Tag Archives: sunnah

Sumpah

13 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa orang yang bersumpah untuk melakukan ketaatan maka ia wajib memenuhinya. Apakah dibolehkan ia mengganti dengan kafarah saja, padahal ia mampu memenuhi sumpahnya? Hanafi dan Hambali mengatakan: tidak boleh. Syafi’i berpendapat: yang utama adalah tidak menggantinya dengan kafarah.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat seperti dua pendapat di atas.

Para imam madzhab sepakat tentang tidak bolehnya menjadikan nama Allah sebagai penghalang dalam melakukan kebajikan dan bersilaturahim. Yang utama adalah sumpah demikian dibatalkan saja, dan dibayar kafarahnya jika bersumpah untuk meninggalkan suatu kebajikan.

Para imam madzhab sepakat bahwa segala sumpah kembali pada niat. Kalau tidak ada niat maka dilihat sebab-sebab yang membangkitkan adanya sumpah tersebut.

Para imam madzhab sepakat bahwa sumpah itu sah dengan menyebutkan nama Allah dan semua nama-Nya yang terdapat dalam asmaul husna. Demikian juga menggunakan semua sifat Allah, seperti: “Demi keperkasaan Allah serta keagungan-Nya.”

Hanafi mengecualikan sumpah dengan menggunakan lafadz ‘ilmullah [ilmu Allah]. Menurutnya, hal itu tidak dipandang sebagai sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang bersumpah palsu, yakni bersumpah dengan menggunakan nama Allah terhadap suatu perkara yang telah berlalu dengan sengaja berdusta. Apakah sumpah yang demikian itu dikenai kafarah?

Hanafi, Maliki dan Hambali dalam suatu riwayatnya mengatakan: tidak dikenai kafarah karena dosa bersumpah palsu itu lebih besar daripada pahala yang membayar kafarah. Syafi’i dalam riwayat lain dari Hambali mengatakan: harus membayar kafarah.

Adapun jika seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya pada masa yang akan datang, kemudian sumpah tersebut dilanggar, maka wajiblah atasnya kafarah. Demikian menurut ijma para imam madzhab.

Apabila seseorang berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah” atau “Aku telah bersaksi dengan nama Allah”, maka hal demikian itu dihukumi sebagai sumpah, walaupun ia tidak berniat sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali.

Maliki berpendapat: jika ia mengatakan, “Aku bersumpah” kemudian diteruskan dengan kalimat “dengan nama Allah”, baik diucapkan maupun diniatkan, maka yang demikian dihukumi sumpah. Sedangkan jika tidak diucapkan dan tidak diniatkan, maka hal itu bukanlah sumpah.

Menurut Syafi’i: orang yang mengatakan: “Kami bersumpah dengan nama Allah” dan diniatkan sumpah maka hal itu dihukumi sebagai sumpah. Sedangkan jika ia niatkan kabar saja, maka hal itu bukan sumpah.

Jika hal itu tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pengikut Syafi’i. Sebagian mereka berpendapat: bukan sumpah. Inilah pendapat yang paling kuat.

Syafi’i berpendapat: tentang orang yang mengatakan: “Aku bersaksi dengan nama Allah” jika diniatkan sumpah maka jadilah sumpah. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka bukanlah sumpah. Inilah pendapat Syafi’i yang dipandang paling kuat oleh para ulama pengikutnya.

Apabila seseorang mengatakan: “Aku bersaksi, aku tidak mengerjakannya” dan tidak diniatkan apa-apa maka jadilah sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan salah satu riwayat pendapat Hambali. Menurut Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi hak Allah,” maka jadilah sumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “la amrullah” atau “wa aymullah” maka yang demikian menjadi sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama pengikut Syafi’i: jika tidak diniatkan sumpah maka hal itu bukanlah sumpah. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat lainnya.

Apabila seseorang bersumpah dengan al-Qur’an maka sah sumpahnya, dan jika dilanggar ia dikenai kafarah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Ibn Hubairah berpendapat: dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat jika yang bersumpah melanggar sumpahnya. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abdil Barr dalam kitab al-Tahmid bahwa mengenai hal ini ada beberapa pendapat dari kalangan para shahabat dan Tabi’in, serta kesepakatan mereka atas wajibnya kafarah atasnya. Ibn ‘Abdil Barr mengatakan: tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini, kecuali tentang seseorang yang melanggar sumpahnya.

Para imam madzhab berbeda pendapta tentang banyaknya kafarah sumpah dengan al-Qur’an. Maliki dan Syafi’i mengatakan: wajib satu kafarah. Sedangkan Hambali mempunyai dua riwayat. Pertama, satu kafarah. Kedua tiap-tiap ayat diberikan satu kafarah.

Apabila seseorang bersumpah dengan nama Nabi saw. maka sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah. Demikian menurut Hambali dalam riwayatnya yang jelas. Sedangkan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan: sumpahnya tidak jadi, dan ia tidak dikenai kafarah.

Apakah sumpah orang kafir itu sah? Hanafi berpendapat: tidak sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah.

Para imam madzhab sepakat bahwa kafarah menjadi wajib lantaran pelanggaran sumpah, baik sumpah untuk mengerjakan ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan maupun mengerjakan perkara yang mubah.

Akan tetapi para imam madzhab berbeda pendapat tentang membayar kafarah, apakah didahulukan atau ditunda sesudah pelanggaran. Hanafi berpendapat: kafarah tidak boleh dibayarkan kecuali setelah terjadi pelanggaran. Syafi’i berpendapat: boleh mendahulukan kafarah atas pelanggaran sumpah dalam perkara yang mubah. Dari Maliki diperoleh dua riwayat: pertama boleh didahulukan. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua tidak boleh didahulukan.

Apabila membayar kafarah sumpah dengan puasa, adakah perbedaannya dengan kafarah berupa memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin? Maliki berpendapat: tidak ada perbedaan. Syafi’i berpendapat: tidak boleh mendahulukan pembayaran kafarah dengan puasa, tetapi yang lain boleh.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sumpah yang tidak disengaja. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam satu riwayatnya mengatakan: sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah dengan nama Allah terhadap suatu urusan, tetapi ternyata tidak sama, baik dengan sengaja maupun tidak, atau karena terlanjur mengatakannya. Namun Maliki dan Hanafi berpendapat: hal itu boleh untuk apa yang telah lalu atau yang akan terjadi. Adapun menurut pendapat Hambali: hal itu diperbolehkan dalam masalah yang telah berlalu saja. kemudian ketiga imam tersebut sepakat bahwa sumpah yang demikian tidak berdosa dan tidak pula ia dikenai kafarah.

Menurut Maliki, sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang yang berkata, “Tidak, demi Allah” atau “ya, demi Allah” yaitu yang terjadi dalam suatu percakapan tanya jawab tanpa dimaksudkan bersumpah.

Syafi’i berpendapat: sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya, “laa wallaaHi” (tidak, demi Allah) atau “balaa wallaaHi” (benar, demi Allah) yang terjadi dalam suatu percakapan, ketika marah tanpa disengaja, baik mengenai sesuatu yang sudah lewat maupun yang akan datang. Tidak ada kafarah dan tidak pula dosa dalam hal ini. Seperti ini pula sebuah riwayat dari Hambali.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengerjakan demikian” maka itu menjadi sumpah, baik diniatkan sumpah maupun tidak. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab Syafi’i.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air Zaid” dengan niat untuk memutuskan hubungan, tetapi ia memanfaatkan barang milik Zaid, baik dengan memakan, meminum, meminjam, maupun mengendarainya, berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dihukumi melanggar sumpah, kecuali diperoleh manfaatnya dengan cara meminum air.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, padahal ia berada di dalamnya, kemudian ia keluar sendirian saja tanpa diikuti oleh keluarga dan kendaraannya, maka hal itu tidak dibenarkan kecuali dengan membawa keluar semuanya, tidak cukup dirinya saja. demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: cukup dirinya saja yang keluar.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, lalu ia menetap di atas atapnya atau memasuki rumah yang merupakan bagian dari rumah tadi, yang di dalamnya terdapat jalan menuju jalan raya, maka ia dihukumi telah melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah, kecuali ia menginjakkan kakinya sedikit saja ke dalam halamannya. Jika ia menepat di atas atapnya dan tidak turun maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah Zaid, lalu Zaid menjualnya, kemudian orang yang bersumpah tersebut memasukinya setelah rumah itu dibeli orang lain, maka ia tetap dihukumi melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara kepada anak kecil, lalu anak itu menjadi tua; atau tidak akan makan daging kambing muda, lalu kambing itu menjadi tua; atau tidak akan makan kurma mentah lalu kurma itu menjadi matang; atau tidak akan makan kurma basah lalu kurma itu menjadi kering; atau tidak akan makan kurma kering lalu kurma itu menjadi manisan; atau tidak akan masuk suatu rumah lalu rumah itu menjadi halaman kering; atau tidak akan makan kurma, maka menurut Hanafi: ia tidak melanggar sumpah dalam memakan kurma mentah, kurma basah, dan kurma kering, sedangkan dalam hal lainnya dianggap melanggar sumpah. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Maliki dan Hambali mengatakan: semuanya dapat dihukumi melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah lalu ia memasuki masjid atau tempat mandi, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menetap di suatu rumah, lalu ia menetap di dalam rumah yang terbuat dari bulu atau kulit, atau kemah, sedangkan ia adalah penduduk suatu kota, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Hal demikian tidak terdapat dalam ketetapan Maliki, tetapi usuannya menetapkan pelanggaran sumpah.

Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah jika tidak diniatkan, baik ia penduduk kota maupun penduduk desa. Menurut sebagian para ulama madzhab Syafi’i: terdapat perbedaan di antara keduanya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan melakukan suatu pekerjaan, lalu ia menyuruh orang lain untuk mengerjakannya, kemudian ia mengerjakannya, maka ia dipandang telah melanggar sumpah jika pekerjaan itu berupa pernikahan atau talak, bukan berupa jual beli dan sewa menyewa kecuali pekerjaan tersebut tidak ia kerjakan sendiri. Jika dikerjakan sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi. Maliki berpendapat: jika ia tidak berniat mewakilkan kepada orang itu untuk dirinya sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah.

Syafi’i berpendapat: jika orang tersebut adalah seorang penguasa atau orang yang tidak bisa mengerjakan sendiri pekerjaannya, atau tidak ada niat untuk mengerjakan demikian, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika keadaannya tidak demikian, maka ia dipandang telah melanggar sumpah. Hambali berpendapat: ia dianggap telah melanggar sumpah secara mutlak.

Apabila seseorang bersumpah untuk membayar utangnya besok, lalu dibayar sebelumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat ia melanggar sumpah.

