Tag Archives: surat al anfaal

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 74-75

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 74-75“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan(kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia. (QS. 8:74) Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 8:75)” (al-Anfaal: 74-75)

Setelah menyebutkan hukum orang-orang yang beriman di dunia, Allah melanjutkan dengan menyebutkan apa yang akan mereka dapatkan akhirat kelak. Allah memberitahukan perihal diri mereka melalui hakikat keimanan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan ayat di awal surat ini, bahwa Allah akan memberikan balasan kepada mereka berupa ampunan dan maaf atas berbagai macam dosa, jika ada. Dan Allah memberi rizki yang mulia, yaitu berupa kebaikan yang banyak lagi baik, abadi untuk selarna-larnanya, yang tiada pernah putus-putusnya dan tidak pula berakhir, tidak membosankan dan tidak menjenuhkan, karena kebaikan dan keanekaragaman rizki tersebut.

Selanjutnya, Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang mengikuti mereka di dunia disertai dengan keimanan dan amal shalih di akhirat kelak orang-orang tersebut akan berkumpul bersama mereka. Sebagaimana yang difirmankan-Nya yang artinya:
“Oran yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan Yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Dan Allah juga berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar).” (QS. Al-Hasyr: 10)

Dalam hadits yang berderajat muttafaq ‘alaih, bahkan mutawatir, melalui berbagai jalan yang shahih, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Seseorang itu selalu bersama orang yang dicintainya.” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan firman Allah: wa ulul arhaami ba’dluHum aulaa biba’dlin fii kitaabillaaHi (“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terbadap sesamanya [daripada yang bukan kerabatnya] di dalam Kitab Allah.”) Yaitu, dalam hukum Allah Ta’ala. Dan yang dimaksud dengan firman-Nya: wa ulul arhaami (“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat.”) Hal ini bersifat khusus seperti yang dikemukakan oleh para ulama ahli ilmu faraidh, yaitu kerabat yang tidak mempunyai hak waris dan juga ashabah, tetapi dekat dengan si pewaris, misalnya bibi dan paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak laki-laki dari anak perempuan (cucu), anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan) dan lain-lainnya semisal itu. Sebagaimana Yang diakui oleh sebagian mereka dengan menggunakan dalil ayat al-Qur’an, bahkan mereka meyakini hal itu dengan jelas. Tetapi yang benar adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, yang mencakup seluruh kerabat seperti yang ditegaskan oleh Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Qatadah dan lama lainnya, bahwa ayat tersebut menasakh ayat waris melalui sumpah dan persaudaraan yang karena keduanya mereka saling mewarisi dahulunya.

Berdasarkan hal itu pula, maka ayat itu mencakup dzawil arham (hubungan rahim) secara khusus. Sedangkan orang yang berpendapat untuk tidak memberikan waris, berhujjah dengan dalil-dalil yang paling kuat, di antaranya adalah hadits Rasulullah berikut ini:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, hingga tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

Mereka mengatakan: “Jika seseorang memiliki hak, berarti ia memiliki bagian tertentu yang disebutkan di dalam Kitab Allah. Selama bagian tersebut tidak disebutkan, berarti ia bukan ahli waris. Wallahu a’lam.”

Demikianlah akhir dari penafsiran surat al-Anfaal. Segala puji karunia hanya milik Allah. Kepada-Nyalah bertawakkal. Cukuplah Allah menjadi pelindung kita, karena Allah adalah sebaik-baik pelindung.

Selesai
&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 73

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 73“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka (menjadi) pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. al-Anfaal: 73)

Setelah menyebutkan bahwasanya sebagian orang mukmin menjadi pelindung (penolong) bagi sebagian lainnya, Allah memutuskan loyalitas antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Usamah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Dua pemeluk agama yang berbeda tidak saling mewarisi. Dan orang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan tidak juga orang kafir boleh mewarisi orang muslim.”

Setelah itu beliau membacakan ayat: wal ladziiina kafaruu ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin illaa taf’aluuHu takun fitnatun fil ardli wa fasaadun kabiir (“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian lain. Jika kalian [wahai kaum muslimin] tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”)

Selanjutnya al-Hakim mengatakan, bahwa hadits ini sanadnya shahih, tetapi al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya.
Aku (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits itu terdapat dalam ash-Shahihain dari riwayat Usamah bin Zaid, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh juga mewarisi orang muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam kitab al-Musnad dan juga beberapa kitab as-Sunan disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari `Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, kakeknya, ia menceritakan, Rasulullah bersabda: “Dua pemeluk agama yang berbeda tidak boleh saling mewarisi.”
Imam at-Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits tersebut derajatnya hasan shahih.

Al-Hafizh Abu Bakar bin Mardawaih menceritakan, dari Abu Hatim al-Muzani, ia menceritakan, Rasulullah saw. bersabda: “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah ia. Yang jika kalian tidak melakukannya, maka terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, jika padanya terdapat sesuatu?” Beliau menjawab: “Jika kalian didatangi orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.” (Beliau mengucapkannya tiga kali)

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi.

