Tag Archives: tafsir al-Qur’an

Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama-Nama Surah Al-Qur’an Anak Muslim

18 Okt

Mewarnai Gambar Kaligrafi
Nama-Nama Surah Al-Qur’an Anak Muslim

1. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Fatihah
2. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Baqarah
3. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ali ‘Imraan
4. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Nisaa’
5. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Maa-idah
6. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-An’am
7. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-A’raaf
8. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Anfaal
9. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Taubah
10. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Yunus
11. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Huud
12. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Yusuf
13. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ar-Ra’d
14. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ibrahim
15. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Hijr
16. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Nahl
17. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Israa’
18. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Kahfi
19. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Maryam
20. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah ThaaHaa
21. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Anbiyaa’
22. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Hajj
23. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mu’minuun
24. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Nuur
25. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Furqaan
26. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Asy-Syu’araa’
27. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Naml
28. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qashash
29. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-‘Ankabuut
30. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ar-Ruum
31. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Luqman
32. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah As-Sajdah
33. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Ahzab
34. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Saba’
35. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Faathir
36. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Yaasiin
37. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ash-Shaaffaat
38. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Shaad
39. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Az-Zumar
40. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mu’min
41. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Fushshilat
42. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Asy-Syuuraa
43. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Az-Zukhruf
44. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ad-Dukhan
45. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-jaatsiyah
46. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Ahqaaf
47. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Muhammad
48. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Fath
49. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Hujuraat
50. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Qaaf
51. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Adz-Dzaariyaat
52. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ath-Thuur
53. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Najm
54. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qamar
55. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ar-Rahmaan
56. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Waaqi’ah
57. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Hadid
58. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mujaadilah
59. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Hasyr
60. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mumtahanah
61. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ash-Shaff
62. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Jumu’ah
63. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Munaafiquun
64. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Taghaabun
65. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ath-Thaalaq
66. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Tahriim
67. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mulk
68. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qalam
69. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Haaqqah
70. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Ma’aarij
71. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Nuuh
72. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Jinn
73. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Muzzammil
74. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Muddatstsir
75. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qiyamah
76. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Insaan
77. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Mursalaat
78. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Naba’
79. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Naazi’aat
80. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah ‘Abasa
81. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Takwiir
82. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Infithaar
83. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Muthaffifiin
84. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Insyiqaaq
85. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Buruuj
86. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Ath-Thaariq
87. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-A’laa
88. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Ghaasyiyah
89. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Fajr
90. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Balad
91. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Asy-Syams
92. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Lail
93. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Adl-Dluhaa
94. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Insyirah
95. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Tiin
96. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-‘Alaq
97. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qadr
98. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Bayyinah
99. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Zalzalah
100. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al’Aadiyaat
101. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Qaari’ah
102. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah At-Takaatsur
103. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-‘Ashr
104. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Humazah
105. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Fiil
106. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Quraisy
107. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Maa’uun
108. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Kautsar
109. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Kaafiruun
110. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Nashr
111. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Masad/ Al-Lahab
112. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Ikhlash
113. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah Al-Falaq
114. Mewarnai Gambar Kaligrafi Nama Surah An-Naas

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 51-53

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 51-53
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 51-53“Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empatpuluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Baqarar: 51) Kemudian sesudah itu Kami ma’afkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (QS. 2:52) Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. 2:53)

Allah berfirman: “Ingatlah berbagai nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, yaitu berupa ampunan yang Ku-berikan kepada kalian atas tindakan kalian menyembah anak sapi setelah kepergian Musa untuk waktu yang ditentukan Rabb-Nya, yaitu setelah habis masa perjanjian selama 40 hari.” Itulah perjanjian yang disebutkan dalam Surat al-A’raaf dalam firman-Nya: “Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa tiga puluh hari dan Kami menambahnya dengan sepuluh hari.” (QS. Al-A’raaf: 142).

Ada pendapat yang menyatakan, yaitu bulan Dzulqa’dah penuh ditambah dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Hal itu terjadi setelah mereka bebas dari kejaran Fir’aun dan selamat dari tenggelam ke dasar laut.

Firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Kami memberikan al-Kitab kepada Musa.” Yaitu kitab Taurat. Dan “wal furqaan” yaitu kitab yang membedakan antara yang haq dan yang batil, dan [membedakan pula antara] petunjuk dan kesesatan. La’allakum taHtaduun (“agar kalian mendapat petunjuk”). Peristiwa itu juga terjadi ketika mereka berhasil keluar dari laut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh konteks dalam ayat yang terdapat dalam surah al-A’raaf, juga firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia, petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 43).

Ada yang berpendapat, “wa” pada ayat tersebut adalah “zaidah” (tambahan), dan artinya, “Kami telah memberikan kepada Musa Kitab al-Furqan. Namun pendapat ini gharib (aneh). Ada juga pendapat yang menyatakan, “wawu “itu adalah “wawu athaf” (kata sambung meskipun bermakna sama). Sebagaimana yang diungkapkan seorang penyair:

Dia menyerahkan kulit kepada orang yang akan mengukirnya
Ternyata kata-katanya hanya dusta dan bualan

Jadi dusta dalam syair di atas juga bermakna kebohongan.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 49-50

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 49-50
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 49-50Dan (ingatlab) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu. (QS. Al-Baqarah: 49) Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan. (QS. Al-Baqarah: 50)

Allah berfirman: “Hai Bani Israil, ingatlah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, yang telah menimpakan siksaan yang sangat berat.”
Yaitu, Aku telah menyelamatkan kalian dari mereka dan membebaskan kalian dari tangan mereka, dengan ditemani Musa as, padahal dahulu Fir’aun dan para pengikutnya menimpakan adzab yang sangat hebat kepada kalian.

Hal itu mereka lakukan karena Fir’aun yang dilaknat Allah itu pernah bermimpi yang sangat merisaukannya. la bermimpi melihat api yang keluar dari Baitul Maqdis. Kemudian api itu memasuki rumah orang-orang Qibti di Mesir kecuali rumah Bani Israil. Makna mimpi tersebut adalah bahwa kerajaannya akan lenyap binasa melalui tangan seseorang yang berasal dari kalangan Bani Israil. Kemudian disusul laporan dari orang-orang dekatnya saat membicarakan hal itu, bahwa Bani Israil sedang menunggu lahirnya seseorang bayi laki-laki di antara mereka, yang karenanya mereka akan meraih kekuasaan dan kedudukan tinggi.

Demikianlah yang diriwayatkan dalam hadits yang membahas tentang fitnah. Sejak saat itu, Fir’aun pun memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil yang dilahirkan setelah mimpi itu, dan membiarkan bayi-bayi perempuan tetap hidup. Selain itu, Fir’aun juga memerintahkan agar mempekerjakan Bani Israil dengan berbagai pekerjaan berat dan hina.

Dalam ayat ini al-‘adzab ditafsirkan dengan penyembelihan anak laki-laki. Sedangkan pada surat Ibrahim, disebutkan dengan kata sambung “wa” (dan), sebagaimana pada firman-Nya: “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” (QS. Ibrahim: 6). Penafsiran mengenai hal ini akan dikemukakan pada awal surat al-Qashash, insya Allah, dengan memohon pertolongan dan bantuan-Nya.

Kata “yaasuumuunakum” kartinya menimpakan kepada kalian, demikian dikatakan Abu Ubaidah. Dikatakan: saamaHu khuththatun khasfin, artinya perkara/urusan yang hina (aib) telah menimpanya.
Amr bin Kaltsum mengatakan: Jika sang raja menimpakan kehinaan kepada manusia, kita enggan dan menolak kehinaan di tengah kita.

Yasuumuunakum; Ada juga yang mengartikan dengan memberikan siksaan yang terus menerus. Sebagaimana kambing yang terus digembala disebut “saa-imatal ghanami”. Demikian yang dinukil oleh al-Qurthubi.

Di sini Allah ft- berfirman, “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan,” tiada lain sebagai penafsiran atas nikmat yang diberikan kepada mereka yang terdapat dalam firman-Nya, “Mereka menimpakan kepada kamu siksaan yang seberat-beratnya.” Ditafsirkan demikian karena di sini Allah berfirman, “Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu.”

Sedang dalam surat Ibrahim, ketika Dia berfirman, “Dan-ingatlah mereka kepada hari-hari Allah.” Maksudnya, berbagai nikmat-Nya yang telah diberikan ke ada mereka. Maka tepatlah jika disebutkan disana, “Mereka menimpakan keadan kalian siksaan yang seberat-beratnya. Mereka meyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan anak-anakmu yang perempuan tetap hidup.” Disambungkannya hal itu dengan penyembelihan untuk menunjukkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepada Bani Israil.

