Tag Archives: tafsir hadits

Hadits Arba’in ke 34: Menyingkirkan Kemungkaran

7 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 34 (tiga puluh empat)

Abu Sa’id al-Khudriy ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah merubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu tingkatan iman paling lemah.” (HR Muslim)

KANDUNGAN HADITS

1. Berkaitan dengan hadits di atas:
Imam Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, bahwa orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya adalah Marwan. Seorang laki-laki mengingatkannya, “Khutbah dilakukan setelah shalat.” Marwan menjawab, “Yang demikian itu telah ditinggalkan.” Abu Sa’id berkata, “Laki-laki ini telah melakukan tugasnya dalam usaha menyingkirkan kemungkaran. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran…”

Disebutkan juga dalam Bukhari dan Muslim, bahwa Abu Sa’id ra. telah menarik lengan Marwan. Bisa jadi, setelah Marwan tidak mau menurut pada laki-laki yang mengingatkannya, maka Abu Sa’id marah dan menariknya.

2. Al-Haq dan al-bathil telah ada, dan selalu berpasangan sejak adanya manusia di muka bumi.
Setiap kali cahaya kebenaran mulai temaram, Allah mengirimkan orang-orang yang mau menyalakan cahaya tersebut hingga pengikut kebathilan tidak bisa berkutik.

Namun setiap kali pengikut kebatilan mendapat celah, mereka segera bergerak untuk membuat kerusakan di muka bumi. Ini adalah beban dan tanggung jawab yang berat bagi orang-orang yang hatinya terdapat cahaya keimanan. Semuanya akan bergerak untuk menghancurkan kebathilan, kecuali mereka yang tidak mempunyai iman, rela dengan kehidupan dunia dan siksa di akhirat.

Ibnu Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang Nabi sebelumku yang diutus Allah untuk umatnya, kecuali memiliki pembela dan pengikut. Mereka menjalankan ajaran dan perintahnya. Setelah itu muncullah generasi-generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya ia adalah mukmin, Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya ia adalah mukmin, dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya ia adalah mukmin. Di luar itu maka tidak ada sedikitpun keimanan.” (HR Muslim)

3. Memberantas kemungkaran.
Semua ulama sepakat bahwa memberantas kemungkaran hukumnya wajib, karena setiap muslim wajib memberantas kemungkaran yang ada sesuai dengan kemampuan masing-masing, baik dengan tangan, lisan atau hatinya.

a. Memberantas kemungkaran dengan hati.
Mampu mengetahui hal-hal yang ma’ruf dan mengingkari kemungkaran melalui hati merupakan fardlu ‘ain bagi setiap individu muslim, dalam kondisi apapun. Barangsiapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan kemunkaran, maka ia akan celaka. Dan barangsiapa mengetahui kemunkaran tetapi tidak mengingkarinya, maka ini pertanda pertama hilangnya iman dari hati.

Ali ra. pernah berkata: “Jihad yang menjadi kunci pertama kemenangan kalian, adalah jihad dengan tangan, lalu dengan lisan, lalu dengan hati. Barangsiapa yang tidak mengetahui yang baik, dan tidak mengingkari dengan hatinya kemunkaran yang terjadi, maka ia akan kalah. Sehingga, kondisinya pun berbalik, yang di atas menjadi di bawah.”

Suatu saat, Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki berkata, “Celakalah orang yang tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.” Mendengar hal ini Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Celakalah orang yang hatinya tidak mengenali kebaikan dan kemunkaran.”

Mengingkari kemunkaran dengan hati hanya dilakukan dalam kondisi lemah, yakni jika seseorang tidak bisa memberantas kemunkaran dengan tangan atau lisan. Ibn Mas’ud berkata, “Mungkin di antara kalian ini ada yang akan mengetahui kemunkaran, tapi tidak mampu memberantasnya. Ia hanya bisa mengadu kepada Allah bahwa ia benci kemunkaran itu.”

Apapun yang dikatakan lemah atau tidak mampu adalah kondisi dimana dimungkinkan [jika ia mengingkari kemunkaran dengan tangan atau lisan] adanya suatu bahaya yang akan menimpa diri atau hartanya, dan ia tidak mampu menanggung semua itu. Jika kemungkinan ini tidak ada, maka tetap diwajibkan untuk memberantas kemunkaran dengan tangan atau lisan.

Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat, Allah akan bertanya kepada seseorang, “Apa yang menghalangimu untuk memberantas kemunkaran yang kamu lihat?” Lalu Allah mengajarkan jawabannya, “Ya Rabbi, saya mengharapkan pengampunan-Mu, dan sayat takut musibah yang akan menimpaku, atau hartaku.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Meridlai perbuatan dosa adalah dosa besar. Barangsiapa yang mengetahui perbuatan dosa, dan ia ridla terhadap dosa tersebut, sama artinya ia telah melakukan dosa besar. Baik ia melihat secara langsung atau mendengar.

Al-Urs bin Umair ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika suatu kemaksiatan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihat tapi membencinya, seperti orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan orang yang mendengar dan merestuinya, ia seperti orang yang melihatnya.” (HR Abu Dawud)

Ini tidak lain karena ridla terhadap suatu dosa berarti tidak mengingkari dosa tersebut, meskipun dengan hati. Padahal mengingkari kemunkaran dengan hati adalah fardlu ‘ain, sedangkan meninggalkan fardlu ‘ain adalah dosa besar.

b. Memberantas kemungkaran dengan tangan dan lisan
Dalam masalah ini terdapat dua hukum:
– Fardlu kifayah, jika kemunkaran diketahui oleh lebih dari satu orang dari masyarakat muslim, maka hukum memberantas kemunkaran tersebut adalah fardlu kifayah. Artinya jika sebagian mereka, meskipun hanya satu orang telah menunaikan kewajiban tersebut, maka kewajiban itu telah gugur bagi lainnya. Namun jika seorang pun tidak ada yang melaksanakan kewajiban itu, maka semua orang yang sebenarnya mampu melaksanakannya mendapat dosa.

Firman Allah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali ‘Imraan: 104)

– Fardlu ‘ain.
Hukum ini berlaku bagi seseorang [sendirian] yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantas kemunkaran tersebut. Atau jika yang mengetahui kemunkaran tadi masyarakat banyak, namun hanya satu orang yang mampu memberantasnya. Dan dua kondisi ini, hukum pemberantasan kemunkaran bagi orang tersebut adalah fardlu ‘ain. Jika ia tidak melaksanakannya, maka ia berdosa, sebagaimana disinyalir dalam hadits Nabi di atas, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran…..”

4. Dampak yang timbul jika tidak dilakukan pemberantasan terhadap kemungkaran
Jika kemunkaran tidak diberantas, maka kejahatan akan tersebar luas di muka bumi, kemaksiatan akan merajalela, dan jumlah pembuat kerusakan semakin membengkak. Bahkan mereka mampu menguasai orang-orang yang baik sehingga cahaya kemuliaan menjadi padam. Pada saat inilah, mereka layak mendapat kemarahan Allah.

Allah swt. berfirman, “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.” (al-Maa-idah: 78-79)

Abu Bakar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Jika terjadi kemaksiatan dalam suatu kaum, tetapi mereka tidak memberantasnya, padahal mereka mampu melakukannya, maka dikhawatirkan Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada mereka semua.” (HR Abu Dawud)

Riwayat lain menyebutkan, “Padahal yang tidak melakukan kemaksiatan lebih banyak daripada yag melakukan kemaksiatan.”

Jarir ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika suatu kaum mengetahui kemaksiatan, tetapi mereka tidak memberantasnya, padahal mereka mampu melakukannya, maka Allah akan menimpakan adzab kepada mereka sebelum mereka meninggal.” (HR Abu Dawud)

Riwayat Ahmad menyebutkan, “Padahal yang tidak melakukan kemaksiatan lebih berwibawa, dan lebih banyak jumlahnya daripada yang melakukan kemaksiatan.”

‘Adi bin Umair ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengadzab manusia secara umum hanya karena perbuatan maksiat dari orang-orang tertentu, kecuali mereka mengetahui kemaksiatan itu, namun tidak mau memberantasnya. Padahal mereka sebenarnya mampu. Jika mereka melakukan seperti itu maka Allah akan mengadzab semuanya, yang tidak melakukan dan yang melakukan.” (HR Abu Dawud)

Riwayat lain menyebutkan: “…..Akan tetapi manakala kemunkaran dilakukan secara terang-terangan, maka mereka semua pantas mendapat adzab.”

Rasulullah saw. juga mengilustrasikan amar ma’ruf nahi munkar dengan orang yang naik kapal. “Perumpamaan orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dan orang yang melakukan kemunkaran, adalah seumpama satu kaum yang berbagi tempat di sebuah kapal. Sebagian penumpang mendapatkan tempat di lantai atas dan sebagian lain mendapatkan tempat di lantai bawah. Ketika penumpang lantai bawah membutuhkan air, mereka harus melewati penumpang di lantai atas. Maka mereka berkata, “Kita lubangi saja dinding lantai bawah, tanpa harus mengganggu penumpang atas.” Jika mereka dibiarkan melakukan rencana ini, maka semua penumpang akan tenggelam. Sebaliknya, jika mereka dicegah, maka semua penumpang akan selamat.” (HR Bukhari)

Ilustrasi ini menggambarkan bahwa setiap kemunkaran yang dilakukan seseorang dalam masyarakatnya sebenarnya merupakan bahaya yang dapat mengancam keselamatan semua masyarakat.

5. Pemahaman yang harus dirubah
Ada sebagian masyarakat yang mempunyai pemahaman salah terhadap amar ma’ruf nahi munkar. Ketika mereka tidak mampu atau tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mereka berdalih dengan ayat berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, orang yang sesat itu tidak akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.” (al-Maidah: 105)

Padahal ayat ini justru sebuah isyarat untuk melaksanakan nahi munkar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Bakar ketika melihat fenomena penyimpangan tersebut. Abu Bakar ra. berkata: “Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menempatkan bukan pada tempatnya. Padahal kami telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Jika manusia mengetahui kedhaliman dan tidak memberantasnya, maka Allah akan menimpakan adzab kepada mereka.” (HR Abu Dawud)

Imam Nawawi berkata: “Yang benar, dalam memahami ayat ini adalah, ‘Sesungguhnya jika kalian menunaikan apa yang telah diwajibkan, maka orang-orang selain kalian, yang tidak mau menunaikannya, tidak akan mencelakakan kalian.’” Ini senada dengan firman Allah: “Dan orang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”(al-An’am: 164)

Jika demikian, maka yang diwajibkan adalah amar ma’ruf nahi munkar. Jika ia melakukan amar ma’ruf nahi munkar, namun orang yang melakukan kemunkaran tidak mau mendengar, maka ia telah berlepas dari tanggun jawab melakukan kewajiban tersebut. Karena yang diwajibkan hanyalah amar ma’ruf nahi munkar, dan bukan keberhasilan dalam melaksanakan kewajiban itu. wallaHu a’lam.

6. Tidak memberantas kemungkaran karena takut menimbulkan kerusakan.
Jika seseorang mampu memberantas kemunkaran yang ia ketahui, namun ia sangat yakin jika itu dilakukan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kemunkaran yang diberantas, maka dalam kondisi seperti ini kewajiban untuk memberantas kemunkaran telah gugur, sebagai refleksi dari kaidah fiqih yang menyatakan, “Memilih mudlarat yang lebih ringan dari dua mudlarat yang ada.”

Namun perlu diingat, bahwasannya yang dapat menggugurkan kewajiban adalah dugaan yang mendekati kepastian, bukan sekedar dugaan yang tidak mendasar, yang terkadang dipakai sebagai dalih sebagian orang untuk melepaskan tanggung jawab nahi munkar.

7. Amar ma’ruf dan Nahi munkar terhadap orang yang diyakini tidak akan menerimanya.
Para ulama berpendapat bahwa melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang yang diyakini tidak akan menerima, adalah wajib. Karena kewajibannya hanyalah menyampaikan, sedang menerima atau tidak bukan menjadi tanggung jawab kita.

Allah swt. berfirman: “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang memberi peringatan.” (al-Ghaasyiyah: 21)
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan [risalah].”(asy-Syura: 48)
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”(adz-Dzaariyaat: 55)
Inilah yang dimaksud oleh Abu Sa’id ra. ketika ia berkata: “Ia telah melakukan kewajibannya.”

Allah juga menceritakan perihal orang-orang yang berusaha mendakwahi orang-orang Yahudi yang melanggar pada hari Sabtu, meskipun orang-orang yang mendakwahi mereka tahu persis jika nasehatnya tidak akan membuahkan hasil: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab dengan adzab yang amat keras? Agar kami mempunyai alasan [pelepas tanggung jawab] kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.”(al-A’raaf: 164)

Semua ini bantahan yang sangat jelas terhadap orang-orang pengecut yang tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, dan bahkan berusaha menghalangi orang lain untuk menunaikannya, dengan seolah mengatakn, “Mengapa kalian bersusah payah. Biarkan saja. karena ucapan kalian tidak akan berguna sama sekali.” Bahkan mungkin juga berargumen dengan ayat berikut: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (al-Qashash: 56)

Mereka melupakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan Abu Thalib. Rasulullah saw. tidak henti-hentinya mendakwahinya, hingga menjelang wafatnya. Kemudian pamannya wafat dalam keadaan musyrik. Lalu turunlah ayat ini, untuk menghibur kesedihan Nabi terhadap pamannya, bahwa ia tidak bisa memberikan hidayah di hati orang yang paling dicintainya sekalipun. Ayat ini sama sekali tidak melarang Nabi saw. untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang yang tidak mau menerima seruan kebaikan. Firman Allah: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)

8. Ucapkan kebenaran tanpa keraguan
Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tanpa harus memandang siapa yang ia hadapi, siapapun dia dan apapun jabatannya. Juga tidak peduli terhadap cercaan dan ancaman yang ia terima, baik terhadap dirinya, keluarganya mapun hartanya, selama ancaman tersebut masih bisa ditanggungnya. Dengan tetap memperhatikan metode dakwah yang baik dan benar.

Abu Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah seseorang terhalang oleh kehebatan seseorang untuk mengatakan al-haq, jika ia mengetahuinya.” Setelah itu Abu Sa’id ra. menangis dan berkata, “Demi Allah, kita menyaksikan banyak kemunkaran, namun kami takut.” (HR Tirmidzi)

Riwayat Ahmad menambahkan, “Sesungguhnya mengatakan yang benar atau mengingatkan orang pada siksaan neraka, tidak akan mempercepat ajal yang telah ditetapkan dan tidak akan menjauhkan dari rizky yang telah ditentukan.”

Abu Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah di antara kamu menghinakan dirinya.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana seseorang menghinakan dirinya?” beliau menjawab, “Ia melihat kemunkaran dilakukan, tetapi ia diam saja. lalu Allah bertanya kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk mengatakan ini dan itu?” Ia menjawab, “Karena saya takut kepada mereka.” Allah berkata, “Aku lebih berhak untuk kamu takuti.” (HR Abu Dawud)

Para ulama berpendapat, bahwa ketakutan dalam konteks ini adalah ketakutan tanpa dasar, bukan ketakutan dari sesuatu yang diyakini akan terjadi dan tidak mampu menanggungnya, atau timbulnya kerusakan yang lebih besar, sebagaimana penjelasan di atas.

9. Amar ma’ruf nahi munkar terhadap para pemimpin.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah hak dan kewajiban bagi umat Islam. Sedangkan sebuah umat terdiri dari pemimpin dan rakyat. Jika pemimpin berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada rakyatnya, maka rakyat juga berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada pemimpinnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits di atas.

Ibnu Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada seorang Nabi sebelumku yang diutus untuk umatnya, kecuali memiliki pembela dan pengikut. Mereka menjalankan ajaran dan perintahnya. Setelah itu muncullah generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa-apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia adalah mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannnya, ia adalah mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia adalah mukmin. Di luar itu tidak ada sedikitpun keimanan.” (HR Muslim)

Sa’id bin Jubair ra. menceritakan bahwa dirinya berkata kepada Ibnu ‘Abbas ra., “Apakah saya harus melakukan amar ma’ruf kepada penguasa?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Jika kamu khawatir akan dibunuh, maka tidak wajib.” Sa’ad bin Jubair ra. pun mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali, jawaban yang diterima pun sama. Seraya Ibnu ‘Abbas ra. menambahkan, “Jika kamu harus melakukannya, maka sebaiknya antara kamu dan dia saja.”

Imam Thawus menyebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu ‘Abbas ra. “Tidakkah saya harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar kepada sultan?” Ibnu Abbas ra. menjawab, “Jangan bikin kekacauan.” Ia berkata, “Apa pendapatmu, jika ia menyuruhku melakukan maksiat?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Jika itu yang kamu maksud, maka jadilah seorang laki-laki.”

Imam Haramain berkata, “Jika seorang penguasa berlaku dhalim, sementara nasehat tidak bisa menghentikannya, maka majelis syura bisa menurunkannya dari jabatannya.” Imam Nawawi menambahkan, “Cara ini bisa dilakukan, manakala tidak dikhawatirkan akan timbul kerusakan yang lebih besar.”

Sesaat setelah dibaiat menjadi khalifah, Abu Bakar ra. berkhutbah, “Saya menjadi pemimpin kalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika saya benar maka bantulah saya dan jika salah maka luruskanlah. Taatilah aku selama aku mentaati Allah. Namun jika saya maksiat, maka tiada ketaatan bagi kalian.”

Hal senada juga dilakukan ‘Umar bin Khaththab ra. Suatu ketika ada seseorang yang berkata dengan nada yang amat keras, “Bertakwalah kamu kepada Allah, wahai ‘Umar!!” Orang-orang yang ada di sekeliling Umar sepontan berkata, “Pelankan suaramu di depan Amirul Mukminin.” Akan tetapi ‘Umar justru menjawab, “Tidak ada kebaikan sama sekali jika kalian tidak mengatakannya [nasehat], dan tidak ada kebaikan sama sekali juga bagi kami jika kami tidak menerimanya.”
Semoga para pemimpin umat Islam mendapat taufik dan hidayah untuk dapat mencontoh generasi terdahulu mereka.

10. Saling menasehati, dan bukan membuat kekacauan
Dalam memberantas kemunkaran, tidak semestinya menggunakan pedang dan berbagai senjata lainnya, hingga menimbulkan pertumpahan darah. Yang dituntut sebenarnya adalah saling memberi nasehat, dan inilah sebenarnya inti ajaran agama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw.

“Agama itu nasehat.” Kami bertanya, “Bagi siapa?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin muslim kaum muslimin pada umumnya.” (HR Muslim)

Adapun nasehat terhadap kitab-kitab Allah adalah dengan mengamalkannya. Nasehat terhadap Rasul-Rasul Allah adalah dengan komitmen terhadap sunnahnya, sedangkan nasehat terhadap orang-orang muslim baik penguasa maupun rakyat adalah dengan saling melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.

Firman Allah: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)

11. Antara keras dan lunak dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilaksanakan dengan penuh bijaksana, sebagaimana firman Allah:
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)

Hikmah tentu disesuaikan dengan kondisi orang yang dihadapi dan perkara yang akan disampaikan. Kadang harus menggunakan ucapan yang lunak dan basa-basi. Kadang juga harus keras. Firman Allah: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(ThaaHaa: 43-44)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)

Karena itulah, orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkarAmar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilaksanakan dengan penuh bijaksana, sebagaimana firman Allah:
“Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)

Hikmah tentu disesuaikan dengan kondisi orang yang dihadapi dan perkara yang akan disampaikan. Kadang harus menggunakan ucapan yang lunak dan basa-basi. Kadang juga harus keras. Firman Allah: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.”(ThaaHaa: 43-44)
“Hai Nabi, berjihadlah [melawan] orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (at-Taubah: 73)
“Maka sampaikanlah segala apa yang diperintahkan.” (al-Hijr: 94)

Karena itulah, orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar harus memiliki sifat-sifat tertentu. Di antaranya yang terpenting adalah: lemah lembut, adil dan berilmu.

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak layak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, kecuali orang yang meliki tiga sifat: lembut terhadap apa yang dia perintahkan dan terhadap apa yang dia larang, dan memahami apa yang dia perintahkan dan apa yang ia larang.”

Imam Ahmad berkata, “Manusia perlu kelembutan. Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar pun harus dilakukan dengan lembut. Kecuali terhadap orang yang sengaja menampakkan kemunkarannya. Mereka tidak ada kelembutan kepadanya.”

Ahmad berkata, “Menyuruh dengan lembut dan tidak angkuh. Jika tidak mendapatkan sambutan yang tidak mengenakkan hati tidak marah. Disebutkan bahwa jika melewati hal-hal yang dibenci, teman-teman Ibnu Mas’ud mengingatkan agar tidak gegabah.””

12. Sabar dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar
Ibnu Syubrumah berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar itu seperti jihad. Satu orang harus bisa bersabar ketika berhadapan dengan dua orang. Ia tidak boleh melarikan diri. Tapi jika yang dihadapi lebih dari dua, ada keringanan baginya. Jika ia bisa menanggung derita yang didapat, itu lebih baik.”
Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Ahmad.

Allah berfirman, “Dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik dan cegahlah [mereka] dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (Lukman: 17)
Jika yang ditakuti adalah cercaan atau kata-kata yang menyakitkan, maka kewajiban amar ma’ruf nahi munkar masih tetap berlaku.

13. Kemuliaan, bukan hinaan.
Kesulitan dan segala resiko yang dialami di jalan dakwah bukanlah kehinaan, tapi kemuliaan. Bahkan kematian di jalan dakwah adalah kesyahidan yang paling mulia.

Imam Ahmad ditanya, “Tidakkah Nabi pernah bersabda, ‘Seorang muslim tidak boleh menghinakan diri.’ Yakni mencari resiko yang tidak tidak sanggup ditanggungnya?” Beliau menjawab, “Permasalahan berbeda.” Artinya bahwa yang dimaksud Nabi adalah manakala ia merasa bahwa ia tidak mampu menanggung resiko yang akan dialami. Sedangkan yang dibicarakan adalah seseorang yang yakin bahwa dia tidak bisa menanggung resiko yang akan dialami.

Abu Sa’id ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling mulia adalah mengatakan kebenaran di hadapan pemimpin yang dhalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jabir bin Abdillah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Penghulu para syahid adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang mendatangi pemimpin yang dhalim, menyuruhnya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya dari yang munkar lalu ia dibunuh.” (HR Hakim)

Abi Ubaidillah Ibnu Jarrah ra. meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, mati syahid yang bagaimanakah yang paling tinggi derajatnya?” Rasulullah saw. menjawab, “Seorang yang berdiri di depan pemimpin yang dhalim, menyuruhnya kepada yang ma’ruf dan mencegahnya dari munkar, lalu ia dibunuh.” (HR al-Bazzar)

14. Nahi munkar hanya boleh dilakukan terhadap kemunkaran yang tampak.
Seorang muslim diwajibkan memberantas kemunkaran, jika kemunkaran tersebut jelas adanya, dan ia sendiri menyaksikannya. Dalilnya adalah hadits Nabi, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran….” karenanya, jika seseorang ragu-ragu terhadap keberadaan kemunkaran, maka ia tidak boleh memata-matai.

Semakna dengan “menyaksikan” adalah manakala ia diberitahu oleh orang yang bisa dipercaya atau ada bukti-bukti yang menguatkan adanya kemunkaran. Dalam kondisi seperti ini, ia harus mencegah kemunkaran tersebut dengan cara yang sesuai.

Dalam hal ini, bolehkan melakukan pengintaian, atau bahkan masuk rumah orang tanpa izin? Tergantung perkaranya. Jika kemunkaran yang terjadi dalam sebuah tempat tertutup perlu dicegah segera, seperti zina dan pembunuhan, maka dibolehkan. Bahkan boleh melakukan pengintaian terhadap tempat-tempat yang diduga kuat menjadi sarang kemunkaran seperti ini. Agar masyarakat terbebas dari kehinaan.

Seseorang mengadu kepada Ibnu Mas’ud, “Janggut si fulan basah oleh khomr.” Ia menjawab, “Allah melarang kita untuk melakukan pengintaian.”

15. Nahi munkar tidak berlaku untuk perkara-perkara yang diperdebatkan kemunkarannya oleh para ulama.
Para ulama sepakat bahwa yang harus diberantas hanyalah perkara-perkara yang jelas dan disepakati kemunkarannnya. Misalnya: minum minuman keras, riba, tidak menutup aurat, meninggalkan shalat, tidak mau berjihad, dan lain sebagainya.

Adapun masalah-masalah yang masih diperdebatkan di antara ulama, apakah perkara tersebut haram atau tidak, wajib atau tidak, maka orang yang melakukan perkara tersebut tidak bisa diberantas. Dengan syarat, perdebatan ini memang terjadi dan diakui oleh para ulama yang kredibel, dan berdasarkan pada dalil. Perbedaan yang muncul dari kalangan ahl bid’ah dan kelompok yang berseberangan dengan ahlu sunnah wal jama’ah tidak termasuk dalam kategori ini. Seperti Khawarij dan yang lain. Begitu juga perbedaan yang tidak didasari dalil atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Seperti nikah mut’ah [nikah kontrak].

16. Tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar bersifat umum dan khusus.
Amar ma’ruf nahi munkar diwajibkan bagi setiap muslim yang mengetahui kemunkaran, dan ia mampu untuk memberantasnya. Kewajiban ini tidak ada diskriminasi antara penguasa dan rakyat jelata, ulama maupun orang biasa.

Firman Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusi, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (Ali Imraan: 110)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki maupun perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”(at-Taubah: 71)

Ini semua menunjukkan bahwa amanah tersebut dibebankan kepada umat Islam secara umum. Sebagaimana diisyaratkan dalam hadits, “Barangsiapa di antara kalian yang mengetahui kemunkaran.”
Namun demikian, tanggung jawab tersebut mempunyai tingkat penekanan yang lebih pada dua kelompok: Ulama dan umara’ [pemimpin].

Ulama mempunyai tanggung jawab lebih besar karena mereka mengetahui berbagai hukum Islam, yang tidak diketahui kebanyakan masyarakat. Apalagi mereka ini mempunyai tingkat kewibawaan yang lebih tinggi, hingga membuat amar ma’ruf dan nahi munkar yang dilakukan oleh mereka lebih didengar dan diperhatikan. Selain itu, mereka juga dapat melakukannya dengan hikmah dan nasehat yang baik.

Firman Allah: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)

Alangkah bahayanya jika para ulama mengabaikan amanah yang dibebankan Allah di atas pundaknya ini. Ibnu Mas’ud ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ketika bani Israil bergelimang dengan kemaksiatan, ulama mereka melarang. Namun mereka tidak merespon. Para ulama lalu ikut duduk bersama mereka, makan bersama, minum bersama. Maka Allah menutup hati mereka dan melaknat mereka melalui lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” Rasulullah saw. yang saat itu berdiri lalu duduk dan bersabda, “Demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, mestinya mereka terus mengajak kaum itu hingga mau menerima kebenaran.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tanggung jawab para pemimpin lebih besar. Bahaya yang ditimbulkan, jika mereka tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, juga lebih besar. Karena pemimpin mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki kemampuan untuk menerapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Bahkan bisa memaksa masyarakat untuk melaksanakan setiap perintah. Mereka tidak perlu takut terhadap penolakan masyarakat, karena mereka memiliki kekuatan dan senjata yang cukup.

Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang takut kepada penguasa lebih banyak daripada mereka yang takut kepada al-Qur’an.” (disebutkan Ibnu Atsir dalam an-Nihayah)
Oleh karena itu, jika para pemimpin tidak mau melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, maka ahli maksiat semakin merajalela dalam menyebarkan kemaksiatan, tanpa mengindahkan hukum Islam sama sekali.

Karena itulah sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yang layak mendapat dukungan dari Allah adalah mau menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj: 40-41)

Dengan demikian, jika pemimpin mengabaikan amanah yang besar tersebut, maka mereka benar-benar telah mengkhianati amanah yang telah dibebankan Allah di atas pundak mereka dan telah menyia-nyiakan rakyatnya.

Yang lebih celaka, bila para pemimpin bergelimang dalam kemaksiatan, dan tidak mau mendengarkan orang yang menasehatinya. Apalagi, jika mereka menghalangi al-ma’ruf [kebaikan] dan menyuruh kepada yang munkar. Mereka inilah yang disebut dalam firman Allah, “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru [manusia] ke neraka pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (al-Qashash: 41)

17. Adab dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Salah satu adab dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah melaksanakan apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dengan demikian akan membawa dampak besar bagi orang yang ia seru. Bahkan amal perbuatannya juga diterima Allah swt. dan bukan justru menjadi hujjah yang menjerumuskan dirinya pada hari kiamat kelak.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 2-3)

Usamah bin Zaid berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat, ada seorang laki-laki yang dicampakkan ke dalam neraka, lalu seluruh isi perutnya terburai keluar. Ia kemudian berguling-guling seperti himar yang berputar sekitar penggilingan. Melihat hal tersebut penghuni neraka bertanya kepadanya: “Ya fulan, apa yang terjadi dengan dirimu?” Ia menjawab, “Memang… saya telah melakukan amar ma’ruf. Namun saya menyuruh kepada kebaikan tetapi saya sendiri tidak melakukannya. Saya melarang dari kemunkaran, tapi saya sendiri tidak meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

18. Termasuk bagian dari keimanan.
Amar ma’ruf nahi munkar termasuk bagian dari keimanan. Keutamaan amar ma’ruf nahi munkar ini berbeda-beda tingkatannya, sesuai dengan pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar itu sendiri. Orang yang memberantas kemunkaran dengan tenagannya tentunya lebih utama dibandingkan dengan orang yang melakukan dengan lisannya. Orang yang melakukan dengan lisannya lebih utama daripada orang yang melakukan dengan hatinya. Sebagaimana disbutkan dalam hadits, “Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” Diriwayatkan bahwa beliau juga bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah. Namun kedua-duanya adalah baik.”

19. Niat dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar hendaknya hanya mengharap keridlaan Allah swt. dan dalam rangka merealisasikan perintah-Nya semata. Bukan karena ambisi duniawi.

Seorang muslim dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar pada dasarnya hanyalah semata-mata karena rasa sayang terhadap manusia yang melakukan kemaksiatan. Teramat sayang dan berusaha menolong mereka dari kemarahan adzab Allah, karena kemaksiatan yang mereka lakukan.

Semua itu ia lakukan untuk mengharap pahala dari Allah, dan menjaga dirinya dari siksa neraka jahanam yang akan didapat jika tidak melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Jarir Ibnu Abdullah al-Bajly ra. berkata, “Saya telah membaiat Rasulullah saw. untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim.” (HR Bukhari dan Muslim)

20. Ubudiyah [penghambaan] yang sesungguhnya.
Boleh jadi yang mendorong untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar bagi seseorang adalah keimanannya yang mendalam kepada Allah swt. bahwa Allah adalah Dzat yang harus ditaati, karena itu Dia tidak pantas untuk ditentang. Dia adalah Dzat yang harus diingat, karena itu Dia tidak boleh dilupakan. Semua manusia harus bersyukur kepada-Nya, karena itu tidak boleh seorang pun kufur kepada-Nya.

Dengan keimanannya itu, ia kemudian berusaha untuk menggiring setiap makhluk untuk meyakini dan mentaati Allah swt. Dalam usahanya ini, ia akan rela mengorbankan apa saja, termasuk sesuatu yang paling berharga yang dimiliki. Andai ia mendapatkan penderitaan ataupun mara bahaya, maka ia akan menerimanya dengan lapang dada. Boleh jadi justru akan meminta kepada Allah, agar Allah memberikan ampunan dan hidayah kepada orang yang telah berlaku tidak baik kepadanya.

Sikap seperti ini tidak akan bisa tercapai, kecuali oleh orang yang telah tertanam dalam jiwanya ubudiyah yang hakiki. Lihatlah Rasulullah saw. beliau telah disakiti kaumnya, dipukuli, hingga darah beliau mengalir di wajah. Namun beliau hanya berkata, “Ya Allah ampunilah kaumku, karena mereka adalah orang-orang yang tidak tahu.”

Sebagian salafush shalih ada yang berkata, “Saya mendambakan semua makhluk menaati Allah, meskipun dagingku harus dicabik-cabik.”
Abdullah bin ‘Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkata kepada ayahnya, “Saya mendambakan diriku dan dirimu dibakar di atas api, karena membela agama Allah.”

21. Kesimpulan
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, masalah ini [amar ma’ruf nahi munkar] telah dilupakan dalam waktu yang cukup lama. Hanya sebagian orang yang mau melakukannya. Padahal masalah ini adalah masalah yang sangat penting. Ia menjadi tulang punggung sebuah perintah. Jika perbuatan keji merajalela maka adzab akan menimpa semuanya, baik yang shalih maupun yang durhaka.

Firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nuur: 63)

Karenanya, bagi orang yang benar-benar menghendaki akhirat dan menginginkan keridlaan Allah, hendaknya memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh. Karena masalah ini membawa manfat yang sangat besar. Terlebih jika disertai niat yang ikhlas dan tidak menghentikan usahanya hanya karena pangkat orang yang dihadapinya, karena Allah telah berfirman,

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong [agama]-Nya.”(al-Hajj: 40)
“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada [agama] Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Ankabuut: 69)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3)

Ketahuilah bahwa pahala yang akan didapat disesuaikan dengan kesusahan yang telah dialami. Tidak layak, jika seseorang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena alasan persahabatan dan kasihan. Sebaliknya, persahabatan dan rasa kasihan itulah yang harus mendorong untuk melakukan kewajiban ini. Para Nabi menjadi kekasih orang-orang yang beriman karena upaya mereka agar kaumnya mendapat hidayah.

Amar ma’ruf nahi munkar hendaknya dilakukan dengan lemah lembut agar lebih membuahkan hasil. Imam Syafi’i pernah berkata, “Baransiapa menasehati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka ia benar-benar telah memberi nasehat. Sedangkan barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang banyak, maka ia telah membuka aibnya.”

wallaaHu a’alam.
&

Hadits Arba’in ke 36: Rangkuman dari Berbagai Kebaikan

7 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 36 (tiga puluh enam)

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari kesusahan di dunia, pasti Allah akan membebaskannya dari kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang kesulitan, pasti Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan di akhirat.
Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.
Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu [yang baik], pasti Allah memberinya kemudahan ke surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah Allah [masjid], membaca dan mempelajari al-Qur’an, niscaya mereka merasakan ketenteraman dan kasih sayang. Para malaikat berkerumun di sekeliling mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan semua makhluk yang berada di sisinya.
Orang yang amal perbuatannya kurang sempurna, tidak bisa disempurnakan oleh kemuliaan nasab.” (HR Muslim)

URGENSI HADITS

Imam Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Ia memuat berbagai ilmu, berbagai kaidah dan berbagai adab.” Ibnu ‘Alan menambahkan, “Juga mencakup berbagai fadlail [keutamaan], manfaat dan hukum.

