Tag Archives: shalat sunnah

Sunnah Meringankan Shalat Sunnah Sebelum Subuh

1 Mei

Riyadhush shalihin, Imam Nawawi,
Akhlak dan Tuntunan Kaum Muslimin

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha: “Bahwasanya Nabi s.a.w. shalat dua rakaat yang ringan sekali antara azan dan iqamah dari shalat Subuh.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam-imam Bukhari dan Muslim disebutkan pula: Beliau s.a.w. shalat dua rakaat fajar, lalu meringankan kedua rakaatnya, sehingga saya bertanya, apakah beliau s.a.w. itu juga membaca Ummul Quran – yakni surat al-Fatihah.

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Beliau s.a.w. shalat dua rakaat fajar, jikalau telah mendengar azan dan meringankan kedua rakaat itu.
Dalam riwayat lain lagi juga disebutkan: Jikalau telah terbit fajar.

Dari Hafshah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah s.a.w. itu apabila muazzin sudah berazan dan Subuh – yakni fajar shadik – sudah terbit, beliau s.a.w. lalu shalat dua rakaat yang ringan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: “Rasulullah s.a.w. itu apabila fajar telah terbit, maka beliau s.a.w. tidak shalat melainkan dua rakaat yang ringan.”

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Nabi s.a.w. itu shalat di waktu malam dua rakaat, dua rakaat, lalu melakukan witir pada waktu akhir malam. Beliau s.a.w. juga shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh dan seolah-olah azan itu ada di dekat kedua telinganya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. itu dalam rakaat pertama dari kedua buah rakaat fajar – sebelum Subuh – itu membaca: Qulu amanna billahi wa ma unzila ilaina, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah – ayat 136 – dan di rakaat akhirnya membaca: Amanna billahi wasyhad bianna muslimun – surat ali-lmran ayat 52.
Dalam riwayat lain disebutkan: “Dalam rakaat akhirnya membaca: “Ta’alau ila kalimatin sawain bainana wa bainakum – surat ali-lmran ayat 64.
Diriwayatkan kedua Hadis di atas itu oleh Imam Muslim.

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. itu membaca dalam kedua rakaat fajar, yaitu: Qul ya ayyuhal kafirun – untuk rakaat pertama – dan Qul huwallahu ahad – untuk rakaat kedua. (Riwayat Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, katanya: “Saya meneliti Nabi s.a.w. selama sebulan, beliau s.a.w. dalam dua rakaat sebelum Subuh itu membaca: Qul ya ayyuhal kafirun -untuk rakaat pertama – dan Qul huwallahu ahad – untuk rakaat kedua.”
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan.

&

Anjuran Shalat Sunnah sebelum Subuh

1 Mei

Riyadhush shalihin, Imam Nawawi,
Akhlak dan Tuntunan Kaum Muslimin

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Nabi s.a.w. itu tidak meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum Zuhur dan dua rakaat sebelum Subuh.” (Riwayat Bukhari)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha pula, katanya: “Tidak ada sesuatu amalanpun dari golongan amalan-amalan sunnah yang lebih ditetapi oleh Nabi s.a.w. melebihi dua rakaat fajar – yakni dua rakaat sebelum shalat Subuh.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Dua rakaat sunnah fajar – yakni sebelum Subuh – adalah lebih baik nilainya daripada dunia dan apa saja yang ada di dalamnya ini -yakni dunia dan seisinya.” (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: Nabi s.a.w. bersabda: “Niscaya-lah kedua rakaat sebelum Subuh itu lebih saya cintai daripada dunia seluruhnya ini.”

Dari Abu Abdillah yaitu Bilal bin Rabah r.a., juru azan Rasulullah s.a.w. bahwasanya ia mendatangi Rasulullah s.a.w. untuk memberitahukannya dengan masuknya shalat Subuh. Kemudian Aisyah mempersibukkan Bilal dengan sesuatu urusan yang ditanyakan oleb Aisyah kepada Bilal itu, sehingga waktupun menjadi pagi sekali. Selanjutnya Bilal berdiri lalu memberitahukannya dengan masuknya waktu shalat dan beliau s.a.w. mengikuti pemberitahuannya itu. Rasulullah s.a.w. belum lagi keluar. Setelah beliau s.a.w. keluar, lalu beliau s.a.w. shalat dengan orang banyak. Bilal kemudian memberitahukan kepada beliau s.a.w. bahwa Aisyah mempersibukkan dirinya dengan sesuatu perkara yang ditanyakan padanya, sehingga waktunya menjadi pagi sekali dan Nabi s.a.w. terlambat keluarnya. Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Sesungguhnya saya tadi melakukan shalat dua rakaat fajar sebelum Subuh.” Bilal berkata: “Ya Rasulullah, Tuan tadi sudah berpagi-pagi sekali.” Beliau s.a.w. menjawab: “Andaikata saya berpagi-pagi lebih daripada pagi tadi, niscayalah saya akan melakukan dua rakaat dan saya perbaguskan serta saya perindahkan lagi.”
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad hasan.

