Tag Archives: syariat

LANGKAH 3 MENGAJARI MEREKA PERKARA-PERKARA SYARIAT YANG MESTI DIKETAHUI

29 Sep

30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama
Salim Sholih Ahmad Ibn Madhi; IslamHouse.com

Anak wajib diajarkan sejak dini perkara-perkara syariat yang harus diketahuinya, seperti shalat, puasa dan yang sepertinya. Hal itu agar mereka tumbuh dengan pertumbuhan yang saleh, seperti ungkapan:
“Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu”.

Contoh praktis:
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:
“Perintahkan anak-anak kalian shalat pada umur tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya jika berumur sepuluh tahun. Pisahkan juga tempat tidur mereka.” (Sunan Abi Dawud no.495 bab: Mata yu’marus Shobi as-Shalah)

&

Hadits Arba’in ke 41: Mengikuti Syari’at Allah

21 Feb

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 41 (Keempat puluh satu)Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kalian sebelum hawa nafsunya mengikuti ajaran yang kubawa.” (Hadits ini shahih, tertera dalam al-Hujjah)

KANDUNGAN HADITS

1. Seorang Muslim adalah manusia yang sempurna
Karena dalam diri seorang muslim terdapat sisi-sisi yang mitsaly (ideal). Antara ucapan dan perbuatannya tidak bertentangan. Demikian juga antara pemikiran dan perilakunya. Bahkan ia adalah manusia yang serasi, selaras, dan seimbang antara hati, ucapan dan semua anggota tubuhnya. Antara akal, perasaan, dan pikiran. Antara ruhani dan jasmani

Lidah seorang muslim, hanya akan mengucapkan apa yang sesuai dengan keyakinan. Aqidahnya akan terefleksi melalui anggota badannya. Sehingga segala tingkah lakunya berada pada jalur yang benar. Ia tidak dikuasai oleh hawa nafsunya, tidak disesatkan oleh bid’ah, tidak terbuai oleh segala kesenangan semu. Semua sikap dan gerakannya mengacu pada hukum-hukum Allah, yang tidak terdapat kesalahan sedikitpun. Inilah yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. dalam sabdanya, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”

2. Hakekat dan macam-macam hawa nafsu
Kadang-kadang, penggunaan kata “al-Hawa” berarti kecenderungan, cinta dan taat pada kebenaran. Seperti yang diucapkan ‘Aisyah ra, “Aku tidak melihat Tuhanmu kecuali segera menuruti (Hawa)mu.” Ini diucapkan setelah turun firman Allah, “Kamu boleh menangguhkan [menggauli] siapa yang kamu kehendaki di antara mereka [istri-istrimu] dan [boleh pula] menggauli siapa yang kamu kehendaki.” [al-Ahzab: 51](HR Bukhari)

Umar ra. berkata, berkaitan dengan tawanan Perang Badar, “Maka Rasulullah saw. mengikuti [hawa] pendapat Abu Bakar ra. dan tidak menuruti pendapatku.”
Penggunaan kata “al-Hawa” juga bisa berarti kecenderungan untuk memenuhi syahwat. Makna inilah yang sering muncull dalam penggunaan kata tersebut. Juga sering disinyalir dalam berbagai nash syar’i dengan mencerca dan memperingatkan kita terhadapnya. Karena hawa nafsu lebih cenderung pada keburukan dan tidak mengindahkan syariat, dengan demikian ia merupakan jalan menuju kesesatan dan kesengsaraan.

Firman Allah yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (Shaad: 26)

3. Hawa nafsu adalah sumber kesesatan
Barangsiapa yang memanjakan hawa nafsunya, maka hawa nafsu akan menyeretnya kepada berbagai perbuatan maksiat dan dosa. Pada dasarnya orang-orang yang menyeleweng, melakukan perbuatan bid’ah, dan ingkar dari manhaj yang jelas dan benar, itu bukan dikarenakan tidak memiliki pemahaman yang jelas dan benar terhadap kebenaran, akan tetapi mereka lebih mengikuti hawa nafsu mereka.

Firman Allah, “Maka jika mereka tidak menjawab [tantanganmu], ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka [belaka]. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim.” (al-Qashash: 50)

4. Mengikuti hawa nafsu sama halnya dengan menjadikannya sebagai tuhan
Ibadah adalah taat dan patuh. Barangsiapa yang taat kepada hawa nafsunya, berarti ia menjadi hambanya. Hawa nafsu akan terus menyertai manusia hingga ia dapat mengendalikannya. Semua gerak-geriknya dikendalikan oleh hawa nafsu, meskipun bertentangan dengan akal sehat dan pemahamannya.

Orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya, menutup mata dan telinganya dari kebenaran. Sehingga mereka tidak bisa mengetahui jalan yang benar.
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Hawa nafsu adalah tuhan yang disembah di dunia.” Lalu ia membaca ayat yang artinya, “Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.” (al-Furqaan: 43)
Rasulullah saw. bersabda: “Di bawah langit ini, tiada tuhan yang disembah lebih besar bahayanya di sisi Allah, selain hawa nafsu.”

5. Manusia yang dimuliakan dengan “akal” tidak selayaknya mengikuti hawa nafsu
Allah swt. telah memberikan kepada manusia sesuatu yang membuatnya berbeda dari makhluk-makhluk lainnya. Allah swt menjadikannya sebagai makhluk mulia.
Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizky yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (al-Israa’: 70)

Karunia ini berupa akal yang bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga ia bisa mengambil yang baik dan menjauhi yang buruk.
Firman Allah, “Dan jiwa serta penyempurnaannya [ciptaannya]. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaan.” (asy-Syams: 7-8)

Manusia pada dasarnya, sangat mungkin menerima kebaikan atau kejahatan. Karena itu, manusia diberi akal agar bisa memilih dan memiliki kemampuan untuk mengendalikan dirinya dari dorongan kejahatan yang senantiasa menariknya. Di samping itu, dengan akal yang dia miliki diharapkan dapat mendorong jiwanya kepada derajat kebaikan dan ketakwaan sehingga dapat menempatkan dirinya pada tingkatan kemuliaan yang layak. Jika hal ini bisa dilakukan manusia, maka perilakunya adalah bukti kekuatan akal yang dimiliki, bahwa ia manusia ideal, dan bahwa ia manusia sempurna.

