Kamus Bahasa Arab-Indonesia Al-Munawir
Kamus Lengkap Bahasa Arab Al-Munawir
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (13)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah”. 72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya”. 73. lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, 74. kecuali Iblis; Dia menyombongkan diri dan adalah Dia Termasuk orang-orang yang kafir. 75. Allah berfirman: “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. 76. iblis berkata: “Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Dia Engkau ciptakan dari tanah”. 77. Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, 78. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. 79. iblis berkata: “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan”. 80. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang diberi tangguh, 81. sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”. 82. iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, 83. kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. 84. Allah berfirman: “Maka yang benar (adalah sumpah-Ku) dan hanya kebenaran Itulah yang Ku-katakan”. 85. Sesungguhnya aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka kesemuanya.” (Shaad: 71-85)
Kisah ini telah disebutkan oleh Allah di dalam surah Al-Baqarah, awal surah al-A’raaf, surah al-Hijr, al-Kahfi dan ayat ini. Syaitan meminta penundaan hingga hari kebangkitan, lalu Allah Yang Mahapenyabar yang tidak menyegerakan sisa-Nya kepada orang yang berbuat maksiat kepada-Nya mengizinkan penundaan tersebut. Maka ketika dia merasa aman dari kebinasaan hari kiamat, diapun membangkang dan melampaui batas, serta berkata: “Fabi ‘zzatika li-ughwiyannaHum ajma’iin. Illaa ‘ibaadaka minHumul mukhlashiin (“Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semua semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka.”) itulah yang dikecualikan dalam ayat lain, yaitu dalam firman Allah: inna ‘ibaadii laisa laka ‘alaiHim sulthaanuw wa kafaa birabbika wakiilan (“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga.”) (al-Israa’: 65)
Firman Allah: qaala fal haqqu wal haqqu aquulu. La-amla-anna jaHannama minka wa mimman tabi’aka minHum ajma’iin (“Allah berfirman: Maka yang benar [adalah sumpah-Ku] dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi nereka jahanam dengan jenismu dan dengan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.”) sekelompok ahli tafsir diantarana Mujahid, membaca ayat ini dengan merafa’kan [membaca dengan dlamah] “alhaqqu” yang pertama. dan Mujahid menafsirkannya, bahwa maknanya adalah: “Aku-lah yang Mahabenar dan hanya kebenaran itulah yang Aku katakan.” Dan menurut salah satu riwayat lagi darinya: “Kebenaran itu adalah dari-Ku dan Aku mengatakan kebenaran.” Sedangkan ulama lain membacanya nashab [fathah] “alhaqqa”. As-Suddi berkata:”Yaitu, sumpah yang dilakukan oleh Allah.”
“86. Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang yang mengada-adakan. 87. Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. 88. dan Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Quran setelah beberapa waktu lagi.” (Shaad: 86-88)
Allah berfirman: “Katakanlah hai Muhammad, kepada orang-orang musykik itu, ‘Aku tidak meminta upah kepada kalian [yang kalian berikan] berupa harta benda dunia atas penyampaian risalah dan nasehat ini.’”
Wa maa ana minal mutakallifiin (“Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada.”) artinya, aku tidak menghendaki dan tidak menginginkan kelebihan atas risalah yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepadaku, bahkan aku tunaikan apa yang diperintahkan-Nya kepadaku, aku tidak tambah dan kurangi, aku hanya mengharap wajah Allah dan negeri akhirat.
Sufyan ats-Tsauri berkata dari al-A’masy dan Mashur, dari Abudh-Dhuha, bahwa Masruq berkata: Kami mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud, lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka katakanlah ‘AllaaHu a’lamu’ [Allah lebih mengetahui]. Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu bahwa seseorang mengatakan: ‘AllaHu a’lamu [Allah lebih mengetahui]’ apa yang tidak diketahuinya.” Sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi kalian: qul maa as-alukum ‘alaikum min ajriw wa maa ana minal mutakallifiin (“Katakanlah [hai Muhammad]: ‘Aku tidak minta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-ada.”) al-Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari hadits al-A’masy.
Firman Allah: in Huwa illaa dzikrul lil ‘aalamiin (“Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.”) yakni, al-Qur’an ini adalah peringatan bagi seluruh Mukallaf [siapa yang menerima beban syariat] di antara manusia dan jin. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Ayat seperti firman Allah Ta’ala: li undzirakum biHii wamam balagha (“Supaya dengannya aku memberikan peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai [kepadanya] al-Qur’an.”)(al-An’am: 19)
Firman Allah: wa lata’lamunna naba-aHuu (“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui [kebenaran] berita al-Qur’an.”) yaitu berita dan kebenarannya.
Ba’da hiinin (“Setelah beberapa waktu lagi.”) yaitu dalam waktu dekat. Qatadah berkata: “Setelah kematian.” ‘Ikrimah berkata: “Yaitu pada hari kiamat.” Kedua pendapat ini saling bertentangan, karena orang yang wafat [berarti dia] telah masuk pada hukum kiamat. Qatadah berkata tentang firman Allah: wa lata’lamunna naba-aHuu Ba’da hiinin (“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui [kebenaran] berita al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.”) al Hasan berkata: “Hai anak Adam. Ketika mati, akan datang kepadamu berita yang meyakinkan.”
Sekian.
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (12)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
Di saat itu mereka mengetahui, bahwa orang-orang yang beriman berada pada derajat yang tinggi. Dan firman Allah: inna dzaalika lahaqqu takhaashumu aHlin naar (“Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, [yaitu] pertengkaran penghuni neraka.”) yaitu sesungguhnya apa yang Kami beritakan kepadamu ini –hai Muhammad- tentang pertengkaran sebagian penghuni neraka dengan penghuni lainnya serta perkataan sebagian mereka atas sebagian lainnya adalah kebenaran yang tidak perlu diragukan.
“65. Katakanlah (ya Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan, dan sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan. 66. Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. 67. Katakanlah: “Berita itu adalah berita yang besar, 68. yang kamu berpaling daripadanya. 69. aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang Al mala’ul a’la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan. 70. tidak diwahyukan kepadaKu, melainkan bahwa Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata.” (Shaad: 65-70)
Allah Ta’ala berfirman memerintahkan Rasul-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang yang kufur kepada Allah, menyekutukan-Nya dan mendustakan para Rasul-Nya, bahwasannya beliau hanyalah seorang pemberi peringatan, bukan sebagai yang mereka duga.
