Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Para imam madzhab sepakat atas wajibnya seseorang yang menafkahi orang-orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah dan anak yang masih kecil. Namun mereka berbeda pendapat tentang nafkah para istri, apakah diukur menurut ketentuan syara’ ataukah disesuaikan dengan keadaan suami istri?
Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: diuikur menurut keadaan suami-istri. Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi suami yang kaya memberi nafkah kepada istri yang kaya, yaitu sebanyak nafkah yang biasa diberikan kepada orang kaya. Sedangkan suami yang miskin wajib memberikan nafkah kepada istri yang miskin yaitu sebesar kecukupannya. Suami yang kaya wajib memberikan nafkah kepada istri yang fakir, yaitu dengan nafkah pertengahan antara dua nafkah mereka. suami yang fakir memberikan nafkah kepada istri yang kaya adalah sekedar yang diperlukannya, sedangkan yang lainnya menjadi utangnya.
Syafi’i berpendapat: nafkah istri ditentukan oleh ukuran syara’ dan tidak ada ijtihad di dalamnya yang dipertimbangkan menurut keadaan suami saja. oleh karena itu, suami wajib memberikan nafkah dua mud sehari. Suami yang pertengahan wajib memberikan nafkah satu setengah mud sehari. Suami yang miskin wajib memberi nafkah satu mud sehari.
Para imam madzhab sepakat atas wajibnya suami memenuhinya jika istri memerlukan pelayan. Akan tetapi, para imam madzhab berbeda pendapat apabila istri membutuhkan pelayan lebih dari satu. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak wajib memenuhinya kecuali seorang saja, walaupun diperlukan banyak pelayan. Sedangkan menurut Maliki yang masyhur: jika memerlukan dua atau tiga pelayan maka semuanya wajib dipenuhi.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai nafkah istri yang masih kecil, yang belum dapat disetubuhi oleh suaminya. Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: tidak berhak nafkah. Syafi’i mempunyai dua pendapat dan yang paling shahih: tidak berhak nafkah.
Apabila istri sudah besar, sementara suaminya masih kecil dan belum bisa bersenggama, maka ia tidak wajib memberikan nafkah. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak wajib memberikan nafkah. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih: wajib memberikan nafkah.
Suami yang tidak sanggup memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya, apakah istri berhak meminta pembatalan pernikahan? Hanafi berpendapat: tidak berhak, tetapi hendaknya istri diberi kesempatan untuk mencari penghidupan. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: benar, ia behak meminta pembatalan pernikahan lantaran suaminya tidak sanggup memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal.
Apabila masa pemberian nafkah sudah lewat, sementara suami tidak bisa memberikan nafkah kepada istrinya, apakah hal itu masih tetap menjadi kewajiban suami? Hanafi berpendapat: nafkah menjadi gugur selama hakim tidak menetapkan nafkah tersebut. Tetapi, hal demikian menjadi utang bagi suami.
Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas mengatakan: nafkah bagi istri tdiak menjadi gugur karena lewat masanya. Tetapi ia menjadi utang bagi suaminya.
Para imam madzhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak nafkah.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang istri yang bepergian dengan izin suaminya, tetapi bukan bepergian yang wajib, apakah ia masih berhak mendapatkan nafkah? Hanafi berpendapat: gugur nafkahnya. Syafi’i dan Maliki mengatakan: tidak gugur.
Istri yang tertalak ba’in, apabila ia menuntut upah, misalnya dalam menyusui anaknya, apakah ia lebih berhak daripada orang lain? Hanafi berpendapat: jika ada orang lain yang mau menyusui tanpa mengamil upah atau dengan upah yang lebih murah daripada upah umumnya, maka ayah berhak menyusukan anaknya kepada orang lain tersebut dengan syarat penyusuan itu dilakukan di sisi ibunya, karena hak pemeliharaan ada padanya. Dari Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, ibunya lebih berhak. Kedua seperti pendapat Hanafi.
Hanafi mempunyai dua pendapat, pertama, ibunya lebih berhak dalam segala keadaan, dan hakim boleh memaksa mantan suami untuk memenuhi permintaan istrinya. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua, seperti pendapat Hanafi.
Para imam madzhab sepakat bahwa yang wajib atas istrinya dalam menyusui anak adalah susuan pertama sampai tiga kali saja. setelah itu apakah boleh ibunya dipaksa untuk menyusui anaknya? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jika ada orang lain yang dapat menyusuinya maka istri tidak boleh dipaksa. Maliki berpendapat: boleh dipaksa selama ibunya masih tetap menjadi istri ayah anak tersebut, kecuali ibunya tidak terbiasa menyusui anak-anaknya, baik karena kebangsawanannya, ada penyakit, atau air susunya kurang baik.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai apakah pewaris dipaksa untuk menafkahi orang yang mewarisi hartanya, baik sebagai ash-haabul furudh maupun sebagai ‘ashabah? Hanafi berpendapat boleh dipaksa untuk memberikan nafkah kepada dwalil arham, seperti saudara perempuan ibu dan saudara perempuan ayah. Tetapi tidak termasuk ke dalamnya anak paman dan semua orang yang bernasab kepadanya karena persusuan. Maliki berpendapat: tidak wajib memberikan nafkah, kecuali kepada kedua orang tua dan anak-anak kandungannya. Syafi’i berpendapat: wajib diberikan nafkah untuk ibu, bapak dan kakek, dan anak-anak kandung, tetapi tidak melampaui tiang keturunan.