KANDUNGAN HADITS

1. Orang-orang muslim ibarat satu tubuh.
Sesungguhnya antara individu-individu yang berada dalam masyarakat Islam adalah bagaikan satu tubuh. Setiap anggota masyarakat merasakan apa yang dirasakan anggota masyarakat lainnya. Sama-sama merasakan kegembiraan atau kesedihan.
Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayangnya bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka sekujur tubuh akan merasakan kurang tidur dan panas.” (HR Muttafaq ‘alaiHi)

2. Berbagai macam problematika di dunia
Sesungguhnya kehidupan penuh dengan segala problematika, dan seringkali dialami oleh seorang muslim. Karenanya muslim yang lain dituntut untuk membantu menyelesaikan berbagai problematika tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan cara-cara berikut:

a. Menolong dari kedhaliman
Seorang muslim tidak akan mendhalimi saudaranya sesama muslim. Namun ini belumlah cukup untuk mendapatkan keridlaan Allah Ta’ala jika tidak diiringi dengan usaha yang gigih untuk turut menjauhkan saudaranya dari kedhaliman orang lain.

Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mendhaliminya dan tidak membiarkannya didhalimi.” (Muttafaq ‘AlaiHi) riwayat Muslim menyebutkan, “Dan tidak menghinakannya.”

Rasulullah saw. juga bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia melakukan kedhaliman ataupun ia didhalimi.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulallah, saya memang harus menolongnya ketika ia didhalimi, lalu bagaimana jika ia melakukan kedhaliman, bagaimana saya harus menolongnya?” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu menghalanginya untuk tidak berbuat dhalim, berarti kamu telah menolongnya.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Terutama jika kedhaliman yang dirasakan oleh saudara kita akibat komitmennya terhadap Islam. Allah befirman: “Jika mereka minta pertolongan kepadamu [urusan pembelaan agama] maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (al-Anfaal: 72)

Menolong seorang mukmin diwajibkan dalam kondisi apapun, baik kedhaliman itu kasat mata atau tidak, terhadap jiwa, harta maupun kehormatan.
Sahl bin Hanif ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengetahui seorang mukmin dihinakan dan ia mampu menolongnya, namun tidak mau menolongnya, maka Allah akan menghinakannya di depan semua makhluk pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad)

b. Membebaskan dari tahanan musuh
Jika seorang muslim ditahan musuh, maka orang-orang muslim yang lain harus bersegera untuk membebaskannya. Jika tidak maka bisa jadi orang-orang kafir itu berupaya menggoyah keyakinannya. Abu Musa al-Asy’ari ra. berakata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan bebaskanlah orang yang berada dalam tahanan musuh.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

c. Memberikan hutang jika diperlukan.
Jika seorang muslim mengalami krisis keuangan, dan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan primernya: sandang, pangan, papan, pengobatan, dan lain sebagainya maka masyarakat muslim wajib untuk segera membantunya. Minimal memberi pinjaman yang baik, sebagai ganti dari praktek riba yang banyak beredar dalam masyarakat dewasa ini. Firman Allah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (al-Muzzammil: 20)

Dengan demikian akan terealisasi masyarakat yang saling menopang, dan juga akan mendapatkan pahala dari Allah swt. firman Allah swt: “Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [menafkahkan hartanya di jalan Allah] maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah: 245)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghutangi seorang muslim satu dirham sebanyak dua kali maka baginya pahala satu kali shadaqah.” (HR Ibnu Hibban)

Bahkan sangat boleh jadi pahala yang memberikan pinjaman itu melebihi shadaqah, tentunya sesuai dengan kondisi orang yang memberikan hutang dan yang dihutangi.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada malam ketika aku melakukan perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis [Isra’] saya melihat sebuah tulisan di pintu surga: shadaqah akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, sedangkan pemberian utang akan dilipatgandakan delapan belas kali lipat. Lalu aku bertanya, “Wahai Jibril, apa yang menyebabkan pemberian utang lebih baik daripada shadaqah?” Jibril menjawab, “Karena orang yang meminta [memerlukan shadaqah] kadang memiliki [sesuatu yang diberikan kepadanya], akan tetapi orang yang memberikan pinjaman, pada dasarnya memberikan sesuatu karena memang benar-benar dibutuhkan.” (HR Ibnu Majah)

3. Kesusahan pada hari kiamat.
Alangkah perihnya penderitaan di hari kiamat. Karenanya, seorang muslim sangat memerlukan amal shalih agar bisa selamat pada hari itu, hingga bisa menuju surga.

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Allah mengumpulkan semua makhluk, baik yang hidup di masa lampau ataupun yang akan datang, di satu tempat. Pada hari itu mereka mendengar suara penyeru, pandangan menembus mereka, dan matahari sangat dekat di atas mereka, hingga mereka merasakan kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu menahannya. Mereka saling bertanya, “Tidakkah kalian melihat apa yang sedang kalian alami? Tidakkah kalian melihat siapa yang dapat memberikan syafaat kepada kalian di sisi Tuhan kalian?”(HR Bukhari dan Muslim)

‘Aisyah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat semua manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan.” Saya kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, semua laki-laki dan perempuan, dan mereka saling melihat satu sama lain?” Rasulullah menjawab, “Hari itu sangat dahsyat sehingga mereka tidak akan memikirkan hal lain.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Ibnu ‘Umar berkata: Berkenaan dengan firman Allah, ‘[yaitu] hari [ketika] manusia menghadap Tuhan semesta alam.’ (al-Muthaffifiin: 5) Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kamu berdiri dalam genangan keringatnya sampai tengah-tengah daun telinganya.”

Dalam penderitaan yang dahsyat tersebut, seorang mukmin akan mendapatkan keadilan dari Allah swt. Allah akan membalas apa yang telah mereka kerjakan di dunia. Jika seorang muslim di dunianya mengentaskan orang-orang mukmin dari kesusahannya, maka Allah akan mengeluarkannya dari berbagai kesusahan pada hari kiamat, bahkan berlipat ganda dari apa yang telah dilakukan di dunia.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengeluarkan seorang muslim dari kesusahan dunia, maka Allah akan mengeluarkannya dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat.”

4. Memudahkan orang yang mendapat kesulitan.
Kesulitan seseorang yang paling berat biasanya adalah berkenaan dengan hutang yang tidak bisa dibayar saat jatuh tempo, bisa juga lantaran banyaknya tanggungan keluarga, akan tetapi tidak mampu memberikannya.

Dalam kondisi apapun, yang pasti umat Islam dituntut untuk mempermudah orang yang mendapat kesulitan, dan ini bisa dilakukan dan dua jalan:

a. Orang yang memberikan pinjaman hutang menangguhkan waktu pembayaran hingga orang yang berhutang memiliki kelonggaran untuk membayarnya. Solusi seperti ini diwajibkan. Allah swt. berfirman: “Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” (al-Baqarah: 280)

b. Memutihkan sebagian atau seluruh hutang [menganggap lunas]. Memberi kemudahan dengan cara seperti ini sifatnya sunnah dan mulia di sisi Allah swt. Dia berfirman: ““Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Jika kamu menshadaqahkannya, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 280)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menangguhkan kesulitan orang yang berhutang atau membebaskan hutangnya, maka Allah akan memberi naungan dengan naungan-Nya.” (HR Muslim)
“Barangsiapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesusahan pada hari kiamat, hendaklah ia memudahkan kesulitan orang yang berhutang atau memutihkannya [menganggap lunas].” (HR Muslim)

Bahkan sebenarnya Allah memberi balasan di dunia bagi siapa saja yang melakukan hal tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya dan dibebaskan dari segala kesusahannya, hendaklah ia memudahkan orang yang kesulitan dalam membayar hutang.” (HR Ahmad)

5. Kemudahan yang diberikan Allah Ta’ala.
Manusia pasti akan bertemu dengan Allah swt. pada hari dimana harta dan anak-anak tidak ada manfaat lagi. Allah swt. berfirman, “Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang MahaPemurah. Dan hari itu adalah hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.” (al-Furqaan: 26)
“Apabila ditiupkan sangkakala, maka waktu itu adalah waktu datangnya hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 8-10)

Tidak diragukan lagi, bahwa hari itu adalah waktu datangnya hari yang penuh penderitaan bagi orang-orang yang mengingkari berbagai nikmat Allah, tidak beribadah dan tidak bersyukur kepada-Nya. Bahkan sedikitpun tidak peduli memberikan bantuan kepada makhluk Allah swt.

Sedangkan orang-orang yang beriman kepada Allah, beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah, mensyukuri seluruh nikmat-Nya, dan mau menolong serta mempermudah orang-orang yang berada dalam kesulitan, sebagai refleksi dari pengakuan terhadap karunia Allah yang telah diberikan kepadanya, maka bisa dipastikan Allah akan memberikan ganjaran terhadap kebaikan yang telah dilakukan dengan mengampuni segala kesalahannya dan menjadikan kemudahan baginya pada hari yang penuh kesusahan tersebut.

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang telah memberikan hutang kepada banyak orang. Ia berkata kepada pembantunya, ‘Jika kamu mendapati orang yang kesulitan membayar hutang, maka maafkanlah dia. semoga Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.’ Maka ketika ia bertemu Allah, Allah mengampuni segala dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Mar’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang laki-laki dari umat sebelum kalian dihisab. Tidak didapatkan satu kebaikan pun padanya, kecuali dia suka bergaul dengan orang lain dan suka memberi kemudahan. Dia menyuruh para pembantunya untuk memaafkan orang yang kesulitan.” Maka Allah swt. berfirman, “Kamilah yang lebih berhak untuk memberi maaf daripada orang itu. Sudah, berilah ia maaf.”

6. Di bawah naungan Allah swt.
Sahl bin Hanif ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membantu mujahid di jalan Allah, orang yang mendapat kesulitan dalam hutang, atau budak yang ingin memerdekakan dirinya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah swt.” (HR Ahmad)

7. Keteladanan dalam mentaati Allah swt.
Jika ada teladan dari orang-orang sebelum kita, maka generasi shahabat ra. juga merupakan teladan yang paling baik. Mereka inilah yang benar-benar merefleksikan ayat, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasulullah saw. menghukum [mengadili] di antara mereka, mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ (an-Nuur: 51)”

Mereka ini senantiasa memberikan kemudahan kepada orang-orang yang mendapat kesusahan, semua itu dilakukan sebagai refleksi dari akhlak yang mereka dapatkan langsung dari Rasulullah saw. juga hasil dari ketaatan kepada Allah swt.

a. Suatu ketika Ka’ab bin Malik ra. menagih hutang kepada Ibnu Abi Khadrad di masjid. Suara keduanya meninggi hingga didengar Rasulullah saw. maka Rasulullah saw. menyingkap tirai rumahnya dan memanggil, “Wahai Ka’ab.” Ka’ab menjawab, “Labbaik ya Rasulullah.” Rasulullah saw. berkata, “Bebaskanlah separuh hutangnya.” Ka’ab menjawab, “Saya sudah melakukannya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Ibnu Abi Khadrad, “Berdiri dan bayarlah hutangmu.”
b. ‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. mendengar dua orang yang sedang bertengkar di balik pintu. Orang yang satu meminta kepada yang satunya agar mengurangi seagian beban hutangnya. Akan tetapi orang yang satunya menolak, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melakukan hal itu.” Maka Rasulullah saw. keluar dan berkata, “Siapa yang bersumpah dengan nama Allah untuk tidak melakukan suatu kebaikan?” orang tersebut menjawab, “Saya, ya Rasulullah. Hutangnya aku bebaskan. Itu lebih baik.” (Muttafaq ‘alaiH)

Sungguh mereka layak mendapat ridla dari Allah. Mereka adalah generasi yang tidak memerlukan perintah berkali-kali untuk melakukan kebaikan. Mereka merasa cukup dengan isyarat.

8. Menutupi aib sesama muslim.
Banyak nash yang mendorong untuk menutupi aib atau rahasia seorang muslim. Banyak juga nash-nash yang memperingatkan agar tidak mencari-cari aib seorang muslim untuk dipermalukan di depan orang banyak. Salah satu hadits tersebut adalah hadits yang sedang kita bahas ini, dan banyak lagi yang lain, antaranya:

Ibnu ‘Abbas ra. berkata: bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menutup aib saudaranya sesama muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat. Sedangkan barangsiapa yang membuka aib seorang muslim maka Allah akan membuka aibnya sehingga ia akan mendapat malu, walaupun ia di rumahnya sendiri.” (HR Ibnu Majah)

Sebagian salafush shalih berkata, “Saya melihat suatu kaum yang tidak tampak memiliki aib [kekurangan]. Akan tetapi mereka suka menyebut-nyebut kekurangan orang lain, maka orang lain pun suka menyebut aib mereka. di sisi lain saya melihat kaum yang memiliki aib, namun mereka menahan diri untuk tidak menyebutkan aib orang lain, maka aib mereka pun terlupakan.””

Mencari-cari kekurangan sesama muslim adalah satu tanda kemunafikan dan indikasi bahwa keimanan belum mengakar dalam hati orang tersebut.

Ibnu ‘Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. naik ke atas mimbar dan memanggil dengan suara keras, “Wahai orang-orang yang telah masuk Islam namun hanya sebatas lisan dan belum meyakini dengan hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang muslim, jangan menghina mereka, dan jangan mencari-cari aib mereka. karena siapapun yang mencari-cari aib sesama muslim, maka Allah akan mencari-cari aibnya, lalu Allah akan menghinakannya meskipun ia sedang berada di tengah perjalanan.” (HR Tirmidzi)
Abu Barzah al-Aslami ra. berkata, “Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

9. Menutupi aib maksiat.
Jika seorang muslim melihat kesalahan seorang muslim, apakah ia harus merahasiakan atau justru membeberkan kepada orang lain? Masalah ini tergantung pada kondisi orang tersebut.

a. Orang yang diketahui tidak pernah melakukan maksiat.
Artinya orang tersebut tidak pernah diketahui sedikitpun melakukan suatu kemaksiatan. Orang seperti ini jika terperosok dalam suatu kesalahan, maka wajib untuk dirahasiakan. Tidak boleh membeberkan atau membicarakan kesalahan yang telah diperbuat, karena hal ini merupakan ghibah yang dilarang bahkan bisa dikategorikan dalam usaha menyebarluaskan keburukan.

Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Allah Mahamengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (an-Nuur: 19)

Sebagian ulama berkata, “Bahwa maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji yang dilakukan oleh seorang mukmin karena kealpaan, atau perbuatan keji itu baru sebatas tuduhan yang sebenarnya si tertuduh tidak melakukannya.”

Adapula yang berkata, “Bahwa berusahalah untuk menutupi kemaksiatan, karena tersebarluasnya kemaksiatan merupakan aib bagi umat Islam dan sebaik-baik perkara adalah menutupi aib.”
Yang dimaksud dengan kemaksiatan di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak membiasakan diri dengan kemaksiatan. Ini bukan berarti tidak menasehatinya atau tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadapnya, justru itulah yang seharusnya dilakukan karena merupakan hak muslim terhadap muslim lainnya.

b. Orang yang diketahui selalu melakukan kemaksiatan.
Mereka ini adalah orang-orang yang tidak peduli dengan kemaksiatan yang mereka lakukan. Menghadapi orang semacam ini, tidak perlu repot-repot merahasiakan kemaksiatan mereka, bahkan disunnahkan menyebarluaskan di masyarakat, atau bisa jadi wajib, sehingga masyarakat berhati-hati terhadap kejahatan yang dilakukannya.

Jika kejahatan semakin bertambah dan tidak takut samasekali terhadap masyarakat, maka harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib agar ia mendapat hukuman atas kejahatannya.

Merahasiakan kejahatan kejahatan seperti ini hanya akan membuat orang-orang seperti ini merasa tenang bahkan kejahatan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka membuat kerusakan di muka bumi dan menyebarluaskan kekacauan di tengah masyarakat. Mereka ini sudah selayaknya untuk dicari dan ditangkap agar bibit-bibit fitnah terbasmi dari tengah masyarakat.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Unais, pergilah untuk menyelidiki wanita ini, jika ia mengaku maka rajamlah ia.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Sabda Rasulullah saw. ini sehubungan dengan adanya pengaduan bahwa seseorang telah berzina dengan wanita yang dimaksud dalam hadits.

10. Mengadukan dosa yang telah dilakukan ke hakim (pengadilan)
Seorang muslim jika melakukan suatu kesalahan dan kesalahan yang dilakukan tidak diketahui orang lain, maka ia disunnahkan untuk bertaubat, sedangkan kesalahan yang dilakukan hanya menjadi urusan dia dan Tuhannya.

Abdullah bin Mas’ud ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, saya telah bersenang-senang dengan seorang wanita di perbatasan kota, tetapi saya tidak sampai menyetubuhinya, maka bagaimana ini? Putuskanlah hukuman sekehendakmu. Umar ra. berkata, “Allah sebenarnya telah merahasiakan masalahmu andai kamu juga merahasiakannya.” (HR Bukhari)

Jika ia mengadukan masalahnya kepada hakim, dengan rasa penyesalan, dan ia tidak merincikan kesalahan yang ia lakukan, maka hakim disunnahkan untuk tidak mengorek lebih jauh dosa yang dilakukan. Bahkan sedapat mungkin menyarankan orang bersangkutan untuk merahasiakan dosa yang dilakukannya.

Anas bin Malik ra. menceritakan bahwa saat itu ia bersama Rasulullah saw. lalu datang seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar hukum, maka hukumlah saya.”Rasulullah saw. tidak berkomentar. Saat waktu shalat datang, laki-laki itupun shalat bersama Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw. selesai shalat, laki-laki itu kembali berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar hukum, maka tegakkanlah kitabullah [ketentuan Allah] kepadaku.” Rasulullah bertanya, “Bukankah kamu sudah shalat bersama kami?” ia menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Allah telah mengampuni dosamu.”(HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. juga menceritakan kisah lain, saat Rasulullah saw. berada di masjid, seorang laki-laki datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya sudah berzina.” Mendengar ucapan tersebut, Rasulullah memalingkan wajah ke arah lain. Laki-laki itu bergeser ke arah pandangan Rasulullah saw. dan menyatakan hal yang sama. Setelah hal itu berulang empat kali, Rasulullah saw. bertanya, “Apakah kamu gila?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Kamu sudah menikah?” ia menjawab, “Sudah.” Rasulullah saw. berkata kepada para shahabat, “Bawalah dia dan rajamlah.” (HR Bukhari)

Ibnu Abbas menceritakan, ketika Maiz bin Malik datang kepada Rasulullah saw. dan mengaku telah berbuat zina, beliau berkata, “Bisa jadi kamu Cuma mencium, menyentuh atau memandangnya.”
Ini semua apabila yang melakukan kemaksiatan adalah dirinya sendiri. Sedangkan jika orang lain yang melakukannya, maka ketentuannya sepertiyang telah diterangkan pada poin 9 di atas.

11. Jika mengetahui orang yang sedang melakukan maksiat.
Perkara-perkara di atas adalah manakala kemaksiatan tersebut telah usai dilakukan. Adapun jika seseorang mengetahui seseorang yang sedang melakukan kemaksiatan, maka ia tidak boleh mendiamkan atau merahasiakannya. Namun justru harus bersegera untuk mencegah, jika mampu. Jika tidak mampu, maka harus segera melaporkan kepada pihak berwajib. Ini sebagai refleksi dari sabda Nabi, “Barangsiapa mengetahui kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangan.”

12. Meminta maaf bagi orang yang melakukan maksiat.
Jika seorang muslim terperosok dalam kesalahan, sedangkan ia tidak pernah terlihat melakukan kemaksiatan dan dalam masyarakat dikenal bahwa dia adalah orang yang istiqamah dan shalih, maka bagi siapa saja yang mengetahui kesalahan tersebut disunnahkan untuk merahasiakan, bahkan dianjurkan untuk meminta maaf kepada orang yang dirugikan.

Rasulullah saw. bersabda, “Lupakanlah kesalahan orang-orang yang dikenal keistiqamahannya.” (HR Abu Dawud)

Namun bila yang melakukan maksiat dikenal dengan kefasikan dan kejahatannya ditengah masyarakat, maka maksiat yang dilakukan orang itu harus diungkap, dan tidak perlu minta maaf. Semua itu dilakukan agar kejahatan terkuak dan orang-orang yang serupa akan merasa takut dan jera. Imam Malik berkata, “Adapun orang yang dikenal dengan kejahatannya, maka tidaka perlu mendapat ampun. Ia harus dijatuhi hukuman.”

13. Ampunan tidak bisa diberikan ketika kesalahan sudah ditangani hakim.
Anjuran untuk mengampuni orang yang berbuat kesalahan di atas berlaku ketika masalahnya belum diangkat ke pengadilan. Jika suatu kasus sudah diangkat ke pengadilan, maka diharamkan memberi ampunan, bahkan hanya sekedar jadi penengah [untuk diringankan hukumnya] merupakan suatu kemaksiatan dan akan mendapatkan dosa.

Imam Malik berkata, “Jika seseorang tidak pernah diketahui menyakiti orang lain, kemudian melakukan satu kesalahan, maka boleh diampuni selama masalahnya belum ditangani pengadilan.”

Dasar dari hal ini adalah hadits yang diceritakan ‘Aisyah, “Suku Quraisy merasa sedih karena ulah wanita Makhzumy yang mencuri. Mereka kemudian bertanya, “Siapa yang bisa melobby Rasulullah saw. agar ia tidak dipotong tangannya?” mereka kemudian menunjuk Usamah bin Zaid ra. karena kedekatannya dengan Rasulullah saw. Usamah ra. lalu melobby Rasulullah saw. Mendengar apa yang diinginkan Usamah, Rasulullah saw. pun bersabda, “Apakah kamu memintakan keringanan berkaitan dengan hukum Allah?” Rasulullah saw. lalu berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya yang menghancurkan umat sebelum kamu adalah kebiasaan mereka yang mengampuni pencuri dari golongan bangsawan. Sedangkan jika yang melakukan pencurian adalah rakyat jelata, maka hukum mereka tegakkan. Demi Allah andai Fathimah putri Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika selendang Shafwan Ibnu Umayah ra. dicuri, Rasulullah memerintahkan untuk memotong tangan pencuri. Shafwan lalu berkata kepada Rasulullah saw., “Saya tidak menginginkan itu ya Rasulullah, biarlah selendang saya itu saya shadaqahkan kepadanya.” Rasulullah saw. menjawab, “Mengapa tidak engkau lakukan itu sebelum membawanya [pencuri] kemari.” (HR Nasa’i, Ibnu Majah, Malik, hadits Mursal)

Malik ra. meriwayatkan dalam al-Muwatha’, Sesungguhnya Zubair bin Awam ra. bertemu dengan seorang lelaki yang menangkap pencuri dan hendak membawanya kepada penguasa. Maka Zubair memohonnnya untuk memaafkan pencuri itu. Namun laki-laki itu berkata, “Tidak, hingga saya tiba di tempat sultan.” Zubair berkata, “Jika kamu telah tiba di tempat sultan, maka Allah melaknat orang yang memintakan ampun dan yang memberi ampun.”

Adapun hikmahnya jika pengampunan bisa diberikan ketika kasus sudah berada di tangan hakim, maka kerusakan akan semakin merajalela di tengah masyarakat. Segala hak akan terabaikan, para pelaku kerusakan dan perbuatan keji lainnya akan merasa di atas angin. Mereka akan berusaha mengendalikan hakim. Wibawa hakim akan semakin tidak ada sama sekali di hadapan mereka. dalam kondisi seperti ini harapan orang-orang yang berusaha menegakkan kebaikan akan semakin berkurang, bahkan masyarakat benar-benar berada di tepi jurang kehancuran.
Karenanya para hakim diminta untuk tegas dalam masalah ini, dengan meneladani Rasulullah saw. dalam berbagai sikapnya sebagaimana di atas.

Firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nuur: 63)

14. Penafsiran lain.
Ibnu Hajar al-Haitamy memberikan penafsiran lain tentang “menutupi atau merahasiakan.” Beliau berkata, “Yang dimaksud dengan menutupi adalah menutupi aurat yang konkrit maupun abstrak dengan mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Misalnya menolong seseorang yang ingin menikah, dengan cara membantu secara langsung. Atau mencarikan pekerjaan bagi saudaranya yang sedang menganggur, atau yang lainnya.”

Alangkah indahnya jika kaum muslimin saat ini memahami makna ini. Karena masyarakakt akan terhindar dari kejahatan dan kerusakan, terutama yang kita saksikan dari kenakalan para pemuda dan pemudi yang disebabkan ketidakmampuan mereka untuk menikah dan banyaknya rintangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam usaha untuk membentengi diri mereka dari kemaksiatan. Sementara kaum muslimin tenggelam dalam kelalaian, dikuasai oleh budaya impor dan tradisi usang yang bertentangan dengan Islam. Mereka dikuasai oleh budaya bermegah-megahan, saling membanggakan diri dan ambisi mencari popularitas. Maka jadilah para pemuda kita yang suci sebagai korban. Padahal Rasulullah telah berpesan kepada umat ini agar memperhatikan generasi muda. Untuk itu umat Islam dituntut untuk berusaha memberikan kecukupan kebutuhan materi dan ruhani kepada anak-anaknya, sehingga agama dan masyarakatnya terjaga, serta mendapatkan keselamatan di sisi Tuhannya.

15. Tolong menolong antara sesama muslim, dan pertolongan Allah kepada mereka.
16. Teladan yang baik dan salafush shalih.
Rasulullah adalah teladan dalam setiap apa yang ia serukan. Beliau adalah contoh yang paling agung dalam memberikan bantuan terhadap para shahabatnya, terutama shahabat yang memerlukan.
Putri Khabab bin Arut ra. berkata, “Suatu ketika Khabab pergi berperang. Lalu Rasulullah mengunjungi kami, bahkan beliau sempat memerah susu hingga memenuhi mangkuk besar. Setelah Khabab datang, ia memerahnya, dan sejak itu, susu hasil perahan kembali seperti semula.” (HR Ahmad)

Demikian pula para shahabat Nabi. Mereka adalah murid-murid yang cerdas, dan pengikut yang baik. Mereka ikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. begitu juga generasi setelah mereka. semoga Allah meridlai mereka semua.

Abu Bakar ra. misalnya, sebelum menjadi khalifah beliau suka membantu memerah susu di kampung yang banyak ditinggal pergi kaum lelakinya. Ketika beliau diangkat menjadi khalifah, salah seorang wanita dari kampung tersebut berkata, “Sekarang dia tidak akan memerah susu lagi.” Ketika ucapan itu sampai ke telinga Abu Bakar, iapun berkata, “Tidak…saya berharap apa yang saya alami sekarang tidak membuatku berubah dari apa yang telah aku kerjakan.”

Umar bin Khaththab juga demikian. Ia sering menolong janda tua, mengambil air untuk mereka pada malam hari. Suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah ra. melihat Umar memasuki rumah seorang wanita pada malam hari. Paginya Thalhah menyelidiki rumah tersebut, ternyata di rumahnya ada seorang wanita tua lumpuh, dan buta. Thalhah kemudian bertanya kepada wanita tadi, “Apa yang dilakukan oleh laki-laki tadi malam?” ia menjawab, “Dia sejak lama mengunjungiku. Memberi ini dan itu, membantuku, dan meringankan kesulitanku.” Mendengar jawaban itu semua Thalhah lalu mencerca dirinya sendiri, “Celaka engkau ya Thalhah, pantaskah engkau menyelidiki Umar?!”

Abu Wail ra. berkeliling kepada wanita-wanita tua yang ada dikampungnya setiap hari. Dia membelikan kebutuhan mereka dan membantu keperluan mereka yang lain.
Mujahid berkata, “Saya menemui Ibnu Umar dalam sebuah perjalanan untuk melayani kebutuhannya. Namun justru dialah yang melayani kebutuhanku.”

Hasan al-Bashri mengutus murid-muridnya kepada seorang laki-laki. Dia berkata kepada mereka, “Datangilah Tsabit al-Banani dan ajaklah dia pergi bersama kalian.” Maka mereka datangi ke Tsabit, namun dia berkata kepada mereka, “Saya sedang beriktikaf.” Mereka kembali kepada Hasan dan menceritakan hal itu. Beliau berkata kepada mereka, “Katakanlah kepadanya, ‘Wahai A’masy,tidakkah kamu tahu bahwa berjalanmu untuk memenuhi kebutuhan saudaramu sesama muslim lebih baik daripada haji setelah haji.’” Mereka pun kembali kepada Tsabit, dan mengatakan apa yang diperintahkan oleh Hasan. Maka Tsabit meninggalkan iktikafnya dan pergi bersama mereka.

17. Jadilah pembela, niscaya kamu mendapat pahala.
18. Jalan menuju surga.
Islam adalah syarat untuk mendapatkan keselamatan di sisi Allah swt. Sementara Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu, karena seseorang tidak akan mengenal Allah kecuali dengan ilmu. Maka ilmu adalah jalan yang paling pendek yang bisa mengantarkan seseorang kepada Allah swt.

Tidak heran jika Rasulullah saw. menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga. Ini jelas disebutkan dalam hadits di atas, “Dan barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memberikan jalan kemudahan baginya menuju surga…”

Bukti terkuat atas apa yang dikatakan di atas, bisa dilihat bahwa Allah swt. menjadikan wahyu pertamnya kepada Rasulullah saw. dengan menitik beratkan masalah ilmu dan sarana untuk mendapatkan ilmu. Juga mengingatkan betapa pentingnya ilmu untuk mengenali kebesaran Sang Pencipta dan rahasia penciptaan.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)

19. Kedudukan ilmu dalam Islam.
Karena ilmu merupakan jalan menuju surga, maka ilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Karena itu orang-orang yang berilmu menempati kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. bahkan mendekati kedudukan para Nabi. Allah swt. berfirman: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham maupun dinar, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang cukup.” (HR Tirmidzi dan lainnya)

20. Hukum menuntut ilmu.
Mencari ilmu hukumnya wajib, yang terinci dalam dua kategori:

a. Fardlu ‘Ain
Semua muslim diwajibkan untuk menuntutnya. Yaitu hal-hal yang harus diketahui setiap muslim, agar aqidahnya tidak sesat, ibadahnya benar, dan perilakunya sesuai dengan syariat Allah. Inilah yang diperintahkan dalam ayat-Nya,
“Maka ketahuilah, bahwa tiada Ilah [yang Haq] melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Ini juga yang dimaksud dalam hadits Nabi, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)

b. Fardlu kifayah
Yaitu menuntut ilmu dengan maksud untuk mendalami berbagai ilmu syar’i dan mengambil spesialisasi terhadap suatu ilmu yang dibutuhkan masyarakat muslim, untuk menjaga eksistensinya dan demi terciptanya negara yang penuh dengan kebenaran dan keadilan, hingga menjadi negara yang kuat dan berwibawa serta tidak ada satupun musuh yang berani mengacaukannya.

Inilah yang diisyaratkan dalam al-Qur’an:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

Mendalami ilmu seperti di atas, atau memiliki spesialisasi ilmu tertentu disunnahkan bagi setiap muslim. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (ThaaHaa: 114)
Juga sabda Nabi dalam sebuah riwayat, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik maka Allah akan memberi pengetahuan dalam agama.” (Muttafaq ‘alaiH)

21. Ilmu adalah cahaya.
Telah kita ketahui bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan mendapatkan keridlaan-Nya serta mendapatkan keselamatan di sisi-Nya pada hari kiamat kecuali melalui ilmu. Ilmu adalah cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan, dan menepis segala keraguan.

Allah berfirman: “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 16)
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya [al-Qur’an], mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’raaf: 157)

Hanya ulama yang ikhlas dan beramallah yang dapat mewarisi ilmu Nabi. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka mewariskan ilmu.” (HR Tirmidzi dan lainnya)

Merekalah yang menjadi panji kebenaran dan menara yang menerangi umat dalam mengarungi kehidupan, sehingga semuanya mendapatkan kebahagiaan, kemenangan, dan kemuliaan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan ulama di muka bumi, bagaikan bintang gemintang di langit yang menerangi gelapnya daratan dan lautan. Jika bintang telah padam, dikhawatirkan manusia akan sesat.” (HR Ahmad)

Karena itu, selama masih ada ilmu, masyarakat masih tetap akan berada dalam petunjuk dan kebaikan. Akan tetapi keberadaan ilmu sangat tergantung dengan keberadaan ulama. Jika ulama telah tiada, ilmu pun sirna, masyarakatpun akan sesat dan melewati jalan kesesatan, bergelimang ke dalam perbuatan keji dan menuju kehancuran.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari manusia. Akan tetapi mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Apabila ulama tidak tersisa lagi, mereka mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka menanyakan tentang satu perkara yang dijawab dengan tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaiHi)

22. Ya Allah tambahkanlah ilmuku.
Seorang muslim tidak berhenti pada suatu tahapan yang dianggap telah sempurna. Akan tetapi ia terus berusaha menambah keutamaan. Jika ilmu yang bermanfaat adalah perlambang dari keutamaan, maka seorang muslim tidak akan pernah puas dengan ilmu. Bagaimana akan puas jika tauladannya, Rasulullah saw. merealisasikan perintah Allah dalam firman-Nya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (ThaaHaa: 114)

Setelah turun ayat ini beliau bersabda: “Tidak ada keberkahan dengan terbitnya matahari jika hari ini aku tidak menambah ilmu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah.”

Kenikmatan mencari ilmu juga mendorong untuk senantiasa mencari dan mencari. Ini adalah realita yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Dua kegemaran yang tidak akan pernah terpuaskan, menuntut ilmu dan mencari dunia.” (HR al-Bazzar dan lainnya)

Dalam mencari dan menambah ilmu tergantung pada taufik dari Allah swt. Jika menuntut ilmu dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari keridlaan Allah untuk menjaga akhlaknya dan supaya orang lain bisa mendapatkan manfaatnya, maka Allah akan memudahkan untuk mendapatkan ilmu yang dimaksudkan. Bahkan Allah juga akan membukakan berbagai ilmu yang bermanfaat lainnya.

Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

23. Mengamalkan ilmu, mendapatkan ilmu yang lain.
Bimbingan dari Allah sampai pada ujungnya dan kemudahan yang diberikan-Nya sampai pada puncaknya ketika ilmu bersatu dengan amal, perkataan sesuai dengan perbuatan. Allah swt. berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah: 282)

Seringkasi seorang muslim mempelajari ilmu dan mengamalkannya, maka ia telah menapak jalan menuju surga dan lebih dekat kepada Allah. Semakin seorang hamba dekat dengan Allah, maka ia akan semakin mendapatkan taufik untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian menambah ilmu, disertai dengan amal akan semakin menambah hidayah dan ketakwaan. Demikianlah para ulama tak henti-hentinya mencari ilmu dan mengamalkannya, sehingga mendapatkan hidayah yang sempurna dan berhasil mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Allah swt.

