam, dan juga orang-orang yang mengaku sebagai orang Islam tetapi mereka memusuhi proyek peradaban Islam dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Mereka berdiri pada barisan musuh umat dan agamanya. Mereka adalah orang yang disifatkan oleh Rasulullah saw yang mulia dalam hadits Hudzaifah yang disepakati ke-shahih-annya bahwa mereka adalah:

“Para penganjur kepada pintu-pintu neraka Jahanam. Barangsiapa menyambut ajakan mereka, mereka akan dilemparkan ke dalamnya.” Kemudian para sahabat berkata, “Tunjukkan sifat-sifat mereka kepada kami wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Mereka berkulit seperti kita, dan berbicara dengan bahasa kita.” (Muttafaq ‘Alaih dari Hudzaifah, al-Lu’lu’ wal-Marjan.)

Oleh sebab itu, adalah penting bagi kita untuk memerangi orang- orang yang merusak pemikiran umat, menyesatkan mereka dari hakikat dan identitas yang asli (fitrah Islam). Mereka meletakkan racun berbisa dalam madu yang manis, dan dalam lemak yang lezat; berupa bahan bacaan (majalah, tabloid dsb.), atau audio-visual (berupa musik dan tontonan-tontonan yang menjijikkan). Media-media seperti itu menghancurkan moral anak-anak kita, sebagaimana penyakit AIDS yang begitu dahsyat membunuh manusia.

Sesungguhnya saudara-saudara kita yang ter-Barat-kan (Westernized) membawa pemikiran para penjajah, setelah para penjajah itu sendiri mencabut tongkatnya dan meninggalkan tanah air kita. Merekalah yang membawa kembali konsep-konsep Orientalis dan Salibis, yang kebanyakan tidak bekerja dengan tulus untuk kemajuan peradaban kita pada hari ini. Kalaupun ada yang betul-betul tulus hatinya, mereka tidak mempunyai perangkat yang baik untuk memahami peradaban kita, sumber-sumber dan warisan yang diberikan olehnya. Perangkat yang paling penting adalah bahasa dan cita rasa terhadap bahasa tersebut.

Pertarungan kita yang hakiki adalah pertarungan kita melawan “para ekstrimis” yang sebenarnya. Mereka terdiri atas para pengikut sekularisme dan sisa-sisa Marxisme. Pada hari ini mereka menggunakan baju liberalisme Barat, yang mempertajam senjata pena mereka untuk memerangi Kebangkitan Islam, dan kebangkitan barunya; mengacaukan da’wahnya; menghalangi para dainya; dan menciptakan istilah-istilah baru untuk menjauhkan umat dari agamanya (Islam); seperti: Islam politik, atau fundamentalisme. Mereka jugamenciptakan perpecahan dan pertempuran berdarah antara rakyat dan pemerintahan Islam yang sedang berkuasa, untuk melemahkan kekuatan negara. Pertempuran itu tidak pernah berhenti, karena bila satu pertempuran selesai, maka muncul pertempuran lainnya dengan bentuk yang baru dan lebih dahsyat.

Sesungguhnya usaha untuk mengalihkan pertarungan dari jalur itu, dan upaya untuk menciptakan musuh-musuh yang berasal dari kalangan aktivis Islam itu sendiri, yang berselisih pendapat dengan sebagian orang dalam masalah-masalah cabang di dalam fiqh, ataupun cabang di dalam aqidah, ataupun dalam memberikan prioritas amalan, atau dalam masalah-masalah kecil lainnya, merupakan satu kelalaian besar akan hakikat musuh yang mengintai dari semua arah.

Musuh-musuh ini menginginkan agar umat Islam saling membunuh antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Mereka hanya ingin menonton pertarungan itu dari jauh, kemudian di akhir pertarungan mereka memberikan pukulan yang mematikan terhadap semua kelompok yang sedang bertarung itu. Kalau ada di antara para da’i Muslim yang melakukan hal itu, maka ini adalah musibah yang sangat besar. Karena sesungguhnya ketidaktahuan terhadap masalah seperti itu dianggap sangat membahayakan. Dan siapa yang melakukannya padahal dia mengetahui masalah yang sebenarnya, sungguh merupakan musibah yang lebih besar, yang sudah barang tentu bahayanya juga jauh lebih besar. Sebab, ia dapat dianggap sebagai satu bentuk pengkhianatan terhadap Islam, umat, dan kebangkitan.

Salah seorang penyair berkata, “Kalau kamu tidak mengetahui bahwa kamu sedang diadu domba maka itu adalah suatu musibah. Tetapi bila kamu mengetahuinya, maka musibahnya lebih dahsyat. ”

Saya yakin bahwa arus pemikiran moderat ini mempunyai tugas besar yang harus diusahakan dengan serius. Tugas itu mesti dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan untuk menyatukan barisan kaum Muslimin –barisan orang-orang yang bekerja untuk Islam– di atas landasan yang tidak mengandung pertentangan, atau di atas dasar rukun aqidah yang enam: iman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdirnya. Selain didasarkan kepada rukun amalan yang lima: dua kalimah syahadat, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Rumah Allah. Serta didasarkan kepada dasar-dasar sifat dan perilaku yang baik, serta menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan yang diharamkan, khususnya dosa-dosa besar.

Sebenarnya kita dapat melakukan pertemuan yang didasarkan kepada landasan-landasan utama tersebut, dan tidak mengapa bagi kita untuk berselisih pendapat dalam masalah-masalah juz’iyyat dan kecil. Kita boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah, berbeda pendirian, dan berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan hukum melalui ijtihad.

Perbedaan seperti itu diperlukan dalam menjalankan agama, dan sudah menjadi tabiat manusia biasa, serta sifat alam semesta dan kehidupan ini, sebagaimana yang telah saya paparkan secara terperinci dalam buku saya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-lkhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Madzmum.

Saya telah menyebutkan pada berbagai buku yang saya tulis bahwasanya boleh saja jumlah jamaah para aktivis Islam menjadi banyak, asal jumlah yang banyak itu mempunyai spesialisasi masing-masing, dan bukan jumlah yang banyak tetapi saling bertentangan dan bermusuhan satu sama lain. Karena sesungguhnya pertentangan dan permusuhan akan menyebabkan kehancuran.

Kita harus berusaha dengan gigih untuk menyatukan para aktivis yang berkhidmat untuk Islam, menyokong da’wahnya, menegakkan syariahnya, dan menyatukan umatnya. Usaha gigih dalam bentuk pemikiran dan tindakan praktis untuk mendekatkan jurang pemisah, menanamkan kepercayaan, menanamkan suasana toleran dan prasangka baik, menjernihkan jiwa dari perasaan ujub, tertipu, dan menuduh serta menghina orang lain.

“Seseorang telah dianggap berbuat jahatr apabila dia telah melakuan penghinaan terhadap saudaranya yang Muslim.” (7 Diriwayatkan okh Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Menurut pandangan saya, pekerjaan tersebut tergolong prioritas yang sangat penting dan harus didahulukan di lapangan Islam pada hari ini. Jika para aktivis Islam tidak menyadari adanya perpecahan yang sedang mereka jalani, maka seluruh umat Islam akan dilindas. Mereka akan dimangsa oleh taring dan kuku tajam musuh Islam dan umat Islam. Arus pemikiran akan dimatikan demi arus pemikiran yang lain. Satu kelompok akan dibunuh menyusul kelompok yang lain sampai semuanya dapat dimusnahkan.

Apabila kita pada hari ini memiliki kekuatan untuk menyatukan berbagai kekuatan umat kita yang besar, dari satu benua ke benua yang lain, maka hendaknya kita berjerih payah –paling tidak– untuk menyatukan kekuatan besar yang terpisah-pisah itu agar dapat menyongsong Kebangkitan Islam. Kebangkitan yang dapat diajak untuk berdialog dan saling memahami, yaitu dengan menghilangkan ganjalan-ganjalan dan ektremisme, mendekatkan konsep-konsep berlainan, mengatur langkah, menghadapi berbagai masalah perjalanan hidup umat dalam satu barisan, bekerja sama, dan memberikan toleransi pada perbedaan pendapat.

Usaha saling memahami, bekerja sama dan menyatukan pandangan merupakan satu kewajiban agama, dan keperluan hidup yang sangat mendesak. Jika kita tidak dapat disatukan oleh satu pemikiran, maka hendaknya kita dapat disatukan oleh pelbagai bencana yang mengancam kita; sebagaimana dikatakan oleh Syauqi,

“Kalau jenis diri kita ini wahai Ibn Talh memisahkan kita, maka sesungguhnya pelbagai musibah yang mengancam seharusnya dapat menyatukan barisan kita.”

PENERAPAN HUKUM SYARIAH ATAUKAH PEMBINAAN DAN INFORMASI

Terjadi suatu perdebatan di sini bahwasanya kebanyakan orang-orang yang bekerja di lapangan Islam –khususnya orang-orang yang sangat ambisius- memberikan perhatian yang sangat besar kepada persoalan yang mereka sebut “penerapan syariah Islam”. Mereka hanya memberikan perhatian kepada satu segi saja, yaitu penerapan hukum Islam, terutama hukum hudud, qishas, dan ta’zir.

Sesungguhnya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pekerjaan tersebut merupakan salah satu bagian dari Islam, yang tidak boleh kita lalaikan, atau kita berpaling darinya. (Lihat buku kami Malamih al-Mujtama’ al-Muslim al-ladzi Nansyuduh, bab “at-Tasyri’ wal-Qanun.”)

Akan tetapi kalau kita sangat berlebihan memberikan perhatian kepadanya dan membicarakannya, serta menganggapnya sebagai masalah yang utama dan puncak tujuan kita, maka sesungguhnya hal ini akan membawa kesan yang buruk terhadap pemikiran Islam, dan amal Islami, atau kesan yang tidak baik dalam pemikiran masyarakat awam. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang dapat membahayakan syariah dan da’wahnya. Saya selalu mengatakan, “Sesungguhnya hukum-hukum saja tidak akan dapat menciptakan masyarakat, dan tidak dapat membangun umat. Sesungguhnya yang dapat membentuk masyarakat dan membangun umat adalah pendidikan dan pengajaran, kemudian hukum-hukum tersebut memberikan perlindungan dan perisai kepadanya.”

Oleh sebab itu, kita mesti memberikan perhatian terhadap persoalan yang hakiki ini dari segi pemikiran dan tindakan. Kita harus membuat rencana pengembangan dan rancangan yang sesuai untuk mempersiapkan “Pendidikan Islam yang Sempurna dan Modern” yang terus mengikuti perkembangan anak-anak Muslim sejak dari buaian, hingga mereka keluar dari universitas, dengan mempergunakan metode yang sesuai, sistem yang menarik, sarana audio visual, teknnologi canggih, yang dapat mewujudkan pentingnya agama bagi kehidupan, dan menegaskan kesempurnaan Islam, keadilan hukum-hukumnya, kemukjizatan kitab sucinya, keagungan Rasul, keseimbangan peradaban, dan kekekalan umatnya.

Pendidikan itu tidak harus dilakukan dalam pelajaran agama atau pendidikan Islam saja. Tetapi dimasukkan dalam setiap mata pelajaran, bahan-bahan kajian ilmiah dan sastra. Pendidikan itu dimasukkan dalam mata pelajaran dan ilmu-ilmu sosial, bahasa dan sastra, dan juga dimasukkan dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Suasana di sekolah, tempat belajar harus diusahakan yang Islami agar dapat membantu menumbuhkan generasi Muslim yang percaya kepada Allah, bangga terhadap agama dan umatnya. Generasi yang tumbuh dengan sempurna dengan ruh, akal, tubuh dan perasaannya, ikhlas kepada tuhannya, berkhidmat kepada negaranya, toleran terhadap orang lain, dan melakukan kebaikan untuk seluruh umat manusia.

Kita harus menghadapi pemikiran fiIsafat, metodologi materialisme dan komunisme, yang kosong dari ruh agama, dan bertolak belakang dengan filsafat Islam tentang pandangannya terhadap Allah dan manusia, serta tentang hidup dan alam semesta, dan tentang agama serta dunia.

