Tag Archives: Rumah

Semoga Rumahmu Membuat Bahagia

5 Jan

La Tahzan; Jangan bersedih!
DR. ‘Aidh al-Qarni; Qisthi Press

Mengasingkan diri yang diajarkan syariat dan sunah Rasul adalah menjauhkan diri dari kejahatan dan pelakunya, orang-orang yang banyak waktu kosongnya, orang-orang yang lalai, dan orang-orang yang senang membuat huru-hara. Dengan begitu, jiwa Anda akan selalu terkendali, hati menjadi tenang dan sejuk, pikiran selalu jernih, dan Anda akan merasa leluasa dan bahagia berada di taman-taman ilmu pengetahuan.

Mengasingkan diri (uzlah) dari semua hal yang melalaikan manusia dari kebaikan dan ketaatan merupakan obat yang sudah diuji coba dan dibuktikan kemujarabannya oleh para ahli pengobatan hati. Banyak cara untuk menjauhkan diri dari kejahatan dan permainan yang sia-sia. Diantaranya adalah; mengisi waktu dengan menyuntikkan wawasan baru ke dalam akal pikiran, menjalankan semua hal yang sesuai dengan kaedah “takut kepada Allah”, dan juga menghadiri majelis-majelis pertaubatan dan dzikir.

Betapapun, perkumpulan atau majelis yang terpuji dan patut dikunjungi adalah yang digunakan untuk menjalankan shalat berjamaah, menuntut dan mengajarkan ilmu, atau untuk saling membantu dalam kebaikan. Maka dari itu, hindarilah majelis-majelis yang tidak jelas tujuannya
dan tidak pula berguna! Jaga kesucian kulit Anda, tangisilah kesalahan Anda dan jagalah lidah! Semoga, dengan itu rumah Anda dapat membahagiakan hati Anda.

Pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan merupakan serangan mematikan bagi jiwa dan ancaman yang membahayakan keamanan dan kedamaian diri Anda. Pasalnya, melakukan hal itu berarti Anda telah bergaul dengan setan-setan pembisik desas-desus, penebar kabar bohong, peramal bencana dan petaka. Dan itu, akan membuat Anda mati tujuh kali dalam sehari sebelum Anda benar-benar mati. Maka,

{Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka.} (QS. At-Taubah: 47)

Atas dasar itu, harapan saya adalah supaya Anda menjalani bagaimanapun kondisi Anda, tetap menyendiri di ‘kamar’ Anda dan hanya kepada-Nya dengan tekun agar Anda mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan.

Dan hanya keluar untuk berkata atau berbuat baik saja. Pada saat seperti itu hati Anda akan benar-benar menjadi milik Anda, sehingga waktu dan umur Anda selamat dari kesia-siaan, lidah Anda terhindar dari menggunjing (ghibah), hati Anda bersih dari kerisauan, telinga Anda terjauhkan dari ucapan kotor, dan jiwa Anda bebas dari berburuk sangka. Barangsiapa mencoba sesuatu, niscaya akan mengetahuinya. Barangsiapa membiarkan dirinya hanyut dalam gumpalan kasak-kusuk dan terseret ke dalam komunitas orang-orang yang tidak berilmu, serta senang berbuat yang sia-sia, maka katakan kepadanya: Selamat tinggal!

Mewarnai Gambar Rumah 4 Anak Muslim

20 Des

Mewarnai Gambar Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar rumah4 anak muslim

Mewarnai Gambar Rumah3 Anak Muslim

14 Okt

Mewarnai Gambar  Islami Untuk Anak Muslim
Untuk Kreatifitas dengan Mewarnai Gambar
alquranmulia.wordpress.com

Mewarnai gambar rumah3 anak muslim

Islam dan Konsep Perkembangan

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Sebagian ahli dan filosofi pendidikan kontemporer menganggap bahwa tujuan inti pendidikan adalah perkembangan, baik perkembangan intelektual, fisik, batin, maupun sosial. Namun konsepsi mereka hanya terbatas pada perkembangan yang semata-mata menyangkut perkembangan wujud, perubahan berat, penambahan pengetahuan, atau peningkatan kualitas pola kehidupan anak sejak ia lahir hingga dewasa yang menyangkut perilaku dan segala aktifitasnya. Para ahli pendidikan kontemporer pun sepakat mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidaklah hanya menyangkut penambahan dari segi kuantitatif. Ketika harus mengetengahkan pengembangan perilaku manusia, para ahli pendidikan tersebut terbagi menjadi dua kubu.

