Tag Archives: surat al an’am

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 91-92

31 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 91-92“91. dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: ‘Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.’ Katakanlah: ‘Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, Padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: ‘Allah-lah (yang menurunkannya),’ kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. 92. dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara shalatnya.” (al-An’aam: 91-92)

Allah berfirman, bahwa mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya, yaitu mereka mendustakan para Rasul yang diutus kepada mereka. Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Abdullah bin Katsir mengatakan: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Quraisy.” Itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Katsir.

Firman Allah: qul man anzalal kitaabal ladzii jaa-abiHii muusaa nuuraw wa Hudal linnaasi (“Katakanlah: ‘Siapakah yang menurunkan Kitab [Taurat] yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia.’”)

Maksudnya, hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang yang ingkar terhadap penurunan sebuah kitab dari sisi Allah. Untuk menjawab ungkapan negatif dari mereka yang bersifat umum dengan menegaskan secara parsial ketetapan hukumnya:

man anzalal kitaabal ladzii jaa-abiHii muusaa (“‘Siapakah yang menurunkan Kitab [Taurat] yang dibawa oleh Musa’”) yaitu Taurat yang kalian dan juga setiap orang sudah mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya kepada Musa bin Imran, sebagai cahaya dan petunjuk bagi umat manusia, untuk mereka pergunakan sebagai penerang dalam mengungkap berbagai permasalahan, dan dijadikan sebagai petunjuk dari kegelapan syubhat.

Taj’aluunaHu qaraathiisa tubduunaHaa wa tukhfuuna katsiiran (“Kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan [sebagiannya] dan kamu sembunyikan sebagian besarnya.”)

Maksudnya kamu jadikan kitab itu secara keseluruhan sebagai kertas yang terpotong-potong yang kalian tulis di atas kitab asli yang ada di tangan kalian dengan melakukan perubahan-perubahan, pergantian dan penafsiran, serta mengatakan bahwa hal itu berasal dari sisi Allah, yaitu dalam kitab yang diturunkan itu, padahal hal itu bukan dari sisi Allah. Oleh karena itu Allah berfirman:

Taj’aluunaHu qaraathiisa tubduunaHaa wa tukhfuuna katsiiran (“Kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan [sebagiannya] dan kamu sembunyikan sebagian besarnya.”)

Lalu Allah berfirman: wa ‘ullimtum maa lam ta’lamuu antum wa laa aabaa-ukum (“Padahal telah diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui[nya].”) maksudnya siapakah yang menurunkan al-Qur’an yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala kepada kalian, yang di dalamnya terdapat berita tentang hal-hal yang telah lalu dan berita tentang hal-hal yang akan datang, yang kalian dan juga nenek moyang kalian tidak mengetahuinya.

Qatadah mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang musyrik Arab.” Adapun Mujahid mengemukakan: “Yang demikian itu ditujukan kepada kaum Muslimin.”

QulillaaHu (“Katakanlah: ‘Allah,’”) Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu Abbas, “Maksudnya, katakanlah: ‘Allah yang menurunkannya.’” Dan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, itulah pendapat yang paling kuat dalam tafsir kalimat tersebut.

Tsumma dzarHum fii khaudliHim yal’abuun (“Kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.”) maksudnya biarkanlah mereka bermain-main dalam kebodohan dan kesesatan, sehingga Allah mendatangkan bukti nyata. Kelak mereka akan mengetahui apakah kesudahan yang baik itu milik mereka atau milik hamba-hamba Allah yang bertaqwa?

Wa Haadzaa kitaabun (“Dan ini adalah kitab”) yakni al-Qur’an.
anzalnaaHu mubaarakum mushaddiqul ladzii baina yadaiHi wa litundzira ummal quraa (“Yang telah Kami turunkan yang diberkahi, membenarkan Kitab-kitab yang [diturunkan] sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada [penduduk] Ummul Qura.”) yaitu Makkah.

Wa man haulaHaa (“Dan orang-orang yang di luar lingkungannya”) yaitu dari kalangan bangsa Arab dan berbagai kelompok anak cucu Adam, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab.
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan [al-Qur’an] kepada hamba-hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam.” (al-Furqaan: 1)

Dalam ash-Shahihain ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Aku diberi lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku.”

Beliau diantaranya menyatakan:
“Dahulu seorang Nabi itu diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada umat manusia secara umum.”

Oleh karena itu Allah berfirman: wal ladziina yu’minuuna bil aakhirati yu’minuuna biHi (“Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya.”) yaitu setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, pasti ia beriman kepada Kitab yang penuh berkah ini, yang diturunkan kepadamu, hai Muhammad, yakni al-Qur’an.

Wa Hum ‘alaa shalaatiHim yuhaafidhuun (“Dan mereka selalu memelihara shalatnya.”) maksudnya mereka senantiasa menjalankan kewajiban yang ditugaskan kepada mereka, yaitu menjalankan shalat tepat pada waktunya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 84-90

31 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 84-90“84. dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) Yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 85. dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. semuanya Termasuk orang-orang yang shaleh. 86. dan Ismail, Alyasa’, Yunus dan Luth. masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya), 87. dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. 88. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. 89. mereka Itulah orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, hikmat dan kenabian jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Maka Sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. 90. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (al-An’aam: 84-90)

Allah menyebutkan bahwa Dia telah menganugerahkan Ishaq kepada Ibrahim setelah ia berusia lanjut dan setelah sebelumnya ia dan istrinya, Sarah, merasa berputus asa dari mendapatkan keturunan. Hal ini merupakan imbalan bagi Ibrahim as. ketika ia meninggalkan kaumnya serta hijrah dari negerinya dalam rangka beribadah kepada Allah di muka bumi. Allah menggantinya dengan anak keturunan yang shalih dari tulang sulbinya agar ia menjadi senang dan bahagia karenanya. Sebagaimana difirmankan Allah yang artinya:

“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadahi selain Allah, Kami anugerahkan kepada-Nya Ishaq dan Ya’qub. Dan masing-masing dari keduanya Kami angkat menjadi Nabi.” (Maryam: 49)

Adapun dalam surat al-An’aam ini Allah berfirman: wa wahabnaa laHuu ishaaqa wa ya’quuba kulllan Hadainaa (“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya. Kepada masing-masing keduanya telah Kami beri petunjuk.”)

Firman-Nya: wa nuuhan Hadainaa min qablu (“Dan kepada Nuh sebelum itu [juga] telah Kami beri petunjuk.”) yaitu Kami sudah memberikan petunjuk kepada Nuh sebelum Ibrahim. Sebagaimana Kami juga telah memberi petunjuk kepadanya [Ibrahim] dan Kami anugerahkan kepadanya keturunan yang shalih. Dan masing-masing dari keduanya mempunyai keistimewaan yang luar biasa.