Wa maa min ilaaHi illallaaHul waahidul qaHHaar (“Dan sekali-sekali tidakada Ilah [yang haq] selain Allah Yang Mahaesa dan Mahamengalahkan.”) yaitu, Dia Yang Mahaesa yang telah menguasai dan mengalahkan segala sesuatu. Rabbus samaawaati wal ardli wamaa bainaHumaa (“Rabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” Yaitu, Dialah Pemilik semua itu serta Pengaturnya. Al ‘aziizul ghaffaar (“Yang Mahaperkasa lagi Mahapengampun.”) yaitu Maha pengampun disamping kebesaran dan keperkasaan-Nya. qul Huwa naba-un ‘adhiim (“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita besar.’”) yakni berita besar dan peristiwa agung, yaitu diutusnya aku oleh Allah Ta’ala kepada kalian. Antum ‘anHu mu’ridluuna (“Yang kamu berpaling darinya.”) artinya orang-orang yang lalai.
Tentang firman Allah qul Huwa naba-un ‘adhiim (“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita besar.’”) Mujahid, Syuraih al-Qadhi dan as-Suddi berkata: “Yaitu al-Qur’an.”
Firman Allah: maa kaana liya min ‘ilmim bil mala-il a’laa idz yakhtashimuuna (“aku tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al-Mala-ul A’laa [malaikat] itu ketika mereka berbantah-bantahan.”) maksudnya, seandainya bukan karena wahyu, darimana aku tahu perbantahan tentang al-Mala-ul A’laa? Yaitu tentang perkara Adam a.s. serta keengganan iblis untuk sujud kepadanya dan alasan yang dikemukakan kepada Rabbnya tentang keutamaan dirinya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwasannya Mu’adz berkata: Suatu pagi Rasulullah tertahan melakukan shalat shubuh, sehingga kami hampir-hampir melihat munculnya matahari. Kemudian Rasulullah muncul dengan segera lalu mengerjakan shalat sunnah, kemudian melakukan shalat shubuh, dan beliau melakukan seperlunya dalam shalat. Ketika selesai melakukan salam, beliau berkata: “Bagaimana keadaan kalian?” lalu beliau menghadap kami dan bersabda: “Sesungguhnya semalam aku bangun dan melakukan shalat sesuai kemampuanku, lalu aku mengantuk dalam shalatku, hingga [akhirnya] aku terbangun. Tiba-tiba aku berjumpa Rabb-ku dalam bentuk yang amat indah, lalu berfirman: ‘Hai Muhammad, apakah engkau tahu tentang apa yang diperbantahkan oleh al-Mala-ul A’la?’ Aku menjawab: ‘Tidak tahu, ya Rabb-ku.’ –beliau mengulangi sebanyak tiga kali- . lalu aku melihat Diia meletakkan telapak tangan-Nya di antara kedua pundakku, hingga aku merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara dadaku. Lalu tampaklah bagiku segala sesuatu dan aku mengenalnya. Lalu Dia berfirman: ‘Ya Muhammad, tentang apakah yang diperbantahkan oleh al-Mala-ul A’la?’ Aku menjawab: ‘Tentang kaffarat.’ Dia bertanya: ‘Apakah kaffarat itu?’ Aku menjawab: ‘Melangkahkan kaki untuk berjama’ah, duduk di dalam masjid setelah shalat dan menyempurnakan wudlu pada seluruh anggota badan [yang perlu dibasuh].’ Dia bertanya: ‘Apakah derajat itu?’ Aku menjawab: ‘Memberikan makanan, kata-kata halus dan melakukan shalat di saat manusia tidur.’ Dia berkata: ‘Mintalah!’ Aku berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk dapat melakukan berbagai kebaikan, meninggalkan berbagai kemunkaran, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta merahmatiku. Dan jika Engkau menghendaki fitnah kepada suatu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku meminta kepadamu kecintaan-Mu, kecintaan orang yang mencintai-Mu dan kecintaan kepada amal yang mendekatkanku kepada kecintaan-Mu.’”
Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya hal itu adalah kebenaran, maka pelajari dan kuasailah.”
Ini adalah hadits mimpi yang masyhur. Barangsiapa yang menjadikannya dalam keadaan sadar, maka tentulah keliru. Hadits ini terdapat dalam kitab-kitab sunan dari beberapa jalur. Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh at-Tirmidzi dari hadits Jahdham bin ‘Abdillah al-Yamani dengan lafadznya. Al-Hasan berkata: “Shahih.” Perbantahan ini bukanlah perbantahan yang disebutkan di dalam al-Qur’an, karena hal itu telah ditafsirkan. Sedangkan perbantahan yang terdapat di dalam al-Qur’an akan ditafsirkan setelah ayat ini, yaitu firman Allah:
Bersambung ke bagian 13
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (11)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“55. Beginilah (keadaan mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka benar-benar (disediakan) tempat kembali yang buruk, 56. (yaitu) neraka Jahannam, yang mereka masuk ke dalamnya; Maka Amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat tinggal. 57. Inilah (azab neraka), Biarlah mereka merasakannya, (minuman mereka) air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. 58. dan azab yang lain yang serupa itu berbagai macam. 59. (Dikatakan kepada mereka): “Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)”. (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): “Tiadalah Ucapan selamat datang kepada mereka karena Sesungguhnya mereka akan masuk neraka”. 60. Pengikut-pengikut mereka menjawab: “Sebenarnya kamulah. tiada Ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yang menjerumuskan Kami ke dalam azab, Maka Amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat menetap”. 61. mereka berkata (lagi): “Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan Kami ke dalam azab ini Maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka”. 62. dan (orang-orang durhaka) berkata: “Mengapa Kami tidak melihat orang-orang yang dahulu (di dunia) Kami anggap sebagai orang-orang yang jahat (hina). 63. Apakah Kami dahulu menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena mata Kami tidak melihat mereka?” 64. Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu) pertengkaran penghuni neraka.” (Shaad: 55-64)
Setelah menceritakan tentang tempat kembali orang-orang yang beruntung, lalu Allah menyebutkan tentang kondisi orang-orang celaka serta tempat pulang dan tempat kembali mereka di negeri akhirat dan hisab mereka. Haadzaa wa inna liththaaghiina (“Beginilah [keadaan mereka]. Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka.”) yaitu orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah swt. serta menyelisihi para Rasul Allah, lasyarra ma-aab (“Benar-benar [disediakan] tempat kembali yang buruk.”) yakni sungguh merupakan tempat pulang dan tempat kembali yang amat buruk. Kemudian ditafsirkan firman Allah: jaHannama yashlaunaHaa (“[yaitu] neraka jahanam, yang mereka masuk di dalamnya.”) lalu api itu menggenangi seluruh sisi mereka. Fabi’sal miHaad. Haadzaa falyadzuuquuHu hamiimuw wa ghassaaq (“Maka, amat buruklah jahanam itu sebagai tempat tinggal. Inilah [adzab neraka], biarlah mereka merasakannya, [minuman mereka] air yang sangat panas dan air yang sangat dingin.”)