1. pertama, adalah kubu yang cenderung mengembalikan konsep pengembangan perilaku pada aspek mekanistik dan reaksi feflektif sehingga mereka memperlakukan manusia sebagai pabrik besar. Jika tombol utama ditekan, mesin akan jalan dan menggerakkan mesin lainnya hingga sampailah pada produksi akhir. Hasil produksi itu sampai pada konsumen berupa refrigerator, mobil, atau adaptor. Menurut mereka, begitulah aktifitas yang dilakukan manusia. Selain itu, ketika manusia dipengaruhi oleh aspek eksternal atau sesuatu yang berasal dari luar dirinya, secara reflek dia akan mengarahkan aktifitasnya pada sesuatu yang dia inginkan.

Ketika membahas masalah ini, para ahli pendidikan yang setuju dengan konsep di atas tidak memerlukan argumentasi-argumentasi yang berhubungan dengan kehendak manusiawi. Padahal, respon manusia terhadap suatu hal tidak sama, bergantung pada daya intelektual, situasi dan kondisinya, serta keinginan-keinginannya. Dengan demikian, ketika memberikan respon terhadap sesuatu pun, setiap manusia akan melaluinya dengan proses berfikir karena dia bukanlah mesin yang tidak memiliki tujuan atau sasaran hidup.

2. kedua, kubu yang berpandangan bahwa perilaku manusia itu berkembang sesuai dengan pengalaman yang terbentuk dalam dirinya. Seorang anak yang mengotori baju dengan makanan lantas mendapat kecaman, celaan, dan beberapa tindakan emosional lainnya akan membekaskan keterkaitan antara kepedihan psikologi dan kekotoran bajunya dalam perjalanan hidup anak itu hingga ia dewasa.

John Dewey mendefinisikan keterkaitan itu dengan istilah pengalaman. Jika bersumber dari masyarakat, pengalaman itu dapat didefinisikan sebagai pengalaman kemasyarakatan yang tidak hanya terbatas pada interaksi kelompok. Contoh lainnya adalah pengalaman sosial anak seputar tingkah lakunya yang dicela di depan tamu atau tingkah lakunya yang dianggap manis. Padahal pengalaman sosial anak itu berkembang sesuai dengan berkembangnya perasaan-perasaan kemasyarakatan melalui keakraban dan kebencian pada orang lain. Perkembangan semacam ini bisa diaplikasikan melalui berbagai pelajaran yang dinikmati anak-anak, seperti pelajaran berhitung, bahasa, cerita, pertukangan, atau kerajinan.

Rangkaian pengalaman mampu mengembangkan kemampuan anak dan membentuk perilaku anak dekat pada kehidupan masyarakat, baik itu melalui peradaban maupun berbagai situasi dan tuntutan hidup. Namun yang perlu dikaji ulang lagi, tidak semua pengalaman hidup manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia yang baik. Dengan demikian, tidak semua perkembangan itu digunakan untuk kebaikan.

Contoh konkretnya, kita menemukan banyak penjahat di Amerika yang menggunakan pengalaman, perkembangan intelektual, dan ketrampilannya untuk merugikan orang lain, misalnya dengan merampok, mencuri, dan kejahatan lainnya. Lebih jauh lagi, mereka memiliki tujuan mendidik generasi mudanya atau bawahan-bawahannya, jika mereka pengusaha, untuk memanfaatkan pengalamannya sebagai sarana kejahatan. Kecenderungan itu timbul karena mereka lebih banyak menggunakan pengalaman dan ketrampilannya sebagai sarana menggapai tujuan lahiriah, yaitu memperoleh kekayaan atau pemuas nafsu belaka.

Dari ilustrasi di atas dan dari kenyataan hidup sekarang, kita dapat memahami bahwa perkembangan merupakan sarana mewujudkan tujuan yang lebih jauh daripada sekedar perkembangan. Dari kecil hingga dewasa, perkembangan merupakan modal dasar dalam kehidupan manusia. Keteledoran dalam mengarahkan perkembangan akan menjerumuskan seorang anak dalam pemahaman yang keliru. Bisa jadi, jika seorang anak harus beraplikasi dalam kehidupan bermasyarakat, dia akan mendapatkan hasil perkembangannya untuk tujuan-tujuan yang tidak jelas atau membahayakan pihak lain.