Makna sabda Rasulullah saw:
“Yang jika kalian tidak melakukannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” Maksudnya, jika kalian tidak menyingkirkan orang-orang musyrik dan tidak menjadikan orang-orang mukmin sebagai pelindung (pemimpin), maka akan terjadi fitnah di tengah-tengah umat manusia. Yaitu berbaurnya persoalan orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir, sehingga hal itu menyebabkan kerusakan yang sangat besar dan lama di tengah-tengah umat manusia.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 72

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 72“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Mahamelihat yang kamu kerjakan.” (QS. al-Anfaal: 72)

Allah menyebutkan beberapa golongan orang-orang yang beriman dan membagi mereka menjadi kaum Muhajirin yang pergi meninggalkan rumah dan kekayaan mereka. Mereka datang untuk menolong Allah dan Rasul-Nya, menegakkan agama-Nya, serta menginfakkan harta kekayaan dan Aga nyawanya untuk kepentingan semuanya itu. Kaum Anshar, mereka adalah kaum muslimin Madinah yang memberikan tempat tinggal kepada saudara-saudara mereka yang berhijrah (Muhajirin) di rurnah-rumah mereka. Mereka juga memberikan harta benda kepada kaum Muhajirin, serta menolong Allah dan Rasul-Nya dengan berperang bersama kaum Muhajirin. Mereka itu: ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin (“Satu sama lain saling melindungi.”) Yaitu, masing-masing dari mereka lebih berhak menerima perlindungan daripada yang lainnya.

Oleh karena itu, Nabi mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Dari setiap dua orang merupakan saudara. Dengan demikian, mereka saling mewarisi sebagai pewarisan yang harus didahulukan daripada kaum kerabat, sampai Allah Ta’ala manghapuskan hal itu dengan ayat mawaris diturunkan kemudian). Yang demikian itu telah ditetapkan sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dari Ibnu `Abbas.

Allah dan Rasul-Nya telah memuji kaum Muhajirin dan kaum Anshar melalui beberapa ayat di dalam al-Qur’an, di antaranya adalah firman-Nya yang artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dalamnya.” (QS. At-Taubah: 100)

Dan firman-Nya: wal ladziina aamanuu wa lam yuHaajiruu maa lakum miw walaayatiHim (“Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atas kalian melindungi mereka.”) Hamzah membaca “wilaayatiHim” dengan harakat kasrah. Sedangkan ulama lainnya membaca “walaayatiHim” dengan harakat fathah. Kedua macam bacaan itu adalah sama, seperti dalam kata “dilalah” dengan “dalalah”.

Min syai-in hataa yuHaajiruu (“”Tidak ada kewajiban sedikit pun atas kalian melindungi mereka sebelum mereka berhijrah.”) Dan ini adalah kelompok ketiga dari orang-orang yang beriman. Mereka inilah orang orang yang beriman tetapi tidak ikut berhijrah dan tetap tinggal di negeri mereka (Makkah). Mereka tidak berhak menerima bagian ghanimah dan tidak juga bagian seperlimanya, kecuali apa yang mereka peroleh ketika ikut berperang.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Zaid bin al-Khashib al-Aslami, ia menceritakan: Jika Rasulullah mengutus seorang panglima untuk memimpin suatu pasukan atau bala tentara, maka beliau senantiasa berpesan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan berbuat kepada orang-orang muslim yang ada bersamanya.

Dan beliau bersabda: “”Berperanglah dengan menyebut nama Allah di jalan Allah. Perangilah yang kafir kepada Allah, jika engkau bertemu dengan musuhmu dari kalangan orang-orang musyrik. Lalu serulah mereka kepada tiga hal. Mana dari ketiga hal itu yang mereka penuhi, maka terimalah hal itu dari mereka dan tahanlah dirimu (dari memerangi) mereka. Serulah mereka kepada Islam. jika mereka memenuhinya, maka terimalah mereka dan tahanlah dirimu memerangi) mereka.

Kemudian serulah mereka untuk pindah dari kampung halaman mereka menuju negeri kaum Muhajirin. Beritahukan kepada mereka jika mereka melakukan hal itu, maka mereka akan memperolah apa yang diperoleh kaum Muhajirin dan memiliki kewajiban seperti yang ditetapkan kaum Muhajirin. Jika menolak hal itu dan memilih kampungnya sendiri beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan menjadi seperti orang-orang Badui dari kalangan kaum muslimin yang berlaku bagi mereka hukum Allah, yang juga diberlakukan bagi orang-orang mukmin lainnya. Namun mereka tidak mendapatkan bagian dari harta fai’ dan ghanimah, kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Dan jika mereka masih juga menolak, maka serulah mereka untuk memberikan jizyah (pajak/upeti). Jika mereka memenuhi seruan tersebut, maka terimalah apa yang dari mereka itu dan tahanlah dirimu (dari memerangi) mereka. Dan jika mereka masih juga menolak, maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka.”

Hadits tersebut diriwayatkan sendiri oleh Imam Muslim dan ia mempunyai beberapa tambahan lain.

Firman-Nya lebih lanjut: wa inistanshuruukum fid diini fa’alaikumun nashru (“Tetapi Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam [urusan pembelaan] agama, maka kalian wajib memberi pertolongan.”) Allah Ta’ala berfirman: “Dan jika orang-orang Badui yang tidak ikut berhijrah itu meminta pertolongan kalian dalam hal perang mempertahankan agama-Ku melawan musuh mereka, maka bantulah mereka. Yang demikian itu merupakan suatu hal yang wajib bagi kalian, karena mereka adalah saudara kalian seagama. Kecuali jika mereka meminta bantuan untuk mengalahkan orang-orang kafir yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka hingga batas waktu tertentu. Maka janganlah engkau mengubur jaminanmu dan melanggar sumpahmu dengan orang-orang yang telah mengadakan perjanjian denganmu.”

Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu `Abbas.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 70-71

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 70-71“Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu: ‘Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Allah akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari-padamu, dan Allah akan mengampunimu.’ Dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 8:70) Akan tetapi, jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. 8:71)” (al-Anfaal: 70-71)

Ibnu Juraij menceritakan dari `Atha’ al-Khurasani, dari Ibnu `Abbas: yaa ayyuHan nabiyyu qul liman fii aidiikum minal asraa (“Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu,”) `Abbas (paman Nabi)dan para sahabatnya mengatakan, bahwa para tawanan itu berkata kepada Nabi: “Kami beriman kepada apa yang engkau bawa dan bersaksi, bahwa engkau adalah Rasul Allah dan kami akan berikan nasihat kepada kaum kami.” Maka Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya: iy ya’lamillaaHu fii quluubikum khairay yu’tikum khairam mimmaa akhidza minkum (“Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Allah akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu.”) Yaitu, keimanan dan kepercayaan yang datang setelah itu kepada kalian adalah, lebih baik apa yang telah diambil dari kalian.

Wa yaghfirlakum (“Dan Allah akan mengampuni kalian.”) Yakni, dosa akibat kemusyrikan yang telah kalian lakukan.

Al-‘Abbas mengatakan: “Turunnya ayat ini lebih aku sukai dari pada aku memperoleh dunia, di mana Allah telah berfirman: yu’tikum khairam mimmaa ukhidza minkum (“Allah akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu.”) Sungguh Allah telah memberiku apa yang lebih baik dari apa yang telah lambil dariku seratus kali lipat. Dan Allah juga berfirman: wa yaghfirlakum (“Dan Allah memberikan ampunan kepadamu.”) Aku berharap, semoga aku diberikan ampunan.”

`Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, mengenai ini, `Abbas pernah ditawan pada saat terjadi perang Badar, lalu ia menebus dirinya sendiri dengan empat puluh uqiyah emas. Kemudian ketika dibacakan ayat ini, al-‘Abbas berkata: “Allah telah memberiku dua hal yang lebih aku sukai daripada dunia, yaitu; aku ditawan pada perang Badar, lalu aku diriku dengan empat puluh uqiyah emas. Kemudian Allah memberiku empat puluh budak. Dan sesungguhnya aku mengharapkan ampunan yang telah dijanjikan Allah kepada kami.”

Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi menceritakan dari Anas bin Malik, berkata: Didatangkan kepada Rasulullah harta benda dari Bahrain, Rasulullah bersabda: “Hamparkanlah harta ini di masjidku.”

Harta itu adalah jumlah yang paling banyak yang pernah didatangkan kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau berangkat menunaikan shalat tanpa menoleh kepada harta tersebut. Setelah selesai mengerjakan shalat, beliau datang dan duduk di samping harta tersebut. Beliau tidak melihat seseorang melainkan beliau memberinya. Tiba-tiba al-‘Abbas mendatangi beliau seraya berkata: “Ya Rasulullah, berilah aku. Sesungguhnya aku dulu pernah menebus diriku dan juga aku menebus `Uqail.” Maka Rasulullah pun berkata: “Ambillah.” Kemudian al-‘Abbas meletakkan harta itu ke dalam bajunya dan setelah itu pergi. Ia berusaha mengangkatnya tetapi ia tidak bisa, lalu berkata: “Suruhlah sebagian mereka mengangkatkan harta itu untukku.” Beliau menjawab: “Tidak.” Al-‘Abbas menuturkan: “Kalau begitu, angkatkan harta itu untukku.” Beliau pun tetap menjawab: “Tidak.” Maka al-‘Abbas menaburkan sebagian daripadanya dan meletakkannya di atas pundaknya dan kemudian pergi. Pandangan Rasulullah masih terus mengikutinya hingga ia tidak lagi terlihat oleh beliau. Beliau sangat heran terhadap kesungguhannya. Dan beliau tidak beranjak sedang tidak tersisa satu dirham pun.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di beberapa tempat dalam kitabnya (Shahih al-Bukhara) dengan menggunakan shighah penegasan. la mengatakan: “Ibrahim bin Thuhman pun meriwayatkan hadits tersebut dan menyampaikannya dengan beberapa siyaq yang lebih sempurna dari ini.”

Dan firman-Nya: wa iy yuriiduu khiyaanataka faqad khaanullaaHa min qablu (“Akan tetapi jika mereka [tawanan-tawanan itu] bermaksud hendak berkhianat kepada kalian, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini.”) Maksudnya; wa iy yuriiduu khiyaanataka (“Akan tetapi jika mereka [tawanan-tawanan itu] bermaksud hendak berkhianat kepada kalian,”) Yakni, berupa ucapan-ucapan yang mereka lontarkan secara lantang kepada kalian.

faqad khaanullaaHa min qablu (“maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada Allah sebelum ini.”) Yaitu, sebelum perang Badar, melalui kekafiran terhadap-Nya. Fa amkana minHum (“Lalu Allah menjadikan [kalian] berkuasa terhadap mereka.”) Yaitu, terhadap para tawanan pada saat terjadi perang Badar. wallaaHu ‘aliimun hakiim (“Dan Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana.”) Yaitu, Mahamengetahui terhadap apa yang Ia perbuat dan Mahabijaksana dalam perbuatan-Nya tersebut.