Adapun “hamiimun” adalah panas yang amat puncak. Sedangkan “ghassaaq” adalah lawannya, yaitu dingin yang tidak seorangpun tahan merasakannya karena amat dinginnya dan menyakitkan.
Wa aakhara min syakliHi azwaaj (“dan adzab lain yang serupa itu berbagai macam.”) yaitu beberapa macam yang sebanding dengan ini, sesuatu yang lawannya yang mereka akan disiksa dengannya.
Imam Ahmad meriwatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seandainya satu ember dasri ghassaq itu dituangkan ke dunia, niscaya membusuklah penghuni dunia.” (HR at-Tirmidizi, kemudian dia berkata: “Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Risydin.” Demikian yang dikatakannya, padahal telah disebutkan di muka dari hadits selainnya.)
Tentang firman-Nya: Wa aakhara min syakliHi azwaaj (“dan adzab lain yang serupa itu berbagai macam.”) al-Hasan al-Bashri berkata: “Berbagai macam adzab.” Selain beliau berkata: “Seperti dingin yang menusuk, angin yang amat panas dan meminum air yang sangat panas, memakan zaqqum, diangkat dan dijatuhkan dan berbagai macam adzab lain dan saling berlawanan yang keseluruhannya menyiksa dan menghinakan mereka.”
Haadzaa faujum muqtahimum laa marhabam biHim innaHum shaalun naar (“[Dikatakan kepada mereka]: ini adalah suatu rombongan [pengikut-pengikutmu] yang masuk berdesak-desakan bersamamu [ke neraka].”ini adalah pemberitaan dari Allah tentang apa yang dikatakan penghuni neraka, antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah: kullamaa dakhalat ummatul la’anat ukhtaHaa (“Setiap suatu umat masuk [ke dalam neraka], dia mengutuk kawannya [yang menyesatkannya].”)(al-A’raaf: 38) yaitu sebagai ganti ucapan salam, mereka saling melaknat, saling mendustakan dan sebagian mereka dengan sebagian lainnya saling mengkafirkan. Maka kelompok yang masuk lebih dahulu sebelum yang lain, jika kelompok sesudahnya datang bersama para penjaga Zabaniyah [dikatakan]: Haadzaa fauzum muqtahimum (“Ini adalah suatu rombongan berdesak-desakan.”) yakni yang masuk, laa marhabam biHim innaHum shaalun naar (“bersamamu [ke neraka]. [Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka]: ‘Tiada ucapan selamat datang kepada mereka karena sesungguhnnya mereka akan masuk neraka.”) yaitu karena mereka termasuk ahli neraka jahanam.
Qaaluu bal antum laa marhabam bikum (“Pengikut-pengikut mereka menjawab: ‘Sebenarnya kamulah! Tiada ucapan selamat datang bagimu.’”) yaitu orang-orang yang masuk berkata kepada mereka: “bal antum laa marhabam bikum antum qaddamtumuuHu lanaa (“Sebenarnya kamulah! Tiada ucapan selamat datang bagimu.’ Karena kamulah yang menjerumuskan kami ke dalam adzab ini”) artinya kalianlah yang mengajak kami menuju adzab yang kami alami ini. Fabi’sal qaraar (“Maka amat buruklah jahanam itu sebagai tempat menetap.”) yaitu, amat buruklah tempat singgah, tempat tinggal dan tempat kembali tersebut.
Qaaluu rabbanaa man qaddama lanaa Haadzaa fazidHu ‘adzaban dli’fan fin naar (“Mereka berkata [lagi]: ‘Ya Rabb kami, siapa yang menjerumuskan kami ke dalam adzab ini, maka tambahkanlah adzab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka.’”) sebagaimana Allah berfirman:
“….berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: “Ya Tuhan Kami, mereka telah menyesatkan Kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka”. Allah berfirman: “Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak Mengetahui.” (al-A’raaf: 38)
Yaitu masing-masing dari kalian akan mendapatkan siksa sesuai dengan amalnya.
Wa qaaluu maa lanaa laa taraa rijaalan kunnaa na’udduHum minal asyraar. attakhadznaaHum sikhriyyan am zaaghat ‘anHumul abshaar (“Dan [orang-orang durhaka] berkata: ‘Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu [di dunia] kami angkat sebagai orang jahat [hina]. Apakah dahulu kami menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena mata kami tidak melihat mereka?’”) ini merupakan pembicaraan tentang orang-orang kafir yang berada di neraka, mereka kehilangan beberapa orang yang menurut keyakinan mereka orang-orang itu berada dalam kesesatan, dimana [mereka] maksud itu sebenarnya adalah orang-orang mukmin. Mereka berkata: “Mengapa kami tidak melihat mereka bersama kami di neraka?” Mujahid berkata: “Ini adalah perkataan Abu Jahal yang berkata: ‘Mengapa aku tidak melihat Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, fulan dan fulan?” ini hanyalah bentuk permisalan saja. karena sesungguhnya demikianlah keadaan seluruh orang kafir, mereka meyakini bahwa orang-orang mukmin akan masuk neraka. maka ketika orang-orang kafir masuk neraka mereka merasa kehilangan mereka karena mereka tidak menemukannya.
Mereka berkata: Wa qaaluu maa lanaa laa taraa rijaalan kunnaa na’udduHum minal asyraar. attakhadznaaHum sikhriyyan am zaaghat ‘anHumul abshaar (“Dan [orang-orang durhaka] berkata: ‘Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu [di dunia] kami angkat sebagai orang jahat [hina]. Apakah dahulu kami menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena mata kami tidak melihat mereka?’”) mereka menghibur diri dengan kemustahilan, mereka mengatakan: “Ataukah boleh jadi mereka bersama kami di neraka jahanam akan tetapi penglihatan kami tidak menjangkau mereka.”
Bersambung ke bagian 12
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (10)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“45. dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. 46. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. 47. dan Sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar Termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. 48. dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Zulkifli. semuanya Termasuk orang-orang yang paling baik.” (Shaad: 45-48)
Allah Ta’ala memberitakan tentang keutamaan hamba-hamba-Nya yang diutus dan Nabi-nabi-Nya yang mengabdi: wadzkur ‘abdanaa ibraaHiima wa ishaaqa wa ya’quuba ulil aidii (“Dan ingatlah hamba-hamba Kami; Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.”) yang dimaksud dengan hal itu adalah amal shalih, ilmu yang bermanfaat, kekuatan dalam beribadah dan mata hati yang cemerlang.
‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Ulil aidii [yang mempunyai perbuatan-perbuatan besar] yaitu yang memiliki kekuatan, wal abshaar [dan ilmu-ilmu yang tinggi] yaitu pemahaman dalam agama.”