&

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

27 Mei

Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; Hadits

Dari Ummul Mukminin Ummu Habibah [Romlah] bin Abu Sufyan ra. ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tiada seorang muslim yang mengerjakan shalat karena Allah, setiap hari dua belas rakaat, melainkan Allah menyediakan baginya sebuah rumah di dalam surga, atau melainkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Saya bersama-sama dengan Rasulullah saw. mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat Dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah shalat Jum’at, dua rakaat sesudah shalat Magrib, dan dua rakaat sesudah shalat Isya’.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abdullah bin Mughaffal ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Di antara setiap adzan dan iqamah ada shalat sunnah, di antara setiap adzan dan iqamah ada shalat, di antara setiap adzan dan iqamah ada shalat.” Setelah beliau mengucapkan yang ketiga kalianya, beliau bersabda: “Bagi orang yang suka mengerjakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Aisyah ra. bahwasannya Nabi saw. tidak pernah meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat shubuh.” (HR Bukhari)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Nabi saw. selalu menepati di dalam mengerjakan shalat sunnah melebihi dua rakaat fajar [sebelum shalat shubuh].” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Aisyah ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Dua rakaat fajar [sebelum shalat shubuh] adalah lebih baik daripada dunia seisinya.” (HR Muslim)
Dalam riwayat yang lain dikatakan: “Dua rakaat fajar itu lebih aku sukai daripada dunia sesinya.”

Dari Abdullah [Bilal] bin Rabah ra. muadzdzin Rasulullah saw. ia datang kepada Rasulullah saw. untuk adzan shubuh. Kemudian Bilal ditanya tentang sesuatu oleh ‘Aisyah sampai lambat adzannya. Bilal lantas adzan dan dilanjutkan dengan iqamat. Namun Rasulullah saw. belum juga keluar. Sesudah Nabi saw. keluar dan segera shalat bersama orang-orang, Bilal memberitahu kepadanya kalau ia ditanya macam-macam oleh ‘Aisyah hingga pagi benar. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya aku mengerjakan dua rakaat shalat fajar lebih dulu.” Ada seorang shahabat berkata: “Wahai Rasulallah, sesungguhnya engkau sudah berada pada waktu pagi-pagi benar.” Beliau bersabda: “Walaupun waktu lebih pagi lagi, niscaya aku akan tetap mengerjakan dua rakaat fajar dengan sesempurna-sempurnanya dan sebaik-baiknya.” (HR Abu Dawud)

Dari ‘Aisyah ra. bahwasannya Nabi saw. shalat sunnah dua rakaat yang ringan antara adzan dan iqamat shalat shubuh.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan di dalam riwayat yang lain dikatakan: “Beliau shalat dua rakaat fajar sangat ringan [cepat], sehingga saya bertanya pada diri sendiri: “Apakah beliau membaca al-Fatihah pada kedua rakaat itu?”
Dan di dalam riwayat Muslim dikatakan bahwa beliau mengerjakan dua rakaat dengan ringan apabila mendengar adzan.
Dalam riwayat lain dikatakan: “Apabila fajar telah menyingsing.”

Dari Hafshah ra. bahwasannya Rasulullah saw. apabila telah mendengar muadzdzin mengumandangkan adzan shubuh maka beliau mengerjakan shalat dua rakaat yang ringan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Apabila fajar telah menyingsing, Rasulullah saw. hanya mengerjakan shalat dua rakaat yang ringan.”