Fir’aun merupakan gelar bagi setiap raja Mesir yang kafir, baik yang berasal dari bangsa Amalik maupun lainnya. Sebagaimana Kaisar merupakan gelar bagi setiap raja yang menguasai Romawi dan Syam dalam keadaan kafir. Demikian halnya dengan Kisra yang merupakan gelar bagi Raja Persia. Juga Tubba’ bagi penguasa Yaman yang kafir. Najasyi bagi Raja Habasyah. Dan Petolemeus yang merupakan gelar Raja India.

Dikatakan, bahwa Fir’aun yang hidup pada masa Musa as bernama Walid bin Mush’ab bin Rayyan. Ada juga yang menyebut, Mush’ab bin Rayyan. Ia berasal dari silsilah Imlik bin Aud bin Iram bin Sam bin Nuh, julukannya adalah Abu Murrah, aslinya berasal dari Persia, dari ‘Asthakhar. Bagaimanapun, Fir’aun adalah dilaknat Allah.

Firman-Nya, “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian yang besar dari Rabbmu,” Ibnu Jarir mengatakan: “Artinya, dalam tindakan Kami menyelamatkan nenek moyang kalian dari siksaan Fir’aun dan para pengikutnya mengandung ujian yang besar dari Rabb kalian. Ujian itu bisa berupa kebaikan dan bisa juga keburukan.” Sebagaimana firman Allah keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiyaa’: 35)

Demikian juga dengan firman-Nya: “Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik–baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). ” (QS. Al-A’raaf: 168).

Ibnu Jarir mengatakan, kata yang sering digunakan untuk menyatakan ujian dengan keburukan adalah balautuHu, ab-luuHu, bilaa-an. Yang digunakan untuk ujian dengan kebaikan adalah ib-liiHi, ib-laa-an, wa balaa-an. Zuhair bin Abi Salma pernah bersyair:

Allah akan memberikan balasan kebaikan atas apa yang mereka berdua
perbuat terhadap kalian.
Dan membalas mereka berdua dengan sebaik-baik balasan yang menguji.

Di sini dia menggabungkan dua versi bahasa, yang mengandung makna bahwa Allah mengaruniai mereka berdua sebaik-baik nikmat yang Dia ujikan kepada para hamba-Nya.

Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud dengan firman Allah “Dan pada yang demikian itu terdapat ujian.” Merupakan isyarat pada keadaan di mana mereka menerima siksaan yang menghinakan dengan disembelihnya anak laki-laki, dan dibiarkan hidup anak bayi perempuan. Al-Qurthubi mengatakan: ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Firman Allah: “Dan ingatlah ketika Kami belah lautan untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan para pengikutnya, sedang kamu sendiri menyaksikannya.”

Artinya, setelah Kami menyelamatkan kalian dari Fir’aun dan para pengikutnya, lalu kalian berhasil keluar dan pergi dari Mesir bersama Musa as, maka Fir’aun pun pergi mencari kalian. Kemudian Kami belah lautan untuk kalian. Sebagaimana hal itu telah diberitahukan Allah swt. secara rinci, yang insya Allah akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya antara lain di Surat Asy-Syu’ara’.

Firman-Nya, “Lalu Kami selamatkan.” Artinya, Kami bebaskan kalian dari kejaran mereka dan Kami pisahkan antara kalian dengan mereka hingga akhirnya Kami tenggelamkan mereka, sedang kalian menyaksikan sendiri peristiwa tersebut, agar hal itu dapat menjadi pengobat hati kalian dan menjadi hinaan yang mendalam bagi musuh-musuh kalian.

Imam Ahmad meriwayatkan, dari Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, Setelah Rasulullah sampai di Madinah, kemudian beliau menyaksikan orang-orang Yahudi mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura’, maka beliau pun bersabda:
“Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa as pun berpuasa padanya.” Rasulullah pun bersabda: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian.” Kemudian beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya berpuasa padanya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 47

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 47
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 47“Hai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. 2:47)

Allah mengingatkan Bani Israil akan berbagai nikmat yang telah dianugerahkan kepada nenek moyang serta para pendahulu mereka, juga keutamaan yang telah diberikan kepada mereka berupa pengutusan para Rasul dari kalangan mereka sendiri serta penurunan kitab-kitab kepada mereka dan diutamakannya mereka atas umat-umat lain pada zaman mereka, sebagaimana firman Allah:
“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: `Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah yang diberikan kepadamu ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi di antara kamu dan dijadikan-Nya kamu orang-orang yang merdeka serta Dia berikan kepada kamu apa yang belum pernah Dia berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.”‘ (QS. Al-Maa-idah: 20).

Mengenai firman Allah: “Sesungguhnya Aku telah mengunggulkan kamu atas semua umat,” Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu al-Aliyah, katanya: “Keunggulan mereka itu diwujudkan melalui kekuasaan, pengutusan para Rasul dan penurunan kitab-kitab-Nya kepada umat-umat pada zaman tersebut, karena setiap zaman memiliki umat.”

Ayat di atas harus ditafsirkan seperti ini, karena umat ini (umat Islam) lebih unggul daripada Bani Israil. Hal itu sebagaimana firman Allah swt. ditujukan kepada umat ini:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlul kitab beriman, tentulah yang demikian itu lebib baik bagi mereka.” (QS. Ali Imraan: 110).

Dalam kitab Musnad dan Sunan, diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairi, bahwa Rasulullah bersabda: “Kalian sebanding dengan tujuh puluh umat, kalian adalah umat yang terbaik dan paling mulia menurut Allah.”

Kewajiban yang telah dibebankan kepada mereka, maka pada hari kiamat kelak kedekatan kaum kerabat dan syafa’at seorang yang terhormat (berkedudukan) tiada akan bermanfaat bagi mereka. Dan tidak akan diterima pula tebusan dari mereka meski berupa tumpukan emas sepenuh bumi ini.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa at.” (QS. Al-Baqarah: 254).

Firman-Nya, “Dan tidaklah mereka akan ditolong.” Artinya, tidak ada seorang pun yang marah demi (membela) mereka, lalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan mereka dari adzab Allah. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum kerabat dan orang yang mempunyai kehormatan tidak akan merasa kasihan kepada mereka, serta tidak akan diterima tebusan darinya. Tidak ada lagi seorang penolong baik dari kalangan mereka sendiri maupun lainnya. Sebagaimana firman-Nya: “Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS. Al-Thariq: 10).

Artinya, bahwa Allah tidak akan menerima tebusan dan syafa’at dari orang-orang yang kafir kepada-Nya, serta tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan dan menghindarkan mereka dari adzab-Nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 45-46

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 45-46
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 45-46“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya hal demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang prang yang khusyu’, (QS. al-Baqarah: 45) (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabbnya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah:46)

Melalui firman-Nya ini, Allah swt. menyuruh para hamba-Nya untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat yang mereka dambakan, dengan cara menjadikan kesabaran dan shalat sebagai penolong.

Sebagaimana yang dikatakan Muqatil bin Hayyan dalam tafsirnya mengenai ayat ini, “Hendaklah kalian mengejar kehidupan akhirat dengan cara menjadikan kesabaran dan mengerjakan berbagai kebajikan dan shalat sebagai penolong.”

Menurut Mujahid yang dimaksud dengan kesabaran adalah shyam (puasa). Al-Qurthubi dan ulama lainnya mengatakan, “Oleh karena itu bulan Ramadlan dikatakan sebagai bulan kesabaran.”

Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud sabar dalam ayat di atas adalah menahan diri dari perbuatan maksiat karena disebutkan bersama dengan berbagai macam pelaksanaan ibadah, yang paling utama adalah ibadah shalat.

Dari Umar bin Khaththab, ia berkata: “Sabar itu ada dua, sabar ketika mendapat musibah adalah baik, dan lebih baik lagi adalah bersabar dalam menahan diri dari mengerjakan apa yang diharamkan Allah.

Hal yang mirip dengan ucapan Umar bin Khaththab juga diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, katanya, “Kesabaran itu adalah pengaduan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, dan mengharap keridlaan dari sisi-Nya dan menghendaki pahala-Nya. Terkadang seseorang merasa cemas tetapi ia tetap tegar, tidak terlihat darinya kecuali kesabaran.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman, katanya, “Rasulullah saw. jika ditimpa suatu masalah, maka segera shalat.” (HR Abu Daud)

Mengenai firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kamu.” Sunaid meriwayatkan dari Hajaj, dari Ibnu Juraij ia mengatakan bahwa sabar dan shalat merupakan penolong untuk mendapatkan rahmat Allah swt.

Dlamir [kata ganti] pada firman-Nya: wa innaHaa lakabiiratun; kembali kepada kata shalat. Demikian dikatakan oleh Mujahid dari dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Bisa juga kembali kepada kandungan ayat itu sendiri, yaitu wasiat [pesan] untuk melakukan hal tersebut seperti firman Allah dalam kisah Qarun: “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar”. (al-Qashash: 80)

Bagaimanapun firman Allah: lakabiiratun; berarti beban yang sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’.