Firman Allah: innaa akhlashnaaHum bikhaalishatin dzikraddaar (“Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan [menganugerahkan kepada mereka] akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan [manusia] kepada negeri akhirat.”) Mujahid berkata: “Yaitu, kami jadikan mereka beramal untuk akhirat, dimana mereka tidak memiliki cita-cita selainnya.” Begitu pula as-Suddi berkata: “Ingatnya mereka kepada akhirat dan amalnya mereka untuknya.” Malik bin Dinar berkata: “Allah Ta’ala telah mencabut kecintaan dan ingatan dunia dari hati mereka, serta memurnikan mereka untuk mencintai dan mengingat akhirat.” Demikian pula ‘Atha’ al-Khurasani berkata.
Firman Allah: wa innaHum ‘indanaa laminal mushthafainal akhyaar (“Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang baik.”) yaitu termasuk orang-orang pilihan yang terbaik. Jadi, mereka adalah orang-orang mulia yang terpilih.
Wadzkur ismaa’iila wal yasa’a wa dzal kifli wakullu minal akhyaar (“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifil. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.”) tentang mereka telah dibicarakan di dalam surah al-Anbiyaa’.
Haadzaa dzikrun (“Ini adalah kehormatan.”) maksudnya ini adalah keputusan yang mengandung peringatan bagi orang yang ingat. As-Suddi berkata: “Yaitu, al-Qur’an al-Adhim.”
“49. ini adalah kehormatan (bagi mereka). dan Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, 50. (yaitu) syurga ‘Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka, 51. di dalamnya mereka bertelekan (diatas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu. 52. dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. 53. Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari berhisab. 54. Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya.” (Shaad: 49-54)
Allah memberitahukan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman lagi berbahagia, bahwa di negeri akhirat mereka akan memperoleh husnu ma-aab, yaitu tempat kembali yang baik. Dan hal ini ditafsirkan dengan firman-Nya: jannaati ‘adnin (“[yaitu] Surga ‘Adn.”) yaitu taman-taman tempat tinggal yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka. Alif dan lam di sini bermakna idhafah, dimana seakan-akan Dia berfirman: “Dibukakan untuk mereka pintu-pintunya.” Yaitu jika mereka mendatanginya maka dibukakan pintu-pintunya bagi mereka.
Firman Allah: muttaki-iina fiiHaa (“Di dalamnya mereka bertelekan.”) yakni mereka bersandar di atas dipan-dipan di bawah kubah. Yad’uuna fiiHaa bifaakiHatin katsiiran (“Sambil meminta buah-buahan yang banyak di surga itu.”) yaitu kapan saja mereka meminta, mereka akan mendapatkan dan akan datang sebagaimana yang mereka inginkan. Wa syaraabin (“dan minuman”) yaitu dari macam apa saja yang mereka inginkan, maka para pelayan akan menyediakannya untuk mereka. Wa ‘indaHum qaashiraatuth tharfi (“Dan di sisi mereka [ada bidadari-bidadari] yang tidak liar pandangannya.”) yakni terhadap selain suami mereka, maka mereka tidak berpaling kepada selain suami mereka. At-raab (“Sebaya umurnya.”) yaitu sebaya dalam usia dan umur.”) Haadzaa maa tuu’aduuna liyaumil hisaab (“Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari berhisab.”) maksudnya, sifat surga yang telah Kami sebutkan ini adalah sesuatu yang telah dijanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa, dimana mereka akan mengarah kesana setelah dikumpulkan dan dibangkitkan dari kubur serta selamat dari api neraka. kemudian Allah memberitahukan bahwa surga tidak akan lenyap, hilang, berakhir dan berhenti. Maka Allah berfirman: inna Haadzaa larizqunaa maa laHuu min nafaad (“Sesungguhnya ini adalah benar-benar rizky dari Kami yang tiada habis-habisnya.”) seperti firman Allah: maa ‘indakum yanfadu wa maa ‘indallaaHi baaq (“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”)(an-Nahl: 96)
Bersambung ke bagian 11
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (9)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“41. dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: ‘Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.’ 42. (Allah berfirman): ‘Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.’ 43. dan Kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. 44. dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya).” (Shaad: 41-44)
Allah menceritakan tentang seorang hamba dan Rasul-Nya, Ayyub as. dan ujian yang diberikan kepadanya berupa kemudlaratan pada tubuh, harta dan anaknya. Ketika penderitaan telah berlangsung lama dan kondisinya semakin memprihatinkan, qadar juga telah berakhir dan ajal yang ditentukan telah sempurna, beliaupun berdoa kepada Rabb semesta alam dan Ilah para Rasul: innii massaniyadl dlurru wa anta arhamur raahimiin (“[Ya Rabbku], sesungguhnya aku telah tertimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Mahapenyayang di antara semua penyayang.”)(al-Anbiyaa’: 83) dan di dalam ayat yang mulia ini Dia berfirman:
Wadzkur ‘abdanaa ayyuuba idz naadaa rabbaHuu annii massaniyasy syaithaanu binushubiw wa ‘adzaab (“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub, ketika ia menyeru Rabb-nya: ‘Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.’”) satu pendapat mengatakan, bahwa kepayahan ada pada badanku, dan siksaan ada pada harta dan anakku. Ketika itu Rabb Yang Mahapenyayang di antara semua penyayang memperkenankannya dan memerintahkannya untuk beranjak dari tempatnya serta menghentakkan tanah dengan kakinya, lalu ia melakukannya. Tiba-tiba Allah memancarkan mata air serta memerintahkannya untuk mandi, sehingga hilanglah seluruh penyakit yang diderita tubuhnya. Lalu Allah juga memerintahkan untuk menghentakkan kakinya di tempat lain yang memunculkan mata air yang lain dan Allah memerintahkan untuk meminum airnya sehingga hilanglah seluruh penyakit dalam batinya, maka sempurnalah kesehatan lahir dan batinnya.
