Tag Archives: seiman

Hendaknya Seorang Muslim Berprasangka Baik kepada Saudaranya dan Memandangnya Lebih Baik daripada Dirinya Sendiri

11 Apr

Hendaknya Seorang Muslim Berprasangka Baik kepada Saudaranya dan Memandangnya Lebih Baik daripada Dirinya Sendiri
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Seorang muslim dituntut untuk berbaik sangka kepada saudaranya dan pada saat bersamaan berburuk sangka kepada diri sendiri. Itulah sebagian dari tanda-tanda kearifannya.

Mengenai kewajiban berbaik sangka kepada kaum muslimin secara umum, Allah swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” (al-Hujurat: 12)

Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu merupakan sedusta-dusta perkataan.”

Prasangka yang disebutkan dalam ayat di atas adalah tuduhan. Adapun yang dilarang adalah menuduh tanpa sebab-sebab atau alasan-alasan yang membenarkannya. Misalnya, seseorang menuduh orang lain berzina atau minum khamr, padahal ia tidak melihat bukti-buktinya.

Para ulama salaf berkata bahwa ciri yang membedakan prasangka yang harus dijauhi dari prasangka-prasangka lain adalah bahwa apasaja yang tidak diketahui bukti-buktinya yang benar atau sebab-sebabnya secara jelas maka kita diharamkan untuk berprasangka. Apabila orang itu tidak nampak berperilaku buruk, terlihat baik dan amanah, maka menuduhnya sebagai orang yang tidak baik dan berkhianat diharamkan, berbeda halnya dengan orang yang dikenal oleh masyarakat sebagai pelaku tindakan negatif dan terang-terangan biasa berbuat aniaya.

Prasangka dalam kacamata syariah dibedakan menjadi dua:

1. Prasangka yang baik, yaitu prasangka yang bisa membawa keselamatan agama bagi yang berprasangka maupun yang disangka, jika sangkaan itu sampai kepadanya.
2. Prasangka yang tercela, yakni prasangka yang tidak membawa keselamatan agama orang yang berprasangka maupun yang disangka, apabila sangkaan itu sampai kepadanya. Ini sesuai dengan firman Allah, “Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (al-Hujurat: 12)
“Mengapa ketika kalian mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri?” (an-Nuur: 12)
“Kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (al-Fath: 12)

Diriwayatkan dari Nabi saw., “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan dari seorang muslim darah dan kehormatannya, serta mengharamkan pula prasangka kepadanya dengan prasangka yang buruk.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6152, tetapi tidak penulis tidak mendapatkannya dalam Kutub Tsamaniyah)

Dari Hasan diriwayatkan, “Dahulu kami berada di suatu zaman, yang berprasangka kepada orang lain adalah perbuatan haram. Sedangkan engkau sekarang ini berada di suatu zaman, yang engkau bebas; berbuatkah, diamkah, atau berprasangkakah, terhadap sesuatu yang secara lahir tampak buruk.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6152, Kairo tanpa tahun)

Demikianlah seyogyanya seseorang selalu berprasangka baik kepada saudaranya. Hendaklah ia juga membandang saudaranya itu lebih baik daripada dirinya sendiri. Artinya, hendaklah ia menundukkan dirinya terlebih dahulu sebelum menundukkan saudaranya.

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Syadad bin Aus ra. dari Nabi saw. ia bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang menghitung dirinya dan beramal dengan orientasi setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, tetapi berangan-angan kepada Allah.”

Sufyan berkata, “Apabila dikatakan kepadamu, ‘Wahai manusia paling jahat!’ lalu engkau marah, maka engkau adalah manusia yang paling jahat.”

Hal ini berarti bahwa manusia hendaknya meyakini hal itu pada dirinya, lalu berusaha secara sungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari keburukan serta mengubahnya menjadi baik. (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6153, Kairo tanpa tahun)

Salah satu etika berukhuwah adalah engkau hendaknya memandang dirimu lebih rendah daripada saudaramu, dan melihatnya lebih baik daripadamu.

Abu Muawiyah al-Aswad berkata, “Semua shahabatku lebih baik daripada diriku.” Ada yang bertanya, “Bagaimana bisa begitu?” ia menjawab, “Mereka semua memandangku lebih baik daripada dirinya, berarti dia lebih baik daripada diriku.” (Ahmad al-Qurthubi dalam tafsirnya, VII/6153, Kairo tanpa tahun)

Salah satu etika ukhuwah adalah engkau hendaknya memberikan perhatian kepada saudaramu dan jangan memalingkan wajah ketika ia berbicara kepadamu. Itu merupakan sunnah Nabi saw.

Tirmidzi meriwayatkan dalam asy-Syamil dengan sanadnya dari Ali ra. Nabi saw. selalu memberikan kepada setiap orang yang duduk menghadap beliau sebagian dari wajahnya. Tidaklah seseorang yang didengar pembicaraannya oleh beliau kecuali beliau menyangka bahwa dialah orang yang paling dihormati oleh beliau. Barangsiapa meminta suatu kebutuhan kepada beliau, pasti beliau memberikannya, atau kalau tidak, pasti beliau menjawabnya dengan perkataan yang baik.

Ashbahani meriwayatkan dalam kitabnya Akhlaq an-Nabi saw. dengan sanadnya dari Anas bin Malik ra. ia berkata, “Saya tidak pernah melihat sama sekali seseorang yang menggandeng tangan Rasulullah saw. kecuali beliau membiarkan tangannya hingga orang itu sendiri yang melepaskannya tangannya.”