Firman Allah: “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.” (Maryam: 76)
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka [balasan] ketakwaannya.” (Muhammad: 17)

24. Peringatan bagi ilmu yang tidak diamalkan.
Telah kita ketahui bahwa ulama bagaikan pelita yang menerangi sekitarnya. Jika mereka tiada, maka masyarakat akan tersesat dari jalan yang lurus. Lebih bahaya lagi manakala mereka menyimpang dari jalur yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. mereka tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki, sehingga perbuatan mereka tidak sama dengan apa yang diucapkan dan menjadi teladan yang tidak baik bagi masyarakat dengan melakukan maksiat kepada Allah, mengajarkan kemunkaran dan tidak melakukan hal-hal yang ma’ruf. Inilah yang telah diperingatkan secara tegas oleh Allah swt. dalam ayatnya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 3)
“Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri [kewajibanmu] sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab [Taurat]? Maka tidakkah kamu berfikir?” (al-Baqarah: 44)

Usamah bin Zaid berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat ada seorang laki-laki yang dicampakkan ke nereka, lalu seluruh isi perutnya terburai keluar. Ia kemudian berguling-guling seperti keledai yang memutari penggilingan. Melihat hal tersebut penghuni nereka bertanya kepadanya, “Ya fulan, apa yang terjadi dengan dirimu? Bukankah kamu telah melakuan amar ma’ruf nahi munkar?” Ia menjawab, “Memang, saya telah melakukan amar ma’ruf tetapi saya tidak melaksanakannya. Saya juga telah melakukan nahi munkar tetapi saya sendiri justru melakukan kemunkaran itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. juga bersabda, “Pada malam saya diisra’kan, saya bertemu dengan sekelompok orang yang menggunting lidahnya dengan gunting dari api, lalu saya bertanya kepada Jibril, “Siapa orang-orang itu wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah penceramah dari umatmu. Orang-orang yang berkata tetapi tidak berbuat.” (dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas ra. dengan sedikit perbedaan redaksi)
Riwayat Baihaqi menyebutkan, “Mereka membaca kitabullah akan tetapi tidak mengamalkannya.”

Diriwayatkan bahwa dalam sabdanya yang lain, “Tidaklah kaki seorang hamba melangkah [pada hari kiamat] kecuali akan ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya darimana ia dapat dan kemana ia infakkan, tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi)

25. Menyebarkan ilmu.
Islam mendorong untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Allah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,” (at-Taubah: 122)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah menjadikan tampak indah seseorang yang mendengar dariku sesuatu lalu ia sampaikan kepada orang lain apa yang ia dengar. Boleh jadi orang yang kepadanya disampaikan [sabadaku] lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR Tirmidzi)

Penyebaran ilmu juga merupakan amalan yang baik dan pahalanya akan terus mengalir meskipun telah meninggal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak Adam meninggal dunia, maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR Muslim dan lainnya)

“Shadaqah yang paling afdlal adalah seseorang mempelajari suatu ilmu, lalu mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.” (HR Ibnu Majah)

26. Ikhlas dalam menuntut ilmu.
Bagi orang yang menuntut ilmu hendaknya mengikhlaskan niat hanya karena Allah. Di samping itu juga harus diingat bahwa semua itu hendaknya dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian agamanya dan mengajarkan kepada orang lain. Jangan sampai mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi: kedudukan, materi, ketenaran, bangga diri dan lain sebagainya. Karena semua itu hanya akan membuat ilmu yang dimilikinya sia-sia belaka dan bahkan akan mendapatkan murka dari Allah swt.

Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang mestinya mencari keridlaan Allah, namun ia mencarinya hanya karena menginginkan kepentingan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harum baunya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud)

Ka’ab in Malik ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk membantah ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan agar dipuji orang, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR Tirmidzi dan lainnya)

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah seorang belajar ilmu dan mengajarkannya, dan membaca al-Qur’an. Orang itu didatangkan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diperoleh. Allah swt berfirman, “Apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan saya membaca al-Qur’an karena-Mu.” Allah swt. berfirman, “Bohong. Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang pandai membaca al-Qur’an.” Kemudian Allah memerintahkan agar orang itu diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dan lainnya)

27. Jangan malu mengatakan tidak tahu.
Termasuk tanda keikhlasan bagi orang yang menuntut ilmu atau mengajarkannya adalah tidak malu untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini justru menunjukkan keyakinan dan kebenaran apa yang dikatakan.

Banyak ulama yang ditanya tentang berbagai masalah, dia menjawab sebagian masalah yang diketahuinya, namun ia lebih banyak menjawab tidak tahu. Sehingga dikatakan bahwa “tidak tahu” adalah setengah dari ilmu. Karena ia merupakan tanda bahwa pengucapnya adalah orang yang terpercaya dalam kata-katanya. Rasulullah saw. sendiri, meski derajatnya begitu tinggi, namun ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui beliau secara jujur mengatakan, “Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya.” Semua itu memang wajar, karena Allah sendiri berfirman: “….dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Israa’: 85)

28. Adab menuntut ilmu.
Termasuk adab menuntut ilmu adalah berusaha untuk menemui para ulama, menyertai mereka baik ketika mereka menetap maupun mereka sedang bepergian, membantu menyiapakan keperluannya serta berusaha mendapatkan ilmu dan berbagai adab darinya.

Allah swt. berfirman, ketika menceritakan Nabi Musa as. bersama Nabi Khidhir as, “Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu.” (al-Kahfi: 66)

29. Dzikir kepada Allah swt.
Dzikir kepada Allah merupakan ibadah yang paling mulia. Allah berfirman: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Ankabuut: 45)

Hal ini dikarenakan dzikir kepada Allah dapat membawa seseorang untuk senantiasa komitmen terhadap hukum-hukum Allah, dalam setiap sisi kehidupannya. Dengan dzikir seseorang akan senantiasa merasakan bahwa ia selalu diawasi Allah swt. merasa bahwa Allah sangat dekat dengan dirinya sehingga semua aspek kehidupannya benar, baik yang berhubungan dengan Allah atau hubungannya dengan sesama makhluk. Karena itulah seorang muslim diperintahkan untuk selalu berdzikir dalam segala situasi dan kondisi.

Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah [dengan menyebut nama] Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 41-42)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat[mu], ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.” (an-Nisaa’: 103)

30. Dzikir yang paling baik adalah Kitabullah.
Sebaik-baik dzikir kepada Allah adalah dengan membaca al-Qur’an. Karena disamping berupa dzikir, di dalam al-Qur’an terdapat berbagai hal yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim atau perkara yang harus dijauhi, sehingga itu semua sebagai acuan untuk melangkah agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.

Firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yaasiin: 69)
“Ini adalah peringatan. Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar [disediakan] tempat kembali yang baik.”
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

31. Memakmurkan masjid.
Tempat yang paling baik untuk berdzikir kepada Allah untuk membaca al-Qur’an dan mengajarkan ilmu adalah masjid, karena masjid adalah rumah Allah. Memakmurkan masjid adalah dengan ilmu [belajar dan mengajar] dan dzikir, di samping juga dengan berbagai ibadah lainnya; shalat, i’tikaf dan lain sebagainya.

Firman Allah: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)

32. Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang unik.
Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang diperintahkan, dan al-Qur’an akan menjadi pemberi syafaat bagi orang yang membacanya di sisi rabb-nya kelak.

Firman Allah: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabbmu [al-Qur’an].” (al-Kahfi: 27)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab [al-Qur’an] dan dirikanlah shalat…” (al-Ankabuut: 45)
“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan”. (an-Naml: 91-92)

‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca al-Qur’an dan menghafalnya akan bersama para malaikat yang mulia. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dan mengulang-ulanginya dengan susah payah, maka ia mendapat dua pahala.”(HR Bukhari dan Muslim)

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, dan kebaikan itu akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan “alif laam miim” satu huruf, akan tetapi laif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR Tirmidzi)

Abu Umamah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an pada hari kiamat akan datang kepada orang yang membacanya untuk memberi syafaat.” (HR Muslim)

Yang lebih unik lagi karena mendengar bacaan al-Qur’an tidak kalah pahalanya dengan membacanya. Bahkan mendengar bacaan al-Qur’an merupakan sarana untuk memperoleh pengampunan dari Allah swt.
Firman Allah: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (al-A’raaf: 104)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mendengar ayat al-Qur’an, maka baginya kebaikan yang dilipatgandakan. Sedangkan bagi yang membacanya akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat.”(HR Ahmad)
Karena itulah Rasulullah senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari para shahabatnya.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an kepadaku.” Saya berkata, “Saya membaca al-Qur’an kepadamu, padahal al-Qur’an turun kepadamu?” Rasulullah saw. menjawab, “Saya rindu untuk mendengarkannya dari orang lain.” Saya lalu membaca surah an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah [halnya orang-orang kafir nanti], apabila kami mendatangkan seorang saksi [rasul] dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu].” (an-Nisaa’: 41) Rasulullah berkata kepadaku: “Cukup.” Saat itu saya melihat kedua mata beliau meneteskan air mata.” (HR Bukhari dan Muslim)

33. Cahaya di atas cahaya.
Jika dalam membaca al-Qur’an dan saat mendengarkannya diiringi dengan usaha untuk mentadabburi dan memahami dengan penuh kekhusyukan, maka pahala yang didapat akan semakin berlipat ganda, cahayanya akan semakin bertambah. Semua itu adalah isyarat dari ketiggian kedudukan di sisi Allah swt.

Allah swt. berfirman: “Inilah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mereka mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)

Ini juga diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah riwayat hadits bab, “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah-rumah Allah [masjid], membaca kitab Allah, dan mempelajarinya di antara mereka…”

Keutamaan membaca al-Qur’an ini tetap akan didapat bagi siapapun yang mau melakukannya seperti dalam hadits di atas di manapun, termasuk para wanita yang lebih disunnahkan untuk tetap tinggal di rumah.
Tidak kita pungkiri bahwa memang para lelaki yang melakukannya di masjid lebih mendapat keutamaan, karena mereka sekaligus memakmurkan masjid dan lebih bisa konsentrasi karena jauh dari hal-hal yang bisa menyibukkan fikiran, bahkan masjid juga tempat yang suci, jauh dari kotoran dan benda najis lainnya.

34. Karunia Allah dan keridlaan-Nya.
35. Ajaran Islam adalah ajaran yang manusiawi dan adil.
36. Perlindungan atas dasar iman.
37. Menuju kebahagiaan.
Jika ketinggian derajat hanya bisadicapai dengan amalan, perlindungan dan pertolongan Allah hanya bisa diperoleh dengan ketakwaan, syafaat dan perlindungan dari Nabi Muhammad saw. terkait dengan kesempurnaan iman, maka bagi manusia yang berakal sehat akan bersegera melakukan amalan-amalan shalih dan tidak lagi bergantung pada keningratan nenek moyangnya.

Firman Allah: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm: 39)
Dengan demikian janji Rabbnya akan terealisasi, ketika syarat di atas telah terpenuhi, firman Allah: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)

Seorang muslim tidak akan rela dengan perlindungan apapun kecuali Allah swt., Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dengan begitu ia akan memutuskan semua pelindung dan tidak memenuhi kriteria tersebut dan akan memutuskan hubungan dalam bentuk apapun dengan orang-orang kafir.

Firman Allah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Ali ‘Imraan: 28)
Jika ini dilakukan, mereka akan mendapatkan kemenangan dari segala kekuatan kufur. Firman Allah: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 56)
“Tetapi [takutlah Allah], Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.”(Ali ‘Imraan: 150)

38. Hal-hal yang bisa diambil pelajaran dari hadits di atas.
a. Pahala yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang telah dilakukan seseorang. Memberikan kemudahan dibalas dengan kemudahan, memberikan bantuan dibalas dengan memberikan bantuan, menutup aib dibalas dengan menutupi aib dan begitu seterusnya.

Abi Sa’id al-Khudry ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memberi makan seorang yang lapar, Allah akan memberinya makan pada hari kiamat dengan buah dari surga. Barang siapa yang memberi minum orang yang haus, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari khamr murni yang diberi tanda khusus dari minyak kasturi. Dan barangsiapa yang memberi baju seseorang yang tidak memiliki baju, Allah akan memakaikan baju padanya dengan baju hijau dari surga.” (Muttafaq ‘alaiH)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Allah akan mengasihi kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki kasih sayang.” (Muttafaq ‘alaiHi)

b. Berbuat baik kepada makhluk merupakan jalan untuk mendapatkan kecintaan Allah, karena, “Semua makhluk adalah tanggungan Allah, maka yang paling dicintai Allah adalah yang paling memberi manfaat kepada tanggungan-Nya.” (HR Thabrani)

Biasanya seorang tuan suka berbuat baik kepada orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Sedangkan yang disebutkan dalam hadits berupa meringankan kesulitan orang lain dan yang lainnya adalah bentuk perbuatan baik kepada makhluk dan memberi manfaat kepada mereka. maka, itu semua adalah jalan untuk memperoleh kecintaan Allah.

c. Kabar gembira bagi seorang mukmin yang suka memudahkan, menolong maupun memberi bantuan menyelesaikan kesulitan mukmin lainnya, ia akan mati dalam keimanan dan akan mendapatkan kemudahan dan pertolongan Allah pada hari kiamat kelak.

d. Apa yang disebutkan tentang meringankan kesulitan dan yang lainnya adalah umum, terhadap orang muslim dan non muslim yang tidak melakukan permusuhan kepada kaum muslimin. Berbuat baik kepada mereka diperintahkan, bahkan hal itu pun berlaku pula bagi semua makhluk yang bernyawa.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatu…” juga bersabda:
“Dalam setiap jantungyang berdenyut terdapat pahala.”

e. Mewaspadai riya’, dalam menuntut ilmu agar segala sesuatu yang telah diusahakan tidak sia-sia.

f. Senantiasa memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah, karena hidayah hanyalah pemberian Allah semata, ketaatan hanyalah karena izin dan kemudahan yang telah diberikan-Nya. Tanpa itu, semua yang kita lakukan tidak akan bermanfaat.

g. Senantiasa membaca al-Qur’an, dan berkumpul dalam rangka membaca, mempelajari, memahami, mengamalkan, dan mengajarkannya. Juga tidak lupa membacanya ketika memulai acara-acara tertentu, dan terhadap orang yang telah meninggal dunia.

h. Bersegera untuk bertaubat, istighfar, dan melakukan amal shalih. Allah swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imraan: 133-134)

&

Hadits Arba’in ke 32: Tidak Boleh Membuat Kemudlaratan

6 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 32 (tiga puluh dua)Abu Sa’id, Sa’id bin Sinan al-Khudri ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak rugi dan tidak merugikan.” (Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni dan yang lain. Juga diriwiyatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwaththa’ sebagai hadits mursal, dari Amr bin Yahya, dari bapaknya, dari Nabi saw. dengan meniadakan Abu Sa’id. Hadits ini mempunyai beberapa jalur yang saling menguatkan)

KANDUNGAN HADITS

1. Yang dilarang adalah menyakiti bukan karena alasan syar’i. Sedangkan menyakiti orang lain dengan ketentuan syari’i, seperti menjatuhkan hukuman kepada orang yang berbuat dhalim atau melakukan kejahatan, maka hal itu diperbolehkan. Karena hukuman yang diberikan adalah ketentuan syariat, dan bahkan syariat menyatakan bahwa hukuman tersebut untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.

Firman Allah: “Dan dalam qishash itu ada [jaminan kelangsungan] hidup bagimu, hai ornag-orang yang berakal.” (Al-Baqarah: 179)
Rasulullah saw. bersabda, “Saya diutus untuk memerangi manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika mereka mengucapkannya, maka nyawa dan harta mereka terlindungi, kecuali dengan alasan syar’i, dan perhitungannya adalah di sisi Allah.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Dengan kata lain, kecuali mereka melakukan tindakan kejahatan, yang mengharuskan dijatuhkannya hukuman materi atau fisik. Bahkan pada dasarnya menghukum ornag yang berbuat kejahatan adalah usaha untuk mencegahk kemudlaratan, karena dengan hukuman tersebut akan menghindarkan mudlarat akibat ulahnya terhadap masyarakat luas.

2. Allah tidak memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan sesuatu yang membawa mudlarat, atau untuk meninggalkan sesuatu yang membawa manfaat. Semua yang diperintahkan Allah kepada manusia pada dasarnya untuk kebaikan di dunia dan akhirat mereka. sedangkan yang dilarang pada dasarnya perkara-perkara itu membawa kerusakan bagi dunia dan akhirat mereka.
Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Rabbku menyuruh menjalankan keadilan.’” (al-A’raaf: 29)
“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, yang nampak maupun yang tersembunyi.’” (Al-A’raaf: 33)

Dan tidak diragukan lagi bahkan keadilan pasti membawa manfaat. Sedangkan perbuatan keji pasti membawa kerusakan. Karenanya semua orang yang masih bisa menggunakan akal sehatnya, ketika mengamati hukum-hukum Allah, jelas akan mengetahui bahwa Allah membolehkan kepada hamba-Nya segala sesuatu yang bisa menjaga keselamatan akal dan badannya, dan Allah tidak melarang kecuali perkara-perkara yang dapat merusak otak dan badannya.

Firman Allah: “Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya, dan [siapa pulakah yang mengharamkan] risky yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu [disediakan] bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus [untuk mereka saja] di hari kiamat.” (al-A’raaf: 32)

Yaitu kenikmatan dunia dapat dirasakan oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir. Sedangkan di akhirat, kenikmatan hanya bagi orang-orang beriman. Allah berfirman: “Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir atau daging bagi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang disembelih atas nama selain Allah.” (al-An’am: 145)

3. Meringankan beban.
Termasuk bentuk tidak adanya kemudlaratan dalam Islam adalah keringanan yang diberikan kepada orang yang merasa berat, atau mendapatkan kesulitan yang tidak wajar. Dan inilah karakter Islam; agama yang memberikan kemudahan.

Firman Allah: “Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan.” (al-Hajj: 78)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
Rasulullah saw. bersabda, “Saya diutus dengan agama tauhid yang sangat mudah.” (HR Ahmad)
Ibnu ‘Abbas ra. berkata, bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw. “Agama apa yang paling disukai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Agama tauhid yang membawa kemudahan.” (HR Ahmad dan Bukhari)
Berikut contoh keringanan yang disebabkan karena adanya satu kesulitan.

a. Tayamum.
Tayamum dibolehkan bagi orang yang sakit ataupun bagi yang tidak mendapat air ketika hendak bersuci.
Allah swt. berfirman, “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air [kakus] atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik [bersih]; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maidah: 6)

b. Berbuka puasa sebelum waktunya.
Ini dibolehkan bagi musafir [orang yang sedang bepergian] dan seseorang yang sakit. Allah swt. berfirman, “[beberapa hari yang ditentukan itu ialah] bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan [permulaan] al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda [antara haq dan yang batil]. Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir [di tempat tinggalnya] di bulan itu, maka [wajiblah baginya berpuasa], sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)

c. Pelanggaran sewaktu ihram
Misalnya mencukur rambut sebelum waktunya, lantaran sakit. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya [lalu ia bercukur], maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bershadaqah atau berkorban.” (al-Baqarah: 196)

d. Penangguhan membayar hutang
Barangsiapa yang berhutang dan harus dibayar pada waktu tertentu, namun ia tidak bisa membayar, maka pemberi hutang wajib menunda waktu pembayaran hingga ia mampu membayar. Firman Allah: “Dan jika [orang berhutang itu] dalam kesukarang, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)

e. Mencabut sumpah
Termasuk keringanan tersebut adalah dibolehkannya mencabut sumpah apabila seseorang telah bersumpah dengan sesuatu yang memberatkan. Misalnya bersumpah untuk pergi haji dengan jalan kaki.

Anas ra. berkata, suatu ketika Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki tua dipapah dua anaknya, lalu beliau bertanya, “Kenapa dia?” mereka menjawab: “Dia telah bernadzar untuk pergi haji dengan berjalan kaki.” Maka Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak perlu dengan sikap menyiksa diri sendiri.” Kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk naik kendaraan.” (HR Bukhari dan Muslim)

‘Uqbah bin ‘Amr ra. berkata, “Saudara perempuanku bernadzar untuk melaksanakan haji dengan jalan kaki. Ia menyuruhku untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab, “Hendaknya ia berjalan kaki dan juga naik kendaraan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang harus dilakukan manakala seseorang telah bernadzar seperti itu. Ada yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat, bahwa ia tidak harus berjalan kaki, ia boleh naik kendaraan dan tidak dikenai denda.

Ada juga yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat, bahwa ia harus berpuasa selama tiga hari sebagai dendanya.
Ada juga yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat, bahwa ia harus membayar denda pencabutan sumpah.
Imam Malik berpendapat, bahwa tidak sah manakalah ia berangkat haji dengan naik kendaraan. Jika ia naik kendaraan, maka ia wajib mengqadla haji tersebut.
Madzab Syafi’i berpendapat bahwa ia harus jalan kaki jika ia mampu. Jika tidak mampu, ia boleh naik kendaraan, dan tidak dikendakan denda. [ada yang menyebutkan harus membayar denda pencabutan sumpah.].

4. Bentuk-bentuk kemudlaratan.
Dari segi niatnya, kemudlaratan terbagi menjadi dua:
a. Sengaja menginginkan kemudlaratan terhadap orang lain, bentuk seperti ini dilarang oleh Islam.
b. Niatnya baik dan benar, akan tetapi menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.

Jenis pertama jelas-jelas dilarang dalam Islam, yang termasuk di dalamnya adalah:
• Mudlarat dalam jual beli:
a. Bai’ Mudhthar (jual beli karena terpaksa)
Seseorang membutuhkan suatu barang, namun ia tidak memiliki uang untuk membelinya. Maka ia membelinya secara kridit dengan harga yang jauh lebih mahal. Maka jual beli seperti ini tidak diperbolehkan.

Abu Dawud meriwayatkan, bahwa dalam khutbahnya, Ali ra. berkata, “Akan datang suatu masa yang menggigit. Orang kaya menggigit apa yang dimilikinya. Padahal ia tidak diperintahkan untuk itu. Allah berfirman, ‘Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.’ (al-Baqarah: 237). Lalu orang-orang yang sangat membutuhkan membeli barang tersebut. Sedangkan Rasulullah melarang jual beli karena terpaksa.”

Isma’ili berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika kamu memiliki kelebihan harta, maka berikanlah kepada saudaramu. Kalau tidak, janganlah menambah kebinasaan di atas kebinasaannya.” Artinya, dalam kondisi seperti ini, sebaiknya ia membantunya secara cuma-cuma, dan bukan malah menambah kesulitannya.
Abdullah bin Ma’qil berkata, “Jual beli karena terpaksa adalah riba.”
Harb berkata, “Ahmad membenci jual beli karena terpaksa.”

b. Menjual secara kontan barang yang dibeli secara kridit, dengan harga lebih murah dari harga beli.
Misalnya: seseorang membutuhkan uang tunai, namun tidak ada yang memberikannya pinjaman kepadanya. Maka ia membeli barang secara kridit, dengan maksud untuk menjualnya kembali secara kontan dengan harga lebih murah dari harga beli, agar ia mendapatkan uang tunai dengan cepat.

Jika ia menjualnya kepada pihak pertama, Imam Ahmad berkata, “Saya khawatir jual beli ini karena terpaksa.”
Jika ia menjualnya kepada pihak pertama, sebagian besar ulama [termasuk Malik, Ahmad, dan Abu Hanifah] berpendapat bahwa jual beli seperti ini haram dan tidak sah. Mereka mengkategorikannya sebagai jalan menuju riba.

Daruquthni meriwayatkan, bahwa seorang wanita berkata kepada ‘Aisyah ra. “Aku menjual [atas suruhan Zaid bin Arqam] seorang budak kepada ‘Atha’ seharga 800 dirham kredit. Beberapa waktu kemudian, sebelum jatuh tempo, ia membutuhkan uang. Lalu aku beli [juga atas suruhan Zaid] budak tersebut dengan harga 600 dirham kontan.” ‘Aisyah ra. berkata, “Alangkah buruknya apa yang kamu jual dan apa yang kamu beli. Sampaikan kepada Zaid bin Arqam, bahwa Allah akan menghapus pahala jihad dan hajinya yang ia lakukan bersama Rasulullah saw. jika ia tidak bertobat.” Kemudian Zaid menemui ‘Aisyah ra. dan meminta maaf. Maka ‘Aisyah membacakan firman Allah: ‘Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti [dari mengambil riba], maka bagiannya apa yang telah diambilnya dahulu [sebelum datang larangan].” (al-Baqarah: 275). Artinya ia mendapatkan harta yang telah dibayarkan.

Apa yang disampaikan ‘Aisyah ra. menunjukkan bahwa beliau telah mendengar tentang hal ini dari Rasulullah saw.
Imam Syafi’i sepakat dengan pendapat tiga imam, dengan syarat manakala dalam transaksi ada tanda-tanda untuk mengambil riba. Jika tidak ada, maka transaksi tersebut sah, karena memenuhi syarat-syarat jual beli. Sedangkan masalah niat adalah urusan Allah.

c. Kerugian yang sangat mencolok
Jika pembeli tidak mampu melakukan tawar-menawar, maka penjual tidak memanfaat kondisi ini dengan mengeruk keuntungan yang sangat besar. Jika transaksi sudah berlangsung, lalu setelah itu pembeli mengetahui bahwa ia telah dirugikan, maka menurut Imam Malik dan Ahmad, ia boleh membatalkan transaksi.

Ibnu ‘Umar ra. berkata, seorang laki-laki [Hibban bin Munqidz] mengadu kepada Rasulullah saw. bahwa ia telah melakukan penipuan dalam jual beli. Maka Rasulullah bersabda, “Jika kamu melakukan jual beli, maka katakanlah, ‘Tidak ada penipuan.’” (HR Muslim dan yang lain)
Imam Malik menambahkan, “Jika kerugian yang dialami mencapai sepertiga harga barang, maka ia boleh membatalkan transaksi.”

• Mudlarat dalam wasiat. Ini bisa terjadi dalam bentuk:
a. Mewaisiatkan sebagian harta peninggalannya kepada sebagian ahli waris.
Sehingga mereka mendapatkan bagian melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah swt. yang tentunya merugikan ahli waris yang lain. Islam melarang wasiat seperti ini, manakala ahli waris yang lain tidak rela.

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memberikan bagian kepada mereka yang berhak. Karenanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

b. Mewasiatkan sebagian harta peninggalannya kepada selain ahli waris supaya bagian ahli waris berkurang. Karenanya, Islam melarang wasiat sepeti ini manakala melebihi sepertiga harta peninggalan, kecuali atas seizin ahli waris. Rasulullah saw. bersabda, “Ya, sepertiga, dan sepertiga pun sudah banyak.” (Muttafaq ‘alaiHi)

Islam membolehkan sebatas sepertiga hartanya untuk menutupi peluang-peluang kebaikan yang belum ia lakukan pada masa hidupnya. Namun jika sepertiga harta yang diwasiatkan itu bertujuan memudlaratkan ahli warisnya, maka ia akan menanggung dosanya. Sebagaimana firman Allah, “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudlarat [kepada ahli waris].” (an-Nisaa’: 12)

Dan bisa jadi, wasiat dengan niat yang tidak baik tersebut, akan menjadikan hilangnya pahala amal kebaikannya selama masih hidup.
Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang laki-laki dan wanita melakukan ketaatan kepada Allah swt. selama 60 tahun. Kemudian menjelang tutup usia keduanya berwasiat yang menimbulkan mudlarat. Maka nerakalah tempat keduanya.” setelah itu, Abu Hurairah membaca firman Allah, “Sesudah dipenuhi wasiat…”(HR Turmudzi dan yang lain)

Ibnu ‘Abbas ra.berkata, “Berwasiat yang menimbulkan mudlarat adalah dosa besar.”
Jika ia mengakui adanya niat yang tidak baik tersebut, apakah wasiat tersebut dilaksanakan ataukah dibatalkan? Sebagian ulama berpendapat, bahwa wasiat tersebut tetap dilaksanakan. Sedangkan Imam Malik berpendapat, wasiat itu dibatalkan.

• Mudlarat dalam rujuk.
Jika seorang suami menceraikan istrinya dan bermaksud kembali lagi sebelum masa iddah berakhir maka di dalam Islam dibolehkan, bahkan dianjurkan. Namun jika kembali atau rujuknya kepada istri yang telah ia ceraikan hanya untuk mempermainkan istri, maka hal itu jelas dilarang.

Firman Allah: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)

“Dan suami-suami berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka [para suami] itu menghendaki ishlah.” (al-Baqarah: 228)

Imam Malik berpendapat, jika ada suami yang rujuk dengan istrinya sebelum masa ‘iddah habis, kemudian menceraikannya kembali sebelum melakukan senggama, dengan maksud agar istri semakin sengsara dengan bertambahnya masa iddah. Maka istri tidak perlu menghitung iddah dari awal. Akan tetapi menyempurnakan hitungan hari iddah sebelumnya.

Imam Ahmad berpendapat, meski suami tidak bermaksud menyakiti istri, masa iddah tidak perlu diulang dari awal. Sedangkan kebanyakan ulama berpendapat, istri harus mengulangi perhitungan iddah dari awal, ada maksud menyakit istri atau tidak. Jika suami bermaksud menyakiti istri, maka ia menanggung dosanya.

• Mudlarat dalam Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang lelaki untuk tidak bersenggama dengan istrinya untuk jangka waktu tertentu atau untuk selama-lamanya. Jika kemudian ia menyetubuhi istrinya sebelum empat bulan, berarti ia mencabut sumpahnya dan harus membayar kafarat dari sumpahnya.

Jika setelah empat bulan masih tetap tidak mau besenggama dengan istrinya, maka harus segera dihentikan. Allah berfirman: “Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya, diberi tangguh waktu empat bulan [lamanya]. Kemudian jika mereka kembali [kepada istrinya], maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Mahapenyayang. Dan jika mereka berazam [bertetap hati] untuk talak, maka sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)

Mengenai cara penghentiannya, para ulama berbeda pendapat: jumhur ulama berpendapat, bahwa orang seperti ini dibawa ke pengadilan untuk diminta menghentikan ila’nya atau menceraikan istrinya. Jika ia tetap membangkang maka hakim memutuskan perceraiannya [cerai satu].

Sedangkan madzab Hanafi berpendapat, jika melebihi empat bulan, maka secara otomatis telah jatuh talak tiga.
Senada dengan masalah ila’ adalah masalah-masalah berikut ini:
a. Jika seorang suami tidak menyetubuhi istrinya selama empat bulan dengan maksud memudlaratkan istrinya, meskipun tanpa bersumpah, maka ia dianggap telah melakukan ila’ [menurut pendapat Ahmad].

b. Menyetubuhi istri hukumnya wajib. Menurut madzab Hambali minimal sekali dalam empat bulan. Jika suami tidak melaksanakan tanpa satupun alasan dan istri minta untuk diceraikannya, maka sebagian ulama berpendapat: harus diceraikan.

Apakah dalam masalah ini perlu adanya maksud menyakiti atau tidak? Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Imam Malik dan pengikutnya berpendapat, jika suami tidak melakukan senggama dengan istrinya, maka nikahnya dibatalkan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai jangka waktunya.

c. Jika seseorang berpergian untuk jangka waktu yang lama, tanpa ada alibi yang tepat. Kemudian istri menyuruhnya untuk pulang, namun ia tidak mau, maka menurut Imam Malik dan Ahmad keduanya harus diceraikan oleh hakim.

• Kemudlaratan dalam menyusui
Allah berfirman: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,” (al-Baqarah: 233)

Artinya, dalam menyusui jangan sampai terjadi hal-hal yang memudlaratkan, baik bagi ibu, bapak, maupun bagi anaknya. Ibunya berkewajiban menyusui anaknya. Jika istri dilarang oleh suaminya untuk menyusui anaknya agar si suami dapat menikmati kemolekan tubuh istrinya, maka hal ini diperbolehkan. Namun jika suami bermaksud menyengsarakan istri, maka harus dicegah. Sikap seperti ini tidak diperbolehkan dan berdosa.

Suami boleh melarang istrinya untuk menyusui si anak, manakala ada wanita lain yang mau menyusui anak tersebut. Namun jika tidak ada, atau ada tetapi si anak tidak mau menyusu kecuali dari tetek ibunya, maka pelarangan tersebut tidak diperbolehkan.

Jika sang ibu telah diceraikan atau ditinggal mati suaminya, lalu ia meminta untuk menyusui anaknya dengan imbalan upah yang wajar, maka ia lebih berhak untuk itu. Ayah dari si bayi atau ahli waris dari ayah harus memenuhi permintaannya. Namun jika sang ibu meminta upah yang sangat berlebihan, sementara ada wanita lain yang mau menyusui dengan upah yang wajar, maka permintaan sang ibu tidak harus dipenuhi. Jika tidak ada wanita lain yang mau menyusui, maka sang ibu terpaksa menyusui dengan upah yang wajar.

Jenis kedua; bisa terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya:

A. Menggunakan sesuatu milik sendiri, namun menimbulkan mudlarat bagi orang lain. Ini terjadi dalam dua bentuk:
1. Menggunakannya dalam bentuk yang tidak lazim, ini jelas tidak boleh. Misalnya seseorang mengobarkan api di tanahnya sendiri, pada musim kemarau dan banak angin sehingga membakar semua yang ada di sekelilingnya. Orang seperti ini dianggap telah melakukan pelanggaran, dan wajib mengganti milik tetangganya yang terbakar.

2. Menggunakannya secara lazim. Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Diantaranya:
a. Menggali sumur di dekat sumur tetangganya, hingga air tetangganya habis. Menurut Imam Malik dan Ahmad, orang ini harus dicegah. Jika sumur itu telah digali, maka harus ditutup. Abu Qalabah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah membuat kemudlaratan dalam menggali sumur. Yaitu seseorang menggali sumur di samping sumur tetangganya supaya air tetangganya habis.” (HR Abu Daud)
Ulama lain membolehkan penggalian sumur seperti ini.

b. Membuat jendela dan bangunan yang tinggi.
Membuat jendela atau meninggikan bangunan agar bisa melihat ruangan dalam rumah tetangganya. Atau tingginya bangunan menghalangi ventilasi dan pencahayaan rumah tetangga. Hal hal ini harus dicegah. Terutama jika maksud buruk itu jelas-jelas nyata.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidak meninggikan bangunan hingga menghalangi ventilasi udara tetangga, kecuali atas izinnya.” (HR al-Khairaithi)
Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Ahmad dan disepakati oleh sebagian ulama madzab Syafi’i.

c. Jika barang yang dimiliki memudlaratkan orang lain. Misalnya seseorang memiliki suatu benda yang mengeluarkan suatu bau yang tidak sedap sehingga mengganggu tetangganya ataupun orang lain, maka hal itu tidak dibolehkan. Sebagaimana pendapat Imam Malik dan Ahmad.

d. Mencegah hal-hal yang membahayakan dengan menerima ganti rugi.

Seseorang memiliki hak terhadap kepunyaan orang lain. Akan tetapi jika ia menggunakan hak tersebut, dapat memudlaratkan orang lain, maka ia harus merelakan haknya atau meminta ganti rugi senilai hak yang dimilikinya. Seperti memiliki satu kamar dalam rumah orang lain, kamar mandi yang dimiliki secara bersama, atau yang lain.