Apabila orang yang mempunyai piutang meninggal sebelum hari besok maka dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah. Maliki berpendapat: jika pembayaran oleh ahli waris atau hakim dilakukan hari besok, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Sedangkan jika orang lain membayarkannya maka ia dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini besok, lalu air itu tumpah sebelum hari besok, maka ia tidak dipandang melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i: jika gelas rusak sebelum hari besok bukan karena perbuatannya maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini, lalu air tidak ada, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab. Abu Yusuf berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang ia sumpahkan tidak akan dikerjakan, tetapi karena lupa ia mengerjakannya, maka ia dipandang melanggar sumpah secara mutlak, baik ia bersumpah dengan nama Allah, atau dengan talak atau dhihar. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang yang lebih jelas menyatakan: tidak dipandang melanggar sumpah secara mutlak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama, jika sumpah itu dengan nama Allah atau dengan dhihar maka ia tidak melanggar sumpah. Kedua, semuanya merusak sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang orang yang dipaksa bersumpah. Maliki dan Syafi’i berkata: tidak sah. Hanafi berpendapat sumpahnya sah.

Para imam madzhab sepakat apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak berbicara dengan si fulan pada suatu waktu” dan ia meniatkan dengan sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut niatnya. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka ia tidak boleh berbicara dengan orang yang dimaksud. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak boleh berbicara selama satu tahun. Syafi’i: sesaat saja.

Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan si fulan, lalu ia menulis surat dan dikirimkan kepadanya, atau ia memberi isyarat dengan tangannya, matanya atau kepalanya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya. Maliki berpendapat: jika dengan tulisan, maka ia melanggar sumpah. Sedangkan jika dengan surat atau isyarat maka dalam hal ini Maliki mempunyai dua pendapat. Dan Hambali berpendapat: melanggar sumpah. Seperti itu juga qaul qadim Syafi’i.

Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Jika engkau keluar tanpa izinku maka engkau tertalak.” Dan ia niatkan untuk sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut yang dia niatkan. Jika tidak dimaksudkan apa-apa, atau suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak jika keluar kecuali aku mengizinkanmu atau hingga aku mengizinkanmu” menurut pendapat Hanafi, jika suami mengatakan “Jika engkau keluar tanpa izinku”, maka setiap kali keluar haruslah diperlukan izin dari suaminya. Sedangkan jika suaminya mengatakan, “kecuali aku mengizinkanmu” atau “sehingga aku mengizinkanmu” atau “sampai aku mengizinkanmu” maka cukuplah minta izin satu kali saja.

Maliki dan Syafi’i mengatakan: keluar yang pertama memerlukan izin dari suaminya, sedangkan keluar berikutnya tidak diperlukan izin. Hambali berpendapat: setiap kali keluar diperlukan izin dari suaminya.

Apabila suami mengizinkannya, tetapi hal itu tidak terdengar istrinya, maka tidak dihukumi izin. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: dihukumi izin yang shahih.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan kepala dan ia pun tidak meniatkan untuk kepala tertentu, tetapi kepala secara mutlak, maka sumpah itu berlaku pada semua yang dinamakan kepala, baik secara hakekat dari segi bahasa maupun dari adat kebiasaan, seperti kepala hewan, kepala burung, dan kepala ikan. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berpendapat: khusus untuk kepala sapi dan kepala kambing saja. syafi’i berpendapat: termasuk kepala unta, sapi dan kambing.

Apabila seseorang bersumpah akan memukul Zaid dengan seratus cambukan, lalu ia memukulnya dengan menggunakan tangkai pohon bercampur rerumputan seratus kali, apakah hal demikian dapat dibenarkan? Maliki dan Hambali mengatakan: tidak dibernarkan? Syafi’i berpendapat dapat dibenarkan.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan hibah kepada si fulan dengan suatu pemberian, lalu ia bersedekah kepadanya, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah akan membunuh si fulan, dan si fulan telah menjadi mayat, tetapi ia tidak mengetahui kematiannya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika sudah mengetahuinya maka ia dipandang melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: tidak melanggar sumpah secara mutlak, baik ia mengetahui kematiannya ataupun tidak.

Jika seseorang bersumpah bahwa dirinya tidak memiliki harta sama sekali, tetapi ternyata ia memiliki piutang, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: melanggar sumpah.

Seseorang yang bersumpah tidak akan makan buah-buahan, kemudian ia makan kurma, anggur atau delima, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lauk-pauk, lalu ia makan daging, keju, atau telur maka ia tidak melanggar sumpahnya, kecuali ia memakan sesuatu yang dimasak dengannya. Demikian pendapat Hanafi. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia telah melanggar sumpah dengan memakan masing-masing dari makanan tersebut.

Jika seseorang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i.

Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak makan daging, kemudian ia memakan lemak, maka ia tidak melanggar sumpah. Menurut Maliki: melanggar sumpah.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lemak, kemudian ia makan lemak punggung maka ia telah melanggar sumpahnya. Menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah. Apabila seseorang bersumpah akan mencium bunga lalu mencium minyaknya, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dan Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara, kemudian membaca al-Qur’an, maka secara mutlak ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: jika ia membacanya dalam shalat maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika membacanya di luar shalat, maka ia dipandang telah melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memasukkan si fulan ke dalam suatu rumah, lalu ia memasukkan orang yang dimaksud ke dalamnya, dan memintanya agar lebih lama tinggal dengannya maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam salah satu pendaptnya. Menurut Maliki dan Hambali serta pendapat yang keduanya dari Syafi’i: ia telah melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berdiam di suatu rumah bersama si fulan, lalu mereka membagi rumah tersebut dan membuat pagar di antara kedua bagian tersebut, masing-masing bagian itu ada pintu dan kuncinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Maliki. Sedangkan Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian tidak melanggar sumpah. Dari Hanafi ada dua riwayat.

Para imam madzab sepakat bahwa kafarah sumpah adalah memberikan makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Orang yang bersumpah boleh memilih mana yang dikehendakinya. Sedangkan jika ia tidak dapat melaksanakannya, hendaknya menggantinya dengan berpuasa tiga hari. Apakah puasa itu wajib dikerjakan berturut-turut? Hanafi dan Hambali mengatakan wajib berturut-turut. Maliki mengatakan tidak wajib berturut-turut. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Menurut qaul jadidnya dan yang paling kuat: tidak wajib berturut-turut.

Para imam madzhab sepakat bahwa apabila diberikan makanan kepada seorang miskin saja dalam masa sepuluh hari maka hal itu tidak sah, melainkan dipandang memberi makan seorang saja. Namun Hanafi membolehkannya, yaitu dihitung sepuluh orang miskin.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai kadar yang harus diberikan kepada tiap-tiap orang miskin. Maliki berpendapat: satu mud, yaitu dua rithl Baghdad ditambah lauk-pauk. Tetapi jika dibayar dengan satu mud saja tanpa lauk-pauk, hal itu tetap sah.
Hanafi berpendapat: jika ia mengeluarkan gandum maka kadarnya adalah setengah sha’. Sedangkan jika berupa syair atau kurma maka kadarnya adalah satu sha’.
Hambali berpendapat: satu mud gandum atau dua mud kurma atau dua rithal tepung roti.
Syafi’i berpendapat: untuk tiap-tiap orang miskin satu mud.

Adapun untuk pakaian, sedikitnya adalah seukuran kain yang dapat dipakai untuk shalat, yaitu seperti baju gamis atau kain sarung untuk laki-laki, dan baju kurung dan kerudung untuk perempuan. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i: ukuran minimalnya adalah apa saja yang dapat dinamakan pakaian. Namun Hanafi memberi batasan, yaitu berupa baju luar, gamis, atau kain selendang. Jika berupa serban, kerudung, celana, atau sarung maka Hanafi mempunyai dua riwayat. Syafi’i berpendapat: semua jenis tersebut sudah mencukupi. Adapun jika berupa kopiah, menurut ulama madzhab Syafi’i ada dua pendapat.

Para imam madzhab sepakat kafarah tersebut hanya boleh diberikan kepada fakir miskin yang beragama Islam dan merdeka. Juga, boleh kepada anak kecil yang sudah makan makanan yang diterima oleh walinya.

Apakah boleh diberikan kepada anak kecil yang belum makan makanan? Hanafi, Maliki dan Syafi’i mengatakan: boleh diberikan kepada mereka. Hambali berpendapat: tidak boleh.

Apabila diberikan makanan kepada lima orang dan diberikan pakaian kepada lima orang lainnya, maka hal demikian adalah boleh. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Syafi’i: tidak boleh.

Jika seseorang mengulangi sumpahnya terhadap satu barang, atau terhadap beberapa barang, dan ia melanggarnya, maka ia dikenai kafarah untuk masing-masing sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Namun menurut Maliki: jika dimaksudkan dengan berulang itu untuk menguatkan maka kafarahnya hanya satu. Sedangkan jika dimaksudkan untuk masing-masing barang maka ia dikenai kafarah untuk tiap-tiap sumpah. Menurut Hambali dalam riwayat lainnya: diberikan satu kafarah saja untuk seluruhnya.

Syafi’i berpendapat: jika sumpah itu untuk satu barang, dan diulangnya sumpah tersebut dengan niat untuk menguatkan maka ia hanya dikenakan satu kafarah. Sedangkan jika diniatkan untuk memulai lagi sumpahnya, bukan untuk menguatkan, maka dianggap dua kali sumpah, artinya dua kali kafarah. Jika untuk beberapa barang yang berbeda-beda, maka masing-masing dikenai satu kafarah.

Apabila seseorang berpendapat, “Jika ia berbuat demikian maka ia menjadi Yahudi,” “Kafir”, “terlepas dari Islam”, atau “terlepas dari Rasul”, lalu dikerjakan apa yang diucapkannya, maka ia wajib membayar kafarah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: tidak dikenai kafarah.

Apabila seseorang berkata, “Demi janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang berkata, “Bagiku ada janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.

Jika seseorang mengatakan, “Demi amanat Allah” maka ia pun dihukumi telah bersumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakai perhiasan, lalu ia memakai cincin, maka ia melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah.