Qatadah mengatakan: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan`Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah al-Katib, ketika ia kembali murtad dan bertemu dengan orang-orang musyrik.”
Ibnu Juraij menceritakan dari `Atha’ al-Khurasani, dari Ibnu `Abbas, ia mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan dengan al-‘Abbas dan para sahabatnya ketika mereka mengatakan: ‘Kami akan laporkan kepada kaum kami.’”
Sedangkan as-Suddi mentafsirkannya secara umum dan hal ini lebih syumul (lebih mencakup) dan lebih jelas. Wallahu a’lam.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 67-69

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 67-69“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan, sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, (QS. 8:67) Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (QS. 8:68) Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 8:69)” (al-Anfaal: 67-69)

Al-A’masy meriwayatkan dari `Abdullah, ia menceritakan, ketika terjadi perang Badar, Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimana pendapat kalian mengenai para tawanan itu?” Abu Bakar berkata: “Ya Rasulullah, mereka itu adalah kaummu dan juga keluargamu. Biarkan saja mereka tetap hidup dan perintahkan mereka untuk bertaubat. Semoga Allah memberikan ampunan kepada mereka.” Sedangkan `Umar (bin al-Khaththab) berujar: “Ya Rasulullah, mereka telah mendustakan dan mengusirmu. Bawalah mereka ke depan dan penggallah leher mereka.” Lalu `Abdullah bin Rawahah menuturkan: “Ya Rasulullah, engkau sedang berada di lembah yang banyak kayu bakarnya, maka bakarlah lembah tersebut, kemudian lemparkanlah mereka ke dalamnya.” Maka Rasulullah saw. pun terdiam dan tidak memberikan tanggapan sama sekali terhadapan usulan dari mereka. Lalu beliau berdiri dan masuk.

Selanjutnya orang-orang berspekulasi, beliau pasti akan menerapkan pendapat Abu Bakar. Dan sebagian yang lain menduga, pasti beliau akan memilih pendapat `Umar bin al-Khaththab. Dan yang lain lagi beranggapan bahwa beliau akan memilih pendapat `Abdullah bin Rawahah. Setelah itu beliau pun keluar menemui mereka seraya bersabda:

“Sesungguhnya Allah melunakkan hati seseorang, sehingga menjadi yang lebih lembut dari susu. Dan sesungguhnya Allah juga akan mengeraskan seseorang, sehingga hati mereka itu menjadi lebih keras daripada batu. Sesungguhnya engkau, hai Abu Bakar adalah seperti Ibrahim as. yang ngatakan: ‘Barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya ia termasuk golonganku. Dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau Mabapengampun lagi Mahapenyayang.’ (QS. Ibrahim: 36). Dan sesungguhnya permiisalanmu, hai Abu bakar adalah seperti `Isa as yang mengatakan: ‘Jika Engkau mengadzab mereka, maka sesungguhnya mereka adalah bamba-Mu. Dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.’ (QS. Al-Maaidah: 118).”

“Dan engkau, hai `Umar adalah seperti Musa as yang mengatakan: ‘Ya Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman sehingga mereka melihat adzab yang pedih.’ (QS. Yunus: 88). Dan sesungguhnya engkau, hai `Umar adalah seperti Nuh as yang mengatakan: ‘Ya Rabbku, janganlah Engkau berikan tempat tinggal bagi orang-orang kafir di bumi ini.” (QS. Nuh: 26). Sesungguhnya kalian merupakan satu ikatan keluarga yang tidak dapat dipisahkan, kecuali melalui tebusan atau penggalan leher.”

Ibnu Masud berkata, aku katakan: “Ya Rasulullah, kecuali Suhail Baidha’, karena ia pernah mengucapkan (kalimat) Islam.” Maka Rasulullah saw. pun terdiam. Engkau tidak pernah melihatku pada suatu hari yang padanya aku paling takut tertimpa batu dari langit kecuali pada hari itu, hingga beliau berkata: “Kecuali Suhail bin Baidha’.”

Maka Allah menurunkan firman-Nya: maa kaana linabiyyin ay yakuuna laHuu asraa hattaa yutskhina fil ardli turiiduuna ‘aradlad dun-yaa wallaaHu yariidul aakhirati (“Tidak sepatutnya bagi seorang Nabi mempunyai tawanan, sebelum ia melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”)

Demikian yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi, hadits dari Abi Mu’awiyah, dari al-A’masy. Juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam bukunya al-Mustadrak. Dan al-Hakim mengatakan, bahwa hadits tersebut sanadnya shahih. Sedangkan al-Bukhari dan Muslim tidak iwayatkan.

Syu’bah menceritakan dari Mujahid, mengenai firman-Nya: lau laa kitaabum minallaaHi sabaqa (“Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah,”) ia mengatakan: “Ditetapkan bagi mereka untuk diberi ampunan.”
Hal yang sama juga diceritakan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah. ‘Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya: ini ia mengatakan: “Yaitu, di dalam Ummul Kitab yang pertama, yang menetapkan bahwa ghanimah dan tawanan itu halal bagi kalian.”