Adapun Nuh as. adalah, ketika Allah menenggelamkan seluruh penghuni bumi kecuali orang-orang yang beriman kepadanya, dan mereka itulah yang menemaninya naik kapal, maka Allah menjadikan keturunannya sebagai orang-orang yang tetap hidup. Jadi seluruh manusia adalah berasal dari keturunannya. Adapun sang kekasih Allah, Ibrahim as., Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali dari keturunannya. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan keturunan pada keduanya kenabian dan al-Kitab.” (al-Hadiid: 26)

Adapun firman-Nya dalam surah ini: wa min dzurriyyatiHi (“Dan kepada sebagian dari keturunannya”) maksudnya Kami beri petunjuk juga kepada sebagian keturunannya; daawuuda wa sulaimaan (“yaitu Dawud dan Sulaiman”)

Dhamir [kata ganti] dalam penggalan ayat tersebut kembali kepada Nuh, karena ia orang yang paling dekat di antara orang-orang yang secara lahiriyah disebutkan dalam ayat tersebut dan tidak ada permasalahan dalam hal itu, itulah yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Penyebutan ‘Isa as. dalam keturunan Ibrahim atau Nuh menurut pendapat lain merupakan dalil yang menunjukkan masuknya anak laki-laki dari keturunan seorang perempuan termasuk dalam keturunan orang laki-laki, karena ‘Isa as. dinasabkan kepada Ibrahim as. melalui ibunya, Maryam, karena ‘Isa tidak mempunyai bapak. Oleh karena itu jika seorang laki-laki berwasiat kepada keturunannya, atau mewakafkan atau menghibahkan kepada mereka, maka cucu laki-laki dari anak perempuan masuk dalam kategori mereka. adapun jika seseorang memberi sesuatu kepada putra-putranya atau mewakafkan kepada mereka, maka dengan demikian, dikhususkan untuk anak laki-lakinya saja dan cucu laki-laki dari anak laki-lakinya saja. sedangkan yang lainnya berpendapat, bahwa cucu laki-laki dari anak perempuan termasuk juga dalam kategori mereka. hal itu sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Hasan bin ‘Ali:

“Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid. Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan antara dua kelompok besar dari kalangan kaum Muslimin.”

Dengan demikian, Rasulullah saw. menyebut Hasan bin ‘Ali “anak”, hal itu menunjukkan masuknya Hasan ke dalam golongan anak.

Pendapat yang lain mengatakan, bahwa hal ini dibolehkan.

Firman Allah selanjutnya: wa min aabaa-iHim wa dzurriyyaatiHim wa ikhwaaniHim (“[dan Kami lebihkan pula derajat] sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka, dan saudara-saudara mereka.”)

Allah menyebutkan pokok keturunan mereka, cabang, serta kerabat mereka, dan bahwa hidayah serta pemilihan [untuk menjadi Nabi] adalah mencakup mereka semua. oleh karena itu allah berfirman:

wajtabainaaHum wa HadainaaHum ilaa shiraathim mustaqiim (“Dan Kami telah memilih mereka [untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul] dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”)

dzaalika HudallaaHi yaHdii biHii may yasyaa-u min ‘ibaadiHi (“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.”) maksudnya hal itu diperoleh mereka karena taufiq dan hidayah Allah yang diberikan kepada mereka.

wa lau asyrakuu lahabitha ‘anHum maa kaanuu ya’maluun (“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”) hal ini merupakan penekakan terhadap bahaya dan kejamnya pengaruh syirik. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada [Nabi-nabi] sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan [Allah], niscaya akan hapuslah amalmu.’” (az-Zumar: 65). Yang demikian itu merupakan syarat, dan syarat tersebut [yaitu syirik] tidak mesti terjadi. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:

“Katakanlah: ‘Jika benar Allah Yang Mahapemurah mempunyai anak, maka akulah [Muhammad] orang yang mula-mula memuliakan [anak itu].’” (az-Zukhruf: 81)

Ulaa-ikal ladiina aatainaaHumul kitaaba wal hukma wan nubuwwata (“Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepad mereka Kitab, hikmah [pemahaman agama] dan kenabian.”)

Maksudnya Kami anugerahkan hal itu kepada mereka sebagai rahmat bagi para hamba dan sebagai kelembutan Kami bagi semua makhluk.

Fa iy yakfur biHaa (“Jika mengingkarinya”) yaitu kenabian itu. Mungkin juga dlamir itu kembali kepada ketiga hal itu: kitab, hikmah, dan kenabian.
Haa-ulaa-i (“orang-orang itu”) yakni penduduk Makkah. Hal itu dikatakan oleh Ibnu Abbas, Said bin al-Musayyab, adh-Dhahhak, Qatadah, as-Suddi dan yang lainnya.

Faqad wakkalnaa biHaa qaumal laisuu biHaa bikaafiriin (“Maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-sekali tidak akan mengingkarinya.”) yaitu jika nikmat-nikmat itu diingkari oleh orang-orang Quraisy dan penduduk bumi lainnya baik dari bangsa Arab maupun bukan, dan juga Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Maka Kami telah menyerahkannya kepada kaum yang lain, yaitu kaum Muhajirin, Anshar dan para pengikutnya sampai hari kiamat.

Laisuu biHaa bikaafiriin (“kaum yang sekali-sekali tidak akan mengingkarinya”) maksudnya tidak mendustakannya sama sekali, serta tidak pula menolak satu huruf pun, tetapi mereka beriman kepadanya seluruhnya, baik yang muhkam maupun yang mutasyabih. Semoga Allah, dengan karunia, kemurahan, dan kebaikan-Nya, menjadikan kita termasuk golongan mereka.

Selanjutnya Allah berfirman, ditujukan kepada hamba dan Rasul-Nya, Muhammad saw: ulaa-ika (“Mereka itulah”) yaitu para Nabi yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas beserta nenek moyang, keturunan, dan saudara-saudara mereka.

Alladziina HadallaaHu (“Orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah”) maksudnya, mereka itulah orang-orang yang memperoleh petunjuk dan bukan yang lainnya.

Fa biHudaa HumuqtadiH (“Maka ikutilah petunjuk mereka”) artinya, ikutilah jejak mereka. jika yang demikian itu merupakan perintah bagi Rasulullah saw., umatnya pun termasuk di dalamnya, yaitu mengenai syariat dan perintah yang diberikan kepadanya.

Berkenaan dengan ayat ini, al-Bukhari mengatakan, Sulaiman al-Ahwal memberitahukan kepadanya, Mujahid memberitahukannya, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah dalam surah Shaad terdapat sujud [sujud tilawah]?” Maka ia menjawab, “Ya.” Kemudian Ibnu Abbas membaca firman-Nya: wa wahabnaa laHuu ishaaqa wa ya’quuba…. fa biHudaa HumuqtadiH (“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya’qub kepadanya….. maka ikutilah petunjuk mereka”) selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan: “Ia [Muhammad] termasuk dari mereka itu.”

Qul laa as-alukum ‘alaiHi ajran (“Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan [al-Qur’an].’”) maksudnya, aku tidak minta upah kepada kalian atas penyampaian al-Qur’an yang kulakukan terhadap kalian, bahkan aku sama sekali tidak meminta sesuatu pun dari kalian.

In Huwa illaa dzikraa lil ‘aalamiin (“al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi segala umat.”) yakni mereka mengambil pelajaran dari al-Qur’an sehingga mereka bisa memperoleh petunjuk dari kebutaan menuju kepada hidayah, dari kesesatan menuju jalan petunjuk, dan dari kekufuran menuju kepada keimanan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 80-83

31 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 80-83“80. dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: ‘Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.’ dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) ?’ 81. bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? 82. orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. 83. dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (al-An’aam: 80-83)

Allah mengabarkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim, ketika pendapatnya tentang ketauhidan dibantah oleh kaumnya dan mereka menyanggah dengan pendapat yang keliru, dimana ia berkata:

A tuhaajjuunnii fillaaHi wa qad Hadaan (“Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku.”) maksudnya kalian membantahku tentang Allah, sedang Allah tiada ilah [yang haq] selain Dia. Allah telah memperlihatkan kepadaku dan menunjukkanku kepada kebenaran, sedang aku berpegang pada penjelasan dari-Nya. Lalu bagaimana mungkin aku akan berpaling kepada pendapat kalian yang rusak dan keraguan kalian yang bathil.