Jika seorang perempuan bersumpah tidak akan memakai perhiasan lalu ia mengenakan permata dan intan, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpah kecuali jika ia mengenakan perhiasan berupa emas atau perak.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakan roti ini” lalu ia memakan sebagiannya; atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air gelas ini” lalu ia meminum sebagian, atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakai pakaian dari benang si fulanah” lalu ia mengenakan pakaian yang di dalamnya terdapat benang hasil pintalan si fulanah itu; atau seseorang mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan memasuki rumah itu” lalu ia memasukkan tangan atau kakinya; maka dalam hal ini tidak melanggar sumpahnya demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali: melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan yang dibeli oleh si fulan, lalu ia memakan sebagian yang dibelinya atau lainnya, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki dan Hambali. Demikian pula jika ia bersumpah tidak akan memakai pakaian yang dibeli si fulan dan yang serupa dengan itu.
Hanafi berpendapat: semua itu dianggap telah melanggar sumpah, meskipun dengan memakan makanannya saja. syafi’i: semuanya itu tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan makan tepung ini, lalu ia membuat roti darinya dan memakannya, maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedang Hanafi berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Syafi’i berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menempati rumah si fulan maka dianggap melanggar sumpah jika menempatinya secara makruh. Juga apabila ia bersumpah tidak akan mengendarai kendaraan si fulan, lalu ia mengendarai kendaraan budaknya maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: jika tidak diniatkan maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan minum dari sungai Dajlah, sungai Eufrat, atau sungai Nil, lalu ia menciduk air darinya dengan tangan atau bejananya kemudian diminum, maka dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya hingga ia meminum dengan mulutnya.

Jika seseorang bersumpah tidak akan minum air sumur ini, lalu ia meminumnya sedikit, maka ia tidak dianggap telah melanggar sumpah, kecuali jika diniatkan meminum seluruhnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memukul istrinya, lalu ia mencekiknya, menggigitnya tau mencabut rambutnya maka berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut Syafi’i tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan sesuatu kepada si fulan, lalu ia memberinya tetapi tidak diterima oleh si fulan yang dimaksud, maka ia dihukumi telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap telah melanggar sumpah hingga diserahkan atau diterima oleh si fulan.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menjual sesuatu, lalu ia menjualnya dengan syarat khiyar untuk dirinya sendiri, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang memiliki harta yang jauh, atau berupa piutang, dan ia tidak mendapatkan makanan yang akan dibagikan, dan tidak ada pula pakaian, maka ia tidak boleh terus membayar kafarahnya dengan langsung berpuasa. Ia harus bersabar menunggu hingga hartanya yang jauh itu tiba, kemudian kafarahnya dibayar dengan harta tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: boleh langsung berpuasa ketika tidak ada harta.

&

Li’an

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat bahwa suami yang menuduh istrinya berzina [li’an] atau mengingkari janin yang ada di rahim istrinya, dan istrinya pun mengingkari tuduhan suaminya serta suami tidak memiliki bukti, maka ia wajib dikenai had [hukuman]. Ia pun tidak boleh melakukan sumpah li’an untuk menolak hukuman tersebut, yaitu dengan cara bersumpah berulang-ulang empat kali dengan menyebut nama Allah bahwa ia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian pada kali kelima ia bersumpah bahwa Allah akan menimpakan laknat-Nya kepadanya jika ia berdusta. Jika ia sudah melakukan sumpah demikian maka istrinya wajib dikenai had. Tetapi ia boleh menolak had tersebut dengan sumpah li’an juga, yaitu ia bersaksi dengan nama Allah sebanyak empat kali bahwa ia tidak termasuk orang-orang yang benar.

Jika suaminya menolak untuk bersumpah li’an, ia dikenai had. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun menurut pendapat Syafi’i: jika ia menolak maka dihukumi fasik. Sedangkan menurut pendapat Maliki: suami tersebut tidak dipandang fasih hingga ia dikenai had.

Hanafi berpendapat: suami tidak dikenai had, tetapi ia dipenjara hingga mau bersumpah li’an atau mengakui ketidakbenaran tuduhan itu.

Apabila istri menolak bersumpah li’an maka ia pun harus dipenjarakan hingga mau bersumpah li’an atau mengakui tuduhan suaminya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan menurut pendapat Hambali dalam riwayatnya yang paling jelas.
Maliki dan Syafi’i mengatakan: istri tersebut wajib dikenai had.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai apakah li’an itu boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang merdeka atau budak adil atau fasik, keduanya atau salah satunya?
Maliki: setiap orang Islam yang sah talaknya, maka sah pula li’annya, baik ia seorang yang merdeka ataupun budak, baik ia seorang yang adil maupun fasik.

Syafi’i dan Hambali berpendapat seperti pendapat Malik di atas. Namun, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa bagi seorang kafir tidak diperbolehkan talak dan li’an. Menurut penapat Maliki pun demikian, sebab pernikahan orang kafir tidak sah, maka tidak sah pula li’annya.

Hanafi berpendapat: li’an adalah suatu kesaksian. Apabila ia menuduh zina, sedangkan ia sendiri tidak termasuk orang-orang yang bisa diterima kesaksiannya, maka ia dikenai had.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah sah li’an untuk mengingkari bahwa kandungan istrinya itu bukan dari dirinya sebelum istrinya melahirkan? Menurut Hanafi dan Hambali: apabila seorang suami mengingkari kandungan istrinya maka tidak diadakan li’an di antara keduanya, dan tidak diputuskan bahwa kandungan itu bukan darinya. Jika ia menuduh istrinya dengan terang telah berzina maka ia harus bersumpah li’an lantaran tuduhannya itu, tetapi anak yang dikandung tetap dinasabkan kepadanya, baik anak itu dilahirkan dalam masa kandungan enam bulan maupun kurang dari itu.

Menurut Maliki dan Syafi’i: suami boleh melakukan li’an untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istrinya. Namun Maliki mensyaratkan supaya masa suci istri dijadikan tiga kali haid atau satu kali haid saja berdasarkan perbedaan pendapat yang ada di antara ulama pengikutnya, yaitu untuk mengetahui istrinya mengandung atau tidak.
Para imam madzhab sepakat bahwa li’an dapat menceraikan antara suam dan istri.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang dengan apa perceraian tersebut bisa terjadi? Maliki berpendapat: perceraian itu tidak dapat terjadi hanya dengan li’an tanpa adanya ketetapan dari hakim. Artinya, harus ada penetapan hakim. Seperti ini juga salah satu riwayat dari Hambali. Sedangkan Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang lain mengatakan: perceraian itu belum berlaku sebelum istrinya melakukan li’an dan hakim menetapkan perceraian, yaitu hakim mengatakan, “Aku ceraikan di antara kalian berdua.”

Syafi’i berpendapat: talak jatuh cukup dengan li’an suami, sebagaimana terjadi pengingkaran nasab dengan li’an saja. namun li’an istri dapat menggugurkan had atasnya.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah perceraian yang disebabkan li’an dapat dicabut karena suami mendustai dirinya? Hanafi: dapat dicabut. Oleh karena itu jika suami mendustakan dirinya maka ia harus dicambuk dengan kulit, dan setelah itu ia diperbolehkan menikahi istrinya lagi. Demikian juga menurut salah satu riwayat dari Hambali.

Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali yang lebih jelas: ia merupakan perceraian yang tetap, yang tidak dapat dicabut kembali.

Para imam madzhab berbeda pendapat apakah perceraian karena li’an dihukumi fasakh atau talak? Hanafi: ia merupakan talak ba’in. Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia merupakan fasakh.

Apabila talak karena li’an dihukumi talak maka keharaman untuk dinikahi kembali tidak selama-lamanya, dan jika ia berbohong atas dirinya dalam menuduh zina kepada istrinya maka ia diperbolehkan menikahinya lagi.

Menurut Maliki dan Syafi’i: ia merupakan keharaman yang permanen, sebagaimana haram karena sepersusuan yang haram permanen. Demikian juga pendapat ‘Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, ‘Atha’, az-Zuhri, al-Awza’i dan ats-Tsawri.

Sa’id bin al-Jubair berpendapat: li’an ini hanya mengharamkan bersenang-senang dengan istri. Oleh karena itu apabila suami berbohong maka hilanglah keharaman itu, dan kembalilah istri kepadanya jika masih dalam masa ‘iddah.

Apabila seseorang menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki disertai bukti, seperti orang mengatakan, “Si Fulan telah berzina denganmu” maka menurut Hanafi dan Maliki: suami hendaknya melakukan li’an terhadap tuduhannya. Jika orang lain dituduh itu menuntut had atas suami tersebut maka hendaknya ia dikenai had. Had itu tidak gugur lantaran li’an yang dilakukan.

Syafi’i dalam masalah ini mempunyai dua pendapat. Pertama, salah seorang di antara mereka wajib dienai had. Inilah pendapatnya yang paling kuat. Kedua, keduanya dikenai had. Jika dalam li’an disebutkan nama orang yang dituduh itu maka menjadi gugur.
Hambali: dikenakan had kepada salah seorang di antara mereka, dan had dapat gugur jika ia melakukan li’an untuk keduanya.

Apabila suami memanggil istrinya: “Hai wanita pezina,” maka ia wajib dikenai had jika tuduhannya tidak disertai dengan bukti. Menurut Maliki: suami tidak dikenai had sehingga ia mengakui bahwa ia telah melihatnya sendiri.
Syafi’i dan Hanafi: ia dapat menolak had dengan li’an-nya itu, meskipun ia tidak menyebutkan telah melihatnya sendiri.

Apabila empat orang bersaksi, dan salah seorang di antara mereka adalah suaminya sendiri, bahwa istrinya telah berzina, maka kesaksian tersebut tidak dapat diterima, dan semuanya dikenai had, kecuali suami yang dapat menggugurkan had-nya dengan li’an. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi: kesaksian mereka dapat diterima, dan istri dikenai had.

Jika istri melakukan li’an sebelum suaminya maka tidak sah li’an-nya. demikian Maliki, Syafi’i dan Hambali. Menurut Hanafi: dapat diterima.

Orang bisu yang mengerti isyarat dan tulisan serta mengerti pula apa yang diucapkan dianggap li’an dan tuduhannya. Demikian halnya dengan istri-istri bisu. Inilah pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak sah.

Apabila seorang istri telah ditalak ba’in oleh suaminya, lalu suami melihat istrinya berzina dalam masa ‘iddahnya, maka suami boleh melakukan li’an. Begitu juga jika ternyata istrinya hamil sesudah talak. Demikian pendapat Maliki.

Syafi’i: jika telah nyata istrinya hamil atau melahirkan maka suaminya boleh melakukan li’an. Sedangkan jika tidak demikian, maka suami tidak boleh melakukan li’an. Hanafi dan Hambali mengatakan: suami tidak dibolehkan melakukan li’an sama sekali.

Apabila seorang perempuan bersuami dan ia ditalak suami sesudah terjadi akad, sebelum ada kemungkinan untuk menyetubuhinya, kemudian setelah enam bulan sesudah akad lahir anak istrinya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepada mantan suaminya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Begitu juga jika ia melahirkan anak sebelum usia pernikahan mencapai enam bulan.