Urkudl birijlika Haadzaa mughtasalum baariduw wa syaraab (“Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.”) biasanya sebelum itu, ketika beliau hendak keluar melakukan buang hajat atau selesai darinya, maka sang istri memegang tangannya hingga sampai ke tempatnya. Namun pada suatu hari ia terlambat terhadap istrinya, maka Allah memberikan wahyu kepada Ayyub, Urkudl birijlika Haadzaa mughtasalum baariduw wa syaraab (“Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.”) dan ketika sang istri merasakan keterlambatannya, iapun menengok untuk melihat, tetapi Nabi Ayyub telah datang menghampirinya dalam keadaan telah disembuhkan oleh Allah dari penyakitnya dan memiliki rupa yang lebih elok. Ketika istrinya melihatnya, dia berkata: “Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu. Apakah engkau telah melihat Nabi Allah yang berpenyakit itu? Demi Allah Yang Mahakuasa untuk melakukan hal itu, aku tidak melihat seorang laki-laki yang lebih mirip dengannya selain dirimu, ketika ia masih sehat.” Nabi Ayyub pun berkata: “Akulah dia.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hamam bin Munabbih, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Di saat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah satu ekor belalang dari emas. Lalu Ayyub mengantonginya di bajunya, maka Allah berfirman: ‘Hai Ayyub, bukankah Aku telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?’ Ayyub menjawab: ‘Betul, ya Rabb-ku, akan tetapi aku tidak akan merasa cukup dari berkah-Mu.’” (al-Bukhari meriwayatkan hadits ini sendirian dari ‘Abdurrazaq)
Wa wahabnaa laHuu aHlaHuu wa mitslaHum ma’aHum rahmatam minnaa wa dzikraa li ulil albaab (“Dan Kami anugerahi dia [dengan mengumpulkan kembali] keluarganya dan [Kami tambahkan] kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran.”) al-Hasan dan Qatadah berkata: “Allah Ta’ala menghidupkan mereka kembali untuknya dan menambahkan orang-orang yang sebanyak mereka.”
Rahmatam minnaa (“Sebagai rahmat dari Kami”) untuknya atas kesabaran, ketabahan, penyerahan diri, tawadlu’ dan ketenangannya. Wa dzikraa li ulil albaab (“Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran.”) yaitu bagi orang-orang yang berakal agar mereka mengetahui bahwa akibat baik dari kesabarannya adalah kesenangan, jalan keluar dan ketentraman.
Wa khudz biyadika dlightsan fadl-ribbiHii walaa tahnats (“Dan ambillah dengan tanganmu seikat [rumput], maka pukullah dengan itu [istrimu] dan janganlah kamu melanggar sumpah.”) hal itu dilakukan karena Ayyub a.s. pernah marah kepada istrinya atas satu perkara yang dilakukan sang istri.
Satu pendapat mengatakan bahwa istrinya telah menjual tali pengekangnya dengan sepotong roti untuk memberikan makan kepadanya, lalu ia mencela istrinya dan bersumpah bahwa jika Allah Ta’ala menyembuhkan dirinya, niscaya dia akan memukul istrinya seratus kali.
Pendapat lain menyatakan sebab lain. Maka ketika Allah menyembuhkannya, beliau tidak melakukan sumpahnya karena bakti istrinya yang begitu tinggi, kasih sayang dan belas kasihan beliau. Maka Allah memberikan petunjuk untuk mengambil seikat rumput yang berjumlah seratus helai, lalu dipukulkan kepada istrinya satu kali, sehingga selesailah ia menunaikannya, keluar dari sumpahnya dan menunaikan nadzarnya. Ini termasuk pembebasan dan jalan keluar bagi orang yang bertakwa dan berserah diri kepada Allah.
Innaa wajadnaaHu shaabiran ni’mal ‘abdu innaHuu awwaab (“Sesungguhnya Kami dapati dia [Ayyub] seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat [kepada Rabb-nya].”) Allah menyanjung dan memujinya, bahwa dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat kepada Rabb-nya, yaitu kembali dan berserah diri. Sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalaaq: 2-3). Kebanyakan ahli fiqih mengambil dalil dari ayat yang mulia ini tentang masalah-masalah sumpah dan lain-lain. Mereka mengambilnya sesuai dengan tuntutannya. Dan hanya Allah Yang Mahamengentahui kebenaran.
Bersambung ke bagian 10
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (8)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
Terdapat hadits-hadits shahih dari beberapa jalan yang berasal dari Rasulullah saw. Ketika menafsirkan ayat ini Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh malam tadi ada Ifrit dari bangsa jin melompatiku –atau kalimat sejenisnya- untuk menggangguku dalam shalat. Lalu Allah Tabaaraka wa Ta’ala memberiku kemampuan untuk menangkapnya dan aku ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi hari kalian semua dapat melihatnya. Lalu aku teringat perkataan saudaraku, Sulaimman a.s: ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku.’”
Rauh berkata: “Lalu dia dikembalikan dalam keadaan hina.” Demikian yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa’i dari Syu’bah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Ahmad, dari Maisarah bin Ma’bad, bahwa Abu ‘Ubaid Hajib Sualiman berkata: “Aku melihat ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi berdiri dalam keadaan shalat, lalu aku berjalan melewatinya dan diapun menghalangiku.” Kemudian dia berkata: “Abu Sa’id al-Khudri bercerita kepadaku, bahwa Rasulullah saw. berdiri melaksanakan shalat shubuh, sedangkan dia berada di belakangnya. Beliau membaca satu surat dan terganggu dalam bacaannya. Ketika beliau menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda: ‘Seandainya kalian melihat aku dan iblis, maka kalian akan melihatku menangkapnya dengan tanganku, dan terus aku cekik sehingga aku dapati rasa dingin air liurnya di antara jariku ini –ibu jari dan telunjuk- dan seandainya bukan karena doa saudaraku Sulaiman, niscaya iblis akan terikat sampai pagi di salah satu tiang masjid menjadi permainan anak-anak Madinah. Maka, barangsiapa di antara kalian mampu untuk tidak dihalangi sesuatu antara dirinya dan kiblat, maka lakukanlah.’”
Menurut riwayat Abu Dawud: “Dan barangsiapa di antara kalian mampu untuk tidak terhalang oleh seseorang antara dirinya dan Ka’bah, maka lakukanlah.”
Fasakhkharnaa laHuur riiha tajrii bi amriHii rukhaa-an haitsu ashaab (“Kemudian, Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang dikehendakinya.”) al-Hasan al-Bashri berkata: “Ketika Sulaiman telah menyembelih kuda-kudanya [disebabkan] murka karena Allah, maka Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik yaitu angin yang begitu cepat perjalanannya di waktu pagi dengan perjalanan sebulan dan perjalanan di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan pula.
Firman Allah: haitsu ashaab (“Kemana saja dikehendakinya.”) yaitu ke negeri mana saja yang dia inginkan. Dan firman Allah: wasy syayaathiina kullu bannaa-iw wa ghawwaash (“Dan [Kami tundukkan pula kepadanya] setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam.”) yakni di antara mereka dipekerjakan pada bangunan-bangunan raksasa berupa gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang [besarnya] seperti kolam dan periuk yang tetap [berada di atas tungku], serta kerja-kerja berat lainnya yang tidak mampu dilakukan oleh manusia. Segolongan lagi adalah para penyelam di lautan yang mampu mengeluarkan isinya berupa intan permata dan barang-barang berharga lainnya yang tidak didapati di manapun selain di dalamnya.