Namun jika sebaliknya, ia larut dalam hawa nafsu dan tenggelam dalam berbagai kehinaan, maka sifat kemanusiaannya akan hilang, kemuliaan yang diberikan tinggal kenangan, dan indikasi kedunguan dan kelemahannya.
Firman Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9-10)

Diriwyatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pejuang adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsunya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang menjadikan dirinya pengikut hawa nafsunya dan mengharapkan dari Allah harapan-harapan kosong.”
Diriwayatkan Beliau juga bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah orang yang disesatkan oleh hawa nafsunya, dan orang yang dikendalikan oleh ketamakannya.”

Memerangi hawa nafsu adalah buah dari ma’rifatullah, mengetahui kebesaran-Nya, dan merasakan segala nikmat-Nya. oleh karena itu seseorang tidak akan berhenti memerangi hawa nafsunya hingga ia betul-betul terbebas dan hanya beribadah secara ikhlas kepada Allah swt, keimanannya semakin sempurna, dan keyakinannya semakin kokoh. Sehingga ia akan mendapat kemenangan dengan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Firman Allah: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal[nya].” (an-Naazi’aat: 40-41)

6. Mengikuti hawa nafsu adalah kerugian
Mengikuti hawa nafsu, tenggelam dalam kelezatan syahwati, tanpa memperhatikan halal dan haram adalah bentuk penghambaan kepada selain Allah swt. Juga termasuk kedhaliman, tindakan melampaui batas, kebodohan, dan kesesatan. Karena dengan sikap itu, ia lebih mementingkan nikmat daripada Dzat yang memberikan nikmat. Lebih mementingkan barang yang fana daripada yang kekal selamanya. Bahkan apa yang mereka lakukan adalah jalan menuju kehancuran. Firman Allah: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal[nya].” (an-Naazi’aat: 37-39)

7. Tingkatan-tingkatan iman
Jika seorang muslim mengucapkan dua kalimat syahadat, dan bertekad untuk komitmen terhadap syariat Allah, maka ia telah beriman, meskipun pada tingkatan yang paling bawah. Ia telah menjadi muslim dan –insya Allah- mendapat keselamatan di hari Kiamat kelak.

Firman Allah: “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaaHa illallaaH, dengan keyakinan di hatinya maka ia masuk surga.” (HR Bukhari)

Jika setelah itu ia benar-benar komitmen terhadap syariat Allah, dalam semua aspek kehidupan, melakukan yang dihalalkan dan menjauhi yang dilarang, bahkan ia juga menghindari segala perkara syubhat dan menjaga kewara’an tanpa merasa berat ataupun terpaksa, berarti keimanannya telah mencapai kesempurnaan dan berada dalam tingkat tertinggi. Namun jika ia belum benar-benar komitmen, maka masih terdapat kekurangan pada keimanannya.

Adapun orang yang menjauhi syariat Allah, dan bahkan menginginkan yang lain, maka sedikitpun dasar keimanan belum tertanam pada dirinya. Dengan demikian, keislamannya pun tidak sah dan masih tergolong orang-orang kafir yang akan kekal di neraka jahanam.

8. Cinta Allah dan Rasul-Nya
Agar seseorang memiliki keimanan dan bisa mencapai kesempurnaan, maka seorang muslim harus mencintai apa-apa yang dicintai Allah, kecintaan yang dapat membawa seseorang untuk melakukan apa yang diperintahkan. Juga membenci apa-apa yang dibenci Allah, kebencian yang dapat membawa seseorang untuk menjauhi segala apa yang dilarang.

Hal ini tidak dapat terealisasi kecuali jika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, melebihi kecintaannya terhadap segala sesuatu, hingga ia rela mengorbankan apapun demi kepentingan Allah dan Rasul-Nya.
Firman Allah: “Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 24)

Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, anaknya, keluarganya, dan semua manusia.” (HR Bukhari dan Muslim)

9. Indikasi kecintaan adalah mengikuti
Kecintaan yang benar mempunyai konsekuensi bagi orang yang mencintai untuk mengikuti orang yang dicintai. Mengikuti semua apa yang disenangi, baik ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Barangsiapa yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan benar, maka Allah akan menjadikannya mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Ini semua terefleksi dalam semua perilakunya. Senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi semua larangan. Semua ini adalah bukti dari cintanya yang sejati dan tanda keimanan yang hakiki.

Allah swt. berfirman, “Katakanlah, ‘Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imraan: 31)

Barangsiapa yang meninggalkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, atau melakukan apa yang dibenci oleh Allah swt. Padahal ia mampu melakukan sesuatu yang dicintai, atau meninggalkan sesuatu yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada kekurangan pada keimanannya. Karenanya, ia harus melakukan perbaikan. Sebab cinta yang diucapkan perlu bukti yang konkret.