Hanafi: apabila akad tersebut dilakukan di depan hakim, lalu istri ditalak sesudah akad, kemudian melahirkan anak sesudah enam bulan dari akad, maka anak dinasabkan kepada suaminya meskipun tidak ada kemungkinan untuk bersetubuh. Sedangkan jika lebih dari enam bulan atau kurang, tidak dinasabkan kepadanya. Karena jika anak tersebut lahir setelah lewat enam bulan, jelas anak tersebut terjadi sesudah talak tiga dijatuhkan, maka anak tidak jelas dinasabkan kepadanya. Sedangkan jika anak tersebut lahir sebelum enam bulan maka ia terjadinya sebelum akad, dan ia tidak dinasabkan kepada suami ibunya.

Hanafi berkata: seorang istri bersuami dengan seseorang, lalu suaminya pergi keluar negeri selama beberapa tahun. Kemudian, datang kabar tentang kematian suaminya. Maka ia terus ber’iddah. Setelah itu menikah lagi dengan orang lain dan melahirkan anak dari suami kedua. Tiba-tiba datang suami pertama. dalam hal ini anak dinasabkan kepada suami yang pertama.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: anak itu dinasabkan kepada suaminya yang kedua.
Hanafi mengatakan lagi: seorang perempuan yang berada di barat menikah dengan pria yang berada di timur. Sesudah enam bulan, istri melahirkan anak. Dalam hal ini anak tersebut dinasabkan kepada pasangan suami istri tersebut, meskipun jarak antara keduanya tidak memungkinkan bertemu, tetapi ada akad.

&

Ila’

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Ila’ adalah suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya.
Para imam madzab sepakat bahwa bersumpah dengan nama Allah untuk tidak menyetubuhi istrinya selama empat bulan lebih, maka ia dihukumi sebagai orang yang bersumpah ila’ [muli’]. Sedangkan jika kurang dari empat bulan, maka tidak dihukumi sebagai muli’.

Para imam madzhab berbeda pendapat apabila suami bersumpah dalam masa empat bulan, apakah dapat dikatakan ila’?
Hanafi berpendapat: benar, dipandang sebagai ila’. Diriwayatkan seperti ini juga pendapat Hambali. Sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: tidak dipandang sebagai ila’.

Apabila telah lewat empat bulan, apakah dengan lewatnya masa itu terjadi talak atau tidak? Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: tidak langsung terjadi talak, tetapi suami tersebut disuruh untuk rujuk kembali dengan istrinya atau menalaknya. Hanafi berpendapat: dengan lewatnya masa empat bulan maka terjadi talak.

Para imam madzab yang berpendapat bahwa suami disuruh memilih antara kembali atau mentalaknya berbeda pendapat tentang suami yang bersumpah ila’ tersebut menolak untuk menalakya, apakah dijatuhkan talaknya oleh hakim? Menurut pendapat Maliki dan Hambali: dijatuhkan talak atasnya oleh hakim. Dari Hambali dirperoleh riwayat lain, yaitu bahwa suami tersebut terus didesak sehingga menjatuhkan talaknya.
Syafi’i mempunyai dua pendapat: pertama, hakim harus menjatuhkan talaknya. Inilah pendapat yang paling kuat. Kedua, hakim hanya berkewajiban mendesak suami itu.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang bersumpah ila’ tidak menggunakan nama Allah, melainkan dengan menggunakan lafadz seperti talak, memerdekakan, menyedekahkan harta, dan menunaikan peribadatan, apakah orang tersebut dapat dihukumi telah melakukan ila’?

Hanafi berpendapat: ia dihukumi bersumpah ila’, baik ia maksudkan untuk memelaratkan istrinya maupun berniat untuk menghindarkan istrinya dari kemelaratan, seperti istrinya menyusui atau menderita sakit.

Maliki berpendapat: suami tersebut tidak dihukumi bersumpah ila’ kecuali ia bersumpah dalam keadaan marah atau bermaksud untuk memelaratkan istrinya, maka ia tidak dihukumi bersumpah ila’.
Hambali berpendapat: suami tersebut tidak dihukumi bersumpah ila’ kecuali jika ia bermaksud untuk memelaratkan istrinya.
Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang shahih adalah sebagaimana pendapat Hanafi.

Apabila orang yang bersumpah ila’ tersebut kembali lagi kepada istrinya, maka ia dikenai kafarah sumpah dengan nama Allah. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab kecuali qaul qadim Syafi’i.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang tidak mau menyetubuhi istrinya dengan maksud untuk menyusahkannya selama lebih dari empat bulan, tetapi tidak menggunakan sumpah. Apakah orang tersebut dapat dihukumi orang yang telah bersumpah ila’?

Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dapat dihukumi telah bersumpah ila’.
Maliki dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: dihukumi telah bersumpah ila’.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ila’ orang kafir, apakah sah hukumnya?

Maliki berpendapat tidak sah. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan sah, dan kegunaannya dituntut untuk memenuhi peraturan ila’ sesudah ia masuk Islam.

&

Dhihar

9 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzab sepakat bahwa seorang muslim apabila berkata kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku” maka ia dihukumi telah mendhihar istrinya. Dengan demikian ia tidak boleh menyetubuhi istrinya sehingga membayar kafarah, yaitu memerdekakan seorang budak jika ada. Jika tidak ada maka ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu maka ia diwajibkan memberi makan enam puluh orang miskin.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang dhihar orang dzimmi. Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak sah. Syafi’i dan Hambali mengatakan: sah.
Tidak sa dhihar seorang tuan atas budak perempuannya. Demikian menurut pendapat para imam madzhab kecuali Maliki.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah seseorang yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau haram bagiku.” Hanafi berpendapat: jika diniatkan talak maka terjadilah talak. Jika diniatkan talak tiga maka jatuh talak tiga. Jika diniatkan talak satu atau dua maka tajuh satu talak ba’in. Jika dimaksudkan untuk mengharamkan istrinya tanpa diniatkan apa-apa maka tidak dianggap sumpah, dan dipandang ia sebagai orang yang bersumpah ila’. Jika ia membiarkan istrinya lebih dan empat bulan maka jatuhlah talak ba’in. Jika diniatkan dhihar maka ia dihukumi sebagai orang yang mendhihar istrinya. Jika diniatkan sumpah maka jadilah sumpah. Terserah pada niatnya, berapa ia kehendaki, satu atau lebih, baik istri tersebut sudah disetubuhi ataupun belum.

Maliki berpendapat: hal demikian dihukumi sebagai talak tiga jika istri tersebut sudah disetubuhi. Sedangkan jika belum disetubuhi maka jatuh talak satu.
Syafi’i: jika diniatkan talak atau dhihar maka ia dihukumi sesuai dengan yang diniatkannya. Jika diniatkan sumpah maka tidak jadi sumpah, tetapi ia dikenai kafarah sumpah.

Adapun jika tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, ia tidak dikenai kewajiban apa-apa, inilah pendapat yang paling shahih. Kedua, ia dikenai kafarah sumpah.

Dari Hambali diperoleh tiga riwayat. Pertama, pendapat yang dipandang paling kuat adalah jelas ucapan tersebut adalah dhihar, baik diniatkan dhihar maupun tidak, dan ia dikenai kafarah dhihar. Kedua, hal tersebut dianggap sumpah, dan ia dikenai kafarah sumpah. Ketiga, hal demikian dihukumi sebagai talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang mengharamkan makanan dan minumannya. Hanafi dan Hambali mengatakan: orang tersebut dihukumi bersumpah. Ia dikenai kafarah jika melanggar sumpahnya. Ia bisa dianggap melanggar sumpah meskipun hanya makan atau minum sebagiannya, tidak seluruhnya.

Syafi’i: jika ia mengharamkan makanan, minuman atau pakaian maka tidak apa-apa. Ia tidak dikenai kafarat apa-apa jika melanggarnya.

Para imam madzhab berbeda pendapat apakah diharamkan orang yang mendhihar istrinya untuk mencium dan menyetebuhi dengan syahwat? Hanafi dan Maliki mengatakan: haram. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan qaul jadid menyatakan boleh.
Dari hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih jelas adalah mengharamkan.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah orang yang sedang melakukan puasa kafarah dhihar, menyetubuhi istrinya pada dua bulan itu, baik siang maupun malam, karena lupa ataupun disengaja. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam salah satu riwayatnya yang jelas: puasa harus dimulai kembali dari awal. Syafi’i: jika menyetubuhinya pada malam hari, tidak diharuskan mengulanginya kembali secara mutlak. Sedangkan jika menyetubuhinya pada siang hari dan dengan sengaja, maka batal puasanya dan harus diulang kembali dari awal, karena ada nash al-Qur’an yang menyatakan demikian.

Para imam madzhab sepakat bahwa tidak dibolehkan menyetubuhi istri yang telah didhihar sehingga dibayar kafaratnya, dan kafarat dhihar tidak boleh diberikan kepada kafir harbi.

Para imam madzhab berbeda pendapat, jika kafarah dhihar tersebut diberikan kepada kafir dzimmi. Hanafi: boleh. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan tidak boleh.

Jika seorang istri mengatakan kepada suaminya, “Engkau bagiku seperti punggung ayahku.” Maka ia tidak dikenai kafarat apa-apa. Demikian menurut pendapat yang disepakati oleh para imam madzhab kecuali menurut riwayat al-Khiraqi dari Hambali: istri tersebut wajib memberikan kafarah. Pendapat ini yang dipilih oleh al-Khiraqi sendiri.

&

Rujuk

28 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Merujuk istri yang ditalak raj’i adalah dibolehkan. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab. Tetapi para imam berbeda pendapat tentang hukum menyetubuhi istri yang sedang menjalani ‘iddah dalam talak raj’i, apakah diharamkan atau tidak?

Menurut Hanafi dan Hambali dalam pendapat yang kuat: tidak haram. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i dan pendapat Hambali yang lainnya: haram.

Apakah dengan telah disetubuhinya istri tersebut telah terjadi rujuk atau tidak? Dalam masalah ini para imam madzhab berbeda pendapat. Menurut Hanafi dan pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya: persetubuhan itu berarti rujuk, dan tidak diperlukan lafadz rujuk, baik diniatkan rujuk maupun tidak.
Menurut Maliki dalam pendapatnya yang masyhur: jika diniatkan rujuk, maka dengan terjadinya persetubuhan itu terjadi rujuk. Syafi’i: tidak sah rujuk kecuali dengan lafadz rujuk.

Apakah di antara syarat-syarat rujuk adalah keharusan adanya saksi? Hanafi, Maliki dan Hambali dalam salah satu riwayatnya mengatakan: adanya saksi bukannya syarat tetapi mustahab.
Syafi’i punya dua pendapat: pertama, yang paling shahih adalah disunnahkan. Kedua, adanya saksi merupakan syarat. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat lainnya.