Wa aakhariina muqarraniina fil ashfaad (“Dan setan yang lain yang terikat dalam belenggu.”) yaitu diikat dengan rantai dan belenggu bagi siapa yang melanggar, durhaka, enggan dan menolak bekerja atau bagi siapa yang berbuat jahat dan melampaui batas dalam perilakunya.
Firman Allah: Haadzaa ‘athaa-unaa famnun au amsik bighairi hisaab (“Inilah anugerah Kami; maka berikanlah [kepada orang lain] atau tahanlah [untuk dirimu sendiri] dengan tiada pertanggung jawab.”) yakni apa yang Kami berikan kepadamu ini, berupa kerajaan lengkap dan kekuasaan sempurna sebagaimana yang kamu minta, maka berikanlah kepada siapa saja yang engkau kehendaki dan tahanlah mana saja yang engkau lakukan, maka hal itu boleh bagimu, dan putuskanlah apa saja yang engkau sukai, maka itu adalah benar.
Telah tercantum di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa ketika Rasulullah saw. diminta untuk memilih antara [sebagai] hamba yang Rasul, -yaitu yang melakukan apa saja yang diperintahkan, namun ia sebagai pemimpin yang memutuskan perkara di antara manusia, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah- dan antara sebagai Nabi yang raja, yang dapat memberikan apa saja yang dikehendakinya dan mencegah siapa saja yang dikehendakinya tanpa pertanggungjawaban dan tidak ada kesalahan, beliau memilih kedudukan yang pertama setelah beliau meminta pendapat kepada Jibril yang berkata: “Tawadlu’lah.”
Maka beliau memilih kedudukan yang pertama karena itulah yang paling mulia di sisi Allah dan paling tinggi di akhirat, sekalipun kedudukan yang kedua –yaitu Nabi dan raja adalah kedudukan yang terhormat pula di dunia dan di akhirat. Untuk itu ketika Allah menyebutkan apa saja yang diberikan-Nya kepada Sulaiman di dunia, maka Dia mengingatkan bahwa dia pun memiliki bagian yang besar di sisi Allah pada hari kiamat. Allah berfirman: wa innaHuu ‘indanaa lazulfaa wa husna ma-aab (“Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.”) yaitu di negeri akhirat.
Bersambung ke bagian 9
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (7)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“30. dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya), 31. (ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, 32. Maka ia berkata: “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan.” (Shaad: 30-32)
Allah memberitakan bahwa Dia telah menganugerahkan Sulaiman kepada Dawud, yaitu sebagai seorang Nabi. Sebagaimana Allah berfirman: wawaritsa sulaimaanu daawuud (“Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud”)(an-Naml: 16) yaitu dalam kenabian. Kalau bukan kenabian, maka sungguh beliau memiliki banyak anak selain Sulaiman, karena beliau memiliki seratus istri merdeka [budak-budak]. Dan firman Allah: ni’mal ‘abdu innaHuu awwaab (“Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat [kepada Rabbnya].”) merupakan sebuah pujian kepada Sulaiman, karena beliau banyak berbuat taat, ibadah dan berserah diri kepada Allah. Firman Allah: idz ‘uri-dla ‘alaiHi bil ‘asyiyyish shaafinaatil jiyaad (“[ingatlah] ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di saat berhenti dan cepat saat berlari pada waktu sore.”) yaitu dipertunjukkan kepada Sulaiman pada saat memerintah dan berkuasa.
bil ‘asyiyyish shaafinaatil jiyaad (“kuda-kuda yang tenang di saat berhenti dan cepat saat berlari pada waktu sore.”) Mujahid berkata: “Yaitu kuda yang berhenti tegak di atas tiga kaki dan ujung tumit kaki keempat.” Demikian dikatakan oleh banyak ulama salaf. Ibnu Abi Hatim berkata, bahwa Ibrahim at-Taimi berkata: “Kuda-kuda yang menyibukkan Sulaiman berjumlah dua puluh ribu kuda yang kemudian disembelihnya.”
Faqaala innii ahbabtu hubbal khairi ‘an dzikri rabbii hattaa tawaarat bilhijaab (“Maka ia berkata: ‘Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik [kuda], sehingga aku lalai mengingat Rabb-ku sampai kuda itu hilang dari pandangan.’”) banyak ulama salaf dan para ahli tafsir menyebutkan bahwa Sulaiman disibukkan oleh tampilan kuda-kuda itu, hingga terluput waktu shalat ‘Asyar. Yang pasti beliau tidak meninggalkannya secara sengaja, sebagaimana Nabi Muhammad saw. pada perang Khandaq disibukkan dari shalat asyar, sehingga beliau melakukan shalat setelah matahari terbenam.
Hal tersebut tercantum dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim dari beberapa jalan, antara lain dari Jabir, ia berkata: Umar datang pada perang Khandaq setelah matahari terbenam, lalu ia mencela orang-orang Quraisy dan berkata: “Ya Rasulallah, demi Allah aku hampir tidak shalat Asyar sehingga mendekati matahari terbenam.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah, akupun belum menunaikan shalat.” Lalu kami berdiri [dan berjalan] menuju satu tempat, maka Nabi berwudlu untuk shalat dan kami pun berwudlu. Lalu beliau shalat asyar setelah matahari terbenam, setelah itu beliau melakukan shalat maghrib.”
Dan boleh jadi bahwa dalam agama mereka, mengakhirkan shalat karena udzur peperangan [adalah] dibolehkan, sedangkan kuda untuk digunakan dalam perang.
rudduuHaa ‘alayya fathafiqa masham bissuuqi wal a’naaq (“Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku.’ Lalu ia mengusap-usap kaki dan lehernya.”) al-Hasan al-Bashri berkata: “Beliau berkata: ‘Tidak, demi Allah. Janganlah engkau sibukkan diriku dari beribadah kepada Rabb-ku, inilah kesempatan terakhirmu.’ Kemudian beliau memerintahkan untuk menyembalihnya.” Demikian pula yang dikatakan oleh Qatadah. Untuk itu beliau keluar tanpa kuda-kuda itu karena Allah Ta’ala, maka Allah menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik, yaitu angin yang bertiup sesuai dengan perintahnya yang perjalanan di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan, dan perjalanan di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan [pula]. Angin itu justru lebih cepat dan lebih baik daripada kuda.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Qatadah dan Abud Dahma’ banyak melakukan perjalanan menuju Baitullah, keduanya berkata: Kami mendatangi seorang laki-laki penduduk kampung, lalu laki-laki desa itu berkata kepaa kami: ‘Rasulullah menggenggam tanganku dan mengajarkan kepadaku sesuatu yang diajarkan oleh Allah dan bersabda: “Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah Ta’ala, melainkan Allah akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih baik darinya.’”