Seorang ulama berkata, “ Seseorang yang mengklaim mencintai Allah sementara perilakunya tidak sesuai dengan syariat Allah, maka ia telah berbohong. Dan setiap orang yang mencintai Allah tapi tidak merasa takut kepada-Nya, maka ia telah tertipu.”
Ulama lain mengatakan, “Tidak benar, orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi ia tidak memperhatikan aturan-aturan-Nya.”
Dalam sebuah syair disebutkan:

Engkau maksiat kepada Allah dan mengaku mencintai-Nya
Sungguh perbuatan tidak terpuji
Jika kecintaanmu tulus, tentulah kamu akan menaati
Karena orang yang mencintai selalu patuh kepada yang dicintai

Sebuah kontradiksi yang amat nyata. Manakala kita melihat orang-orang yang khusyu’ dalam berdzikir, hingga air matanya bercucuran, kepalanya tertunduk, dan mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya. akan tetapi di sisi lain, mereka bergelimang maksiat. Mereka melakukan praktik riba, penipuan, penimbunan barang, ikhtilath [bercampur dengan bukan muhrim tanpa ada alasan yang syar’i], tidak mengindahkan berbagai adab Islami dan lain sebagainya. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang seperti ini. Amiin.

10. Manisnya Iman.
Iman sangat berarti bagi ruhani seorang mukmin. Ia lebih segar dibanding dengan air dingin di saat orang merasa haus dan dahaga. Ia lebih manis dibanding madu bagi orang yang sudah sekian lama merasakan pahit.

Namun kenikmatan itu tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang-orang yang keimanannya mencapai kesempurnaan dan benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak mencintai kecuali karena Allah. Tidak membenci kecuali karena Allah. Tidak memberi atau menolak pemberian kecuali karena Allah.

Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal, jika seseorang melakukannya maka akan merasakan manisnya iman. Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lain, seseorang mencintai saudaranya karena Allah, dan enggan untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana keengganannya untuk dimasukkan ke neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)

11. Berhukum dengan hukum Allah
Termasuk konsekuensi dari keimanan adalah berhukum dengan hukum Allah, dan ridla sepenuhnya dengan ketentuan Allah dalam segala hal. Tidak peduli, apakah hukum tersebut berpihak kepadanya atau merugikannya, dan apakah hukum tersebut sesuai dengan hawa nafsunya atau tidak.

Firman Allah, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak [pula] bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)

“Maka demi Rabbmu, mereka [pada hakekatnya] tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’: 65)

12. Mencintai apa yang dibenci Allah dan Membenci apa yang dicintai Allah adalah kekufuran.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa akar keimanan tidak akan tumbuh kecuali dengan mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah. Sedangkan kesempurnaan iman tidak akan terwujud kecuali dengan melakukan setiap amalan dengan mengacu pada kecintaan yang tidak dimiliki.

Barangsiapa yang tidak memiliki kecintaan seperti ini, maka ia telah kehilangan akar keimmanannya. Sedangkan orang yang mencintai apa yang dibenci Allah, dan membenci yang dicintai Allah, maka ia benar-benar telah kufur dan sesat. Ia adalah orang yang paling merugi di dunia dan di akhirat.

Firman Allah, “Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 8-9)

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena Sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 25-28)

13. Contoh yang ideal
Para shahabat Rasulullah saw. adalah contoh ideal dalam mencintai Allah saw. dan Rasul-Nya. kecintaan mereka hanyalah terhadap berbagai masalah yang diridlai Allah. Kebencian mereka adalah terhadap berbagai yang dibenci Allah. Mereka mempersembahkan apa saja demi rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hawa nafsu mereka mengikuti ketetapan-ketetapan yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Untuk kepentingan ini, mereka rela mengorbankan jiwa, raga dan harta. Mereka rela memerangi orang tua atau meninggalkan istri, keluarga, dan tanah kelahiran. Karena mereka tahu persis keutamaan itu semua.

Sebagai contoh, lihatlah Umar bin Khaththab ra. ketika berkata, “Wahai Rasulallah, engkau lebih saya cintai dari apapun kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, (tidak sempurnya iman kamu) sehingga aku lebih kamu cintai dari dirimu.” Umar ra. terdiam sesaat. Merasakan bahwa Rasulullah saw. memang patut lebih diutamakan dari segalanya. Karena dialah yang telah menyelamatkan dirinya dari siksa neraka. lalu ia berkata, “Sekarang, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Rasulullah saw. bersabda, “Sekarang sudah sempurna imanmu, hai Umar.” (HR Bukhari)

Wajarlah jika mereka ini mendapat pujian dari Allah secara langsung. Bahkan pujian itu diabadikan dalam ayat-Nya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)

14. Setiap muslim diharuskan menyesuaikan setiap perbuatannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

15. Barangsiapa yang mengakui kebenaran syariat Allah dengan hatinya, mengucapkan pengakuan tersebut dengan lisannya, namun perbuatannya tidak sesuai dengan syariat yang diyakininya, maka ia adalah orang fasik.
Barangsiapa yang perbuatannya sesuai dengan syariat, namun dalam keyakinan dan pikirannya ia mengingkari kebenaran syariat Allah, maka ia termasuk munafik.
Barangsiapa yang memperlakukan hukum-hukum Allah, sesukanya, ia termasuk zindiq.