Di samping itu kita juga mesti membuat penelitian dan pengembangan dalam bidang lainnya, misalnya dalam bidang informasi dan kebudayaan, yang memiliki pengaruh dan kesan yang luar biasa terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Perangkat informasi yang membentuk pemikiran, kecenderungan, perasaan, trend pemikiran dan jiwa manusia.

Dalam keadaan apapun, bidang inforrnasi ini tidak boleh kita berikan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Islam, sebagai rujukan yang paling tinggi dalam kehidupan kaum Muslimin dan jamaah Muslim, dalam bergaul, berpikir dan berperilaku.

Ada dua titik tolak yang saling menyempurnakan dalam tindakan yang dapat kita lakukan.

Pertama, mempersiapkan ahli informasi Muslim dalam semua bidang kehidupan, pada semua peringkatnya, yang mampu menampilkan bahwa Islam mempunyai berbagai kemampuan yang besar untuk setiap zaman.

Termasuk dalam kelompok ini adalah para seniman dari berbagai bidang; seniman dalam bidang nasyid, drama, dan lakon.

Atas dasar itu, kita memerlukan orang yang dapat menulis skenario, sutradara (pengarah), artis, juru kamera, dan juga eksekutifnya.

Perkara ini tidaklah mudah, karena berkaitan dengan hukum-hukum agama dan non-agama. Kita harus membuat target tertentu, prasarana yang jelas, pentahapan yang jelas, agar tidak mengalami kekurangan, dan pembinaan manusia dapat dilakukan dengan sempurna. (9 Lihat buku kami Malamih al-Mujtama’ al-Muslim al-ladzi Nansyuduh, bab “al-Lahw wa al-Funun.”)

Kedua, kita berusaha mempengaruhi para ahli informasi dan seniman di masa kini. Karena sesungguhnya di antara mereka ada orang-orang Islam yang salat dan mau berpuasa, tetapi mereka –karena latar belakang pendidikan dan budayanya—menyangka bahwa apa yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan Islam, dan tidak mendatangkan kemurkaan Allah. Bahkan sebagian dari mereka ada yang telah mengetahuinya, akan tetapi mereka terpengaruh dengan gaya hidup orang di sekitarnya dan kebiasaan hidupnya sehari-hari.

Kita harus berusaha dengan keras untuk meraih mereka, sehingga mereka memahami ajaran agama mereka dan bertobat kepada Thhan, dan akhirnya mereka bergabung dengan kafilah dai islam dan sifat-sifat utamanya.

Pada tahun-tahun terakhir ini saya telah menyaksikan beberapa orang seniman dan artis yang bertobat, dan para bintang film wanita. Akan tetapi kebanyakan mereka telah menjauhkan diri dari seni dan para seniman, untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka lari membawa agamanya.

Sebetulnya, ada tindakan yang lebih baik yang dapat mereka lakukan. Ialah tetap berada dalam bidang sulit itu, dan mempergunakan perkataan Umar bin Khattab setelah dia masuk Islam sebagai pedoman mereka:

“Demi Allah, tidak ada suatu tempat yang dahulu saya pergunakan untuk menyebarkan kejahiliyahan kecuali tempat itu harus sayapergunakan juga untuk menyebarkan Islam.”

Tindakan seperti ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan melakukan kerja sama berbagai pihak, dan menyingkirkan kerikil-berikil tajam di jalanan.

&

MENGAPA PEMBINAAN LEBIH DIBERI PRIORITAS?

3 Jan

Yusuf Qardhawy, Fiqih Prioritas

Mengapa pembinaan lebih diberi prioritas daripada peperangan? Dalam memberikan jawaban bagi pertanyaan di atas dapat kami jelaskan beberapa hal berikut ini:

Pertama, sesungguhnya peperangan dalam Islam bukan sembarang perang. Ia adalah peperangan dengan niat dan tujuan yang sangat khusus. Ia adalah peperangan dalam membela agama Allah SWT. Nabi saw pernah ditanya tentang seorang lelaki yang berperang karena perasaan fanatik terhadap kaumnya, dan seorang yang berperang agar dia dikatakan sebagai pemberani, serta orang yang berperang untuk memperoleh barang pampasan, manakah di antara mereka yang termasuk berperang di jalan Allah? Nabi saw menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah, maka dialah yang berada di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh Jama’ah [Ahmad dan penyusun al-Kutub al-Sittah], dari Abu Musa, Shahih Jami’ as-Shaghir [6417])

Sikap melepaskan diri dari berbagai dorongan duniawi tidak dapat muncul dengan tiba-tiba, tetapi harus melalui pembinaan yang cukup panjang, sehingga dia melakukan ajaran agamanya hanya untuk Allah.

Kedua, sesungguhnya hasil perjuangan yang ingin dinikmati oleh orang-orang Islam yang ikut berperang ialah kemenangan mereka atas kekafiran. Kemenangan dan kekuasaan ini tidak akan diberikan kecuali kepada orang-orang yang beriman dan melaksanakan tugas serta kewajibannya. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan dalam firman Allah:

“…sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar…” (al-Hajj: 40-41)

“Dan Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang salih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku…” (an-Nur: 55)

Sesungguhnya orang-orang yang diberi kedudukan dan kemenangan oleh Allah sebelum pembinaan mereka ‘matang,’ seringkali malah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi daripada melakukan perbaikan.

Ketiga, menurut sunnatullah, kedudukan itu tidak akan dapat terwujudkan, kecuali setelah orang yang berhak memperolehnya lulus dari berbagai ujian Allah terhadap hati mereka, sehingga dapat dibedakan antara orang yang buruk hatinya dan orang yang baik hatinya. Itulah salah satu bentuk pendidikan praktis yang dialami oleh para nabi dan orang-orang yang menganjurkan orang lain untuk berpegang kepada ajaran Allah pada setiap zaman.

Imam Syafi’i pernah ditanya, “Manakah yang lebih utama bagi orang mu’min, mendapatkan ujian atau mendapatkan kedudukan di muka bumi ini?” Dia menjawab, “Apakah ada pemberian kedudukkan sebelum terjadinya ujian? Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memberikan kedudukan kepada Yusuf setelah dia mengalami ujian dari Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya:

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja dia kehendaki di bumi Mesir itu…” (Yusuf: 56)

Sesungguhnya kedudukan yang diperoleh dengan cara yang mudah dan gampang dikhawatirkan akan mudah dihilangkan oleh orang yang mendudukinya dan menyia-nyiakan hasilnya. Berbeda dengan orang-orang yang berjuang dengan jiwa dan harta benda mereka sendiri, sehingga mereka merasakan suka-duka, dan ujian yang sangat berat hingga dia diberi kemenangan oleh Allah SWT.

&

SYUBHAT

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

SETELAH tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka
di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui
hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan
maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan
perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.

Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh
kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka
dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya. Dia tidak
dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir
mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia
melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil
ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian
untuk melakukannya. Apabila ijtihad yang mereka lakukan
ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan
satu pahala.

Dan barangsiapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang
lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling
dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk tetap mengikutinya
selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang
dia ikuti.

Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan
belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap
syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan
kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits
Muttafaq ‘Alaih:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya
yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada
perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya
oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi
syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke
dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang
haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya
di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang
ternaknya memakan rumput di sana.” 63

Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang pandai
dan dapat dipercaya dalam perkara yang masih diragukan,
sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya. Allah SWT
berfirman:

“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu?
Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesat
adalah dengan bertanya.” 64

Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam,
tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat
dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara’ mereka.

Ada orang yang tergolong kawatir yang senantiasa mencari
masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga
mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang meragukan
binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang
sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh
dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka
mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit
ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh
Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu…”
(al-Ma’idah: 101)

Sebagai orang Muslim tidaklah patut bagi kita untuk
mencari-cari hal yang lebih sulit.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
‘Aisyah sesungguhnya Nabi saw pernah ditanya, “Sesungguhnya
ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging,
dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah
ketika menyembelihnya ataukah tidak.” Maka Nabi saw bersabda,
“Sebutlah nama Allah dan makanlah.”

Imam Ibn Hazm mengambil hadits ini sebagai suatu kaidah:
“Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak
akan menanyakannya.”

Diriwayatkan bahwasanya Umar r.a. pernah melintasi sebuah
jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah
seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka
kawannya berkata, “Hai pemilik saluran air, airmu ini suci
atau najis?” Maka Umar berkata, “Hai pemilik saluran air,
jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari
masalah.”

Ada sebuah hadits shahih dari Nabi saw bahwa ada seseorang
yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia,
merasakan sesuatu, ketika shalat atau ketika berada di masjid.
Maka Nabi saw menjawab, “Jangan kembali, sampai dia ‘mendengar
suara’ atau merasa buang angin. ”

Dari hadits ini para ulama menetapkan suatu kaidah: “Keyakinan
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya
orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan
menyingkirkan keraguannya.” Inilah cara yang paling pasti
untuk menyingkirkan keraguan.

Pada suatu hari Rasulullah saw pernah menyambut undangan
seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya
apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah
tidak. Nabi saw dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang
diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang
kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin
berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian,
kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa
mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.65

Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena
berpegang kepada hadits shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau
pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi,
dan meminum khamar. Beliau menjawab “Jika kamu tidak menemukan
yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah
dengan bejana itu.” 66

Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada
antara halal dan haram; yakni yang betul-betul halal dan
betul-betul haram. Dia berkata, “Barangsiapa yang menjauhinya,
berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang
bercampur antara yang halal dan haram.”

Ibn Rajab berkata, “Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara
bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya
bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram.
Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata,
‘Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan
sesuatu yang tidak diketahui.’ Sedangkan ulama-ulama yang lain
masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu
hukumnya makruh ataukah haram?

Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan
melakukan muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya.
Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang
hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: “Tidak apa-apa,
jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih
banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi saw dan
para sahabatnya pernah melakukan muamalah dengan orang-orang
musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-hal
yang haram secara menyeluruh.”

Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini
dikatakan syubhat. Dan orang-orang wara’ (yang lebih
berhati-hati dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan)
meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini. Sufyan
berkata, “Hal itu tidak mengherankan saya, yang lebih
mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya.”

Az-Zuhri dan Makhul berkata, “Tidak apa-apa bagi kita untuk
memakan sesuatu yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram,
jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa di
dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram.” Ini sesuai
dengan apa yang ditegaskan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal.

Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang
berasal dari Ibn Mas’ud dan Salman, dan lain-lain yang
mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah; serta
berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin
yang membolehkan pengambilan sesuatu yang berasal dari riba
dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.

Imam Ahmad berkata tentang harta benda yang masih diragukan
kehalalan dan keharamannya, “Jika harta benda itu jumlahnya
sangat banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan,
dan kita boleh mengadakan transaksi dengan harta yang masih
tersisa. Tetapi jika harta bendanya sedikit kita harus
menjauhi barang-barang itu semuanya. Dengan alasan bahwa
sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur
dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita lebih
selamat dari benda yang haram tersebut, dan berbeda dengan
barang yang jumlahnya banyak. Di antara sahabat kami ada yang
lebih berhati-hati dalam menjaga suasana wara’nya sehingga
mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman. Kelompok
ini membolehkan transaksi dengan harta yang sedikit maupun
banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur
di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab
Hanafi dan lain-lain. Pendapat inilah yang diikuti oleh
orang-orang wara’, seperti Bisyr al-Hafi.

Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk
memakan makanan dari orang yang diketahui bahwa di dalam
hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu
barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana
pendapat Makhul dan al-Zuhri yang kami sebutkan di muka.
Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari Fudhail bin
‘Iyadh.