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: Rasulullah saw. biasa shalat malam dua rakaat dua rakaat salam. Dan pada akhir malam beliau shalat witir satu rakaat, serta shalat dua rakaat sebelum Shubuh apabila beliau telah mendengar adzan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwasannya Rasulullah saw. pada rakaat pertama dari shalat fajar membaca: Quuluu amannaa billaaHi wa maa unzila ilainaa; yang terdapat pada surah al-Baqarah. Dan pada rakaat kedua beliau membaca: aamannaa billaaHi wasyHad bi annaa muslimuun.”
Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa pada rakaat kedua beliau membaca ayat: ta-‘aalau ilaa kalimating sawaa-in bainanaa wa bainakum; yang terdapat pada surah Ali ‘Imraan. (HR Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. pada dua rakaat fajar membaca: “Qul yaa ayyuHal kaafiruun; dan Qul HuwallaaHu ahad.” (HR Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: “Selama sebulan saya melihat Nabi saw. pada dua rakaat fajar selalu membaca: Qul yaa ayyuHal kaafiruun; dan Qul HuwallaaHu ahad.” (HR Turmudzi)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: “Apabila Nabi selesai shalat dua rakaat fajar, maka beliau berbaring pada pinggang sebelah kanan.” (HR Bukhari)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: “Nabi saw. apabila shalat sebelas rakaat di antara isya’ dan shubuh, dimana setiap dua rakaat beliau salam serta witir satu rakaat. Apabila muadzdzin yang mengumandangkan adzan shubuh telah selesai dan fajar telah menyingsing serta si muadzdzin telah datang kepada Nabi, maka beliau mengerjakan shalat dua rakaat yang ringan, kemudian berbaring pada pinggang sebelah kanan sampai si muadzdzin mengumandangkan iqamat.” (HR Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu telah shalat dua rakaat fajar maka hendaklah ia berbaring pada pinggang sebelah kanan.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: “Saya shalat dua rakaat sebelum shalat dzuhur dan dua rakaat sesudahnya bersama-sama dengan Rasulullah saw.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Aisyah ra. bahwasannya Rasulullah saw. tidak pernah meninggalkan shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat Dzuhur.” (HR Bukhari)

Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Nabi saw. biasa shalat empat rakaat sebelum dzuhur di rumah, kemudian beliau mengimami shalat, setelah itu beliau pulang dan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di rumah. Beliau biasa mengimami shalat Maghrib, kemudian beliau pulang dan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di rumah. Beliau biasa mengimami shalat ‘Isya’, kemudian beliau pulang dan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat di rumah.” (HR Muslim)

Dari Ummu Habibah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa selalu mengerjakan shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, niscaya Allah mengharamkan dirinya dari api neraka.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Dari Abdullah bin As-Saib ra. bahwasannya Rasulullah saw. selalu shalat sunnah empat rakaat setelah matahari tergelincir, sebelum beliau mengerjakan shalat Dzuhur. Beliau bersabda: “Sesungguhnya saat-saat seperti ini pintu-pintu langit sedang dibuka, oleh karena itu aku ingin agar amal kebaikanku naik ke atas pada saat-saat seperti ini.” (HR Turmudzi)

Dari ‘Aisyah ra. bahwasannya apabila Nabi saw. tidak mengerjakan shalat empat rakaat sebelum Dzuhur, maka beliau mengerjakannya sesudah shalat Dhuhur.” (HR Turmudzi)

Dari Ali bin Abu Thalib ra. ia berkata: Nabi saw. selalu shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat asyar, dimana beliau memisahkannya dengan salam yang ditujukan kepada malaikat Muqarrabin dan kaum muslimin dan kaum mukminin yang mengikutinya.” (HR Turmudzi)

Dari Ibnu Umar ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Semoga Allah selalu memberikan rahmat kepada seseorang yang suka mengerjakan shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat Asyar.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasannya Nabi saw. sering shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Asyar.” (HR Abu Dawud)

Dari Abdullah bin Mughaffal ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Shalatlah kalian, sebelum mengerjakan shalat maghrib.” Kemudian pada perintah yang ketiga kalinya, beliau bersabda: “Bagi orang yang mau mengerjakannya.” (HR Bukhari)

Dari Anas ra. ia berkata: “Saya melihat tokoh-tokoh sahabat Rasulullah saw. selalu terburu-buru untuk mengerjakan shalat sunnah maghrib.” (HR Bukhari)

Dari Anas ra. ia berkata: “Pada masa Rasulullah saw. kami biasa shalat sunnah dua rakaat sesudah matahari terbenam dan sebelum mengerjakan shalat maghrib.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Apakah Rasulullah saw. mengerjakan shalat sunnah itu?” Anas menjawab: “Beliau melihat kami mengerjakan shalat sunnah itu, beliau tidak menyuruh dan melarang kami.” (HR Muslim)