Pendidikan Islam yang meletakkan segala perkara dalam posisi alamiah memandang seluruh aspek perkembangan sebagai sarana mewujudkan aspek ideal, yaitu penghambaan dan ketaatan kepada Allah serta aplikasi keadilan dan syariat Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan Islam ini mencakup pemeliharaan seluruh aspek perkembangan, baik aspek material, spiritual, intelektual, perilaku sosial, apresiasi atau pengalaman. Dan yang penting, Islam mengarahkan perkembangan tersebut ke arah perwujudan tujuan pendidikan yang tinggi.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Sosial

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Dalam kerangka pendidikan, perkembangan sosial meliputi aspek-aspek berikut ini:
1. Perkembangan perasaan kemasyarakatan, seperti perasaan terikat, kecenderungan untuk berkelompok, dan kegandrungan untuk saling mengikuti.
2. Perkembangan pengalaman kemasyarakatan dan hal-hal yang dihasilkannya, seperti pola-pola interaksi kelompok, pengetahuan aturan-aturan, pola-pola perilaku bermasyarakat, serta norma-norma kehidupan berkelompok
3. Perkembangan imajinasi kemasyarakatan serta tujuan bersama yang tercermin dalam diri setiap individu sebagai hasil pendidikan masyarakat yang mereka terima. Pendidikan masyarakat ini bisa tercipta melalui partisipasi dalam pesta-pesta, upacara keagamaan, pengenalan berbagai fenomena kelompok, atau melalui bidang ekonomi dan militer.

Pada dasarnya, pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketundukan, ketaatan, dan ibadah kepada Allah akan berakhir pada pengembangan perasaan kemasyarakatan yang lebih mulia dan terbuka pada kebaikan. Hal yang pertama kali ditetapkan oleh para sosiolog adalah konsepsi tentang masyarakat. Para sosiolong sepakat mengatakan bahwa masyarakat terbentuk akibat berkumpulnya sekelompok individu yang memiliki gambaran, tujuan, atau kepentingan yang sama, dan semuanya bekerja sama untuk kepentingan tersebut. Kesamaan tersebut mempersatukan mereka dalam berbagai ikatan yang mengikat seluruh individu. Sebagian membantu sebagian yang lain. Mereka membiasakan diri untuk menyukai kehidupan bersama, tolong menolong, dan tanggung jawab.

Dalam pendidikan Islam, tujuan kemasyarakatan didefinisikan sebagai upaya mempersatukan individu yang tercerai berai serta mengikat hati dan perasaan mereka dalam ikatan yang kuat, kokoh, dan tidak berubah-ubah. Realisasi tujuan tersebut memerlukan konsistensi individu dalam berfikir, beribadah, dan mempraktikkan syariat pada konsepsi Islam tentang alam semesta. Konsistensi terhadap syariat Islam serta realisasi syariat itu dalam kehidupan sehari-hari harus menjadi rangkaian konsepsi masyarakat muslim yang menjanjikan kedalaman, kesadaran, kejelasan, keteguhan, kemurnian, dan kelogisan. Itulah yang membedakan masyarakat muslim dari masyarakat lainnya.

Pada masyarakat yang tidak Islami, kita akan menemukan individu yang menerima konvensi kemasyarakatan secara membabi buta melalui peniruan-peniruan. Jika kita melihat pendidikan Islam, kita akan menemukan individu-individu yang merasa puas jika telah diberi kebebasan berfikir, kejelasan atas tujuan bersama, dan perasaan bangga atas tujuan tersebut. Selain itu, masyarakat muslim pun akan merasakan kebersamaan yang direalisasikan melalui Idul Adha, atau melalui shalat berjamaah. Demikian kita menemukan gambaran kolektif islami ini membentuk kebudayaan dan pemikiran seorang muslim, menjadi kontrol utama dalam perilaku bermasyarakat, dan menjadi tendensi psikologis yang mendalam tanpa kepura-puraan.

Melalui pendidikan islami, masyarakat akan memiliki otoritas dalam pelaksanaan syariat dan akidah Islam dengan tetap berpedoman pada konsepsi saling berpesan dalam kebenaran, saling menasehati, dan saling melarang dalam kemunkaran. Dengan tujuan yang bersifat kolektif, pendidikan Islam telah memurnikan penghambaan murni hanya kepada Allah serta menyatukan ide dan fikiran dalam tujuan yang sama. Dengan demikian, seluruh umat Islam akan terikat pada tauhid yang memegang amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana difirmankan Allah ini:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (Ali Imran: 110)

Al-Qur’an pun menjelaskan kewajiban berwali kepada Allah:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [yaitu] orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Sebagian mukmin pun merupakan wali bagi sebagian yang lain. Mereka dilarang mengambil wali selain mukmin untuk dirinya. Yang harus mengikat mereka hanyalah persaudaraan dalam keimanan.