Samurah bin Jundub ra. menceritakan, bahwa ia memiliki satu pohon kurma di dalam kebun seorang Anshar. Laki-laki Anshar ini tinggal bersama istrinya. Setiap kali Samurah mengunjungi kurmanya, orang Anshar ini merasa terganggu. Maka ia meminta Samurah agar mau menjual kurma itu kepadanya atau menggantinya di tempat lain. Akan tetapi Samurah menolak. Kemudian lelaki Anshar itu mengadu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. menyuruh Samurah untuk menjual, atau menerima ganti, atau memberikannya kepada laki-laki Anshar tersebut. Akan tetapi Samurah tetap tidak mau. Maka beliau berkata kepada Samurah, “Kamu telah menimbulkan mudlarat bagi orang lain.” Dan berkata kepada laki-laki Anshar, “Potonglah kurma itu.” (HR Abu Dawud)

Imam Ahmad mengomentari hadits ini, “Semua yang menimbulkan mudlarat harus dicegah. Jika pemiliknya menolak, maka penguasa setempat harus menempuh cara paksa.

Kasus yang sama adalah diperbolehkannya memaksa orang yang berserikat dalam kepemilikan sebuah bangunan, untuk menjualnya, jika dalam penolakannya menimbulkan mudlarat bagi anggota serikat yang lain. Juga diperbolehkan memaksa orang yang berserikat dalam kepemilikan barang yang tidak bisa dibagi-bagi, untuk menjualnya, seperti satu mobil milik bersama, atau sebidang tanah yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali secara keseluruhannya.

B. Melarang orang lain memanfaatkan hak miliknya, sehingga orang tersebut dirugikan. Ini bisa terjadi dalam permasalahan berikut:

a. Melarang orang lain untuk menggunakan atau sekedar memanfaatkan barang miliknya. Jika pemanfaatan itu menimbulkan kerugian bagi orang yang mengambil manfaat, maka ia berhak melarangnya. Misalnya, seseorang yang memiliki dinding yang rapuh yang sudah tidak mampu menahan beban yang sudah ada. Maka ia berhak melarang tetangganya agar tidak meletakkan kayu atap rumah di atasnya.

Namun jika tidak merugikan orang yang mengambil manfaat, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama: Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik berpendapat, ia berhak melarang, karena pemanfaatan itu bisa jadi merugikannya. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim tidak boleh mengambil tongkat saudaranya tanpa kerelaannya.” (HR Ibnu Hibban)

Imam Ahmad ra. berpendapat, ia tidak berhak melarang. Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang diantara kalian tidak boleh melarang tetangganya untuk meletakkan kayu atap rumahnya di atas dindingnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Umar ra. pernah mengizinkan aliran air Muhammad bin Maslamah berada di tanah Muhammad bin Maslamah. Bahkan ia berkata, “Biarkan air itu mengalir walaupun harus melewati perutmu.”

b. Menahan air, rumput, garam dan api.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menahan kelebihan air, dengan maksud menahan rumput.” Maksudnya, ladang rumput yang tidak bisa dijangkau kecuali melewati sebuah mata air dan meminum dari air tersebut. Maka tidak mengizinkan orang lain memanfaatkan air tersebut berarti juga tidak mengizinkan orang lain memanfaatkan rumput tersebut.

Abu Dawud meriwayatkan, bahwa seorang lelaki berkata, “Ya Rasulullah, apa saja yang tidak boleh ditahan?” Beliau menjawab, “Air.” Ia bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Air.” Ia bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Garam.” Ia bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Lakukan kebaikan. Itu lebih baik bagimu.”

Abu Dawud juga meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang Muslim berserikat dalam tiga hal: rumput, air dan api.”
Berikut penjelasannya:

– Air.
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, “Tidak diperbolehkan melarang orang lain memanfaatkan kelebihan air, meskipun air itu berada di dalam tanahnya. Bukan berarti ia harus membagikannya secara Cuma-Cuma.”

Imam Ahmad berpendapat, “Harus dibagikan secara Cuma-Cuma untuk keperluan minum bagi sesama manusia, bagi binatang, dan untuk menyirami tanaman.”
Dari perkataannya, bisa dipahami bahwa diperbolehkan melarang pengambilan air manakala air tersebut dekat dengan ladang rumput, agar ladang rumput tersebut tetap hidup.

Imam Malik berpendapat, “Jika sungai atau mata air tersebut adalah hak miliknya, maka ia tidak harus membagikannya kecuali kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Jika bukan hak miliknya, maka ia harus membagikannya.”

– Rumput
Imam Syafi’i berkata, “Jika ladang rumput itu hak miliknya, maka ia boleh menahan kelebihannya. Lain lagi jika ladang rumput itu tak bertuan.”
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat, “Tidak boleh menahannya. Bagaimanapun kondisinya.”

– Garam
Jika berada di ladang tak bertuan, dan tidak mengeluarkan modal dalam pembuatannya, maka tidak seorangpun boleh menahannya.

– Api
Tidak boleh menahan orang lain untuk mengambil sulutan api. Sebagaimana tidak boleh melarang orang lain agar tidak tersinari oleh cahayanya, mendapatkan kehangatannya dan memasak makanan dari kelebihan yang dia butuhkan. Adapun bahan bakar, jika merupakan hak milik, maka ia boleh menahannya. Walaupun sebaiknya tidak.

5. Seperempat Masalah Fiqih
As-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nazhair menyebutkan, bahwa yang menjadi dasar madzab Syafi’i adalah empat hal:

a. Kaidah: “Sesuatu yang yakin tidak bisa dikalahkan oleh yang ragu-ragu.”
Kaidah ini diambil dari hadits yang menyebutkan, bahwa seseorang merasakan ada sesuatu [seolah ia telah kentut] di dalam shalat, lalu ia mengadu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. bersabda, “Jangan beranjak [dari shalat] hingga kamu mendengar suara atau mencium bau.” (HR Bukhari dan Muslim)
Karena keadaannya yang telah “bersuci” adalah sesuatu yang yakin, dan ini tidak bisa dikalahkan oleh keraguan yang datang belakangan.

b. Kaidah: “Kesulitan mendatangkan kemudahan.”
Kaidah ini berasal dari firman Allah: “Dia sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Juga bersumber dari sabda Nabi, “Aku diutus dengan agama tauhid yang membawa kemudahan.” (HR Ahmad)

c. Kaidah: “Kemudlaratan itu harus dihapuskan.”
Kaidah ini bersumber dari hadits Rasulullah saw., “Tidak boleh membuat kemudlaratan dan tidak boleh membalas kemudlaratan.”

d. Kaidah: “Tradisi itu bisa dijadikan hukum.”
Kaidah ini bersumber dari hadits perkataan Ibnu Mas’ud, “Apa-apa yang dilihat orang muslim baik, maka di sisi Allah adalah baik.”

Dari penjelasan di atas, hadist ini dinilai sebagai seperempat dari permasalahan fiqih. Para ulama juga menyebutnya sebagai satu kaidah inti dalam masalah fiqih. Darinya, muncul kaidah-kaidah lain, termasuk tiga kaidah yang disebutkan di atas.
Agar lebih jelas, maka di bawah ini dijelaskan tentang kaidah-kaidah tersebut dan contoh-contohnya:

Kaidah inti: “Tidak boleh membuat kemudlaratan dan tidak boleh membalas kemudlaratan.”
Contohnya, seseorang yang hartanya dirusak oleh orang lain, maka tidak boleh membalas dengan merusak harta orang tersebut, karena tindakan ini tidak mendatangkan manfaat. Justru memperluas kemudlaratan. Ia hanya boleh menuntut agar orang yang merusak hartanya mengganti senilai kerusakan tersebut.

Kaidah-kaidah furu’ (yang bisa dimunculkan dari kaidah inti ini):

a. Kaidah: “Kemudlaratan itu harus dicegah semampunya.”
Artinya, kemudlaratan harus dicegah sebelum terjadi. Karena mencegah sesuatu lebih ringan dan lebih mudah daripada menghapus kemudlaratan yang sudah terjadi. Bagaimanapun, pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Namun demikian, usaha untuk mencegah terjadinya mudlarat ini tentunya dilakukan semampunya.
Sebagai pelaksanaan kaidah ini adalah dibolehkannya menahan orang yang jelas diketahui sebagai sumber kerusakan, hingga ia taubat. Hal ini perlu dilakukan, agar ia tidak menebarkan mudlarat di tengah masyarakat.

b. Kaidah: “Kemudlaratan harus dihilangkan.”
Maksudnya, menghilangkan kemudlaratan yang telah terjadi adalah suatu kewajiban, juga diwajibkan untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.
Contohnya: jika seseorang yang membuat saluran air di jalan, kemudian saluran air tersebut mengganggu orang yang lalu-lalang, maka ia wajib membuang saluran air tersebut, dan juga mengganti atau memperbaiki kerusakan akibat saluran airnya.

c. Kaidah: “Kemudlaratan tidak dihilangkan dengan kemudlaratan yang sebanding.”
Contohnya: seorang anggota serikat tidak boleh memaksa anggota lain untuk membagi harta yang tidak bisa dibagi, karena akan merugikan serikat.

d. Kaidah: “Kemudlaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudlaratan yang lebih ringan.”
Contohnya, serorang hakim boleh mengambil dari orang kaya, bagian harta lebih banyak dari yang seharusnya dizakatkan. Jika zakat yang dikumpulkan belum bisa memenuhi keperluan orang-orang fakir. Karena kemudlaratan dari pengambilan harta dari si kaya lebih ringan dibandingkan kemudlaratan yang ditimbulkan apabila kebutuhan orang-orang fakir tidak terpenuhi.

Ada dua kaidah yang senada dengan kaidah ini:
Pertama: “Memilih yang lebih ringan keburukannya.”
Kedua: “Apabila dua mafsadat [sesuatu yang merusak] saling bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudlaratnya.”

e. Kaidah: “Membiarkan kemudlaratan yang sifatnya khusus dan menghilangkan kemudlaratan yang sifatnya umum.”
Artinya, jika ada dua kemudlaratan dalam satu masalah, maka kemudlaratan yang sifatnya umum harus lebih diutamakan, meski akan menimbulkan kemudlaratan bagi sekelompok kecil.
Contoh: seorang hakim dibolehkan memaksa seseorang yang menimbun barang agar menjual sesuai harga pasar. Keputusan hakim tersebut pada dasarnya memang memudlaratkan orang yang menimbun barang, namun jika hakim membiarkannya justru akan terjadi kemudlaratan terhadap masyarakat luas.

f. Kaidah: “Menghilangkan kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.”
Maksudnya, jika dalam satu perkara terdapat sisi kerusakan dan sisi kemaslahatan, maka lebih diutamakan menghindarkan kerusakan. Meskipun dengan begitu, mengabaikan sisi kemaslahatannya.
Contoh: larangan menjual narkotika. Meskipun dengan menjualnya akan mendapatkan keuntungan materi. Karena, narkotika akan merusak fisik dan moral masyarakat.

g. Kaidah: “Apabila berbenturan antara penghalang dan pendukung, maka diutamakan sisi penghalangnya.”
Contoh: larangan untuk membelanjakan harta milik bersama. Meskipun ia memiliki hak untuk membelanjakannya, namun jika ia membelanjakan dapat memudlaratkan anggota lain yang juga memilikinya. Kepemilikannya merupakan pendukung, sedangkan kepemilikan lain adalah penghalang.

h. Kaidah: “Kemudlaratan yang tidak dapat dibiarkan karena lebih dulu ada.”
Hal ini dikarenakan semua jenis mudlarat harus dihilangkan, tidak peduli apakah kemudlaratan tersebut lebih dulu atau tidak.
Contoh: seseorang yang memiliki jendela berhadapan dengan tanah kosong milik orang lain. Kemudian di atas tanah kosong itu didirikan bangunan, sehingga jendela yang dulu dibangun tepat menghadap rumah yang baru dibangun, hingga mengganggu wanita yang menghuni rumah baru, maka jendela tersebut harus dipindah, meskipun keberadaannya lebih dulu.

Kaidah ini sebenarnya merupakan kaidah yang membatasi kaidah lain, yaitu: “Yang telah lama dibiarkan sebagaimana adanya.”
Kaidah ini sifatnya umum, mencakup segala sesuatu yang sifatnya telah ada terlebih dahulu.
Contoh: seseorang yang mendapati kayu berada di atas dinding tetangganya, maka ia tidak boleh memindahkan kayu tersebut, karena kayu tersebut sudah di dinding itu sebelumnya dan diletakkan dengan benar.

6. Hadits ini juga menjelaskan, bahwa jika ada dua orang yang saling mencaci dan saling menuduh, maka tidak diberlakukan qishash kepada keduanya, tetapi dijatuhi hukuman yang sesuai dengan dosanya masing-masing. Lalu hakim memberikan haknya.

&

Hadits Arba’in ke 23: Semua Kebaikan adalah Shadaqah

6 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 23 (dua puluh tiga)Abu Malik al-Harits al-Asy’ari ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bersuci itu bagian dari iman, ucapan AlhamdulillaH memperberat timbangan [kebaikan], ucapan SubhaanallaaH dan ucapan AlhamdulillaaH memenuhi ruangan antara langit dan bumi, shalat adalah nur [cahaya], shadaqah adalah burhan [bukti nyata], sabar adalah pelita dan al-Qur’an adalah [hujjah] argumen yang membela atau menuntutmu. Semua orang berusaha. Ia pertaruhkan dirinya. Ada yang untung dan ada yang merugi.” (HR Muslim)

KANDUNGAN HADITS

1. Hikmah yang sangat berharga.
Sering kali Rasulullah saw. menasehati para shahabat dengan lafadz yang singkat namun jelas. Mencakup semua kebaikan dan peringatan dari semua kejahatan. Tidak ada kerancuan pada lafadz dan maknanya.
Hadits yang kita bahas saat ini, mencakup berbagai pengarahan yang mengagumkan dan hikmah yang sangat berharga. Ia adalah nasehat yang datang dari orang yang perkataannya tidak bersumber dari hawa nafsu, tapi dari wahyu yang diturunkan kepadanya.

2. Thaharah dan pahalanya.
Thaharah merupakan syarat sahnya ibadah dan perlambang kecintaan kepada Allah swt. Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa Thaharah yang dilakukan orang-orang mukmin, terhadap badan dan pakaiannya adalah refleksi dari keimanannya. Karena pelaksanaan thaharah merupakan perwujudan dari ketundukannya terhadap perintah Allah, “Hai manusia, sembahlah Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 21)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al-Maa-idah: 6)

“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (al-Muddatstsir: 4)
Ini semua dilakukan agar ketika menghadap Allah dalam keadaan bersih dan penampilan yang baik, hingga layak untuk mendapat kecintaan Allah swt.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222)

a. Thaharah setengah dari iman.
Rasulullah telah menjelaskan, bahwa pahala bagi orang yang bersuci, berwudlu dan lain sebagainya akan menjadi berlipat ganda di sisi Allah, hingga mencapai setengah dari pahala keimanan. Karena iman menghapus dosa-dosa besar dan kecil yang telah lalu. Sedangkan thaharah, khususnya wudlu, menghapus dosa-dosa kecil yang telah lalu. Dengan demikian, seolah-olah setengah dari keimanan.

Utsman ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang berwudlu dan menyempurnakan wudlunya, maka dosa-dosanya akan keluar dari badannya, sampai-sampai keluar dari bawah kuku-kukunya. (HR Muslim)

Di samping itu, iman merupakan pembersih jiwa dari debu-debu maknawi, semisal syirik, nicak, dann lain sebagainya. Sedangkan thaharah merupakan pembersih badan dari kotoran-kotoran yang nyata. Karena itulah, thaharah khususnya wudlu akan menjadi tanda bagi umat Muhammad saw. pada hari kiamat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dengan penuh cahaya, karena bekas wudlu. Barangsiapa yang bisa melebihkan cahayanya maka lakukanlah.” (Muttafaq ‘alaiHi)

b. Thaharah setengah dari shalat
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan iman dalam hadits di atas adalah shalat. Pendapat ini didasari oleh firman Allah, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu [shalatmu ke Baitul Maqdis].” (al-Baqarah: 143)

Mereka mengatakan, “Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangnya syarat suatu perbuatan seakan setengah dari perbuatan tersebut.”

c. Wudlu merupakan kunci surga
Di dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa penyebab masuknya orang-orang kafir ke neraka adalah karena mereka tidak melakukan shalat. Allah berfirman: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar [neraka]? mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Muddatstsir: 43)

Dengan demikian, shalat merupakan penyelamat dari neraka dan jalan menuju surga. Sedangkan thaharah adalah kunci dari shalat. Maka secara tidak langsung wudlu adalah kunci surga.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim berwudlu dan menyempurnakan wudlunya. Kemudian ia bangkit dan shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyuan, melainkan wajib baginya [masuk] surga.” (HR Muslim)

“Tidaklah seorang berwudlu dan menyempurnakan wudlunya. Kemudian mengucapkan, “AsyHadu allaa ilaaHa illallaaH wa asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH [Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah]” melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia bisa masuk dari pintu mana yang ia suka.” (HR Muslim)

d. Wudlu merupakan cerminan dari keimanan
Ini dikarenakan tidak ada seorang pun yang senantiasa menjaga wudlu kecuali orang mukmin. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan ada yang menjaga wudlu, selain orang beriman.” (HR Abu Dawud, Hakim, dan Ibnu Majah). Karena wudlu adalah sesuatu yang lebih dominan sisi bathinnya. Wajar jika yang selalu menjaga wudlu akan lebih dahulu masuk surga.

Suatu saat Rasulullah saw. memanggil Bilal lalu bertanya, “Wahai Bilal, dengan amalan apa engkau mendahuluiku masuk surga? Semalam aku masuk surga, aku mendengar bunyi alas kakimu di depanku.” Bilal ra. menjawab, “Ya Rasulallah, tidaklah saya mendengar adzan melainkan saya shalat dua rakaat, dan tidaklah saya batal [hadats] melainkan saya berwudlu.” Rasulullah saw. lalu berkata, “Berarti, karena itu.” (HR Ibnu Khuzaimah)

e. Thaharah adalah amanah
Rasulullah saw. bersabda, “Shalat lima waktu, Jum’at hingga Jum’at berikutnya dan menunaikan amanah merupakan kafarat [penghapus dosa] di antara amalan-amalan tersebut. Kemudian ditanyakan, “Apa yang dimaksud dengan menunaikan amanah?” rasulullah menjawab, “Mandi junub, karena di bawah setiap rambut adalah janabat yang harus dibersihkan.” (HR Ibnu Majah).

Mandi junub adalah masalah batin yang dilaksanakan pada badan. Tidak ada yang mengetahui hakekatnya kecuali Allah swt. kotoran tersebut tidak akan hilang kecuali dengan usaha dan niat yang dilakukan orang yang bersangkutan, sedangkan niatnya adalah khafsy [tidak tampak]. Karena itu, menghilangkan kotoran dengan thaharah merupakan termasuk menunaikan amanah.

Dalam riwayat Abu Darda’ ra. disebutkan, “Allah tidak mempercayai anak Adam dalam urusan agama, selain mandi junub.”

f. Membersihkan hati
Thaharah tidak akan ada gunanya jika hanya sebatas mensucikan anggota badan dan tidak diiringi dengan thaharah batin. Karena itu, membersihkan badan bagi seorang muslim harus iiringi dengan membersihkan hati, meluruskan niat dan tujuan, serta konsisten dalam setiap perbuatan. Bahkan Imam Ghazali telah menafsirkan kata thuhur dalam hadits di atas, dengan “bersihnya hati dari segala dendam, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya,” karena iman akan sempurna dengan hal-hal tersebut. Beliau juga menafsirkan thaharah dengan meninggalkan maksiat dan dosa.

Allah swt. berfirman, menceritakan perkataan kaum nabi Luth as. tentang Nabi Luth as. dan pengikutnya yang tidak mau berbuat zina, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mensucikan diri.” (al-A’raaf: 82)

3. Dzikrullah.
Bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Allah adalah dengan banyak berdzikir kepada-Nya, apalagi dengan lafadz yang telah disebutkan Nabi saw. dalam berbagai haditsnya. Dzikir tersebut akan memenuhi amal kebaikan pada hari kiamat, hingga amalan kebaikan lebih berat daripada keburukan yang telah dilakukan. Dengan begitu ia menjadi orang yang selamat dan dekat dengan Allah swt.

Apalagi jika ia selalu memuji Allah, juga mensucikan, mengagungkan, meninggikan, dan mengesakan-Nya. “Alhamdulillah memenuhi timbangan. SubhaanallaaH dan alhamdulillah memenuhi apa yang ada di langit dan di bumi.” Dalam riwayat Muslim lainya disebutkan, “Tasbih dan takbir memenuhi langit dan bumi.” Dalam riwayat Tirmidzi, “Tidak ada penghalang antara Laa ilaaHa illallaaH dengan Allah, hingga sampai kepada-Nya.” banyak hadits yang menyebutkan keutamaan keempat kalimat tersebut, di antaranya:

Abu Sa’id ra. dan Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. memilih empat kalimat: SubhaanallaaH, alhamdulillaaH, laa ilaaHa illallaaH dan AllaaHu akbar. Barangsiapa mengucapkan subhaanallaaH, maka akan dicatat baginya dua puluh kebaikan, akan dihapus darinya dua puluh kejelekan. Siapa yang mengucapkan AllaaHu akbar maka akan mendapatkan hal yang sama, siapa yang mengucapkan laa ilaaHa illallaaH akan mendapat hal yang sama, barangsiapa yang mengucapkan alhamdulillah akan mendapat hal yang sama dan barangsiapa mengucapkan alhamdulillaaHi rabbil ‘aalamiin maka akan dicatat baginya tiga puluh kebaikan dan dihapuskan darinya tiga puluh kejelekan.” (HR Ahmad)

Barangsiapa yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas, dengan meyakini sepenuhnya apa yang diucapkan dan merenungi makna yang terkandung di dalamnya, maka akan mendapatkan pahala yang besar. Andai diukur, tentulah akan memenuhi antara langit dan bumi. Bahkan seakan ia memiliki anak tangga untuk bisa sampai pada derajat yang paling tinggi.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah hamba mengucapkan Laa ilaaHa illallaaH dengan penuh keikhlasan, kecuali akan dibukakan baginya pintu langit sehingga ia bisa sampai ke ‘Arsy. Selama ia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR Tirmidzi)
Orang yang bisa mencapai ‘Arsy adalah orang yang bisa mencapai derajat paling tinggi.

Para ulama berkata, “Keempat kalimat tersebut adalah amalan-amalan yang kekal dan shalih. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shahih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 46)
Karena pahalanya akan tetap kekal dan berkembang di sisi Allah. Dengan begitu, jelas lebih baik bila dibandingkan dengan harta, keluarga dan anak-anak.

Berdzikir harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh penghayatan, agar memberikan pengaruh positif kepada orang yang melakukannya. Sehingga hati menjadi tenang, dan akhlak menjadi baik. Firman Allah yang artinya: “[yaitu] orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’du: 28)

Seorang mukmin sangat membutuhkan ketenangan hati dan ketenteraman jiwa. Karena itu ia perlu memperbanyak dzikir kepada Allah agar senantiasa berhubungan dengan Allah, bersandar kepada-Nya, memohon pertolongan, dan ampunan-Nya. orang seperti ini akan selalu dalam ingatan Allah, sehingga ia selalu dilimpahi karunia dan rahmat-Nya, dan selalu dalam petunjuk dan bimbingan-Nya.

Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah [dengan menyebut nama] Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya [memohonkan ampunan untukmu], supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya [yang terang]. Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (al-Ahzab: 41-43)

4. Shalat adalah cahaya
Shalat fardlu adalah kewajiban dan rukun pokok dari rukun-rukun Islam. Sebagaimana disebutkan Rasulullah saw. bahwa shalat adalah cahaya yang bisa menuntun pelakunya kepada jalan kebenaran dan mencegahnya dari kemaksiatan. Allah berfirman yang artinya, “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari [perbuatan-perbuatan] keji dan munkar.” (al-Ankabuut: 45)

Yang dimaksud dengan cahaya di sini adalah cahaya secara batin, yang menerangi jalan hidayah dan kebenaran. Sebagaimana cahaya dhahir yang menerangi jalan yang lurus. Shalat juga akan mempertebal kejiwaan seorang muslim. Sedangkan di akhirat, shalat akan menjelma menjadi cahaya di wajah orang yang melakukan. Allah berfirman, “Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (at-Tahrim: 8)

Seorang mukmin yang berlaku baik di hadapan Allah, berdiri di hadapan-Nya dengan penuh kekhusyukan, lima kali sehari, maka perlakuannya dengan sesama manusia juga akan baik. Ia akan tampak berbeda dengan akhlak dan ketakwaannya. Allah juga akan memberikan cahaya di mukanya sebagaimana telah memberikan cahaya di hatinya. Allah berfirman, “Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (al-Fath: 29)

Thabrani meriwayatkan dari Ubadah bin shamit ra. secara marfu’, “Jika seorang hamba menjaga shalatnya, menyempurnakan wudlu, ruku’, sujud, dan bacaannya, maka shalat akan berkata kepadanya, “Semoga Allah menjagamu sebagaimana kamu menjagaku.” Dia naik dengannya ke langit dengan dipenuhi cahaya, hingga sampai kepada Allah swt, dan shalat memberi syafaat kepadanya.”

Cahaya shalat berjamaah.
Jika seseorang senantiasa melaksanakan shalat berjamaah, maka ia akan memiliki cahaya di atas cahaya. Jika dilaksanakan berjamaah di masjid maka cahayanya akan semakin sempurna. Tentu ini adalah kemenangan dan keberuntungan. Ia akan masuk surga lebih dulu bersama para muqarrabin [orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah].

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang shalat lima waktu dengan berjamaah, akan berjalan di atas shirath secepat kila. Ia akan masuk surga bersama rombongan pertama. pada hari kiamat ia datang dengan muka berseri bagaikana bulan purnama.” (HR Thabrani).

Beliau juga bersabda: “Berilah kabar gembira kepada orang yang berjalan ke masjid dalam kegelapan, bahwa pada hari kiamat ia akan mendapatkan cahaya yang sempurna.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

SHALAT ADALAH KETENANGAN DAN KETENTERAMAN.

Shalat adalah penghubung antara Allah dan hamba-Nya. Karena itu, shalat merupakan ketenangan dan kebahagiaan bagi orang yang bertakwa. Dengan shalat mereka menemukan ketenangan dan kedamaian. Wajar, jika ditimpa musibah ataupun kesulitan mereka segera melakukan shalat. Apa yang mereka lakukan adalah mencontoh teladan mereka, Rasulullah saw. Beliau bersabada, “Dijadikan ketenanganku di dalam shalat.” Dan apabila mendapat suatu kesulitan berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal qamatlah [untuk shalat] agar dengan shalat tersebut kami tenang.” (HR Abu Dawud)

5. Shadaqah merupakan burhan [Bukti]
Burhan adalah sinar yang terpancar dari matahari. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh seorang mukmin akan keluar dari badannya dengan bersinar, seperti sinar matahari.” Argumen yang kuat juga disebut burhan, karena maksudnya sangat jelas. Demikian pula shadaqah, ia adalah burhan bagi kebenaran iman. Kerelaan dalam memberikan shadaqah adalah pertanda adanya keimanan dan pertanda bahwa ia merasakan keimanan.

Rasulullah saw. bersabda: “Tiga hal, barangsiapa yang melakukannya, maka sungguh ia telah merasakan keimanan: menyembah hanya kepada Allah, [pengakuan] tidak ada Tuhan selain Allah, dan membayar zakat dengan penuh kerelaan, sebagai bantuan setiap tahun.” (HR Abu Dawud)

Ini tidak lain karena manusia sangat senang pada harta, bahkan cenderung bakhil. Jika ia rela mengeluarkan harta untuk Allah swt, maka hal itu menunjukkan kebenaran imannya.

THAHARAH DAN KEBENARAN IMAN

Seorang muslim yang bersih dari debu-debu materi, mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah melalui ucapan dan dengan menunaikan hak-hak Allah swt. niscaya ia bersih dari kotoran-kotoran bathin. Di antara kotoran-kotoran tersebut adalah sikap kikir dan bakhil. Seorang Muslim adalah orang yang dermawan dan pemurah. Karena kebakhilan dan keimanan tidak akan menyatu di dalam satu hati.

Allah berfirman, “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Karena itu infak atau shadaqah yang dikeluarkan untuk membantu para fakir miskin dengan kerelaan dan hanya mengharap keridlaan Allah, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah, merupakan bukti nyata kebenaran iman. Mereka inilah yang akan bergabung bersama orang-orang mukmin yang beruntung. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, [yaitu] orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminuun: 4)

6. Sabar adalah Dhiya’ (sinar)
Dhiya’ adalah cahaya yang bersumber dari sesuatu yang padas dan terbakar, misalnya sinar matahari. Berbeda dengan bulan, ia hanyalah cahaya yang tidak panas kesabaran adalah dhiya’ karena sangat berat untuk diwauujudkan. Bersabar membutuhkan kungguhan jiwa untuk tidak menuruti hawa nafsu.

KESABARAN MERUPAKAN JALAN MENUJU KEMENANGAN

Seorang muslim senantiasa berada dalam kebenaran, selama ia mampu menjaga kesabarannya. Karena dalam kehidupan manusia senantiasa dihadapkan pada berbagai kekerasan dan bencana. Semua itu memerlukan ketegaran dan kekuatan. Jika tidak maka manusia akan tersesat arus dan kemudian lenyap.

Dalam kehidupannya, seorang muslim banyak memerlukan kesabaran. Ketaatan memerlukan kesabaran. Meninggalkan maksiat memerlukan kesabaran. Menghadapi berbagai musibah memerlukan kesabaran. Karenanya kesabaran adalah kekuatan yang tidak ada bandingnya, cahaya yang senantiasa menyinari pemiliknya [orang yang sabar]. Dan terus menerus menuntun kepada al-haq dan kebenaran. Wajar, jika seorang muslim yang sabar berhak mendapatkan pujian Allah swt. dan tambahan pahala.

Firman Allah, “Sesungguhnya Kami dapati dia [Ayyub] seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat [kepada rabbnya].” (Shaad: 44)

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, [yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Innaa lilllaaHi wa innaa ilaiHi raaji’uun.” (al-Baqarah: 155-156)

7. Al-Qur’an merupakan hujjah.
Pedoman seorang muslim adalah al-Qur’an. Ia mengambil petunjuk darinya, menjalankan perintah yang ada di dalamnya, menjauhi larangan yang ada, dan berakhlak dengan akhlaknya. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka ia benar-benar bisa mengambil manfaat ketika membacanya. Dengan begitu, al-Qur’an akan membimbingnya agar selamat di dunia dan sebagai pembela yang akan membelanya pada hari kiamat.

Dan barangsiapa yang menyimpang dari jalan yang benar dan menyimpang dari nilai-nilai al-Qur’an. Maka Al-Qur’an akan menjadi musuhnya pada hari kiamat. Semakin seseorang banyak membaca al-Qur’an dan tidak mengamalkannya, maka hal itu akan semakin menambah dosa, karena al-Qur’an akan menjadi saksi bahwa orang tersebut menyimpang dari jalan yang benar.

Firman Allah: “Sesungguhnya al-Qur’an itu memberikan petunjuk kepada [jalan] yang lurus..” (al-Isra’: 9)
Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian satu perkara. Jika kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya. Perkara tersebut adalah Kitabullah.” (HR Muslim).
Beliau juga bersabda, “Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an akan datang dan memberi syafaat pada hari kiamat.”

Al-Qur’an adalah obat bagi orang-orang mukmin dan racun bagi orang-orang kafir dan munafik.
Dalam al-Qur’an, orang-orang mukmin akan menemukan obat dari berbagai jenis penyakit, baik fisik maupun kejiwaan. Setiap kali membaca dan mentadabburinya, ia akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman. Sedangkan selain orang mukmin, jika mendengar al-Qur’an akan merasa merinding dan dirundung kesedihan. Ia menyangka bahwa musibah telah menimpa dirinya.

Firman Allah: “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dhalim selain kerugian.” (al-Isra’: 82)

Berkenaan dengan ayat ini, sebagian Shalafush Shalih berkata, “Tidak ada seorang pun yang sedang duduk dan dibacakan al-Qur’an kepadanya, lalu ia berdiri, yang tidak mendapatkan perubahan. Hanya ada dua kemungkinan bagi orang tersebut, beruntung atau merugi.”

Jalan menuju surga.
Nabi Muhammad saw. menutup nasehatnya dengan penjelasan tentang macam-macam manusia. Meskipun dalam kehidupannya, manusia selalu mengalami pagi, petang, malam dan siang, namun mereka tidak dalam satu kondisi. Ada yang di antara mere menghabiskan waktu malam atau siangnya untuk mentaati Allah swt. dan mencari keridlaan-Nya. mereka senantiasa jujur, baik kepada Allah maupun kepada manusia. Dengan demikian mereka telah menyelamatkan diri mereka sendiri dari kehancuran dan siksa. Ia benar-benar menjadi manusia yang bebas merenung, berfikir dan berkehendak. Ia tidak akan menerima apapun untuk dirinya kecuali surga dan kenikmatan yang kekal abadi.

Ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk bermaksiat dan melanggar perintah Allah dalam semua sisi kehidupannya, baik umum maupun pribadi. Dengan begitu ia benar-benar telah menghancurkan dirinya sendiri. Ia mendapatkan penderitaan di dunia dan siksa yang abadi di akhirat. Karena ia telah menjadi budak syahwat, hawa nafsu dan setan yang menggoda dan menyeretnya ke dalam kesesatan.

Dia realita inilah yang diisyaratkan oleh Nabi saw. “Setiap manusia pergi menjual dirinya. Apakah ia akan membebaskan dirinya ataupun menghancukannya.”

Barangsiapa yang berusaha mentaati Allah, maka ia telah menjual dirinya untuk Allah dan membebaskan dirinya dari siksaan. Namun barangsiapa yang melakukan maksiat, mak ia telah menjual dirinya kepada sebuah kehinaan dan mencampakkan dirinya dalam lembah perbuatan dosa dan mencampakkan dirinya dalam lembah perbuatan dosa yang mengundang murka dan siksa Allah swt.

Firman Allah: “Dan jiwa serta penyempurnaannya [ciptaannya]. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7-10)

Dengan kata lain, orang yang mensucikan dirinya dengan senantiasa mentaati Allah akan beruntung, sedangkan orang yang senantiasa melakukan maksiat akan merugi.
Jika demikian, ketaatan merupakan penyuci jiwa dan akan membawanya kepada tingkatan yang lebih tinggi. Sedangkan kemaksiatan hanyalah memperdaya dan mengekang jiwa.

Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 15)

Kesaksian yang Bisa menyelamatkan dari Neraka
Untuk membebaskan dirinya dari neraka, seorang muslim senantiasa memperkokoh keimanannya dan menguatkan keyakinannya dengan dzikir kepada Allah swt.

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa di pagi hari atau sore hari mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memulai pagi hari dengan bersaksi kepada-Mu dan semua makhluk-Mu, bahwa Engkau adalah tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau satu-satunya, tiada sekutu bagi-Mu. Dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.”
Niscaya Allah akan membebaskan seperempatnya dari neraka. barangsiapa yang mengucapkannya dua kali, maka Allah akan membebaskan setengahnya dari neraka.” (HR Abu Dawud)

Karena kesaksian ini akan membangkitkan rasa taku kepada Allah, hingga mendorongnya untuk senantiasa mentaati Allah dan menjauhi kemaksiatan. Hal ini akan menjadikannya jauh dari neraka dan dekat kepada keridlaan Allah swt.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang berkata di pagi hari, “SubhaanallaaHi wa bihamdiHi” seribu kali, maka telah menjual dirinya kepada Allah. Dan itulah hari terakhir dia membebaskan dirinya dari neraka.”