Diriwayatkan dari ar-Raf’i bahwa para ulama pengikut madzhab Maliki mengatakan bahwa syarat rujuk dengan adanya saksi tidak diperoleh dalam kitab-kitab yang masyhur dari Maliki. Namun, al-Qadhi Abdul Wahhab dan al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: “Madzhab Maliki memandang sunnah adanya saksi.” Tidak seorang ulama pun yang menentang pendapat tersebut. Demikian juga yang telah dijelaskan oleh Ibn Hubairah, seorang ulama Syafi’i, dalam kitab al-Ifsah.

Para imam madzhab sepakat tentang orang yang telah menalak istrinya dengan talak tiga, ia tidak boleh menikahinya hingga istrinya yang telah ditalaknya dinikah oleh orang lain dan disetubuhi dalam pernikahan yang sah. Adapun, yang dimaksud pernikahan dalam masalah ini adalah termasuk persetubuhannya. Hal ini merupakan syarat diperbolehkannya menikahi lagi bagi suami pertama apabila mantan istrinya tersebut bercerai dengan suami yang baru.

Persetubuhan dalam pernikahan yang tidak sah adalah tidak dibolehkan kecuali menurut pendapat Syafi’i.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah istri tersebut halal dalam persetubuhan dalam masa haid atau dalam keadaan ihram? Menurut Maliki: tidak halal. Sedangkan tiga imam lainnya: halal.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang persetubuhan anak kecil yang sudah bisa bersetubuh dalam pernikahan yang sah. Menurut Maliki: tidak sah. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya: halal.

&

Talak

28 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Dimakruhkan menjatuhkan talak ketika hubungan pergaulan suami-istri sedang rukun, damai dan tenteram. Demikian menurut kesepakatan para ulama. Namun Hanafi yang mengharamkannya.

Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seorang berkata kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, “Jika aku menikahimu maka kamu bertalak.” Atau: “Setiap perempuan yang aku nikahi tertalak.”

Hanafi berpendapat: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun secara khusus.

Maliki berpendapat: sah ta’liq dan lazim talaq apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq dikemukakan secara umum maka ta’liq itu tidak sah dan jatuh talak yang di-ta’liq itu.

Syafi’i dan Hambali berpendapat: ta’liq yang demikian itu tidak sah dan tidak lazim secara mutlak.

Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan? Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: yang menjatuhkan talaq adalah laki-laki. Sedangkan Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.

Adapun bentuknya, menurut pendapat jama’ah, adalah bagi laki-laki merdeka mempunyai tiga talak, sedangkan bagi budak dua kali talak. Hanafi berpendapat: perempuan merdeka mempunyai tiga talak. Sedangkan budak perempuan mempunyai dua talak, baik suaminya merdeka maupun budak.

Seseorang menalak istrinya dengan suatu sifat, seperti seseorang berkat, “Jika kamu memasuki rumah ini maka tertalak.” Kemudian ia menceraikan istrinya, padahal istrinya tidak melanggar ta’liq tersebut dalam keadaan sudah diceraikan. Lalu suaminya menikahinya lagi, dan istri tersebut memasuki rumah yang pernah dijadikan ta’liq talak oleh suaminya. Dalam hal ini, jika talak tersbut bukan talak tiga maka ta’liq nya tidak berlaku lagi. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki.

Sementara Syafi’i mempunyai tiga pendapat, pertama, seperti pendapat Hanafi. Kedua, jika talak itu adalah talak tiga maka ta’liq tersebut tidak ada gunanya. Ketiga, jika talak itu adalah talak ba’in, kemudian suaminya menikahinya lagi lalu menyetubuhinya maka ta’liq nya yang dahulu tidak berlaku lagi. Inilah pendapat yang paling shahih dari Syafi’i.

Hambali berpendapat: ta’liq talak itu tidak berlaku, baik istri sudah terlepas dengan talak tiga maupun dengan kurang dari talak tiga. Adapun jika perempuan tersebut memasuki rumah itu dalam keadaan ditalak maka tidak berulang ta’liq atau sumpah tersebut. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Maliki. Sedangkan Hambali berpendapat: ta’liq tersebut tetap berulang dengan berulangnya pernikahan.

Para imam madzhab sepakat bahwa talak yang dijatuhkan pada masa haid setelah disetubuhi atau pada masa suci setelah disetubuhi hukumnya adalah haram, tetapi talaknya tetap sah. Demikian pula, mengumpulkan tiga talak sekaligus dengan sekali ucapan hukumnya adalah haram, tetapi talaknya tetap sah.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai jenis talak yang dijatuhkan tersebut, apakah talak sunnah ataukah bid’ah?

Dari Hambali diperoleh dua pendapat, seperti dua pendapat di atas, dan al-Khiraqi memilih pendapat yang dinyatakan sebagai talak sunnah.

Para imam Madzhab juga berbeda pendapat tentang orang yang mengatakan, “Engkau tertalak sejumlah batu kerikil dan debu.” Dalam hal ini Hanafi berpendapat: talak tersebut menghendaki terlepasnya istri dari ikatan perkawinan. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak tiga.

Para ulama pengikut Hanafi, Maliki dan Hambali sepakat bahwa orang yang mengatakan kepada istrinya, “Apabila aku menalakmu maka sebelum aku talak, engkau telah tertalak tiga.” Kemudian ia pun menalak istrinya, maka talak itu adalah talak tiga.

Sedangkan para ulama pengikut Syafi’i berlainan pendapat dalam masalah ini. Menurut pendapat ar-Rafi’i, yang paling shahih sebagaimana disebutkan dalam kitab ar-Rawdhah, yaitu talak jatuh sebanyak yang disebutkan pada waktu menjatuhkan talak. Adapun menurut pendapat al-Muzani, Ibn Suraij, al-Haddad, al-Qaffal, Syaikh Abu Hamid, penulis kitab al-Muhadzdzab (Abu Ishaq asy-Syirazi) dan lain-lain, yang demikian itu tidak jatuh talak sama sekali. Hal demikian telah diriwayatkan dari nas Syafi’i. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jatuh talak tiga, sebagaimana pendapat jama’ah.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam masalah ungkapan kiasan dalam talak, seperti meninggalkan, terlepas, cerai, putus, engkau telah merdeka, urusanmu di tanganmu sendiri, ber-‘iddah-lah engkau, pulanglah ke keluargamu, dan sebagainya. Apakah talak semacam itu memerlukan niat?

Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: memerlukan niat atau petunjuk keadaan. Maliki berpendapat: talak jatuh dengan menggunakan ungkapan tersebut, tidak perlu niat.

Jika ungkapan kiasan tersebut ditunjuki keadaan, seperti marah atau menyebut-nyebut talak, tetapi suami menyangkalnya dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menalak, maka ucapannya tidak dapat diterima. Artinya tetap jatuh talak. Apabila ia mengucapkannya dalam keadaan marah, tetapi tidak disebut-sebut kata talak, maka tidak jatuh jika yang diucapkan tiga kali ungkapan kiasan tersebut. Sedangkan jika menggunakan ungkapan lain maka tidak jatuh talak.

Maliki berpendapat: segalam macam ungkapan kiasan yang jelas jika diucapkan dengan kemauannya sendiri ataupun sebagai jawaban atas istri yang meminta talak, maka jatuh talak. Sedangkan pengakuan suami yang menyatakan bahwa yang dimaksud bukanlah menalak tidak dapat diterima.

Syafi’i berpendapat: semua bentuk ungkapan kiasan dalam talak membutuhkan niat.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua, tidak memerlukan niat, melainkan cukup dengan petunjuk keadaan.

Para ulama sepakat bahwa ungkapan talak, berpisah, dan melepaskan merupakan ungkapan yang jelas menunjukkan talak, yang tidak memerlukan niat.
Hanafi berpendapat bahwa ungkapan talak yang jelas, yang tidak memerlukan niat, hanyalah kata “talak”. Sedangkan ungkapan berpisah [firaq] atau melepaskan [sarah] tidak menyebabkan jatuh talak.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang ungkapan kiasan dalam talak apabila diniatkan talak, tetapi tidak diniatkan berbilang, dan disebutkan sebagai jawaban atas permintaan talak. Dihitung jatuh talak berapa?

Hanafi berpendapat: jatuh talak satu dengan sumpah suami. Maliki berpendapat: jika istri telah dicampuri maka tidak dibenarkan pengakuan suami, kecuali dalam keadaan khulu’. Sedangkan jika ia belum dicampuri maka pengakuan suami dapat dibenarkan dengan sumpahnya. Semua yang diniatkan dapat menjatuhkan talak, kecuali lafadz albattah [putus]. Tentang lafadz tersebut ada perbedaan pendapat. Menurut satu riwayat, jatuh talak di bawah talak tiga. Sedangkan menurut riwayat lain, pengakuan suami dapat diterima dengan sumpahnya.

Syafi’i berpendapat: pengakuan suami dapat diterima, baik mengenai asal talak maupun soal bilangannya.
Hambali berpendapat: jika disertai petunjuk keadaan atau diniatkan talak, maka jatuh talak tiga, baik diniatkan maupun tidak, baik istri tersebut sudah dicampuri maupun belum.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ungkapan kiasan yang tidak jelas, seperti pergilah kamu, engkau adalah perempuan yang ditinggalkan, dan sebagainya yang sepadan.

Hanafi berpendapat: semuanya seperti ungkapan kiasan yang jelas. Jika tidak diniatkan berbilang maka jatuh talak satu, tetapi jika diniatkan talak tiga maka jatuh talak tiga. Sedangkan jika diniatkan talak dua, maka tidak jatuh kecuali talak satu.
Syafi’i dan Hambali: jika diniatkan talak dua maka jatuh talah dua.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai ungkapan “ber-‘iddah-lah kamu” dan “Tuntutlah keberanian rahimmu” dengan niat menjatuhkan talak.
Hanafi: jatuh talak raj’i. Maliki: tidak jatuh talak kecuali suami menyebutkannya dengan kemauannya sendiri, bukan kehendak istri. Sedangkan jika dalam keadaan marah atau menyebut-nyebut talak maka jatuh talak yang diniatkan.
Syafi’i: tidak jatuh talak kecuali diniatkan talak, dan tidak jatuh sebanyak yang diniatkan terhadap istri yang sudah dicampuri. Sedangkan jika belum dicampur, maka jatuh satu talak.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, jatuh talak tiga. Kedua, jatuh talak sebanyak yang diniatkan.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai orang yang mengatakan kepada istrinya, “Aku adalah tertalak darimu” atau ia menyerahkan urusan kepada istrinya, lalu istrinya mengatakan, “Engkau tertalak dariku.”

Hanafi dan Hambali mengatakan: hal demikian tidak menjatuhkan talak. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: jatuh talak.