“34. dan Sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat. 35. ia berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi.’ 36. kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakiNya, 37. dan (kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam, 38. dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu.39. Inilah anugerah kami; Maka berikanlah (kepada orang lain) atau tahanlah (untuk dirimu sendiri) dengan tiada pertanggungan jawab. Dan sesungguhnya dia memiliki kedudukan yang dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Shaad: 34-40)
Allah berfirman: laqad fatannaa sulaimaana (“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman.”) yaitu Kami mengujinya dengan mencabut kerajaannya. Wa alqainaa ‘alaa kursiyyiHii jasadan (“Dan Kami jadikan ia tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh.”) menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, al-Hasan, Qatadah dan lain-lain, yaitu syaitan.
Tsumma anaab (“Kemudian dia bertaubat.”) yaitu kembali kepada kerajaan, kekuasaan dan singgasananya.
Qaala rabbighfirlii wa hablii mulkal laa yanbaghii li-ahadim mim ba’dii innaka antal waHHaab (“Ia berkata: ‘Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku, sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahapemberi.”) sebagian ulama berkata: “Maknanya adalah, tidak patut bagi seseorang setelahku. Yakni tidak layak bagi seseorang pun untuk mencabutnya darinya sesudahku, sebagaimana masalah tubuh yang tergeletak di atas kursinya, bukan berarti dia mencegah orang lain sesudahnya.”
Pendapat yang shahih bahwa beliau meminta kepada Allah Ta’ala sebuah kerajaan yang tidak diberikan kepada manusia sesudahnya seperti kerajaan itu. Inilah makna yang jelas dalam ayat suci tersebut.
Bersambung ke bagian 8
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (6)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“26. Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad: 26)
Ini adalah wasiat dari Allah kepada para penguasa untuk menerapkan hukum kepada manusia sesuai dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah, serta tidak berpaling darinya, hingga mereka sesat dari jalan Allah. Sesungguhnya Allah mengancam orang yang sesat dari jalan-Nya serta melupakan hari hisab dengan ancaman yang keras dan adzab yang pedih.
‘Ikrimah berkata: “LaHum ‘adzaabun syadiidum bimaa nasuu yaumal hisaab (“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”) ini merupakan bentuk muqaddam (yang didahulukan) dan mu-akhkhar (yang diakhirkan) yaitu mereka akan mendapatkan adzab yang pedih pada hari hisab oleh sebab apa yang mereka lupakan.”
As-Suddi berkata: “Mereka mendapatkan adzab yang pedih dikarenakan aya yang mereka tinggalkan, yaitu beramal untuk hari hisab,” pendapat ini lebih sesuai dengan dhahir ayat ini. Semoga Allah memberikan taufiq ke ara kebenaran.
“27. dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. 28. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat? 29. ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 27-29)
Allah memberitakan bahwa Dia tidak menciptakan makhluk-Nya dengan sia-sia. Akan tetapi Dia menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya dan mengesakan-Nya. kemudian Dia akan menghimpun mereka pada hari kiamat, dimana orang yang taat akan diberikan pahala dan orang yang kafir akan disiksa. Untuk itu Allah berfirman: wama khalaqnas samaa-a wal ardla wamaa baina Humaa baathilan dzaalika dhannulladziina kafaruu (“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir.”) yaitu orang-orang yang tidak memandang adanya hari kebangkitan dan hari kembali, tetapi hanya meyakini adanya negeri ini [dunia] saja.
Fawailul lilladziina kafaruu minan naar (“Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”) yaitu celakalah bagi mereka pada hari kembali dan berbangkit merkea sebab api neraka yang dipersiapkan untuk mereka. Kemudian Allah menjelaskan bahwa dengan keadilan-Nya dan kebijaksanaan-Nya tidak akan menyamakan antara orang yang beriman dengan orang-orang yang kafir.
Firman Allah: am naj’alulladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati kal mufsidiina fil ardli am naj’alul muttaqiina kalfujjaar (“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah [pula] Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?”) artinya, Kami tidak malakukan hal itu dan mereka tidak akan sama di sisi Allah. Jika masalahnya demikian, maka pasti ada negeri lain, tempat dimana orang yang taat akan diberi pahala dan orang dhalim akan diberi siksa. Petunjuk ini memberikan arahan kepada akal yang sehat dan fitrah yang lurus, bahwa pasti akan ada hari kembali dan hari pembalasan. Karena kita melihat orang yang dhalim dan melampaui batas semakin bertambah dalam harta, anak dan kenikmatannya, lalu ia mati, sedangkan kitapun melihat orang taat yang didhalimi, lalu wafat karena bebannya itu, maka pasti dengan hikmah [Allah] Yang Mahabijaksana, Mahamengetahui lagi Mahaadil, Yang tidak mendhalimi seberat biji dzarrah pun untuk memberikan keadilan kepada setiap orang. Jika hal itu tidak terjadi di dunia ini, maka pastilah bahwa nanti akan ada negeri lain untuk pembalasan dan pembelaan.
Dan dikarenakan Al-Qur’an memberikan arahan kepada tujuan-tujuan yang benar dan sumber-sumber rasional yang tepat, Allah berfirman: kitaabun anzalnaaHu ilaika mubaarakul liyaddabbaruu aayaatiHii waliyatadzakkara ulul albaab (“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu [yang] penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai fikiran mendapatkan pelajaran.”) yaitu orang-orang yang memiliki akal. “albaab” adalah kata jamak dari “lubbun” yang berarti akal.
Al-Hasan al-Bashri berkata: “Demi Allah, tadabbur bukan dengan menghafal huruf-hurufnya dan menyia-nyiakan batas-batasnya, sehingga salah seorang mereka berkata: ‘Aku telah membaca al-Qur’an seluruhnya.’ Akan tetapi semua itu tidak terlihat sedikitpun dalam akhlak dan amalnya.’” (HR Ibn Abi Hatim)
Bersambung ke bagian 7
Tafsir Ibu Katsir Surah Shaad (5)
15 AguTafsir Al-Qur’an Surah Shaad
Surah Makkiyyah; Surah ke 38: 88 ayat
“21. dan Adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar? 22. ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (Kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari Kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus. 23. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka Dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan Dia mengalahkan aku dalam perdebatan”. 24. Daud berkata: “Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini”. dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. 25. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. dan Sesungguhnya Dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (Shaad: 21-25)
Para ahli tafsir telah menceritakan, sebuah kisah disini kebanyakan diambil dari berita-berita Israiliyyat. Dan tidak ada satu hadits pun yang benar berasal dari Nabi saw. yang ma’shum yang wajib diikuti. Akan tetapi Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadist yang sanadnya tidak shahih, karena berasal dari riwayat Yazid ar-Raqqasyi, dari Anas ra. Yazin, sekalipun termasuk orang shalih, akan tetapi ia dha’iful hadits (seorang yang haditsnya lemah) menurut para imam. Maka yang lebih utama adalah membatasi diri untuk hanya membaca kisahnya saja, sedangkan ilmunya dikembalikan kepada Allah swt. karena al-Qur’an adalah kebenaran dan kandungannya pun kebenaran.