Demikianlah, melalui penempatan anak dengan konsep pendidikan Islam, kita telah mempersiapkan anak-anak dalam pengembangan ikatan sosialnya sehingga dalam praktiknya, anak-anak akan terhindar dari praktik diskriminasi, kedhaliman, invasi, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Dengan demikian, keterkaitan pendidikan Islam terwujud hanya karena agama yang satu, bukan hanya karena kesamaan bahasa atau nasionalisme.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Akal

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Dalam pandangan Islam, akal merupakan potensi manusiawi yang paling penting. Itulah yang mendasari pemahaman dan kesempurnaan akal dalam rukun iman. Lebih jauh lagi al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal dalam merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada diri manusia atau yang ada pada alam semesta.

Al-Qur’an mengarahkan akal manusia untuk merenungi penciptaan manusia melalui analogi terhadap hari kebangkitan di akhirat kelak serta kepastian akan balasan Allah sesuai amal perbuatan manusia. Melalui al-Qur’an pula manusia manusia dianjurkan untuk menafakuri penciptaan langit dan bumi serta mengambil hikmah dari penciptaan umat-umat terdahulu. Bagi manusia yang mengingkari anjuran untuk merenungi dan memahami ayat-ayat al-Qur’an, Allah telah memberi predikat sebagai manusia yang bisu, tuli dan buta karena mereka tidak memikirkan apa yang dilihat dan didengarnya. Atau kalaupun mereka memikirkannya, mereka menolak untuk mengakui kebenaran yang mereka temukan. Pada dasarnya, mereka buta karena tidak melihat kebenaran atau ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini. Mereka juga tuli karena tidak mau mendengarkan kebenaran yang diserukan kepadanyaa atau merenungkan tempatnya kembali nanti.

Jika kita hitung, al-Qur’an mengandung 46 ayat yang menyatakan kata ta’qiluun atau ya’qiluun, 14 ayat yang menyatakan yatafakkaruun atau tatafakkaruun, dan 13 ayat yang menyatakan yafqaHuun. Ayat ayat itu tampil dengan anjuran untuk berfikir atau peringatan untuk orang-orang berakal. Anjuran untuk merenungi al-Qur’an dapat kita temui dalam 4 ayat. Al-Qur’an pun menyajikan 16 ayat yang menyeru orang-orang berakal untuk mengambil pelajaran dari berbagai kisah al-Qur’an atau tanda-tanda alam semesta melalui perenungan atas dalil-dalil yang menunjukkan kekuasan Allah.

Demikianlah, dalam rangka merealisasikan keimanan dan ketundukan kepada Allah, melalui perenungan atas kebesaran-Nya, pendidikan Islam mengajak manusia untuk memanfaatkan akal dalam berargumentasi, mencari kepuasan, merenung dan berobservasi. Pendidikan Islam pun mengajak manusia pada pemanfaatan fasilitas alam semesta sehingga tergalilah berbagai sunnah yang disediakan Allah bagi manusia. Jelasnya, pendidikan Islam mengembangkan akal manusia menurut pola perkembangan yang terbaik sehingga tidak akan pernah ada manusia berakal yang sombong, tidak mau menerima kebenaran.

Pendidikan Islam menghindarkan manusia dari ketulian sehingga manusia terhindar dari eksploitasi nafsu dan syahwat. Begitu juga, pendidikan Islam menghindarkan manusia dari kekerasan hati dan kejumudan akal sehingga manusia terhindar dari pengutamaan atas materi, kedudukan, dan kehormatan yang palsu. Islam pun menawarkan pendidikan yang mengajarkan berfikir sehat, tawadlu, ikhlas menerima kebenaran, jujur dalam keilmuan, dan optimis dalam mengaplikasikan teori-teori yang dia peroleh.