Sehubungan dengan hal ini ada beberapa riwayat yang berasal
dari para ulama salaf. Ada sebuah riwayat yang berasal dari
Ibn Mas’ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai
tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan. Dia
merasa tidak bersalah dengan adanya barang kotor yang dia
pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas’ud
menjawab, “Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu
untukmu dan dosanya ditanggung olehnya.” 67

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang itu berkata, “Aku
tidak tahu sesuatupun dari miliknya selain barang yang kotor
dan haram.” Ibn Mas’ud menjawab: “Penuhi undangannya.” Imam
Ahmad men-shahih-kan riwayat ini dari Ibn Mas’ud, akan tetapi
dia menolak isi riwayat darinya dengan berkata, “Dosa itu
melingkari (hawazz) hati.” 68

Bagaimanapun, perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah
itu halal atau haram, karena banyak orang yang tidak
mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw
kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia
halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan
sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada perkara-perkara syubhat
yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak
orang yang tidak mengetahuinya.

Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi
dua:

Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil
tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat.

Kedua, orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang
mengetahui hukumnya. Yakni mengetahui apakah masalah ini
dihalalkan atau diharamkan. Ini menunjukkan bahwa untuk
masalah yang masih diperselisihkan halal haramnya adalah sama
di sisi Allah, sedangkan orang yang lainnya tidak
mengetahuinya. Artinya, orang lain itu tidak dapat mencapai
hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT walaupun
dia berkeyakinan bahwa pendapatnya mengenai masalah syubhat
itu sudah benar. Orang seperti ini tetap diberi satu pahala
oleh Allah SWT karena ijtihad yang dilakukannya, dan dia
diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.

“Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat
maka berarti telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan barangsiapa yang telah terjerumus
dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam
sesuatu yang haram”

Hadits ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi dua
bagian; yakni bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya.

Adapun orang yang mengetahui hukumnya, dan mengikuti petunjuk
ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia termasuk pada
kelompok ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya
sudah jelas. Inilah kelompok terbaik dalam tiga kelompok yang
menghadapi masalah syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah
dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia, dan
dia mengambil tindakan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.

Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum Allah terbagi
menjadi dua:

Pertama, orang yang menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini
dianggap telah menyelamatkan (istabra’a) agama dan
kehormatannya. Makna istabra’a di sini ialah mencari
keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari
kekurangan dan keburukan.

Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan
diri adalah terpuji, seperti halnya mencari kehormatan untuk
agamanya. Oleh sebab itu, ada ungkapan: “Sesungguhnya sesuatu
yang dipergunakan oleh seseorang untuk menjaga kehormatan
dirinya termasuk sedekah.”

Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu
bahwa perkara itu syubhat baginya. Sedangkan orang yang
melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang syubhat, tetapi
menurut pandangan dirinya sendiri bukan syubhat, karena dia
tahu bahwa perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di
sisi Allah SWT. Akan tetapi, kalau dia khawatir bahwa
orang-orang akan mengecam dirinya karena melakukan hal itu,
maka meninggalkan perkara itu dianggap sebagai penyelamatan
terhadap kehormatan dirinya. Dan ini lebih baik. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Nabi saw kepada orang yang sedang
melihatnya berdiri bersama Shafiyah; yakni Shafiyah binti
Huyai.69

Anas keluar untuk shalat Jumat, kemudian dia melihat
orang-orang telah shalat dan kembali, kemudian dia merasa
malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak tampak oleh
orang banyak, kemudian dia berkata, “Barangsiapa yang tidak
malu kepada orang, berarti dia tidak malu kepada Allah.”

Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa
perkara itu halal, dengan ijtihad yang telah diketahui oleh
orang banyak, atau dengan taklid yang telah dilakukan oleh
orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum
perkara yang dilakukannya adalah mengikut hukum ketika dia
melakukannya. Akan tetapi kalau ijtihadnya lemah, dan
taklidnya tidak begitu terkenal di kalangan orang banyak,
kemudian dia melakukan hal itu hanya sekadar mengikuti hawa
nafsu, maka perkara yang dia lakukan dihukumi sebagai orang
yang melakukan syubhat.

Dan orang yang melakukan perkara syubhat padahal dia
mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti
ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa dia
termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu yang haram.
Pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:

Pertama, syubhat yang dilakukan tersebut –dengan keyakinan
bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat– merupakan penyebab
baginya untuk melakukan sesuatu yang haram –yang diyakini
bahwa perkara itu adalah haram.

Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadits ini disebutkan,

“Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih
diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak
diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang
jelas berdosa.” 70

Kedua, sesungguhnya orang yang memberanikan diri untuk
melakukan sesuatu yang masih syubhat baginya, dan dia tidak
mengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka tidak
dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh
karena itu dia dianggap telah melakukan sesuatu yang haram
walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.

Sesungguhnya Allah SWT telah menjaga hal-hal yang diharamkan
dan melarang hamba-Nya uneuk mendekatinya. Larangan itu Dia
namakan dengan batas-batas haram. Oleh karena itu Dia
menganggap bahwa orang yang menggembalakan binatang ternaknya
di sekitar batas-batas itu dan dekat dengannya, dianggap telah
melanggar dan memasuki kawasan yang diharamkan oleh-Nya.
Begitu pula orang yang melanggar batas-batas halal, kemudian
dia terjerumus ke dalam syubhat, maka dia dianggap sebagai
orang yang mendekatkan diri kepada sesuatu yang haram. Dan
sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud mencampur adukkan haram
yang murni, agar orang terjerumus ke dalamnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kita harus menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan-Nya dan meletakkan batas antara manusia dan sesuatu
yang haram itu

Tirmidzi dan Ibn Majah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin
Yazid, dari Nabi saw bersabda,

“Seorang hamba tidak akan dapat mencapai tingkat
orang-orang yang bertaqwa sampai dia meninggalkan
sesuatu yang tidak apa-apa baginya karena khawatir akan
apa-apa baginya.”71

Abu Darda, berkata, “Kesempurnaan taqwa itu ialah bila seorang
hamba sudah bertaqwa kepada Allah SWT; sehingga dia menjauhi
dosa yang paling kecil sekalipun, dan meninggalkan sebagian
perkara yang dia anggap halal karena khawatir perkara tersebut
haram. Dia meletakkan batas antara dirinya dan sesuatu yang
haram itu.”

Al-Hasan berkata, “Ketaqwaan akan tetap berada pada diri orang
yang bertaqwa kalau mereka banyak meninggalkan hal-hal yang
halal karena khawatir ada sesuatu yang haram di dalamnya.”

Ats-Tsauri berkata, “Mereka dinamakan orang yang bertaqwa
karena mereka menjauhi apa yang tidak dijauhi oleh orang
banyak.” 72

Diriwayatkan dari Ibn Umar berkata, “Sesungguhnya aku suka
meletakkan batas penghalang antara diriku dan sesuatu yang
haram dan yang halal, dan aku tidak akan membakarnya.”

Maimun bin Mahran berkata, “Seseorang tidak dianggap telah
melakukan sesuatu yang halal, sampai dia membuat batas antara
dirinya dan sesuatu yang haram, dengan sesuatu yang halal.” 73

Sufyan bin Uyainah, 74 berkata, “Seseorang tidak dianggap
telah mencapai hakikat iman sampai dia menciptakan batas
antara yang halal dan yang haram dengan sesuatu yang halal,
dan dia meninggalkan dosa serta yang serupa dengannya.” 75

Itulah seharusnya tindakan yang harus dilakukan oleh setiap
orang sesuai dengan tingkatan keilmuannya. Ada orang yang
tidak keberatan sama sekali untuk melakukan syubhat, karena
dia telah tenggelam di dalam hal-hal yang haram, bahkan dalam
dosa-dosa besar. Na’udzu billah. Di samping itu, hal-hal yang
syubhat harus tetap dalam posisi syar’inya dan tidak
ditingkatkan kepada kategori haram yang jelas dan pasti.
Karena sesungguhnya di antara perkara yang sangat berbahaya
ialah meleburkan batas-batas antara berbagai tingkatan hukum
agama, yang telah diletakkan oleh Pembuat Syariah agama ini,
di samping perbedaan hasil dan pengaruh yang akan
ditimbulkannya.

Catatan kaki:

63 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Nu’man bin Basyir (52),
(2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599)

64 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami’
as-Shaghir, 4362)

65 Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam,
1:199.

66 Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim
(1390) dari Abu Tsa’labah al-Khasyani.

67 Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf,
4675, 4676, dengan isnad yang shahih.

68 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, 8747-8750,
kemudian disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’, 1: 176,
dan berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani seluruhnya dengan
sanad yang rijal-nya shahih.” Al-Hawazz sebagaimana yang
dijelaskan dalam buku an-Nihayah, adalah perkara-perkara yang
melingkupi hati atau yang paling banyak mempengaruhinya. Yakni
sesuatu yang terbetik di dalam hati, dan mendorong orang unruk
melakukan maksiat karena dia sudah kehilangan ketenangan
dirinya. Syamar meriwayatkan hadits ini dengan kata hawazz,
yang artinya melintas dan menguasainya.

69 Diriwayatkan oleh Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud
(2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits Shafiyyah.

70 Diriwayatkan oleh Bukhari saja (2051).

71 Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2451); Ibn Majah (4215).
Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan gharib, padahal dalam
rangkaian sanad hadits ini ada Abdullah bin Yazid al-Dimasyqi
yang dianggap dha’if.”

72 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 7:384, dari
ucapan Sufyan bin Uyainah.

73 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 4:84.

74 al-Hilyah, 7:288

75 Ibn Rajab. Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, 1:209,200, cet.
Al-Risalah yang di-tahqiq (diseleksi) oleh Syu’aib al-Arnauth,
yang beberapa takhrij haditsnya telah kita gunakan.

&

BID’AH DALAM AQIDAH

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

SEBAGAI tambahan penjelasan bagi kemaksiatan, dalam syariah agama ini kita mengenal apa yang disebut dengan bid’ah. Yaitu sesuatu yang diada-adakan oleh manusia dalam urusan agama.
Baik bid’ah yang berkaitan dengan aqidah yang dinamakan dengan bid’ah ucapan, maupun bid’ah yang berkaitan dengan amalan. Bid’ah-bid’ah ini merupakan salah satu jenis perkara yang
diharamkan tetapi berbeda dengan kemaksiatan yang biasa. Sesungguhnya pelaku bid’ah ini mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bid’ah-bid’ah tersebut, dan berkeyakinan bahwa dengan bid’ahnya itu dia telah melakukan ketaatan terhadap Allah dan beribadah kepada-Nya. Dan inilah yang paling membahayakan.

Bid’ah itu sendiri bisa berupa keyakinan yang bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw dan ajaran yang terdapat di dalam Kitab Allah. Dan bid’ah untuk jenis ini kita sebut dengan bid’ah dalam aqidah (al-bid’ah al-i’tiqadiyyah) atau bid’ah dalam ucapan (al-bid’ah al-qawliyyah); yang sumbernya ialah mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan. Perkara ini termasuk salah satu perkara haram yang sangat besar. Bahkan Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa perkara ini merupakan perkara haram yang paling besar. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.'” (al-A’raf: 33)

Termasuk dalam hal ini ialah perbuatan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah, tanpa dasar yang jelas; sebagaimana difirmankan oleh-Nya:

“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’
Katakanlah: ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?'” (Yunus: 59)

Selain itu, juga perbuatan yang dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah tetapi tidak disyariahkan dalam ajaran agama-Nya, seperti mengadakan upacara-upacara keagamaan yang tidak
diajarkan oleh agama.

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariahkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?…” (as-Syura: 21)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Jauhilah, hal-hal baru dalam urusan agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah kesesatan.”59

“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami, dan ia tidak ada dalam ajaran kami, maka sesuatu itu tidak diterima.”60

Kedua macam bid’ah di atas –sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Qayyim– adalah saling bergantung satu dengan lainnya. Jarang sekali bid’ah yang terpisah satu dengan lainnya; sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: “bid’ah dalam perkataan berkawin dengan bid’ah amalan; kemudian kedua
“pengantin” itu sibuk merayakan perkawinannya. Lalu keduanya melahirkan anak-anak zina yang hidup di negeri Islam; kemudian mereka bersama-sama kaum Muslimin menuju kepada Allah SWT.”

Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, “Hakikat “dikawinkannya” kekafiran dengan bid’ah adalah lahirnya kerugian di dunia dan akhirat.”

Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan, karena hal itu bertentangan dengan ajaran agama. Di samping itu, orang yang melakukan bid’ah tidak merasa perlu bertobat, dan kembali kepada jalan yang benar. Bahkan dia malah mengajak orang lain untuk menjalankan bid’ah itu bersama-sama. Seluruh isi bid’ah itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. bid’ah menolak semua ajaran agama yang dibenarkan. Ia memberi dukungan kepada orang yang memusuhi
agama, dan memusuhi orang yang mendukung agama ini. Ia menetapkan apa yang di-nafi-kan oleh agama, dan me-nafi-kan apa yang telah ditetapkan oleh agama.6,

Seluruh bid’ah tidak berada pada satu tingkatan. Ada bid’ah yang berat dan ada pula bid’ah yang ringan. Ada bid’ah yang disepakati dan ada pula bid’ah yang dipertentangkan.

Bid’ah yang berat ialah bid’ah yang dapat menjadikan pelakunya sampai kepada tingkat kekufuran. Semoga Allah SWT memberikan perlindungan kepada kita dari perbuatan tersebut. Misalnya,
kelompok-kelompok yang keluar dari pokok-pokok ajaran agama ini, dan memisahkan diri dari umat; seperti: Nashiriyah, Druz, Syi’ah Ekstrim dan Ismailiyah yang beraliran kebatinan, dan lain-lain; sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ghazali: “Secara lahiriah mereka menolak, dan secara batiniah mereka kufur.” Syaikh Islam Ibn Taimiyah berkata, “Mereka lebih kufur daripada orang Yahudi dan Nasrani, dan oleh sebab itu perempuan mereka tidak boleh dinikahi, sembelihan mereka tidak
boleh dimakan, padahal sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan dan wanita mereka boleh dinikahi.”

Bid’ah berat yang tidak sampai membuat pelakunya termasuk ke dalam kekufuran tetapi hanya sampai kepada kefasiqan. Yaitu kefasiqan dalam bidang aqidah dan bukan kefasiqan dalam perilaku mereka. Pelaku bid’ah ini kadang-kadang shalatnya paling lama dibandingkan dengan orang lain. Mereka paling banyak berpuasa dan membaca al-Qur’an; seperti yang dilakukan oleh orang-orang Khawarij. “Salah seorang di antara kalian akan meremehkan shalatnya jika dibandingkan dengan shalat
mereka (orang-orang Khawarij), meremehkan puasanya jika dibandingkan dengan puasa mereka, dan meremehkan tilawahnya jika dibandingian dengan tilawah mereka.” Letak kerusakan mereka bukan pada perasaan mereka, tetapi pada akal pikiran mereka yang enggan dan membatu. Sehingga mereka mau membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang yang menyembah
berhala.

Kelompok yang serupa dengan Khawarij ini sangat banyak, seperti Rafidhah, Qadariyah, Mu’tazilah dan mayoritas kelompok Jahmiyah, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Qayyim.62

Ada bid’ah yang termasuk kategori bid’ah yang ringan, yang sebabnya berasal dari kesalahan dalam melakukan ijtihad, atau salah dalam mempergunakan dalil, bid’ah seperti ini sama dengan dosa-dosa kecil dalam kemaksiatan.

Di samping itu, ada pula bid’ah yang masih diperselisihkan. Artinya, sesuatu kaum yang menetapkan bahwa suatu perkara termasuk bid’ah tetapi kaum Muslimin yang lainnya tidak mengatakannya bid’ah. Contohnya, bertawassul dengan Nabi saw, hamba-hamba Allah yang salih. Perkara ini adalah amalan
furu’iyah dan bukan masalah aqidah dan pokok-pokok agama; sebagaimana dikatakan oleh Imam Hasan al-Banna, yang dikutip Imam Muhammad bin Abd al-Wahab.

Contoh lainnya, ialah disiplin melakukan ibadah. Apakah hal ini termasuk bid’ah atau tidak?

Sesungguhnya, bid’ ah tidak berada pada tingkat yang sama, dan begitu pula orang yang melakukannya. Ada orang yang menganjurkan kepada bid’ah, dan ada pula orang yang hanya
sekadar ikut melakukan bid’ah dan tidak mengajak orang lain untuk melakukannya. Semua kelompok memiliki keterkaitan hukum yang berbeda.

Catatan kaki:

59 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Irbad bin Sariyah. 43, 44; dan Hakim. 1:95; dan Ibn Hibban

60 Munattaq ‘Alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari, 2697; dan diriwayatkan oleh Muslim. 1718.

61 Lihat Madarij al-Salikin, I :222-223.

62 Lihat Madarij al-Salikin. 1: 362

KEMAKSIATAN BESAR YANG DILAKUKAN OLEH HATI MANUSIA

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

DOSA-DOSA besar itu tidak hanya terbatas kepada amalan-amalan lahiriah, sebagaimana anggapan orang banyak, akan tetapi kemaksiatan yang lebih besar dosanya dan lebih berbahaya ialah yang dilakukan oleh hati manusia.

Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan lebih utama daripada amalan yang dilakukan oleh anggota
tubuhnya. Begitu pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh hati manusia juga lebih besar dosanya dan lebih besar
bahayanya.

KEMAKSIATAN ADAM DAN KEMAKSIATAN IBLIS

Al-Qur’an telah menyebutkan kepada kita dua bentuk kemaksiatan yang mula-mula terjadi setelah terciptanya Adam dan setelah dia ditempatkan di surga.

Pertama, kemaksiatan yang dilakukan oleh Adam dan istrinya
ketika dia memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah
SWT. Itulah jenis kemaksiatan yang berkaitan dengan
amalan-amalan anggota tubuh yang lahiriah, yang didorong oleh kelupaan dan kelemahan kehendak manusia; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha: 115)

Iblis terlaknat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yaitu
ketika Adam lupa dan lemah kekuatannya. Iblis menampakkan
kepada Adam dan istrinya bahwa larangan Allah untuk memakan buah pohon itu sebagai sesuatu yang indah. Ia menipu mereka, dan menjanjikan sesuatu kepada mereka sehingga mereka terjatuh ke dalam janji-janji manis Iblis.

Akan tetapi, Adam dan istrinya segera tersadarkan iman yang
bersemayam di dalam hati mereka, dan mereka mengetahui bahwa mereka telah melanggar larangan Allah; kemudian mereka bertobat kepada Tuhannya, dan Allah SWT menerima tobat mereka:

“… dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.
Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 121-122)

Keduanya berkata, “Ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 23)

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,
maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)

Kedua, kemaksiatan yang dilakukan oleh Iblis ketika dia
diperintahkan oleh Allah –bersama para malaikat– untuk
bersujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya, yang diciptakan oleh Allah SWT dengan kedua tangan-Nya, kemudian Dia tiupkan ruh kepadanya.

“Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama malaikat yang sujud itu. Allah berfirman: “Hai lblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” Berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu akan tetap menimpamu hingga hari kiamat kelak.”” (al-Hijr: 30-35)

Itulah keengganan dan kesombongan terhadap perintah Allah
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah:

“… maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (al-Baqarah: 34)

Iblis membantah dan berkata kepada Tuhannya dengan sombongnya:

“… Aku lebih baik daripada dirinya. engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)

Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa kemaksiatan Adam adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang tampak, kemudian dia segera bertobat.
Sedangkan kemaksiatan Iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang tidak tampak; yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang sangat buruk oleh Allah SWT. Kami berlindung kepada Allah dari segala kemaksiatan tersebut.

Tidak heranlah bahwa setelah itu datang peringatan yang sangat keras terhadap kita dari melakukan kemaksiatan dalam hati, yang digolongkan kepada dosa-dosa besar. Kebanyakan
kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan besar yang dilakukan oleh anggota tubuh kita yang tampak; dalam bentuk meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah, atau melakukan segala larangannya.

KESOMBONGAN

Sebagaimana yang kita ketahui dari kisah Iblis bersama dengan Adam, kesombongan dapat mendorong kepada penolakan terhadap perintah Allah SWT. Dia berfirman:

“Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal dari) lumpur hitam yang diberi bentuk.'” (al-Hijr: 33)

“… Aku lebih baik daripada dirinya…” (Shad: 76)

Atas dasar itulah kita diperingatkan untuk tidak melakukan kesombongan dan melakukan penghinaan terhadap orang lain; sehingga Rasulullah saw bersabda,

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan.”27

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, “Kemegahan adalah kain-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan barangsiapa yang merebutnya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya.” 28

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Seseorang akan dianggap telah melakukan keburukan apabila dia menghina saudaranya sesama Muslim.” 29

“Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya (memanjangkan pakaian yang dikenakannya secara berlebihan) maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak.”30

Selain dari hadits-hadits tersebut, al-Qur’an dalam berbagai ayatnya mencela orang yang melakukan kesombongan, dan menjelaskan bahwa kesombongan mencegah banyak orang untuk beriman kepada Rasulullah saw, sekaligus menjerumuskan diri mereka ke neraka Jahanam:

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenarannya)…” (an-Nahl: 14)

“Maka masuklah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (an-Nahl: 29)

“… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong.” (an-Nahl: 23)

“… Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…” (al-A’raf: 146)

KEDENGKIAN DAN KEBENCIAN

Dalam kisah dua orang anak nabi Adam yang dikisahkan oleh al-Qur’an kepada kita, kita dapat menemukan kedengkian (hasad) yang mendorong kepada salah seorang di antara dua bersaudara itu untuk membunuh saudaranya yang berhati baik.

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu.” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa.”
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.”
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?.” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (al-Ma’idah: 27-31)

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berlindung kepada Allah
dari kejahatan orang-orang yang dengki.

“Dan dari kejahatan orang dengki apabila dia sedang dengki.” (al-Falaq: 5)

Al-Qur’an mengatakan bahwa hasad adalah salah satu sifat orang Yahudi.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran, karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia itu.?…” (an-Nisa’: 54)

Allah menjadikan hasad sebagai salah satu penghalang keimanan terhadap ajaran Islam, dan merupakan salah satu sebab penipuan terhadapnya:

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (al-Baqarah: 109)

Rasulullah saw mengatakan bahwa kedengkian dan kebencian merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan sangat mempengaruhi agamanya. Beliau saw bersabda,

“Penyakit umat terdahulu telah merambah kepada kamu semua yaitu: kebencian dan kedengkian. Kebencian itu adalah pencukur. Aku tidak berkata pencukur rambut, tetapi pencukur agama.” 31

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Tidak akan bertemu di dalam diri seorang hamba, keimanan dan kedengkian.”32

Rasulullah saw bersabda, “Manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama dia tidak mempunyai rasa dengki”33

KEKIKIRAN YANG DIPERTURUTKAN

Di antara bentuk kemaksiatan hati yang besar ialah tiga hal yang dianggap merusak kehidupan manusia, yang kita diperingatkan oleh hadits Nabi saw untuk menjauhinya: “Ada tiga hal yang dianggap dapat membinasakan kehidupan manusia, yaitu kekikiran (kebakhilan) yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan ketakjuban orang terhadap dirinya sendiri.”34

Banyak sekali hadits yang mencela sifat kikir ini:

“Kekikiran dan keimanan selamanya tidak akan bertemu
dalam hati seorang hamba.” 35

“Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti.” 36

“Jauhilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu; karena ia membuat mereka menumpahlan darah dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan bagi mereka.” 37

“Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskannya; kekikiran itu menyuruh bakhil, maka mereka bakhil; kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka mereka berbuat keji.” 38

Para ulama berkata, “Kikir adalah sifat bakhil yang disertai dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali’)ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah.
Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang.” Mereka berkata, “Kekikiran selamanya tidak pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin, dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadits Nabi saw menafikan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.

HAWA NAFSU YANG DITURUTI

Di antara hal-hal yang dapat membinasakan (al-muhlikat) manusia sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw ialah hawa nafsu yang dituruti; yang juga diperingatkan oleh al-Qur’an dalam berbagai ayatnya. Allah SWT pernah berkata kepada Dawud:

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu penguasa di maka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

SATU hal yang sangat penting di sini ialah kemampuan untuk
membedakan tingkat kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan.
Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan ini ada
tingkat-tingkatnya.