Jika suami mengatakan kepada istrinya: “Engkau adalah orang yang tertalak” dengan diniatkan talak tiga maka jatuh talak satu saja. demikian pendapat Hanafi dan salah satu pendapat Hambali yang dipilih oleh al-Khiraqi. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan pendapat Hambali yang lain: jatuh talak tiga.

Jika suami mengatakan kepada istrinya, “urusanmu berada di tanganmu sendiri” serta diniatkan talak, kemudian istri tersebut menalak dirinya dengan talak tiga, dan suami meniatkannya talak tiga, maka jatuhlah talak tiga. Sedangkan jika diniatkan talak satu, maka tidak jatuh talak sama sekali. Demikian pendapat Hanafi.

Maliki berpendapat: jatuh talak sebanyak yang disebutkan istri jika suami tidak membantah atau mengingkarinya. Sedangkan jika suami mengingkarinya maka ia harus disumpah dan talak jatuh menurut pengakuan suami.

Syafi’i berpendapat: tidak jatuh talak tiga, kecuali jika suami meniatkannya talak tiga. Jika diniatkannya talak tiga. Jika diniatkannya kurang dari tiga maka jatuhlah talak kurang dari tiga.
Hambali berpendapat: jatuh talak tiga, baik diniatkan oleh suami dengan talak tiga maupun talal satu.

Apabila suami mengatakan pada istriya: “Talaklah dirimu sendiri” kemudian iapun menalak dirinya dengan talak tiga, maka tidak jatuh talak sama sekali. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Sementara itu Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak satu.

Para imam madzhab sepakat bahwa apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga.” Maka jatuhlah talak tiga.

Para imam madzhab berbeda pendapat dalam hal apabila suami tersebut mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak” dengan ucapan yang berulang-ulang.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan, “Tidak jatuh talak kecuali talak satu saja. sedangkan Maliki berpendapat: jatuh talak tiga.

Apabila suami mengatkan kepada istrinya yang sudah dicampuri “Yang kami maksudkan dengan sebutan kedua dan ketiga hanyalah untuk menegaskan saja” maka jatuhlah talak tiga. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak jatuh talak kecuali talak satu.

Apabila suami mengatakan kepada istrinya yang belum dicampuri, “Engkau tertalak, tertalak, tertalak” maka jatuhlah talak satu. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i.
Maliki dan Hambali mengatakan: jatuh talak tiga.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak anak kecil yang belum mengerti maksud talak. Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: jika keadannya demikian, tidak jatuh talak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas: terjadi talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatuhkan oleh orang yang mabuk. Hanafi dan Maliki: jatuh talak. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, dan yang lebih shahih menyatakan: jatuh talak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang lebih jelas adalah jatuh talak.
Ath-Thahawi dan al-Kurkhi dari madzab Hanafi serta al-Muzani dan Abu Tsawr dari madzhab Syafi’i mengatkan: orang yang mabuk tidak menjatuhkan talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang talak yang dilakukan oleh orang yang dipaksa dan pemerdekaan yang dipaksa. Hanafi berpendapat: talak jatuh dan pemerdekaannya sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak jatuh talak jika dilakukan untuk membela diri.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang ancaman yang menurut perkiraan dapat dilaksanakan atau dilakukan, apakah yang demikian termasuk paksaan?

Hanafi, Syafi’i, dan Maliki berpendapat: benar, termasuk paksaan. Hambali mempunyai tiga riwayat: pertama, seperti pendapat jamaah [tiga madzhab di atas]. Kedua, tidak termasuk paksaan. Pendapat ini dipilih oleh al-Kiraqi. Ketiga, apabila ancaman tersebut berupa pembunuhan atau berupa pemotongan jari, maka termasuk paksaan. Sedangkan jika tidak demikian maka tidak termasuk paksaan.

Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah paksaan itu khusus dari penguasa? Maliki dan Syafi’i mengatakan: tidak ada perbedaan antara penguasa dan lainnya. Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, bukan paksaan kecuali dari penguasa. Kedua, seperti pendapat Maliki dan Syafi’i di atas. Dari Hanafi juga diperoleh dua riwayat, yaitu seperti dua pendapat di atas.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak, insya Allah.”
Menurut Hanafi dan Syafi’i: tidak jatuh talak. Sedangkan Maliki dan Hambali: jatuh talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai suami yang ragu-ragu, apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: ditetapkan berdasarkan keyakinannya. Sedangkan menurut Maliki yang masyhur: yang dimenangkan adalah perasaan yang condong pada sudah menjatuhkan talak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang dalam keadaan sakit menalak istrinya dengan talak ba’in [talak yang tidak dapat dirujuk, kecuali setelah dinikah dulu oleh laki-laki lain], kemudian suami tersebut meninggal karena sakitnya.

Hanafi, Maliki dan Hambali mengatakan: istrinya yang ditalak tersebut berhak mendapat warisan. Namun Hanafi mensyaratkan dalam mewarisinya bahwa talak tersebut bukan permintaan istri. Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang jelas: tidak berhak mewarisi.

Apakah ia berhak mewarisi, sampai kapan ia berhak atas warisan tersebut? Hanafi berkata: ia berhak mewarisinya selama dalam masa ‘iddahnya. Sedangkan jika suami meninggal sesudah masa ‘iddah maka istri tidak berhak mewarisi.

Maliki berpendapat: ia berhak mendapat waris, meskipun sudah menikah dengan orang lain. Hambali berpendapat: ia berhak mendapat waris selama belum menikah dengan orang lain. Dari Syafi’i ada tiga pendapat: pertama, ia berhak mewarisi selama dalam masa ‘iddahnya. Kedua, ia berhak mewarisi selama belum menikah dengan orang lain. Ketiga, ia berhak mewarisi walaupun ia sudah menikah lagi dengan orang lain.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak sampai setahun lagi.”
Menurut Hanafi dan Maliki: pada saat itu juga istri tertalak. Sedangkan Syafi’i dan Hambali: istri tidak tertalak hingga terpenuhinya satu tahun yang diucapkannya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang menalak raj’i salah seorang istrinya, tetapi tidak ditentukan istri mana yang ditalaknya, atau ditentukan tetapi ia sudah lupa.

Menurut Hanafi dan Ibn Abi Hurairah dari seorang ulama pengikut Syafi’i: tidak ada halangan untuk menyetubuhi istri-istrinya, dan ia pun boleh menyetubuhi istri mana saja yang ia kehendaki. Apabila ia sudah mencampuri seorang di antara istri-istrinya maka talak jatuh pada istri yang belum disetubuhinya.

Menurut pendapat madzhab Syafi’i: jika talak ba’in, maka tertalaklah salah seorang di antara istri-istrinya, dan harus segera ditentukan mana yang ditalaknya. Ia pun tidak boleh menyetubuhi istri-istrinya sebelum ditentukan siapa yang ditalak tersebut, dan yang demikian harus dilakukan sesegera mungkin. Sedangkan jika talaknya raj’i, maka tidak harus ditentukan dengan segera, karena dalam talak raj’i masa ‘iddah mulai dihitung sejak suami menyatakan talak, tidak pada saat menentukan mana di antara istrinya yang ditalak.
Maliki berpendapat: semua istrinya tertalak.
Hambali: suami dilarag menyetubuhi semua istrinya sebelum diadakan undian siapa yang ditalaknya. Istri yang keluar dalam undian tersebut, maka itulah yang tertalak.

Para imam madzab sepakat bahwa apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak separuh talak,” maka jatuhlah talak satu.

Al-Qadhi ‘Abdul Wahhab al-Maliki berpendapat: diriwayatkan dari Dawud bahwa apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak separuh talak” maka hal itu tidak menjatuhkan talak.

Para imam madzab berbeda pendapat tentang suami yang memiliki empat istri mengatakan, “Istriku tertalak”, tetapi tidak menentukan istri mana yang ditalaknya.
Hanafi dan Syafi’i berpendapat: yang tertalak adalah salah satunya, dan suami berhak menjatuhkan talak tersebut kepada istrinya yang mana saja yang ia kehendaki.
Maliki dan hambali mengatakan: semua istrinya tertalak.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami lupa tentang jumlah talak yang telah dijatuhkannya.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: ditetapkan yang sedikit. Maliki mengatakan dalam pendapatnya yang masyhur: yang dimenangkan adalah jatuh talak tanpa memandang berapa talak yang sudah dijatuhkannya.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang suami yang mengisyaratkan talak dengan satu anggota badan istri yang bersambung dalam keadaan selamat seperti tangan.
Menurut Hanafi: jika diisyaratkan pada salah satu dari lima anggota badan, yaitu muka, kepala, leher, punggung dan kemaluan, maka jatuh talak. Sedangkan jika diisyaratkan dengan satu anggota tubuh yang dapat dipisahkan dalam keadaan selama, seperti gigi, rambut dan kuku, maka tidak jatuh talak.

Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: jatuh talak dengan isyarat pada semua anggota badan yang bercerai, seperti jari-jari.

Adapun jika isyarat dengan anggota badan yang bersambung, seperti rambut, maka tetap jatuh talak juga. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Tetapi menurut pendapat Hambali: tidak jatuh talak.

&

Khulu’

25 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Hukum khulu’ tetap berlaku. Demikian menurut ijma’ para imam madzhab.

Diriwayatkan bahwa Bakir bin ‘Abdullah al-Muzanni berpendapat: hukum khulu’ telah dihapuskan [mansukh].

Para imam madzhab sepakat bahwa seorang istri apabila sudah tidak senang lagi kepada suaminya lantaran keburuan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran [khulu’]. Sedangkan jika mereka setuju untuk melakukan khulu’ tanpa sebab apapun maka hal itu dibolehkan dan tidak makruh.

Diriwayatkan bahwa az-Zuhri, ‘Atha’ dan Dawud berpendapat: khulu’ dalam hal ini [tanpa sebab apa pun] adalah tidak sah.

Khulu’ dihukumi talak ba’in [boleh rujuk kembali]. demikian pendapat Hanafi, Maliki, Hambali dalam salah satu riwayaynya serta Syafi’i dalam qaul jadidnya.

Menurut Hambali dalam riwayat lainnya yang dipandang jelas: khulu’ adalah batal. Ia tidak mengurangi jumlah talak dan bukan talak. Demikian juga menurut qaul qadim Syafi’i, yang dipilih oleh kebanyakan ulama pengikutnya, dengan syarat istri menyebut lafadz khulu’ dan tidak berniat talak. Sedangkan menurut pendapat ketiga dari Syafi’i: hal demikian tidak mengurangi talak.