Demikianlah, apabila orang-orang yang berukhuwah karena Allah mau melaksanakannya, niscaya mereka bisa memperkuat tali ukhuwah dalam Islam dan membuka jalan mereka menuju apa yang mereka cita-citakan.

&

Tidak Meminta Orang Lain Rendah Hati Kepadanya

11 Apr

Tidak Meminta Orang Lain Rendah Hati Kepadanya
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Seseorang hendaknya tidak meminta saudaranya untuk bersikap rendah hati [tawadlu’] kepadanya, namun ia sendiri harus tawadlu’ kepada saudaranya itu.

Tawadlu’ harus dengan niat karena Allah swt. Sikap tawadlu’ kepada orang-orang mukmin merupakan sifat terpuji paling utama bagi seorang muslim. Dan salah satu sifat Nabi Muhammad saw.. Allah swt. telah memerintahkan beliau untuk itu dengan firman-Nya yang artinya: “Rendahkanlah hatimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (asy-Syu’ara: 215)

Allah memuji orang-orang yang mencintai dan dicintai-Nya, dengan menyebut mereka sebagai orang-orang yang memiliki sifat tawadlu’. Firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, mereka lemah lembut terhadap orang-orang mukmin.” (al-Maidah: 54)

Lemah lembut [adzillah] di sini berarti kasih sayang dan lunak perasaan, itulah tawadlu’.
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang bertawadlu’ kepada Allah, kecuali Allah pasti mengangkatnya.”

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Iyadh bin Hammar ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, bahwa hendaknya kalian bertawadlu’ agar tidak ada seseorang yang angkuh kepada orang lain dan tidak ada seseorang yang aniaya kepada orang lain.”

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ra. bahwa pernah terjadi seorang budak perempuan Madinah menggandeng tangan Nabi saw. dan mengikuti beliau pergi kemana saja ia suka.

Abu Asy-Syaikh al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. biasa menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan budak, dan mengendarai keledai. Pada masa perang Khaibar dan perang bani Quraidhah beliau mengendarai keledai yang tali kekangnya terbuat dari sabut dan di bawah beliau ada kain pelana yang terbuat dari sabut pula.

Sungguh tidak layak apabila seorang muslim meminta saudaranya untuk bersikap tawadlu’ kepada saudaranya yang lain, karena ini bukan merupakan salah satu akhlak dan etika dalam Islam, juga bukan merupakan salah satu sifat yang diamalkan oleh Nabi saw. Beliau tidak suka apabila orang-orang berdiri untuk menghormati beliau ketika beliau datang kepada mereka.

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas dia berkata, “Tidak ada seseorang yang paling dicintai oleh mereka selain Rasulullah saw., akan tetapi apabila mereka melihat kehadiran beliau, mereka tidak berdiri, karena mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai hal itu.”

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Mujliz, ia berkata bahwa ketika Muawiyah keluar, berdirilah Ibnu az-Zubair dan Ibnu Shafwan begitu melihatnya. Muawiyah pun berkata, “Duduklah kalian berdua! Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa merasa senang apabila orang lain berdiri menghormati kehadirannya, hendaklah ia menempati tempatnya di neraka.”

Sebagian salafush shalih mengatakan, “Barangsiapa menuntut kepada orang lain sesuatu yang tidak dituntut kepada dirinya, berarti ia telah membebani mereka. Dan barangsiapa tidak menuntut, berarti ia telah memahami apa yang paling utama untuk mereka.”

&

Mempergauli Saudara Sesama Muslim dengan Bersahaja tanpa Takalluf (Memaksakan Diri)

11 Apr

Mempergauli Saudara Sesama Muslim dengan Bersahaja tanpa Takalluf (Memaksakan Diri)
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Kesahajaan merupakan salah satu sifat seorang muslim, sekaligus tanda kepahamannya kepada agama. Yang dimaksud bersahaja dalam pergaulan seseorang dengan saudaranya seiman adalah bahwa orang itu bahwa orang itu hendaklah lebih suka melihat pada dirinya sendiri tanpa melihat kepada orang lain, yakni berbaik sangka kepada orang lain dengan berburuk sangka kepada diri sendiri. Itu merupakan salah satu bentuk kecerdikan seorang mukmin. Apabila seorang mukmin melihat bahwa saudara-saudaranya lebih baik daripada dirinya, ketika itu berarti ia lebih baik daripada mereka, jika ia masih termasuk orang-orang mukmin yang berbuat baik.

Bersahaja lawan kata dari takalluf, yang artinya adalah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dengan memberatkan dirinya dan mengada-ada. Takalluf terbagi menjadi dua macam:

– Takalluf yang terpuji, yaitu apa yang dilakukan oleh seseorang agar perbuatan berat yang dilakukannya berangsur dirasa mudah dan menjadi pekerjaan yang biasa baginya.
– Takalluf yang tercela, yaitu apa yang dilakukan oleh seseorang sekedar untuk untuk basa-basi. Inilah yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam sabdanya: “Aku dan orang-orang yang bertaqwa berlepas diri dari takalluf.” (HR ad-Daruquthni dalam al-Afrad)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Ketahuilah bahwa aku dan orang-orang shalih dari kalangan umatku berlepas diri dari takalluf.”

Ali ra. juga berkata, “Seburuk-buruk kawan adalah yang membuatmu bersikap terpaksa, yang menjadikanmu membutuhkan sikap cari muka, dan membuatmu banyak beralasan.”

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata, “Orang mukmin adalah saudara bagi orang mukmin yang lain, tidak memandangnya sebagai harta rampasan, tidak juga membuatnya letih.”