Firman-nya: walaa akhaafu maa tusyrikuuna biHii illaa ay yasyaa-a rabbii syai-an (“Dan aku tidak takut kepada [malapetaka dari] ilah-ilah yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali dikala Rabbku menghendaki sesuatu [dari malapetaka] itu.”)

Maksudnya, di antara bukti kesalahan pendapat kalian itu adalah ilah-ilah yang kalian sembah itu tidak dapat memberikan pengaruh sama sekali dan aku tidak takut dan tidak pula mempedulikannya. Jika ia dapat melakukan tipu daya, biarlah ia memperdayaku. Jangan kalian tunda-tunda lagi, segerakanlah hal itu padaku.

Firman-Nya: illaa ay yasyaa-a rabbii syai-an (“kecuali di kala Rabbku menghendaki sesuatu [dari malapetaka] itu.”) yang demikian itu merupakan istisna’ munqathi’. Artinya tidak ada yang dapat memberikan mudlarat dan manfaat kecuali Allah.

Wasi’a rabbii kulli syai-in ‘ilman (“Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu”) maksudnya, ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu, sehingga tidak ada yang tersembunyi dari-Nya.
A falaa tatadzakkaruun (“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran [darinya]?”) yaitu dari berbagai hal yang telah kujelaskan kepada kalian. Tidakkah kalian mengetahui bahwa ilah-ilah itu adalah bathil, sehingga kalian terhindar dari peribadatan terhadapnya.

Firman Allah selanjutnya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]?”) bagaimana mungkin aku akan takut kepada berhala-berhala yang kalian sembah selain Allah?

Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi maa lam yunazzil biHii ‘alaikum sutlhaanan (“Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan ilah-ilah yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya.”)

Ibnu Abbas dan ulama salaf lainnya mengatakan: “Kata sulthaanan dalam penggalan ayat ini berarti hujjah.” Hal ini adalah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Apakah mereka mempunyai ilah-ilah selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syuura: 21)

Firman-Nya selanjutnya: fa ayyul fariiqaini a haqqu bil amni in kuntum ta’lamuun (“Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan [dari malapetaka], jika kamu mengetahui?”)

Maksudnya, kelompok manakah yang lebih benar: apakah kelompok yang beribadah kepada Allah yang di Tangan-Nya terdapat mudharat dan manfaat, ataukah yang beribadah kepada dzat yang tidak dapat memberikan mudlarat dan manfaat dan tanpa dalil ? Manakah di antara dua kelompok tersebut yang lebih aman dari adzab Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya pada hari kiamat kelak ?

Allah berfirman: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin ulaa-ika laHumul amnu wa Hum muHtaduun (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik], mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”)

Maksudnya, mereka itulah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mereka juga tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mereka itulah orang-orang yang pada hari kiamat kelak akan mendapat keamanan dan mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.

Al-Bukhari berkata dari Abdullah, ia mengatakan: “Ketika turun ayat: alladziina aamanuu wa lam yalbisuu iimaanaHum bidhulmin (“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman [syirik],”) maka para shahabat berkata: ‘Siapakah di antara kita yang tidak berbuat dhalim pada dirinya sendiri [berbuat dosa]?’ maka turunlah ayat: innasy-syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu benar-benar merupakan kedhaliman yang besar.”) (Luqman: 13).”

Firman-Nya selanjutnya: wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.”) maksudnya Kami arahkan hujjahnya untuk menghadapi mereka.

Mujahid dan ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah firman-Nya: wa kaifa akhaafu maa asyraktum Wa laa takhaafuuna anna kum asyraktum billaaHi (“Bagaimana aku takut kepada ilah-ilah yang kamu persekutukan [dengan Allah]? Padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah.”)

wa tilka hujjatunaa aatainaaHaa ibraaHiima ‘alaa qaumiHii narfa’u darajaatim man nasyaa-u (“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat.”)

Ayat di atas bisa dibaca dengan menggunakan idhafah dan bisa juga tidak menggunakannya, sebagaimana yang terdapat dalam surat Yusuf, da makna keduanya mempunyai kedekatan.”

Inna rabbaka hakiimun ‘aliim (“Sesungguhnya Rabbmu Mahabijaksana lagi Mahamengetahui.”) maksudnya, Dia Mahabijaksana dalam ucapan dan perbuatan-Nya. ‘Aliim (“Mahamengetahui”) maksudnya siapa-siapa yang diberi-Nya petunjuk dan siapa-siapa pula yang disesatkan-Nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 74-79

23 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 74-79“74. dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.’ 75. dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin. 76. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku,’ tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam.’ 77. kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.’ 78. kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.’ Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: ‘Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. 79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.’” (al-An’aam: 74-79)

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayah Ibrahim bukan bernama Aazar tetapi Tarakh. Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Adapun Ibnu Jarir menyebutkan: “Yang benar nama ayah Ibrahim adalah Aazar.”

Kemudian Ibnu Jarir menanggapi pendapat para ahli nasab yang menyatakan bahwa ayah Ibrahim bernama Tarakh, ia mengemukakan: “Mungkin saja ia mempunyai dua nama, sebagaimana yang dimiliki oleh banyak orang, atau mungkin salah satunya sebagai gelar.” Dan yang dikemukakannya tersebut bagus dan kuat. wallaaHu a’lam.

Maksud [dari ayat tersebut adalah], bahwasannya Ibrahim menasehati ayahnya tentang penyembahan yang dilakukannya terhadap berhala-berhala, mengingkari sekaligus melarangnya melakukan hal tersebut. Namun ayahnya tidak juga berhenti dari perbuatan tersebut, sebagaimana firman Allah:

Wa idz qaala ibraaHiimu li abiiHi aazara atat takhidzu ash-naaman aaliHatan (“Dan [ingatlah] di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah?’”) Maksudnya, apakah engkau meng-ilah-kan berhala selain Allah?

Innii araaka wa qaumaka (“Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu”) yaitu orang-orang yang menempuh jalanmu.
Fii dlalaalim mubiin (“dalam kesesatan yang nyata”) maksudnya tersesat dan tidak mendapat petunjuk kemana mereka harus berjalan, bahkan mereka berada dalam kebingungan dan kebodohan, hal ini jelas bagi orang yang berakal sehat.

Maka Ibrahim memohonkan ampunan bagi ayahnya sepanjang hidupnya, dan ketika ayahnya mati dalam keadaan musyrik dan yang demikian itu diketahui Ibrahim secara jelas, maka ia menghentikan permohonan ampunan bagi ayahnya tersebut serta melepaskan diri darinya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya:

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi Penyantun.” (at-Taubah: 114)

Firman-Nya selanjutnya: wa kadzaalika nurii ibraaHiima malakutas samaawaati wal ardli (“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan [Kami yang terdapat] di langit dan di bumi.”)

Maksudnya Kami menjelaskan kepadanya sebagai bukti melalui pengamatan yang dilakukannya terhadap penciptaan langit dan bumi bahwa semua itu menunjukkan keesaan Allah swt. dalam kekuasaan dan penciptaan-Nya, dan bahwa tidak ada ilah [yang berhak diibadahi] dan Rabb selain Allah.