Mujahid mengatakan: “yaitu orang-orang mukmin yang sebenarnya.”
Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan, innaHaa lakabiiratun; berarti bahwa hal itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang tunduk dalam ketaatan kepada-Nya, yang takut akan kekuasaan-Nya, serta yang yakin dengan janji dan ancaman-Nya.

Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat tersebut “Wahai sekalian orang-orang alim dari kalangan ahlul kitab, mohonlah pertolongan dengan menahan diri kalian dalam ketaatan kepada Allah dan mendirikan shalat yang dapat mencegah kalian dari kekejian dan kemungkaran serta dapat mendekatkan kalian kepada keridhaan Allah. Hal itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu mereka yang patuh dan tunduk dalam ketaatan kepada-Nya serta merendahkan diri karena takut kepada-Nya.”

Yang jelas, meskipun secara konteks ayat tersebut ditujukan sebagai peringatan bagi Bani Israil, namun yang dimaksud bukanlah mereka semata, tetapi ditujukan secara umum baik kepada mereka maupun selain mereka. Wallahu a’lam.

Firman-Nya, “Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. “Ayat ini menyempurnakan kandungan ayat sebelumnya. Maksudnya, bahwa shalat atau wasiat itu benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu yang yakin bahwa mereka akan menemui Rabb-nya. Yakni, mereka mengetahui bahwa dirinya akan dikumpulkan kepada-Nya pada hari kiamat, dan dikembalikan kepada-Nya. Artinya, semua persoalan mereka kembali kepada kehendak-Nya, Dia memutuskan persoalan itu menurut kehendak-Nya sesuai dengan keadilan-Nya. Karena mereka meyakini adanya hari pengembalian dan pemberian pahala, maka terasa ringan bagi mereka untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan meninggalkan berbagai kemungkaran.

Sedangkan fiman-Nya, “Mereka meyakini bahwa mereka akan menemui Rabb mereka,” Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, masyarakat Arab terkadang menyebut yakin itu dengan sebutan dhan (dugaan).

Hal seperti itu juga dapat kita lihat pada firman Allah berikut ini: waraa-al mujrimuunan naara wa dhannuu annaHum muwaaqi-uuHaa “Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini, bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya. ” (QS. Al-Kahfi: 53).
&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 44

17 Feb

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 44
Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 44“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir.” (QS. 2:44)

Allah swt bertanya, “Wahai sekalian ahlul kitab, apakah kalian pantas menyuruh manusia berbuat berbagai kebajikan, sedang kalian melupakan diri sendiri. Kalian tidak melakukan apa yang diperintahkan itu, padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya yang berisi ancaman terhadap orang yang mengabaikan perintah Allah? Apakah kalian tidak memikirkan apa yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri itu, sehingga kalian terjaga dari tidur kalian dan terbuka mata kalian dari kebutaan?”

Abu Darda’ ra. mengatakan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintropeksi dirinya sendiri, akhirnya ia lebih mencela dirinya sendiri. Yang dimaksud, bukan celaan terhadap usaha mereka menyuruh berbuat kebajikan, namun yang wajib dan lebih patut baginya adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia perintahkan dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana kata Nabi Syu’aib as:

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Huud: 88).

Dengan demikian, amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan pengamalannya merupakan suatu kewajiban-yang tidak gugur salah satu dari keduanya dengan meninggalkan yang lainnya. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama salaf maupun khalaf.

Yang benar, orang alim hendaknya menyuruh berbuat baik meskipun ia tidak mengamalkannya atau mencegah kemungkaran meskipun ia sendiri mengerjakannya.

Imam Malik meriwayatkan dari Rabi’ah katanya, aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika seseorang tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran sampai pada dirinya tidak terdapat sesuatu (dosa/cela) apapun, maka tidak akan ada seorang pun yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Malik berkata, “Benar demikian, siapakah orang yang pada dirinya tidak terdapat sesuatu apa pun?” Penulis (Ibnu Katsir) katakan, “Namun seorang alim dengan keadaan demikian itu tercela karena meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan sedang ia mengetahui, dan tindakannya menyalahi perintah dan larangan itu berdasarkan pada kesadaran. Dan pengetahuannya akan hal tersebut. Sesungguhnya orang yang mengetahui tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Oleh karena itu, ada beberapa hadits yang memaparkan ancaman keras terhadap hal itu.”

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya aku pemah mendengar Rasulullah bersabda: “Pada malam aku dinaikkan ke langit (mi’raj), aku melewati beberapa orang yang bibir dan lidahnya dipotong dengan gunting yang terbuat dari api. Kemudian aku tanyakan: `Siapakah mereka itu, hai fibril?’ Jibril pun menjawab, `Mereka itu adalah para pemberi ceramah dari umatmu yang menyuruh berbuat baik kepada manusia tetapi melupakan dirinya sendiri”‘. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih)

Imam Ahmad meriwayatkan, pemah dikatakan kepada Usamah, tidakkah engkau menasehati `Utsman? Maka Usamah berkata, bukankah kalian tahu bahwa aku tidak menasehatinya melainkan akan kusampaikan kepada kalian? Aku pasti menasehatinya tanpa menimbulkan masalah yang aku sangat berharap tidak menjadi orang pertama yang membukanya. Demi Allah aku tidak akan mengatakan kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau ini sebaik-baik manusia,” meskipun di hadapanku itu seorang penguasa, karena aku telah mendengar sabda Rasulullah saw. Maka orang-orang pun bertanya: “Apa yang engkau dengar dari sabdanya itu?”

Usamah menjawab, beliau telah bersabda:
“Pada hari kiamat kelak akan didatangkan seseorang, lalu dicampakkan ke dalam neraka. Kemudian usus-ususnya terburai, dan ia berputar mengitari usus-ususnya itu, seperti keledai mengitari sekitar penggilingannya. Maka para penghuni neraka pun berputar mengelilinginya seraya berkata: `Hai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah dahulu engkau suka menyuruh kami berbuat kebaikan dan mencegah kami berbuat kemungkaran’? Ia pun menjawab: ‘Dahulu aku menyuruh Ialian berbuat baik, tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan melarang kalian berbuat kemungkaran, tetapi aku sendiri mengerjakannya.”‘ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata: “Hai Ibnu Abbas, Sungguh aku ingin menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau telah menyampaikannya?” la menjawab: “Aku baru ingin melakukannya.” Kemudian Ibnu Abbas mengatakan: “Jika engkau tidak khawatir akan terbongkar aib dirimu dengan tiga ayat di dalam al-Qur’an, maka kerjakanlah.” Ia pun bertanya: “Apa saja ketiga ayat tersebut?” Ibnu Abbas menjawab, firman Allah “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri.” “Apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” tanya Ibnu Abbas. Orang itu menjawab: “Belum.”
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat yang kedua, firman Allah: Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau sudah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” Sahutnya: “Belum.”
Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat ketiga yaitu ucapan seorang hamba yang shalih, Syu`aib as: ‘Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.’ (QS. Huud: 88). Tanya Ibnu Abbas lagi: “Dan apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” la pun menjawab: “Belum.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya).

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 32-34 (14)

10 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 32-34“32. oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. 33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, 34. kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maa-idah: 32-34)

Allah berfirman karena pembunuhan yang dilakukan oleh anak Adam as. [yakni Qabil] terhadap saudaranya [yakni Habil] secara dhalim, dan permusuhan: Maka; katabnaa ‘alaa banii is-raa-iila (“Kami tetapkan [suatu hukum] bagi bani Israil”) yakni, Kami syariatkan serta Kami beritahukan kepada mereka: ‘Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.’”)

Maksudnya, barangsiapa membunuh seseorang tanpa sebab, seperti [karena] qishash atau [karena] berbuat kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan pembunuhan tersebut tanpa sebab dan tanpa kejahatan, seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya, karena bagi Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa lainnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan, yakni mengharamkan pembunuhan atas suatu jiwa dan meyakini hal itu, berarti dengan demikian telah selamatlah seluruh umat manusia darinya.

Oleh karena itu Allah berfirman: fa ka-annamaa ahyan naasa jamii-an (“Maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”) Sa’id bin Jubair berkata: “Barangsiapa menghalalkan darah seorang muslim, seakan-akan ia telah halalkan darah seluruh umat manusia, barangsiapa mengharamkan darah seorang muslim, seakan-akan ia telah mengharamkan darah seluruh umat manusia.” Ini merupakan pendapat yang paling jelas.

Firman Allah: wa laqad jaa-atHum rusulunaa bil bayyinaat (“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul Kami dengan [membawa] keterangan-keterangan yang jelas.”) yaitu dengan hujjah, bukti dan dalil yang jelas.