Diriwayatkan dari Ja’far ash-Shiddiq ra. ia berkata, “Sahabatku yang paling memberatkan adalah yang bertakalluf dan aku pun menjadi harus berhati-hati terhadapnya. Sedangkan sahabatku yang paling meringankan di hatiku adalah orang yang jika aku bersamanya sepertinya aku seorang diri.”

Seseorang berkata kepada Junaidi, “Di masa sekarang ini sedikit sekali saudara. Manakah saudaraku yang semata-mata karena Allah?” Junaidi tidak menggubrisnya sampai orang itu berkata tiga kali. Ketika ia telah banyak mengulang perkataannya, Junaidi berkata kepadanya, “Jika engkau menginginkan saudara yang mencukupi kebutuhan makanmu dan menanggung beban deritamu, demi umurku, sungguh memang sedikit jumlahnya. Akan tetapi jika yang engkau inginkan adalah seorang saudara karena Allah yang akan kau tanggung kebutuhan makannya dan engkau mau bersabar dengan gangguannya, saya mempunyai jamaah yang akan kukenalkan kepadamu.” Maka orang itupun terdiam.

Ibnu Adiy meriwayatkan dalam al-Kamil dengan sanadnya dari Anas ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang tergantung agama shahabatnya. Tidak ada kebaikan bersahabat dengan orang yang tidak memandangmu sebagaimana engkau memandangnya.”

&

Jangan Sampai Orang Lain Meminta untuk Dipenuhi Hak-Haknya

16 Mar

Jangan Sampai Orang Lain Meminta untuk Dipenuhi Hak-Haknya
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap ruas tulang manusia wajib untuk disedekahi, setiap hari selama matahari terbit. Engkau berbuat adil terhadap kedua orang tua adalah sedekah, engkau membantu seseorang yang berkendaraan dengan membantunya menaikkannya atau mengangkatkan barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah, perkataan yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan aral dari jalan juga adalah sedekah.”

Dailami meriwayatkan dalam al-Firdaus dengan sanadnya dari Anas ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada empat hal yang merupakan hak kaum muslimin atasmu: menolong orang yang berbuat baik di antara mereka, memintakan ampun kepada orang yang berbuat dosa, mendoakan orang yang meninggalkan [berpisah] dan mencintai orang yang bertaubat di antara mereka.”

Empat hak yang disebut ini telah meliputi berbagai amalan lain yang tak terhitung jumlahnya, yang termasuk dalam kategori hak seorang muslim atas saudaranya sesama muslim. Seseorang berkewajiban untuk melaksanakan semua itu dengan inisiatif sendiri secara sukarela.

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. Nabi saw. bersabda, “Ada 40 sifat [yang paling tinggi adalah kematian syahadah] dimana tidak seorang pun yang mengamalkan salah satu darinya dengan mengharap pahala-Nya dan mempercayai apa yang dijanjikan untuknya kecuali Allah pasti memasukkannya ke dalam surga.”

Ibnu Hajar mengomentari hadits ini berkata, “Rasulullah saw. telah menganjurkan berbagai macam kebaikan dan kebajikan yang tidak terhitung banyaknya. Tentu saja beliau saw. mengetahui keempat puluh sifat terpuji itu, tetapi beliau tidak menyebutkannya satu persatu, dengan pertimbangan bahwa itu lebih baik bagi kita dibandingkan apabila itu beliau sebutkan secara terperinci.”

Ibnu Bathar berkata, “Saya pernah mendengar bahwa sebagian dari mereka ada yang mencarinya. Orang tersebut menemukan lebih dari empat puluh. Di antara yang ditambahkan adalah: menolong pembantu, membuatkan sesuatu untuk orang yang bodoh, melindungi kehormatannya, memasukkan rasa senang kepadanya, menunjukkan kebaikan, berkata yang baik, mengolah tanah dan menanaminya, membesuk orang sakit, berjabat tangan, mencintai karena Allah, membenci karena-Nya, duduk bercakap-cakap karena Allah, saling menziarahi-menasehati- dan menyayangi yang kesemuanya terdapat dalam hadits-hadits shahih. (Ibnu Hajar, Fathul Bari, Sarh Shahih al-Bukhari, V/290, Darur Riyadh li at-Turats, Kairo, 1407 H/1986 M.)

Adalah bagian dari etika ukhuwah dalam Islam jika seorang muslim melaksanakan semua hal itu. Namun jika tidak dapat menunaikan seluruhnya, atau hanya dapat menunaikan sebagiannya, hendaklah diberikan permakluman dan toleransi. Hanya saja tetap dibarengi dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan hak-hak saudaranya itu.

Ukhuwah dalam Islam yang terjalin di antara dua orang muslim tidak akan terjalin kokoh kecuali dengan memperhatikan hak-hak ini dan dengan tidak menuntut dari saudaranya hal-hal yang ia tidak mampu melaksanakannya.

&

Hak Seorang Musim untuk Mendapatkan Kesetiaan (Wafa’)

16 Mar

Hak Seorang Musim untuk Mendapatkan Kesetiaan (Wafa’)
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Sikap setia atau wafa’ adalah sikap konsisten dalam mencintai, baik ketika saudaranya masih hidup maupun setelah kematiannya, dengan melimpahkannya kepada anak-anak dan sahabat-sahabatnya.