16. Termasuk konsekuensi dari keimanan adalah membela dan mempertahankan syariat Allah sw.

&

Rasmul Bayan

8 Jan

Sarah  Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

A. Makna Shahadatain
1. Urgensi Syahadatain
2. Makna yang terkandung dalam syahadatain
3. Makna “ilah”
4. Loyalitas dan penolakan
5. Kalimat Allah lah yang tertinggi
6. Tahapan interaksi dengan syahadatain
7. Syarat-syarat diterimanya syahadatain
8. Ridla (kerelaan) dalam syahadat
9. Realisasi makna syahadatain
10. Realisasi syahadatain
11. Celupan dan perubahan

B. Ma’rifatullah
1. Urgensi mengenal Allah
2. Cara mengenal Allah
3. Penghalang ma’rifatullah
4. Bukti keberadaan Allah
5. Pengesaan Allah
6. Memurnikan ibadah
7. Bahaya syirik
8. Hidup di bawah naungan tauhid
9. Makna-makna laa ilaaHa illallaaH
10. Cinta kepada Allah
11. Tingkatan cinta
12. Konsekuensi cinta
13. Kesertaan Allah
14. Lakukan hanya yang terbaik
15. Ilmu Allah

C. Ma’rifatur rasul
1. Kebutuhan manusia terhadap Rasul
2. Definisi rasul
3. Kedudukan rasul
4. Sifat-sifat Rasul
5. Tugas Rasul
6. Karakteristik Risalah Muhammad saw.
7. Kewajiban kita kepada Rasul saw.
8. Hasil mengikuti Rasul saw.

D. Mengenal Islam
1. Makna Islam
2. Islam dan sunnatullah
3. Sifat Islam
4. Kesempurnaan Islam
5. Islam sebagai Pedoman hidup
6. Islam sebagai akhlak
7. Islam sebagai fikrah
8. Islam agama yang benar
9. Tabiat agama Islam
10. Amal Islami

E. Mengenal Manusia
1. Definisi manusia
2. Hakekat manusia
3. Potensi manusia
4. Jiwa manusia
5. Sifat manusia
6. Hakekat ibadah
7. Cakupan ibadah
8. Diterimanya ibadah
9. Hasil ibadah
10. Buah ketakwaan
11. Keseimbangan
12. Misi manusia
13. Membangun kejayaan

F. Mengenal al-Qur’an
1. Definisi al-Qur’an
2. Nama-nama al-Qur’an
3. Konsekuensi iman kepada al-Qur’an
4. Bahaya melupakan al-Qur’an
5. Syarat mendapat manfaat al-Qur’an

G. Ghazwul Fikri
1. Perang pemikiran
2. Tahapan perang pemikiran
3. Sarana perang pemikiran
4. Bahaya perang pemikiran
5. Sebab-sebab jahiliyah

H. Golongan Setan
1. Golongan setan
2. Ciri-ciri golongan setan

I. Problematikan dakwah
1. Kondisi kaum Muslim saat ini
2. Penyakit umat dalam dakwah
3. Problematika umat

J. Al-Haq wa al-Bathil
1. Konflik antara haq dan bathil
2. Kekuatan al-haq
3. Furqan
4. Istiqamah
5. Hizbullah

K. Takwinul Ummah
1. Membentuk umat
2. Membentuk kepribadian Islam
3. Berpegang teguh pada tali Allah
4. Perubahan Islami
5. Menyatukan hati
6. Sebab-sebab perpecahan dan solusinya
7. Ukhuwah Islamiyah

L. Tarbiyah Islamiyah
1. Urgensi tarbiyah
2. Tujuan tarbiyah
3. Sarana-sarana tarbiyah
4. Prinsip kesinambungan tarbiyah

M. Fiqih Dakwah
1. Keutamaan dakwah
2. Makna dakwah
3. Fiqh dakwah
4. Dasar-dasar tarbiyah takwiniyah
5. Unsur-unsur dakwah
6. Karakteristik dakwah
7. Rabbaniyatud dakwah
8. Bagaimana beradaptasi dengan Islam
9. Peran pemuda dalam mengemban Risalah
10. Penegakan agama
11. Pilar-pilar kebangkitan umat

 

Peranan Syariat dalam Pendidikan Perilaku

3 Jan

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Syariat Islam memiliki kekhasan aspek pendidikan yang terlihat jelas dalam penyajian yang menggunakan metode targhib dan tarhib, pengambilan hikmah atau pelajaran dari sejarah, atau dorongan untuk takwa dan takut kepada Allah swt. Karenanya kita banyak menemukan hukum-hukum arahan al-Qur’an yang mengatakan: “….agar kamu bertakwa.” Atau menyucikan atau membersihkan, seperti tercantum dalam firman Allah: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikana mereka…” (at-Taubah: 103).

Aplikasi syariat terlihat jelas dalam bentuk perintah dan larangan pengharaman dan penghalalan, pembolehan dan pelarangan, hudud, hukuman, qishash, dan bimbingan hingga cara atau metode tertentu dalam jual beli, perkawinan, perjanjian, serta berbagai masalah hidup lainnya.

a. Syariat: Pengontrol Perilaku Individu
Jika ajaran atau syariat telah terpatri dalam diri dan perasaan individu, syariat akan menjadi pengontrol perilaku seorang muslim. Dengan demikian seorang muslim akan menjadikan syariat sebagai acuan utama ketika dia dihadapkan pada suatu masalah, misalnya dalam jual beli, bergaul dan lain-lain.

Kontrol perilaku ini berbeda dengan batasan-batasan yang secara mutlak mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Pengertian kontrol mengacu kepada ajakan seksama dalam suatu masalah, misalnya aspek saling merugikan diharamkan dalam jual beli, dengan demikian kita dilarang untuk mendekatinya. Kontrol adalah sesuatu yang mengatakan bahwa pandangan adalah panah beracun. Dengan demikian kita harus menjaga diri dari memandang wanita lain. Jika pun terpaksa misalnya ingin mengetahui pribadinya, kita melihat atau memandang wanita itu tanpa tujuan maksiat dan tidak berulang-ulang. Tentang syariat ini, sedikitnya umat Islam harus mengetahui batas-batas minimal penerapan syariat sehingga ketika dia ke pasar, dia memahami batasan halal dan haram dalam jual beli.