Tsumma inna katsiiram minHum ba’da dzaalika fil ardli la musrifuun (“Kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”) yang demikian itu merupakan celaan dan kecaman atas pelanggaran mereka terhadap berbagai perbuatan haram setelah mereka mengetahuinya, sebagaimana bani Quraidhah, bani Nadhir, dan bani Qainuqa’, yang terdiri dari orang-orang Yahudi yang berada di sekitar Madinah. Mereka berperang bersama suku Aus dan suku Khazraj ketika terjadi beberapa peperangan di antara mereka pada zaman Jahiliyyah. Dan setelah peperangan berakhir, mereka menebus orang-orang yang telah mereka tawan dan membayar ‘diyat’ orang-orang yang telah mereka bunuh.”

Firman Allah: innamaa jazaa-ul ladziina yuharribuunallaaHa wa rasuulaHuu wa yas’auna fil ardli fasaadan ay yuqattaluu au yushallabuu au tuqaththa’a aidiiHim wa arjuluHum min khilaafin au yunfau minal ardli (“. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”)

Perang berarti perlawanan dan pertentangan, hal itu adalah benar [tepat] apabila ditujukan kepada orang-orang kafir, para penyamun, dan para perintang jalan. Demikian halnya dengan tindakan berbuat kerusakan di muka bumi, berarti mencakup segala macam kejahatan, bahkan banyak dari kalangan ahli tafsir salaf di antaranya, Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya perampasan uang dirham dan dinar adalah termasuk dalam perbuatan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman yang artinya: ‘Dan apabila ia berpaling [darimu], ia berjalan di muka bumi untuk melakukan kerusakan padanya, serta merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan.’ [al-Baqarah: 205]”)

Pendapat yang benar adalah ayat ini bersifat umum untuk kalangan kaum musyrikin dan juga orang-orang yang bergelimang dengan sifat-sifat buruk tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Qilabah, yang nama lengkapnya ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi al-Bashri, dari Anas bin Malik: “Ada delapan orang dari Ukl datang kepada Rasulullah saw. lalu mereka berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Mereka jatuh sakit karena tidak cocok dengan udara Madinah, kemudian tubuh mereka jatuh sakit sehingga mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka beliau pun bersabda: ‘Mengapa kalian tidak pergi bersama penggembala kami yang menggembalakan untanya, sehingga kalian bisa mendapatkan kencing air unta dan susunya.’ Mereka menjawab, ‘Baiklah.’ Selanjutnya mereka pun pergi, dan minum air kencing itu serta susu unta, sehingga mereka kembali sehat. Kemudian mereka membunuh penggembala tadi dan menggiring unta tersebut. Maka berita itupun akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. setelah itu beliau mengirim utusan untuk mengejar mereka sehingga akhirnya mereka bisa dikejar. Selanjutnya mereka dibawa menghadap menghadap Rasulullah. Beliau memberikan hukuman kepada mereka, maka tangan dan kaki mereka pun dipotong, serta mata mereka dicungkil, lalu dipanaskan di bawah terik matahari sampai mati.” (demikian hadits menurut lafadz Muslim)

Jumhur ulama telah menggunakan keumuman pengertian ayat ini, sebagai dalil bagi pendapat mereka yang menyatakan, bahwa hukum muharabah [penyerangan] di kota-kota maupun di jalanan adalah sama. Hal ini didasarkan pada firman-Nya: wa yas’auna fil ardli fasaadan (“Dan berbuat kerusakan di muka bumi.”) yang demikian itu merupakan pendapat Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mengenai orang yang membujuk seseorang lalu menipunya, dan memasukkannya ke rumah untuk selanjutnya ia membunuhnya dan mengambil barang berharga yang dibawa orang tersebut, Imam Malik berpendapat, bahwa yang demikian itu merupakan muharabah [tindakan penyerangan], dan penyelesaiannya diserahkan kepada pihak penguasa dan bukan kepada wali si terbunuh. Kata maaf yang diberikan oleh keluarga terbunuh tidak menghapuskan hukuman akibat tindakan pembunuhan tersebut. Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa tidak disebut muharabah kecuali di jalanan, sedangkan di dalam kota bukan disebut muharabah karena si teraniaya akan memperoleh pertolongan jika meminta pertolongan. Berbeda dengan di jalanan, yang jauh dari orang yang dapat memberikan bantuan dan pertolongan.

Firman Allah: ay yuqattaluu au yushallabuu au tuqaththa’a aidiiHim wa arjuluHum min khilaafin au yunfau minal ardli (“mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, mengenai ayat tersebut: “Barangsiapa yang menghunus pedang pada kelompok Islam, dan menakut-nakuti orang dalam perjalanan, lalu ia berhasil ditangkap dan dikuasai, dalam penanganan masalah tersebut pemimpin kaum Muslimin mempunyai pilihan [terhadap pelaku tersebut], jika ia mau boleh membunuhnya, atau menyalibnya, atau memotong tangan dan kakinya.”

Hal senada juga dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyad, Mujahid, ‘Atha’, al-Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i dan adh-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja’far bin Jarir. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Malik bin Anas ra. Yang menjadi sandaran pendapat tersebut lahiriyah kata “au” (atau) adalah untuk menyatakan pilihan, sebagaimana yang ada pada beberapa hal yang sebanding dengan hal itu dalam al-Qur’an. Misalnya, firman Allah tentang kafarat sumpah yang artinya: “Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak.” (al-Maidah: 89) semua ketentuan dalam ayat tersebut di atas merupakan pilihan, maka demikian halnya dengan ayat al-Maidah:33.

Jumhur ulama mengatakan: “Ayat ini diturunkan dalam beberapa keadaan.” Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu ‘Abdullah asy-Syafi’i: Ibrahim bin Abi Yahya memberitahu kami, dari Shalih maula at-Tauamah, dari Ibnu ‘Abbas, mengenai para penyamun [perampok, pembegal jalan]: jika mereka membunuh dan mengambil barang-barang berharga, mereka harus dibunuh dan disalib. Jika mereka membunuh tanpa mengambil barang-barang berharga milik si terbunuh, mereka hanya dibunuh saja tanpa disalib. Jika mereka mengambil barang-barang berharga dan tidak membunuh korbannya, tidak harus dibunuh tetapi cukup dipotong tangan dan kaki mereka saja secara bersilang. Jika mereka menakut-nakuti orang lewat di jalanan tanpa mengambil barang-barang berharga, maka mereka harus diusir dari kampung tempat tinggalnya.”

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan hal yang sama, dari ‘Abdur Rahim bin Sulaiman, dari Hajjaj, dari ‘Athiyyah, dari Ibnu ‘Abbas. Hal senada juga diriwayatkan oleh Abu Mijliz, Sa’id bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’i, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi dan ‘Atha’ al-Khurasani. Demikian itulah yang dikemukakan oleh banyak ulama salaf dan juga para imam. Mereka berbeda pendapat tentang apakah seseorang itu disalib dalam keadaan hidup lalu ditinggalkan sampai ia meninggal dunia tanpa diberi makan dan minum, ataukah dibunuh dengan menggunakan tombak atau yang semisalnya, ataukah dibunuh terlebih dahulu baru kemudian disalib sebagai peringatan dan pelajaran bagi orang lainnya yang berbuat kerusakan. Mereka juga berbeda pendapat berkenaan dengan masalah apakah mereka itu disalib selama tiga hari dan kemudian diturunkan ataukah disalib dan ditinggalkan sampai keluar nanahnya.

Au yunfau minal ardli (“Atau dibuang dari negeri [tempat kediamannya].”) sebagian ulama mengatakan: “Yaitu dikejar hingga tertangkap, lalu diberlakukan baginya had [ketetapan hukum], atau diusir dari wilayah Islam.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas.

Sedangkan ulama lain mengemukakan: “Yang dimaksud dengan an-nafyu [pembuangan] dalam ayat tersebut adalah dipenjarakan.” Demikian pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya. Dan yang menjadi pilihan Ibnu Jarir adalah yang dimaksud dengan an-nafyu di sini diusir dari negerinya ke negeri lain, serta dipenjarakan disana.

Firman Allah: dzaalika laHum jizyun fid dun-yaa wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘adhiim (“Yang demikian itu [sebagai] suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”) maksudnya apa yang Aku sebutkan berupa pembunuhan, pemyaliban, pemotongan tangan dan kaki dengan bertimbal balik, dan pengusiran mereka merupakan bentuk penghinaan bagi mereka di tengah-tengah umat manusia, dalam kehidupan dunia ini. Di samping itu disediakan pula adzab yang besar pada hari kiamat kelak.