Kesetiaan bagi kaum muslimin tegak di atas rasa cinta karena Allah, sedangkan kecintaan kepada Allah bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan kampung akhirat dengan segala yang ada di sisi Allah. Dengan kata lain, ia ditujukan untuk meraih hal-hal yang bersifat lebih kekal dan lebih baik.

Wafa’ dalam konteks ini bermakna keteguhan mencintai, dengan syarat bahwa cinta ini melahirkan sikap ingin bersatu dan berpisah karena Allah swt.

Makna wafa’ yang lain selain setia adalah penyempurnaan atau menepati. Misalnya ungkapan “wafa’ bi ‘aHdiHi” berarti menyempurnakan janjinya. Kebalikannya adalah berkhianat atau meninggalkan.

Makna wafa’ yang lain adalah menunaikan. Ungkapan “ar-rajul al-wafiy” artinya seseorang yang mengambil dan memberi hak.

Jadi, wafa’ di sini meliputi semua makna di atas, selain bermakna tetap dan konsisten dalam mencintai, karena adalah lazim bahwa seseorang berhak atas semua jenis wafa’ di atas dari saudara sesama muslim.

Macam-macam wafa’ yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang berukhuwah dalam Islam:

1. Seseorang berhak mendapatkan wafa’ dari saudaranya seiman, dalam arti kesetiaan dalam mencintai karena Allah selama keduanya bersatu karena-Nya. Wafa’ dalam pengertian ini merupakan hak seseorang atas saudaranya hingga mati, dengan mengalihkannya kepada anak-anak yang ditinggalkannya, kerabat-kerabatnya, sahabat-sahabatnya, dan semua orang yang mencintai atau dicintainya.

2. Saudaranya berkewajiban untuk menyempurnakan perjanjian di antara keduanya, yaitu perjanjian kepada Allah untuk saling bersaudara dalam Islam dan berjuang di jalan-Nya, janji untuk saling berwasiat di atas kebenaran dan kesabaran, serta terus menempuh jalan dakwah sehingga masing-masing dari keduanya kembali keharibaan Tuhannya.

3. Ia juga berhak atas saudaranya dalam hal wafa’ dalam arti hendaklah saudaranya itu menunaikan segala hak dan melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh hubungan ukhuwah dalam Islam, baik berupa perkataan, perbuatan, doa, pemenuhan kebutuhan, pembelaan terhadap gunjingan, nasehat, pengajaran, dan sebagainya.

4. Ia juga berhak atas saudaranya itu dalam hal ditunaikannya perjanjian. Artinya, hendaklah saudaranya itu melaksanakan konsekuensi perjanjian ukhuwah dalam Islam. Hendaklah saudaranya itu memandangnya seperti memandang dirinya sendiri, terus bersamanya menempuh jalan dakwah dalam perkataan, hikmah, pengajaran yang baik, perdebatan dengan cara yang baik, serta amar ma’ruf dan nahi munkar. Salah satu tuntutan perjanjian itu adalah menolong. Juga menasehati dan menutupi jika pada saudaranya terdapat aib, dan ia memiliki peluang untuk itu.

5. Ia juga berhak atas saudaranya untuk mendapatkan wafa’ dalam arti mengambil hak darinya dan menuntut kewajiban, tanpa mengalah pada salah satunya.

Allah telah memerintahkan agar bersifak wafa’ terhadap perjanjian, dengan firman-Nya yang artinya:
“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji.” (an-Nahl: 91)
“Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.” (al-Ahzab: 15)
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah ikatan-ikatan perjanjian itu.”(al-Maidah: 1)

Perjanjian pada ayat pertama dan kedua menggunakan kata al-‘ahdu, yang maknanya “menjaga dan memperhatikan sesuatu secara terus-menerus.” suatu perjanjian yang mengharuskan untuk dipelihara terus disebut juga dangan ‘ahd.

Pada ayat ketiga disebut dengan kata “al-‘aqd” yang artinya “perjanjian antara kedua belah pihak yang harus dilaksanakan.”

Sedangkan kata ‘aHdullah [perjanjian Allah], yakni perjanjian yang diambil oleh Allah dari kita agar kita beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan siapapun. Bisa juga berarti seluruh perintah, larangan, atau wasiat-Nya.

Pemenuhan perjanjian itu disandarkan kepada Allah swt, karena Dia adalah Dzat yang menjadi saksi dan melihat dua orang yang mengadakan perjanjian itu. Orang-orang yang mengikat perjanjian itu akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah; ia menunaikannya atau tidak, karena Allah swt. telah memerintahkan agar mereka memenuhi ikatan perjanjian itu.

Ikatan perjanjian Allah swt. adalah janji yang dibuat oleh seseorang kepada Allah untuk melaksanakan ketaatan dan amal shalih yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Demikian pula semua transaksi yang dibuat oleh seseorang dengan orang lain, misalnya: jual beli, sewa menyewa, pernikahan, perceraian, muzara’ah [perjanjian bagi hasil di bidang pertanian], dan sebagainya, hendaknya dilakukan dengan menggunakan hukum Islam.

Ibnu Abbas ra berkata, “Penuhilah perjanjian-perjanjian.” Artinya penuhilah apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah, serta apa yang diwajibkan dan dilarang-Nya dalam segala hal.

Perjanjian dan akad merupakan ikatan yang dibuat oleh pelakunya untuk dirinya sendiri, karena Nabi saw. bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra, “Orang-orang muslim terikat dengan syarat-syarat mereka.”