Dari Anas ra. ia berkata: “Ketika kami di Madinah, apabila muadzdzin telah mengumandangkan adzan Maghrib maka orang-orang selalu terburu-buru untuk mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, sehingga kalau ada orang asing masuk ke masjid itu amka ia akan menyangka bahwa shalat maghrib telah dikerjakan karena banyaknya orang yang mengerjakan shalat sunnah itu.” (HR Muslim)

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at maka hendaklah ia mengerjakan shalat sunnah empat rakaat sesudahnya.” (HR Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. bahwasannya Nabi saw. tidak mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat Jumat sehingga beliau pulang, kemudian beliau shalat sunnah dua rakaat di rumahnya.” (HR Muslim)

Shalat Sunnah

29 Apr

Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Shalat-shalat sunnah mu’akad ialah shalat sunnah witir dan dua rakaat sebelum shubuh. Shalat sangat dianjurkan di antara keduanya adalah shalat witir. Demikian pendapat Maliki dan Syafi’i. Sedangkan pendapat Hambali: shalat sunnah yang sangat dianjurkan adalah shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh.
Tiga imam madzab berpendapat bahwa kedua shalat tersebut hukumnya adalah sunnah. Sementara itu, Hanafi berpendapat: shalat witir adalah wajib, bukan fardlu.

Empat imam madzab sepakat bahwa shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardlu adalah dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat sebelum dzuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah isya’. Hanafi dan Syafi’i menambahkan: empat rakaat sebelum shalat asyar. Namun Hanafi berpendapat: jika ia menghendaki, ia boleh shalat dua rakaat dan boleh juga empat rakaat sesudah shalat dzuhur. Syafi’i membolehkan shalat sunnah empat rakaat sesudah shalat dzuhur.
Hanafi berpendapat: jika ia menghendaki boleh shalat sunnah empat rakaat sesudah shalat dzuhur dan boleh juga dua rakaat. Ia menambahkan empat rakaat sebelum shalat isya’ dan empat rakaat sesudahnya, serta empat rakaat sebelum shalat Jum’at dan empat rakaat sesudahnya.

Disunnahkan dalam shalat sunnah malam dan siang untuk membaca salam pada setiap dua rakaat. Jika setiap satu rakaat membaca salam, menurut Maliki, Syafi’i, dan Hambali: hal itu boleh. Sedangkan Hanafi: tidak boleh. Jika seseorang mau, ia boleh shalat sunnah dua rakaat, empat rakaat, enam rakaat atau delapan rakaat dengan satu salam. Hal demikian jika shalat tersebut dilakukannya pada malam hari. Sementara itu jika dilakukannya pada siang hari maka membaca salam pada setiap empat rakaat.

Jumlah minimal rakaat shalat witir adalah satu rakaat, sedangkan jumlah maksimalnya adalah sebelas rakaat. Jumlah minimal rakaatnya yang sempurna adalah tiga rakaat. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: shalat witir terdiri dari tiga rakaat dengan satu salam, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Maliki: shalat witir adalah satu rakaat, yang diawali shalat genap yang terpisah. Tidak ada batasan bagi shalat genap itu, tetapi minimalnya adalah dua rakaat.
Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa surah yang dibaca (setelah surah al-Fatihah) pada rakaat terakhir shalat witir adalah surah al-Ikhlas dan surah al-Mu’awwidzatain (surah al-Falaq dan an-Naas). Hanafi dan Hambali: surah al-Ikhlas saja.

Apabila seseorang telah shalat witir, lalu ia shalat tahajud, maka ia tidak perlu mengerjakan shalat witir lagi. Demikian pendapat Syafi’i yang paling shahih dan pendapat Hanafi. Hambali: hendaknya witirnya digenapkan terlebih dahulu, lalu bertahajud, kemudian shalat witir satu rakaat supaya bilangan rakaatnya menjadi ganjil.
Disunnahkan supaya membaca doa qunut pada akhir shalat witir pada tengah bulan kedua bulan Ramadlan. Demikian pendapat Syafi’i dan Maliki yang termasyhur. Hanafi dan Hambali: hendaknya doa qunut dibaca pada setiap witir setiap tahun. Pendapat inipun dianut para pengikut Syafi’i, seperti Abu ‘Abdillah az-Zubairi, Abul Walid an-Nasabuuri, Abul Fadhl bin ‘Abdan, dan Abu Manshur bin Mahran.