Apakah dimakruhkan khulu’ yang kadarnya lebih besar daripada besar mahar? Hanafi berpendapat: jika perempuan nusyuz maka dimakruhkan mengambil lebih banyak dari jumlah mahar. Sedangkan jika dari pihak suami, maka dimakruhkan ia mengambil sesuatu pun. Tetapi, mengambilnya adalah sah, tetapi makruh. Hambali berpendapat: dimakruhkan khulu’ lebih besar dari jumlah mahar.

Apabila istri yang telah melakukan khuluk ditalak oleh suaminya maka talak yang dijatuhkan dalam masa ‘iddah adalah sah baginya. Demikian menurut Hanafi.
Maliki berpendapat: jika talak terjadi langsung sesudah terjadinya khulu’, maka jatuh talak kepada perempuan tersebut. Sedangkan jika ditalak sesudah ada selang waktu maka perempuan tersebut tidak tertalak lagi.
Syafi’i dan Hambali mengatakan: talak tersebut tidak jatuh pada dirinya.

Melakukan khulu’ dengan syarat istri harus menyusui anaknya selama dua tahun adalah diperbolehkan. Jika anak meninggal sebelum dua tahun maka istri membayar harga penyusuan sebagai masa yang telah ditentukan. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki diperoleh dua riwayat. Pertama, suami tidak mendapat bayaran apa-apa. Kedua, sama dengan pendapat Hanafi dan Hambali.

Syafi’i mempunyai dua pendapat: pertama, tugas penyusuan itu gugur, dan tidak harus digantikan oleh orang lain untuk disusukan –untuk menggenapi dua tahun.
Berdasarkan qaul jadid dari Syafi’i, istri hendaknya mengembalikan mahar mitsl. Sedangkan menurut qaul qadimnya, hendaknya diperhitungkan upah penyusuan tersebut.

Tidak dibolehkan bapak melakukan khulu’ untuk anak perempuannya yang masih kecil dengan mempergunakan harta anak tersebut. Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dan Maliki berpendapat: hal demikian dibolehkan. Seperti ini pendapat para shahabat Syafi’i. Selain itu, menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali, bapak tidak boleh menerima khulu’ dari istri anaknya yang masih kecil. Maliki berpendapat: hal demikian diperbolehkan.

Apabila seorang istri mengatakan: “Talaklah aku dengan talak tiga, dengan bayaran seribu rupiah,” lalu suami menjatuhkan talak satu kali, maka suaminya berhak memperoleh sepertiga dari seribu rupiah itu. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki berpendapat: suami berhak atas seribu rupiah, baik menalak istrinya dengan talak tiga maupun dengan satu kali saja, karena talak satu itu istri dapat menguasai dirinya, sebagaimana ia menguasai dirinya dengan talak tiga.

Syafi’i berpendapat: suami hanya berhak mendapatkan serpertiga dari seribu, baik ia menalak tiga maupun satu. Hambali berpendapat: suami tidak berhak atas apapun, baik ia menjatuhkan talak satu maupun talak tiga.

Apabila istri mengatakan: “Talak aku dengan talak satu, dengan pembayaran seribu rupiah.” Lalu suami menalaknya tiga, maka istripun bertalak tiga dan suaminya berhak atas seribu rupiah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi berpendapat: Suami tidak berhak memperoleh apa pun dari istri tertalak tiga.

Para imam madzhab sepakat bahwa khulu’ tidak disertai istri hukumnya adalah boleh. Seperti orang lain mengatakan kepada seorang suami, “Talaklah istrimu denngan pembayaran seribu rupiah.”
Abu Tsawr berpendapat: khulu’ yang demikian adalah tidak sah.

&

Pembagian Tidur, Nusyuz dan Menggauli Istri

25 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Telah dijelaskan dalam hadits shahih bahwa Rasulullah saw. membagi tidur di antara para istrinya secara bergiliran.

Menurut kesepakatan para imam madzhab, membagi tidur hukumnya adalah wajib jika istrinya lebih dari satu. Sedangkan jika istri hanya seorang maka tidak ada pembagian tidur. Dengan demikian, maka jika suami bermalam pada satu istri maka ia wajib bermalam pada istri lainnya secara bergiliran.

Menurut ijma’ para mujtahid, persenggamaan dengan para istri tidak wajib sama, melainkan sunnah saja. jika salah seorang di antara istrinya tidak suka maka suaminya tidak berdosa. Akan tetapi disunahkan tidak membiarkannya, yakni membiarkannya tidak mencampurinya.

Menurut kesepakatan para imam madzhab, istri yang nusyuz [tidak taat kepada suami] hukumnya adalah haram dan dapat menggugurkan hak nafkah.

Masing-masing suami istri wajib berlaku yang baik terhadap pasangannya dan masing-masing wajib memenuhi hak pasangannya dengan senang hati dan tidak menunjukkan kebencian. Oleh karena itu istri wajib taat kepada suaminya, tetap tinggal di rumah, dan suami berhak melarangnya keluar dari rumah. Suami pun wajib membayar mahar serta memberkan nafkah. Demikian menurut ijma’ para imam madzhab.

Melakukan ‘azl [menumpahkan air mani di luar kemaluan istri] adalah dibolehkan, meskipun tanpa seizinnya. Demikian menurut pendapat mandzab Syafi’i yang paling kuat. Tetapi yang lebih utama adalah perbuatan yang demikian hendaknya ditinggalkan.
Menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali: tidak dibolehkan ‘azl kecuali seizin istrinya.

Apabila seseorang mempunyai istri baru dan perawan maka hendaknya ia tetap di rumahnya selama tujuh hari. Sedangkan jika istri barunya itu janda maka lamanya tinggal di rumahnya adalah tiga hari. Sesudah itu, disamakan pembagian tidurnya dengan istri yang lain. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Hanafi berpendapat: tidak boleh mengistimewakan istri baru, melainkan harus diperlakukan sama antara istri baru dan istri tua.

Apakah diperbolehkan suami mengadakan suatu perjalanan dengan mengajak salah seorang istrinya tanpa diundi, padahal hal itu tidak disukai oleh istri-istri lainnya?
Hanafi berpendapat: boleh. Dari Maliki ada dua riwayat. Pertama, sama dengan pendapat Hanafi. Kedua, tidak dibolehkan kecuali ada kerelaan istri-istri yang lain atau dengan cara diundi. Seperti ini juga pendapat Syafi’i dan Hambali.

Apabila suami itu tetap pergi mengajak salah seorang istrinya tanpa mengundinya atau tanpa kerelaan istri-istri yang lain maka ia wajib mengganti gilirannya. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Maliki mengatakan: tidak wajib menggantinya.

&

Mahar

25 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Pernikahan tidak menjadi batal lantaran rusaknya mahar. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan dari Maliki dan Hambali diperoleh dua riwayat.

Adapun ukuran minimal mahar adalah sebanyak harta yang dicuri pencuri, yang dengannya menyebabkan tangannya dipotong, yaitu sepuluh dirham atau satu dinar. Demikian menurut pendapat Hanafi. Menurut Maliki: seperempat dinar atau tiga dirham. Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak ada batas minimal bagi mahar.

Segala yang dapat dijadikan harga dalam penjualan boleh dijadikan mahar. Demikian menurut pendapat jumhur ulama.

Mengajarkan al-Qur’an boleh dijadikan mahar. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan salah satu riwayat Hambali. Sedangkan menurut pendapat Hanafi dan pendapat yang paling jelas dari Hambali: tidak boleh dijadikan sebagai mahar.

Mahar dimiliki perempuan dengan semata-mata adanya akad. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Dan Maliki berpendapat: mahar belum menjadi miliknya kecuali telah terjadi percampuran atau suaminya meninggal.

Apabila suami telah memenuhi maharnya, maka ia boleh membawa perempuan yang menjadi istrinya kemana saja yang dia kehendaki. Demikian menurut Hanafi.
Ada yang berpendapat: tidak boleh dibawa ke luar negeri, karena tinggal di negeri orang tidak menyenangkan baginya. Demikian yang disebut dalam kitab al-Hidayah.

Diterangkan dalam kitab al-Ikhtiyar karya seorang ulama madzab Hanafi: jika sudah dipenuhi maharnya, maka istri boleh dibawa pindah ke mana saja yang ia kehendaki.
Ada yang berpendapat: tidak boleh bepergian bersamanya. Ada juga yang berpendapat: boleh dibawanya pergi ke desa lain yang dekat, karena yang demikian tidak termasuk pergi ke luar negeri.
Sedangkan menurut pendapat madzab Maliki, Syafi’i dan Hambali: suami boleh membawanya kemana saja dia kehendaki.

Wanita yang menyerahkan besar maharnya pada pertimbangan suami atau pertimbangan wali dan tidak disebutkan besarnya dalam akad [mufawwidhah], apabila ditalak sebelum ditentukan maharnya, tidak diberikan mahar kepadanya. Melainkan hanya diberi pemberian untuk menyenangkannya karena telah ditalak [mut’ah]. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan pendapat Hambali yang paling shahih. Menurut pendapat Hambali dalam riwayat lain: perempuan tersebut berhak mendapat separuhnya dari mahar mitsl.

Maliki berpendapat: tidak wajib diberi mut’ah tetapi hanya sunnah. Menurut lahiriah pendapat Hambali, perempuan bukan mufawwidhah, tidak terjadi talak, tidak berhak memperoleh mut’ah. Menurut pendapat lain dari Hambali; setiap perempuan yang ditalak berhak memperoleh mut’ah. Demikian juga Hanafi.

Syafi’i berpendapat: mut’ah adalah kewajiban atas suami untuk istrinya setelah ditalak sebelum dicampuri, tetapi perempuan itu tidak berhak memperoleh separuh mahar.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang besarnya mut’ah yang diwajibkan. Hanafi berpendapat: mut’ah itu dengan tiga macam kain, yaitu baju, kerudung dan selimut, dengan syarat harga seluruhnya tidak lebih dari setengah mahar mitsl.

Menurut pendapat Syafi’i yang paling shahih dan salah satu pendapat Hambali: besarnya mut’ah diserahkan pada pertimbangan hakim. Sedangkan menurut pendapat Syafi’i yang lain: besarnya mut’ah berapa saja asalkan sesuai dengan hakikat mut’ah itu sendiri [untuk menyenangkan]. sebagaimana mahar, mut’ah dibayarkan sedikit ataupun banyak adalah sah, tetapi hendaknya tidak kurang dari 30 dirham.

Sementara itu, menurut pendapat Hambali yang lain: seharga pakaian shalat, yaitu baju dan kerudung, dan tidak boleh kurang dari itu.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang besarnya mahar yang digunakan untuk menentukan besarnya mahar mitsl. Hanafi berpendapat: yang dipakai ukuran adalah mahar kerabatnya dari garis keturunan laki-laki [‘ashabah] saja. tidak termasuk ke dalamnya mahar ibunya, bibinya, kecuali yang bukan keluarganya.