Bukhari meriwaytkan dengan sanadnya dari Aisyah ra. ia berkata, “…Kemudian Rasulullah berdiri di hadapan banyak orang, beliau memuji Allah lalu bersabda, ‘Mengapa orang-orang membuat persyaratan yang tidak terdapat dalam kitabullah? Itu adalah batal, sekalipun berjumlah seratus syarat, ketetapan Allah lebih wajib dan syarat-Nya lebih kuat.” (al-Qurthubi dalam tafsirnya III/2030, asy-Sya’b, Mesir)

Syarat, perjanjian, dan aqad yang wajib dipenuhi adalah yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam kitabullah. Apabila jelas bahwa di dalamnya terdapat hal yang bertentangan denganya, ia tertolak. Hal itu berdasarkan kepada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ummul Mukminin Aisyah ra. ia berkata, “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami ini [urusan agama] yang bukan berasal darinya, ia tertolak.”

Islam telah mengingatkan akan bahaya pengkhianatan dan mengingkari perjanjian. Bahkan orang yang berkhianat akan menjadi lawan Rasulullah saw.
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanadnya dalam ash-Shaghir dari Abu Hurairah ra. yang berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tiga orang yang akan menjadi lawanku pada hari kiamat, padahal barangsiapa melawanku aku akan memusuhinya, yakni: seseorang yang memberikan perjanjian kepadaku kemudian mengingkari, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hartanya, dan seseorang yang mempekerjakan orang lain, sementara orang tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya namun ia tidak memberikan upahnya.”

Persaudaraan dalam Islam menuntut wafa’ ini, bahkan semua bentuk wafa’, karena program Nabi saw. yang paling menonjol setiba beliau di daar al-Hijrah Madinah al-Munawwarah adalah persaudaraan antara orang-orang muhajirin dan anshar.

Rasulullah saw. mempersaudarakan para shahabatnya di kalangan muhajirin dan anshar. Beliau bersabda, “Bersaudaralah kalian karena Allah, dua-dua.” Kemudian beliau mengambil tangan Ali bin Abi Thalib ra. dan berkata, “Ini adalah saudaraku.” (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, I/504).

Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Yazid bin Nu’amah adh-Dhahabi, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mempersaudarakan orang lain, hendaknya ia menanyakan tentang namanya, nama bapaknya, dan dari kalangan apa. Hal itu akan lebih memperkuat jalinan cinta kasih.”
Hadits yang serupa dengan hadits tersebut diriwayatkan juga dari Abdullah bin Umar ra.

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath ash-Shaghir dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling kucintai di antara kalian adalah mereka yang bisa menyatu dan dipersatukan. Sedangkan yang paling kubenci di antara kalian adalah orang-orang yang berjalan dengan mengadu domba dan memutuskan hubungan antara orang-orang yang bersaudara.”

Jalan dakwah ini sungguh dipenuhi dengan berbagai hambatan dan kesulitan, bahkan dengan berbagai fitnah dan ujian. Oleh karena itu, jalan ini bakal menimbulkan kesulitan besar bagi siapa saja yang melaluinya seorang diri. Bahkan kesulitan-kesulitan di jalan dakwah ini terkadang mengakibatkan sebagian dari pelakunya takut, bahkan berbalik langkah. Kesulitan dan ketakutan ini bisa dihilangkan, dan tidak ada yang bisa menolong untuk bersabar menghadapinya kecuali jika ia terikat oleh ukhuwah karena Allah, di atas jalan ini. Itulah yang akan memberikan ketenangan dan meringankan beban, mengajari kesabaran dan mengharapkan pahalanya dari Allah swt. dengan meninggalkan musuh-musuhnya dalam keadaan seperti orang yang disesatkan setan, untuk kemudian memusuhi kebenaran dan penyerunya. Ia meninggalkan mereka dalam keadaan bingung, tidak mengetahui rahasia bertahannya para mujahid dalam menanggung berbagai derita ini, juga rahasia bagaimana mereka bisa tetap bertahan terus menerus berada di atas jalan kebenaran ini, juga sikap ukhuwah yang telah mempersembahkan berbagai sarana pendukungnya.

Wafa’ yang dilakukan oleh dua orang yang berukhuwah dalam Islam ini bermula dari kecintaan dan sifat mengutamakan orang lain [itsar]. Sejarah persaudaraan dalam Islam telah memuat banyak kisah tentang wafa’ ini di sepanjang lembarannya, mereka terus berukhuwah hingga sekarang, membuat keteladanan yang mengagumkan.

Di antara bentuk sikap wafa’ seorang muslim terhadap saudara muslimnya adalah hendaknya ia tetap konsisten dengannya, apapun yang terjadi, kecuali apabila ia mendapati saudaranya melakukan apa yang dilarang oleh Allah swt. Karena itu kita harus menasehatinya dengan beberapa etika sebagaimana yang telah dibahas. Memutuskan wafa’ terhadap saudara seiman berarti membantu setan dan pengikut-pengikutnya, karena setanlah yang menggoda untuk memutuskan wafa’. Tidaklah setan bertemu dengan dua orang yang bersaudara karena Allah, kecuali dia pasti akan berusaha untuk memisahkan keduanya, dengan membujuk salah satu dari keduanya untuk melakukan perbuatan dosa yang berkenaan dengan hak saudaranya. Allah swt. berfirman yang artinya: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (al-Israa’: 53)

Menafsirkan ayat ini al-Qurthubi berpendapat bahwa Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang mukmin khususnya dalam berhubungan dengan sesama mereka, agar mereka bersopan santun, melunakkan pembicaraan, rendah hati, dan membuang godaan setan yang hendak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Basyar berkata, “Apabila seorang hamba mengurangi ketaatan kepada Allah swt, Dia mengurangi darinya orang yang bisa menghiburnya. Ini disebabkan karena saudara-saudaranya seagama merupakan penghibur kesedihan dan penolong dalam berbagai urusan.”