Dengan demikian, mantaplah konsep yang mengatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk mengembangkan akal manusia yang disempurnakan dengan pengembangan jasmaniah. Dalam pendidikan Islam, aspek intelektual berkembang dari kecermatan dan kejujuran berfikir serta aplikasi praktis menuju pengakuan akan adanya Dzat Yang Mahatinggi, melalui pencarian petunjuk serta menjauhkan diri dari eksploitasi hawa nafsu. Dengan begitu, manusia akan mudah menemukan argumentasi dan pengetahuan yang meyakinkan, jauh dari praduga.

&

Pendidikan Islam dan Konsep Perkembangan Jasmani

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”

Hadits di atas tersirat konsepsi bahwa ketaatan, penghambaan, dan seruan kepada Allah memerlukan upaya dan kekuatan fisik. Selain itu, Islam pun mengharamkan perbuatan bunuh diri, membunuh orang lain, atau sengaja menyakiti fisik. Bagi umat Islam, shalat, shaum, atau haji merupakan sarana mengaktifkan alat-alat tubuh. Islam pun sangat memperhatikan kesejahteraan umatnya dengan mewajibkan seorang bapak, suami, wali atau bahkan negara untuk memberikan nafkah kepada anak dan wanita yang sedang menyusuhi.

Dalam membina kekuatan fisik, Rasulullah saw. menganjurkan umat Islam untuk berolah raga, seperti berkuda, memanah, atau renang. Beliau dan Aisyah pernah melongokkan kepalanya dari kamar mereka ke halaman masjid ketika orang-orang Habsyi bermain perang-perangan, bahkan beliau pernah bergulat melawan seorang pegulat Habsyi Rukanah dan beliau dapat mengalahkannya. Pada kesempatan lain, beliau pernah balapan lari dengan Aisyah. Para shahabat sering berlatih melempar anak panah setelah mereka shalat maghrib.

Dalam sebuah hadits dikatakan, Rafi’ bin Khadij pernah berkata: “Kami shalat maghrib bersama Nabi saw. Lalu salah seorang di antara kami berpaling sedang dia masih bisa melihat sasaran anak panahnya.” (HR Bukhari)

Abdullah bin Umar pun pernah mengatakan: “Rasulullah saw. melombakan kuda-kuda kurus mulai dari al-Hafya hingga Tsaniyyatil Wada dan beliau melombakan kuda-kuda gemuk dari Tsaniyyatil Wada hingga masjid Bani Zuraiq.” (HR Bukhari)

Dari gambaran di atas, kita dapat mengatakan bahwa pendidikan Islam pun memperhatikan masalah pengembangan fisik dan pelatihan anggota tubuh yang diarahkan untuk kebaikan manusia dan masyarakat. Pengarahan tersebut dilakukan melalui dua langkah berikut:

1. Mengarahkan segala kekuatan pada segala perkara yang diridlai Allah, misalnya membantu orang yang sedang kesulitan atau untuk berjihad di jalan Allah.
2. Menjauhkan kekuatan fisik dari segala perkara yang dibenci Allah, seperti memberatkan hukuman, menyulut permusuhan, atau sombong dengan kekuatan dan kedudukannya.

&

Islam dan Konsep Aktualisasi Diri

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Sir Barsey Nun, tokoh pendidikan Barat dalam bukunya “Pendidikan” mengatakan bahwa sesungguhnya pembinaan kepribadian merupakan tujuan tertinggi dari sebuah pendidikan. Seperti sebagian besar tokoh pendidikan Barat, Barsey pun menganggap perbedaan karakter dan identitas individu merupakan dasar diterapkannya kebebasan mutlak serta pemberian kesempatan dan situasi yang sesuai bagi setiap orang sehingga setiap orang dapat mewujudkan setiap karakter dan identitasnya dalam situasi sosial tertentu. Bagi mereka, pendidikan harus mempertinggi aktifitas individu, baik pria maupun wanita sehingga melalui pendidikan prinsip aktualisasi diri berjalan sesuai dengan hukum alam dan dapat membuktikan berbagai kebenaran hidup.

Islam memandang konsep pendidikan barat tersebut dari dua segi.
Pertama, kebebasan dan aktivitas individu harus berjalan dalam keadaan terkontrol sehingga individu itu terlindungi dari tipuan yang merugikan diri sendiri atau masyarakat sekitar. Jika setiap anak didik tumbuh dengan prinsip bahwa seluruh alam semesta ini dapat dijadikan ajang aktualisasi diri tanpa kontrol yang menjadikan aktualisasi itu lebih mulia dan terarah, masyarakat macam apakah yang dihasilkan dari pendidikan seperti itu?
Kedua, kebebasan beraktifitas bagi setiap individu hanya akan melahirkan masyarakat yang individualis. Karenanya, aktualisasi itu tidak hanya menuntut adanya pembebasan, tetapi juga memerlukan kebersamaan sehingga dengan identitas masing-masing manusia tidak merasa adanya sikap membeda-bedakan individu.