Hal ini memperkuat pendapat ulama yang menyatakan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang musyrik. Adapun mengenai orang Islam, maka dalam Shahih Muslim telah diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Shamit, ia berkata: Rasulullah saw. pernah mewajibkan kepada kami, sebagaimana beliau mewajibkan kepada kaum wanita, yaitu kami tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak boleh mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, serta tidak boleh saling menyakiti di antara kami. Barangsiapa di antara kalian yang memenuhi kewajiban tersebut, pahalanya ada pada Allah Ta’ala; barangsiapa mengerjakan sebagian dari larangan tersebut lalu dia diberi hukuman, hal itu sebagai kafarah baginya, dan barangsiapa yang [perbuatan buruknya] ditutupi oleh Allah, persoalannya terserah pada Allah, jika Allah menghendaki Dia akan mengadzabnya; dan jika Dia menghendaki Dia akan memaafkannya.”

Mengenai firman Allah: dzaalika laHum jizyun fid dun-yaa (“Yang demikian itu [sebagai] suatu penghinaan untuk mereka di dunia.”) Ibnu Jarir mengatakan: “Yaitu berupa keburukan, aib, adzab, kenistaan dan hukuman di dunia sebelum kehidupan akhirat.” Wa laHum fil aakhirati ‘adzaabun ‘adhiim (“Dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”) yakni jika mereka tidak bertaubat dari perbuatannya, mereka binasa [mati].

Firman-Nya: illal ladziina taabuu min qabli an taqdiruu ‘alaiHim fa’lamuu annallaaHa ghafuurur rahiim (“Kecuali orang-orang yang taubat [di antara mereka], sebelum kamu dapat menguasai [menangkap] mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”) menurut pandangan ulama yang berpendapat bahwa ayat ini berkenaan dengan kaum musyrikin, maksud ayat tersebut sudah sangat jelas. Mengenai kaum Muslimin yang melakukan penyerangan, jika mereka bertaubat sebelum mereka dikuasai [ditangkap], gugurlah hukuman mati, salib dan potong tangan bagi mereka. Lalu apakah gugur hukum potong tangan dari diri mereka atau tidak? Mengenai hal yang terakhir ini terdapat dua pendapat ulama, dan lahiriyah ayat menuntut hapusnya seluruh hukuman itu. Dan demikian itu yang dipraktikkan oleh para Shahabat.

Bersambung ke bagian 15

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 27-31 (13)

10 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 27-31“27. Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. 28. “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.” 29. “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” 30. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. 31. kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.” (al-Maa-idah: 27-31)

Allah menjelaskan buruknya akibat kejahatan, kedengkian, dan kedhaliman dalam kisah dua orang putera Adam as. dari keturunannya langsung, yang menurut jumhur ulama keduanya itu bernama Qabil dan Habil. Yaitu bagaimana salah seorang dari keduanya memusuhi lainnya, hingga akhirnya membunuhnya, karena rasa dengki terhadapnya atas nikmat yang diberikan kepadanya [Habil], dan bahkan Allah Ta’ala juga menerima kurban yang diikhlaskan karena Allah yang dipersembahkan oleh Habil. Kemudian yang terbunuh [Habil] beruntung mendapatkan penghapusan dosa dan masuk surga. Sebaliknya si pembunuh [Qabil] benar-benar kecewa dan kembali dengan menderita kerugian di dunia maupun di akhirat.

Maka Allah berfirman: watlu ‘alaiHim naba-abnai aadama bil haqqi (“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam [Habil dan Qabil] menurut yang sebenarnya.”) maksudnya kisahkanlah kepada orang-orang yang membangkang dan dengki, -saudara babi dan kera dari kalangan orang-orang Yahudi dan yang sebangsa dengan mereka.- cerita tentang dua anak Adam, yaitu Habil dan Qabil, sebagaimana [cerita mengenai itu] telah disampaikan oleh beberapa ulama salaf dan khalaf.

Firman-Nya: bil haqqi (“menurut yang sebenarnya”) yaitu secara jelas, kejelasan yang tidak lagi mengandung kekaburan, kebohongan, hal-hal yang membingungkan, perubahan, penambahan, dan juga pengurangan. Yang demikian adalah seperti firman-Nya: inna Haadzaa laHuwal qashashul haqqu (“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar”) (Ali ‘Imraan: 62)

Di antara cerita kedua anak Adam itu sebagaimana diceritakan oleh beberapa ulama salaf dan khalaf adalah, Allah Ta’ala telah mensyariatkan kepada Adam untuk menikahkan putri-putrinya dengan putra-putranya, karena keadaan yang sangat mendesak. Namun ulama-ulama itu mengatakan bahwa setiap kali hamil, istrinya melahirkan satu pasang anak kembar, laki-laki dan perempuan. Lalu Adam menikahkan anak perempuan pasangan kembar yang satu dengan pasangan kembar lainnya [bersilangan]. Saudara kembar Habil adalah seorang perempuan yang kurang cantik, dan saudara kembar Qabil mempunyai wajah cantik. Qabil ingin menikahi saudara kembarnya sendiri, dan menolak saudara kembarnya itu dinikahi Habil, maka Adam menolak hal itu kecuali terlebih dahulu mereka berdua mempersembahkan kurban. Barangsiapa yang kurbannya diterima, wanita itu menjadi miliknya. Kemudian kurban Habil yang diterima, sedangkan kurban persembahan Qabil tidak diterima. Di antara persoalan antara keduanya itu adalah seperti dikisahkan Allah di dalam al-Qur’an.

Al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan: “Pada saat itu tidak terdapat orang miskin yang perlu diberi sedekah, melainkan kurban itu dilakukan untuk mendekatkan diri. Ketika keduanya duduk-duduk, keduanya berkata: ‘Bagaimana kalau kita mempersembahkan kurban. ‘
Jika seseorang mempersembahkan kurban, lalu diridlai Allah, Allah akan mengirimkan api kepada kurban itu untuk memakannya. Jika tidak diridlai-Nya, api itupun padam. Lalu keduanya pun mempersembahkan kurban. Salah seorang diantara keduanya adalah seorang penggembala, yang lainnya adalah seorang petani. Si penggembala mempersembahkan kambing yang paling bagus dan gemuk, yang lainnya mempersembahkan beberapa dari hasil pertaniannya, lalu datang api di antara kedua persembahan itu. Maka api itu melahap kambing yang gemuk itu dan meninggalkan hasil tanaman tersebut. Selanjutnya salah seorang dari keduanya berkata kepada saudaranya: ‘Apakah engkau akan berjalan di antara orang-orang, dan mereka telah mengetahui bahwa engkau telah mempersembahkan kurban dan diterima, sedangkan persembahanku ditolak. Demi Allah tentunya, orang-orang tidak akan melihatku karena engkau lebih baik dariku.’ Lalu ia berkata, ‘Aku akan membunuhmu.’ Maka saudaranya itu menjawab, ‘Apa salahku, karena sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang yang bertakwa.’” (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir)

Atsar ini memberikan pengertian bahwa persembahan kurban itu bukan disebabkan untuk memperebutkan wanita, sebagaimana yang diceritakan dari sekelompok ulama yang telah dikemukakan sebelumnya. Dan yang demikian itu merupakan pengertian lahiriyah ayat al-Qur’an: idz qarrabaa qurbaanan fatuqattilu min ahadiHimaa wa lam yutaqabbal minal aakhari qaala la aqtulannaka qaala innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.”)

Redaksi ayat tersebut menunjukkan bahwa ia marah dan dengki atas diterimanya kurban [Habil], sedangkan kurbannya sendiri tidak. Selanjutnya yang terkenal menurut jumhur ulama adalah, yang mempersembahkan kambing adalah Habil, sedangkan yang mempersembahkan makanan adalah Qabil, dan Allah Ta’ala menerima kambing Habil. Sehingga Ibnu ‘Abbas dan juga ulama lainnya mengatakan: “Yang dijadikan hewan kurban adalah kambing kibas.” Dan itulah yang sesuai. wallaaHu a’lam.

Adapun makna firman Allah: innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Sesungguhnya Allah hanya menerima [kurban] dari orang-orang yang bertakwa.”) yaitu dari orang yang bertakwa kepada Allah dalam melakukan tindakannya tersebut. Ibnu Abi Hatim mengatakan: Aku pernah mendengar Abu Darda’ berkata: “Andaikata aku memperoleh keyakinan bahwa Allah menerima satu saja dari shalatku, maka hal itu lebih aku sukai daripada dunia seisinya, sesungguhnya Allah berfirman: innamaa yataqabbalullaaHu minal muttaqiin (“Sesungguhnya Allah hanya menerima [kurban] dari orang-orang yang bertakwa.”)

Dari Mu’adz bin Jabal ia mengatakan, “[Sesungguhnya] umat manusia [kelak] tertahan di suatu tempat, lalu ada penyeru yang menyerukan, ‘Di mana orang-orang yang bertakwa?’ lalu mereka berdiri dalam perlindungan Allah, dan Allah tidak terhijab dari mereka, dan tidak terhalangi [dari pandangan mereka]. kemudian kutanyakan: ‘Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?’ ia menjawab: ‘Yaitu suatu kaum yang menjauhi kesyirikan dan penyembahan berhala, serta ikhlas dalam beribadah kepada Allah, kemudian mereka pun berjalan menuju surga.’”