Akan tetapi, nash-nash agama menyebutkan kekufuran,
kemusyrikan, dan kemunafiqan hanya dalam satu istilah, yakni
kemaksiatan; apalagi untuk dosa-dosa besar. Kita mesti
mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita tidak
mencampur adukkan antara berbagai istilah tersebut, sehingga
kita menuduh sebagian orang telah melakukan kemaksiatan berupa
kekufuran yang paling besar (yakni ke luar dari agama ini)
padahal mereka sebenarnya masih Muslim. Dengan menguasai
penggunaan istilah itu, kita tidak menganggap suatu kelompok
orang sebagai musuh kita, lalu kita menyatakan perang terhadap
mereka, padahal mereka termasuk kelompok kita, dan kita juga
termasuk dalam kelompok mereka; walaupun mereka termasuk orang
yang melakukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk
menangani masalah ini sebaiknya kita mengaca pada peribahasa
Arab: “Hidungmu adalah bagianmu, walaupun hidung itu pesek.”

KEKUFURAN BESAR DAN KEKUFURAN KECIL

Sebagaimana diketahui bahwasanya kekufuran yang paling besar
ialah kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana
yang telah kami sebutkan di muka sehubungan dengan kekufuran
orang-orang atheis; atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad
saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang Yahudi dan
Nasrani. Mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir
terhadap kerasulan Muhammad dalam hukum-hukum dunia Adapun
balasan yang akan diterima oleh mereka, tergantung kepada
sejauh mana rintangan yang pernah mereka lakukan terhadap
Rasulullah saw setelah dijelaskan bahwa beliau adalah
Rasulullah saw; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)

Adapun bagi orang yang belum jelas kebenaran baginya, karena
dakwah Islam belum sampai kepada mereka, atau telah sampai
tetapi tidak begitu jelas sehingga dia tidak dapat memandang
dan mempelajarinya, maka dia termasuk orang-orang yang
dimaafkan. Allah SWT berfirman:

“… dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.” (al-Isra,: 15)

Diyakini bahwasanya kaum Muslimin bertanggung jawab –sampai
kepada batas yang sangat besar– terhadap kesesatan
bangsa-bangsa di muka bumi; kebodohan mereka akan hakikat
Islam; dan keterjerumusan mereka kepada kebathilan musuh
Islam. Kaum Muslimin harus berusaha dengan keras dan
sungguh-sungguh untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan
dakwah mereka kepada setiap bangsa dengan bahasa mereka,
sehingga mereka mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan
sejelasjelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.

Sedangkan kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang berbentuk
kemaksiatan terhadap agama ini, bagaimanapun kecilnya.

Misalnya orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas,
dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya. Orang seperti
ini, menurut jumhur ulama adalah orang yang berbuat maksiat,
atau fasiq, dan tidak kafir; walaupun dalam beberapa hadits
dikatakan sebagai kafir. Sebagaimana hadits: “Batas antara
kami dan mereka adalah shalat.” “Barangsiapa yang
meninggalkannya, maka dia termasuk kafir.”3 “Batas antara
seseorang dengan kekufuran ialah meninggalkan shalat.”4

Ibn Hazm –dengan Zhahiriyahnya– tidak mengatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat termasuk kafir… Selain itu, ada
riwayat yang berasal dari Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa
orang yang meninggalkan shalat itu adalah kafir. Tetapi dia
dihukumi sebagai orang kafir, kalau imam atau qadhi telah
memanggilnya dan memintanya untuk bertobat, kemudian dia
enggan menuruti permintaan itu.

Imam Ibn Qudamah mendukung pendapat tersebut dan mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir –asal
orang itu tidak mengingkarinya dan tidak mengabaikannya. Jika
dia dibunuh karena meninggalkan shalat, maka hal itu adalah
sebagai pelaksanaan hudud dan bukan karena kafir. Ada riwayat
lain yang juga berasal dari Ahmad, yang dipilih oleh Abu
Abdillah bin Battah, yang tidak setuju dengan pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Abu Abdillah
mengatakan, “Inilah pendapat mazhab, dan tidak ada pendapat
yang bertentangan dengannya dalam mazhab ini.”

Ibn Qudamah mengatakan, “Ini merupakan pendapat kebanyakan
fuqaha, dan juga pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i…”
seraya mengutip hadits-hadits yang disepakati ke-shahih-annya
5 yang mengharamkan api neraka atas orang yang mengatakan:
“Tiada tuhan selain Allah,” dan orang yang mengatakannya akan
dikeluarkan darinya; karena di dalam hati orang ini masih ada
kebaikan sebesar biji gandum. Selain itu, Ibn Qudamah juga
berargumentasi dengan qaul para sahabat dan konsensus kaum
Muslimin yang mengatakan, “Sesungguhnya kami belum pernah
mengetahui pada suatu zaman yang telah berlalu ada seseorang
yang meninggalkan shalat kemudian dia tidak dimandikan dan
dishalatkan ketika meninggal dunia, kemudian tidak dikubur di
kuburan kaum Muslimin; atau yang ahli warisnya tidak boleh
mewarisi dirinya, atau dia mewarisi keluarganya yang telah
meninggal dunia; atau ada dua orang suami istri yang
dipisahkan karena salah seorang di antara keduanya
meninggalkan shalat, padahal orang yang meninggalkan shalat
sangat banyak. Kalau orang yang meninggalkan shalat dianggap
sebagai kafir, maka akan jelaslah hukum yang berlaku atas
mereka.”

Ibn Qudamah menambahkan, “Kami belum pernah mengetahui
pertentangan yang terjadi antara kaum Muslimin tentang
orang-orang yang meninggalkan shalat bahwa mereka wajib
mengqadhanya. Sampai kalau dia murtad, dia tidak wajib
mengqadha shalat dan puasanya. Adapun hadits-hadits terdahulu
(yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat
dianggap kafir), maka sesungguhnya hadits tersebut ingin
memberikan tekanan yang lebih berat dan menyamakannya dengan
kekufuran, dan bukan ungkapan yang sebenarnya. Sebagaimana
sabda Rasulullah s aw, “Mencela orang Muslim adalah kefasikan
dan membunuhnya adalah kekufuran.”6

“Barangsiapa berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,
maka sesungguhnya kalimat ini akan kembali kepada salah
seorang di antara mereka.”7

Ungkapan-ungkapan seperti itu sebetulnya dimaksudkan untuk
memberikan tekanan dan ancaman, dan pendapat terakhir inilah
yang paling tepat di antara dua pendapat di atas. Wallah
a’lam.8

PENJELASAN IMAM IBN AL-QAYYIM

Dalam buku al-Madarij, imam Ibn al-Qayyim berkata, “Kekufuran
itu adalah dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar
adalah penyebab kekalnya seseorang di api nereka, sedangkan
kufur kecil hanya menyebabkan ancaman Allah SWT dan tidak
kekal di api neraka.” Sebagaimana dijelaskan oleh sabda Nabi
saw,

“Ada dua hal yang menyebabkan kekafiran dalam umatku:
yaitu orang yang menyesali nasabnya dan orang yang
berkhianat.”9

Dalam as-Sunan, Nabi saw bersabda,

“Barangsiapa mendatangi istrinya dari duburnya, maka
dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan kepada
Muhammad.” 10

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda,

“Barangsiapa datang kepada dukun atau peramal, kemudian
dia mempercayai apa yang dia katakan, maka dia telah
kufur terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah
kepada Muhammad.” 11

“Janganlah kamu menjadi kafir lagi sesudahku, kemudian
sebagian dari kamu memukul leher sebagian yang lain.”12

Berikut ini ada baiknya kami kemukakan tentang penakwilan Ibn
Abbas dan para sahabat yang lainnya terhadap firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44)

Ibn Abbas berkata, “Bukan kafir yang mengakibatkan pindahnya
agama, tetapi kalau dia melalukannya maka dia dianggap kafir,
dan tidak seperti orang yang kafir terhadap Allah dan hari
akhir.” Begitu pula pendapat Thawus.

Atha’ berkata, “Yang serupa itu adalah kekufuran di bawah
kekufuran kezaliman di bawah kezaliman, dan kefasiqan di bawah
kefasiqan.”

Sebagian dari mereka ada yang mentakwilkan ayat meninggalkan
hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai orang
yang ingkar kepada-Nya. Ini adalah pendapat Ikrimah.
Penakwilan ini tidak dapat diterima karena sesungguhnya ingkar
kepada-Nya adalah kufur.

Diantara mereka ada yang menakwilkan bahwa meninggalkan hukum
yang dimaksudkan oleh ayat di atas ialah meninggalkan hukum
dengan seluruh ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Dia
menambahkan: “Termasuk di dalamnya ialah hukum yang berkaitan
dengan tauhid dan Islam.” Ini adalah penakwilan Abd al-Aziz
al-Kinani, yang merupakan penakwilan yang jauh juga. Karena
sesungguhnya ancamannya diberikan kepada orang yang menafikan
hukum yang telah diturunkan olehnya, yang mencakup penafian
dalam kadar yang banyak (semuanya) atau hanya sebagian saja.

Ada juga orang yang menakwilkan ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang dimaksudkan ialah menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nash, dengan sengaja, bukan karena tidak
mengetahui atau karena salah takwil. Begitulah yang dikisahkan
oleh al-Baghawi dari para ulama pada umumnya.

Ada yang mentakwilkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat itu
ialah para ahli kitab. Yaitu pendapat Qatadah, al-Dhahhak, dan
lain-lain. Dan ini dianggap sebagai penakwilan yang cukup
jauh, karena bertentangan dengan bentuk lahiriah lafal
tersebut sehingga ia tidak dapat ditakwilkan seperti itu.13

Ada pula yang berpendapat: “Hal itu adalah kufur yang dapat
mengeluarkan seseorang dari agama ini.”

Yang benar ialah bahwa sesungguhnya memutuskan hukum dengan
sesuatu yang tidak diturunkan oleh Allah SWT mengandung dua
kekufuran, kecil dan besar, melihat keadaan hakimnya. Kalau
dia berkeyakinan bahwa wajib baginya untuk menetapkan hukum
dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah,
kemudian dia mengetahui bahwa menyimpang darinya dianggap
sebagai suatu kemaksiatan, dan dia juga mengakui bahwa hal itu
akan mendapatkan siksa, maka tindakan ini termasuk kufur
kecil. Jika dia berkeyakinan bahwa tidak wajib baginya
menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam
suatu masalah, kemudian dia merasa bebas untuk menetapkan
hukum tersebut –padahal dia yakin bahwasanya ada hukum Allah
dalam masalah tersebut– maka tindakan ini dianggap sebagai
kekufuran besar. Jika dia tidak tahu dan dia melakukan
kesalahan, maka dia dianggap bersalah dan dihukum sebagai
orang yang memiliki dua kesalahan.

Maksudnya, sesungguhnya semua kemaksiatan merupakan satu
bentuk kekufuran kecil. Ia bertolak belakang dengan
kesyukuran, yakni bekerja untuk melakukan ketaatan. Upaya
untuk menetapkan hukum itu sendiri boleh jadi merupakan satu
bentuk kesyukuran, atau kekufuran, atau yang lain, yaitu tidak
syukur atau tidak kufur…. Wallah a’lam.14

KEMUSYRIKAN BESAR DAN KEMUSYRIKAN KECIL

Sebagaimana adanya pembagian kategori besar dan kecil dalam
kekufuran, begitu pula dalam kemusyrikan. Ada yang besar dan
ada pula yang kecil.