Lamas sakum fiimaa akhadztum (“Niscaya kaliann ditimpa, karena tebusan yang kalian ambil”) dari tawanan. ‘adzaabun ‘adhiim (“Siksaan yang berat”)

Fakuluu mimmaa ghanimtum halaalan thayyiban (“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik.”) Dan dapat diambil dalil dari pendapat ini dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam ash-Shahihain, darijabir bin `Abdillah berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Aku telah diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang Nabi sebelumku: Aku dimenangkan melalui rasa takut (yang dirasakan oleh musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan, dijadikannya bumi ini untukku sebagai masjid (tempat sujud) dan alat bersuci, dihalalkan bagiku harta rampasan perang, dimana hal itu tidak pernah dihalalkan bagi seorang pun sebelumku, diberikannya kepadaku (hak memberikan) Syafa’at dan Nabi terdahulu hanya diutus
kepada kaumnya saja, sedang aku diutus kepada manusia seluruhnya.” (HR Al-Bukhari)

Oleh karena itu Allah berfirman: Fakuluu mimmaa ghanimtum halaalan thayyiban (“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu sebagai makanan yang halal lagi baik.”) Pada saat itu, mereka pun mengambil tebusan dari Para tawanan.

Diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud dalam sunannya, dari Abbas, bahwa Rasulullah menetapkan tebusan bagi kaum jahiliyah pada perang Badar sebanyak empat ratus dinar. Dan ketetapan hukum terhadap tawanan tersebut terus berlaku. Demikian menurut jumhurul ulama, yaitu bahwasanya seorang Imam (pemimpin) memiliki hak pilih dalam menetapkan hukuman bagi mereka, jika menghendaki, ia boleh membunuhnya sebagaimana yang dilakukan terhadap Bani Quraizhah.

Dan jika mengehendaki, ia juga boleh meminta tebusan dari mereka berupa harta benda, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap para tawanan perang Badar, atau bisa juga tebusan tersebut berupa pembebasan kaum muslimin yang menjadi tawanan mereka (tukar-menukar tawanan), sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah terhadap seorang budak wanita dan anaknya yang berada dalam tawanan Salamah bin Akwa’, dimana ia mengembalikan keduanya dan sebagai tebusannya ia mengambil beberapa kaum muslimin yang berada di tangan orang-orang musyrik.

Dan jika menghendaki, maka ia boleh juga menjadikan tawanan itu sebagai budak. Demikian yang menjadi pendapat madzhab Imam asy-Syafi’i dan beberapa orang ulama. Mengenai masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat yang lain di antara para imam, yang semuanya telah dikemukakan dalam beberapa kitab Fiqih.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 64-66

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 64-66“Hai Nabi, cukuplah Allah menjadi Pelindung bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. (QS. 8:64) ….. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua rates orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (QS. 8:65) Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Allah telah mengetahui padamu, babwa ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. 8:66)” (al-Anfaal: 64-66)

Allah memberitahukan, bahwa Allah mencukupi mereka, memberi pertolongan dan mendukung mereka dalam melawan musuh-musuh mereka, meskipun jumlah musuh mereka itu sangat banyak dan berlipat ganda dari kaum muslimin dan sedikitnya jumlah orang-orang yang beriman.

Mengenai firman Allah: yaa ayyuHan nabiyyu hasbukallaaHu wa manittaba’aka minal mu’miniin (“Hai Nabi, cukuplah Allah menjadi peliindung bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu,”) Ibnu Abi Hatim berkata dari asy-Sya’bi, ia mengatakan: “Cukuplah Allah bagimu dan cukup pula orang-orang yang hadir bersamamu.”

Ibnu Abi Hatim mengatakan, bahwa hal yang sama juga diriwayatkan dari `Atha’ al-Khurasani dan `Abdur Rahman bin Zaid.

Rasulullah saw. memotivasi mereka ketika mengatur barisan mereka dan ketika menghadapi musuh. Sebagaimana beliau pernah berseru kepada para sahabat beliau pada perang Badar, yaitu ketika orang-orang musyrik datang dalam jumlah mereka yang banyak dan dengan perlengkapannya: “Bangkitlah kalian menuju surga, yang luasnya seluas langit dan bumi.”

Umair bin Hamam bertanya: “Luasnya seluas langit dan bumi?” Maka Rasulullah saw. menjawab: “Ya.” Kemudian`Umair bin Hamam berujar, “Bagus. Bagus.” Rasulullah saw. bertanya: “Apa yang menjadikanmu berkata, ‘Bagus, bagus, bagus’?” Ia menjawab: “Aku berharap bisa menjadi penghuninya.” Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau salah satu dari penghuninya.”
Setelah itu, orang itu maju ke depan seraya memecahkan sarung pedangnnya dan mengeluarkan buah kurma, lalu ia memakan sebagian dari kurma tersebut, kemudian mencampakkan sebagian lainnya dari tangannya seraya berujar: “Seandainya aku masih tetap hidup sebelum aku habis memakan buah kurma ini, berarti itu merupakan kehidupan yang panjang.” Kemudian ia maju berperang sehingga ia pun terbunuh.” (Dirlwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab al-Imarah dan juga Imam Ahmad)

Selanjutnya Allah berfirman, menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman sekaligus memberikan perintah: iy yakum minkum ‘isyruuna yaghlibuu mi-ataini wa iy yakum minkum mi-atun yaghlibuu alfam minal ladziina kafaruu (“Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seribu orang [yang sabar] di antara kalian mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir.”) Satu orang melawan sepuluh orang musuh. Kemudian hal itu dimansukh dan yang tersisa hanyalah kabar gembira.