Firman-Nya: wa liyakuuna minal muuqiniin (“Dan [Kami memperlihatkannya] agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”) ada yang berpendapat bahwa wawu yang terdapat dalam penggalan ayat tersebut sebagai wawu zaa-idah [tambahan]. Jadi perkiraan redaksinya adalah: wa kadzaalika nurii ibraaHiima malakutas samaawaati wal ardli liyakuuna minal muuqiniin (“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan di langit dan di bumi agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”)

Dan ada juga yan berpendapat, bahwa ia merupakan bagian darinya, dengan pengertian, Kami perlihatkan hal itu kepadanya supaya ia menjadi seorang yang berpengetahuan dan yakin.

Firman Allah selanjutnya: falammaa janna ‘alaiHil lailu (“Ketika malam menjadi gelap”) yaitu malam itu menyelimuti dan menutupinya.
Ra-aa kaukaban qaala Haadzaa rabbii falammaa afala (“Dia melihat sebuah bintang [lalu] ia berkata: ‘Inilah Rabbku.’ Tetapi ketika bintang itu tenggelam,”) yakni terbenam; apabila dikatakan: aina afalta ‘annaa ? (kemana engkau menghilang dari kami?) kalimat ini bermakna: aina ghabta ‘annaa ? (kemana engkau pergi dari kami ?). –ia (Ibrahim) berkata: laa uhibbul aafiliin (“Aku tidak suka yang tenggelam”)

Qatadah mengatakan: “Ibrahim mengetahui bahwa Rabb-nya itu kekal abadi dan tidak pernah lenyap.”

Fa lammaa ra-al qamara baazighan qaala Haadzaa rabbii fa lammaa afala qaala la-il lam yaHdinii rabbii la akuunanna minal qaumidl dlaalliina fa lammaa ra-asy syamsa baazighatan qaala Haadzaa rabbii (“kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.’ Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: ‘Inilah Rabbku.”)

Artinya, yang terang benderang dan terbit ini adalah Rabbku.
Haadzaa akbar (“ini lebih besar”) wujudnya, dan lebih terang daripada bintang dan bulan.

Fa lammaa afalat qaala yaa qaumi innii barii-um mimmaa tusyrikuuna innii wajjaHtu wajHiya lil ladzii fatharas samaawaati wal ardla haniifaw wamaa ana minal musyrikiin (“Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: ‘Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.’”)

Maksudnya, aku murnikan agamaku dan aku khususkan ibadahku; lil ladzii fatharas samaawaati wal ardla (“Kepada Yang Menciptakan langit dan bumi”) artinya yang telah menciptakan langit dan bumi tanpa adanya contoh terlebih dahulu.

Haniiifan (“dengan cenderung pada agama yang benar”) dalam keadaanku yang hanif, yaitu menyimpang dari kemusyrikan dan cenderung pada tauhid. Oleh karena itu ia berkata: wa maa ana minal musyrikiin (“Dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.”)

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai konteks tersebut, apakah ungkapan Ibrahim itu adalah dalam konteks perenungan semata ataukah dalam konteks perdebatan.

Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalan Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, “Hal itu adalah dalam konteks perenungan.” Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, berdalil dengan firman Allah: la il lam yaHdinii rabbii (“Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku.”)

Bagaimana mungkin Ibrahim dalam hal ini dianggap merenungkan hal tersebut, sedangkan ia adalah orang yang Allah Ta’ala berfirman mengenainya [yang artinya]:
“Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’” (al-Anbiyaa’: 51-52)

Allah juga berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan Sesungguhnya Dia di akhirat benar-benar Termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif,’ dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.” (an-Nahl: 120-123)

Selain itu Allah juga berfirman yang artinya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Rabbku pada jalan yang lurus, yaitu agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.’” (al-An’aam: 161)

Dalam ash-Shahihain disebutkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah [Islam].”

Allah berfirman yang artinya:
“[Tetaplah atas] fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (ar-Ruum: 30)

Jika yang demikian itu berlaku bagi seluruh mahkluk, lalu bagaimana mungkin Ibrahim –yang oleh Allah telah dijadikan sebagai imam yang dapat dijadikan teladan, seorang yang hanif, dan bukan dari golongan orang-orang musyrik- dalam konteks ini merenungkan [hal tersebut]. Bahkan ia adalah orang yang paling layak menyandang fitrah yang murni dan karakter yang lurus setelah Rasulullah saw. yang tidak dapat diragukan lagi. Dan yang memperkuat bahwa dalam konteks ini Ibrahim ada pada posisi mendebat kaumnya tentang kemusyrikan mereka, dan bukan dalam konteks perenungan adalah firman Allah berikut ini: (bersambung)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 71-73

23 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 71-73“Katakanlah: ‘Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam Keadaan bingung, Dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang Lurus (dengan mengatakan): ‘Marilah ikuti kami.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam, 72. dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa kepada-Nya.’ dan Dialah Tuhan yang kepadaNyalah kamu akan dihimpunkan. 73. dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: ‘Jadilah, lalu terjadilah,’ dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.” (al-An’aam: 71-73)

As-Suddi mengatakan: “Orang-orang musyrik mengatakan kepada orang-orang yang beriman: ‘Ikutilah jalan kami dan tinggalkanlah agama Muhammad.’ Lalu Allah menurunkan:

Qul a nad’uu min duunillaaHi maa laa yanfa’unaa wa laa yadlurrunaa wa nuraddu ‘alaa a’qaabinaa (“Katakanlah: ‘Apakah kita akan menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada kita dan tidak [pula] mendatangkan kemudlaratan kepada kita dan [apakah] kita akan dikembalikan ke belakang?’”) yaitu dalam kekafiran.

Ba’da idz HadaanallaaH (“Sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita”) sehingga dengan demikian, perumpamaan kita adalah seperti orang yang disesatkan oleh syaithan di muka bumi.

(Maksudnya) Allah berfirman: “Jika kalian kafir setelah beriman, maka kalian seperti seseorang yang pergi bersama suatu kaum di sebuah jalan, lalu ia tersesat, kemudian dibuat bingung oleh syaitan dan ia disesatkan di muka bumi. Adapun para sahabatnya berada di suatu jalan [lain], selanjutnya mereka menyerunya supaya datang kepada mereka. Mereka berkata, ‘Ikutlah bersama kami, sesungguhnya kami di atas jalan ini.’ Tetapi ia menolak mendatangi mereka. yang demikian itu adalah seperti orang yang mengikuti mereka [orang-orang musyrik] setelah adanya pengetahuan terhadap Muhammad saw.. Muhammad saw. adalah orang yang menyeru kepada suatu jalan, dan jalan itu adalah Islam.” Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Oleh karena itu Allah berfirman: qul inna HudallaaHi Huwal Hudaa (“Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah [yang sebenarnya] petunjuk.’”

Firman-Nya: wa umirnaa linuslima lirabbil ‘aalamiin (“Dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabb semesta alam.”) maksudnya mengikhlaskan ibadah hanya untuk-Nya semata, Rabb yang tiada sekutu bagi-Nya.

Wa an aqiimush shalaata wat taquuHu (“Dan agar mendirikan shalat serta bertakwa kepada-Nya.”) artinya, Allah Ta’ala menyuruh kami mendirikan shalat dan bertaqwa kepada-Nya dalam segala keadaan.

Wa Huwal ladzii ilaiHi tuhsyaruun (“Dan Dia lah Rabb yang kepada-Nya lah kamu akan dihimpunkan.”) yaitu pada hari kiamat.

Wa Huwal ladzii khalaqas samaawaati wal ardla bil haqqi (“Dan Dia lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.”) yaitu dengna adil. Allah lah Pencipta, Pemilik, dan Pengatur keduanya dan semua yang ada pada keduanya.