Kemusyrikan yang besar telah diketahui bersama, sebagaimana
dikatakan oleh Ibn al-Qayyim: “Yaitu mempersekutukan sesuatu
dengan Allah SWT. Mencintai sesuatu sebagaimana dia mencintai
Allah. Inilah kemusyrikan yang setara dengan kemusyrikan
karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan alam
semesta. Dan oleh karena itu, mereka berkata kepada
tuhan-tuhan mereka ketika di neraka kelak, ‘Demi Allah,
sungguh kita dahulu di dunia dalam kesesatan yang nyata,
karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan alam semesta.'”l5

Kemusyrikan seperti ini tidak dapat diampuni kecuali dengan
tobat kepada-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik
itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya…”
(an-Nisa’: 48)

Dapat diampuni kalau seseorang tidak mengetahui bahwa amalan
itu adalah amalan jahiliyah dan musyrik, yang sangat dicela
oleh al-Qur’an, sehingga dia terjerumus ke dalamnya, mengakui
kebenarannya, dan menganjurkan orang kepadanya, serta
menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dia tidak tahu bahwa
apa yang sedang dia lakukan adalah pekerjaan orang jahiliyah,
atau orang yang serupa dengannya, atau orang yang lebih jahat
daripada mereka atau di bawah mereka. Karena ketidaktahuannya,
hatinya menentang Islam, menganggap kebaikan sebagai
kemungkaran, dan menganggap kemungkaran sebagai kebaikan;
menganggap sesuatu yang bid’ah sebagai Sunnah, dan menganggap
sunnah sebagai bid’ah; mengkafirkan orang lain yang beriman
dan bertauhid, serta menganggap bid’ah orang-orang yang
mengikuti R3Sulullah saw, orang-orang yang menjauhi hawa nafsu
dan segala bentuk bid’ah. Oleh sebab itu, barangsiapa yang
memiliki mata hati yang hidup, maka dia akan melihat kebenaran
itu dengan mata kepalanya sendiri.

Ibn al-Qayyim berkata, “Sedangkan kemusyrikan kecil adalah
seperti riya’, memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah
dengan selain Allah, sebagaimana ditetapkan oleh hadits Nabi
saw yang bersabda,

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia
telah musyrik.” 16

Dan ucapan seseorang kepada orang lain: ‘Kalau Allah
menghendaki dan engkau menghendaki’; ‘Ini berasal dari Allah
dan dari engkau’; ‘Aku bersama Allah dan engkau’; ‘Kepada
siapa lagi aku bergantung kecuali kepada Allah dan engkau’;
‘Aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu’; ‘Jika tidak ada
kamu, maka tidak akan terjadi begini dan begitu’; dan
ucapan-ucapan seperti ini dapat dikategorikan sebagai
kemusyrikan besar, terpulang kepada orang yang mengatakannya
dan tujuannya. Nabi saw bersabda kepada seorang lelaki yang
berkata kepadanya: “Kalau Allah SWT dan engkau
menghendakinya.” Maka Nabi saw bersabda, “Apakah engkau hendak
menjadikan diriku, sebagai sekutu Allah? Katakan: “Kalau Allah
sendiri menghendaki.”” Ucapan seperti ini adalah yang paling
ringan dibandingkan dengan ucapan yang lainnya.

Di antara bentuk kemusyrikan lainnya ialah sujudnya seorang
murid kepada syaikhnya. Orang yang bersujud, dan orang yang
disujudi dianggap sama-sama melakukan kemusyrikan.

Bentuk yang lainnya yaitu mencukur rambut untuk syaikhnya,
karena sesungguhnya hal ini dianggap sebagai penyembahan
terhadap selain Allah, dan tidak ada yang berhak mendapatkan
penyembahan dengan cara mencukur rambut kecuali dalam ibadah
kepada Allah SWT saja.

Bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah bertobat kepada syaikh.
Ini adalah suatu kemusyrikan yang besar. Karena sesungguhnya
tobat tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Seperti
shalat, puasa, dan haji. Ibadah-ibadah ini hanya khusus untuk
Allah SWT saja.

Dalam al-Musnad disebutkan bahwa kepada Rasulullah saw
didatangkan seorang tawanan, kemudian dia berkata, “Ya Allah,
sesunggguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada
Muhammad.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Dia telah mengetahui
hak untuk yang berhak memilikinya.”

Tobat adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah SWT
sebagaimana sujud dan puasa.

Bentuk kemusyrikan lainnya ialah bernazar kepada selain Allah,
karena sesungguhnya hal ini termasuk kemusyrikan dan dosanya
lebih besar daripada dosa bersumpah atas nama selain Allah .

Kalau ada orang yang bersumpah dengan selain Allah dianggap
musyrik, maka bagaimana halnya dengan orang yang bernazar
untuk selain Allah? Dalam as-sunan ada hadits yang berasal
dari Uqbah bin ‘Amir dari Rasulullah saw yang bersabda, “Nazar
adalah sumpah.”

Di antara bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah takut kepada
selain Allah, bertawakkal kepada selain Allah, dan beramal
karena selain Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada selain
Allah, meminta rizki kepada selain Allah, dan memuji kepada
selain Allah karena memberikan sesuatu kepadanya dan tidak
memuji kepada Allah SWT, mencela dan marah kepada Allah karena
belum mendapat rizki, dan belum ditakdirkan untuk
mendapatkannya, menisbatkan nikmat-nikmat-Nya kepada selain
Allah, dan berkeyakinan bahwa di alam semesta ini ada sesuatu
yang tidak dijangkau oleh kehendak-Nya.” 17

KEMUNAFIQAN BESAR DAN KEMUNAFIQAN KECIL

Kalau di dalam kekufuran dan kemusyrikan ada yang besar dan
ada juga yang kecil, maka begitu pula halnya dengan
kemunafiqan. Ia juga ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemunafiqan besar adalah kemunafiqan yang berkaitan dengan
aqidah, yang mengharuskan pelakunya tetap tinggal
selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan
kekufuran dan menampakkan Islam. Beginilah bentuk kemunafiqan
pada zaman Nabi saw, yang ciri-cirinya disebutkan di dalam
al-Qur’an dan di jelaskan kepada hamba-hamba yang beriman,
agar mereka berhati-hati terhadap orang-orang munafiq,
sehingga mereka sedapat mungkin menjauhi perilaku mereka.

Sedangkan kemunafiqan kecil ialah kemunafiqan dalam amal
perbuatan dan perilaku, yaitu orang yang berperilaku seperti
perilaku orang-orang munafiq, meniti jalan yang dilalui oleh
mereka, walaupun orang-orang ini sebenarnya memiliki aqidah
yang benar. Inilah sebenarnya yang diingatkan oleh beberapa
hadits yang shahih.

“Ada empat hal yang apabila kamu berada di dalamnya,
maka kamu dianggap sebagai orang munafiq murni. Dan
barangsiapa yang mempunyai salah satu sifat tersebut,
maka dia dianggap sebagai orang munafiq hingga ia
meninggalkan sifat tersebut. Yaitu apabila dia
dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia
berbohong, dan apabila membuat janji dia mengingkari,
apabila bertengkar dia melakukan kecurangan.” 18

Hadits yang lain menyebutkan, “Tanda-tanda orang munafiq itu
ada tiga: Apabila bicara, dia berbohong; apabila berjanji dia
mengingkarinya; dan apabila dipercaya, dia berkhianat.”19

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Walaupun dia berpuasa,
shalat, dan mengaku bahwa dia Muslim.” 20

Hadits-hadits ini dan hadits-hadits yang serupa dengannya
menjadikan para sahabat mengkhawatirkan bahwa diri mereka
termasuk golongan munafiq. Sehingga al-Hasan berkata, “Tidak
ada yang takut kecuali omng mu’min dan tidak ada yang merasa
aman darinya kecuali orang munafiq.”

Bahkan, Umar berkata kepada Hudzaifah yang pernah diberi
penjelasan oleh Nabi saw mengenai ciri-ciri orang munafiq:
“Apakah diriku termasuk golongan mereka?”

Umar r.a. pernah memperingatkan adanya orang munafiq yang
cerdik pandai, sehingga ada orang yang bertanya, “Bagaimana
mungkin ada orang munafiq yang pandai?” Dia menjawab: “Pandai
lidahnya, tetapi bodoh hatinya.”

Sebagian sahabat berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dan kekhusyu’an orang munafiq?” Lalu ada orang yang berkata
kepada mereka, “Bagaimanakah bentuknya kekhusyu’an orang
munafiq itu?” Dia menjawab, “Badannya kelihatan khusyu’ tetapi
hatinya tidak khusyu’.” 21

DOSA-DOSA BESAR

Setelah kekufuran dan berbagai tingkatannya, maka di bawahnya
ada kemaksiatan, yang terbagi menjadi dosa-dosa besar, dan
dosa-dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sangat berbahaya,
yang dapat menimbulkan kemurkaan, laknat Allah, dan neraka
Jahanam. Orang yang melakukannya kadang-kadang harus dikenai
hukum had di dunia ini.

Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan batasan
terhadap dosa besar ini. Barangkali yang paling dekat ialah
kemaksiatan yang pelakunya dapat dikenakan had di dunia, dan
diancam dengan ancaman yang berat di akhirat kelak, seperti
masuk neraka, tidak boleh memasuki surga, atau mendapatkan
kemurkaan dan laknat Allah SWT. Itulah hal-hal yang
menunjukkan besarnya dosa itu.

Ada pula nash-nash agama yang menyebutkan batasannya secara
pasti dan mengatakannya ada tujuh 22 macam dosa besar setelah
kemusyrikan; yaitu: Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah
untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar; sihir;
memakan riba; memakan harta anak yatim; menuduh perempuan
mukmin melakukan zina; melakukan desersi dalam peperangan.
Sedangkan hadits-hadits shahih lainnya menyebutkan: Menyakiti
kedua hati orang tua, memutuskan tali silaturahim, menyatakan
kesaksian yang palsu, bersumpah bohong, meminum khamar,
berzina, melakukan homoseksual, bunuh diri, merampok,
mempergunakan barang orang lain secara tidak benar,
mengeksploitasi orang lain, menyogok, dan meramal.

Termasuk dalam kategori dosa besar ini ialah meninggalkan
perkara-perkara fardu yang mendasar, seperti: meninggalkan
shalat, tidak membayar zakat, berbuka tanpa alasan di bulan
Ramadhan, dan tidak mau melaksanakan ibadah haji bagi orang
yang memiliki kemampuan untuk pergi ke tanah suci.

Dosa-dosa besar yang disebutkan oleh pelbagai hadits banyak
sekali macamnya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan
oleh hadits, “Tidakkah telah saya beritahukan kepada kamu
semua mengenai dosa-dosa besar?”23 Kemudian beliau menyebutkan
berbagai dosa besar setelah kemusyrikan: menyakiti hati kedua
orangtua, dan mengucapkan persaksian yang palsu.

Dalam sebuah hadits shahih dikatakan bahwa Nabi saw bersabda.

“Sesungguhnya, yang termasuk salah satu dosa besar
ialah orang yang melaknat kedua orang tuanya.” Kemudian
ada seorang sahabat yang bertanya: “Bagaimana mungkin
seseorang dapat melaknat kedua orang tuanya?” Nabi saw
menjawab, “Seorang lelaki, mencela ayah seorang lelaki,
yang lainnya, kemudian lelaki yang ayahnya dicela itu
mencela ayah orang yang mencelanya, dan mencela
ibunya.”24

Yakni orang yang ayahnya dicela itu, kemudian membalasnya
dengan mencela ayah dan ibunya.

Hadits Nabi saw menganggap bahwa pencelaan terhadap kedua
orangtua secara tidak langsung termasuk salah satu jenis dosa
besar, dan bukan hanya termasuk sesuatu yang diharamkan; lalu
bagaimana halnya dengan orang yang langsung mencela dan
menyakiti hati kedua orangtuanya? Bagaimana halnya dengan
orang yang langsung menyiksa dan memukul kedua orang tuanya?

Bagaimana pula dengan orang yang membuat kehidupan mereka
bagaikan neraka jahim karena kekerasan dan perbuatan yang
menyakitkan hati?