Hambali berpendapat: tiap-tiap dua orang yang ada hubungan perwarisan di antara keduanya, baik sebagai ash-haabul furudh maupun sebagai ‘ashabah, maka mereka wajib saling menafkahi, seperti ibu-bapak, anak-anak saudara, saudara-saudara perempuan, dan para paman serta anak-anak mereka. demikian menurut satu riwayat Hambali. Sedangkan menurut pendapat lainnya dari Hambali: jika warisan hanya berlaku dari satu arah, yaitu dzawil arham, seperti saudara laki-laki bersama saudara perempuan bapak dan anak saudara bapak bersama anak perempuan paman.
Para imam madzhab berbeda pendapat apakah wajib tuan memberi nafkah kepada budak yang dimerdekakan? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak wajib ditanggung lagi oleh mantan tuannya. Hambali berpendapat: lazim diberikan oleh mantan tuannya. Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi dan Syafi’i. Kedua, jika dimerdekakannya ketika budak itu masih kecil, belum sanggup berusaha, lazimlah ia dinafkahi oleh tuannya hingga sanggup berusaha.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang anak yang sudah dewasa, tetapi miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. Hanafi berpendapat: nafkah bagi anak yang sudah dewasa dan sehat dari orang tuanya menjadi gugur. tetapi nafkah bagi anak perempuan dari orang tuanya tidak menjadi gugur kecuali ia sudah menikah. Seperti ini juga pendapat Maliki, tetapi ia mewajibkan kepada bapak untuk memberikan nafkah kepada anak perempuannya hingga ia dicampuri oleh suaminya. Syafi’i berpendapat: nafkah anak yang sudah dewasa gugur dari kewajiban orang tuanya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan. Hambali berpendapat: nafkah anak yang sudah dewasa tetap menjadik kewajiban bapaknya jika anak tersebut tidak memiliki harta dan pekerjaan.
Para imam madzhab sepakat bahwa anak yang sudah dewasa, tetapi dalam keadaan sakit, maka nafkahnya tetap menjadi kewajiban bapaknya. Apabila sakitnya sembuh, lalu sakit lagi, maka kewajiban memberi nafkah kembali kepada bapaknya, kecuali menurut pendapat Maliki yang menyatakan tetap menjadi kewajibannya sendiri.
Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali: apabila anak perempuan menikah, lalu disetubuhi oleh suaminya, kemudian ditalak, maka kewajiban memberi nafkah kembali kepada bapaknya. Maliki berpendapat: tidak kembali kepada bapaknya.
Apabila seorang anak kecil mempunyai ibu dan kakek, atau berkumpul anak perempuan dan akan laki-laki, atau anak perempuan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau anak perempuan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau mempunyai ibu dan anak perempuan, maka siapakah yang berkewajiban memberikan nafkah?
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: nafkah anak kecil ditanggung oleh ibu dan kakeknya, masing-masing satu setengah. Demikian juga jika berkumpul antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut Hanafi: jika berkumpul anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak perempuan maka nafkah ditanggung oleh anak perempuan. Sedangkan menurut pendapat Hambali: nafkah ditanggung oleh keduanya yaitu separuh-separuh. Jika berkumpul ibu dan anak perempuan, nafkah menjadi kewajiban mereka berdua, yaitu seperempat atas ibu dan tiga perempat atas anak perempuan.
Syafi’i berpendapat: nafkah menjadi kewajiban pihak laki-laki saja, yaitu kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki. Dalam hal ini ahli waris terdiri dari ibu dan anak perempuan, maka yang memberi nafkah adalah anak perempuan saja.
Maliki berpendapat: nafkah ditanggung oleh anak kandung laki-laki dan perempuan. Masing-masing dari mereka menanggung setengah jika mereka sama-sama kaya. Sedangkan jika yang satu kaya dan yang lainnya miskin, maka yang kaya wajib memberi nafkah, sedangkan yang miskin tidak.
Apabila seseorang mempunyai hewan piaraan, tetapi tidak diberi makan, apakah hakim boleh memaksanya untuk memberikan makan? Hanafi berpendapat: hakim hendaknya menyuruhnya memberi makan dengan cara yang amar ma’ruf nahi munkar, tidak dengan cara paksaan.
Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hakim boleh memaksa pemiliknya untuk memberi makan atau menjualnya. Namun Maliki dan Hambali melarang pemiliknya untuk membebaninya dengan beban yang tidak sanggup dibawa oleh hewan piaraannya.
&
Tag:4, agama, alquran, bahasa indonesia, empat, fiqh, hadits, ilmu, imam, islam, kajian, madzab, nafkah, religion, sunah, sunnah