Firman-Nya: wa yauma yaquulu kun fa yakuun (“Di waktu Dia mengatakan: ‘Jadilah lalu terjadilah.’”) yakni pada hari kiamat. Ketika Allah berfirman: “Jadilah,” maka melalui perintah-Nya itu jadilah dalam waktu sekejap mata atau bahkan lebih cepat lagi.

Kata “yauma” adalah manshub [berharakat fathah] baik karena ‘athaf [bersambung] dengan firman-Nya: “Dan bertakwalah.” Dan perkiraan redaksinya adalah: “Wattaquu yauma yaquulu kun fayakuun (“Takutlah kalian pada hari ketika Allah mengatakan: ‘Jadilah’, maka jadilah ia.”) atau ber’athaf pada firman-Nya: khalaqas samaawaati wal ardla (“Dialah yang menciptakan langit dan bumi”) dan perkiraan redaksinya adalah: Khalaqa yauma yaquulu kun fayakuun (“Allah menciptakan pada hari dimana Allah mengatakan: ‘Jadilah,’ maka jadilah ia.”)

Dengan demikian, Allah menyebutkan awal penciptaan dan pengembaliannya, dan hal ini adalah sesuai. Atau ber-‘athaf pada “idhmar fi’lin” (penyembunyian kata kerja), dan perkiraan redaksinya adalah: wadzkur yauma yaquulu kun fayakuun (“Dan ingatlah hari ketika Allah berfirman: ‘Jadilah,’ maka jadilah ia.”)

Firman-Nya selanjutnya: qauluHul haqqu wa laHul mulku (“Dan benarlah perkataan-Nya. dan di tangan-Nya lah segala kekuasaan.”) dua kalimat ini menempati posisi jarr, karena keduanya merupakan penjelasan bagi sifat Rabb sekalian alam.

Firman Allah: yauma yunfakhu fish shuuri (“di waktu sangkakala ditiup”) mungkin saja hal ini berkedudukan sebagai pengganti firman Allah: wa yauma yaquulu kun fayakuun (“Di waktu Dia mengatakan: ‘Jadilah,’ lalu jadilah.”) dan mungkin juga hal itu berkedudukan sebagai zharf (keterangan waktu) bagi firman-Nya: wa laHul mulku yauma yunfakhu fish shuuri (“Dan di tangan-Nya lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup.”) sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Mahaesa lagi Mahamengetahui.” (al-Mu’min: 16) dan ayat lainnya yang serupa dengannya.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah: yauma yunfakhu fish shuuri (“di waktu sangkakala ditiup”) dan yang benar adalah yang dimaksud dengan kata “ash-shuur” adalah terompet yang ditiup oleh Israfil.

Ibnu Jarir mengatakan, “Yang benar menurut kami adalah yang tampak pada beberapa hadits yang bersumber dari Rasulullah saw., dimana beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Israfil telah mengulum sangkakala dan menundukkan dahinya [kepalanya], ia menanti diperintah, maka ia meniupnya.’” (HR Muslim dalam shahihnya)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 70

22 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 70“Dan tinggalkan lah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. Peringatkanlah (mereka) dengan Al-Quran itu agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka, karena perbuatannya sendiri. tidak akan ada baginya pelindung dan tidak pula pemberi syafa’at selain daripada Allah. dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima itu daripadanya. mereka Itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka. bagi mereka (disediakan) minuman dari air yang sedang mendidih dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.” (al-An’aam: 70)

Allah berfirman: wa dzaril ladziinat takhadzuu diinaHum la’ibaw wa laHwaw wa gharratHumul hayaatud dun-yaa (“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia.”)

Artinya, tinggalkanlah dan berpalinglah dari mereka dan berilah tangguh kepada mereka barang sejenak, karena sesungguhnya mereka akan menuju ke adzab yang sangat dahsyat. Oleh karena itu Allah berfirman: wa dzakkir biHii (“Peringatkanlah [mereka] dengan al-Qur’an itu”) maksudnya peringatkanlah manusia dengan al-Qur’an ini, serta suruhlah mereka supaya berhati-hati terhadap siksaan dan adzab-Nya yang sangat pedih pada hari kiamat kelak.

An tubsala nafsum bimaa kasabat (“Agar masing-masing diri tidak dijerumuskan ke dalam neraka karena perbuatannya sendiri.”) maksudnya agar tidak terjerumus.

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, al-Hasan, dan as-Suddi: “Tubsala berarti diserahkan.” Al-Walibi mengatakan: “[Maknanya adalah] ditahan.” Murrah dan Ibnu Zaid mengatakan: “[Maknanya adalah] disiksa.” Semua makna ini berdekatan dan kesimpulannya adalah penjerumusan diri pada kebinasaan.

Laisa laHaa min duunillaaHi waliyyuw walaa syafii’ (“Tidak akan ada baginya pelindung dan tidak [pula] pemberi syafaat selain daripada Allah.”) maksudnya tidak ada kerabat dekat atau orang lain yang dapat memberi syafaat kepadanya.

Wa in ta’dil kulla ‘adlil laa yu’khadz minHaa (“Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima itu darinya.”) maksudnya, meskipun ia mengorbankan seluruh pengorbanan [usaha], niscaya tidak akan diterima.

Ulaa-ikal ladziina ublisuu bimaa kasabuu laHum syaraabum min hamiimiw wa ‘adzaabun aliimum bimaa kaanuu yakfuruun (“Mereka itulah orang-orang yang dijerumuskan ke dalam neraka, disebabkan perbuatan mereka sendiri. Bagi mereka [disediakan] minuman dari air yang mendidih dan adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka dahulu.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 66-69

22 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 66-69“66. dan kaummu mendustakannya (azab) Padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: ‘Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu.’ 67. untuk Setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui. 68. dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). 69. dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka; akan tetapi (kewajiban mereka ialah) mengingatkan agar mereka bertakwa.” (al-An’aam: 66-69)

Allah berfirman: wa kadzdzaba biHii (“Dan mendustakannya”) maksudnya mendustakan al-Qur’an yang engkau bawa kepada mereka, juga petunjuk dan penjelasan. Qaumuka (“kaummu”) yaitu kaum Quraisy. Wa Huwal haqqu (“padahal al-Qur’an itu benar adanya”) yakni tidak ada kebenaran yang lain selainnya.

Qul lastu ‘alaikum biwakiil (“Katakanlah: ‘Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu.’”) maksudnya aku tidak bertugas menjaga kalian dan tidak pula diserahi untuk mengurusi urusan kalian. Sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu, maka barangsiapa yang ingin [beriman], hendaknya ia beriman. Dan barangsiapa yang ingin [kafir], biarlah ia kafir.’” (al-Kahfi: 29)

Artinya, tugasku tidak lain hanyalah menyampaikan, sementara kalian berkewajiban mendengar dan mentaatinya. Barangsiapa yang mengikutiku, ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menentangku, ia akan sengsara di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu Allah berfirman: likulli naba-im mustaqarra (“Untuk tiap-tiap berita yang [dibawa oleh para Rasul-rasul] ada [waktu] terjadinya.”)

Ibnu Abbas dan juga ulama lainnya mengatakan: “Maksudnya setiap berita itu mempunyai kenyataan. Dengan kata lain, setiap berita itu pasti ada saat terjadinya meskipun setelah beberapa saat lamanya. Sebagaimana Allah berfirman: wa lata’lamunna naba-aHuu ba’da hiinin (“Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui [kebenaran] berita al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi.”) (Shaad: 88)

Yang demikian itu merupakan ancaman dan peringatan yang keras. Oleh karena itu setelah itu Allah berfirman: wa saufa ta’lamuun (“Dan kelak kamu akan mengetahui.”)