Syariah agama ini telah membedakan antara kemaksiatan yang
didorong oleh suatu kelemahan dan kemaksiatan yang didorong
oleh kezaliman. yang pertama ialah bagaikan zina, dan yang
kedua ialah bagaikan riba. Dari riba adalah dosa yang paling
berat di sisi Allah SWT, sehingga al-Qur’an tidak pernah
mengatakan sesuatu maksiat sebagaimana yang dikatakannya dalam
hal riba:

“… dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu
…” (al-Baqarah: 278-279)

Rasulullah saw yang mulia melaknat orang yang memakan riba,
orang yang menyuruh orang lain memakan riba, penulisnya, dan
kedua saksi atas perbuatan riba itu, sambil bersabda,

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang lelaki dan
dia mengetahui, maka hal itu lebih berat daripada tiga
puluh enam kali berzina.”25

Dan beliau membagi riba menjadi tujuh puluh macam, atau
tujuhpuluh dua atau tujuh puluh tiga macam. Yang paling rendah
dari berbagai macam bentuk itu ialah seorang lelaki yang
menikahi ibunya.26

Catatan Kaki:

3 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Hibban, dan
Hakim dari Buraidah, sebagaimana disebutkan dalam Shahih
al-Jami’ as-Shaghir (4143)

4 Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah
dari Jabir, ibid., (2848)

5 Lihatlah hadits~hadits ini dalam al-Mughni, 3:356; yang
ditahqiq oleh Dr. Taraki dan Dr. Halwa.

6 Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Mas’ud, al-Lu’lu’ wa al-Marjan (43)

7 Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar, ibid., 39

8 Lihat al-Mughni, 3:351-359

9 Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir: 138).

10 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3904); Tirmidzi (135); dan Ibn
Majah (939).

11 Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dari Abu Hurairah r.a.
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir).

12 Muttafaq ‘Alaih dari Jarir dan Ibn Umar, sebagaimana
disebutkan dalam al-Lu’lu’wal-Marjan (44) dan (45).

13 Lihat rincian yang berkaitan dengan masalah ini dalam
fatwa- fatwa yang terperinci dalam buku kami yang berjudul,
Fatawa Mu’ashirah, juz 2, bagian Fatwa: al-Hukm bi ghair ma
Anzala Allah.

14 Lihat Madarij as-Salikin, 1: 335-337

15 Surat as-Syu’ara’, 97-98

16 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibn Umar
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 8462)

17 Lihat Madarij as-Salikin, 1:344-346.

18 Muttafaq ‘Alaih, dari Abdullah bin Umar; al-Lu’lu’
wal-Marjan (37).

19 Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah r.a., ibid., (38).

20 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dalam kitab
al-Iman, 109, 110.

21 Madarij al-Salikin, 1: 358

22 Lihat makalah kami yang membahas tentang kemurtadan dan
cara mengatasinya dalam masyarakat Islam; di dalam buku kami
yang berjudul Malaamih al-Majtama’ al-Muslim al-ladzi,
Nansyuduh, bagian al-‘Aqidah wa al-Iman, penerbit Maktabah
Wahbah, Kairo.

23 Ada riwayat dari Abu Hurairah r.a. dalam as-Shahihain dan
lain-lain, yang mengisyaratkan tentang 41 dosa besar ini,
yaitu hadits: “Jauhilah tujuh macam dosa besar (atau hal-hal
yang dapat membinasakan).” Al-Lu’lu’ wa al-Marjan (56).

24 Hadits Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih;
al-Lu’lu’ wa al-Marjan (54).

25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin
Hanzhalah, sebagaimane disebutkan dalam Shahih al-Jami’
as-Shaghir.

26 Diriwayatkan oleh Thabrani dari al-Barra’; al-Hakim dari
Ibn Mas’ud; Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a. sebagaimana
disebutkan dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (3537) (3539) dan
(3541)

PRIORITAS DALAM PERKARA YANG DILARANG

3 Jan

Dr. Yusuf Al Qardhawy, Fiqih Prioritas

PADA bab terdahulu kami telah membahas mengenai perbedaan tingkat dalam perkara-perkara yang diperintahkan, dari perkara yang mustahab hingga perkara yang wajib, fardu kifayah, ardu ain, dan tingkatan fardu ‘ain. Pada bab ini kami juga hendak menguraikan perbedaan tingkat ada perkara-perkara yang dilarang, karena sesungguhnya perkara-perkara yang dilarang tidak berada pada tingkat yang sama. Ia juga memiliki berbagai tingkat yang sangat berbeda.

Yang paling tinggi ialah kufur kepada Allah SWT dan yang paling rendah ialah perkara yang makruh tanzihi, atau yang dikatakan dengan khilaf al-awla (bila kita meninggalkannya, maka hal ini adalah lebih baik).

Kekufuran terhadap Allah SWT juga bertingkat-tingkat dan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

KUFUR ATHEIS

Yang dimaksudkan dengan kufur atheis ialah yang pelakunya tidak percaya bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan, yang mempunyai malaikat, kitab-kitab suci, rasul yang memberi

kabar gembira dan peringatan, serta tidak percaya kepada adanya akhirat di mana manusia akan diberi balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan di dunia ini, baik berupa kebaikan maupun keburukan, Mereka tidak mengakui ketuhanan, kenabian, kerasulan, dan pahala di akhirat kelak, Bahkan mereka adalah sebagaimana pendahulu mereka yang dikatakan di dalam al-Qur’an:

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.'” (al-An’am: 29)

Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian orang atheis: “Hidup ini hanyalah lahir dari rahim kemudian ditelan oleh tanah, dan tidak ada apa-apa lagi selepas itu.”

Inilah bentuk kekufuran orang-orang materialis pada setiap zaman. Dan itulah yang menjadi dasar pemikiran orang-orang komunis yang telah tercabut akar-akarnya dan yang menetapkan dalam undang-undang dasar negara mereka: “Tuhan tidak ada, dan hidup ini hanya materi saja.”

Agama menurut pandangan mereka hanyalah sesuatu yang diada-adakan, dan ketuhanan adalah omong kosong belaka. Dan oleh karena itu ada ucapan tokoh filosof materialisme yang ingkar terhadap Tuhan, dan sangat terkenal di kalangan mereka: “Tidaklah benar bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia. Yang benar ialah bahwa sesungguhnya manusialah yang menciptakan Allah.”

Ucapan ini merupakan kesesatan yang sangat jauh, yang tidak dapat diterima oleh logika akal sehat, logika fitrah, logika ilmu pengetahuan, logika alam semesta, logika sejarah, dan juga logika wahyu yang didasarkan pada bukti-bukti yang sangat pasti mengenai keberadaan-Nya.

Allah SWT berfirman:

“… Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya.” (an-Nisa’: 136)

Inilah tingkat kekufuran yang paling tinggi.

KUFUR SYIRIK

Di bawah tingkat kekufuran di atas ialah kufur syirik, seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh orang Arab pada zaman Jahiliyah. Dahulu mereka percaya tentang adanya Tuhan, yang menciptakan langit, bumi, dan manusia, serta yang memberikan rizki, kehidupan, dan kematian kepada mereka. Akan tetapi, di samping adanya pernyataan tentang adanya Tuhan itu -yang disebut dengan tauhid rububiyyah, mereka juga mempersekutukan Allah- yang disebut dengan tauhid ilahiyyah, dengan menyembah tuhan-tuhan yang lain, baik yang berada di bumi maupun yang berada di langit. Allah SWT berfirman:

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciplakan langit dan bumi?,’ niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)

“Dan sesungguhrrya jika kamu tanyakan kepada mereka. ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? n Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah.’…'” (al-Ankabut: 61)

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya).'” (Yunus: 31)

Mereka percaya kepada adanya Pencipta, Pemberi Rizki, dan Pengatur alam semesta. Akan tetapi mereka masih menyembah tuhan-tuhan yang lain berupa pohon, batu, barang tambang, dan lain-lain, dengan mengatakan:
“… Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya …” (az-Zumar: 3)

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'” … (Yunus: 18)

Bentuk kemusyrikan seperti ini bermacam-macam. Ada kemusyrikan Arab penyembah berhala; kemusyrikan Majusi Persia yang mengatakan ada dua macam tuhan, yaitu tuhan baik atau tuhan cahaya, dan tuhan buruk atau tuhan gelap; kemusyrikan Hindu dan Budha, dan para penyembah berhala lainnya yang masih mewarnai pikiran ratusan juta orang di
Asia dan Afrika; yang merupakan jenis kekufuran yang paling banyak pengikutnya.

Kemusyrikan itu ialah tempat tumbuhnya berbagai bentuk khurafat, dan bersemayam pelbagai kebathilan, yang sekaligus merupakan kejatuhan martabat manusia. Di mana manusia menyembah benda yang dia ciptakan sendiri, benda yang tidak dapat berkhidmat kepada dirinya, yang akhirnya manusia itu sendiri yang berkhidmat kepada benda ciptaannya, dan bahkan menjadi hambanya, tunduk dan taat kepadanya. Allah SWT berfirman:

“… Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit dan disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(al-Hajj: 31)

KEKUFURAN AHLI KITAB

Di bawah kekufuran di atas adalah kekufuran ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Kekufuran mereka ialah karena mereka mendustakan kerasulan Muhammad saw, yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya yang terakhir, dandiberi kitab suci yang abadi, yang dalam satu segi membenarkan Taurat dan Injil, dan dari segi yang lain melakukan perbaikan ajaran yang terdapat pada kedua kitab
suci tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Allah SWT berfirman:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu …” (al-Ma’idah: 48)

Di antara ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw ialah membenarkan konsep ketuhanan, karena banyak sekali penyelewengan yang telah mereka lakukan terhadap ajaran
kitab suci dan keyakinan mereka. Sehingga penyelewengan itu membuat keruh ajaran yang tadinya jernih, dan mengeluarkan mereka dari kemurnian tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, bapak para nabi. Kitab taurat mereka beri muatan makna inkarnasi dan penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka, sehingga Allah dianggap sebagai salah seorang dari kalangan manusia, yang mempunyai rasa takut, iri hati, cemburu, dan juga bertengkar dengan manusia dan dikalahkan olehnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Israil … Begitulah penyelewengan itu mereka lakukan terhadap lembaran kitab Taurat.

Hal yang serupa juga dilakukan terhadap aqidah Nasrani yaitu dengan masuknya konsep Trinitas, pengaruh keyakinan Roma kepada agama ini, setelah masuknya raja Konstantinopel Imperium Romawi ke dalam agama Nasrani. Kasus ini justru menguntungkan negaranya, dan merugikan agamanya, sehingga sebagian ulama kita mengatakan: “Sesungguhnya Roma tidak diwarnai oleh Nasrani, tetapi justru Nasrani yang diwarnai oleh Roma.”

Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani meski digolongkan kepada orang-orang kafir -karena mereka mendustakan ajaran Islam, dan kenabian Muhammad saw- mereka menempati kedudukan khusus dalam tingkat kekufuran ini, sehingga mereka dikatakan sebagai “Ahli Kitab Samawi.” Mereka beriman kepada sejumlah tuhan, rasul yang diutus dari langit, dan juga percaya kepada balasan di akhirat kelak. Atas dasar itu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan kaum Muslimin daripada yang lain. Al-Qur’an membolehkan kaum Muslimin untuk memakan makanan mereka dan melakukan pernikahan dengan
mereka:

“… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula bagi mereka). Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu…” (al-Ma’idah: 5)

Surat yang sama pula, yakni surat al-Ma’idah, berbicara tentang kekufuran orang-orang Nasrani karena mereka mengatakan:

“… sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam …” (Surat al-Ma’idah, 72)
“… bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga …” (Surat al-Ma’idah, 73)

Oleh karena itu, tidak benar orang yang mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Nasrani pada hari ini berbeda dengan orang-orang Nasrani ketika al-Qur’an diturunkan.” Karena kita semua telah tahu bahwa ajaran agama Nasrani telah terkristalisasi dan dikenal pasti batas- batas keyakinannya sejak adanya ‘Seminar Nicea’ yang sangat terkenal pada tahun 325 M.
Pada era Makkah, para sahabapun mengetahui kedekatan para ahli kitab -khususnya orang-orang Nasrani- kepada orang-orang Roma. Para ahli kitab ini begitu sedih dengan kekalahan orang-orang Nasrani dari Bizantium terhadap orang-orang Persia, yang Majusi. Dan pada masa yang sama, para penyembah berhala dari kaum musyrik Makkah sangat bergembira dengan kemenangan yang diraih oleh orang Persia. Kedua golongan ini diketahui kepada siapa mereka lebih dekat dan kepada siapa mereka lebih jauh. Kekalahan orang-orang Roma ini disebutkan dalam awal surat ar-Rum sebagai berikut:

“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …” (ar-Rum: 1-5)

Begitulah kaidah penting yang diletakkan di depan kita, untuk memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam bergaul dengan orang-orang non-Islam. Secara umum, ahli kitab, adalah lebih dekat kepada kaum Muslimin daripada pengikut faham atheis dan paganisme, selama tidak ada factor yang menjadikan ahli kitab sebagai musuh yang paling keras dan paling dengki dengan kaum Muslimin; sebagaimana peristiwa yang sedang terjadi di Serbia dan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi.