Tidak ada jual beli kecuali hanya untuk Allah.
Seorang mukmin adalah manusia yang penuh wibawa dan kemuliaan. Ia tidak rela menjual dirinya kecuali hanya kepada Allah swt. Karena tak ada satu pun makhluk yang bisa membeli dirinya dengan harga yang sesuai. Terlebih memang telah terjadi transaksi sejak zaman azali antara orang mukmin dan penciptanya. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (at-Taubah: 111) karenanya, mereka senantiasa berusaha untuk mendapatkan keridlaan Allah, menolak semua hal yang menyebabkan kemarahan Allah, agar mendapatkan bayaran secara utuh. Ia tidak terpedaya oleh dunia ataupun tertipu oleh harta. Bahkan langkahnya tidak akan surut oleh ancaman atau rasa takut terhadap kematian. Mahabenar Allah, yang telah berfirman: “Dan di antara manusia, ada orang yang menjual [mengorbankan] dirinya karena mencari keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (al-Baqarah: 207)

“Di antara orang-orang mukmin itu, ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah [janjinya].” (al-Ahzab: 23)

8. Iman adalah keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan amalan-amalan shalih. Berkurang dengan kemaksiatan dan dosa.

9. Semua amalan akan ditimbang, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai nash, di antaranya: “Dua kalimat yang dicintai Allah. Keduanya berat timbangannya dan sangat ringan untuk diucapkan, SubhaanallaaHi wa bihamdiHi, subhaanallaaHil ‘adhiim.” (HR Bukhari dan Muslim)
“Sesuatu yang paling berat timbangannya adalah akhlak yang terpuji.”

10. Anjuran untuk menjaga shalat, tepat pada waktunya, lengkap dengan syarat-syaratnya, dengan memperhatikan rukun, wajib, sunah dan adabnya.

11. Memperbanyak infak untuk kebaikan, bersegera memenuhi kebutuhan orang-orang fakir dan orang-orang senasib dengan keikhasanuntuk Allah semata.

12. Sabar terhadap segala penderitaan, terutama yang menimpaseorang muslim ketika mengemban tugas dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Firman Allah: “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan [oleh Allah].” (Luqman: 17)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar….” (al-Ahqaaf: 35)

13. Al-Qur’an adalah dasar hidup bagi setiap muslim. Ia harus dibaca, dipahami dan diimplementasikan dalam tindakan konkret.

14. Seorang muslim senantiasa berusaha mengisi waktunya untuk mentaati Allah swt. Ia hidup hanya untuk Allah, dan tidak menyibukkan diri kecuali hal-hal yang membawa manfaat bagi dunia dan akhiratnya.

&

Hadits Arba’in ke 19: Pertolongan dan Perlindungan Allah

5 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 19 (Kesembilan belas)Abu Abbas Abdullah bin Abbas ra. berkata, suatu hari aku berada di belakang Rasulullah saw. [membonceng], Beliau bersabda, “Nak, aku hendak mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah, pasti Dia menjagamu. Jagalah Allah, Dia senantiasa bersamamu. Jika kamu memohon sesuatu, mohonlah kepada-Nya. jika meminta pertolongan, mintalah tolong kepada-Nya. Ketahuilah seandainya semua umat manusia bersatu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, mereka tidak akan mampu kecuali yang sudah ditetapkan Allah untukmu. Dan seandainya semua umat manusia bersatu untuk mencelakakanmu, mereka tidak mampu kecuali keburukan yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan tinta sudah kering.” (HR Tirmidzi. Dia berkata, hadits ini hasan shahih)

Riwayat lain menyebutkan, “Jagalah Allah, pasti kamu selalu bersama-Nya. Kenalilah Allah saat kamu lapang, pasti Dia mengenalimu saat kamu susah. Ketahuilah, apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah, kemenangan seiring dengan kesabaran, kalan keluar seiring dengan cobaan, dan kemudahan seiring dengan kesulitan.”

URGENSI HADITS

Ibnu Rajab al-Hambali, dalam kitabnya Jami’ul Ulum wa al-Hikam, berkata, “Hadits ini memuat pesan-pesan dan kaidah-kaidah yang sangat penting.”
Sebagian ulama berkata, “Saya merenungi makna hadits ini. Saya kagum dan hampir tidak sadarkan diri. Karenanya sungguh sayang sekali bagi orang-orang yang tidak memahami hadits ini.”

KANDUNGAN HADITS

1. Perhatian Nabi saw. untuk memberi nasehat dan mencetak generasi teladan.
Rasulullah saw. mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menanamkan aqidah yang benar dalam diri masyarakat muslim, terutama para pemuda. Ini tidak aneh karena Allah telah berfirman: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)

Suatu ketika Rasulullah saw. berkendaraan bersama sepupunya, Abdullah bin Abbas, lalu beliau memberikan nasehat yang luar biasa ini, nasehat yang mendorong seorang muslim untuk komitmen terhadap segala perintah Allah swt. dan hanya meminta tolong dari-Nya. Sehingga akan menjadi seorang muslim yang pemberani, senantiasa berkata benar dan tidak takut celaan. Karena ia tahu, bahwa semua perkara di tangan Allah swt. dan bahwa tidak seorang pun yang bisa memberi manfaat atau mudlarat kecuali dengan izin-Nya.

2. Ucapan yang kekal sepanjang masa, dan cara penyampaian yang sangat bagus.
Ibnu ‘Abbas ra. memberitahu kita tentang nasehat yang sangat singkat dan sarat akan makna, yang ia dapat dari Rasulullah saw. ketika ia membonceng di belakang Rasulullah saw. Kerena urgensi nasehat tersebut, maka perlu mendapat perhatian penuh dari orang yang mendengarnya.

Rasulullah saw. memanggilnya dengan menggunakan panggilan, “Nak,” agar perhatiannya terpusat dan siap mendengarkan apa yang hendak dikatakan berikutnya. Lalu Nabi saw. bersabda, “Aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.” Hanya beberapa kalimat. Namun berisi kaidah-kaidah agama yang sangat penting. Kaidah-kaidah yang dapat menjernihkan fikiran, menajamkan ingatan, menerangi akal, menguatkan aqidah, dan menambah keyakinan.

3. Jagalah Allah, niscaya Allah Menjagamu.
Maksudnya, komitmenlah terhadap perintah-perintah Allah swt. jangan mendekati atau bahkan melanggar batasan-batasan-Nya, laksanakan apa yang diwajibkan-Nya dan jangan meremehkan sedikitpun, dan jauhilah apa yang dilarang. Setelah itu lihatlah, bagaimana Allah swt. menjaga kemurnian aqidahmu, menjagamu dari gejilak nafsu dan kesesatan, melindungimu dari kejahatan makhluk lain, melindungimu dari godaan setan, baik dari bangsa jin atau manusia. “Baginya ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti secara bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.” (ar-Ra’du: 11)
Artinya Allah memerintahkan para malaikat-Nya senantiasa melindunginya dari segala marabahaya.

Dalam ayat lain disebutkan, bahwa Allah swt. akan melindungi keturunannya, “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu. Dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (al-Kahfi: 82)

Karenanya, jika kamu menjaga Allah di dunia, maka Allah akan menjagamu di akhirat, menjauhkanmu dari api neraka, dan memasukkanmu ke dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Allah swt berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imraan: 133)

Kamu juga akan disambut oleh para malaikat, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, [yaitu] pada setiap hamba yang selalu kembali [kepada Allah] lagi memelihara [semua peraturan-peraturan-Nya][yaitu] orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan [olehnya] dan ia datang dengan hati yang bertaubat, “Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (Qaaf: 35)
Itu semua diberikan, sebagai komitmen Allah swt terhadap apa yang telah dijanjikan kepadamu sebagai kabar gembira. “Dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (at-Taubah: 112)

Rasulullah saw. juga mengajarkan kepada para shahabatnya agar mereka meminta perlindungan kepada Allah swt. Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menyuruh Bara’ bin ‘Azib agar setiap hendak tidur mengucapkan, Ya Rabbi, jika Engkau genggam jiwaku maka rahmatilah, dan jika Engkau melepaskannya maka lindungilah ia, sebagaimana Engkau melindungi hamba-hamba-Mu yang shalih.”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Umar ra. bahwa Nabi saw. mengajarkan kepadanya untuk berdoa, “Ya Allah lindungilah Aku dengan Islam dalam keadaan berdiri, lindungilah aku dengan Islam dalam keadaan duduk, lindungilah aku dengan Islam dalam keadaan berbaring dan janganlah Engkau turuti keinginan musuh ataupun orang yang dengki terhadapku.” Maksudnya janganlah Engkau turuti keinginan musuh untuk mencelakaiku.

4. Pertolongan dan dukungan Allah
Barangsiapa yang melindungi agama Allah swt. maka Allah akan bersamanya; memberi kemudahan, pertolongan dan perlindungan, terutama pada saat-saat sulit. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah itu beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (an-Nahl: 128)

Qatadah berkata, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah swt. niscaya Allah bersamanya. Berarti ia didampingi pihak yang tak pernah kalah, pelindung yang tak pernah tidur, dan pemberi petunjuk yang tak pernah sesat.”
Akan tetapi pertolongan dan bantuan Allah swt. ini sangat tergantung pada pelaksanaan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larang-Nya. Barangsiapa yang mentaati Allah swt. maka Allah akan menolong dan membantunya. Dan barangsiapa yang maksiat kepada-Nya, maka Allah swt. akan menelantarkan dan menghinakannya,

“Jika Allah menolong kamu maka tak ada seorang pun yang dapat mengalahkanmu dan jika Allah membiarkan kamu [tidak memberi pertolongan] maka siapakah gerangan yang dapat menolongmu [selain] dari Allah sesudah itu? Karena itu, hendaknya kepada Allah saja orang-orang yang mukmin bertawakal.” (Ali ‘Imraan: 160)

5. Jagalah masa mudamu.
Barangsiapa yang menjaga agama Allah swt. pada usia muda, maka Allah akan menjaganya di saat usianya semakin tua dan kekuatannya semakin lemah. Allah akan menjaga pendengarannya, penglihatan dan akal fikirannya. Allah juga akan memuliakannya pada hari kiamat dengan memberi naungan, pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.

Rasulullah saw. bersabda: “Tujuh golongan akan dinaungi Allah dengan naungan-Nya, pada hati tidak ada naungan kecuali naungan-Nya; Imam yang adil, pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah…” (HR Bukhari dan Muslim)

Bisa jadi, inilah rahasia taujih yang diberikan Rasulullah saw. kepada Ibnu Abbas, anak pamannya yang masih belia. Agar ia menggunakan masa mudanya yang masih penuh semangat dan vitalitas untuk hal-hal yang bermanfaat. Rasulullah saw. bersabda, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya yang lima: masa mudamu sebelum masa tuamu….” (HR Hakim, dengan sanad yang shahih)

Terlebih, pemuda adalah harapan umat, di atas pundaknya terdapat tanggung jawab menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena itulah, para musuh Islam berusaha sungguh-sungguh untuk menyesatkan pemuda. Dengan demikian pemuda sangat memerlukan perhatian dan taujih yang lebih intensif, agar mampu berdiri dengan tegar di depan setiap iblis, baik berupa manusia maupun jin.

6. Orang-orang yang selalu bersyukur akan mendapatkan pertolongan.
Seorang mukmin akan mendapatkan perhatian, perlindungan dan pertolongan Allah swt, adalah seorang hamba yang bersyukur. Ia mengetahui karunia Allah swt, sehingga ia mengenal Allah dengan sesungguhnya, menaati segala perintah, menjauhi larangan-Nya, menjaga batasan-batasan dan hak-hak-Nya. Ia senantiasa mementingkan kenikmatan akhirat dan berpaling dari rayuan hawa nafsu. Ia lebih memilih Allah swt. dan menggunakan setiap nikmat yang diberikan kepadanya dalam keridlaan Allah swt.Ia senantiasa memohon kepada Allah agar ia terpelihara dari kesalahan, dan senantiasa bersyukur atas nikmat-Nya. “Dan apa saja yang ada pada kamu maka datangnya dari Allah.”(an-Nahl: 53)

Ma’rifatullah [mengenal Allah] seperti inilah yang akan mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya. Yang akan memancing kecintaan Allah swt. terhadap hamba-Nya, lalu mengabulkan setiap doa dan permintaannya, menyelamatkannya dari setiap penderitaan dan menjaganya dari ketakutan. Oleh karena itu, “Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Allah akan mengenalimu di waktu susah.”

Tirmidzi meriwayatkan bahwa Nabi saw.bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan doanya dikabulkan Allah pada saat susah, maka perbanyaklah doa pada waktu senang.”
Tipe hamba seperti inilah yang disebut Allah dalam hadits Qudsi, “Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Kuberi, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku niscaya Aku berikan perlindungan.”

7. Hanya kepada Allah kita memanjatkan Doa dan Meminta Pertolongan.
Rasulullah saw. memberi pengarahan kepada saudara sepupunya, Ibnu Abbas, dan segenap kaum muslimin untuk selalu bergantung kepada Allah swt. Hanya kepada-Nya seorang mukmin mengharap pemberian, meminta pertolongan, dan meminta ampunan. Dan hanya kepada-Nya seorang mukmin sujud dan mengabdi.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu mengharap bantuan mengharaplah kepada Allah.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. berfirman, ‘Apakah ada orang yang berdoa hingga Aku kabulkan doanya. Apakah ada orang yang meminta hingga Aku kabulkan permintaannya. Dan apakah ada orang yang meminta ampunan hingga Aku ampuni.”

8. Berdoa kepada yang Maha dekat dan Maha menjawab.
Doa ditujukan kepada Allah swt. karena Dialah yang telah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengbulkan permintaan kalian.” (al-Mukminun: 60)

Dia juga telah memuji orang-orang Mukmin yang berdoa dan meminta kepada-Nya, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiyaa’: 90)

Dan di antara asmaul husna yang Allah swt. miliki adalah “Mahadekat dan Mahamendengar.” Yakni dekat dengan hamba-Nya, mendengar dan mengabulkan permintaan hamba-Nya.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka [jawablah] bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi [segala perintah-Ku] dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (al-Baqarah: 186)

9. Meminta kepada Dzatyang Tidak pernah bosan untuk memberi.
Menghindari meminta-minta kepada manusia merupakan kesempurnaan tauhid. Seorang Muslim, seharusnya mengadukan semua urusannya hanya kepada Allah swt. karena Dialahyang menyuruh hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya.

“Dan mohonlah karunia dari Allah.” (an-Nisaa’: 32)
Rasulullah saw. bersabda, “Mintalah karunia dari Allah, karena Allah senang untuk dimintai.” (HR Tirmidzi)

Kekayaan Allah juga tidak akan habis maupun berkurang karena banyaknya permintaan. “Apa yang ada di sisiu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (an-Nahl: 96)
Bahkan Allah akan murka jika ada hamba yang tidak mau meminta kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang tidak mau meminta kepada Allah, Allah akan marah kepadanya. Maka hendaknya, seorang di antara kalian mengadukan segala urusannya kepada Rabbnya, meskipun hanya tali sendal yang putus.” (HR Tirmidzi)

Jika demikian masihkah seorang muslim mengadukan urusannya kepada sesama manusia yang tidak suka memberi dan marah ketika dimintai pertolongan? Semoga Allah memrahmati orang yang menulis bait ini:

Janganlah kamu mengadu kepada manusia
Mengadulah kepada Dzat yang pintunya selalu terbuka
Dialah Allah, yang akan marah jika engkau tidak mengadu kepada-Nya
Sedangkan manusia akan marah jika diminta

10. Meminta kepada selain Allah adalah kehinaan
Jika seseorang dimintai bantuan, maka hanya ada dua kemungkinan, memberi atau menolak. Jika memberi, ia akan menyebut-nyebut pemberian itu. Jika menolak, ia menolak dengan kata-kata yang menyakitkan. Semua itu tentu akan menjatuhkan martabat orang yang diberi dan menyakiti hatinya.

Bisa jadi inilah yang menjadi sebab mengapa Rasulullah saw. ketika membaiat [mengambil janji setia] untuk komitmen terhadap Islam, beliau memasukkan item untuk tidak meminta bantuan kepada orang lain. Sejumlah shahabat ra. telah melaksanakan baiat ini, di antaranya: Abu Bakar ash-Shiddiq ra, Abu Dzar ra., Tsauban ra., dan ‘Auf Ibnu Malik ra.
Disebutkan bahwa setelah baiat tersebut, salah seorang di antara mereka ada yang cambuknya jatuh, dan ia tidak mau meminta tolong orang lain untuk mengambilkannya. (HR Muslim, Abu Dawud dan yang lain)

11. Meminta pertolongan kepada Dzat yang Mahakuat
Manusia senantiasa membutuhkan bantuan, baik dalam perkara yang besar ataupun perkara yang kecil, dan tidak ada yang mampu memberikan semua bantuan itu, kecuali Allah swt. Selain Allah tentunya sangat lemah, bahkan hanya untuk sekedar menolak satu bahaya ataupun mendatangkan manfaat untuk dirinya, mereka tidak mampu. Barangsiapa yang dibantu Allah, maka dia mendapatkan bantuan, dan barangsiapa yang ditelantarkan Allah maka ia adalah benar-benar terlantar.

“Jika Allah menolongmu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu dan jika Allah membiarkanmu [tidak memberi pertolongan] maka siapakah gerangan yang dapat menolongmu [selain] dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaknya kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ali ‘Imraan: 160)

Bahkan sebenarnya di tangan Allah lah hati semua makhluk. Allah swt. mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya. Dialah yang mengarahkan hati seseorang untuk tidak memberi. Karenanya, kembalilah kepada pelaku yang sesungguhnya, Dialah Allah swt. yang memberi dan menghalangi pemberian.
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya.” (ath-Thalaq: 3)
Dan menghadaplah kepada Allah dalam segala hal, “Hanya kepada-Mu, kami menyembah dan hanya kepada-Mu, kami memohon pertolongan.” (al-Faathihah: 5)

12. Meminta Pertolongan kepada selain Allah swt. adalah Kerendahan dan Kelemahan.
Ketika meminta bantuan, seseorang tentu dituntut memperlihatkan kelemahan, kebutuhan, dan kerendahannya. Padahal sikap seperti ini adalah esensi dari makna ibadah yang tidak layak ditujukan kepada selain Allah swt.

Pada saat yang sama meminta bantuan juga menunjukkan pengakuan akan kemampuan orang yang dimintai bantuan. Mengakui bahwa ia mampu mewujudkan kehendaknya, mendatangkan manfaat, dan menolak mudlarat. Padahal tidak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali Allah swt. Karenanya, barangsiapa yang menyangka bahwa kemampuan itu dimiliki oleh selain Allah swt. ia akan menyesal dan merugi.

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Fathir: 2)

13. Iman kepada Qadla’ dan Qadar, mendatangkan ketenangan dan ketentraman
Setelah merasa yakin akan perlindungan dan petolongan dari Allah swt. dalam semua aspek kehidupan, maka seorang mukmin tidak akan peduli dengan berbagai upaya untuk membahayakan dirinya. Karena ia meyakini bahwa kebaikan dan keburukan hanya terjadi atas kuasa Allah swt. Tidak satupun makhluk yang ikut memiliki kuasa.
“Katakanlah, ‘Semuanya [datang] dari sisi Allah.’” (an-Nisaa’: 78)

Dalam hadits di atas disebutkan, “Ketahuilah jika sekelompok manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu maka tidak akan bisa memberikan manfaat kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Jika mereka berkumpul untuk memberikan mudlarat kepadamu, maka tidak akan bisa memberikan mudlarat kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.”

Firman Allah yang artinya: “Jika Allah menimpakan suatu kemudlaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (al-An’am: 17)

Jadi, tidak ada seorangpun yang dapat menyakitimu selama Allah swt tidak menghendakinya. Begitu juga sebaliknya jika ada seseorang yang menjanjikan sesuatu untukmu, maka hal itu tidak akan terwujud, jika Allah swt. tidak menghendaki.
Firman Allah yang artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab [Lauhul mahfudz] sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(al-Hadid: 22)

Imam Ahmad dan perawi lain meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Segala sesuatu memiliki hakekat. Seseorang tidak akan mencapai hakekat iman, sehingga ia memahami bahwa apa yang menimpanya tidak akan bisa luput darinya dan segala yang luput darinya tidak akan menimpanya.”

14. Beriman kepada Qadla’dan Qadar mendatangkan keberanian.
Telah jelas, bahwa manfaat dan mudlarat adalah ketetapan yang pasti. Seseorang tidak akan mendapatkannya kecuali atas ketentuan Allah swt. Dengan demikian hendaklah seorang muslim tidak gentar dalam melaksanakan perintah Allah. Mengatakan kebenaran, meskipun bahaya mengintai keselamatan dirinya. Tidak perlu takut akan cercaan. Bersikap berani tanpa memperhitungkan mati atau hidup. Sebagai bukti keyakinan terhadap ayat, “Katakanlah, ‘Sekali-sekali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’” (at-Taubah: 51)

Adapun aya yang telah ditakdirkan, maka itulah yang akan terjadi.
“Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar [juga] ke tempat mereka terbunuh.” (Ali Imran: 154)
Artinya, orang yang tinggal di rumah dan tidak mau berperang karena takut kematian, akan tetapi Allah swt. telah menentukan kematian baginya, maka ia akan keluar ke tempat dimana kematian itu ditentukan baginya. Kalau kematian tersebut ditentukan di medan perang, mungkin karena salah satu dan lain hal, ia akan keluar hingga sampai medan perang, lalu diterjang peluru dan mati.

15. Keimanan bukanlah menyerah, tawakal bukanlah pasrah.
Iman kepada qadla dan qadar, dengan pengertian di atas, adalah argumentasi untuk mementahkan anggapan sebagian orang-orang bodoh yang senantiasa bergelimang maksiat. Mereka menjadikan qadla dan qadar sebagai dalih atas perbuatan mereka. mereka tidak sadar bahwa di samping memerintahkan untuk beriman kepada qadla dan qadar, Allah swt. juga memerintahkan untuk beramall.
Firman Allah: “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.’” (at-Taubah: 105)

Rasulullah saw. yang menjadi teladan kita juga telah menjelaskan agar setiap muslim berusaha. Karenanya siapapun yang mengabaikan usaha dan berdalih pada qadla dan qadar, maka ia telah melanggar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. karena makna iman dan tawakal yang sesungguhnya adalah melakukan usaha seraya berharap kepada Allah swt. demi keberhasilan usahanya. Rasulullah saw. bersabda, “Beramallah. Masing-masing orang akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan yang sesuai dengan takdirnya.” (HR Muslim)

16. Kemenangan hanya didapat dengan kesabaran.
Kehidupan manusia sebenarnya penuh dengan pergulatan. Kemenangan dalam pergulatan ini tergantung pada sejauh mana kesabaran yang dimiliki. Karena sabar merupakan jalan yang bisa membawa seseorang pada kemenangan yang diinginkan, dan senjata efektif untuk menghadapi musuh, apapun bentuknya yang tersembunyi maupun yang tampak. Wajar jika kemudian Allah swt. menjadikan kesabaran sebagai jawaban kunci untuk lulus dari ujian di dunia. Untuk membedakan hamba-Nya, mana yang benar-benar bertakwadan mana yang munafik.

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan [baik buruknya] hal ihwalmu.” (Muhammad: 31)
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali Imran: 186)
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar [imannya] dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 177)

Sabar adalah mengendalikan hawa nafsu agar berjalan sesuai dengan akal dan syara’. Jika kita telusuri berbagai ayat al-Qur’an maupun hadits, akan kita dapati bahwa kata sabar diungkapkan dalam berbagai tempat dan situasi. Namun semuanya tetap bermuara pada pengertian di atas dan mengarah kepada satu tujuan, yaitu kesuksesan dan kemenangan.
Di antaranya:

a. Sabar dalam ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.
Melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya adalah tanggung jawab, yang tentunya memberatkan. Jadi, dibutuhkan usaha keras untuk dapat mengalahkan kemauan hawa nafsu dan setan.
Firman Allah: “Karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53)
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shaad: 26)
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Fathir: 6)

Musuh-musuh yang tidak terlihat ini, senantiasa menyodorkan berbagai godaan dan menghiasi manusia agar mengikuti hawa nafsu, berusaha memalingkan manusia dari ketaatan, dan senantiasa mendorong untuk berbuat maksiat. Musuh-musuh ini tidak pernah bosan dengan apa yang ia usahakan. Untuk menghadapi godaan yang mereka lancarkan, diperlukan upaya sungguh-sungguh, ketabahan, kegigihan, dan kesabaran.

Firman Allah: “Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.” (Yunus: 109)
“Rabb [yang menguasai] langit dan bumi; dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya.” (Maryam: 65)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.bersabda: “Mujahid adalah orang yang mengekang hawa nafsunya dengan sungguh-sungguh untuk Allah swt.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bisa dipastikan, siapapun yang mampu menahan nafsunya sesuai dengan apa yang diridlai Allah swt.dengan menaati semua perintah dan larangan-Nya, ia benar-benartelah mengalahkan musuh yang tak terlihat ini, nafsu dan setan yang selalu berusaha menyesatkannya. Ini adalah kemenangan yang tidak ada tandingannya. Kemenangan yang menjadikan seseorang benar-benar memiliki dirinya secara utuh dan bebas dari belenggu nafsu, syahwat dan bisikan-bisikan setan.

Jika kemenangan atas musuh-musuh ini tercapai, maka kebenaran akan semakin tampak di dada setiap mukminin, hatinya pun bercahaya untuk terus menerangi langkahnya dalam menapaki jalan menuju keridlaan Allah swt. “Dan orang-orang yang berjihad untuk [mencari keridlaan] Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabuut: 69)
Sungguh tepat, ketika diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Dan kesabaran adalah cahaya.” (HR Muslim)

b. Sabar terhadap musibah
Manusia senantiasa terancam bencana, baik yang menimpa jiwa, harta maupun keluarganya. Tidak bisa dipungkiri, hal ini merupakan pukulan berat bagi manusia. Bahkan bisa jadi menimbulkan keputusasaan.

Firman Allah: “Dan apabila dia ditimpa keusahan niscaya dia berputus asa.” (al-Israa’: 83)
Juga dapat menimbulkan kesedihan dan sikap keluh kesah.
Firman Allah: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.” (al-Ma’aarij: 19-20)

Kondisi yang disebutkan dalam dua ayat di atas banyak dialami oleh mereka yang kalah dan tidak mungkin menemukan jalan kemenangan dalam hidup ini. Oleh karenya, Allah swt. menyuruh setiap mukmin untuk tetap tegar dalam menghadapi musibah yang memang tidak akan bisa dielakkan, agar bisa menemukan jalan yang mampu membawa kepada kesuksesan dan kemenangan.

Ini semua bisa ditempuh dengan kesabaran, karena kesabaran adalah kunci keberhasilan dan kemenangan.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Baqarah: 155-157)

Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk untuk menapaki jalan kemuliaan. Terutama mereka yang sabar semenjak detik pertama tertimpa musibah. Rasulullah saw. bersabda, “Yang dikatakan bersabar adalah ketika pertama kali mengetahui satu musibah.” (Muttafaq ‘alaiHi) mereka inilah yang akan keluar sebagai pemenang, menghadapi hidup dengan penuh keberanian, mengubah musibah menjadi sebuah kebaikan dan senantiasa mengambil manfaat dari musibah yang ia rasakan baik untuk dunianya maupun untuk akhiratnya. Dengan demikian kondisi apapun tetap sama baginya.

Rasulullah saw. bersabda: “Orang mukmin itu unik, semua urusannya adalah kebaikan baginya. Hal ini hanya dimiliki oleh orang mukmin. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa musibah, ia bersabar dan itu baik baginya.” (HR Muslim)

Dalam hadits lain Nabi saw. membuat perumpamaan yang sangat indah. Suatu ketika seorang putrinya mengirim utusan kepada beliau dan menyampaikan pesan, “Sesungguhnya anakku mengalami sakaratul maut, maka datanglah.” Nabi kemudian mengirimkan utusan dan memberi pesan, “Semua yang Allah ambil dan Allah beri adalah milik-Nya. Segala sesuatu memiliki batas yang telah ditentukan-Nya. Maka bersabar dan berharaplah untuk mendapatkan pahala.”

c. Sabar terhadap perlakuan tidak baik dari orang lain
Dalam hidupnya, manusia berdampingan dengan berbagai jenis manusia yang berbeda-beda akhlak dan tabiatnya. Sangat dimungkinkan seseorang menerima perlakukan yang tidak baik dan berbagai bentuk kesewenangan. Jika ia sedih dan sakit hati menghadapi semua itu, maka ia akan kecewa dan merugi. Hidupnya bagaikan di neraka yang menyala. Namun, jika ia mampu bersabar, memaafkan dan lapang dada, maka ia akan beruntung dan hidup dengan penuh kebahagiaan dan dalam nuansa saling kasih.
Firman Allah: “…..Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 109)

“….tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang bermusuhan denganmu, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushilat: 34)

Kesabaran adalah tanda kejantanan. “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya [perbuatan] yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (asy-Syuraa’: 43)

Kesabaran hanya dimiliki oleh orang-orang yang beriman, meminta pertolongan dan mengharap pahala hanya dari Allah swt.
“….Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi yang lain. Sanggupkah kamu bersabar dan Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqaan: 20)
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridlaan Rabbnya.” (ar-RA’d: 22)

d. Sabar di medan dakwah
Kesabaran di medan dakwah adalah sesuatu yang diperintahkan Allah swt. dan Rasul-Nya.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (ThaaHaa: 132)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah [manusia] mengerjakan yang baik, cegahlah [mereka] dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap yang menimpa dirimu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan [oleh Allah].” (Lukman: 17)

Allah juga berseru kepada Nabi-Nya saw.: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (al-Muzzammil: 10)
Jalan dakwah adalah jalan yang penuh dengan rintangan. Karenanya seorang da’i harus membekali dirinya dengan kesabaran, agar dapat melewati rintangan-rintangan itu.

Allah swt. berfirman, “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini [kebenaran ayat-ayat Allah] itu menggelisahkanmu.” (ar-Ruum: 60)

Namun jika buru-buru untuk memetik hasilnya, maka ia akan menuai kerugian dan segala upaya yang telah dilakukan akan sia-sia.
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan [adzab] bagi mereka.” (al-Ahqaaf: 35)
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh [mustahil] sedangkan Kami memandangnya dekat [pasti terjadi].” (al-Ma’aarij: 5-7)

e. Sabar di medan perang
Jihad adalah tempat yang penuh bahaya dan ladang kematian. Sehingga tidak disukai oleh kebanyakan manusia.
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang adalah sesuatu yang kamu benci.” (al-Baqarah: 216)

Karena itu, seorang mukmin yang diwajibkan untuk berperang, harus terlebih dahulu mempersenjatai dirinya dengan kesabaran, bahkan ia harus lebih tahan dan bersabar dari musuhnya.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga [di perbatasan negerimu] dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali ‘Imraan: 200)
Di ayat lain Allah mensejajarkan antara jihad dan kesabaran. “Kemudian berjihad dan sabar.” (an-Nahl 110)

Sabar juga merupakan syarat kemenangan:
“Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (al-Anfaal: 65)

Allah juga mengaitkan pertolongan dan bantuan-Nya yang berupa turunnya para malaikat dari langit, dengan kesabaran. “Ya [cukup], jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (Ali ‘Imraan: 125)

Allah swt. juga menjadikan kesabaran orang-orang mukmin sebagai penyebab gagalnya muslihat dan berbagai strategi orang-orang kafir, “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudlaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Ali ‘Imraan: 120)

Sebaliknya jika orang-orang mukmin tidak memiliki kesabaran maka mereka akan menuai kegagalan.
“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Anfaal: 45-46)

Urgensi kesabaran ini juga diisyaratkan oleh banyaknya ayat yang menyebutkan, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersabar,” atau ayat “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.”

Allah juga menegaskan bahwa pengikut para rasul sudah semestinya untuk bersabar terhadap apa yang di dapat di medan perang, baik kematian maupun luka-luka. Jika tidak merasa lemah sedikitpun atau merasa hina. Jika mereka melakukan hal ini, maka mereka layak mendapatkan kecintaan dan kemenangan dari Allah swt.
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imraan: 146)

17. Buah dari kesabaran.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa buah kesabaran adalah keridlaan, kedamaian, perasaan bahagia, terciptanya kemuliaan dan kebaikan, pertolongan dari Allah swt., kemenangan, dan kecintaan dari-Nya. Puncaknya adalah buah yang akan didapat di akhirat, yaitu kenikmatan abadi dan tak terbatas.
“Dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (az-Zumar: 10)

Kenikmatan yang diperoleh di dalam surga yang diperoleh di dalam surga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Di dalamnya mereka akan disambut oleh malaikat, “[Yaitu] surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih, dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu [sambil mengucapkan], “Salaamun ‘alaikum bimaa shabartum.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (ar-Ra’du: 23-24)

Allah swt. juga akan memberikan pengampunan, kemenangan, dan keridlaan, “Sesungguhnya Aku memberi balasan keapda mereka di hari ini, karena kesabaran mereka. sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (al-Mukminun: 111)

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, [yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, innaa lillaaHi wa innaa ilaiHi raaji’uun.” (al-Baqarah: 155-156)

Semua itu menunjukkan bahwa kesabaran adalah pemberian terbaik yang diterima manusia. Sungguh tepat manakala Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pemberian, yang diterima seseorang yang lebih baik dari kesabaran.” (Muttafaq ‘alaiHi)

18. Jalan keluar selalu diiringi keusasahan.
Kadang, seseorang ditimpa musibah, hingga ia dirundung kesusahan, semua itu merupakan ujian dari Allah swt. Jika ia sabar, tidak putus atas, menyadari bahwa apa yang menimpanya adalah ketentuan dari Allah swt. niscaya pertolongan Allah akan datang, dan segala kesusahan yang dirasakan pun akan sirna. Inilah kemenangan yang sesungguhnya, di dunia dan di akhirat.

Saat itu, seorang mukmin akan menyadari bahwa cahaya terpencar dari kegelapan, di balik setiap kesusahan pasti ada kebaikan. Semua proses ini bertujuan agar seorang mukmin hanya menghubungkan hatinya kepada Allah swt. dan yakin bahwa semua perkara berada di tangan Allah swt.