Sa’id bin Manshur menceritakan, Sufyan memberitahu kami, dari Amr bin Dinar, dari Ibnu `Abbas, mengenai ayat ini, ia mengatakan bahwa diwajibkan kepada mereka agar dua puluh orang dari mereka tidak melarikan diri menghadapi dua ratus orang musuh. Kemudian Allah Ta’ala meringankan hal tersebut, di mana Allah berfirman: al aana khaffafallaaHu ‘ankum wa ‘alima anna fiikum dla’fan (“Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan Allah telah mengetahui bahwa pada kalian terdapat kelemahan”)

Sehingga seratus orang tidak sepatutnya melarikan diri dari dua ratus orang musuh. Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dari ‘Ali bin Abdullah, dari Sufyan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 61-63

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 61-63“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allahlah yang Maha-mendengar lagi Maha-mengetahui. (QS. 8:61) Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Allahlah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang beriman. (QS. 8:62) Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Allah perkasa lagi Maha-bijaksana. (QS. 8:63)” (al-Anfaal: 61-63)

Allah berfirman, bahwa jika engkau khawatir terhadap pengkhianatan suatu kaum, maka langgarlah perjanjian mereka itu secara timbal balik. Dan jika ia masih terus memerangimu dan melanggar hakmu, maka seranglah mereka.
Wa in janahuu (“Dan jika mereka condong,”) yaitu cenderung. Lis silmi (“Kepada perdamaian.”) Yakni berdamai, perbaikan hubungan dan penghentian perang.
Fajnah laHaa (“Maka condonglah kepadanya.”) Maksudnya cerderunglah engkau kepada perdamaian tersebut dan terimalah tawaran mereka tersebut.

Oleh karena itu, ketika orang-orang musyrik menawarkan perdamaian genjatan senjata selama sembilan tahun antara mereka dengan Rasulullah pada saat diadakan Shulhul Hudaibiyyah (perjanjian Hudaibiyyah), maka beliau pun menerima tawaran tersebut dengan mengajukan beberapa syarat kepada mereka.

Ibnu `Abbas, Mujahid, Zaid bin Aslam, `Atha’ al-Khurasani, ‘Ikrimah, al-Hasan al-Bashri dan Qatadah mengatakan: “Sesungguhnya ayat tersebut dimansukh (dihapus) oleh ayat saif (pedang) rang terdapat dalam surat Bara-ah (at-Taubah): “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir.” (QS. At-Taubah: 29)
Tetapi pendapat ini perlu ditinjau juga, karena ayat yang terdapat dalam surat Bara-ah (at-Taubah) itu di dalamnya terdapat perintah untuk memerangi mereka, jika memungkinkan untuk itu. Tetapi jika musuh berjumlah banyak, maka diperbolehkan bagi kaum muslimin mengadakan perjanjian perdamaian. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh ayat al-Qur’an dan sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah pada hari diadakannya perjanjian Hudaibiyyah. Dengan demikian, tidak ada pertentangan, tidak ada nasakh, serta tidak ada pula takhshish (pengkhususan). Wallahu a’lam.

Firman-Nya: wa tawakkal ‘alallaaHi (“Dan bertawakkallah kepada Allah.”) Maksudnya, berdamailah dengan mereka dan bertawakkallah kepada Allah, karena Allah yang memberikan kecukupan dan menolongmu. Dan seandainya mereka menawarkan perdamaian untuk sebuah tipu daya agar mereka dapat memperkuat diri dan membuat persiapan, maka hendaklah kalian berhati-hati dan berwaspada. Fa inna hasbakallaaH (“Maka sesungguhnya cukuplah Allah.”) Artinya, cukuplah Allah saja yang menjadi pelindung bagimu.

Setelah itu, Allah menyebutkan nikmat yang telah dianugerahkan kepada Nabi saw, yaitu berupa pertolongan Allah dan dukungan dari orang-orang yang beriman, (yaitu) kaum Muhajirin dan Anshar, di mana Allah berfirman: Huwal ladzii ayyadaka binash-riHii wa bil mu’miniin. Wa allafa baina quluubiHim (“Allah-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang mukmin dan yang mempersatukan hati mereka [orang-orang yang beriman].”) Maksudnya, Allahlah yang menyatukan hati kalian dalam keimanan, ketaatan, serta memberikan pertolongan dan bantuan kepadamu.

Lau anfaqta maa fil ardli jamii’am maa allafta baina quluubihim (“Walaupun engkau membelanjakan semua [kekayaan]) yang ada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka.”) Maksudnya, yang demikian itu karena di antara mereka terdapat permusuhan dan kebencian. Sebenarnya, di kalangan kaum Anshar terdapat berbagai macam peperangan pada masa Jahiliyah antara suku Aus dan suku Khazraj, serta berbagai hal yang mengharuskan mereka berbuat kejahatan yang berkesinambungan. Kemudian, Allah memutuskan hal itu dengan cahaya keimanan.

Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: “Dan ingatlab akan nikmat Allah yang diberikan kepada kalian dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian sehingga dengan nikmat tersebut kalian menjadi orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali-‘Imraan: 103)

Dalam ash-Shahihain disebutkan sebuah hadits yang menceritakan tentang Rasulullah ketika berbicara dengan kaum Anshar mengenai permasalahan ghanimah dalam perang Hunain, beliau mengatakan kepada mereka: “Hai kaum Anshar sekalian, bukankah aku dahulu mendapati kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan petunjuk kepada kalian melalui diriku. Aku menjumpai kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah memberimu kekayaan melalui diriku. Dan kalian dahulu ada dalam keadaan bercerai-berai, lalu Allah menyatukan kalian melalui diriku.” Setiap kali beliau mengatakan sesuatu, mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya paling banyak memberikan nikmat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laakinnallaaHa allafa bainaHum innaHuu ‘aziizun hakiim (“Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”) Maksudnya, Allah Mahaperkasa sehingga Allah tidak menyia-nyiakan harapan orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya dan Allah Mahabijaksana dalam perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 59-60

2 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 59-60“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). (QS. 8:59) Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. 8:60)” (al-Anfaal: 59-60)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya: wa laa yahsabanna (“Janganlah engkau mengira,”) wahai Muhammad. Alladziina kafaruu sabaquu ( “Bahwa orang-orang kafir itu akan dapat lolos.”) Maksudnya, mereka dapat melepaskan diri dan Kami tidak sanggup melawan mereka. Tidak demikian, justru mereka berada di bawah kekuasaan Kami dan dalam genggaman kehendak Kami, hingga mereka tidak akan dapat menjadikan Kami lemah. Yang demikian adalah sama seperti firman Allah yang artinya berikut ini:
“Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari adzab Kami? Amat buruk apa yang mereka tetapkan itu.”) (Qs. Al-‘Ankabuut: 4). Yaitu, yang mereka duga tersebut.

Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan untuk mempersiapkan perlengkapan perang guna memerangi mereka sesuai dengan kemampuan, fasilitas dan kesanggupan, di mana Allah berfirman: wa a-‘idduu laHum mastatha’tum (“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi.”) Artinya, sesuai dengan kemampuan yang ada pada kalian, yaitu: min quwwatiw wa mir ribaathil khaili (“Kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda yang ditambat untuk berperang.”)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi `Ali Tsumamah bin Syafi saudara `Uqbah bin `Amir, di mana ia pernah mendengar `Uqbah menceritakan: aku pernah mendengar Rasulullah bersabda ketika beliau berada di atas mimbar:
“‘Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa saja yang kalian sanggupi. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)

Imam Malik meriwayatkan daii Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kuda itu untuk tiga orang; bagi seseorang, yang mana kuda itu sebagai pahala, bagi orang yang lain sebagai pelindung dan bagi yang lain lagi sebagai dosa. Kuda yang memberikan pahala kepada seseorang adalah kuda yang ditambat (digunakan) di jalan Allah, lalu ia menambatkannya di padang rumput kebun. Maka tidaklah setiap kali ia makan, melainkan menjadi kebaikan orang tersebut. Walaupun kuda itu berhenti dari merumput dan menaiki atau dua tempat yang tinggi, maka bekas telapak kakinya dan kotorannya menjadi kebaikan baginya. Jika kuda itu melintasi sungai lalu kuda itu minum dan ia (penunggangnya) tidak membawanya sengaja untuk memberi minum, maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dengan demikian itu, kuda memberi pahala kepadanya. Ada juga orang yang menambatkannya (menggunakannya) sebagai kekayaan dan kehormatan dirinya, tetapi tidak melupakan hak Allah yang ada pada leher dan punggungnya (dalam menggunakan memeliharanya.-Ed), maka kuda itu baginya sebagai pelindung. Dan ada orang yang menambatkan kuda dengan maksud membanggakan diri dan maka kuda itu baginya merupakan dosa.”

Kemudian Rasulullah pernah ditanya tentang keledai, maka beliau pun bersabda: “Allah tidak menurunkan ayat mengenai keledai itu melainkan di dalam ayat yang mencakup dan luar biasa ini: ‘Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat basalannya pula.'(QS. Az-Zalzalah: 7-8).”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, yang masing-masing bersumber dari Imam Malik.

Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat, bahwa memanah itu lebih daripada menunggang kuda. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menunggang kuda lebih baik daripada memanah. Pendapat jumhurul ulama lebih kuat berdasarkan hadits tersebut. Wallahu a’lam.