Salah satu bentuk wafa’ seseorang terhadap saudaranya adalah, ia tidak mendengarkan gunjingan mengenai cacat sauaranya itu, mengenai haknya, anak-anaknya, dan keluarganya, karena mendengarkan hal itu bisa menimbulkan kebencian di hati seseorang terhadap saudaranya. Jangan sampai seseorang tertipu oleh orang lain yang menceritakan suatu cela dari saudaranya, pada awalnya menampakkan seolah-olah juga mencintai saudaranya itu, tetapi kemudian mencelanya dengan cara tidak langsung atau dengan sindiran.

Sikap wafa’ ini haruslah terus berlangsung hingga saudaranya itu meninggal dunia, setelah itu wafa’ diberikan kepada anak-anaknya, keluarganya, dan orang-orang yang mencintainya. Rasulullah saw. telah menjadi teladan mengenai wafa’ yang dilakukan setelah kematian. Hakim meriwayatkan dengan sanadnya dalam al-Mustadrak, dari Aisyah ra. ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw. memuliakan seorang tua yang mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada mengenai hal ini, beliau berkata, “sesungguhnya, baiknya persahabatan adalah bagian dari diin.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya, baiknya persahabatan adalah bagian dari iman.”

Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, jika dipercaya ia berkhianat.”

Muslim juga meriwaytkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. Rasulullah saw. bersabda, “Empat hal yang barangsiapa pada dirinya terdapat keempat hal itu, ia benar-benar seorang munafik sejati. Sedangkan barangsiapa pada dirinnya terdapat salah satu darinya, dalam dirinya terdapat salah satu dari sifat kemunafikan itu sampai ia meninggalkannya; apabila ia dipercaya ia berkhianat, apabila berbicara ia berbohong, apabila berjanji ia tidak menepati, dan apabila berperkara ia curang.”

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir ra. ia berkata bahwa Nabi saw. berkata kepadanya, “Jika kekayaan Bahrain telah datang, kuberikan kepadamu sekian, sekian, dan sekian [beliau membentangkan tanganya tiga kali]. Akan tetapi kekayaan dari Bahrain belum datang sampai Rasulullah saw. wafat. Ketika kekayaan Bahrain datang, Abu Bakar ra. menyuruh seseorang untuk berseru, ‘Barangsiapa mempunyai janji atau piutang yang menjadi tanggungan Rasulullah saw. hendaklah datang kepada kami.’ Maka Abu Bakar menumpahkan uang untukku begini dan begini. Aku menghitungnya, ternyata uang itu berjumlah lima ratus dirham. Ia berkata kepadaku, ‘Ambillah dua kali lipatnya lagi.’”

Kisah ini menunjukkan bahwa Abu Bakar melaksanakan janji yang pernah dibuat oleh Rasulullah saw.

&

Hak Seorang Musim untuk Diringankan Bebannya

16 Mar

Hak Seorang Musim untuk Diringankan Bebannya
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Salah satu hak seorang muslim atas saudaranya seiman adalah hendaknya saudaranya itu meringankan bebannya dalam segala urusan. Ukhuwah dalam Islam adalah kelemah-lembutan, kasih sayang, dan cinta karena Allah. Ini semua tidak akan sesuai dengan konsep ukhuwah apabila seseorang menuntut saudaranya dengan apa yang memberatkannya.

Memperberat seorang muslim artinya membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilaksanakannya kecuali dengan sangat susah payah. Padahal Allah swt. sendiri berfirman yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)

Membebani saudara sesama muslim dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya bisa membahayakan dirinya. Padahal Nabi saw. melarang melakukan tindakan yang membahayakan diri seorang mukmin. Ini tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanadnya dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Terkutuklah orang yang membahayakan atau membuat tipu daya terhadap seorang mukmin.”

Apabila Allah swt tidak membebani kepada seseorang selain yang sesuai dengan kesanggupannya, apakah layak seorang muslim membebani saudaranya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya atau memberatkannya?

Meringankan saudara seiman merupakan tuntutan syar’i yang dikuatkan oleh nash-nash Islam dari al-Qur’an dan sunnah Nabi yang suci. Meringankan beban sesama muslim memiliki beberapa etika yang harus dipenuhi, antara lain:

a. Tidak membebani dengan sesuatu yang memberatkan
b. Jangan sampai orang lain meminta untuk dipenuhi hak-haknya
c. Tidak meminta orang lain rendah hati kepadanya
d. Mempergauli saudaranya sesama muslim dengan bersahaja tanpa takalluf [memaksakan diri]
e. Hendaknya seorang muslim berprasangka baik kepada saudaranya, dengan memandangnya lebih baik daripada dirinya sendiri

&

Tidak Membebani Saudara Muslim dengan Sesuatu yang Memberatkan

16 Mar

Tidak Membebani Saudara Muslim dengan Sesuatu yang Memberatkan
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Seorang muslim yang faqih terhadap agamanya tidak pernah meminta kepada orang lain sesuatu yang memberatkannya, apalagi kepada saudaranya sesama muslim. Lebih dari itu, ia juga semestinya tidak meminta kepada saudaranya sesama muslim bantuan yang dia sendiri tidak bisa mewujudkan atau melakukannya, karena itu merupakan kesempurnaan cinta, bahkan semestinya ia mendahulukan kepentingan saudaranya dibanding dirinya sendiri.