Wa idaa ra-aital ladziina yakhuudluuna fii aayaatinaa (“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami.”) yaitu dengan cara mendustakannya dan menghinakannya. Fa a’ridl ‘anHum hattaa yakhuudluu fii hadiitsin ghairiHi (“Maka tinggalkanlah mereka hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.”)

Maksudnya hingga mereka membicarakan hal lain selain pembicaraan yang di dalamnya terdapat kedustaan.

Wa immaa yunsiyannakasy syaithaanu (“dan jika syaitan menjadikanmu lupa”) yang dimaksud dalam hal ini adalah supaya setiap individu dari umat ini tidak bergaul dengan para pendusta yang mengubah ayat-ayat Allah dan meletakkannya tidak pada tempatnya, dan jika ada salah seorang di antara mereka duduk bersama mereka karena lupa:

Falaa taq’ud ba’dadz dzikraa ma’al qaumidh dhaalimiin (“Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dhalim itu sesudah teringat [akan larang itu].”) oleh karena itu dalam hadits disebutkan:

“Dimaafkan atas umatku kekeliruan, kelupaan, dan apa saja yang dipaksakan kepadanya.” (an-Nawawi mengatakan: “Hadits ini berstatus hasan.” Ibnu Majah dan Baihaqi meriwayatkan pula hadits ini.)

Ayat inilah yang diisyaratkan pada firman Allah yang artinya:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” (an-Nisaa’: 140)

Firman-Nya: wa maa ‘alal ladziina yattaquuna min hisaabiHim min syai-in (“Dan tidak ada pertanggungan jawab sedikitpun atas orang-orang yang bertakwa terhadap dosa mereka.”) maksudnya jika kalian menjauhi mereka dan tidak duduk bersama mereka dalam hal itu, berarti kalian telah bebas dari mereka dan selamat dari dosa-dosa mereka.

Ulama lain berpendapat: “Bahkan maknanya adalah, meskipun orang Muslim duduk bersama mereka, maka tidak ada tanggung jawab mereka atas hisab orang-orang tersebut sama sekali.” Ulama yang berpendapat seperti itu mengira bahwa hal itu di-mansukh [dihapus] oleh ayat dalam surat an-Nisaa’ yang merupakan surat Madaniyyah, yaitu firman Allah: innakum idzam mitsluHum (“Karena sesungguhnya [kalau kamu berbuat demikian], tentulah kamu serupa dengan mereka.”)

Mujahid, as-Suddi, Ibnu Juraij, dan lainnya mengatakan: “Berdasarkan pendapat mereka itu, maka firman Allah: wa laakin dzikraa la’allaHum yattaquun (“Akan tetapi [kewajiban mereka adalah] mengingatkan agar mereka betaqwa.”) maksudnya ialah, tetapi Kami menyuruh kalian untuk berpaling dari mereka pada saat itu sebagai peringatan bagi mereka atas apa yang mereka lakukan, dengan harapan semoga mereka menjauhi hal tersebut dan tidak mengulanginya.”

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 63-65

22 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 63-65“63. Katakanlah: ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan Kami dari (bencana) ini, tentulah Kami menjadi orang-orang yang bersyukur.’’ 64. Katakanlah: ‘Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.’ 65. Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)”. (al-An’am: 63-65)

Allah berfirman mengingatkan akan berbagai nikmat kepada hamba-hamba-Nya berupa penyelamatan yang Allah lakukan terhadap orang-orang yang dalam kesulitan dari kegelapan daratan dan lautan, yaitu orang-orang yang sedang dalam keadaan bingung yang terjerumus dalam rintangan darat dan yang terperangkap ombak lautan ketika angin kencang bertiup.

Pada saat itulah mereka mengkonsentrasikan doa hanya kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. yang demikian itu adalah sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.” (al-Israa’: 67)

Adapun dalam surat al-An’am Allah berfirman:
Qul may yunajjiikum min dhulumaatil barri wal bahri tad’uunaHu tadlurru’aw wa khufyatan (“Katakanlah: ‘Siapakah yang dapat menyelamatkanmu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut.”) yaitu dengan suara lantang dan juga secara sembunyi-sembunyi.

Lain anjaanaa (“Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami”) yaitu dari kesempitan ini. Lanakuunanna minasy syaakiriin (“Tentu kami menjadi orang-orang yang bersyukur”) maksudnya, setelah kejadian itu.

Allah berfirman: qulillaaHu yunajjiikum minHaa wa min kulli karbin tsumma antum (“katakanlah: ‘Allah menyelamatkanmu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu,’”) maksudnya setelah itu; tusyrikuun (“kembali mempersekutukan-Nya”) maksudnya, kalian menyeru kepada ilah-ilah selain Allah pada saat kalian dalam keadaan senang.

Qul Huwal qaadiru ‘alaa ay yab’atsa ‘alaikum ‘adzaabam min qaumikum au min tahti arjulikum (“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atasmu atau dari bawah kakimu.’”)

Ketika Allah berfirman: tsumma antum tusyrikuun (“kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya”) Allah mengiringkannya dengan firman-Nya: Qul Huwal qaadiru ‘alaa ay yab’atsa ‘alaikum ‘adzaaban (“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu,”) yaitu setelah penyelamatan yang Allah lakukan terhadap kalian.

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari al-Hasan mengenai firman-Nya: Qul Huwal qaadiru ‘alaa ay yab’atsa ‘alaikum ‘adzaabam min fauqikum au min tahti arjulikum (“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atasmu atau dari bawah kakimu.’”) ia mengatakan: “Hal itu adalah untuk orang-orang musyrik.”

Sedangkan Ibnu Nujaih mengatakan dari Mujahid mengenai firman-Nya ini, ia mengatakan: “Yaitu bagi umat Muhammad saw, tetapi Allah telah mengampuni mereka.”

Dalam pembahasan ayat ini kami menyebutkan beberapa hadits dan atsar yang berkenaan dengan hal tersebut.

Imam al-Bukhari mengatakan mengenai firman Allah: Qul Huwal qaadiru ‘alaa ay yab’atsa ‘alaikum ‘adzaabam min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiya’aw wa yudziiqa ba’dlakum ba’sa ba’dlin. Undhur kaifa nusharriful aayaati la’allaHum yafqaHuun (“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atasmu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkanmu dalam golongan-golongan [yang saling bertentangan] dan merasakan kepada sebagianmu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami[nya].’”)

Kata “yalbisakum” berarti mencampuradukkan kalian. Berasal dari kata “al iltibaasu” [campur aduk]. Kata “yalbasuu” bermakna yakhlathuu [mereka mencampur aduk]. Adapun “syiya’an” bermakna firqah-firqah [golongan-golongan].

Abu Nu’man memberitahu kami, Hammad bin Zaid memberitahu kami, dari ‘Amr bin Dinar, dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: “Ketika turun ayat ini: Qul Huwal qaadiru ‘alaa ay yab’atsa ‘alaikum ‘adzaabam min fauqikum (“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atasmu”) Rasulullah saw. bersabda: ‘Aku berlindung kepada Wajah-Mu,’ au min tahti arjulikum (“atau dari bawah kakimu.”) au yalbisakum syiya’aw wa yudziiqa ba’dlakum ba’sa ba’dlin (“atau Dia mencampurkanmu dalam golongan-golongan [yang saling bertentangan] dan merasakan kepada sebagianmu keganasan sebagian yang lain.”) Maka Rasulullah saw. berkata: ‘Hal ini adalah yang paling ringan –atau paling mudah-.’”