Firman Allah: la in basath-ta ilayya yadaka litaqtulanii maa ana bibaasithiy yadiya ilaika la aqtulaka (“Sungguh kalau kamu menggerakkan tangamu kepadaku untuk membnuhku, aku sekali-sekali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”) maksudnya, aku tidak akan membalas tindakanmu yang buruk itu dengan yang serupa, yang hanya akan menjadikan diriku dan dirimu sama-sama dalam dosa. Innii akhaafullaaHa rabbal ‘aalamiin (“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam.”) yaitu dari berbuat seperti perbuatanmu itu, tetapi aku harus bersabar dan mengharapkan pahala di sisi Allah.

‘Abdullah bin ‘Amr mengatakan: “Demi Allah, sesungguhnya Habil adalah yang lebih kuat di antara keduanya, tetapi kewara’annya mencegahnya.” (Ibnu Taimiyah berkata mengendai definisi wara’ –dan juga zuhud-: “Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudlarat untuk kepentingan akhirat.)
Oleh karena itu di dalam ash-Shahihain ditegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika dua orang muslim saling berhadapan dengan masing-masing membawa pedang, maka pembunuh dan yang dibunuh ada di neraka.” para shahabat bertanya: “Terhadap yang membunuh itu memang sudah seharusnya, tetapi mengapa dengan orang yang terbunuh tersebut?” Beliau menjawab, “Karena ia juga berkeinginan keras membunuh lawannya itu.”

Adapun imam Ahmad mengatakan dari Abu Dzar, ia berkata: Nabi pernah menaiki keledai dan beliau menyertakanku [membonceng] di belakangnya seraya bersabda: “Hai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika orang-orang mengalami kelaparan sedang engkau tidak dapat bangun dari tempat tidurmu dan pergi ke masjid, apa yang akan kamu perbuat?” Abu Dzar menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Jagalah kehormatan dirimu.” Lebih lanjut beliau bersabda: “Hai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika kematian menimpa orang-orang, dimana tempat tinggal menjadi kuburan seorang hamba, lalu apa yang akan kamu perbuat?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” “Bersabarlah.” Jawab Rasulullah saw. Kemudian beliau bersabda: “Hai Abu Dzar, jika orang-orang saling membunuh satu dengan lainnya sehingga berlumuran darah, dan apa yang akan kamu kerjakan?” “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Jawab Abu Dzar. Rasulullah saw. bersabda: “Duduklah di rumahmu dan jangan kamu buka pintu rumahmu.” Abu Dzar bertanya: “Jika aku tidak berdiam diri di rumah?” Beliau berkata: “Datangilah orang-orang yang engkau termasuk dari mereka, lalu jadikanlah engkau golongan mereka.” “Jadi aku ambil saja pedangku?” Tanya Abu Dzar. Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu berarti engkau bergabung dengan mereka dalam tindakan mereka itu, tetapi jika engkau takut kilatan pedang dapat menghentikanmu, maka tutupkanlah ujung kain rada’mu [selendangmu] pada wajahmu agar ia kembali dengan membawa dosanya sendiri dan juga dosamu.” (HR Muslim dan penyusun as-Sunan, kecuali an-Nasa’i)

Firman-Nya: innii uriidu an tabuu-a bi-itsmii wa itsmika fatakuuna min ash-habin naari wa dzaalika jazaa-udh dhaalimiiin (“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan [membawa] dosa [membunuh] ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang dhalim.”

Ibnu ‘Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, dan as-Suddi mengatakan, mengenai firman-Nya: innii uriidu an tabuu-a bi-itsmii wa itsmika (“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan [membawa] dosa [membunuh] ku dan dosamu sendiri,”) yaitu dosa akibat pembunuhan terhadap diriku dan dosamu sendiri yang sudah ada sebelum itu.” Demikian yang dikatakan Ibnu Jarir.

Fatakuuna min ash-haabin naari wa dzaalika jazaa-udh dhaalimiin (“Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah balasan bagi orang-orang yang dhalim.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Habil menakut-nakutinya dengan api neraka, tetapi tidak menghentikan dan mencegah diri darinya.”

Allah berfirman: wa thawwa’at laHuu nafsuHuu qatla akhiiHi faqatalaHuu fa ashbaha minal khaasiriin (“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu ia pun membunuhnya sehingga jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”) maka nafsu itu menjadikannya segala sesuatu baik, membisikkan, dan mendorongnya untuk membunuh saudara kandungnya. Akhirnya Qabil membunuh Habil setelah adanya nasehat dan larangan tersebut.
Fa ashbaha minal khaasiriin (“Sehingga ia menjadi seorang di antara orang yang merugi.”) yaitu, di dunia dan akhirat. Maka adakah kerugian yang lebih besar dari itu?

Imam Ahmad mengatakan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Tidaklah seseorang dibunuh secara dhalim, melainkan anak Adam yang pertama itu [Qabil] mendapatkan bagian darahnya, karena ia adalah orang yang pertama kali melakukan pembunuhanl.” (HR Jama’ah, selain Abu Dawud)

Firman Allah: fa ba’atsallaaHu ghurabay yabhatsu fil ardli liyuriyaHuu kaifa yuwaarii sau-ata akhiiHi qaala ya wailataa a-‘ajaztu an akuuna mitsla Haadzal ghuraabi fa uwaariya sau ata akhii, fa ash-baha minan naadimiin (“kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”)
Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Datang seekor burung gagak kepada burung gagak yang sudah mati, lalu burung itu berusaha menggali tanah sehingga ia benar-benar menutupinya. Kemudian si pembunuh saudaranya itu berkata: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.”)

Mengenai firman-Nya: fa ash-baha minan naadimiin (“Karena itu jadilah ia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”) Hasan al-Bashri berkata: “Setelah menimpakan kerugian kepadanya [Qabil], Allah menimpakan juga penyesalan kepadanya.”

Bersambung ke bagian 14

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 20-26 (12)

10 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 20-26“20. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat Nabi Nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”. 21. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. 22. mereka berkata: “Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti Kami akan memasukinya”. 23. berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. 24. mereka berkata: “Hai Musa, Kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya Kami hanya duduk menanti disini saja”. 25. berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara Kami dengan orang-orang yang Fasik itu”. 26. Allah berfirman: “(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang Fasik itu.” (al-Maa-idah: 20-26)

Allah berfirman untuk memberitahukan tentang hamba dan Rasul-Nya, sekaligus Kalim-Nya [orang yang diajak bicara oleh Allah], Musa bin ‘Imran, berkaitan dengan peringatan yang disampaikan Musa kepada kaumnya mengenai nikmat-nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada mereka, karunia yang telah dilimpahkan kepada mereka, serta penyatuan nikmat dunia dan akhirat oleh-Nya, jika mereka tetap berada di jalan yang lurus.

Allah berfirman: wa idz qaala muusaa liqaumiHii yaa qaumidzkuruu ni’matallaaHi ‘alaikum idz ja’ala fiikum anbiyaa-a (“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Allah mengangkat para Nabi di antaramu.’”) maksudnya setiap kali seorang Nabi wafat, maka ada Nabi lain yang muncul dari kalangan kalian, yang berlangsung sejak Nabi Ibrahim dan para Nabi setelahnya. Di tengah-tengah mereka masih terus [tetap] ada Nabi yang menyeru mereka kepada Allah dan memperingatkan mereka atas adzab-Nya; hingga ditutup oleh ‘Isa bin Maryam as. setelah itu, Allah memberikan wahyu kepada penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad bin ‘Abdullah, yang bernasab pada Ismail ibn Ibrahim as. Beliau merupakan Nabi dan Rasul yang paling mulia dari para Nabi sebelumnya.

Mengenai firman-Nya: wa ja’alakum muluukan (“Dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka.”) ‘Abdurrazzaq mengatakan, dari Ibnu ‘Abbas: “[Yaitu memiliki] pelayan, wanita dan rumah.”

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang bangun pagi dengan tubuh yang sehat, hatinya merasa aman, [dan ia] memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah telah diberikan kepadanya dunia dengan segala isinya.” (HR Ibnu Majah dalam kitab az-Zuhud)

Firman Allah: wa aataakum maa lam yu’ti ahadam minal ‘aalamiin (“Dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.”) yaitu umat-umat pada zaman kalian. Karena mereka adalah orang yang lebih mulia daripada orang Yunani, Qibti, atau bangsa lainnya pada zaman tersebut. Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan “Apa yang belum pernah Allah berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain”, yaitu berupa Manna dan salwa yang diturunkan kepada mereka, juga penaungan awan, dan lain sebagainya dari hal-hal luar kebiasaan yang oleh Allah secara khusus diberikan kepada mereka. wallaaHu a’lam.