Orang-orang terhormat dan para pemilik akhlak yang mulia, menolak untuk memberikan tugas atau beban kepada seorang pun, baik menyangkut urusan materi maupun lainnya, selama mereka sendiri mampu memikulnya dan mampu bersabar menanggung berbagai resikonya.

Salah satu perilaku muslim adalah, hendaknya ia tidak meminta sesuatu pun kepada seorang pun. Itu merupakan etika kenabian.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dengan sanadnya, bahwa Nabi saw. tidak pernah meminta sesuatu pun kepada orang lain dan tidak pula menolaknya.

Membebani orang lain dengan sesuatu yang memberatkan mereka, atau dengan sesuatu yang bahkan tidak memberatkan mereka sekalipun, terkadang membuat orang lain itu malas melaksanakannya, lalu minta bantuan atau menyewa orang lain untuk itu. Memang pada dasarnya, seorang muslim haruslah menjaga dirinya dari kehinaan meminta-minta, baik berupa materi maupun nonmateri. Itu bisa dipahami dari sabda Nabi saw:

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa berusaha memelihara diri, niscaya Allah akan memeliharanya.”

Yang dimaksud dengan memelihara diri dalam hadits ini adalah menjauhkan diri dari meminta-minta, apapun bentuknya. Sikap demikian inilah yang dinamakan dengan ta’afuf.

Salah satu bentuk penghormatan seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim adalah, ia tidak meminta sesuatu pun dari saudaranya. Sebaliknya ia berusaha segera memberi sesuatu, baik berupa pekerjaan maupun materi, jika merasa bahwa ia membutuhkannya. Jika yang demikian saja merupakan salah satu etika dalam meringankan beban saudara sesama muslim, maka bagaimanakah pendapat anda tentang seseorang yang membebani saudaranya untuk menyelesaikan kepentingannya hingga harus begadang semalaman? Perlakukan seperti ini dapat dikategorikan sebagai “mempekerjakan sesama muslim”. Ini tidak boleh dan tidak patut dilakukan, kecuali [tentu saja] dalam keadaan tertentu yang bisa dipahami bersama-sama.

Ibrahim bin Adham pernah mengatakan satu ungkapan yang baik tentang ini, “Meminta kepada orang lain adalah tabir yang membatasi dirimu dengan Allah swt. Karena itu hendaklah engkau adukan urusanmu kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkanmu, tanpa yang lain, dan engkau akan hidup bahagia.”

&

Menyampaikan Kepada Saudara Sesama Muslim tentang Pujian Orang Lain

9 Mar

Menyampaikan Kepada Saudara Sesama Muslim tentang Pujian Orang Lain
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Tujuan dari “hak seseorang atas saudaranya sesama muslim untuk dibicarakan apa yang disukainya” adalah agar ukhuwah terbangun kokoh dan ikatan-ikatannya terjalin erat. Semua amalan yang diridlai Allah swt. dan bisa membantu terwujudnya tujuan ini merupakan perbuatan yang diperintahkan dan dianjurkan kepada sesama muslim.

Di antara amalan-amalan yang bisa dikatakan sebagai paling berhasil dalam mempererat tari cinta dan ukhuwah dalam Islam adalah, jika seseorang menyampaikan kepada saudaranya pujian yang disampaikan orang lain, selama hal itu berada dalam batas-batas etika Islam. Karena selain hal itu bisa memperkokoh ikatan ukhuwah, ia juga bisa memperbaiki hubungan antara orang yang memuji dengan orang yang dipuji. Kedua hal ini membantu ikatan ukhuwah.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanadnya dari as-Saib ra. ia berkata, saya mendatangi Nabi saw. sementara orang-orang memuji dan menyebut-nyebut namaku. Rasulullah saw. pun bersabda, “Saya lebih tahu dari kalian.” (yakni tentang as-Saib). As-Saib ra. berkata, “Engkau benar, tebusanmu adalah ayah dan ibuku. Engkau adalah sekutuku, dan sebaik-baik sekutu adalah engkau. Engkau tidak menipu dan tidak pula mendebat.”

Terkadang, apabila kita tidak memperhatikan tujuan dan sasarannya, ia tampak tidaklah penting. Akan tetapi direnungkan dengan seksama, kita bisa melihat berbagai faedah dari hak ini dalam kemasyarakatan, yang di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut:

a. Perilaku ini bisa memperkokoh hubungan antara tiga pihak dari kalangan kaum muslimin, yaitu orang yang memuji, orang yang dipuji, dan orang yang menyampaikan pujian tersebut.
b. Apabila perilaku ini telah menjadi tradisi dan dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, semakin luaslah wilayah tebaran cinta kasih di kalangan kaum muslimin dan mereka pun semakin memiliki keyakinan diri dalam menghadapi musuh terbesar mereka.
c. Perilaku ini bisa mentradisikan omongan yang baik dalam masyarakat muslim dan membatasi tersebarnya perkataan yang kotor. Ini tentu mengandung kebaikan yang sangat besar. Islam menghendaki agar hubungan yang baik di antara kaum muslimin bisa membudaya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang berdiri di atas kebajikan dan taqwa, jauh dari tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Semua itu bisa tumbuh dan berkembang dengan tersebar luasnya perkataan yang baik dan metradisinya kata pujian seseorang terhadap orang lain dengan segenap etika Islamnya.