Firman Allah: fafazi’a minHum (“lalu dia terkejut karena [kedatangan] mereka.”) hal ini terjadi karena dia berada di dalam mihrabnya, yaitu suatu tempat yang paling terhormat di dalam rumahnya, dimana saat itu dia memerintahkan untuk tidak ada seorangpun yang boleh masuk menemuinya. Lalu dia tidak merasakan apapun kecuali tiba-tiba ada dua orang yang membuka mihrabnya hendak menanyakan tentang perkara yang menimpa keduanya.
Firman Allah: wa ‘azzanii fil mihraab (“Dan dia mengalahkanku dalam perdebatan.”) yaitu menang atas diriku. Dikatakan: “’azza – ya’izzu” jika mendominasi dan mengalahkan. Firman Allah: wa dhanna daawuudu annamaa tatannaHuu (“Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya.”) Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas ra. : “Yaitu, bahwa Kami mengujinya.”
Wa kharra raaki’an (“Lalu menyungkur sujud.”) yaitu bersimpuh sujud. Wa anaab (“Dan bertaubat.”) kemungkinan maknanya adalah, dia rukuk lebih dahulu, setelah itu sujud. Telah disebutkan bahwa dia terus-menerus sujud selama 40 pagi. Faghafarnaa laHuu dzaalika (“Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu.”) yaitu apa yang terjadi darinya dalam masalah itu. Dikatakan, bahwa kebaikan orang-orang yang berbakti adalah keburukan bagi orang-orang yang muqarrab [didekatkan di sisi Allah].
Para imam berbeda pendapat tentang ayat Sajdah dalam surah Shaad, apakah sujud-sujud keharusan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Qaul jadid [pendapat baru] dari madzab Syafi’i: bahwa ayat ini bukan sujud keharusan, akan tetapi hanya sebagai sujud syukur. Dalinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Ibnu ‘Abbas ra. berkata: “Ayat sajdah dalam surah Shaad bukanlah termasuk sujud keharusan. Sesungguhnya aku melihat Rasulullah saw. sujud pada ayat itu.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dalam tafsirnya dari hadits Ayyub. At-Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih.”)
An-Nasa’i juga meriwayatkan bahwa ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas berkata: “Sesungguhnya Nabi saw. melakukan sujud dalam surah Shaad dan beliau bersabda: “Dawud as. melakukan sujud pada ayat ini sebagai taubat, dan kami melakukan sujud padanya karena bersyukur.” (an-Nasa’i meriwayatkannya sendir dan seluruh rijal [tokoh] isnadnya adalah terpercaya.)
Sesungguhnya guru kami, al-Hafizh Abul Hajjaj al-Mizzi bercerita kepadaku dengan membacakan kepadanya dan aku mendengar, dari Ibnu ‘Abbas ra. ia mengatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan bertanya: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku bermimpi seakan-akan aku shalat di belakang sebuah pohon, lalu aku membaca ayat sujud. Maka aku sujud, lalu pohon itupun sujud mengikuti sujudku, dan di saat sujud, aku mendengar ia berdoa: “Ya Allah catatlah untukku dengan sebab sujud ini pahala dari sisi-Mu, dan jadikanlah hal itu sebagai simpanan untukku di sisi-Mu. Hapuskanlah kesalahan driku dengan sebabnya dan terimalah hal itu dariku, sebagaimana Engkau terima hal itu dari hambamu, Dawud.’”
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: “Aku melihat Nabi saw. bediri, lalu membaca ayat sujud, kemudian beliau sujud dan aku mendengar beliau bedoa ketika sujud, sebagaimana doa yang diceritakan orang itu tentang ucapan pohon tersebut.” (HR at-Tirmidzi dari Qutaibah dan Ibnu Majah dari Abu Bakar bin al-Khallad yang keduanya dari Muhammad bin Yazid bin Khunais sepertinya. At-Tirmidzi berkata: “Gharib, tidak kami ketahui kecuali dari jalur ini.”)
Al-Bukhari meriwayatkan juga tentang penafsiran ayat ini, bahwa al-‘Awwam berkata: “Aku bertanya kepada Mujahid tentang ayat sujud dalam surah Shaad. Lalu dia berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas ra.: ‘Dari mana engkau sujud?’ Beliau menjawab: ‘Apakah engkau belum membaca: wa min dzurriyyatiHii daawuuda wa sulaimaana (“dan kepada sebagian dari keturunannya [Nuh], yaitu Dawud, Sulaiman.”)’(al-An’am: 84) ulaa-ikal ladziina HadallaaHu fabiHudaaHumuqtadiH (“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.”)(al-An’am: 90). Maka Dawud as. termasuk Nabi yang diperintahkan oleh Nabi kalian saw. untuk diikuti. Dawud as. melakukan sujud, maka Nabi saw. pun sujud.’”
Firman Allah: wa inna laHuu ‘indanaa lazulfaa wa husna ma-aab (“Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan [yang] dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.”) yaitu sesungguhnya pada hari Kiamat dia memiliki kedudukan yang didekatkan oleh Allah swt. dan tempat kembali yang baik, yaitu derajat yang tinggi di dalam surga karena taubat dan keadilannya yang sempurna dalam kerajaannya. Sebagaiman tercantum dalam hadits shahih:
“Orang-orang adil akan berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di arah kanan ar-Rahman. Sedang kedua tangan-Nya adalah kanan. Yaitu, mereka yang berbuat adil dalam keluarga dan apa yang menjadi kekuasaan mereka.”
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya dari Allah adalah imam yang adil. Dan sesungguhnya manusia yang paling dimurkai Allah pada hari kiamat dan paling keras siksaanya adalah imam yang dhalim.” (HR at-Tirmidzi dari Fudhail, yaitu Ibnu Marzuq al-Agharr dari ‘Athiyyah, dan dia berkata: “Kami tidak mengenalnya sebagai hadits marfu’ kecuali dari jalur ini.”)(Didlaifkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Dla’iful jaami’ no.1663. sedangkan bagian akhir dihasankannya dalam kitab Shahiihul jami’ no. 1001)
bersambung ke bagian 6