Shalat sunnah lainnya adalah shalat tarawih pada bulan Ramadlan. Shalat tarawih terdiri dari dua puluh rakaat dengan sepuluh salam. Lebih utama jika dikerjakan berjamaah. Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Abu Yusuf berpendapat: siapa yang mampu shalat tarawih di rumahnya, sebagaimana ia dapat mengerjakannya bersama imam, maka shalat itu lebih baik jika dikerjakan di rumah.
Maliki berpendapat: shalat malam pada bulan Ramadlan bagi orang yang mampu lebih aku sukai. Diriwayatkan dari Maliki: shalat tarawih terdiri dari tiga puluh rakaat.
Empat imam madzab sepakat bahwa shalat-shalat yang tertinggal wajib diqadla. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang mengqadla shalat pada waktu yang terlarang untuk shalat. Hanafi: tidak boleh. Maliki, Syafi’i dan Hambali: boleh.

Apabila matahari telah terbit, sementara seseorang sedang mengerjakan shalat shubuh, maka shalatnya tidak batal. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sementara itu Hanafi berpendapat: shalatnya batal.
Empat imam madzab sepakat bahwa apabila matahari terbenam, sementara seseorang sedang shalat asyar, maka shalatnya adalah sah. Orang yang ketinggalan salah satu shalat sunnah disunnahkan untuk mengqadlanya, meskipun dalam waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat, sebagaimana shalat fardlu. Demikian pendapat paling kuat dari Syafi’i dan salah satu pendapat Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i dalam pendapat lain: tidak perlu diqadla. Hanafi: hendaknya diqadla beserta qadla shalat fardlu jika tertinggal.

Barangsiapa yang masuk masjid dan shalat (fardlu berjamaah) telah berlangsung, maka ia tidak boleh shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah lainnya. Demikian pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki: jika ia tidak khawatir akan tertinggal rakaat kedua dari shalat shubuh, hendaknya dikerjakan shalat fajar di luar masjid.

Waktu-waktu yang dilarang untuk shalat ada empat, menurut pendapat Maliki, yaitu dua waktu yang dilarang karena perbuatan dan dua waktu lainnya dilarang karena waktu itu sendiri. Pertama, sesudah asyar hingga matahari menguning. Kedua, sesudah shubuh hingga matahari terbit. Hal itu karena apabila seseorang belum shalat asyar atau shubuh, dan jika waktu kedua shalat itu masih ada, maka ia boleh shalat apa saja tanpa ada perbedaan pendapat. Oleh karena itu jika ia sudah shalat asyar dan shubuh, maka ia tidak boleh shalat apapun hingga matahari terbenam atau terbit. Hendaknya diketahui pula, bahwa larangan ini karena shalat itu sendiri. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Ketiga, apabila matahari terbit sampai tinggi sedikit. Keempat, sesudah matahari menguning hingga terbenam.
Adapun pendapat Hanafi dan Syafi’i: waktu yang terlarang kelima, disamping keempat waktu di atas, ialah ketika matahari berada tepat di atas kepala hingga condong ke barat.

Maliki dan Hambali: boleh mengqadla semua shalat fardlu pada waktu-waktu yang terlarang karena suatu sebab, secuali shalat sunnah. Syafi’i: boleh mengqadla semua shalat fardlu pada segala waktu dan boleh juga mengerjakan shalat sunnah yang mempunyai sebab pada segala waktu, seperti shalat sunnah yang mempunyai sebab pada segala waktu, seperti shalat tahiyatul masjid, shalat sunnah menjelang thawaf, sujud tilawah, shalat nadzar, dan shalat memperbaharui thaharah.

Hanafi berpendapat: tidak boleh shalat fardlu pada waktu-waktu yang dilarang shalat padanya karena waktu, selain shalat asyar hari tersebut yang boleh dikerjakan ketika matahari menguning. Tidak boleh mengerjakan shalat-shalat sunnah pada waktu yang dilarang shalat padanya bukan karena waktu, kecuali sujud tilawah. Oleh karena itu, barangsiapa yang tertinggal shalat shubuh pada hari itu, ia tidak boleh mengerjakannya ketika matahari terbit. Jika matahari terbit maka shalatnya batal.
Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar dua rakaat, maka dimakruhkan baginya shalat sunnah sesudahnya. Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak dimakruhkan. Hal ini jika dikerjakan di luar Makkah. Adapun jika dikerjakan di Makkah, apakah dimakruhkan? Maliki dan Syafi’i berpendapat: tidak dimakruhkan. Hanafi dan Hambali: dimakruhkan.
Sekian.