Allah swt. berfirman: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (al-Baqarah: 214)

“Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. dan Dia lah Yang Mahapelindung lagi Mahaterpuji.” (asy-Syuraa: 28)
Anda akan memahami makna ayat di atas secara lebih jelas, jika anda menyimak kisah Ka’ab bin Malik ra. dan dua orang shahabat ra. lainnya ketika mereka tidak ikut dalam perang Tabuk. Sebagai hukuman, Nabi saw. memerintahkan masyarakat untuk mengisolasi mereka, dengan cara tidak mengajaknya bicara. Hingga mereka bertiga merasakan kesedihan yang amat luar biasa. Al-Qur’an menggambarkan sebagai berikut:

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 118)

19. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan.
Kita tentu merasakan adanya saling keterkaitan antara bagian-bagian hadits di atas. Kesulitan akan menimbulkan kesedihan, dan kemudahan adalah bagian dari jalan keluar. Sementara semua itu membutuhkan ketegaran dan kesabaran. Sehingga membuahkan pertolongan dan kemenangan. Diakui atau tidak, bahwa semua itu adalah rahmat dari Allah swt. untuk hamba-Nya. Karena Dia telah menjadikan kesulitan beriringan dengan kemudahan.

Firman Allah yang artinya: “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath-Thalaq: 7)
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5-6)

Karena itulah Allah swt. tidak menetapkan suatu syariat kecuali yang mampu dilakukan oleh hamba-Nya.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)
Allah swt. juga menjauhkan segala bentuk kesulitan dari hamba-Nya.
“Dan sekali-sekali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan.” (al-Hajj: 78)

Al-Bazar meriwayatkan dari Anas ra.bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika datang kesulitan, lantas ia memasuki lubang ini, niscaya akan datang kemudahan, lantas orang lain akan masuk dan mengeluarkannya.”
Setelah Rasulullah saw. berkata demikian, maka turun ayat, “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5-6)
Sabda Nabi saw. ini menegaskan bahwa kesulitan tidaklah menimpa manusia terus menerus. selama ia ridla dengan ketentuan Allah swt. senantiasa komitmen terhadap segala perintah dan larangan-Nya dan pasrah kepada-Nya, niscaya Allah swt. akan mengganti kesulitan dengan kemudahan. Allah swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan]nya.” (ath-Thalaq: 3)

20. Seorang guru, sebelum menyampaikan pelajaran, hendaklah ia merangsang semangat ingin tahu di kalangan anak didiknya. Dengan demikian mereka akan benar-benar siap untuk menerima pelajaran yang akan disampaikan.

21. Barangsiapa yang berada dalam kebenaran, mendakwahkan kebenaran, atau melakukan amar ma’ruf nahi munkar, niscaya segala tipu muslihat orang-orang kafir dan musuh-musuh Alalh swt.lainnya tidak akan bisa mencelakakannya.

22. Setiap muslim berkewajiban melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tanpa terpengaruh oleh orang-orang yang lemah iman, yang senantiasa menakut-nakutinya. Karena semua yang akan terjadi sudah ditentukan oleh Allah sw.

 

Hadits Arba’in ke 9: Memilih yang Mudah dan Meninggalkan yang Sulit

5 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 9 (Kesembilan)Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang kularang jauhilah, dan apa yang aku perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

URGENSI HADITS

Para ulama mengatakan bahwa hadits ini sangat penting, karenanya layak untuk dihafal dan dikaji. Imam Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat penting dan merupakan Jawami’ul Kalimm (ucapan yang singkat dan padat), yang hanya dimiliki Rasulullah saw. Di dalamnya mencakup berbagai hukum yang jumlahnya tidak terbatas.” Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Merupakan dasar agama dan rukun Islam, maka patut dihafal dan diperhatikan.” Ungkapan senada juga banyak dilontarkan oleh ulama-ulama lain.

Yang menjadikan hadits ini sangat penting, adalah perintah untuk senantiasa komitmen terhadap syariat Allah swt, baik yang berupa larangan maupun perintah, tanpa melakukan penambahan atau pengurangan.

LATAR BELAKANG HADITS

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulallah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah diam. Hingga orang tadi mengulanginya sampai tiga kali. Maka Rasulullah pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentulah akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalian tidak akan mampu.”
Setelah itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku larang sesuatu maka tinggalkanlah.” (Shahih Muslim, al-Hajj, Fardhul Hajji Marrotan fil Umri. Hadits nomor 1337)

Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis ra. Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa Aqra’ bin Habis bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulallah, haji dilakukan setiap tahun atau sekali?” Rasulullah menjawab, “Sekali, dan barangsiapa yang mampu maka kerjakanlah dengan segala kerelaan.” (Sunan Ibnu Majah, Fardhul Hajji, hadits no. 2886)

Abu Dawud dan al-Hakim juga menyebutkan riwayat senada (Sunan Abu Dawud no. 1721, dan al-Mustadrak, al-Manasik).
Ada yang menyebutkan bahwa pidato Rasulullah saw. di atas dilakukan ketika haji wada’. Saat itu Nabi berdiri di hadapan kaum Muslimin dan berkhotbah menerangkan rambu-rambu agama dan berbagai kewajiban dalam Islam.

KANDUNGAN HADITS

1. Apa yang aku larang, maka juhilah.
Larangan dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai berbagai pengertian, namun demikian kesemuanya mengacu pada dua hal, yaitu haram dan makruh.

a. Larangan yang sifatnya haram.
Adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa berbuatan tersebut adalah haram. Jika perbuatan ini dilanggar maka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, sesuai dengan ketentuan syara’, baik di dunia maupun di akhirat.

Contoh larangan yang bersifat haram adalah: larangan berzina, minum minuman keras, makan barang riba, mencuri, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah, membuka aurat di depan orang yang bukan muhrim, berdusta, menipu, suap, ghibah, namimah, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan lain yang jelas-jelas dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Semua perbuatan itu harus ditinggalkan seketika. Seorang muslim tidak boleh melakukannya kecuali dalam keadaan darurat [terpaksa]. Itupun dengan berbagai syarat dan aturan yang ditetapkan oleh syariat.

b. Larangan yang sifatnya makruh
Larangan ini kadang disebut dengan nahy tanzihi. Merupakan larangan terhadap suatu perbuatan, namun dalil-dalil yang ada tidak menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya haram. Namun hanya bersifat makruh. Jika larangan tersebut dilanggar, maka tidak ada hukuman.

Contoh, larangan yang bersifat makruh: larangan makan bawang mentah [baik merah maupun putih] atau yang sejenisnya [berbau] bagi yang masuk masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai larangan tersebut boleh dilakukan baik sedikit maupun keseluruhan, meskipun sebaiknya ditinggalkan.

2. Keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya melanggar larangan.
Kita mengetahui bahwa setiap yang diharamkan, maka wajib dijauhi. Namun seseorang kadang mengalami kondisi yang memaksanya untukmelakukan sesuatu yang diharamkan. Andai ia tidak melakukannya, tentu akan berakibat fatal bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini syariat memberikan keringanan, dengan membolehkan orang yang terpaksa, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya [dalam kondisi normal] dilarang.

Allah berfirman: “….Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia sebenarnya tidak sengaja dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)

Ayat ini lah yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk merumuskan kaidah fiqih, “Adl-Dlaruratu tubihul mahdhurat” yakni keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya larangan-larangan.

Sebagai contoh dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang tidak memiliki makanan sama sekali, dibolehkannya membuka aurat dalam rangka berobat ke dokter, tidak diterapkannya hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri karena terpaksa, dan lain sebagainya.

Meskipun demikian perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang memahami kaidah ini secara global tanpa merinci pengertian dan batasan-batasan darurat [keterpaksaan], dan tidak memahami sejauh mana dibolehkannya melakukan sesuatu yang haram dalam kondisi terpaksa. Karenanya masalah ini harus kita perhatikan benar-benar hingga kita tidak terperosok ke dalam satu kesalahan.

Para ulama, membatasi keterpaksaan pada kondisi yang dialami seseorang dan kondisi tersebut benar-benar mengancam nyawanya, mengancam hilangnya salah satu anggota tubuhnya, menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kehidupan secara normal atau menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditanggung. Para ulama juga membatasi sejauh mana seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan terpaksa. Batasan ini tertuang dalam sebuah kaidah berikut ini, “Keadaan darurat itu disesuaikan kadar kebutuhannya.” Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah, “..tidak sengaja dan tidak melampaui batas….” (al-Baqarah: 173)

Dengan demikian seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang [dalam keadaan terpaksa] sekedar memenuhi kebutuhan. Karenanya barangsiapa yang terpaksa hingga harus makan bangkai maka ia tidak boleh memenuhi perutnya dengan bangkai, terlebih menyimannya.

Barangsiapa terpaksa mencuri untuk memberi makan keluarganya, maka ia tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhannya sehari semalam. Barangsiapa terpaksa membuka aurat di depan dokter untuk kepentingan pengobatan maka tidak boleh membuka di tempat lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengobatan. Bukan merupakan keterpaksaan bagi wanita berobat ke dokter laki-laki, padahal ada dokter wanita.

Bukan suatu keterpaksaan sebah usaha yang bertujuan menumpuk kekayaan dunia, memenuhi kebutuhan mewah dan bahkan mencontoh kebiasaan masyarakat yang sok modern dan senantiasa memburu barang impor. Modal yang sedikit bukanlah keterpaksaan untuk melakukan riba [hutang di bank] hingga ia bisa mengembangkan usaha. Rumah yang sederhana dan kecil bukanlah keterpaksaan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan rumah yang besar dan mewah. Bukan suatu keterpaksaan bagi wanita yang memiliki suami untuk bekerja di luar rumah bahkan ikhtilaf dengan para lelaki yang bukan muhrimnya. Bahkan seandainya ia harus mencari nafkah, dan ada peluang kerja yang bebas ikhtilaf, maka ia tidak boleh memilih tempat kerja yang berikhtilaf. Semua itu dilandaskan pada kaidah, Dar’ul Mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih [meninggalkan pintu-pintu kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkann pintu-pintu kebaikan].

Barangsiapa yang sedang melakukan urusan dengan orang lain, atau sebuah instansi, bukanlah suatu keterpaksaan hingga ia main suap, agar urusannya mudah. Barangsiapa yang bergaul dengan masyarakat atau berusaha untuk mendekati dan mendakwahi seseorang, maka bukan merupakan suatu keterpaksaan, kalau ia harus menemaninya di meja judi, di kedai-kedai minuman keras, di tempat-tempat mesum dan mendiamkan kemunkaran yang terjadi.
Demi mendapatkan kasih sayang suami, seorang istri tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang melanggar syariat.

3. Komitmen terhadap perintah.
Perintah, dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai pengertian beragam. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa asal kata perintah adalah thalab [permintaan]. Permintaan ini mencakup dua hal yang asasi, yaitu: wajib dan sunnah. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi, “Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian.” Artinya, sesuatu yang diperintahkan baik bersifat wajib maupun sunnah.

a. Perintah yang bersifat wajib
Perintah wajib adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada umat Islam untuk melakukan sesuatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut wajib. Maka perintah tersebut wajib dilaksanakan dan jika ditinggalkan tentu akan mendapat hukuman, dan jika dilakukann maka akan mendapat pahala.
Contohnya: perintah untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa, amar ma’ruf nahi munkar, menepati janji, menerapkan hukum Allah dan berbagai perbuatan lainnya yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dalam bentuk yang mengikat.
Semua perintah tersebut wajib dilaksanakan dan sedikitpun tidak boleh disepelekan. Kecuali jika hilang salah satu syarat diwajibkannya atau karena adanya halangan dalam pelaksanaannya.

b. Perintah yang bersifat sunnah
Adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada kaum muslimin untuk melakukan suatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut sunnah. Artinya, seorang muslim tidak wajib melakukan perbuatan tersebut. Jika ditinggalkan, maka tidak mendapatkan hukuman. Namun jika dikerjakan maka akan mendapat pahala, contohnya: perintah untuk melakukan shalat Rawathib [sunnah], perintah adzan, perintah untuk memperbanyak nafkah untuk keluarga, perintah infak untuk kebaikan, perintah untuk mencatat hutang, perintah makan dengan tangan kanan, dan berbagai perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya namun dalam bentuk yang tidak mengikat.

Sebagai seorang muslim tentu lebih baik mengerjakan perintah-pertintah ini, meskipun boleh ditinggalkan. Karena dengan melakukannya seseorang akan mendapatkan pahala. Meskipun demikian tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.

4. Kesukaran mendatangkan kemudahan.
Kita ketahui bahwa syariat Allah menghendaki terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Karena itulah, terdapat berbagai kemudahan bagi seorang hamba. Allah swt berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesusahan.” (al-Baqarah: 180)
“Dia sekali-sekali tidak menjadikan satu kesulitan untuk kamu dalam urusan agama.” (al-Hajj: 78)

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Maka mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR Bukhari)
Karena itulah Allah membolehkan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa dan melakukan perjalanan atau sakit, membolehkan untuk meng-qashar shalat bagi orang yang bepergian, membolehkan tayamum bagi orang yang hendak berwudlu tapi tidak menemukan air atau karena kulitnya tidak boleh terkena air [karena sakit], dan berbagai hal lainnya yang kemudian disebut oleh para ulama dengan istilah rukhshah [dispensasi].

Berdasarkan pada realita bahwa Allah memberikan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya, dan dari hadits yang menjadi tema utama, maka para ulama menyimpulkan kaidah al-asyaqqah tajlibut taisiir [kesukaran itu menyebabkan adanya kemudahan]. Kaidah ini mempunyai pengertian bahwa ketika seseorang berada dalam suatu kondisi yang sangat sulit dan berat baginya untuk melaksanakan suatu kewajiban, maka kesusahan tersebut merupakan penyebab untuk mendapat kemudahan dan keringanan, hingga ia bisa menunaikan dengan mudah.

Contoh pelaksanana kaidah ini adalah toleransi terhadap sebagian benda najis karena susah dihilangkan. Misalnya darah yang diakibatkan karena lua, darah yang sangat sedikit [contohnya darah nyamuk], tanah jalan yang kadang bercampur dengan najis dan lain sebagainya. Semua najis di atas bisa ditoleransi [dianggap bersih]. Karena jika tidak maka akan sangat merepotkan. Ini adalah bentuk dari keringanan di atas.

Contoh lain dari bentuk kemudahan ini adalah toleransi terhadap ketidakjelasan satu transaksi, misalnya WC umum. Meskipun tarif perorang jelas, namun jangka waktu orang yang masuk WC berbeda-beda, bahkan jumlah pengguna air masing-masing orang juga berbeda. Namun demikian masalah ini tidak bisa dibatasi, misalnya masuk WC lebih dari dua jam biayanya dua kali lipat, karena akan sangat merepotkan. Maka untuk mengatasi masalah ini syara’ memberi keringangan dan menganggap transaksi yang demikian sah adanya.

Batasan-batasan kondisi sulit yang mendapatkan kemudahan.
Kondisi sulit kadang menimbulkan kesalahpahaman bagi sebagian orang. Ada yang menyangka bahwa setiap kesulitan meskipun dalam bentuk yang paling sederhana dapat menyebabkan kemudahan sehingga mereka sering menggunakannya sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban. Karena itulah para ulama kemudian menjelaskan berbagai batasan dan rambu-rambu terhadap kondisi sulit yang mendapatkan keringanan.

Kesulitan yang selalu menyertai pelaksanaan kewajiban, karena merupakan karakter dari kewajiban tersebut. Kesulitan seperti ini tidak akan mendapatkan keringanan sama sekali. Misalnya seorang yang berpuasa tidak boleh berbuka, karena rasa lapar. Seorang muslim yang mampu untuk menunaikan ibadah haji, tidak boleh menolak untuk melaksanakan, dengan alasan ibadah haji itu berat baginya, harus menempuh jarak yang jauh dan meninggalkan keluarga. Seorang muslim tidak boleh meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar dengan alasan karena kewajiban ini beresiko pada dirinya. Semua ini bukan merupakan alasan karena merupakan konsekuensi yang lazim.

Kesulitan yang yang bukan merupakan karakter sebuah kewajiban. Kesulitan seperti ini dalam beberapa kondisi mendapatkan keringanan, karena bukan merupakan karakter kewajiban dan bahkan tidak terjadi ketika dalam keadaan normal. Para ulama membagi kesulitan ini dalam dua tingkatan:

a. Kesulitan yang ringan, misalnya: perjalanan singkat , sakit ringan, kekurangan harta dan sebagainya. Kesulitan-kesulitan seperti ini tidak mempunyai pengaruh terhadap kewajiban dan tidak mendapatkan keringanan. Karena maslahat yang didapat dengan menjalankan kewajiban lebih besar dari kesulitan yang ia rasakan.

b. Kesulitan yang besar, yang bisa mengancam jiwa, harta atau kehormatannnya. Misalnya ada orang yang hendak menunaikan ibadah haji, namun ia mengetahui bahkan keadaan perjalanan sedang tidak aman, seperti banyak perampokan atau di sekitar rumahnya sendiri banyak terjadi perampokan, lalu ia khawatir kejadian seperti ini dapat mengancam diri, harta, atau keluarganya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menunda keberangkatan.

5. Bagian kewajiban yang mudah tidak boleh ditinggalkan karena adanya bagian yang sulit [al maysur laa yasyuthul bil ma’sur].
Satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ulama dengan mengacu pada hadits di atas. Imam Suyuthi dalam kitab Asybah wa An-Nadhir menyebutkan bahwa Ibnu Subky berkata, “Kaidah tersebut termasuk kaidah yang paling masyhur yang dipetik dari hadits Nabi, ‘Jika aku perintahkan kepada kalian, maka lakukanlah semampu kalian.’”
Maksudnya, dalam kondisi tertentu kadang-kadang seorang muslim tidak bisa menjalankan suatu kewajiban secara utuh. Maka ia diharuskan melakukan bagian yang ia mampu. Bagian-bagian yang sulit tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan semua bagian kewajiban.

Contoh: ketika hendak shalat, ia tidak bisa berdiri, maka ia tetap harus melakukan shalat dengan kondisi yang bisa ia lakukan. Contoh lain, seseorang yang hendak berwudlu dan hanya mendapatkan air yang sangat sedikit yang diperkirakan tidak mencukupi untuk membasuh bagian-bagian yang wajib, maka ia tidak boleh langsung melakukan tayamum. Ia harus terlebih dahulu berwudlu dengan air yang ada, siapa tahu mencukupi. Namun jika memang tidak mencukupi barulah ia bertayamum. Seorang muslim yang mendapatkan penutup aurat yang hanya cukup untuk menutupi sebagian saja maka ia haru menutupi sebagian itu. Seorang yang sembuh dari sakitnya di siang bulan Ramadlan, hendaklah ia menahan hal-hal yang membatalkan puasa, begitu juga wanita yang selesai haidnya, serta lain-lainnya.

Kaidah ini juga didasari sebuah hadits berikut. Amra bin Husain berkata, “Saya mempunyai sakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw. perihal pelaksanaan shalat.” Nabi bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak bisa maka dengan duduk, jika tidak bisa maka dengan berbaring.” (HR Bukhari)

Semua yang ada dalam syariat Allah, baik haram, makruh, wajib, maupun sunnah, semuanya masih berada dalam kemampuan manusia, karena Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya. Allah berfirman yang artinya: “Allah tidak akan membebani hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)

Karenanya, pelaksanaan kewajiban dalam bentuknya yang sempurna, hanya bisa dicapai dengan menjauhi segala larangan dan melaksanakan semua perintah sesuai dengan penjelasan di atas. Allah berfirman yang artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa-apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian perintah, dan melanggar sebagian larangan, maka orang tersebut belum melaksanakan kewajiban secara sempurna. Karena seorang muslim dituntut untuk mencontoh Rasulullah saw. dalam masalah apapun, kecuali perkara-perkara yang dikhususkan untuk Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharap [rahmat] Allah dan [kedatangan] hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

6. Menjauhi larangan dan mengikis sumber kemaksiatan.
Dalam syariat terdapat berbagai penghalang agar manusia tidak terjerumus pada kejahatan atau hanya terkena bibit-bibit kerusakan. Karenanya kita dapat perhatikan terhadap larangan lebih besar dibandingkan dengan perhatian terhadap perintah. Namun demikian bukan berarti meremehkan perintah, tetapi sikap tegas terhadap setiap larangan, terutama yang bersifat haram. Karena larangan yang ada, tidak lain karena adanya bahaya dan kerusakan pada perkara-perkara yang dilarang tersebut. Karenanya larangan tidak boleh dilanggar, kecuali dalam kondisi terpaksa.

Dewasa ini kita temukan banyak kesalahan yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka begitu kuat dalam menjalankan perintah, bahkan dalam masalah sunnah sekalipun. Namun mereka sering menyepelekan larangan, bahkan melanggarnya. Contohnya betapa banyak dalam masyarakat kita orang yang senantiasa puasa, shalat, bahkan qiyamul lail tiap malam, namun ia tetap menjalankan bisnisnya secara riba. Contoh lain, wanita yang mengeluarkan zakat hartanya secara sempurna, tetapi ia tetap tidak mengenakan jilbabnya. Semua itu tentunya tidak sesuai dengan syariat, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang bersama mereka dalam gerbong ketakwaan. Karena dasar ibadah adalah menjauhi semua larangan Allah. Hal ini merupakan jalan kesuksesan untuk memerangi nafsu. Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah berbagai larangan, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling baik ibadahnya.” (HR Tirmidzi)

‘Aisyah ra. berkata, “Barangsiapa yang ingin menjadi orang yang lebih utama dari orang yang ahli ibadah, hendaklah ia menjauhi dosa.”
Ketika ditanya tentang orang-orang yang tergiur oleh kemaksiatan akan tetapi tidak melakukannya, Umar ra. berkata, “Mereka adalah orang-orang yang hatinya mendapat ujian dari Allah. Mereka akan mendapat ampunan dan pahala kebaikan yang besar.”

Ibnu ‘Umar berkata, “Beberapa dirham yang dijauhkan dari yang haram, jauh lebih baik daripada bershadaqah seratus ribu dirham.”
Hasan Bashri berkata, “Tidak ada ibadah yang lebih baik dari meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah swt.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Takwa bukan sekadar qiyamulail dan puasa di siang hari. Akan tetapi melakukan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. jika ditambah dengan amal perbuatan yang lain, maka itu lebih baik lagi.”

Semua itu mengisyaratkan kepada kita bahwa meninggalkan maksiat lebih utama daripada menjalankan perintah. Namun sekali lagi, bahwa hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim bisa meremehkan kewajiban. Sebagaimana yang sering diutarakan oleh orang-orang yang hatinya sakit. Mereka tidak menjalankan kewajiban sedikitpun, namun mereka mengklaim bahwa lebih bertakwa daripada orang-orang yang shalat, puasa dan melakukan berbagai ibadah lainnya. Karena mereka tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Mereka bergaul di tengah masyarakat dengan baik, tidak pernah membuat onar dan lain sebagainya. Mereka inilah orang-orang yang menyimpang jauh dari ajaran Islam, bahkan menyelewengkan maksud dan pengertian Islam yang sebenarnya.

7. Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat [dar-ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih].
Ini adalah satu kaidah fiqih yang dirumuskan para ahli fiqih dari ketegasan syariat dalam masalah larangan. Maksudnya, manakala suatu perkara memiliki sisi manfaat dan sisi mafsadah [kerusakan]. Jika diperhatikan sisi manfaat maka akan timbul mafsadah, dan jika diperhatikan sisi mafsadah maka akan hilang manfaatnya. Dalam kondisi seperti ini yang harus diperhatikan adalah sisi mafsadah. Karena kerusakan mudah sekali menjalar, seperti api yang melahap kayu bakar.

Contoh: tidak diperbolehkan menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr, meskipun ia berani membayar dengan harga yang sangat tinggi. Tidak diperbolehkan membuat atau menjual khamr, meskipun mendatangkan keuntungan yang besar. Wanita tidak boleh bekerja ditempat yang bercampur dengan laki-laki yang bukan muhrim. Begitu juga dengan kaum laki-laki. Karena sisi negatifnya lebih dominan.

Kaidah ini juga didukung hadits Nabi yang melarang wanita melakukan perjalanan seorang diri, tanpa disertai suami atau salah satu mahramnya. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, melalukan perjalanan dengan jarak yang ditempuh selama satu hari, kecuali dengan mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Perlu diketahui bahwa yang menjadi tolok ukur maslahat dan mafsadah yang terdapat dalam perkara itu adalah kebiasaan yang sudah lazim. Karenanya, jika sebuah perbuatan, biasanya mendatangkan mafsadah, maka perbuatan tersebut tidak boleh dikerjakan.
Mafsadah di sini bukanlah mafsadah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan maslahatnya. Misalnya ada satu perbuatan yang mengandung mafsadah. Namun perbuatan itu juga jelas-jelas membawa manfaat yang lebih besar dari mafsadah yang ditimbulkan. Maka perbuatan tersebut boleh dilakukan , mengingat besarnya maslahat yang akan ditimbulkan.

Contoh: memotong bagian tubuh yang terluka untuk menyelamatkan nyawa orang tersebut. Karena jika dibiarkan maka keselamatan nyawa orang tersebut akan terancam. Berbohong dalam rangka menyelesaikan permusuhan dua orang yang bertikai. Karena jika pertikaian tersebut dibiarkan, maka akan mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan atau bahkan kekacauan yang semakin meluas.

8. Penyebab kehancuran umat terdahulu.
Rasulullah saw. telah menjelaskan kepada kita bahwa penyebab kehancuran umat-umat terdahulu adalah akibat dua perkara. Yaitu banyak bertanya yang tidak berguna dan tidak komitmen dengan syariat Allah.

Rasulullah saw. telah melarang para shahabat agar tidak banyak bertanya, karena dikhawatirkan [dengan jawaban yang diberikan] justru memberatkan mereka, agar tidak disibukkan oleh hal-hal yang tidak ada gunanya, dan sebagai langkah prefentif dari sikap saling bantah yang tidak ada ujungnya.

Bukhari meriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah, bahwa Rasulullah saw. melarang “qila wa qol” [ucapan yang belum jelas sumbernya], banyak bertanya dan menghamburkan harta. Karenanya kita dapati para shahabat, Muhajirin dan Anshar, tidak menanyakan sesuatu pun meskipun mereka ingin mengetahuinya. Sebagai aplikasi dari larangan tersebut. Merekalah generasi terbaik yang menjadikan segala kehendaknya mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw. Atau bisa juga karena mereka tidak perlu bertanya, karena mereka hidup bersama Rasulullah saw. yang segera menyampaikan kepada mereka setiap wahyu yang turun.

Kenyataannya wahyu dari langit tidak putus hingga akhir wafat Nabi saw. Setiap terjadi suatu peristiwa, Rasulullah saw. segera menjelaskan kepada mereka, berbagai perkara yang mereka butuhkan berkaitan dengan masalah agama, meskipun tanpa didahului pertanyaan, sehingga tidak menyebabkan keraguan, atau agar mereka tidak terjerumus dalam kesesatan. Allah swt. berfirman, “Allah menjelaskan kepada kalian, agar kalian tidak tersesat.” (an-Nisaa’: 176)

Dengan demikian, tidak diperlukan lagi adanya pertanyaan. Yang diperlukan adalah pemahaman terhadap apa yang datang dari Nabi saw. dan kemudian merealisasikannya dalam bentuk konkret.

Dalam menafsirkan ayat, “Janganlah kamu menanyakan kepada Nabimu hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu.” (al-Maa-idah: 101) Ibnu Abbas ra. mengatakan, “Tunggulah. Jika turun ayat al-Qur’an janganlah kalian bertanya sesuatu karena kalian akan mendapatkan penjelasannya.”

Adapun bagi orang-orang Arab Badui dan para utusan dari luar Madinah yang tidak selalu bersama dengan wahyu, maka Rasulullah saw. memberikan keringanan untuk mengajukan pertanyaan, dengan demikian mereka bisa mendalami urusan agama. Keringanan ini akhirnya menjadikan beberapa orang [di luar Madinah] untuk tidak hijrah ke Madinah. Namun lebih memilih tinggal di Madinah sebagai pengunjung. Dengan demikian mereka mendapatkan keringanan dari Nabi untuk bisa bertanya.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nawas Ibnu Sam’an berkata, “Saya tinggal bersama Rasulullah saw. di Madinah selama setahun. Satu hal yang membuat saya tidak hijrah adalah keinginan bertanya. Karena di antara kami jika sudah hijrah, ia tidak bisa lagi bertanya kepada Rasulullah.”

Maksud dari ucapan ini adalah bahwa ia tidak melakukan hijrah dan menetap di Madinah lantaran ia senang untuk bertanya kepada Rasulullah saw. Pertanyaan-pertanyaan mereka ini kadang sesuai dengan apa yang ingin diketahui oleh para Muhajirin dan Anshar [penduduk Madinah], sehingga mereka senang hati. Terlebih jika jawaban yang diberikan Rasulullah adalah kabar gembira tentang hal-hal yang mengantarkan masuk surga.

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Rasulullah saw. melarang kami untuk bertanya kepadanya. Karenanya, kami senang jika ada orang Badui yang datang dan bertanya kepada Rasulullah saw. Kami pun mendengarkan.”

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, “Seorang laki-laki Badui datang kepada Nabi saw. dan bertanya, “…Ya Rasulallah, kapan hari kiamat tiba?” Rasulullah menjawab, “…Hus Apa yang telah engkau persiapkan?” Orang itu menjawab, “Saya belum menyiapkan melainkan kecintaan saya kepada Allah dan rasul-Nya.” Rasulullah pun bersabda, “Kamu bersama orang-orang yang kamu cintai.” Kami pun bertanya, “Kami juga?” Rasulullah menjawab, “Ya.” Saat itu kami sungguh sangat senang.

9. Macam-macam pertanyaan.
a. Pertanyaan yang diperintah
– Bersifat fardlu ‘ain,
Karena setiap orang wajib menanyakannya. Adapun pertanyaan yang bersifat fardlu ‘ain adalah pertanyaan yang berkenaan dengan urusan agama yang harus ia lakukan. Seperti yang berkaitan dengan bersuci, shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji, jual beli, nikah dan perkara-perkara lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing mukallaf [orang yang sudah dibebani kewajiban]. Allah berfirman: “Maka tanyakanlah kepada orang yang mengerti, jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Dalam hadits Nabi disebutkan, “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Baihaqi) termasuk wanita muslimah.

– Fardlu kifayah
Artinya tidak semua orang wajib menanyakannya, cukup sebagian saja. yang terpenting, ada orang yang menanyakanya. Karena jika tidak ada yang bertanya maka seluruh kaum muslimin mendapat dosa. Pertanyaan yang sifatnya fardlu kifayah ini adalah pertanyaan yang bertujuan untuk mendalami permasalahan. Misalnya mendalami masalah fiqih, mendalami hadits, tafsir dan lain sebagainya. Pertanyaan seperti ini bukan hanya bertujuan untuk pengamalan, namun juga bertujuan untuk menjaga kemurnian agama, mengeluarkan fatwa, mengemban amanah dakwah dan untuk mengajarkan kepada masyarakat berbagai masalah yang diperlukan, sehingga mereka tidak terperosok ke dalam lembah kesesatan.

Firman Allah: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

Makna senada juga diisyaratkan Nabi melalui haditsnya,”Hendaklah orang yang hadir mengajarkan kepada orang yang tidak hadir.” (Muttafaq ‘alaiH)

Ketika Ibnu Abbas ra. ditanya perihal luasnya ilmu yang dimiliki, ia menjawab, “Saya dikaruniai Allah lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu berfikir.”

– Madub (dianjurkan)
Artinya, seorang muslim dianjurkan untuk menanyakannya. Contoh, menanyakan berbagai amalan sunnah, atau untuk memperjelas hal-hal seputar sah atau batalnya suatu perbuatan.

b. Pertanyaan yang dilarang
– Haram
Artinya orang yang bertanya akan mendapat dosa. Pertanyaan tentang sesuatu yang sengaja dirahasiakan oleh Allah, dan telah ditegaskan bahwa masalah tersebut menjadi urusan Allah. Misalnya tentang waktu tibanya kiamat, hakekat ruh, rahasia qadla’ dan adar dan lain sebagainya.

– Pertanyaan yang bertujuan untuk mengejek
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Sekelompok orang bertanya kepada Nabi, dengan maksud mengejek. Salah satu di antara mereka ada yang bertanya, “Siapa bapakku?” sementara yang lain kehilangan untanya dan bertanya, “Dimana untaku?” maka turunlah ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu bertanya kepada Nabimu, hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (al-Maidah: 101)

– Bertanya tentang mukjizat dengan sikap menantang, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang musyrik.

– Menanyakan sesuatu yang rumit dan hampir tidak bisa dijawab.

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Muawiyah ra. bahwa Nabi saw. melarang alghuluthath, yaitu perkara-perkara yang sangat rumit. Larangan ini lebih disebabkan karena masalah-masalah tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi agama, bahkan mungkin tidak pernah terjadi.

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Akan datang kepada umatku, suatu kaum yang menanyakan kepada para ulama berbagai permasalahan yang rumit, mereka inilah seburuk-buruk umatku.” (HR Thabrani)

a. Pertanyaan makruh, yakni lebih baik ditinggalkan. Walaupun jika ditanyakan tidak berdosa.

– Pertanyaan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Yaitu pertanyaan yang tidak ada manfaatnya untuk dijawab, bahkan bisa jadi akan membuka aib si penanya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang tidak disukainya. Ketika pertanyaan tersebut semakin banyak, beliau pun marah. Lalu beliau berkata, “Tanyakan kepadaku apa-apa yang ingin kalian tanyakan.” Salah seorang bertanya, “Siapa bapakku yan Rasulallah?” Nabi menjawab, “Bapakmu adalah Hudzaifah.” Yang lainnya bertanya, “Siapa bapakku ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Bapakmu adalah Salim, budaknya Syaibah.” Ketika Umar ra. mengetahui bahwa muka Rasulullah saw. mengisyaratkan kemarahan, ia pun berkata, “Ya Rasulallah, kami bertaubat kepada Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

– Bertanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh syara’. Artinya tidak ditegaskan halal atau haramnya. Karena dikhawatirkan justru akan semakin menambah beban.

Rasulullah bersabda, “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam lainnya, adalah menanyakan sesuatu yang sebenarnya didiamkan oleh syara’. Lantas karena pertanyaannya, menjadi diharamkan.” (HR Muslim)

Riwayat lain menyebutkan, “…Orang yang bertanya tentang sesuatu secara berlebihan.” Imam Nawawi berpendapat bahwa larangan ini khusus pada masa Nabi saw., setelah semua hukum syariat sempurna, larangan ini tidak berlaku lagi. Karena tidak ada kemungkinnan ditetapkannya suatu hukum baru.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang seorang laki-laki yang membunuh seorang laki-laki lain yang kedapatan bersama istrinya. Yakni saat turun ayat tentang hukum bagi pelaku zina yang mensyaratkan adanya empat orang saksi. Ternyata Rasulullah tidak suka dengan pertanyaan itu.

b. Mubah
Yaitu pertanyaan-pertanyaan selain yang tercakup dalam jenis pertanyaan di atas. Imam Nawawi menukil dari al-Khathabi dan ulama lainnya, ketika mengomentari sabda Rasulullah saw., “Kesalahan yang paling besar bagi umat Islam terhadap umat Islam…”: “Hadits ini ditujukan untuk orang yang bertanya secara berlebihan dan tidak ada gunanya. Sedangkan orang yang bertanya karena terpaksa maka tidaklah mengapa. Karena Allah swt. telah berfirman, “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang mengerti.” (al-Anbiyaa’: 7)

1. Memahami dan mengamalkan lebih diutamakan daripada bertanya.
Seorang Muslim hendaknya lebih mementingkan untuk mengkaji dan berusaha memahami semua masalah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Jika yang didapati adaplah perkara yang bersifat normatif, maka hendaklah ia meyakini kebenarannya. Namun jika yang didapat adalah perkara yang bersifat aplikatf, maka bersegeralah untuk mengaplikasikannya. Barangsiapa yang bersegera melaksanakannya seperti ini, maka ia berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Sedangkan orang yang menempuh kiat itu dan hanya disibukkan oleh berbagai pertanyaan yang menyeruak dalam jiwanya, maka ia termasuk orang-orang yang telah mendapat peringatan dari Rasulullah. Mereka ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan ahli kitab, yang binasa akibat banyak bertanya dan tidak mentaati perintah.