Pengembangan kontrol tersebut dapat disempurnakan melalui halaqah atau pengkajian ilmu. Artinya setiap orang harus meluangkan waktunya untuk mencari ilmu. Masjid-masjid yang biasanya dipenuhi jamaah shalat, harus juga dipenuhi oleh jamaah yang menuntut ilmu dan memiliki motivasi yang satu, yaitu ketakwaan kepada Allah. Dengan demikian tidak ada seorang muslim pun yang melarikan diri dari syariat. Itulah hal penting yang membedakan syariat Islam dengan undang-undang buatan manusia.

b. Syariat: Pengontrol Perilaku Sosial
Jika masyarakat muslim membiasakan aplikasi syariat dalam tatanan masyarakat atau majelis ilmu, hukum-hukum tersebut akan menjadi konsep atau terminologi sosial. Sebagai gambaran, ada seorang yang dipermalukan dengan panggilan ribawi (pemakan riba). Pemberina istilah itu menunjukkan betapa masyarakat yang terdorong oleh perasaan religius menolak orang yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan. Begitu juga dengan pemabuk, orang fasik, atau pelacur. Islam lah yang telah mengembangkan fitrah sosial ini. Islam memerintahkan kema’rufan dan melarang kemungkaran. Bagi Islam, meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu indikator runtuhnya masyarakat. Dalam al-Qur’an Allah swt berfirman:

“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78-79)

Dari Abu Bakar, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya apabila manusia melihat kemungkaran kemudian tidak mengubahnya, maka Allah nyaris meliputi mereka dengan siksaan-Nya.” (HR Imam Ahmad)

c. Syariat: Pengontrol Perilaku Politis
Jika sebuah pemerintahan menjalankan syariat, ajaran-ajaran tersebut akan menajdi perilaku politik yang dijalankan negara bersama seluruh rakyatnya. Negera akan memotong tangan pencuri, merajam pezina, melarang khamr, mewajibkan hijab, mengawasi jual beli, melarang monopoli, menyebarkan ilmu, menyebarkan para da’i, mengadakan bimbingan keagamaan, mengibarkan panji Islam, serta mengarahkan sarana informasi secara islami.

Generasi mudanya dididik untuk lebih dalam mengenal konsep-konsep Islam, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat melalui seruan-seruan dakwah yang dikumandangkan dari menara atau mimbar masjid, radio, televisi, media massa dan lain-lain. Dengan demikian pandangannya tidak akan tertuju kecuali pada kebaikan, pendengarannya tidak akan menyimak sesuatu yang dimurkai Allah, dan dalam dirinya tidak akan terbersit niat selama kharisma negera Islam dan umatnya melarang semua perbuatan itu.

Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa syariat Islam mendidik manusia melalui tiga metode berikut:

– Pertama, pendidikan psikologis
Yang tujuan utamanya adalah diri sendiri. Pengontrol utamanya adalah rasa takut kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Pelaksanaan syariat didasarkan para rasa takut terhadap murka dan azab Allah, serta ingin memperoleh keridlaan Allah. Bara metode ini kadang-kadang padam pada sebagian orang, atau disingkirkan oleh orang yang dalam hatinya tidak terpatri keimanan. Akibatnya, nafsunya membujuknya untuk mempermainkan kehormatan Islam. Orang yang memiliki penyakit hati senantiasa menginginkan harta atau syahwat yang diharamkan. Untuk itu, syariat Islam mengobatinya melalui metode saling menasehati.

– Kedua, saling menasehati serta berpesan dalam kebenaran dan kesabaran
Masyarakat yang antusias terhadap syariat Allah dan kemuliaan-Nya tidak akan membiarkan kemungkaran tumbuh, misalnya meninggalkan shalat, zakat, shaum atau jihad. Mereka akan menolong orang yang meninggalkan salah satu pokok Islam tersebut untuk berjalan bersama-sama atau membantu mendidik anak-anaknya.

– Ketiga, mewujudkan sistem pemerintahan yang melaksanakan syariat dengan tujuan stabilitas keamanan, pemantapan kekuasaan, serta keadilan syariat bagi manusia.

Dalam mewujudkan konsep-konsep Islam dan aplikasinya dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, ketiga metode tersebut saling menopang. Dengan demikian kehidupan menjadi lebih dekat pada kesempurnaan, kebahagiaan, keberadaban, kesejahteraan, tanggung jawab, ketentraman, dan keistiqamahan. Karena dasar utama syariat Islam adalah keimanan, peribadahan, dan ketakwaan kepada Allah lahirlah individu Islami yang mengamalkan syariat Islam berdasarkan ketakwaannya. Sebaliknya di negara-negara yang memiliki undang-undang positif buatan manusia, manusia dibiarkan dalam keinginan pribadinya. Itulah keistimewaan terbesar yang membedakan syariat Islam dengan perundang-undangan buatan manusia.

&

Tarbiyah Islam

8 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

A. Makna Shahadatain
1. Urgensi Syahadatain
2. Makna yang terkandung dalam syahadatain
3. Makna “ilah”
4. Loyalitas dan penolakan
5. Kalimat Allah lah yang tertinggi
6. Tahapan interaksi dengan syahadatain
7. Syarat-syarat diterimanya syahadatain
8. Ridla (kerelaan) dalam syahadat
9. Realisasi makna syahadatain
10. Realisasi syahadatain
11. Celupan dan perubahan

B. Ma’rifatullah
1. Urgensi mengenal Allah
2. Cara mengenal Allah
3. Penghalang ma’rifatullah
4. Bukti keberadaan Allah
5. Pengesaan Allah
6. Memurnikan ibadah
7. Bahaya syirik
8. Hidup di bawah naungan tauhid
9. Makna-makna laa ilaaHa illallaaH
10. Cinta kepada Allah
11. Tingkatan cinta
12. Konsekuensi cinta
13. Kesertaan Allah
14. Lakukan hanya yang terbaik
15. Ilmu Allah

C. Ma’rifatur rasul
1. Kebutuhan manusia terhadap Rasul
2. Definisi rasul
3. Kedudukan rasul
4. Sifat-sifat Rasul
5. Tugas Rasul
6. Karakteristik Risalah Muhammad saw.
7. Kewajiban kita kepada Rasul saw.
8. Hasil mengikuti Rasul saw.