Ditegaskan bahwa di antara orang-orang kafir itu ada yang dapat menjaga kedamaian dengan kaum Muslimin, sehingga mereka dapat kita perlakukan secara damai. Dan ada pula di antara mereka yang suka menyerang dan memerangi kaum Muslimin, sehingga kita harus memerangi mereka sebagaimana mereka telah memerangi kita. Ada pula di antara mereka yang hanya sekadar kafir saja, ada yang kafir dan zalim, ada yang kafir dan menghalangi jalannya agama Allah. Semua bentuk kekufuran ini ada hukumnya masingmasing. Allah SWT berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan (tidak pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8-9)

Tepatnya, sesungguhnya orang-orang ahli dzimmah mempunyai hak untuk bertempat tinggal karena mereka termasuk penduduk “Dar al-Islam.” Kita mempunyai hak dan kewajiban atas mereka, dan sebaliknya mereka juga memiliki hak dan kewajiban atas kita, kecuali perbedaan-perbedaan dalam ajaran agama. Mereka tidak diwajibkan untuk melepaskan identitas agama mereka, dan begitu pula kaum Muslimin.

KEKUFURAN ORANG MURTAD

Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk ialah kemurtadan (ar-riddah); yaitu keluarnya seseorang dari Islam setelah dia mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.

Kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli. Musuh-musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada para pemeluk Islam. Allah SWT berfirman:

“… Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (al-Baqarah: 217)
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya:

” … Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 217)

Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam dan umat Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaannya kepada negara lain, kaum yang lain. Sehingga dia memberikan cinta dan kesetiaannya kepada mereka, dan mengganti negara dan kaumnya.

Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya.

Oleh karena itulah, Islam menerapkan sikap yang sangat tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri mereka, dan menjadi penganjur kepada orang lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas masyarakat, dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya. Oleh sebab itu, ulama dari kalangan tabiin menganggap penganjur kemurtadan sebagai orang yang disebut dalam ayat ini:

“… orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi …” (al-Ma’idah: 33)

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda, dan menumpahkan darah.

Pendapat ini benar, karena sesungguhnya hilangnya identitas umat, penghancuran aqidahnya adalah lebih berbahaya dibandingkan kehilangan harta benda dan rumah mereka, serta terbunuhnya beberapa orang di antara mereka. Oleh sebab itu, al-Qur’an seringkali menganjurkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi kemurtadan orang-orang yang telah beriman, dan tidak berdiam diri dalam menghadapi keadaan itu, serta tidak takut mendapatkan celaan ketika melakukan kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela …” (al-Ma’idah: 54)

Al-Qur’an juga mengancam orang-orang munafiq apabila mereka menampakkan kekufurannya. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab yang besar dari sisi-Nya, atau azab dengan tangan kami. Sebab itu, tunggulah, sesungguhrrya kami menunggu-nunggu bersama kamu.'” (Surat at-Taubah: 52)
Sesungguhnya mereka akan ditimpa azab dari tangan kaum Muslimin apabila mereka menampakkan kekufuran yang mereka sembunyikan. Karena sesungguhnya kaum Muslimin tidak dapat mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kaum Muslimin hanya akan memperlakukan mereka dengan apa yang tampak dari lidah dan tubuh mereka.

Banyak hadits shahih yang menyebutkan hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad (keluar dari Islam). Ada riwayat yang berasal dari Umar, yang menunjukkan bolehnya memenjarakan orang-orang murtad dan terus menahannya sehingga dia mau melihat kembali dirinya dan bertobat kepada Tuhannya. Pandangan ini dianut oleh an-Nakha’i dan ats-Tsauri.

Begitulah pendapat yang saya pilih sehubungan dengan kemurtadan secara diam-diam. Adapun kemurtadan yang ditampakkan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama, maka saya kira Umar bin Khattab, an-Nakhai, dan at-Tsauri juga tidak akan memberikan toleransi terhadap pemikiran yang merusak aqidah umat itu, dan mendiamkan pelakunya bergerak dengan leluasa, walaupun mereka didukung oleh suatu kekuatan di belakang mereka.

Kita mesti membedakan antara kemurtadan yang ringan dan kemurtadan yang berat. Kita mesti membedakan orang murtad yang diam saja dan orang murtad yang menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama; karena sesungguhnya orang yang disebut terakhir ini termasuk orang yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan berusaha membuat kerusakan di muka bumi. Para ulama juga telah membedakan antara bid’ah yang ringan dan bid’ah yang berat, antara orang yang menganjurkan kepada bid’ah dan orang yang tidak menganjurkannya.

KEKUFURAN ORANG MUNAFIQ

Di antara kekufuran yang termasuk dalam kategori yang berat dan sangat membahayakan kehidupan Islam dan eksistensinya ialah kekufuran orang-orang munafiq. Karena orang-orang munafiq hidup dengan dua wajah di tengah-tengah kaum Muslimin. Mereka ikut serta mengerjakan shalat, membayar zakat, mendirikan syiar-syiar Islam, padahal di dalam batin mereka, mereka hendak menipu orang-orang Islam, membuat makar terhadap mereka, dan menyokong musuh-musuh mereka.

Oleh karena itu, al-Qur’an menganggap penting untuk memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri, dan mengungkapkan tabir kehidupan mereka, serta menjelaskan sifat-sifat dan perilaku mereka. Sehingga surat al-Taubah dinamakan dengan al-Fadhihah (sebuah skandal), karena mengikuti pelbagai golongan mereka dan menguraikan tentang sifat-sifat mereka; sebagai satu surat khusus yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafiq. Di samping itu banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kehidupan mereka.

Awal surat al-Baqarah berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa sebanyak tiga ayat, tentang orang-orang kafir sebanyak empat ayat, sedangkan tentang orang-orang munafiq sebanyak tiga belas ayat.

Oleh karena itu, Allah SWT akan membenamkan orang-orang munafiq di lapisan neraka paling bawah; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (an-Nisa’: 145-146)

Pada zaman kita sekarang ini banyak sekali orang-orang murtad yang tidak mengindahkan wahyu Ilahi, dan tidak menganggap syariah ini sebagai rujukan yang paling tinggi dalam mengendalikan pemikiran, perilaku dan berbagai hubungan yang dijalin antar manusia. Mereka menghina agama Islam, para dainya, dan penganut agama yang mulia ini.

Mereka adalah orang-orang munafiq, yang hendak membawa nama Islam, ingin tetap berada di tengah-tengah orang Islam, padahal mereka lebih jahat daripada orang-orang munafiq pada zaman Nabi saw. Dahulu, orang-orang munafiq di zaman Rasulullah saw berangkat pergi shalat dengan malas, dan kini orang-orang munafiq tidak mau melaksanakannya. Tidak malas dan juga tidak bersemangat. Dahulu mereka tidak ingat kepada Allah SWT kecuali sangat sedikit sekali, dan kini mereka tidak ingat kepada Allah SWT sedikit atau banyak. Dahulu mereka ikut serta dalam barisan kaum Muslimin memerangi musuh-musuh mereka, dan kini mereka bersama-sama musuh Islam memerangi kaum Muslimin. Dahulu mereka tampak bersama-sama kaum Muslimin di masjid-masjid mereka, dan kini mereka bersama-sama orang kafir dalam permainan dan kekejian mereka.

Kalau saja mereka menyatakan kekufuran mereka, maka akan jelas sikap yang dapat kita ambil, dan kita dapat istirahat, akan tetapi mereka adalah seperti yang disebutkan Allah SWT:

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak menyadarinya.” (al-Baqarah: 9)

&

Prioritas Amal Yang Lebih Lama Manfaatnya dan Lebih Abadi Kesannya

27 Jun

Yusuf Qardhawy; Fiqih Prioritas

KALAU manfaat suatu pekerjaan lebih luas jangkauannya, maka hal itu lebih dikehendaki dan diutamakan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Begitu pula halnya dengan pekerjaan yang lebih lama dan kekal pengaruhnya. Setiap kali suatu perbuatan itu lebih lama manfaatnya maka pekerjaan itu lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah SWT.

Oleh karena itu, shadaqah yang lama manfaatnya lebih diutamakan. Misalnya memberikan domba yang mengandung, unta yang mengandung, dan lain-lain, di mana orang yang menerima shadaqah itu dan juga keluarganya dapat memanfaatkan susunya selama bertahun-tahun.

Dalam peribahasa Cina kita kenal: “Memberi jala untuk mencari ikan kepada orang miskin adalah lebih baik daripada memberikan ikan kepadanya.”

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Shadaqah, yang paling utama ialah memberikan tenda, atau memberikan seorang pembantu, atau seekor unta untuk perjuangan di jalan Allah SWT.” (22 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Umamah; dan juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari ‘Adiy bin Hatim, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (1109)

“Empat puluh sifat, yang paling tinggi tingkatannya ialah memberikan kambing. Tidak ada seorang hambapun yang melalaikannya, untuk mengharapkan pahala yang dijanjikan kepadanya kecuali dia akan dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dan Abu Dawud dari Abdullah bin ‘Amr, 791)

Di situlah letak kelebihan shadaqah jariyah, yang manfaatnya terus dirasakan walaupun orang yang memberikannya sudah tiada. Seperti harta wakaf, yang telah dikenal oleh kaum Muslimin sejak zaman Nabi saw; di mana ketika itu peradaban Islam memiliki keunggulan karena kekayaannya yang melimpah dan sangat banyak, sehingga Islam menguasai seluruh bidang kebajikan dalam kehidupan manusia, yang memberikan perkhidmatan kepada seluruh umat manusia, bahkan terhadap binatang.

Dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Apabila seorang manusia meninggal dunia maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, anak shaleh yang berdo’a kepadanya.” (24 Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad; dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai dari Abu Hurairah r.a., ibid., 793)

Ada hadits lain yang menjelaskan contoh shadaqah jariyah ini sebanyak tujuh macam. Yaitu dalam sabda Nabi saw, “Sesunggguhnya amalan dan perbuatan baik yang akan menyusul seorang mu’min setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak shaleh yang dia tinggalkan, mushaf al-Qur’an yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia bangun, sungai yang dia alirkan, dan shadaqah yang dia keluarkan ketika dia sehat dan masih hidup. Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.” (25 al-Hafizh al-Mundiri berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Baihaqi dengan isnad hasan; dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah di dalam Shahih-nya seperti itu. (Lihat buku kami, al-Muntaqa min at-Targhib wat-Tarhib, hadits no. 75)

Misalnya umur manusia pendek dan terbatas, maka dengan karunia Allah yang diberikan kepadanya, ia dapat memperpanjang umurnya dengan melakukan amalan yang mengalir pahalanya (jariyah). Dia terus dianggap hidup walaupun dia telah meninggal dunia, dia tetap ada dengan amal shaleh yang pernah dilakukannya, walaupun jasadnya telah tiada. Maka benarlah Syauqi ketika mengatakan syairnya berikut ini: “Degup jantung seseorang berkata kepadanya. Sesungguhnya hidup ini hanya beberapa menit dan beberapa detik. Buatlah suatu kenangan yang namamu akan terus diingat setelah kematianmu. Karena kenangan bagi manusia adalah umur yang kedua.”

&