(Imam an-Nasa-i meriwayatkan pula hadits ini dalam bab “at-Tafsiir” juga Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)

(Hadits lainnya) Imam Ahmad mengatakan dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, dari ayahnya: “Kami berangkat bersama Rasulullah saw. hingga kami melewati Masjid Bani Mu’awiyah, lalu beliau masuk dan mengerjakan shalat dua rakaat, dan kamipun mengerjakan shalat bersama beliau. Kemudian beliau bermunajat kepada Rabbnya dalam waktu yang lama. Setelah itu beliau bersabda:

“Sesungguhnya aku meminta tiga hal kepada Rabbku; aku memohon kepada-Nya agar umatku tidak dibinasakan dengan tenggelam, maka Allah mengabulkannya untukku. Aku juga memohon kepada-Nya agar umatku tidak dibinasakan dengan kelaparan [musim kemarau], maka Allah pun mengabulkannya untukku. Dan aku meminta kepada Allah agar Dia tidak menjadikan keganasan di antara sesama mereka, lalu Allah menolaknya.”
(Hadit tersebut hanya diriwayatkan oleh Muslim).

Firman-nya: ‘adzaabam mim fauqikum (“adzab dari atasmu”) yaitu berupa rajam [lemparan]. Au min tahti arjulikum (“atau dari bawah kakimu”) yaitu terbenam ke dalam bumi. Inilah yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.

Firman-nya: au yalbisakum syiya’an (“atau Dia mencampurkanmu dalam golongan-golongan [yang saling bertentangan].”) maksudnya Allah menjadikan kalian dalam beberapa golongan dan firqah [kelompok] yang saling bertentangan.

Allah berfirman: wa yudziiqa ba’dlakum ba’sa ba’dlin (“dan merasakan kepada sebagianmu keganasan sebagian yang lain.”) Ibnu Abbas dan juga ulama lainnya mengatakan: “Yaitu Allah menguasakan sebagian kalian atas sebagian lainnya dengan menimpakan siksaan dan pembunuhan.”

Firman-Nya lebih lanjut: undhur kaifa nusharriful aayaati (“perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti.”) maksudnya, Kami menerangkannya, menjelaskannya, dan menafsirkannya.
La’allaHum yafqaHuun (“agar mereka memahami”) maksudnya, [agar] mereka memahami dan merenungkan ayat-ayat, hujjah-hujjah, dan bukti-butki Allah Ta’ala.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 60-62

22 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 60-62“60. dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. 61. dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. 62. kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaanNya. dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (al-An’am: 60-62)

Allah berfirman bahwasannya Allah lah yang mematikan hamba-hamba-Nya dalam tidur mereka pada malam hari. Dan itulah yang dimaksud dengan kematian kecil. Dalam ayat ini telah disebutkan dua kematian; kematian besar dan kematian kecil.

Allah berfirman: wa Huwal ladzii yatawaffaakum bil laili wa ya’lamu maa jarahtum bin naHaari (“Dan Dia lah yang menidurkanmu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari.”)

Maksudnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kalimat ini merupakan kalimat sisipan yang menunjukkan peliputan ilmu Allah terhadap semua makhluk-Nya pada malam dan siang hari, baik pada saat mereka sedang diam maupun dalam keadaan bergerak.

Tsumma yab’atsukum fiiHi (“Kemudian Allah membangunkanmu padanya”) maksudnya membangunkan kalian pada siang hari. Demikian yang dikemukakan oleh Mujahid, Qatadah, dan as-Suddi.

Liyuqdlaa ajalum musammaa (“Untuk disempurnakan umurmu yang telah ditentukan”) yang dimaksud adalah ajal [umur] setiap individu umat manusia.

Tsumma ilaiHi marji’ukum (“kemudian kepada Allah lah tempat kamu kembali”) yakni pada hari kiamat. Tsumma yunabbi-ukum (“lalu Allah memberitahukan kepadamu”) maksudnya mengabarkan kepada kalian. Bimaa kuntum ta’maluun (“apa yang dahulu kamu kerjakan”) maksudnya, dan Allah akan memberikan balasan kepada kalian atas hal itu. Jika baik akan mendapat balasan kebaikan, dan jika buruk akan memperoleh keburukan pula.

Wa Huwal qaaHiru fauqa ‘ibaadiHi (“Dan Dia lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya”) maksudnya Allah lah yang menguasai segala sesuatu dan yang karena keagungan, kemuliaan, dan kebesaran-Nya, segala sesuatu tunduk kepada-Nya.

Wa yursilu ‘alaikum hafadhatan (“dan diutusnya kepadamu Malaikat-malaikat penjaga”) yaitu para malaikat yang menjaga badan manusia. Sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (ar-Ra’d: 11)
“Padahal sesungguhnya bagimu ada [malaikat-malaikat] yang mengawasi [pekerjaanmu].” (al-Infithaar: 10)

hattaa idzaa jaa-a ahadakumul mautu (“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu.”) maksudnya datang kematian dan ajalnya. tawaffatHu rusulunaa (“ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami”) yaitu malaikat-malaikat yang diberi tugas melakukan hal itu.

Ibnu ‘Abbas dan ulama lain mengatakan: “Malaikat maut itu mempunyai beberapa pembantu dari kalangan para Malaikat yang mengeluarkan ruh dari jasad, lalu malaikat Maut mencabutnya jika sudah sampai di tenggorokan.” Dalam menafsirkan firman Allah yang artinya: “Allah meneguhkan [iman] orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu.” (QS Ibrahim: 27). Akan dikemukakan beberapa hadits berkenaan dengan hal itu yang menjadi penguat terhadap masalah ini, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya dengan riwayat yang shahih.

Firman Allah: wa Hum laa yufarrithuun (“Dan Malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.”) maksudnya dalam menjaga ruh orang-orang yang sudah meninggal dunia, bahkan mereka senantiasa menjaganya dan menempatkannya dimana saja dikehendaki oleh Allah. Jika ruh itu termasuk golongan yang berbuat baik, maka ia diletakkan di ‘illiyyiin dan jika ruh itu termasuk golongan berbuat jahat maka ditempatkan di Sijjiin, [kita berlindung kepada Allah dari hal itu].

Tsumma rudduu ilallaaHi maulaa Humul haqqi (“Kemudian mereka dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.”) Ibnu Jarir mengatakan, “Mengenai firman-Nya: tsumma rudduu (“Kemudian mereka dikembalikan”) yakni para malaikat, ilallaaHi maulaa Humul haqqi (“kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya.”)

Mungkin juga yang dimaksud pada firman-Nya: tsumma rudduu (“Kemudian mereka dikembalikan”) adalah makhluk secara keseluruhan, yang dikembalikan kepada Allah pada hari kiamat kelak, lalu Allah memberikan keputusan kepada mereka dengan adil. Sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya:

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian benar-benar akan dikumpulkan pada waktu tertentu pada hari yang dikenal.’” (al-Waaqi’ah: 49-50) oleh karena itu Allah berfirman:

Maulaa Humul haqqi alaa laHul hukmu wa Huwa asra’ul haasibiin (“Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum [pada hari itu] kepunyaan-Nya. Dan Allah-lah Pembuat perhitungan yang paling cepat.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-An’am ayat 55-59

17 Jan

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-An’am (Binatang Ternak)
Surah Makkiyyah kecuali ayat: 20, 23, 91, 93, 114, 141, 151, 152, 153 Madaniyyah surah ke 6: 165 ayat

tulisan arab alquran surat al an'am ayat 55-59“55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. 56. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah.’ Katakanlah: ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku Termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.’ 57. Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.’ 58. Katakanlah: ‘Kalau Sekiranya ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada antara aku dan kamu. dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang zalim. 59. dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (al-An’aam: 55-59)

Allah berfirman, sebagaimana sebelumnya Kami telah menjelaskan berbagai hujjah dan dalil jalan petunjuk, bimbingan serta celaan terhadap bantah-membatah dan keingkaran.