&

Tidak Menimpakan Bahaya dan Tidak Mengancam Saudara Seiman Meski Hanya Bergurau

9 Mar

Tidak Menimpakan Bahaya dan Tidak Mengancam Saudara Seiman Meski Hanya Bergurau
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Terkutuklah siapa saja yang menimpakan bahaya atau membuat tipu daya atas seorang mukmin.”

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Mu’adz bin Jabal ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menjelekkan saudaranya karena perbuatan dosa, ia tidak akan mati sebelum melakukannya.”

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mencela seorang muslim adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekafiran.”

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Dzarr ra, ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan sebutan fasik atau kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada dirinya, jika orang [yang dituduh] itu tidak demikian.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila ada dua orang saling mencela, maka keduanya akan mendapatkan apa yang mereka ucapkan. Yang memulai hingga yang didhalimi sekalipun.”

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, hendaklah ketika kematian mendatanginya, ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia mendatangi orang yang suka didatanginya.”

Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang berkata keapda saudaranya, ‘Hai kafir!’ maka ucapan itu kembali kepada salah satu dari keduanya.”

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mengacungkan sepotong besi kepada saudaranya, malaikat melaknatinya sampai ia meninggalkannya, meskipun itu dilakukan terhadap saudara seayah atau seibu.”

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengacungkan senjata kepada saudaranya, karena ia tidak tahu jika setan menggerakkan tangannya sehingga ia terperosok ke lubang neraka.”

Ayat Allah yang mencakup semua ini adalah firman Allah swt yang artinya: “Mereka yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (al-Ahzab: 58)

Menafsiri ayat ini Qurthubi berkata, “Menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat bisa dilakukan dengan perbuatan maupun dengan perkataan yang buruk, misalnya tuduhan bohong yang keji atau mengada-ada.

Ayat ini sama dengan ayat yang terdapa dalam surah an-Nisaa’, yang artinya: “Barangsiapa mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah melakukan kebohongan dan dosa yang nyata.” (an-Nisaa’: 112)

Ada pula yang mengatakan, “Di antara bentuk menyakiti orang mukmin adalah mencelanya dengan obyek keturunan atau pekerjaan yang rendah, atau dengan apa saja yang tidak enak didengar, karena [secara umum] perbuatan menyakiti orang lain adalah perbuatan haram.”

&

Tidak Menyebut Aib Saudaranya Seiman dengan Lisan

9 Mar

Tidak Menyebut Aib Saudaranya Seiman dengan Lisan
Ukhuwah Islamiyah; Merajut Benang Ukhuwah Islamiyyah;
DR. Abdul Halim Mahmud

Adalah hak seorang muslim atas saudaranya seiman untuk tidak dibicarakan aib-aibnya dan tidak diperbincangkan dengan orang lain. Sama saja , baik hal itu dilakukan di hadapannya maupun di saat ia tidak mengetahuinya.

Tidak membicarakan aib orang lain merupakan salah satu bentuk sikap menahan diri dari perbuatan yang menyakitkan [kafful adza] yang diperintahkan dalam Islam, berdasarkan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan, seperti:

“Orang-orang Muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari gangguan lidah dan tangannya.”

Juga diriwayatkan beliau bersabda: “Terkutuklah orang yang membahayakan atau membuat tipu daya terhadap orang mukmin.”

Juga diriwayatkan beliau besabda: “Jika engkau meninggalkan perbuatan buruk terhadap orang lain, hal itu merupakan sedekah bagi dirimu.”

Tidak diragukan lagi bahwa makna “selamatnya seseorang dari gangguan lidah sudaranya” adalah tidak menyebut aib. Karena menyebut aib orang lain dapat menimbulkan bahaya bagi seorang muslim. Ia juga merupakan perbuatan buruk yang jika ditinggalkan akan menjadi sedekah.

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas ra. bahwa Rasulullah saw. tidak pernah memberikan sikap kepada seorang pun dengan sesuatu yang dibencinya.

Nasa’i meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra. ia berkata, “Berlindunglah kalian kepada Allah dari tetangga yang jahat di negeri yang kekal [akhirat].”
Dalam riwayat lain disebutkan, “…dari tetangga yang jahat; jika melihat kebaikan maka ia menutupinya, dan jika melihat keburukan maka ia memberitahukannya.”

Melalui petunjuk Nabi, kita bisa merumuskan beberapa etika seorang muslim dalam menutup aib saudaranya seiman, antara lain:

1. Hendaklah ia benar-benar tidak menyebukan aib apa pun yang diketahui terdapat pada saudaranya, baik dilakukan di hadapannya maupun jauh darinya, karena itu akan menyakiti dan membahayakan.
2. Hendaklah tidak menceritakan cacat yang terdapat pada saudaranya, karena hal itu sama dengan mencela dan membahayakannya
3. Jangan membicarakan apa pun yang dibenci oleh saudaranya, baik secara global maupun terperinci, kecuali ketika tengah melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar
4. Hendaklah tidak membicarakan keburukan-keburukan keluarga dan kerabat saudaranya, karena ini termasuk ghibah yang haram, sebagaimana disebutkan dalam nash.

Imam Ibnul Mubarak pernah mengeluarkan kata-kata mutiara yang muatannya menahan diri dari aib seorang muslim. Ia berkata:

“Bila orang Mukmin mencari-cari kebenaran,
Maka orang munafik mencari-cari kesalahan.”

Ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Darimi dengan sanad dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra, yaitu: “Sebaik-baik orang yang bersahabat adalah yang paling baik terhadap sahahbatnya, dan sebaik-baik orang yang bertetangga adalah yang paling baik terhadap tetangganya.”

&