Maliki berpendapat: yang menjadi pertimbangan dalam menentukan besarnya mahar mitsl adalah berkaitan rupa, kebangsawanan dan kekayaan perempuan itu, tidak termasuk nasab, kecuali jika perempuan tersebut berasal dari kabilah yang telah tetap kadar maharnya. Dalam hal yang terakhir ini tidak boleh kurang atau lebih.

Syafi’i berpendapat: diukur dengan mahar ‘ashabah-nya, yaitu saudara perempuan sekandung, kemudian yang sebapak, anak-anak perempuan saudaranya yang laki-laki, bibinya dari pihak bapak. Sedangkan jika perempuan-perempuan ‘ashabah tidak ada atau tidak diketahui, maka diukur dengan mahar arham-nya, seperti nenek, bibi dari pihak ibu. Juga menjadi ukuran dalam masalah ini adalah umur, kecerdasan, kemewahan, dan kegadisan. Jika ia mempunyai kelebihan atau kekurangan, hal itu dapat menambah atau mengurangi kadar maharnya menurut ukuran yang layak.

Hanafi berpendapat: yang menjadi ukuran adalah kerabat-kerabat yang perempuan, baik dari ‘ashabah maupun lainnya [dzawil arham].

Apabila suami-istri berselisih tentang sudah atau belumnya menerima mahar, maka yang diterima adalah pengakuan istri secara mutlak. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali.

Maliki berpendapat: kalau di negerinya ada kebiasaan mahar dibayar kontan sebelum sebelum terjadi pencampuran, seperti Madinah, maka yang diterima adalah pengakuan istri. Sedangkan jika dibayarnya sesudah terjadi pencampuran maka yang diterima adalah pengakuan suami.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai orang yang memegang akad pernikahan. Hanafi berpendapat: dipegang oleh suami. Ini juga qaul jadid Syafi’i yang dipandang kuat dalam madzhabnya. Maliki berpendapat: dipegang oleh wali. Seperti itu pula qaul qadim Syafi’i. Sedangkan dari Hambali diperoleh dua riwayat.

Tambahan mahar yang diberikan sesudah menjadi akad, apakah dimasukkan ke dalam mahar?
Hanafi berpendapat: pemberian tambahan tersebut menjadi hak istri jika suami telah menyetubuhinya atau meninggal dunia dan belum meberikannya. Sedangkan jika ia menalaknya sebelum terjadi persetubuhan, maka pemberian tersebut tidak menjadi haknya, tetapi ia berhak atas mahar yang telah disebutkan dalam akad.

Maliki berpendapat: tambahan tersebut menjadi hak istri jika ia telah disetubuhi. Oleh karena itu, jika ia ditalak sebelum terjadi persetubuhan maka ia berhak atas separuh tambahan serta separuh mahar yang telah ditentukan. Sedangkan jika suami meninggal sebelum menyetubuhinya dan belum memberikannya maka hilanglah hak istri tersebut, dan ia hanya berhak menerima mahar yang telah ditentukan ketika akad.

Syafi’i berpendapat: pemberian tersebut dihukumi hibah yang sifatnya berdiri sendiri. Jika telah diberikan kepada istri maka pemberian tersebut menjadi haknya. Sedangkan jika belum diberikan maka belum menjadi miliknya.

Hambali berpendapat: hukum tambahan adalah sama dengan hukum pokok mahar.

Apabila seorang istri telah menyerahkan dirinya sebelum menerima mahar, lalu disetubuhi suaminya atau berkhalwat dengannya, maka boleh menolak bersetubuh lagi dengan suaminya sebelum menerima maharnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i.

Maliki dan Syafi’i mengatakan: Hal demikian tidak diperbolehkan jika ia sudah disetubuhi. Sedangkan hanya berkhalwat, itu diperbolehkan.

Apakah mahar menjadi hak istri dan kewajiban suami lantaran telah terjadi khalwat yang tidak ada penghalang bagi suami untuk menyetubuhinya ataukah menjadi kewajiban suami lantara sudah terjadi persetubuhan?

Menurut Syafi’i dalam pendapatnya yang jelas: mahar tidak menjadi kewajiban, kecuali jika telah terjadi persetubuhan. Maliki berpendapat: apabila ia telah berkhalwat dengan istrinya dan masa khalwat itupun cukup lama, maka mahar itu wajib dibayarkan meskipun tidak terjadi persetubuhan.

Menurut pendapat Ibn al-Qasim, seorang ulama madzab Maliki: batas lama berkhalwat adalah menurut ukuran pada umumnya.

Hanafi dan Hambali mengatakan: mahar menjadi wajib lantaran terjadi khalwat, yaitu berdua-duaan di tempat sepi yang tidak menghalangi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya, walaupun persetubuhan itu sendiri tidak dilakukan.

Para imam madzhab sepakat bahwa apabila suami atau istri meninggal maka hak menerima mahar tetap berada pada pihak istri.

Pesta pernikahan hukumnya adalah sunnah. Demikian menurut pendapat Syafi’i yang paling kuat. Menurut Hanafi, Maliki dan Hambali: mustahab.

Menghadiri undangan pernikahan adalah mustahab. Demikian penapat Hanafi yang paling shahih. Menurut Maliki yang paling masyhur: hukumnya adalah wajib. Demikian juga pendapat Syafi’i yang paling jelas dan salah satu riwayat dari Hambali.

Adapun perebutan makanan dalam pesta pernikahan adalah tidak apa-apa dan tidak makruh. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: hukumnya adalah makruh. Sedangkan dari Hambali diperoleh dua pendapat seperti kedua pendapat di atas.

Sementara itu, mengenai walimah selain walimah nikah, seperti walimatul khitan [pesta sunat] hukumnya adalah mustahab. Demikian menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: Tidak mustahab.

&

Mengusap Sepatu (Khuf)

25 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Menurut ijma’ kaum Muslim, boleh mengusap bagian atas sepatu ketika dalam perjalanan. Tidak ada yang melarang hal ini, kecuali segolongan Khawarij.

Empat imam madzhab sepakat tentang bolehnya mengusap sepatu ketika mukim (tidak bepergian), secuali menurut satu riwayat dari Maliki.
Menurut Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, mengusap sepatu terbatas waktunya, yaitu bagi musafir adalah tiga hari tiga malam. Sedangkan bagi orang mukim adalah semalam. Maliki berpendapat: mengusap sepatu tidak ada batasnya. Bahkan pemakainya boleh mengusapnya selama belum melepaskan atau tidak berjanabah, baik musafir maupun mukim. Demikian juga menurut qaul qadim Syafi’i.

Disunnahkan mengusap sepatu bagian atas dan bawahnya. Demikian menurut tiga imam madzab. Sedangkan hambali berpendapat: disunnahkan mengusap bagian atas saja.

Menurut kesepakatan para imam madzhab, mengusap bagian atas saja dipandang sah. Akan tetapi jika diusap bagian bawahnya saja, menurut ijma’ tidak sah. Mereka berpendapat mengenai kadar mengusap sepatu. Hanafi: tidak sah kecuali dengan tiga jari atau lebih. Syafi’i: cukup menurut sebutan mengusap. Hambali: jika yang diusap lebih banyak, hal itu sah. Sedangkan Maliki menetapkan sapuan pada tempat yang diwajibkan, yaitu yang menutupi bagian kaki yang harus dibasuh. Namun jika ada sesuatu di bawah kaki yang terlewatkan, hendaknya diulang shalatnya kalau masih ada waktu.

Menyapu sepatu cukup sekali. Apabila salah satunya sudah dilepas, yang lainpun harus dilepas. Demikian menurut ijma’ empat imam madzhab.

Para imam madzhab sepakat bahwa permulaan waktu mengusap sepatu adalah sejak berhadats, bukan sejak mengusapnya. Akan tetapi, ada riwayat dari Hambali yang menyatakan bahwa waktunya adalah sejak mengusapnya. Pendapat ini dipilih oleh al-Mundziri. An-Nawawi berpendapat, “Inilah yang paling kuat menurut dalil.” Sementara itu, Hasan al-Bashri berpendapat, “Sejak saat memakainya.”

Para imam Madzhab juga sepakat bahwa apabila waktu mengusapnya telah lewat, maka thaharah batal, kecuali menurut Maliki yang mengatakan bahwa waktu mengusapnya tidak terbatas.

Jika seseorang mulai mengusap sepatunya pada waktu mukim, lalu ia bepergian, hendaknya disempurnakan dulu waktu yang diberikan kepada yang mukim. Demikian menurut tiga imam madzhab. Sementara itu Hanafi berpendapat: ia menyempurnakan waktu yang diberikan kepada orang musafir.

Apabila ada lubang kecil pada sepatu di bawah mata kaki sehingga tampak kaki sedikit, maka tidak boleh mengusap sepatu tersebut. Demikian pendapat Hambali dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya. sedangkan Maliki berpendapat boleh asalkan lobang itu belum membesar. Demikian juga pendapat Syafi’i dalam qaul qadim. Dawud berpendapat: boleh mengusap sepatu yang sobek tersebut baik lubangnya besar maupun kecil.

Ats-Tsawri dan lainnya berpendapat: boleh mengusap sepatu selama sepatu tersebut masih memungkinkan dipakai untuk berjalan.
Al-Awza’i berpendapat: kita boleh mengusap sepatu [yang berlubang] pada bagian atas dan bagian bawah kaki.

Hanafi berpendapat: jika lubang tersebut selebar tiga jari, tidak boleh mengusapnya. Jika kurang dari itu boleh mengusapnya.

Menurut pendapat yang paling shahih dari Syafi’i dan pendapat paling kuat dari Maliki: tidak boleh mengusap kaus kaki. Sementara itu Hanafi dan Hambali berpendapat: boleh mengusapnya. Demikian juga menurut satu riwayat dari Maliki dan pendapat lain dari Syafi’i.

Menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: tidak boleh mengusap kedua kaus kaki, kecuali yang terbuat dari kulit. Sedangkan Hambali berpendapat: boleh mengusap keduanya, asalkan tebal dan kaki tidak terlihat [transparan].

Menurut Hanafi dan Syafi’i yang paling kuat: orang yang melepas sepatunya setelah bersuci dengan mengusapnya, ia harus membasuh kedua kakinya, baik melepasnya untuk waktu lama maupun sebentar. Sementara itu Hambali dan Maliki berpendapat: ia membasuh kedua kakinya. Namun jika melepas sudah lama, ia harus berwudlu lagi. Al-Hasan dan Dawud berpendapat: “Tidak wajib membasuh kedua kaki dan tidak wajib mengulang wudlunya. Ia boleh mengerjakan shalat sehingga berhadats lagi.”

&