Wa kadzaalika nufash-shilul aayaati (“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an.”) yang penjelasannya memang dibutuhkan oleh orang-orang yang diseru [oleh al-Qur’an].

Wa litastabiina sabiilul mujrimiin (“Supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa.”) maksudnya supaya tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa dan selalu menentang para Rasul. Dan ayat ini juga dibaca: Wa litastabiina sabiilal mujrimiin; maksudnya agar engkau hai Muhammad, atau orang yang diseru, melihat jelas jalan orang-orang yang berbuat dosa.

Firman-Nya: qul innii ‘alaa bayyinatim mir rabbii (“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku [berada] di atas hujjah yang nyata [al-Qur’an] dari Rabbku.’”) yakni berada di atas ilmu dari syariat Allah yang diwahyukan kepadaku.

Wa kadzdzabtum biHii (“sedang kamu mendustakannya.”) yaitu mendustakan kebenaran yang datang kepadaku dari Allah.

Maa ‘indii maa tasta’jiluuna biHii (“Bukanlah wewenangku [untuk menurunkan] apa yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.”) yaitu kedatangan adzab.

Inil hukmu illallaaHi (“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”) maksudnya masalah itu urusannya kembali kepada Allah, jika Dia menghendaki Dia akan menyegerakan apa yang kalian minta itu, dan jika Dia menghendaki maka Dia akan mengakhirkannya. Karena pada yang demikian itu Allah mempunyai hikmah yang besar.

Oleh karena itu Allah berfiman: yaqushshul haqqa wa Huwa khairul faashiliin (“Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.”) artinya Dialah sebaik-baik Pemberi ketetapan dan keputusan di antara hamba-hamba-Nya.

Firman-Nya lebih lanjut: qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu.”)

Maksudnya seandainya kembalinya hal itu padaku, niscaya aku akan timpakan kepada kalian apa yang selayaknya kalian harus terima.

wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang dhalim.”)

Jika ditanya, bagaimanakah menyatukan pengertian antara ayat ini dan apa yang ditegaskan dalam ash-shahihain, dari ‘Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulallah, apakah engkau pernah mengalami suatu hari yang lebih parah dari hari terjadinya Perang Uhud?” beliau bersabda: “Sesungguhnya aku pernah mengalami suatu hal dari kaummu yang lebih parah dari apa yang aku alami, yaitu saat terjadinya peristiwa ‘Aqabah. Pada saat itu aku menjelaskan keadaanku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kilal, namun ia tidak memenuhi apa yang kuinginkan.

Lalu aku berangkat dengan kesedihan yang mendalam dan aku tidak sadar bahwa aku telah sampai di Qarnuts Tsa’alib, lalu aku menengadahkan kepalaku ternyata ada awan yang menaungiku. Lalu kulihat ternyata di dalamnya ada Jibril as., lalu ia berseru kepadaku seraya berucap: ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan juga penolakan mereka terhadapmu, dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk kamu, yang kamu bebas menyuruhnya apa saja yang kamu kehendaki terhadap mereka.’

Maka malaikat penjaga gunung itu berseru kepadaku seraya mengucapkan salam kepadaku. Selanjutnya ia berkata: ‘Hai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan Rabbku telah mengutusku kepadamu supaya engkau menyuruhku apa saja yang engkau kehendaki. Jika engkau berkenan, aku akan timpakan kepada mereka dua gunung.’

Maka Rasulullah saw. bersabda: ‘Bahkan aku mengharapkan agar Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’” (Hadits ini berdasarkan lafadz [riwayat] Imam Muslim).

Dengan demikian, malaikat penjaga gunung telah menawarkan kepada Rasulullah saw. agar ditimpakan adzab kepada mereka atau mereka sama sekali dilenyapkan. Namun beliau minta penangguhan hukuman bagi mereka dengan harapan supaya Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka orang-orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Lalu bagaimana menyatukan antara hal itu dan firman Allah:

qul lau anna ‘indii maa tasta’jiluuna biHii laqudliyal amru bainii wa bainakum wallaaHu a’lamu bidh dhaalimiin (“Katakanlah: ‘Kalau sekiranya ada padaku apa [adzab] yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya, tentu telah diselesaikan Allah urusan yang ada di antara aku dan kamu. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang dhalim.”)

Jawabannya adalah [wallaaHu a’lam]: bahwa ayat ini menunjukkan jika penimpaan adzab yang mereka minta penyegeraannya itu kembalinya kepada Rasulullah saw., ketika mereka memintanya kepada beliau, niscaya mereka akan menimpakannya kepada mereka. Adapun hadits tersebut di dalamnya tidak mengandung pengertian bahwa mereka minta untuk disegerakan adzab kepada mereka. Tetapi yang menawarkan penyegeraan adzab itu adalah malaikat penjaga gunung, jika beliau berkenan malaikat itu akan menimpakan dua gunung kepada mereka. Keduanya adalah gunung Makkah yang mengapit Makkah pada sisi sebelah selatan dan utara. Oleh karena itu, Rasulullah saw. meminta penundaan bagi mereka serta memohonkan belas kasihan bagi mereka.

Firman Allah: wa ‘indaHuu mafaatihul ghaibi laa ya’lamuHaa illaa Huwa (“Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Salim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Kunci alam ghaib itu ada lima, yang tidak diketahui oleh Allah semata. ‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui [dengan pasti] apa yang akan diusahakannya besok, serta tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.’ [QS. Luqman: 34].”

Firman-Nya: wa ya’lamu maa fil barri wal bahri (“Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan.”) maksudnya ilmu Allah Yang Mahamulia itu meliputi segala yang ada, baik yang ada di darat maupun di laut, dan tidak ada sedikitpun dari hal itu yang tersembunyi dari-Nya, tidak juga sekecil apa pun di bumi maupun di langit.

Firman Allah: wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula].”) maksudnya Allah mengetahui semua gerakan bahkan gerakan benda-benda mati sekalipun. Jika demikian adanya, lalu bagaimana dugaanmu tentang pengetahuan Allah terhadap gerakan binatang, apalagi gerakan makhluk yang diberi taklif, baik jin maupun manusia.

Firman Allah: wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.”)

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Allah menciptakan an-Nun, yaitu tinta, dan Allah juga menciptakan alwah. Kemudian Allah menuliskan semua urusan dunia di dalamnya hingga tuntas penulisan penciptaan makhluk, atau rizki yang halal maupun yang haram, amal kebaikan maupun amal keburukan,” lalu Ibnu Abbas membaca ayat ini:

wa maa yasquthu miw waraqatin illaa ya’lamuHaa wa laa habbatin fii dhulumaatil ardli walaa rathbiw walaa yaabisin illaa fii kitaabim mubiin (“Dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Allah mengetahuinya [pula]. Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bummi dan tidak [pula] sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata.[Lauhul mahfudz]”)

alwah: jamak dari lauh yang berarti “papan, batu, atau yang sejenisnya”, yang ditulisi di atasnya, atau dapat juga berarti “lembaran-lembaran tulisan.”

&