D. Mengenal Islam
1. Makna Islam
2. Islam dan sunnatullah
3. Sifat Islam
4. Kesempurnaan Islam
5. Islam sebagai Pedoman hidup
6. Islam sebagai akhlak
7. Islam sebagai fikrah
8. Islam agama yang benar
9. Tabiat agama Islam
10. Amal Islami

E. Mengenal Manusia
1. Definisi manusia
2. Hakekat manusia
3. Potensi manusia
4. Jiwa manusia
5. Sifat manusia
6. Hakekat ibadah
7. Cakupan ibadah
8. Diterimanya ibadah
9. Hasil ibadah
10. Buah ketakwaan
11. Keseimbangan
12. Misi manusia
13. Membangun kejayaan

F. Mengenal al-Qur’an
1. Definisi al-Qur’an
2. Nama-nama al-Qur’an
3. Konsekuensi iman kepada al-Qur’an
4. Bahaya melupakan al-Qur’an
5. Syarat mendapat manfaat al-Qur’an

G. Ghazwul Fikri
1. Perang pemikiran
2. Tahapan perang pemikiran
3. Sarana perang pemikiran
4. Bahaya perang pemikiran
5. Sebab-sebab jahiliyah

H. Golongan Setan
1. Golongan setan
2. Ciri-ciri golongan setan

I. Problematikan dakwah
1. Kondisi kaum Muslim saat ini
2. Penyakit umat dalam dakwah
3. Problematika umat

J. Al-Haq wa al-Bathil
1. Konflik antara haq dan bathil
2. Kekuatan al-haq
3. Furqan
4. Istiqamah
5. Hizbullah

K. Takwinul Ummah
1. Membentuk umat
2. Membentuk kepribadian Islam
3. Berpegang teguh pada tali Allah
4. Perubahan Islami
5. Menyatukan hati
6. Sebab-sebab perpecahan dan solusinya
7. Ukhuwah Islamiyah

L. Tarbiyah Islamiyah
1. Urgensi tarbiyah
2. Tujuan tarbiyah
3. Sarana-sarana tarbiyah
4. Prinsip kesinambungan tarbiyah

M. Fiqih Dakwah
1. Keutamaan dakwah
2. Makna dakwah
3. Fiqh dakwah
4. Dasar-dasar tarbiyah takwiniyah
5. Unsur-unsur dakwah
6. Karakteristik dakwah
7. Rabbaniyatud dakwah
8. Bagaimana beradaptasi dengan Islam
9. Peran pemuda dalam mengemban Risalah
10. Penegakan agama
11. Pilar-pilar kebangkitan umat

Peran Pemuda dalam Mengemban Risalah Dakwah

8 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Masa muda merupan masa yang paling indah. Pada saat itu kekuatan, gairah, dan dinamika telah mencapai puncaknya, menuju puncak kearifan dan kesempurnaan. Karena itu pemuda selalu menjadi tulang punggung setiap perjuangan, baik dalam tujuan dan misi yang positif maupun yang negatif. Pada kondisi lain, masa muda merupakan nikmat yang akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat.

Rasulullah swa. Bersabda: “Tidak akan beranjak dua kaki anak Adam sebelum ia ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa digunakan, usia mudanya untuk apa dihabiskan, ilmunya untuk apa diamalkan, serta hartanya dengan cara apa didapatkan dan untuk apa digunakan.”

Adalah kehidupan yang arif apabila orang menggunakan masa mudanya dengan kegiatan yang positif. Dalam konteks dakwah dan kebaikan, diharapkan dapat memberikan kontribusi secara baik dalam mengemban risalah para nabi ini. Peran yang dapat mereka lakukan dalam kaitan ini adalah:

1. Membangkitkan semangat
Pemuda Islam senantiasa mempunyai gairah untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di sekitar problematika dan permasalahan yang terjadi disekitarnya. Pemuda Islam adalah kader yang bersih dan belum banyak tercemari fitrahnya. Nilai-nilai, idealisme, dan fitrah yang suci akan memberontak menghadapi realitas yang bertentangan dengannya. Karena itu mereka akan selalu mencari jawab atas permasalahan yang ada. Hal ini akan memperngaruhi mereka dan masyarakatnya untuk kembali kepada fitrah dan kebenaran yang hakiki.

2. Penyambung generasi dan penerus perjuangan
Mereka adalah harapan generasi tua untuk melanjutkan estafet perjuangan yang telah dilakukan dengan susah payah dan pengorbanan yang tidak sedikit. Posisi sebagai penerus dilakukan apabila generasi sebelumnya adalah generasi yang shalih sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an. Orang-orang shalih dan diikuti oleh anak keturunan mereka dengan iman. Sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Furqaan ayat 74 atau dalam surah ath-Thuur: 21.

3. Sebagai pengganti generasi
Apabila generasi sebelumnya adalah generasi yang kurang atau tidak baik, maka menjadi pengganti generasi. Proses penggantiannya mungkin dilakukan dengan kedamaian, mungkin dengan kekerasan, atau bahkan bisa saja dengan pemusnahan dari Allah kemudian Allah swt. melahirkan generasi baru dari mereka atau dari tempat lain. Sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Maidah ayat 54.