Selanjutnya Allah memberitahukan ajakan Musa kepada kaumnya untuk berjihad dan memasuki Baitul Maqdis yang pada zaman nenek moyang mereka, yaitu Ya’qub Baitul Maqdis berada di tangan mereka. setelah Ya’qub beserta anak dan keluarganya pergi ke Mesir pada masa pemerintahan Yusuf as. dan menetap di Mesir sampai mereka pergi meninggalkan Mesir bersama Musa, ternyata mereka mendapati bangsa Amaliq yang gagah perkasa telah menaklukkan dan menguasainya. Maka Musa as. memerintahkan untuk memasuki negeri itu dan memerangi musuh-musuh mereka. setelah itu Musa menyampaikan kabar gembira berupa kemenangan dan keberuntungan atas mereka. selanjutnya mereka membangkang, mendurhakai, dan menentang perintahnya sehingga mereka dihukum agar pergi ke padang Tiih [padang sahara yang sering membingungkan, menyesatkan orang] dan berputar-putar dalam perjalanan mereka dalam keadaan bingung. Tidak tahu bagaimana mereka harus mencapai tujuan, selama empat puluh tahun. Sebagai hukuman bagi mereka akibat sikap meremehkan perintah Allah Ta’ala.

Maka Allah Ta’ala berfirman memberitahukan tentang Musa bahwa ia mengatakan kepada kaumnya: yaa qaumidkhulul ardlal muqaddasata (“Hai kaumku, masuklah ke Tanah Suci”) yang dimaksud dengan muqaddasah yaitu muthahharah [yang suci]. Mengenai ucapan Musa as. tersebutt, Sufyan ats-Tsauri menceritakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu bukit [bukit Sinai] dan sekitarnya.” Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid dan beberapa ulama lainnya.

Firman Allah Ta’ala selanjutnya: allatii kataballaaHu lakum (“Yang telah ditentukan Allah bagimu”) yaitu apa yang telah dijanjikan Allah Ta’ala melalui lisan yang beriman di antara kalian. Wa laa tartadduu ‘alaa adbaarikum (“Dan janganlah kamu lari ke belakang [karena takut kepada musuh].”) yakni janganlah kalian enggan berjihad.

Fatanqalibuu khaasiriina qaaluu yaa muusaa innii fiiHaa qauman jabbaariina wa innaa lan nadkhulaHaa hattaa yakhrujuu minHaa fa iy yakhrujuu minHaa fa innaa daakhiluun (“Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: ‘Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya sekali-sekali kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.’”) maksudnya mereka beralasan bahwa di dalam negeri yang engkau perintahkan kami untuk memasukinya dan memerangi penduduknya tersebut ada suatu kaum yang gagah berani, yang mempunyai bentuk tubuh yang besar lagi sangat kuat, kami tidak sanggup menghadapi dan melawannya. Tidak mungkin bagi kami memasukinya selama mereka masih ada di negeri tersebut. Jika mereka telah keluar dari negeri itu, kami baru mau memasukinya; jika tidak, tidak ada kemampuan bagi kami untuk melawan mereka.

Dalam hal ini banyak ahli tafsir yang menyebutkan beberapa berita yang dibuat-buat oleh bani Israil tersebut [sebagai berita bohong] tentang kebesaran atau kemampuan yang gagah perkasa tersebut, yang diantaranya terdapat Auj bin Inaq binti Adam as, yang mempunyai tinggi tiga 3.333,3 hasta. Ini merupakan berita yang memalukan untuk disebutkan. Juga bertolak belakang dengan hadits yang ditegaskan dalam ash-Shahihain, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, Allah menciptakan Adam dengan tinggi 60 hasta. Dan ketinggian itu terus berkurang sampai sekarang ini.”

Firman Allah selanjutnya: qaalu rajulaani minalladziina yakhaafuuna an’amallaaHu ‘alaiHimaa (“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut [kepada Allah] yang Allah telah berikan nikmat atas keduanya,”) yaitu setelah Bani Israil enggan mentaati Allah dan mengikuti Rasul Allah, Musa as. Maka mereka dimotivasi oleh kedua orang yang telah dianugerahi nikmat yang besar kepada keduanya. keduanya adalah orang yang takut akan perintah Allah Ta’ala, sekaligus takut akan adzab-Nya. sebagian ahli tafsir ada yang membaca; qaala rajulaani minalladziina yukhaafuuna (“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang ditakuti oleh mereka.”) yaitu dua orang yang termasuk mereka yang mempunyai kewibawaan dan kedudukan di tengah-tengah manusia. Disebutkan kedua orang itu bernama Yusra’ bin Wanun dan Kalib bin Yufana. (dalam teks al-Azhar disebutkan Yuqana [dengan menggunakan huruf qaf] sedang pada beberapa tempat dalam Taurat ditulis Yafunna.)

Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, ‘Athiyyah, as-Suddi, Rabi’ bin Anas, dan beberapa ulama lainnya baik salaf maupun khalaf.

Kedua orang tersebut berkata: udkhuluu ‘alaiHimul baaba fa idzaa dzakhaltumuuHu fa innakum ghaalibuuna wa ‘alallaaHi fatawakkaluu in kuntum mu’miniin (“Serbulah mereka melalui pintu gerbang [kota] itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu berawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”) maksudnya, jika kalian benar-benar bertawakal kepada Allah dan kalian juga mengikuti perintah-Nya, serta menyepakati Rasul-Nya, pasti Allah akan memenangkan kalian atas musuh-musuh kalian, mendukung dan memperkuat kalian dalam melawan mereka sehingga kalian dapat memasuki negeri yang telah Allah tetapkan bagi kalian. Namun, seruan itu tidak membawa manfaat sama sekali.

Qaaluu yaa muusaa innaa lan nadkhulaHaa abadam maa daamuu fiiHaa fadzHab anta wa rabbuka faqaatilaa innaa HaaHunaa qaa’iduun (“Mereka berkata: ‘Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan peranglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”) yang demikian itu merupakan bentuk penolakan mereka untuk berjihad, sekaligus sebagai bentuk penentangan terhadap Rasul mereka, dan mereka enggan memerangi musuh.

Alangkah baiknya sambutan para shahabat terhadap seruan Rasul pada saat terjadi perang Badar. Abu Bakar bin Mardawaih mengatakan, dari Anas, “Ketika hendak berangkat ke Badar, Rasulullah saw. mengajak kaum Muslimin bermusyawarah. Kemudian ‘Umar memberikan pendapat. Selanjutnya beliau meminta pendapat mereka, maka kaum Anshar berkata: ‘Hai sekalian kaum Anshar, kepada kalian Rasulullah saw. meminta saran.’ Mereka berkata, ‘Kalau demikian, kita tidak boleh mengatakan kepada beliau seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: adzHab anta wa rabbuka faqaatilaa innaa HaaHunaa qaa’iduun (“pergilah kamu bersama Rabbmu, dan peranglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”). Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, seandainya engkau menempuh jarak yang sangat jauh, sejauh ke Barkil Ghimad sekalipun, niscaya kami akan ikut bersamamu.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Hibban)

Imam Ahmad berkata: ‘Abdullah bin Mas’ud mengatakan: aku pernah menyaksikan sikap Miqdad, yang seandainya akulah yang melakukan hal itu lebih aku sukai daripada yang sebanding dengannya. Ia [Miqdad] mendatangi Rasulullah saw. ketika beliau mendoakan keburukan bagi orang-orang musyrik, lalu berkata: “Ya Rasulallah, demi Allah, kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: adzHab anta wa rabbuka faqaatilaa innaa HaaHunaa qaa’iduun (“pergilah kamu bersama Rabbmu, dan peranglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”) akan tetapi kami akan berperang di sebelah kanan dan kirimu, di depan dan di belakangmu.” Maka aku melihat Rasulullah saw. ceria karenanya dan hal itu menjadikan beliau bahagia.

Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Bab “al-Maghazi [perang]” dan “at-Tafsir”.

Firman Allah: qaala rabbi innii laa amliku illaa nafsii wa akhii fafruq bainanaa wa bainal qaumil faasiqiin (“Musa berkata: ‘Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.”) yakni ketika bani Israil enggan berperang, maka Musa marah kepada mereka, dengan mendoakan keburukan bagi mereka. Musa berucap: rabbi innii laa amliku illaa nafsii wa akhii (“Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.”) maksudnya tidak ada seorang pun dari mereka yang mentaatiku, lalu yang melaksanakan perintah Allah serta menyambut seruanku kecuali aku dan saudaraku, Harun. fafruq bainanaa wa bainal qaumil faasiqiin (“Sebab itu pisahkanlah antara kami dan orang-orang yang fasik itu.”)