Tujuan pendidikan di atas tidak kita temukan dalam teori aktualisasi diri. Sir Bersey Nun sendiri tidak terlalu berani untuk jelas-jelas mendasarkan teorinya pada standar baik dan burukk. Dia hanya mengatakan bahwa pandangan orang yang menganggap teori-teorinya tidak didasarkan pada baik dan buruk adalah pendapat yang salah. Bagaimanapun ia terikat konsensus dengan tokoh pendidikan Barat lainnya.

Gambaran di atas membuktikan betapa perlunya prinsip mutlak yang mengatur konsep pendidikan manusia. Dengan demikian kita tidak akan terjebak pada teori-teori buatan manusia yang cenderung sarat perselisihan antar ahli. Ternyata Islam menawarkan prinsip pendidikan yang sesuai dengan kondisi seluruh manusia, baik kondisi sosialnya, psikologinya dan lain-lain.

Lalu bagaimana konsep pendidikan Islam mampu memenuhi tujuan aktualisasi diri? Di bawah ini ada beberapa kiat pendidikan Islam:

1. Ketika manusia memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya, Allah memberikan bekal kemampuan membedakan yang baik dan buruk. Artinya, Allah memberikan kebebasan memilih kepada manusia serta menjelaskan konsekuensi pilihan yang akan dirasakan manusia di akhirat kelak. Dalam hal ini, Allah telah menentukan takdir setiap manusia, sehingga ada manusia yang memilih jalan kebaikan dan ada juga yang memilih keburukan.

2. Allah membiarkan ajang kompetisi dalam kebaikan tetap terbuka bagi manusia. Prinsip yang Dia tekankan adalah penyesuaian balasan di akhirat kelak dengan perbuatan manusia di dunia. Yang membedakan balasan Allah kepada manusia hanyalah ketakwaan manusia kepada-Nya.

3. Allah menjadikan penghambaan dan ketaatan manusia kepada-Nya sebagai tujuan tertinggi. Hanya itulah yang menjadi tolok ukur aktualisasi diri dalam Islam sehingga jelaslah, mana aktualisasi yang tepat dan mana aktualisasi yang tidak tepat. Artinya, aktualisasi itu bukanlah tujuan akhir kehidupan manusia. Itu hanya sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

4. Beberapa ayat dan hadits menjelaskan pentingnya manusia beraktifitas atau bekerja sesuai dengan kesiapan dirinya. Artinya setiap manusia memiliki kesiapan-kesiapan yang satu sama lain berbeda tanpa kehilangan semangat untuk memperoleh petunjuk Allah. Untuk itu, Allah swt berfirman:
“Sucikanlah nama Rabb-mu Yang Mahatinggi. Yang menciptakan dan menyempurnakan [penciptaan-Nya]. dan yang menentukan kadar [masing-masing] dan memberi petunjuk.” (al-A’laa: 1-3)
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (at-Taubah: 105)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bekerjalah kamu, maka setiap orang akan dimudahkan menuju sesuatu yang diciptakan Allah untuknya.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini dengan kemampuan atau kompetisi yang membawa manusia pada pembedaan profesi sesuai keahliannya. Dalam Tuhfatut al-Maududi bi ahkami al Maulud, Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Hal yang harus menjadi pegangan, seorang anak harus mengerjakan sesuatu sesuai dengan kesiapan dan kesanggupannya dengan tetap berada pada jalur yang islami. Jika kita mengetahui pekerjaan yang memang diminati anak, dia tidak boleh dipaksa melakukan pekerjaan lain. Pemaksaan untuk melakukan pekerjaan lain hanyalah akan menghasilkan kesia-siaan. Jika seorang anak memiliki pemahaman yang baik, daya tangkap yang shahih serta hafalan yang bagus, tandanya dia respon dan siap menerima ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, jika seorang anak lebih tertarik pada kegiatan melempar tombak, menunggang kuda, memanah, dan lain-lain, merupakan indikasi untuk diarahkan pada kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan olah raga. Jika seorang anak terpesona oleh pertukangan yang kita yakini sebagai pertukangan yang positif, sebaiknya anak kita ditempatkan pada bidang itu. Tentu saja dimanapun seorang anak ditempatkan, dia harus dibekali dengan kesadaran hidup beragama.”