4. Memperbarui semangat dan mentalitas umat
Kadang terjadi bahwa suatu bangsa mengalami kemunduran akibat mentalitas rakyatnya yagn mengalami dekadensi sampai pada taraf bobrok. Hal ini sering terjadi ketika mereka telah berputus asa menghadapi problema yang tidak kunjung berakhir meskipun usaha telah dilakukan. Generasi muda akan mengalirkan darah segar dan semangat baru yang dapat membangkitkan semangat yang loyo, membangunkan jiwa yang putus asa, dan mengobarkan api yang padam.

5. Sebagai unsur perbaikan
Keberadaannya di tengah masyarakat akan berfungsi sebagai agen yang aktif menyebarkan dan memfungsikan potensi yang ada di masyarakatnya menuju perubahan dan perbaikan. Dari merekalah masyarakat mendapatkan energi, bersama mereka masyarakat hidup dan bergerak kembali melakukan kebaikan dan amal shalih.

Menyadari peranannya yang berat itu, para pemuda Islam harus membekali diri dengan tarbiyah. Bekal tarbiyah dapat mengasah potensi fitrahnya; mencari hikmah dan ilmu yang dapat mengembangkan keafirannya; dan memupuk jiwa kepemimpinan dan kewiraan yang selalu siap bergerak dengan kapasitas dan posisinya masing-masing.

&

Beradaptasi Dengan Islam

8 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Keislaman seseorang baru dikatakan benar jika ia telah menyesuaikan dirinya dengan Islam hingga ia tampil sebagai seorang muslim dengan kepribadian dan identitas Islam yang khas. Kepribadian tersebut terefleksikan dalam berbagai maliyah.

1. Aqidah
Qaidah Islam yang tertanam di dalam jiwa akan mewarnai keyakinan, perasaan, pikiran, dan tingkah laku. Maka, lahirlah seorang pribadi yang Islami. Kepribadian Islam adalah unsur utam kekuatan personal Islam.

2. Ukhuwwah
Persaudaraan iman dapat dikatakan telah tercapai apabila mereka: saling mengenal, saling memahami, merasa senasib-sepenanggungan, lantas beramal jama’i. Apabila keempat hal tersebut dilakukan, akan terwujudlah kekuatasn jamaah. Setiap muslim adalah potensi Islam dan kaum muslimin. Ia akan memberikan kontribusi kepada Islam dengan kekuatan jiwa dan kepribadiannya. Di samping itu, ia akan memperbanyak jumlah kaum muslimin.

3. Materi
Pemenuhan aspek ini dengan menunaikan zakat, infak, shadaqah, mengisi kotak amal, dan lain-lain. Harta yang mereka infakkan di jalan Islam akan menjadi kekuatan materi bagi Islam terutama kekuatan finansial.
Apabila penyesuaian tersebut telah dilakukan,selanjutnya setiap muslim harus beradaptasi, menyesuaikan diri untuk senantiasa mampu bergerak Islami. Sebab Islam selalu bergerak dinamis sehingga ia pun dituntut untuk bergerak seiring dengannya.

Semangat yang harus dibangun dalam gerak itu adalah dalam rangka untuk beribadah kepada Allah dan merealisasikan keimanan dalam wujud amal nyata. Iman yang benar harus memenuhi tiga aspek yaitu secara jujur mengakui dengan hati, mengikrarkannya dengan lisan, dan mengamalkannya dengan seluruh anggota badan.

Pengakuan hati akan melahirkan kekuatan untuk melakukan perlawanan, pernyataan lisan akan melahirkan pengaruh, sedangkan amal nyata akan mendatangkan hasil yang baik nan produktif.

Pengakuan dan pembenaran yang demikian itulah yang memberikan kedudukan tinggi dan mulia di dunia dan akhirat seperti yang Allah janjikan.

&

Rabbaniyatud Dakwah

8 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Dakwah yang berorientasi dan bernuansa ketuhanan adalah dakwah yang memenuhi kualitas sebagai berikut:

1. Misi yang berorientasi ketuhanan, yakni apabila memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
– Prinsip-prinsipnya bernuansa ketuhanan.
– Sumbernya dari Allah, didasarkan pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan sumber-sumber hukum Islam lainnya.
– Manhaj yangt bernuansa ketuhanan
– Tujuan yang bernuansa ketuhanan
– Jalan yang bernuansa ketuhanan
– Untuk meninggikan kalimat Allah.

2. Orang-orang yang bernuansa ketuhanan.
Kriteria ini dapat dikatakan terpenuhi apabila orang-orang yang ada dan terlibat di dalam dakwah [terutama para aktifitasnya] menunjukkan hal-hal berikut:
a. Mengajarkan kitab suci pada orang-orang yang didakwahinya
b. Mereka sendiri tetap mempelajari kitab suci dan mengkajinya karena ia adalah bekal yang tak pernah habis dan sumber yang tak pernah kering.
c. Tak pernah merasa hina karena kebesaran dan kemuliaan adalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.
d. Tak pernah merasa lemah dalam memperjuangkan agama Allah karena mereka memiliki orientasi yang jelas dan berpandangan jauh kedepan.

3. Jamaah yang bernuansa ketuhanan
Jamaah terdiri dari pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. Setiap dakwah dan gerakan memiliki penggerak dan pengikut yang mendukungnya. Dakwah yang robbani adalah apabila:
a. Pemimpinnya bernuansa ketuhanan, hal ini terlihat dari pemikiran, visi, simat, ucapan dan perilakunya.
b. Anggotanya bernuansa ketuhanan sebagaimana para pemimpinnya.
c. Ukhuwah di antara mereka bernuansa ketuhanan.
d. Mereka adalah jamaah yang kokoh.