Al-‘Aufi mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yakni, putuskanlah persoalan antara kami dan mereka.” hal senada juga diungkapkan oleh ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas. Demikian juga yang dikatakan oleh adh-Dhahhak: “Berikanlah putusan antara kami dan mereka, serta bukakanlah tabir antara kami dan mereka.” adapun ulama lain berkata: “Pisahkanlah antara kami dan mereka.” sebagaimana diungkapkan seorang penyair:
Ya Rabbku, pisahkanlah antara dirinya dan diriku.
Pemisahan yang lebih jauh dari dua hal yang Engkau pisahkan.

Firman Allah: fa innaHaa muharramatun ‘alaiHim arba’iina sanatay yatiiHuuna fil ardli (“Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka selama empat puluh tahun, [selama itu] mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi [Padang Tiih] itu.”) yaitu setelah Musa mendoakan keburukan bagi mereka karena mereka enggan berjihad. Maka Allah mengharamkan memasuki Baitul Maqdis selama empat puluh tahun. Hingga akhirnya mereka terdampar di padang Tiih. Mereka terus menerus berjalan dan tidak memperoleh jalan keluar dari Padang Tiih tersebut.

Mengenai firman-Nya: qaala fa innaHaa muharramatun ‘alaiHim (“Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka.”) sebagian ahli tafsir mengatakan: “Di sini di-waqaf-kan dengan menggunakan waqaf taam.” [waqaf yang makna kalimatnya telah sempurna sehingga kalimat sebelumnya tidak bergantungg kepada kalimat sesudahnya]. Dan firman-Nya: arba’iina sanatan (“Selama empat puluh tahun”) adalah, sebagai keterangan waktu dari kalimat yang berikutnya dalam firman-Nya: yatiiHuuna fil ardli (“[selama itu] mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi [Padang Tiih] itu.”)

Adapun menurut Ibnu Jarir firman Allah: fa innaHaa muharramatun ‘alaiHim (“Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan bagi mereka.”) merupakan ‘amil [subyek] dari kalimat “empat puluh tahun” sebagai keterangan waktunya.

Firman Allah selanjutnya: falaa ta’sa ‘alal qaumil faasiqiin (“Maka janganlah kamu bersedih hati [memikirkan nasib] orang-orang yang fasik itu.”) yang demikian itu merupakan hiburan bagi Musa as. dalam menghadapi orang-orang itu. Dengan kata lain: janganlah engkau berduka cita dan bersedih hati atas putusan-Ku terhadap mereka dengan hal tersebut, sebab mereka memang berhak menerimanya.

Kisah ini mengandung celaan bagi orang-orang Yahudi sekaligus menjelaskan keburukan mereka, keingkaran mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan keengganan mereka mentaati apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, kepada mereka. yaitu perintah berjihad sehingga diri mereka tidak mampu bersabar dalam menghadapi musuh, tidak bersikap keras, dan tidak mampu menyerang musuh, padahal di tengah-tengah mereka terdapat Rasul, sekaligus kalimullah, Musa as., dan merupakan orang pilihan-Nya pada zaman itu. Allah menjanjikan pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh mereka. Padahal mereka telah menyaksikan apa yang telah Allah perbuat terhadap musuh mereka, yaitu Fir’aun, berupa adzab, siksaan, dan tenggelamnya Fir’aun bersama bala tentaranya ke dasar laut, sementara mereka melihat agar hati mereka menjadi puas, dan kejadian ini terjadi belum berapa lama. Kemudian mereka enggan memerangi penduduk negeri yang jumlahnya sepersepuluh jumlah penduduk Mesir. Dengan demikian tampaklah keburukan perbuatan merekayang bersifat khusus dan umum, dan aib merekapun dibongkar tuntas yang tidak dapat lagi ditutupi oleh gelapnya malam. Itulah keadaan mereka dan mereka terombang-ambing dalam kebodohannya, dan bingung dalam kesesatannya. Mereka itu orang-orang yang dibenci dan dimusuhi Allah. Tetapi walaupun demikian mereka masih berani berkata: “Kami ini adalah anak-anaik Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” maka Allah Ta’ala memburukkan wajah mereka; di antara mereka ada yang telah diubah menjadi babi dan kera. Mereka terus-menerus dalam laknat yang menemaninya masuk Neraka yang menyala-nyala, dan diputuskan keberadaannya di dalam neraka untuk selama-lamanya. Segala puji hanya milik Allah dari segala sisi.

Bersambung ke bagian 13

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 19 (11)

10 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 19“19. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Maa-idah: 19)

Allah berfirman ditujukan kepada ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad saw. kepada mereka, penutup para nabi, yang tidak ada seorang Nabi atau Rasul pun setelahnya, bahkan ia adalah penutup bagi seluruh Nabi. Oleh karena itu, Allah berfirman: ‘alaa fatratim minar rusuli (“Ketika terputus [pengutusan] Rasul-Rasul.”) yaitu setelah beberapa lama jangka waktu antara pengutusan beliau dan pengutusan ‘Isa bin Maryam.

Para ulama berbeda pendapat tentang perkiraan waktu tersebut, berapa lama masa tersebut? Yang masyhur adalah enam ratus tahun. Tetapi, ada juga ulama yang menyatakan masa itu adalah 620 tahun. Namun, antara keduanya tidak ada pertentangan karena yang menyatakan 600 tahun itu menggunakan hitungan tahun Syamsyiyah, sedangkan yang kedua menggunakan hitungan tahun Qamariyah. Antara setiap seratus tahun Syamsyiyah dan seratus tahun Qamariyyah mempunyai selisih tiga tahun.

Oleh karena itu dalam surah al-Kahfi Allah berfirman yang artinya: “Dan mereka tinggal di dalam gua mereka selama tigaratus dan ditambah sembilan tahun [lagi].” (al-Kahfi: 25) yaitu sembilan tahun menurut hitungan tahun Qamariyah untuk melengkapi tiga ratus tahun syamsyiyah yang sudah diketahui oleh ahlul kitab. (Berdasarkan penyelidikan perhitungan ilmu falak bahwa hijrah Nabi saw. terjadi pada tahun 622 [kelahiran] Masehi. Adapun pengangkatan menjadi Rasul terjadi 10 tahun sebelum hijrah, terhitung sejak dakwah jahriyyah, maka hal ini mendekati apa yang menjadi pendapat penulis ini).

Jarak waktu antara Isa bin Maryam sebagai Nabi terakhir dari kalangan Bani Israil dan Muhammad, penutup para Nabi adalah seperti yang ditegaskan dalam Shahih al-Bukhari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah orang paling dekat dengan putra Maryam. Karena antara diriku dengannya tidak ada seorang Nabi pun.”

Dalam hadits tersebut terdapat bantahan terhadap orang-orang yang mengaku bahwa ada seorang Nabi yang diutus setelah ‘Isa yang bernama Khalid bin Sinan, sebagaimana diceritakan oleh al-Qudha’i dan yang lainnya.

Maksud ayat tersebut adalah, Allah swt mengutus Muhammad saw. pada masa terputusnya pengutusan para Rasul, terjadi kebuntuan jalan, berubahnya agama, dan banyaknya orang yang menyembah berhala, menyembah api dan menyembah salib. Kehadiran Nabi Muhammad saw. merupakan nikmat yang paling sempurna. Kebutuhan akan kehadiran beliau merupakan persoalan umum. Karena kerusakan telah meluas ke seluruh belahan dunia, kesewenang-wenangan dan kebodohan pun telah demikian tampak jelas pada hampir semua orang, kecuali sebagian kecil saja yang berpegang pada sisa-sisa ajaran Nabi-Nabi terdahulu, yaitu sebagian dari kalangan pendeta Yahudi, para ahli ibadah agama Nasrani, dan kaum Shabi-in. Sedangkan agama itu sendiri telah menjadi kabur ajarannya bagi penghuni bumi secara keseluruhan sehingga Allah mengutus Muhammad saw. Maka Allah pun memberikan petunjuk kepada umat manusia. Dan dengan kehadiran beliau, Allah Ta’ala mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, serta meninggalkan mereka di atas jalan yang putih bersih dan syariat yang terang.

Oleh karena itu Allah berfirman: an taquuluu maa jaa-anaa mim basyiiriw wa laa nadziir (“Agar kamu tidak mengatakan: ‘Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.’”) maksudnya agar kalian tidak berhujjah dan berkata: “Hai orang-orang yang mengubah dan mengganti agama mereka, tidak ada seorang Rasulpun yang datang kepada kami yang menyampaikan kabar gembira dengan kebaikan dan memperingatkan dari keburukan.” Maka sunguh telah datang kepada kalian seorang penyampai berita gembira dan pemberi peringatan, yaitu Muhammad saw.

Mengenai firman Allah: wallaaHu ‘alaa kulli syai-in qadiir (“Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu,”) Ibnu Jarir mengatakan: “Makna penggalan ayat tersebut adalah: ‘Sesungguhnya, Aku mampu memberikan hukuman kepada orang yang durhaka kepada-Ku dan memberikan pahala kepada orang-orang yang taat kepada-Ku.”

Bersambung ke bagian 12