Hal itu dipertegas oleh Ibnu Sina dalam al-Qanun: “Seorang pendidik harus mencari materi-materi pertukangan untuk anak didiknya. Seorang anak tidak boleh dipaksa untuk menyerap konsep-konsep pengetahuan jika ternyata dia tidak berminat pada bidang itu. Jika pun seorang anak diarahkan pada pertukangan, dia tidak boleh dibiarkan berjalan sesuai dengan ambisinya, karena, bisa jadi apa yang diinginkannya itu tidak sesuai dengan apa yang dapat ia kerjakan. Dengan demikian, dia harus mendapatkan pengarahan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.

&

Islam dan Tujuan Pendidikan Barat

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Perealisasian pendidikan melalui ibadah tidak diartikan sebagai upaya yang terfokus pada aspek ritual seperti pergi ke masjid atau membaca al-Qur’an. Untuk menyempurnakannya, kita harus memaknai ibadah itu sebagai ketaatan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, pada dasarnya, konsep pendidikan Islam pun mencakup seluruh tujuan pendidikan yang dewasa ini diserukan oleh Barat.

Lebih dari itu pendidikan Islam adalah satu-satunya konsep pendidikan yang menjadikan makna dan tujuan pendidikan lebih tinggi sehingga mampu mengarahkan manusia pada visi ideal dan menjauhkan manusia dari ketergelinciran serta penyimpangan. Karena Islam-lah, pendidikan memiliki misi sebagai pelayan kemanusiaan dan mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat. Artinya, Islam akan berhasil mewujudkan tujuan pendidikan yang selama ini menjadi obsesi tokoh pendidikan Barat.

&

Tujuan Pendidikan Islam

21 Jul

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat;
Abdurrahman An-Nahlawi

Karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berkesadaran dan bertujuan, Allah telah menyusun landasan pendidikan yang jelas bagi seluruh manusia melalui syariat Islam. Konsep ketinggian dan keuniversalan pendidikan Islam harus dipahami sebelum kita beranjak pada metode dan karakteristik pendidikan tersebut. Pengkajian alam semesta yang disertai pemahaman atas kejelasan landasan dan tujuan penciptaan akan memperkuat keyakinan dan keimanan manusia atas keberadaan Allah.

Allah menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang jelas. Dia menciptakan manusia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini melalui ketaatan kepada-Nya. Untuk mewujudkan tujuan itu, Allah memberikan hidayah serta berbagai fasilitas alam semesta kepada manusia. Artinya, manusia dapat memanfaatkan alam semesta ini sebagai sarana merenungi kebesaran Penciptanya. Hasil perenungan itu memotivasi manusia untuk lebih menaati dan mencintai Allah. Di sini Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih pekerjaan mana yang akan dipilih manusia, kebaikan atau keburukan. Namun, melalui para Rasul, Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar memahami tujuan hidup yang semata-mata untuk beribadah kepada Allah.

Dalam memaknai tujuan hidup ini, manusia diberi kesempatan sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan Allah melalui musnahnya kehidupan duniawi ini. Dari situ, Allah menjadikan manusia dan semesta sebagai makhluk baru yang kemudian dihisab dan dibalas sesuai dengan amal perbuatan. Allah akan membalas kekufuran dengan jahannam, dan kebaikan dengan kenikmatan surga abadi.

Konsepsi tentang alam semesta memperjelas tujuan dasar keberadaan manusia di muka bumi ini, yaitu penghambaan, ketundukan kepada Allah, dan kekhalifahannya di muka bumi ini. Kesadaran akan tugas kekhalifahan di muka bumi ini akan menjauhkan manusia dari sikap eksploitasi alam. Yang ada hanya sikap memakmurkan alam semesta melalui perwujudan ketaatan pada syariat Allah. Al-Qur’an pun telah jelas-jelas menegaskan tujuan penciptaan manusia ini melalui firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzaariyaat: 56)

Jika tugas manusia dalam kehidupan ini demikian penting, pendidikan harus memiliki tujuan yang sama dengan tujuan penciptaan manusia. Bagaimanapun, pendidikan Islam sarat dengan pengembangan nalar dan penataan perilaku serta emosi manusia dengan landasan dinul Islam. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial.

&