&

Karakteristik Dakwah

7 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Sejak dua dasawarsa terakhir ini dakwah Islam mengalami kemajuan, namun usaha-usaha untuk menyesatkan umat juga semakin gencar dilakukan, bahkan di antaranya ada yang mengatasnamakan Islam. Rasulullah saw. pernah mengatakan bahwa akan ada da’i-da’i yang menyeru pada pintu neraka, mereka berkata dengan bahasa kita dan berpakaian dengan pakaian kita. Karena itu kesadaran dakwah hendaklah disertai dengan pengetahuan akan karakteristiknya. Dakwah yang benar dan lurus memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. rabbaniyyah [berorientasi ketuhanan]. Segala elemen di dalam dakwah diorientasikan kepada Allah; berawal dari Allah, berakhir pun kepada Allah.

2. Islamiyyah gobla jam’iah [keislaman sebelum organisasi], yang disampaikan dan menjadi agenda utama dakwah adalah Islam itu sendiri. Organisasi hanyalah merupakan alat dan cara.

3. Syamil [komprehensif] dan tidak sebagian-sebagian. Islam adalah satu kesatuan sistem yang bagian-bagiannya tidak terpisahkan satu sama lain.

4. Mu’ashirah [aktual-modern], dan tidak konservatif. Dakwah harus selalu dapat menjawab dan menyelesaikan problematika zaman. Segala yang berbau dakwah tidak ada yang kadaluwarsa.

5. Mahaliyah wa’alamiyah [lokal dan internasional]. Islam mempunyai sifat semestawi. Namun Islam juga memasyarakat. Artinya, dakwah Islam juga memberikan perhatian yang sama seriusnya kepada permasalahan lokal.

6. ‘Ilmiyah [selaras dengan logika]. Dakwah Islam selalu berusaha memberikan kesadaran islami. Karena Islam bukan dogma. Islam membangkitkan kesadaran atas dasar makrifat dengan hujjah yang nyata.

7. Bashirah Islamiyyah [pandangan Islami]. Gagasan, konsepsi, dan pemikiran yang ada di dalamnya selalu islami, tidak sekuler, materialis, kapitalis, liberal dan sejenisnya.

8. Inqilabiyah [perubahan total], bukan reformasi tambal sulam, sehingga akan jelas antara yang haq dan yang batil. Upaya ini melahirkan ketakwaan.

9. Mana’atul Islam [kekebalan Islam]
Dakwah memberikan kekebalan Islam melalui:
– Penguasaan teori, yaitu dengan memahami prinsip, fikrah dan sistem.
– Penguasaan moral, diperoleh dengan berbagai latihan: kemauan yang kokoh dan kesetiaan yang kokoh.
– Penguasaan amal, dicapai melalui: pergerakan yang berkelanjutan dan kesadaran berkorban.
&

Unsur- unsur Dakwah

7 Nov

Sarah Rasmul Bayan Tarbiyah; Jasiman Lc.

Unsur-unsur dakwah yang paling utama dapat kita pahami di antaranya dari ayat-ayat tentang dakwah. “Katakanlah [hai Muhammad], ‘Inilah jalan [agama]ku. Aku dan orang-orang yang mengikuti ku mengajak [kamu] kepada Allah atas dasar bashirah [hujjah yang nyata]. Mahasuci Allah, aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

Anasir-anasir tersebut tersirat pada lafadz-lafadz yang ada di dalamnya, yaitu:

– Qul [katakanlah], mengisyaratkan syari’atud dakwah [legalitas dakwah], yaitu bahwa dakwah merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah.

– HaadziHii sabili [inilah jalanku], menunjukkan risalah [misi] dakwah yang harus dikerjakan secara baik dan tidak menggunakan jalan lain karena Islam hanya satu, harus diikuti, dan tidak boleh mengikuti jalan lain yang akan menyesatkan.

– Ad’u [aku mengajak], menggunakan fi’il mudhari’. Ini memberi petunjuk bahwa dakwah adalah gerak yang berkelanjutan. Tidak ada kata berhenti dalam dakwah. Bergerak mencapai tujuan, bila sudah tercapai, tetap bekerja untuk memelihara dan meningkatkan kualitas-kuantitasnya. Demikian hingga Allah mewarisi bumi ini berikut isinya.

– ilallaaH [kepada Allah], menunjuk tujuan akhir yang benar dalam dakwah yaitu mencapai ridla Allah. Dakwah adalah proyek Allah, maka dakwah harus dimaksudkan untuk mendapat ridla dan balasan hanya dari-Nya. Keuntungan dunia hanya merupakan efek yang betapapun besarnya tetap kecil dibanding pahala dan keridlaan Allah.

– ‘Alaa bashirah [atas dasar hujjah yang nyata], menunjukkan bahwa dakwah harus didasarkan pada minhaj [pedoman dan konsepsi yang jelas] bukan dogma. Ini penting agar orang menentukan pilihan atas dasar kesadarannya.

– Ana [aku], menunjukkan qiyadah [pemimpin] yang tulus ikhlas dalam dakwah, tidak mengharap selain ridla Allah. Rasulullah saw. adalah sebaik-baik referensi, sebaik-baik teladan. Untuk dakwahnya beliau telah mengorbankan segala yang mahal dan berharga, jiwa, harta dan raganya.

– Wa manittaba’ani [dan orang-orang ang mengikutiku], menunjuk pendukung dan pasukan yang taat. Dakwah tidak akan dapat mewujudkan tujuannya bila tidak didukung oleh tentaranya yang taat.

– subhaanallaaH [Mahasuci Allah], menunjukkan dedikasi dan totalitas yang harus diberikan untuk dakwah.

Wa maa ana minal musyrikiin (“Aku tidak termasuk orang yang syirik”), menunjukkan semangat dan target dakwah yaitu tauhid, membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk. Dakwah merupakan perwujudan penghambaan kepada al-Khaliq semata.

&