Dalam kitab Shabib al-Bukhari, diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Urwah bin Abi al-Ja’d al-Bariqi, bahwa Rasulullah bersabda: “Pada ubun-ubun kuda itu telah ditetapkan kebaikan sampai hari Kiamat kelak, berupa pahala dan ghanimah.” (HR. al-Bukhari)

Firman-Nya: turHibuuna (“Kalian menggentarkan.”) Yaitu, menakut-nakuti. ‘aduwwallaaHi wa ‘aduwwakum (“[Dengan persiapan itu] musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian.”) Yaitu, dari kalangan orang-orang kafir.
Wa aakhariina min duuniHim (“Dan orang-orang selain mereka.”) Muqatil bin Hayyan dan Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang munafik.” Hal ini diperkuat oleh firman Allah Ta’ala:
“Dan di antara orangorang Arab Badui yang di sekeliling kalian itu ada orang-orang munafik, dan juga di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kamilah yang mengetahui mereka.” (QS. At-Taubah: 101)

Firman-Nya: wa maa tunfiquu min syai-in fii sabiilillaaHi yuwaffa ilaikum wa antum laa tudh-lamuun (“Apa saja yang kalian nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepada kalian dan kalian tidak akan dianiaya [dirugikan].”) Maksudnya, apa pun yang kalian nafkahkan untuk jihad, maka Allah akan memberikan balasan bagi kalian secara sempurna dan utuh.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 58

9 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 58“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfaal: 58)

Allah berfirman kepada Nabi-Nya: fa immaa takhaffanna min qaumin (“Dan jika engkau khawatir terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan.”) Yang engkau telah mengambil perjanjian dari mereka. Khiyaanatan (“Pengkhianatan.”) Yang dimaksud dengan pengkhianatan di sini adalah pelanggaran terhadap perjanjian yang diadakan antara dirimu dan diri mereka.

Fanbidz ilaiHim (“Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka.”) Maksudnya, lakukan hal yang sama terhadap mereka. Artinya, beritahukan kepada mereka, bahwa engkau telah menyalahi perjanjian mereka, sehingga engkau dan juga mereka sama-sama mengetahui bahwa engkau menjadi lawan perang bagi mereka dan engkau mengetahui, bahwa mereka menjadi lawan perang bagimu. Selain itu, tidak ada lagi perjanjian antara dirimu dan mereka dalam perjanjian tersebut.

Dari Walid bin Muslim, mengenai firman-Nya: fanbidz ilaiHim ‘alaa sawaa-in (“Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.”) Ia mengatakan: “Yaitu dengan pemberian waktu.”
innallaaHa laa yuhibbul khaa-iniin (“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.”)Hingga walau terhadap hak orang-orang Kafir sekalipun, Allah tidak menyukainya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim bin `Amir, ia menceritakan: Mu’awiyah tengah berjalan di daerah Romawi. Antara dirinya dan mereka terdapat batas waktu akhir perjanjian, kemudian ia bermaksud mendekati mereka. jika batas waktu akhir itu terlampaui, maka ia akan menyerang mereka.
Tiba-tiba ada seorang yang sudah tua yang mengendarai binatang tunggangannya dan berkata: “Allahu Akbar (Allah Mahabesar), Allahu Akbar (Allah Mahabesar), tepatilah janji dan janganlah berkhianat. Sesungguhnya Rasululah pernah bersabda:
“Barangsiapa yang antara dirinya dengan suatu kaum terdapat perjanjian, maka hendaklah ia tidak melepaskan tali perjanjian itu dan tidak menguatkannya, sebelum habis batas waktu akhirnya, atau mengembalikan perjanjian tersebut kepada mereka dengan cara yang jujur.” (HR. Imam Ahmad)

Maka hal itu pun sampai di telinga Mu’awiyah dan kemudian ia mundur kembali. Ternyata orang tua tersebut adalah `Amr bin `Anbasah.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud ath-Thayalisi, dari Syu’bah. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya melalui beberapa jalan, dari Syu’bah.
Sedangkan at-Tirmidzi sendiri mengatakan, bahwa hadits tersebut hasan shahih.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Anfaal Ayat 55-57

9 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Anfaal
(Harta Rampasan Perang)
Surah Madaniyyah; surah ke 8: 75 ayat

tulisan arab alquran surat al anfaal ayat 55-57“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak berirnan. (QS. 8:55) (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). (QS. 8:56) Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. 8:57)” (al-Anfaal: 55-57)

Allah memberitahukan, bahwa seburuk-buruk apa yang berjalan di muka bumi ini adalah orang-orang kafir, karena mereka tidak beriman. Mereka adalah orang-orang yang setiap kali mengadakan perjanjian, mereka selalu melanggar perjanjiannya dan setiap kali menegaskan keimanan, mereka mengabaikannya.

waHum laa yattaquun (“Dan mereka tidak takut.”) Maksudnya, mereka sama sekali tidak takut kepada Allah dalam melakukan perbuatan dosa.
Fa immaa tatsqafannakum fil harb (“Jika engaku menemui mereka dalam peperangan.”) Yakni, kalian dapat memenangkan dan mengalahkan mereka dalam peperangan; fa syarrid biHim man khalfaHum (“Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan [menumpas] mereka.”) Maksudnya, timpakanlah siksaan kepada mereka.

Demikian itulah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri, adh-Dhahhak, as-Suddi, `Atha’ al-Khurasani dan Ibnu `Uyainah. Maknanya adalah, berikanlah siksaan yang keras dan bersikap kasarlah dalam melakukan penyerangan, supaya musuh-musuh yang lain, baik dari kalangan bangsa Arab maupun (selain mereka) menjadi takut dan agar yang demikian itu menjadi pelajaran bagi mereka.

La’allaHum yadzdzakkaruun (“Supaya mereka mengambil pelajaran.”) As-Suddi mengatakan: “Agar mereka berhati-hati dan tidak melakukan pengingkaran, sehingga mereka tidak ditimpa hal yang serupa.”

Bersambung