Demikianlah kondisi para shahabat dan Tabi’in, dalam menuntut ilmu yang bermanfaat, baik dari al-Qur’an maupun sunnah. Ketika ditanya tentang mengusap Hajar Aswad, Ibnu Umar ra. berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana jika penuhh sesak dan aku tidak bisa mencapainya?” Ibnu Umar menjawab, “Tahukah kamu rukun Yamani? Aku melihat Rasulullah saw. mengusap dan menciumnya.” (HR Bukhari dan lainnya)
Yang dimaksud oleh Ibnu Umar ra. adalah tidak ada gunanya mewajibkan sesuatu yang tidak mungkin atau sulit dilakukan, karena akan mengikis semangat untuk mengikuti sunnah.

2. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.

3. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.

Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”

Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”

Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”

Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”

Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”

4. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.

Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)

5. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:

“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)

Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)

Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)

Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)

6. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.

Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)

7. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.

Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)

8. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)

9. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:

“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.

Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)

Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.

10. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)

Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)

Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)

Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.

Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)

Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.

11. Sikap para ulama.
Semua imam, berusaha mengkaji dan mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, melalui penafsiran Nabi saw. atau ucapan para Shahabat dan Tabi’in. Juga senantiasa mempelajari hadits Nabi saw., mengetahui mana hadits yang shahih, dan mana hadits yang dlaif. Kemudian berusaha memahami dan mengaplikasikan berbagai nilai yang ada. Mereka juga mengkaji pendapat para shahabat, dalam berbagai masalah, tafsif, hadits, masalah halal dan haram, dan lain sebagainya. Inilahyang mereka tempuh, maka siapapun yang tidak mengikuti jejak mereka, akan sesat dan menyesatkan.

12. Pertanyaan terhadap sesuatu yang belum terjadi.
Bertanya tentang suatu ilmu adalah terpuji, manakala pertanyaan itu dimaksudkan untuk mengamalkannya, bukan untuk perdebatan. Karena itu, banyak shahabat dan Tabi’in yang tidak suka terhadap pertanyaan tentang hal-hal yang belum terjadi.

Amru bin Muroh menyebutkan bahwa Umar ra. berkata, “Aku peringatkan kepada kalian untuk tidak menanyakan tentang hal-hal yang belum terjadi, karena kita sudah disibukkan dengna hal-hal yanga sudah terjadi.”

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Janganlah kalian bertanya perihal sesuatu yang belum terjadi, karena saya mendengar Umar bin Khathathab ra. melaknat orang yang menanyakan masalah yang belum terjadi.”

Ketika ditanya tentang sesuatu, Zaid bin Tsabit ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” Si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkan hingga masalah ini terjadi.”

Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu, maka ia berkata, “Apakah sudah terjadi?” Aku menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi akan kuberitahu bagaimana pendapatku.”

Asy-Sya’by menyebutkan bahwa ketika ditanya tentang sesuatu, Ammar ra. balik bertanya, “Apakah sudah terjadi?” jika si penanya menjawab, “Belum.” Ia berkata, “Biarkanlah hingga masalah ini terjadi. Jika sudah terjadi aku akan berusaha mencari jawabannya.”

Masih banyak lagi riwayat senanda, baik di masa shahabat maupun Tabi’in. Dalam kitab al-Marasiil, Abu Dawud meriwayatkan dari Muadz bin Jabal ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menyegerakan datangnya musibah. Jika kalian tidak menjalankan kewajiban, niscaya masih ada dari kalangan kaum muslimin orangyang berkata benar dan mendapat kemudahan. Jika kalian menyegerakan musibah niscaya kalian akan tercerai berai.”

13. Bertanya dengan tujuan mengamalkan.
Kadang-kadang, beberapa shahabat menanyakan suatu hukum yang sangat mungkin akan terjadi. Sedangkan mereka tidak tinggal jauh dari Nabi saw. Mereka ingin sekali mengetahui hukum tersebut, sebelum perkara itu terjadi, agar mengetahui jawabannya saat perkara itu terjadi, sehingga bisa mengamalkannya.

Pertanyaan seperti ini dibenarkan oleh Rasulullah saw. Beberapa hadits berikut menunjukkkan bolehnya pertanyaan tersebut.:
Rafi’ bin Hudaij ra. bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, besok kami menghadapi musuh, sedang kami tidak memiliki pisau. Apakah kami boleh menyembelih dengan kulit tebu?” Rasulullah menjawab, “Selama darahnya mengalir dan menyebut bismillah maka makanlah. Kecuali dengan gigi dan kuku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami akan menyeberangi lautan [berlayar], sedang kami hanya membawa air [tawar] sedikit. Jika air tersebut kami gunakan untuk berwudlu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudlu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab, “Laut itu suci dan halal bangkainya.” (HR Lima Imam Hadits)

14. Ketaatan dan kepatuhan merupakan jalan keselamatan.
Rasulullah telah memperingatkan kita agar tidak menempuh jalan yang telah ditempuh oleh kaum yang bersikap penuh keraguan dan senantiasa melanggar para Rasul-Nya. Karena sikapnya ini, mereka akhirnya mendapat siksa dan beban yang sangat berat. Maka sungguh Allah telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat Islam, karena telah mengajarkan kita untuk berkata:

“Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.” (al-Baqarah: 285-286)

Jadi, keselamatan dan keberuntungan hanya didapat dengan tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya, dan bukan dengan jalan mengikuti orang-orang yang selalu membangkang kepada Rasul-Nya. sebagaimana ketika mereka disuruh untuk masuk negeri namun menolak. Mereka berkata, “Hai Musa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (al-Maaidah: 24)

Maka mereka layak mendapatkan kesengsaraan. Allah swt berfirman, “Maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka, selama empat puluh tahun mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi.” (al-Maaidah: 26)

Karena kemaksiatan yang dilakukan, mereka diharamkan dari berbagai bentuk kenikmatan, Allah swt. berfirman: “Maka disebabkan karena kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka [makanan] yang lezat-lezat [yang dahulunya] dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi [manusia] dari jalan Allah.” (an-Nisaa’: 160)

15. Peringatan agar tidak terjadi perpecahan.
Allah swt. telah memberikan karakter bagi umat Islam dengan sebutan “ummatan wahidah” [umat yang satu]. Allah swt berfirman “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiyaa: 92). Karena itu, sudah selayaknya jika setiap muslim berusaha merealisasikan persatuan tersebut hingga tercipta satu kekuatan yang hebat dan kokoh untuk menghadapi kekuatan jahat.

Rasulullah saw. benar-benar telah memperingatkan kita, agar kita tidak berselisih. Karena perselisihan akan mengakibatkan timbulnya kelompok-kelompok yang cenderung saling cerca, bahkan saling bunuh. Rasulullah saw. bahkan menggolongkan hal ini ke dalam kekufuran atau jalan menuju kekufuran. Sebagaimana disebutkan dalam sabdanya, “Janganlah kalian sepeninggalanku kelak, kembali kepada kekufuran, sebagaimana kalian membunuh sebagian yang lain.” (HR Muslim)

Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa permusuhan tersebut hanyalah perilaku orang-orang kafir, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang tercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imraan: 105)

16. Balasan bagi orang yang keluar dari jamaah [Islam] dan menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan perselisihan.
Islam sangat tegas terhadap siapapun yang menyebabkan tercerai berainya persatuan umat Islam. Karenanya mereka diancam hukum mati, dan siksa yang pedih di akhirat.

Allah swt. berfirman: “Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’: 115)
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah, kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR Muslim) dan dalam sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang datang kepada kalian, hendak memecah belah kalian padahal pada saat itu kalian bersatu di bawah naungan satu pemimpin, maka bunuhlah orang itu.” (HR Muslim)

17. Berpegang teguh terhadap syariat Allah swt. merupakan jalan menuju persatuan.
Allah telah menetapkan semua kebaikan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan berbagai permasalahan dalam al-Qur’an yang bersifat mujmal [global] dijelaskan rinciannya oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits nya. karenanya, persatuan hanya bisa digalang dengan cara berpegang teguh pada al-Qur’an dan hadits. Allah berfirman:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imraan: 103)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya. Dua hal itu adalah kitabullah dan sunnahku.” (HR al-Hakim)

18. Perselisihan dalam masalah agama.
Penyebab utama perpecahan umat adalah perbedaan dalam masalah-masalah agama, sehingga menyebabkan perselisihan dalam masalah-masalah fundamental, yang akan membawa perpecahan dan tercerai berai dalam berbagai jalan kesesatan. Karenanya, dalam al-Qur’an kita temukan perintah untuk senantiasa komitmen pada hukum-hukum Allah dan menjauhi setiap penyakit yang berusaha menembus kemurniaannya. Allah berfirman:

“Dia mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.” (asy-Syura: 13)

Dalam rangka mengantisipasi perpecahan, Rasulullah saw. menyuruh kita untuk mempelajari dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika terjadi perbedaan pendapat dan dapat mengarah pada perselisihan, maka Rasulullah saw. menyarankan untuk berhenti, hingga hati dan pikiran kembali jernih dan dapat mempelajari al-Qur’an dan Sunnah dengan penuh keikhlasan.

Rasulullah saw. bersabda, “Baca dan pelajarilah al-Qur’an, selama hatimu bersatu. Jika kalian berselisih paham, maka berhentilah.” (HR Bukhari)

Dalam hadits yang menjadi tema pembahasan ini Rasulullah saw. juga secara jelas telah mengisyaratkan bahwa kehancuran umat diakibatkan karena berselisih dengan Rasul. Dengan kata lain, ini adalah bentuk tidak adanya komitmen terhadap syariat Allah.

19. Bahaya mengikuti hawa nafsu
Sungguh suatu kenistaan, jika faktor perpecahan dalam agama adalah kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Karenanya, kita mendapati di dalam al-Qur’an, bahwa orang-orang yang berusaha membuat perpecahan tersebut bukanlah termasuk dalam barisan orang-orang Islam. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. sesungguhnya urusan mereka hanyalah [terserah] kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (al An’am: 159)

Perselisihan yang disebabkan oleh hawa nafsu dan tidak didasari kebenaran, akan berdampak pada perpecahan. Inilah yang menyebabkan hancur dan binasanya umat terdahulu. Sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Sesungguhnya penyebab kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihannya terhadap rasul-rasul mereka.” ini pula yang diisyaratkan Allah dalam bentuk peringatan, “Dan janganlah kamu semua menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imraan: 105)

Kemudian ditegaskan dalam ayat-Nya yang lain, “Dan tidaklah orang-orang yang diberi kitab itu bercerai berai kecuali setelah datang kepada mereka keterangan.” (al-Bayyinah: 4)

Adapun perbedaan pandangan dalam masalah furu’ yang didasari pada dalil maka hal itu bukan suatu problem. Karena, biasanya perbedaan seperti ini tidak mengarah pada perpecahan, bahkan menunjukkan fleksibelitas syariah dan kebebasan berpendapat.

Perbedaan-perbedaan seperti itu juga terjadi pada zaman Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. mendengar seorang laki-laki yang membaca sebuah ayat. Namun bacaan tersebut berbeda dengan apa yang ia dengar dari Nabi saw. Maka Ibnu Mas’ud ra. mengajak laki-laki tersebut menghadap Rasulullah saw. dan mengadukannya. Melihat sikap Ibnu Mas’ud ra., wajah Rasulullah mengisyaratkan ketidak senangan lalu bersabda, “Kamu berdua benar, karenanya, bacalah dan jangan berselisih karena kaum sebelum kamu berselisih kemudian mereka binasa.” (HR Bukhari)

Rasulullah saw. membolehkan perbedaan dalam bacaan al-Qur’an. Karena masing-masing pihak memiliki dasar rujukan. Dimana al-Qur’an diturunkan dalam beberapa dialek Arab. Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan pendapat yang didasari pada kepentingan pribadi, padahal bukti dan penjelasan telah diberikan.

20. Bisa disimpulkan bahwa haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup bagi orang yang mampu

&

Hadits Arba’in ke 28: Nasehat untuk Menjalankan Sunnah dan Menghindari Bid’ah

5 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 28 (dua puluh delapan)Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. berkata, Rasulullah saw. menasehati kami dengan nasehat yang membuat hati kami luluh, dan air mata kami berderai.” Kami bertanya, “Wahai Rasulallah, seakan-akan ini nasehat perpisahan, karena itu berilah kami pesan terakhir.” Beliau bersabda, “Aku perpesan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah swt. patuh dan taatlah meskipun pemimpin kalian adalah seorang budak, karena orang yang hidup sesudahku pasti akan menyaksikan banyak pertikaian. Karena itu, berpegangteguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyiddin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi geraham. Dan hidarilah hal-hal yang baru [dalam soal agama], karena semua yang bid’ah [baru dalam soal agama] itu sesat.” (HR Abu Dawud dan Tirmdizi. Imam Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)

KANDUNGAN HADITS

1. Nasehat yang menyentuh.
Agar sebuah nasehat mempunyai pengaruh yang kuat, maka harus memiliki syarat:

a. Tema yang tepat.
Dalam memberikan nasehat maupun peringatan kepada masyarakat perlu memiliki tema-tema yang sangat bermanfaat bagi agamanya maupun dunianya. Tidak hanya berkutat pada penjelasan mengenai berbagai hukum. Namun perlu memilih tema-tema yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam realita kehidupan sehari-hari.

Membatasi nasehat hanya pada khutbah Jum’at dan hari raya yang menyebabkan masyarakat muslim menjauh dari hakekat agamanya. Terlebih jika khutbah telah menjadi berubah menjadi profesi dan bukan sebagai tugas dakwah, atau isi khutbah yang disampaikan adalah lembaran-lembaran yang ditulis berabad-abad silam. Maka tanpa disadari, mereka telah membangun benteng penghalang antara nilai-nilai Islam dengan realita kehidupan modern.

Sebenarnya Rasulullah saw. telah mencontohkan kepada kita, beliau sering menasehati para shahabat di luar khutbah-khutbah yang formal. Nasehat-nasehat tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi para shahabat. ini semua dilakukan sebagai bentuk realisasi dari firman Allah yang artinya: “Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (an-Nahl: 125)

b. Dengan bahasa yang baik.
Bahasa yang baik dan jelas akan membantu seseorang untuk lebih mudah memahami dan menerima apa yang ia dengar, bahkan bahasa yang baik juga lebih mempunyai efek langsung terhadap hati. Allah berfirman, “Dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (an-Nisaa’: 63)

Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasulullah saw. menasehati kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

c. Nasehat tidak terlalu panjang
Nasehat yang terlalu panjang dapat membosankan orang yang mendengar, hingga manfaat yang diinginkan tidak bisa dicapai. Rasulullah saw. senantiasa memendekkan berbagai khutbah dan nasehatnya.

Jabir bin Samurah ra. berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah saw. Shalatnya tidak terlalu panjang. Begitu juga khutbahya.” (HR Muslim)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Bahwa Rasulullah saw. memanjangkan khutbah Jum’at, akan tetapi hanya beberapa kalimat pendek.” (HR Abu Dawud)

d. Memilih waktu yang tepat
Rasulullah saw. tidak terus menerus memberikan nasehat. Abi Wail ra. berkata, “Ibnu Mas’ud selalu menasehati kami setiap hari Kamis. Maka seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman [Ibnu Mas’ud], kami senang dengan nasehatmu. Kami sangat mengharapkan jika engkau menasehati kami setiap hari.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya tidak memberi nasehat kalian setiap hari karena saya takut menjemukan kalian. Sesungguhnya Rasulullah saw. mengatur waktu dalam memberikan nasehat kepada kami, beliau khawatir kami bosa.” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Sifat pemberi nasehat yang sukses
Agar nasehat bisa diterima, maka seorang pemberi nasehat harus memiliki beberapa syarat berikut ini:

a. Yakin dengan apa yang dikatakan
Keyakinan terhadap apa yang dinasehatkan mempunyai dampak yang besar bagi orang yang menerima nasehat. Karena jika orang yang mendengarkan nasehat menangkap gelagat keraguan dari orang yang memberi nasehat, maka bisa dipastikan orang tersebut tidak akan percaya apalagi menaruh perhatian. Keyakinan ini akan tampak pada cara dan nada bicaranya juga pada sikap dan raut mukanya.

Jabir bin Abdullah ra. berkata, “Ketika berkhutbah dan membahas tentang hari Kiamat, Rasulullah saw. terlihat marah, suaranya meninggi, kedua matanya memerah. Seolah-olah beliau sedang memberikan komando kepada pasukan perang.”

b. Hati yang bersih
Orang yang hatinya bersih akan berbicara dari hati, maka hati pula yang akan menerimanya. Namun jika hati penuh debu-debu dosa maka ucapan yang keluar hanyalah sebatas bibir, sehingga hanya akan masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri atau sebaliknya.

Diriwayatkan bahwa suatu saat Hasan al-Bashri mendengarkan seseorang berceramah di masjid Bashrah, namun ceramah tersebut tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap Hasan al-Bashri. Maka setelah orang-orang yang ada di situ meninggalkan tempat, ia berkata kepada si penceramah, “Bisa jadi karena di hatimu ada penyakit. Atau justru di hatiku.”

c. Ucapan sesuai dengan perbuatan.
Orang-orang yang tertarik dengan ucapan seseorang, biasanya akan mengamati perilaku orang yang berbicara tersebut. Jika ucapannya sesuai dengan perilakunya, maka akan diikuti. Namun jika tidak maka ucapan tersebut akan ditolak. Karena itulah ada orang berkata, “Barangsiapa yang memberikan nasehat dengan ucapannya, maka ucapannya akan sirna begitu saja. sedangkan barangsiapa memberikan nasehat dengan perbuatannya, maka nasehatnya akan mengenai sasaran.”

Firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 2-3)

3. Keutamaan dan kebersihan hati para shahabat
Ketakutan yang menyelimuti hati para shahabat Rasulullah saw. dan air mata yang bercucuran ketika mendengar nasehat Rasulullah saw. adalah bukti keutamaan, kebersihan hati dan ketinggian tingkat keimanan mereka. wajar kalau mereka mendapatkan pujia dari Rasulullah saw. dan dari Allah secara langsung. Pujian itu terdapat dalam ayat yang artinya:

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul [Muhammad], kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran [al-Qur’an] yang telah mereka ketahui [dari kitab-kitab mereka sendir].” (al-Maaidah: 83)

Dalam ayat-Nya yang lain, ketika memuji orang-orang mukmin secara keseluruhan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (al-Anfaal: 2)

4. Pesan takwa
Takwa adalah melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan. Ketakwaan ini merupakan perintah syar’i. Rasulullah saw. dalam memberikan pesan senantiasa menitik beratkan masalah ketakwaan. Karena bagi siapa pun yang komitmen dengannya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Ketakwaan juga merupakan pesan Allah terhadap orang-orang yang terdahulu dan juga terhadap kita semua. Allah berfirman yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan [mewasiatkan] kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan [juga] kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.” (an-Nisaa’: 131)

5. Pesan taat
Taat kepada pemimpin muslim dalam hal-hal yang ma’ruf, hukumnya wajib. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul[Nya] dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisaa’: 59)

Melihat urgensi ketaatan dan kepatuhan, maka secara spesifik Rasulullah saw. memerintahkannya, meskipun pada dasarnya ketaatan dan kepatuhan masuk dalam keumuman perintah untuk bertakwa. Dengan komitmen pada pesan ini, masyarakat muslim akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, juga akan semakin memperkuat kesatuan dan persatuannya.

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Urusan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik kecuali di bawah kendali seorang pemimpin, baik atau buruk. Jika pemimpinnya buruk, orang-orang beriman bisa beribadah dengan baik, dan orang-orang yang tidak baik toh akan menemui ajalnya. Sesungguhnya yang menjadikan lemah kaum muslimin adalah keengganan untuk taat kepada pemimpin mereka, bahkan lebih condong kepada anarkisme, sehingga timbul kerusuhan, pertikaian, pertentangan, dan tersebarnya kemmaksiatan.”

Rasulullah saw. bersabda: “Meskipun kalian dipimpinn oleh seorang budak.” Dan dalam riwayat Bukhari dari Anas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dengar dan patuhilah, meskipun yang memerintah kamu budak habsy yang hitam, seolah kepalanya penuh dengan anggur yang kering.”

Para ulama memahami hadits ini dengan dua pengertian:
a. Hadits Nabi ini merupakan informasi terhadap sesuatu yang belum terjadi. Bahwa suatu saat kondisi umat akan sedemikian kacau, termasuk dalam pelaksanaan hukum syar’i, sehingga kepemimpinan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dengandemikian perintah untuk mentaati pemimpin, pada saat itu, merupakan pilihan dari dua hal yang paling sedikit resikonya. Bagaimanapun, sabar terhadap kepemimpinan yang tidak mempunyai keahlian lebih kecil resikonya daripada terjadinya kerusakan.

b. Hadits tersebut hanyalah perumpamaan dan tidak menunjukkan bahwa hal ini akan terjadi. Karena budak tidak sah untuk menjadi pemimpin. Perumpamaan seperti ini juga terdapat pada hadits yang lain. “Barangsiapa yang membangun masjid, meskipun sebesar sarang burung, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.” Karena tidak mungkin ada masjid sebesar sarang burung.

6. Komitmen terhadap sunnah Nabi dan Sunnah Khulafaur Rasyidin
Arti kata sunnah adalah jalan yang biasa dilalui. Komitmen terhadap sunnah adalah komitmen dengan semua keyakinan, ucapan dan perbuatan Nabi saw. dan para khulafaur rasyidin. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. telah mensejajarkan sunnah para khulafaur fasyidin dengan sunnah Rasulullah saw. Karena Rasulullah tahu persis bahwa apa-apa yang dilakukan khulafaur rasyidin adalah semata-mata diambil dari al-Qur’an dan sunnah. Sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan terjaga dari kesalahan. Khulafaur rasyidin ini oleh para ulama disepakati ada empat: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman dan Ali ra.

Tidak diragukan memang, bahwa dengan komitmen terhadap sunnah Nabi dan Sunnah khulafaur rasyidin akan membawa pada kebahagiaan dan kemenangan, terlebih di saat terjadi banyak perselisihan dan perpecahan.

7. Peringatan dari Bid’ah
Peringatan terhadap bid’ah ini sebenarnya sudah disebutkan dalam hadits yang khusus membahas masalah bid’ah.

“Barangsiapa yang menciptakan hal yang baru dalam urusan kami [masalah agama] yang sebenarnya bukan darinya [agama] maka tertolak.”
Artinya bahwa semua perkara yang baru dalam masalah agama, yang tidak mempunyai dasar syar’i, maka perkara tersebut tercela dan merupakan bid’ah yang menyesatkan.

Bid’ah mempunyai dua pengertian: syar’i dan lughawi [bahasa]. Secara syar’i bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak sesuai dengan syara’, juga tidak sesuai dengan berbagai dalilnya, baik dalil yang bersifat umum maupun khusus. Bid’ah seperti inilah yang mendapat peringatan tegas dari Rasulullah. “Setiap bid’ah adalah sesat.”

Bid’ah secara lughawi [bahasa] adalah sesuatu yang diciptakan dan sebelumnya tidak ada. Bid’ah seperti ini sering diistilahkan dengan istihsan [perbuatan yang baik] yang dilakukan oleh para shahabat. salah satunya apa yang dilakukan oleh Umar ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat tarawih berjamaah. Dan Umar berkomentar, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Ketika Ubai bin Ka’ab menanyakan, “Hal ini tidak pernah terjadi.” Umar menjawab, “Saya tahu, namun ini adalah baik.” Dengan kata lain Umar mengerti bahwa yang ia lakukan belum pernah terjadi, namun ia melihat bahwa yang ia lakukan mempunyai dasar dalam syariat.

Contoh lain adalah pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Pada masa Utsman, ia menyatukan bacaan al-Qur’an, pengiriman beberapa al-Qur’an yang telah terhimpun dalam satu mushaf ke berbagai negeri. Dan lain sebagainya.

Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah ada dua, bid’ah yang baik [hasanah] dan bid’ah yang tercela [madzmumah]. Jika sesuai dengan sunnah, maka bid’ah tersebut adalah baik. Namun jika tidak sesuai dengan sunnah maka bid’ah tersebut adalah tercela. Perkataan ini didasarkan pada perkataan Umar bin Khaththab, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.

8. Anjuran untuk memberi pesan, ketika hendak berpisah, terhadap hal-hal yang membawa maslahat dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat
9. Larangan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam masalah agama, yang tidak memiliki dasar syar’i

&

Hadits Arba’in ke 29: Pintu-Pintu Kebaikan

4 Mar

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 29 (dua puluh sembilan)Mu’adz bin Jabal ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulallah, beritahu aku amal yang dapat memasukkan ke surga dan menjauhkan dari neraka.” beliau menjawab, “Yang kamu tanyakan adalah perkara yang besar, namun akan menjadi mudah bagi yang dimudahkan Allah swt. Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan dengan yang lain, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadlan dan haji ke Baitullah.” Lalu beliau bersabad, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, shadaqah dapat menghapuskan kesalahan seperti air yang memadamkan api, dan shalat malam.” Kemudian beliau membaca surah As-Sajdah: 16-17. Lalu beliau bersabda, “Maukah kamu aku beritahu pangkal agama, tiang dan puncak tertingginya?” Aku menjawab, “Mau wahai Rasulallah.” Beliau bersabda, “Pangkal agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncak tertingginya adalah jihad.” Lalu beliau bersabda, “Maukah kalian kuberitahu apa kendali semua itu?” Aku menjawab, “Mau wahai Rasulallah.” Beliau menyentuh lidahnya seraya bersabda, “Jagalah ini!” Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena perkataan kita?” Beliau bersabda, “Hus. Bukankah kebanyakan orang yang terjungkal ke neraka akibat dari ulah lidah mereka?” (HR Tirmidzi. Dia berkata, hadits ini hasan shahih)

URGENSI HADITS

Hadits ini menjelaskan berbagai amal shalih yang dapat memasukkan orang yang melakukannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka. karena tujuan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah untuk memasukkan manusia ke dalam surga dan menjauhkan mereka dari neraka. karena itu, Rasulullah saw. bersabda kepada Mu’adz, “Sungguh engkau telah menanyakan sesuatu yang sangat penting.” Beliau juga bersabda kepada orang yang menanyakan hal serupa. “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun kandungannya sangat luas.”

KANDUNGAN HADITS

1. Perhatian Mu’adz ra. yang cukup besar terhadap amal shalih
Pertanyaan Mu’adz ra. di atas menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap amal-amal shalih dan betapa besar upayanya untuk mengetahui hal itu dari Rasulullah saw. Juga menunjukkan bahwa Mu’adz ra. memiliki kemampuan bahasa yang tinggi. Ia bertanya dengan pertanyaan yang singkat tetapi mengena. Karenanya Nabi saw. memuji pertanyaan tersbut dan kagum dengan kemampuan bahasa yang dimilikinya. Pujia itu tetertuang dalam ucapan beliau saw.: “Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang sangat penting.” Ini tidak lain, karena masuk surga dan terhindar dari api neraka adalah suatu hal yang penting. Dimana hal itu tidak bisa tercapai kecuali dengan melaksanakan semua perintah dan meniggalkan semua larangan. Dan inilah yang ditanyakan oleh Mu’ad ra.

2. Amal perbuatan merupakan penyebab masuk surga.
Ini didasari oleh pertanyaan Mu’adz, “Tunjukkanlah kepadaku amalan yang bisa memasukkan ke surga.” Juga didasari pada ayat yang menyatakan, “Itulah surga yang telah diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (al-A’raaf: 43)

Sedangkan sabda Nabi saw. yang menyatakan, “Salah seorang di antara kamu tidak akan masuk surga karena amalnya,” lebih mempunyai pengertian, bahwa amalan semata tidak menjamin masuk surga, namun amalan tersebut harus diterima oleh Allah swt. Ini tentunya dengan karunia dan rahmat Allah swt. Karena, kemudahan untuk melakukan amal shalih, adalah sepenuhnya tergantung kehendak Allah swt. Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan hidayah maka ia dimudahkan untuk melakukan amal shalih. Dan barangsiapa dikendaki sebaliknya maka ia tidak dimudahkan hingga tidak bisa melakukan amal shalih bahkan berkutat dalam kesesatan.

Allah berfirman yang artinya: “Adapun orang yang memberikan [hartanya di jalan Allah] dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik [surga], maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya [jalan] yang sukar.” (al-Lail: 5-10)

3. Melaksanakan rukun-rukun Islam
Rasulullah saw. menjawab pertanyaan Mu’adz dengan menjelaskan bahwa tauhidullah [mengesakan Allah] dan menunaikan semua kewajiban dalam Islam; shalat, zakat, puasa, haji adalah amal shalih yang dengan karunia dan rahmat Allah dapat menjadikan sebab untuk bisa masuk surga. Pada pembahasan hadits kedua dan ketiga telah dijelaskan bahwa kelima rukun Islam tersebut adalah dasar dari bangunan Islam.

4. Pintu-pintu kebaikan
Ibnu Majah menyebutnya dengan “pintu-pintu surga”. Rasulullah saw. telah menunjukkan kepada Mu’adz ra. bahwa melaksanakan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan semua kewajiban merupakan sarana untuk mendapatkan cinta Allah.
Dalam hadits qudsi dijelaskan, “Hamba-Ku tidak henti-henti mendekati-Ku hingga Aku mencintainya.” Adapun pintu-pintu kebaikan dan berbagai sarana yang bisa membawa pada kebaikan adalah sebagai berikut:

a. Puasa yang bisa menjadi benteng.
Yang dimaksud puasa dalam hadits ini adalah puasa sunnah, bukan puasa Ramadlan, karena puasa Ramadlan sudah disebutkan tersendiri. Puasa sunnah ini sebagai penghalang dari api neraka di akhirat. Karena malalui puasa, seseorang akan menghindari tuntutan syahwat sebagai refleksi dari perintah Allah swt. dan menjauhi semua larangan-Nya.

Dengan menghindari tuntutan syahwat, maka dominasi syahwat yang ada dalam diri seseorang akan melemah bahkan dominasi itu akhirnya hilang sama sekali, maka puasa akan menjadi benteng penjaga dan pembersih dari segala dosa.

b. Shadaqah yang menghapus dosa
Yang dimaksud shadaqah di sini adalah harta yang dikeluarkan fii sabilillah selain zakat, karena zakat telah disebutkan tersendiri. Sedangkan dosa yang bisa dihapus adalah dosa-dosa kecil yang berhubungan dengan hak Allah swt. Karena dosa-dosa besar tidak bisa dihapus kecuali dengan taubat. Sedangkan dosa yang berhubungan dengan hak manusia, tidak bisa terhapus melainkan dengan keridlaan orang yang bersangkutan.

Shadaqah disebutkan tersendiri, karena manfaatnya yang luas. Anas ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya shadaqah akan memadamkan kemurkaan Allah dan mencegah kematian yang buruk.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dengan terhapusnya dosa-dosa kecil maka semakin mendorong rasa optimis, hati menjadi bening, dan berbagai amalan menjadi bersih. Dengan demikian, shadaqah merupakan pintu yang terbuka lebar untuk amal-amal shalih lainnya.

c. Qiyamul lail
Banya ayat dan hadits yang menyebutkan keutamaan qiyamul lail. Karena itulah dalam hadits di atas, Nabi saw. membacakan ayat, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” (as-Sajadah: 16) senada dengan ayat di atas, dan dalam rangka mempertegas keutaan shalat malam dan shadaqah, Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman [surga] dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun [kepada Allah].” (adz-Dzaariyaat: 15-18)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik shalat, selain shalat wajib adalah qiyamul lail.” (HR Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan bahwa beliau bersabda, “Lakukanlah qiyamul lail, karena qiyamul lail merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, kafarat dari berbagai perbuatan buruk dan pengusir penyakit dari badan.” (HR Tirmidzi dari Bilal ra.)

Adapun waktu shalat malam yang paling baik adalah pertengahan malam, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi, “Dan shalat seorang laki-laki di tengah malam.”

5. Inti perkara adalah Islam. Penyangga Islam adalah Shalat. Dan puncak Islam adalah jihad.
Sepertinya Rasulullah mengetahui bahwa Mu’adz bin Jabal ra. ingin mendapatkan pengetahuan lebih dari beliau. Maka Rasulullah saw. bertanya, “Maukah kamu saya tunjukkan.” Ini adalah metode pengajaran yang sangat tepat, karena dapat menjadikan seorang murid lebih berkonsentrasi dan benar-benar ingin mengetahui apa yang akan disampaikan, dan bukan hanya menjadi pendengar setia.
Adapun pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan Rasulullah saw. tersebut adalah:

a. Inti perkara adalah Islam
Ungkapan ini dijabarkan oleh hadits riwayat Ahamad berikut. Mu’adz ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya inti perkara adalah Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Dengan demikian, barangsiapa yang tidak mengakui keduanya baik secara dhahir maupun batin, maka ia bukan seorang muslim. Ada yang mengatakan bahwa inti dari agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah Islam dan kelima rukunnya.

b. Penyangga Islam adalah shalat.
Jika tiang adalah penopang rumah, maka shalat adalah penopang agama. Shalat akan menjadikan hamba semakin dekat dengan Allah. Shalat ada penghubung antara hamba yang lemah dengan Tuhannya yang Maha Perkasa dan Penyayang.

c. Puncak ajaran Islam adalah jihad.
Jihad akan meninggikan kalimat Allah, hingga Islam menjadi jaya dan mendominasi seluruh agama yang lain. Peran ini tidak bisa diwakili oleh ibadah-ibadah yang lain. Dengan demikian, jihad adalah puncak ajaran Islam yang tertinggi. Banyak hadits yang menyebutkan bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, setelah kewajiban-kewajiban yang lain. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulallah, amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah saw. menjawaba, “Iman kepada Allah, kemudian jihad fii sabilillah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun pengilustrasian dengan punuk unta, ketika menyebutkan kedudukan jihad karena saat itu unta adalah kekayaan mereka yang paling berharga.

6. Menjaga Lisan adalah kunci semua masalah.
Nabi mengakhiri pelajaran yang diberikan kepada Mu’adz dengan menyebutkan bahwa kunci dan kendali dari amalan-amalan yang telah disebutkan agar bisa mencapai kesempurnaan adalah mengendalikan lisan. Urgensi pengendalian lisan ini telah dibahas dalam hadits ke 15.

Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulallah, tunjukkanlah aku kepada amalan yang bisa memasukkanku ke surga.” Rasulullah saw. menjawab, “Jagalah ini.” Sambil menunjuk ke lidahnya. Laki-laki itu mengulangi permintaannya. Maka Rasulullah berkata, “Hus, tidaklah manusia itu dijerumuskan ke dalam neraka kecuali karena lisan mereka.” (HR al-Bazzar)

Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Yang dimaksud dengan ‘Hashaidi alsinah’ [hasil dari lisannya] adalah balasan dari ucapan yang haram. Seolah-olah manusia telah menanam dengan ucapan dan amalannya, yang baik dan yang buruk. Kemudian pada hari kiamat, ia akan menuai apa yang yang telah ditanam. Barangsiapa yang menanam kebaikan, melalui ucapan atau amalan, maka ia akan menuai keberuntungan. Namun barangsiapa yang menanam dengan kejahatan ia akan menuai penyesalan.

Dalam hadits yang diriwayatkan Mu’adz di atas juga mengisyaratkan bahwa banyak orang yang masuk nerakan karena ucapannya. Karena syirik termasuk dosa dari ucapan, sementara syirik adalah dosa yang paling besar di sisi Allah. Begitu juga ucapan terhadap Allah yang tidak didasari suatu ilmu, kesaksian palsu, sihir, menuduh tanpa bukti dan berbagai dosa besar lainnya seperti dusta, ghibah, namimah dan lain sebagainya.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Yang paling banyak menyebabkan manusia masuk neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan.” (HR Imam Ahmad dan Tirmidzi)

Ayah Zaid bin Aslam menceritakan bahwa ketika Umar ra. mengunjungi Abu Bakar ra. ia mendapati saudaranya itu menarik lidahnya. Maka Umar ra. berkata, “Heh, semoga Allah mengampunimu.” Abu Bakar ra. menjawaba, “Inilah yang menjerumuskanku ke dalam perbuatan maksiat.”

Ibnu Buraidah berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas ra. memegang lidahnya dan berkata, “Ingat. Katakanlah yang baik niscaya kamu beruntung. Atau jangan mengatakan yang tidak baik niscaya kamu selamat. Kalau kamu tidak mendengar peringatanku ini niscaya kamu akan menyesal.” Ketika ditanya mengapa ia melakukan ini, ia menjawab, “Saya mendengar [nasehat dari Rasulullah saw.] bahwa pada hari kiamat, tiada yang membuat manusia begitu gundah dan marah selain lisannya. Kecuali orang yang tidak mengucapkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud ra. bersumpah, “Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia. di atas bumi ini, tidak ada yang perlu dipenjara selain lidah.”

Hasan al-Bashri berkata, “Lidah adalah kendali tubuh. Jika ia melampaui batas, maka tubuhpun akan melampaui batas. Jika ia terkendali, maka tubuhpun terkendali.”

7. Perbuatan yang paling utama, selain amalan wajib.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa amalan yang paling utama selain amalan wajib adalah ilmu lalu jihad.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan yang paling utama adalah shalat, wajib maupun sunnah.
Imam Ahmad berpendapat bahwa amalan yang paling utama adalah jihad fii sabilillah.

Dalam hadits disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya tentang amalan yang paling utama, beliau kadang menjawab bahwa amalan tersebut adalah “shalat tepat pada waktunya”, kadang beliau menjawab: “Jihad.” Dan kadang: “Berbuat baik kepada orang tua.” Jawaban-jawaban ini disesuaikan dengan kondisi orang yang bertanya, atau karena perbedaan masa.

8. Para shahabat senantiasa minta nasehat kepada Rasulullah saw. Demikian juga Rasulullah saw. selalu menasehati mereka. Dan bahwa shalat lima waktu harus tetap diutamakan, karena menjadi penyebab masuk surga dan terhindar dari neraka.

9. Keutamaan jihad, karena jihad dapat melindungi Islam dan meninggikan kalimat Allah.

10. Bahasa lisan, bahwa apa-apa yang diucapkan akan dipertanggungjawabkan. Lisan-lah yang seringkali menjerumuskan manusia ke dalam neraka.

&

Hadits Arba’in ke 31: Hakekat Zuhud

26 Feb

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 31 (tiga puluh satu)Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulallah, tunjukkan padaku suatu amalan yang apabila kulakukan aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia.” Rasululullah saw. bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang di tangan manusia, pasti manusia pun mencintaimu.” (HR Ibnu Majah dan yang lain, hadits ini hasan)

URGENSI HADITS

Hadits ini berisikan dua pesan Nabi saw. yang sangat penting.
– Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah terhadap hamba-Nya.
– Zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang muslim tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali jika ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama manusia. Cinta Allah dapat diraih dengan mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia. Sedangkan kasih sayang sesama manusia dapat diraih dengan tidak serakah ingin memiliki harta dunia yang dimiliki orang lain, dan lebih mengutamakan amal shalih. Karena amal shalih akan lebih bermanfaat bagi akhiratnya.

Karena itulah, Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini adalah satu dari empat hadits yang menjadi siklus ajaran Islam.”

KANDUNGAN HADITS

1. Pengertian Zuhud
Ada banyak definisi yang diberikan oleh Shalafush shalih terhadap zuhud. Namun semuanya bermaura kepada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris al-Khaulani ra. berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini keberadaan yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala.”

Jadi pada dasarnya, zuhud bisa disimpulkan dalam tiga hal. Ketiganya adalah amalan hati. Karena itulah, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Janganlah kamu bersaksi bahwa seseorang itu orang yang zuhud, karena zuhud tempatnya di hati.”
Tiga hal tersebut adalah:

a. Lebih meyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan. Sikap seperti ini lahir dari keyakinan yang benar dan tertanam sangat kuat bahwa Allah swt. akan dan selalu menjamin rizky hamba-Nya.
Firman Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkynya.” (Huud: 6)
“Dan di langit terdapat [sebab-sebab] rezekinya.” (adz-Dzaariyaat: 22)

b. Jika seseorang mendapatkan musibah dalam urusan dunia, misalnya: hilangnya harta benda, meninggalnya anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut, daripada meraung-raung seraya meminta agar musibah tersebut tidak terjadi. Sikap seperti ini hanya bisa ditumbuhkan oleh keimanan yang sempurna. Sikap ini menunjukkan betapa seseorang menganggap dunia adalah sesuatu yang remeh.

Ibnu Umar ra. berkata, dalam doanya Rasulullah saw. menyebutkan, “Ya Allah, berikanlah kepada kami, rasa takut kepada-Mu yang bisa menyampaikan kami kepada surga-Mu dan keyakinan yang bisa menjadikan kami menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”

c. Baik pujian maupun cercaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh pada kebenaran. Ini adalah merupakan tanda sikap zuhud terhadap dunia. Ibnu Mas’ud berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridlaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.”

Berikut beberapa ungkapan para ulama seputar zuhud:
Hasan al-Basri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain ia berkata: ‘Ia lebih baik dariku.’”
Wahb bin al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak sedik ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya.”
Az-Zuhri berkata, ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak tertipu oleh yang halal.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Seseorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan jika ditimpa musibah ia sabar.”
Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu yang benar dan meletakkannya dengan benar.”
Suyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan. Bukan dengan memakan makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta yang dimiliki orang lain.”

2. Macam-macam Zuhud.
Menurut sebagian salafush Shalih, zuhud ada tiga:
a. Zuhud terhadap kemusyrikan
b. Zuhud terhadap perkara-perkara yang dilarang
c. Zuhud terhadap perkara-perkara yang diperbolehkan.

Dua macam zuhud pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah yang wajib.
Ibnul Mubarak berkata, bahwa Ma’la bin Abi Muthi’ berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Segala perbuatan atau ucapan hanya karena Allah, dan bukan untuk mendaptkan keuntungan duniawi.
b. Hanya membatasi diri pada hal-hal yang bermanfaat.
c. Zuhud terhadap hal-hal yang halal. Ini hanya sebatas anjuran.

Ibrahim bin Adham berkata, “Zuhud ada tiga jenis: zuhud wajib, zuhud keutamaan, dan zuhud keselamatan. Zuhud wajib adalah zuhud terhadap hal-hal yang dilarang. Zuhud keutamaan adalah zuhud terhadap hal-hal yang dibolehkan. Sedangkan zuhud keselamatan adalah zuhud terhadap hal-hal yang syubhat.”

Imam Ahmad Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Meninggalkan yang dilarang. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam
b. Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhudnya khowash (orang-orang khusus)
c. Meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah. Ini adalah zuhudnya arifin (orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna)

3. Langkah-langkah untuk meraih sifat zuhud.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang muslim, untuk meraih sifat zuhud. Diantaranya:

a. Memikirkan kehidupan akhirat dan hari perhitungan. Dengan begitu ia dapat mengalahkan godaan syetan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia yang sementara. Diriwayatkan bahwa Haritsah ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Pagi ini saya menjadi orang mukmin yang sebenarnya.” Beliau berkata kepadanya: “Seorang mukmin yang benar itu memiliki hakekat. Lantas apa hakekat dari keimananmu?” ia menjawab: “Saya jauhkan diriku dari dunia, hingga di mataku batu dan permata tampak sama. Saya seakan-akan melihat singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang di dalam surga, dan penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” beliau berkata, “Hai Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, tetaplah seperti itu.”

b. Menumbuhkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada Allah, dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Juga dapat memperlambat proses hisab, karena akan ditanya tentang bagaimana ia mensyukuri nikmat tersebut. Firman Allah: “Kemudian kamu pasti akan ditanya, pada hari itu, tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahan di dunia].” (at-Takaatsur: 8)

c. Memahami sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat sirna jika dibanding dengan apa yang ada di sisi Allah. “Seandainya dunia ini, di sisi Allah, sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum orang kafir, walau seteguk air.”

d. Selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah bersabda, “Dunia adalah terkutuk dan terkutuk juga apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan yang mengikutinya, orang yang berilmu, atau orang yang mencari ilmu.” (HR Ibnu Majah. Sanad hadits ini hasan)

Riwayat lain menyebutkan: “Kecuali hal-hal yang dipergunakan untuk mencari ridla Allah.” Artinya, dunia dan isinya hanya akan menjauhkan manusia dari Allah, kecualii ilmu yang bermanfaat yang dapat membimbing manusia untuk mengenal, mendekat, dan mengingat Allah.

4. Dunia itu sepele, jangan sampai tertipu.
Orang-orang yang zuhud terhadap dunia, akan semakin bertambah kezuhudannya, manakala membaca firman-firman Allah swt. dan hadits-hadits Rasulullah saw. Ia akan mendapatkan bahwa dunia hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Karenanya, ia tidak akan tertipu dengan dunia.

Firman Allah, “tetapi kamu [orang-orang] kafir memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’laa: 16-17)
“Katakanlah: ‘Kesenangan dunia hanya sebentar. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (an-Nisaa’: 77)
“Maka janganlah sekali-sekali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan [pula] penipu [setan] memperdayakanmu dalam [menaati] Allah.” (Lukman: 33)
“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini [dibandingkan dengan] akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit].” (ar-Ra’d: 26)
Jabir bin Abdullah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. lewat di sebuah pasar. Sementara orang-orang sibuk dengan urusan dunia. Ketika melihat bangkai seekor anak kambing congek, beliau mengambilnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini satu dirham?” Mereka menjawab: “Kami tidak mau. Kami apakan bangkai itu?” Beliau bertanya, “Bagaimana, kalau ini kalian miliki secara gratis?” Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya ia masih hidup, kami tidak tertarik karean kambing itu kambing congek. Apalagi sudah menjadi bangkai.” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia ini leibih rendah derajatnya daripada bangkai ini, di sisi Allah.” (HR Muslim)

Al-Mustaurid al-Fihri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dunia, jika dibandingkan dengan akhirat, melainkan semupama salah seorang di antara kamu memasukkan ujung jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di ujung jari.” (HR Muslim)

5. Cercaan terhadap dunia tidak ditujukan kepada waktu atau tempat. Cercaan itu disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits, bukan tertuju pada masa, yaiti siang dan malam yang saling bergantian hingga hari kiamat. Karena Allah menjadikan keduanya bergantian untuk memberi kesempatan bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan mau bersyukur.

Cercaan tersebut juga bukan tertuju pada tempat, yaitu bumi yang telah dijadikan Allah sebagai tempat berpijak. Bukan pula pada tumbuhan dan makhluk-makhluk yang diciptakan Allah sebagai nikmat bagi hamba-hamba-Nya. Bagaimanapun kenikmatan tersebut telah diberikan Allah kepada kita, untuk dimanfaatkan. Bahkan segala kenikmatan yang ada adalah bukti bahwa Allah itu ada dan Mahakuasa.

Akan tetapi cercaan tersebut pada dasarnya adalah cercaan terhadap sikap dan perilaku di dunia. Karena sering kali manusia menyalahi ajaran para Rasul, dan melakukan hal-hal yang menimbulkan mudlarat.
Firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudina tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.” (al-Hadid: 20)

Ibnu Rajab al-Hambali membagi manusia dalam dua golongan:

1. Pertama, golongan yang mengingkari kehidupan setelah mati. Mereka tidak mempercayai semua amalannya di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah yang disebut dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tentaram dengan kehidupan ini, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Tempat mereka adalah neraka, sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat.” (Yunus: 7)

Mereka hanya mengejar kesenangan dunia, sebelum ajal menjemput mereka. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang [di dunia] dan makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Di antara mereka, ada yang menyerukan untuk berlaku zuhud. Mereka berfikir, bahwa banyaknya urusan dunia hanya akan menambah pusing, bahkan manakala hati semakin cinta dunia maka ia akan semakin merasa pedih saat berpisah dengan dunia.

2. Kedua, golongan yang mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa semua perbuatan di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah pengikut para rasul. Golongan ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Dhalim terhadap dirinya
b. Pertengahan
c. Senantiasa berlomba dalam kebaikan.

Kelompok yang paling banyak adalah kelompk pertama. mereka ini terbuai dengan kesenangan dunia. Bahkan dunia menjadi tujuan utamanya. Mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan dunia hanyalah menopang untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat, meskipun mereka mengklaim beriman terhadap akhirat.

Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang memahami hakekat kehidupan dunia, namun masih terlampau berlebihan dalam mereguk kenikmatan yang dibolehkan. Meskipun tindakan itu tidak berdosa, namun akan mengurangi derajatnya di sisi Allah swt.
Ibnu Umar ra. pernah berkata, “Setiap kali seseorang mendapatkan dunia, niscaya derajatnya di sisi Allah berkurang, meskipun ia orang yang dermawan.”

Qatadah bin Nu’man ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menjauhkan orang tersebut dari dunia, seperti kalian menjauhkan orang sakit dari makanan dan minuman yang membahayakan. (HR Tirmidzi)

Abdullah bin Umar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)

Adapun kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sedikit. Mereka inilah yang betul-betul memahami hakekat kehidupan dunia dan mengimplementasikan pemahaman mereka dalam kehidupan nyata.
Mereka memahami bahwa dunia hanyalah ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa yang paling baik amalnya. Mereka juga memahami semua kenikmatan dunia tidaklah kekal.

Firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan [pula] apa yang di atasnya menjadi rata lagi tandus.” (al-Kahfi: 8)

Karena itu mereka mengambil segala kenikmatan dunia hanyalah sekedarnya. Atau diibaratkan dalam sebuah hadits, seperti sekadar melepas lelah.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Aku tidak ada urusan dengan dunia. Perumpamaanku dengan dunia, ibarat seorang musafir yang bernaung di bawah pohon, setelah itu ia melanjutkan perjalanan.”

Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekadar untuk menyambung hidup. Gaya hidup seperti inilah yang sering ditempuh mereka yang juhud.
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekedar yang mereka butuhkan, agar kuat dalam melakukan ibadah kepada Allah.

Rasulullah bersabda, “Aku dikaruniai rasa suka kepada wanita dan wewangian.” (HR Ahmad dan Nasa’i)

‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. sukan kepada wanita, wewangian dan makanan. Ia mendapatkan wanita dan wewangian. Sedangkan makanan beliau tidak mendapatkannya.” (HR Ahmad) beliau juga bersabda, “Dunia adalah sebaik-baik tempat bagi orang yang menjadikannya bekal untuk akhirat demi mencari ridla Tuhannya. Dan dunia adalah seburuk-buruk tempat bagi orang yang terlena dengannya sehingga tercampak di akhirat dan tidak mendapatkan ridla Allah.” (al-Hakim)

6. Cara mendapatkan kecintaan Allah.

Kita bisa mendapatkan mahabbatullah [cinta Allah] dengan bersikap zuhud terhadap dunia, karena Allah mencintai orang yang menaati-Nya. Dengan zuhud terhadap dunia, berarti kita hanya mengisi ruang hati kita dengan kecintaan kita kepada Allah, maka Allah pun akan mencintai kita. Lain halnya dengan orang yang mencintai dunia. Ruang hatinya akan terisi kecintaan dunia, hingga tidak mungkin menyatu dengan kecintaan Allah.

Karena itu dalam riwayat Rasulullah saw. bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal segala dosa.”

Allah adalah Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Karenanya, Dia tidak suka jika ada yang menempati hati hamba-Nya selain Dia.
Andaikan tetap dipaksakan maka orang tersebut telah menyekutukan Allah di dalam hatinya dengan kecintaan terhadap dunia.
Cinta dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang membuatnya lupa kepada Allah. Sedangkan cinta dunia yang dimaksud untuk kebaikan dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hal tersebut sangatlah baik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang baik adalah hartanya laki-laki yang baik [shalih]. Harta tersebut digunakan untuk menyambung silaturahim dan untuk melakukan kebaikan.” (HR Ahmad)

7. Cara mendapatkan kasih sayang sesama manusia

Hadits di atas mengajarkan kepada kita bagaimana mendapatkan kasih sayang dari sesama manusia. Yaitu dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika kita membiarkan mereka dengan apa yang mereka senangi, maka mereka akan suka kepada kita. Sebaliknya, jika kita menginginkan apa yang mereka senangi, mereka akan membenci kita.

Hasan al-Bashri berkata, “Seseorang akan tetap disenangi sesama manusia selama ia tidak tamak terhadap apa-apa yang mereka miliki. Karena jika ia tamak, maka mereka akan membencinya.”

Seorang Badui bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapakah pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Hasan al-Bashri.” Ia bertanya, “Dengan apa ia menjadi pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak memerlukan dunia yang mereka miliki.” Ia berkata, “Alangkah baiknya orang ini.”

Etika seperti itu perlu sekali dimiliki oleh para pemimpin dan ulama. Ketika pemimpin bersikap zuhud, rakyat akan menyukai dan mengikuti aturannya. Demikian juga ulama, jika mereka zuhud, umat akan menghormati ucapannya dan akan mematuhi nasehatnya.

Ibnu Salam pernah bertanya kepada Ka’ab ra. di hadapan Umar ra., “Apa yang menjadikan ilmu itu cepat hilang, padahal sebelumnya telah dihafal dan dijaga?” Ka’ab ra. menjawab, “Tamak, perangai buruk, dan meminta-minta.” Ibnu Salam berkata, “Benar.”

8. Zuhudnya Rasulullah dan para shahabatnya

Jika kita ingin mengetahui contoh keteladanan dalam masalah zuhud, maka kita akan mendapatkanya pada diri Rasulullah saw. baik ucapannya maupun perbuatannya. Bagaimanapun ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. adalah hasil didikan Allah swt.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu dari kepada mereka apa-apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (ThaaHaa: 131)

Selama hidupnya, sebelum dan sesudah hijrah, dalam keadaan senang maupun susah, Rasulullah saw. senantiasa bersikap zuhud terhadap segala kenikmatan dunia, mengejar kepentingan akhirat dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sikap ini kemudian ditiru oleh para shahabat ra. Mereka kemudian menjadi orang-orang yang patut menjadi teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang yang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” lalu Ibnu Umar menunjukkan Kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya berkata, “Mereka yang kamu tanyakan?”

Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata kepada teman-temannya, “Shalat, puasa dan jihad kalian, lebih banyak dari yang dilakukan oleh para shahabat ra. Akan tetapi kebaikan mereka lebih banyak daripada kalian.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa terjadi?” Ia menjawab, “Mereka lebih zuhud dari pada kalian. Mereka mendapatkan banyak harta dunia, akan tetapi harta itu mereka belanjakan untuk perjuangan Islam.”

Abu Sulaiman pernah berkata, “Utsman ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. adalah gudang harta. Keduanya membelanjakan harta itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Semua tingkah lakunya dilakukan sepenuh hati dan didasari pengetahuan yang luas.”

9. Zuhud yang tidak benar.

Zuhud yang benar adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun zuhud yang tidak benar adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau merasakannya sedikitpun. Zuhud dengan pengertian seperti ini dianut oleh sebagian umat Islam pada masa pemerintahan Abasiyah mulai melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Hidup mereka adalah hanya menggantungkan dari shadaqah orang lain. Dengan kondisi seperti ini, mereka mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang zuhud. Padahal Islam sama sekali tidak menghendaki perilaku hina yang membawa kehancuran tersebut.

Umat Islam dewasa ini telah bisa menjauhi pemikiran seperti ini, mereka berusaha dan berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dunia yang halal. Bahkan ada kekhawatiran, berkibat lupa akan akhirat. Karenanya kita harus selalu berusaha mencari sarana yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, dan membawa kita kepada sikap zuhud, agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia.

&

Hadits Arba’in ke 38: Wali Allah dan Sarana-Sarana untuk Mendekatkan Diri kepada Allah

25 Feb

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.Musthafa Dieb al-Bugha

Hadits Arbain nomor 38 (tiga puluh delapan)Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangan yang dia gunakan untuk menggenggam dan manjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Ku-beri, dan jika memohon perlindungan-Ku pasti Kulindungi.” (HR Bukhari)

URGENSI HADITS

Allah swt. memberikan mahabbah dan penjagaan terhadap para wali-Nya. Wujud dari penjagaan itu adalah kemarahan Allah bila seseorang berusaha mencelakakan mereka. hadits ini menjelaskan siapa wali Allah dan kekasih-Nya di dunia maupun di akhirat. Karena itu, ada yang berpendapat bahwa hadits ini adalah hadits yang paling mulia, yang berbicara tentang para wali.

Imam asy-Syaukani berkata, “Hadits ini mengandung banyak faedah berharga, bagi orang yang betul-betul memahami dan mentadabburinya dengan benar.”

Ath-Thukhi berkata, “Hadits ini adalah pijakan menuju Allah, mengenal dan mencitai Allah. Juga merupakan jalan untuk merealisasikan berbagai kewajiban yang sifatnya batin [iman] dan kewajiban yang sifatnya dhahir [Islam] dan gabungan antara keduanya [ihsan]. Sedangkan Ihsan mencakup karakteristik orang-orang yang berusaha menuju Allah swt. Karakteristik tersebut di antaranya: zuhud, ikhlas, muraqabah dan lain sebagainya.

KANDUNGAN HADITS

1. Wali-wali Allah.
Wali Allah adalah orang yang melakukan ketaatan kepada Allah. Dalam al-Qur’an, mereka ini dicirikan dengan dua sifat: iman dan takwa. Firman Allah:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati. [yaitu] orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 62-63)

Rukun yang pertama kali harus dipenuhi untuk mendapatkan kewalian adalah keimanan kepada Allah. Sedangkan rukun kedua adalah ketakwaan. Dengan demikian, hal ini akan membuka peluang yang sangat luas bagi orang-orang untuk menjadi wali, sehingga akan mendapat ketenangan. Dari sini, mereka bisa meningkat lagi pada derajat yang lebih tinggi, yaitu orang-orang yang berada dalam baris terdepan dalam melaksanakan setiap kebaikan. Derajat umat Islam tersebut dalam al-Qur’an dikelompokkan menjadi tiga golongan:

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.” (Fathir: 32)

Golongan pertama, orang yang mendhalimi diri sendiri adalah ummat Islam yang masih bergelimang dalam kubangan dosa. Golongan kedua pertengahan, adalah mereka-mereka yang menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan. Mereka inilah wali-wali Allah. Namun demikian mereka ini kewaliannya masih berada pada tangga terendah. Sedangkan golongan ketiga, yang senantiasa dalam baris depan dalam melaksanakan kebaikan adalah mereka yang tidak terbatas melakukan kewajiban, akan tetapi berlomba-lomba melakukan perbuatan sunnah. Tidak terbatas menjauhi perkara-perkara haram, namun juga berlomba untuk menjauhi perkara-perakara yang makruh. Mereka inilah yang menempati tangga puncak dalam tangga kewalian.

Wali-wali Allah yang paling mulia adalah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia-manusia yang terjaga dari setiap dosa, dan didukung oleh mukjizat Allah swt.
Menempati urutan kedua adalah para shahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang telah merefleksikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw.
Berikutnya adalah orang-orang yang hidup setelah mereka hingga hari ini. Yang perlu diingat, bahwasannya kewalian tidak akan terealisasi dalam diri siapapun kecuali orang tersebut memiliki keimanan dan ketakwaan, mengikuti dan meneladani Rasulullah saw. dalam setiap ucapan, sikap dan perbuatannya.

Kesalahan paling fatal yang terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini, adalah anggapan yang menyatakan bahwa kewalian hanyalah dimiliki orang-orang tertentu dan jumlahnya sedikit. Yang lebih celaka lagi, jika derajat kewalian tersebut diberikan kepada orang-orang yang tidak diketahui keimanan dan ketakwaannya, bahkan lebih pantas disebut sebagai walis setan, karena sikap dan perilakunya yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sama sekali.

2. Memusuhi wali Allah ??
Siapapun yang menyakiti seorang mukmin, baik jiwa, harta maupun kehormatannya, maka Allah menyatakan perang kepada orang tersebut. Ketika Allah menyatakan perang kepada seseorang, berarti Allah pasti menghancurkannya. Kadang Allah menunda adzab-Nya, bukan berarti melupakan kesalahan orang tersebut. Kadang Allah membiarkan orang dhalim berbuat aniaya di bumi untuk beberapa saat. Setelah itu Allah menimpakan kepadanya adzab yang sangat pedih.

Orang yang memusuhi wali Allah disebut juga telah menyatakan perang kepada Allah. ‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah berfirman, “Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan perang kepada-Ku.” (HR Ahmad)
Abu Umamah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda bahwa Allah swt. berfirman, “Baransiapa yang menghina wali-Ku, berarti ia telah menantang-Ku untuk perang.

3. Amalah yang paling afdlal
Dalam hadits di atas terdapat isyarat yang jelas. “Dan tidaklah hamba-Ku mendekat-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku-cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan.”
Umar ra. berkata, “Amalan yang paling afdlal adalah melakukan apa-apa yang telah diwajibkan Allah, meninggalkan perkara-perkara yang telah diharamkan Allah dengan niat yang ikhlas.”

Umar bin Abdul ‘Aziz berkata, “Ibadah yang paling afdlal adalah melakukan kewajiban dan menjauhi berbagai perkara yang diharamkan. Karena Allah, dalam mewajibkan berbagai perkara kepada hamba-Nya, hanyalah semata-mata agar hamba-Nya mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan keridlaan dan karunia-Nya.

Kewajiban fisik [yang juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah] yang paling utama, adalah shalat. Allah swt. berfirman, “Sujudlah dan dekatlah [dirimu kepada Rabb].” (al-‘Alaq: 19)
Rasulullah saw. bersabda, “Saat hamba paling dekat denga Rabbnya adalah ketika ia sujud.”

Termasuk kewajiban yang dapat mendekatkan diri kepada Allah adalah keadilan pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpin. Baik pemimpin yang sifatnya umum, misalnya penguasa, atau pun pemimpin yang sifatnya khusus, misalnya seorang suami terhadap istri dan anaknya.

Abu Sa’id al-Khudri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hamba yang paling dicintai Allah yang paling dekat tempatnya dengan Allah pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil.” (HR Tirmidzi)

Abdullah bin Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang adil akan berada di sisi Allah, di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, persisi di sebelah kanan ar-Rahman [Allah]. Kedua tangan-Nya adalah kanan. Mereka itu adalah orang-orang yang berbuat adil dalam setiap keputusan hukumnya, terhadap keluarga dan orang-orang yang dipimpinnya.” (HR Muslim)

4. Meninggalkan maksiat adalah bagian dari menunaikan kewajiban.
Allah swt. mewajibkan hamba-Nya untuk meninggalkan maksiat. Allah juga telah menjelaskan bahwa siapapun yang melanggar batasan-batasan-Nya dan melakukan kemaksiatan, maka ia layak mendapatkan siksa yang teramat pedih, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya meninggalkan maksiat juga masuk dalam keumuman ucapan, “Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan.”

Bahkan sebenarnya kewajiban meninggalkan maksiat lebih didahulukan daripada kewajiban untuk melakukan ketaatan. Ini diisyaratkan oleh hadits, “Jika aku perintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah semampu kalian. Sedangkan jika aku larang kalian terhadap sesuatu, maka janganlah kalian mendekatinya.”

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Rajab berkata, “Semua maksiat pada dasarnya adalah memerangi Allah.” Ibnu Rajab lalu mengutip ucapan Ibnu Adam, “Apakah kamu mampu memerangi Allah? Siapapun yang maksiat kepada Allah, maka ia telah memerangi-Nya. Semakin besar dosa dari kemaksiatan, maka semakin besar pula ia memerangi Allah. Karena itu, Allah menamakan orang-orang yang memakan riba dan perampok sebagai orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Karena besarnya kedhaliman kedua perbuatan tersebut bagi ummat manusia.”

5. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah.
Hal ini harus didahului dengan menunaikan semua kewajiban: shalat, puasa, zakat, haji [jika telah mampu], dan kewajiban lainnya. Di samping itu juga menahan diri dari semua perkara yang makruh. Inilah yang layak mendapat mahabbah [kecintaan] Allah swt. Barangsiapa yang dicintai Allah swt. maka Allah akan memberikan karunia untuk selalu mentaati-Nya, senantiasa menyibukkan diri dengan dzikir dan beribadah kepada-Nya. dengan demikian, ia layak dekat dengan Allah swt. Orang-orang seperti inilah yang disinyalir dalam sebuah ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (al-Maaidah: 54)

Amalan sunnah yang paling besar, untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah banyak membaca al-Qur’an, mendengar, mentadabburi dan memahaminya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Umamah ra. Karena bagi orang yang mencintai tidak ada sesuatu yang paling indah selain ucapan orang yang dicintainya. Karenanya Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa yang mencintai al-Qur’an, maka ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Termasuk amalan sunnah yang besar adalah banyak berdzikir. Allah swt. berfirman: “Karena itu, ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat [pula] kepadamu.” (al-Baqarah: 152)

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah swt. berfirman, “Aku sejalan dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam kesendiriannya, maka Aku mengingatnya dalam kesendirian-Ku. Jika ia mengingat-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatnya di depan umum yang lebih baik dari mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

6. Dampak kecintaan Allah terhadap para walinya.
Hal ini tergambar dalam hadits di atas, “Ketika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangan yang dia gunakan untuk menggenggam dan manjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Hatinya yang ia pergunakan untuk berfikir, dan lisannya yang ia pergunakan untuk berbicara.”

Ibnu Rajab berkata, “Maksudnya, barangsiapa yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amalan wajib, lalu dengan amalan sunnah, maka ia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian naik lebih tinggi dari derajat keimanan ke darajat ihsan. Sehingga ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia telah melihat-Nya. Hatinya dipenuhi ma’rifat, kecintaan, pengagungan, rasa takut, dan rindu kepada Allah. Sehingga apa yang ada di dalam hatinya seolah terlihat dengan jelas.”

Ketika hati telah dipenuhi oleh kebesaran Allah, maka apapun selain Allah akan tersingkir dari hati itu. Bahkan hawa nafsunya pun lenyap dan tidak ada sedikitpun keingingan, kecuali apa-apa yang diinginkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti inilah, seseorang tidak akan terucap kecuali dalam rangka dzikir kepada Allah, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia berbicara, maka berbicara karena Allah. Jika ia mendengar maka mendengar karena Allah. Jika ia melihat maka ia melihat karena Allah, jika ia memegang sesuatu maka hanya karena Allah. Inilah yang dimaksud oleh hadits di atas.

Dengan demikian, siapapun yang mengiterpretasikan pada selain hal di atas, misalnya manunggaling kawulo gusti (hamba dan Tuhan jadi satu jasad), maka Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari semua itu.

Imam Syaukani berpendapat bahwa yang dimaksud oleh hadits di atas adalah bahwa Allah akan memberikan cahanya-Nya kepada setiap badan yang disebut dalam hadits. Dengan cahaya itulah anggota badan tersebut akan berjalan menelusuri jalan hidayah dan menjauhi jalan kesesesatan. Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi (an-Nuur: 35)

Dalam hadits shahih juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, pada mataku, pada pendengaranku…”

7. Doa wali pasti dikabulkan.
Termasuk karunia Allah terhadap para walinya adalah apabila wali tersebut meminta sesuatu, maka Allah akan memberinya. Jika meminta perlindungan maka Allah akan memberinya perlindungan. Jika berdoa kepada-Nya maka akan dikabulkan doanya. Karenanya ia menjadi orang yang dikabulkan doanya. Dalam sejarah Islam, tersebutlah nama-nama yang dikenal dengan orang-orang yang doanya dikabulkan, seperti: Barra’ bin Malik, Sa’ad bin Abi Waqash, dan yang lainnya. Namun demikian, di antara mereka yang selalu dikabulkan doanya, mereka lebih memilih bersabar terhadap ujian yang menimpanya. Mereka mengharapkan pahala dari ujian itu, dan tidak berdoa agar dibebaskan dari ujian yang menimpanya.

Bisa jadi ada wali Allah yang meminta sesuatu kepada Allah. Namun, Allah Maha Mengetahui apa yang baik bagi kekasihnya. Lalu permintaan hamba tersebut tidak dikabulkan dan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Jika tidak di dunia maka di akhirat.
Abu Sa’id al-Khudri ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah, yang dalam doa tersebut tidak terdapat unsur dosa atau pun pemutusan tali silaturahim, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari ketiga hal berikut ini: mungkin mengabulkannya dengan segera apa yang diminta dalam doanya, atau akan diberikan di akhirat, atau ia akan dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengan permintaannya.” (HR Ahmad)

8. Keragu-raguan Allah untuk mencabut nyawa seorang Muslim.
Dalam riwayat Imam Bukhari terdapat tambahan,
“Tidaklah Aku ragu-ragu tentang sesuatu yang Aku pasti melakukannya, seperti keraguan-Ku mencabut nyawa hamba-Ku yang Mukmin. Ia membenci kematian, dan Aku membenci menyakitinya.”

Ibnu Shalah berkata, “Yang dimaksud dengan keraguan disini bukanlah keraguan yang kita kenal. Tetapi keraguan tersebut lebih disebabkan karena cintanya yang amat sangat, sehingga seakan tidak mau menyakitinya dengan kematian. Karena kematian adalah sakit yang maha dahsyat di dunia, kecuali bagi orang-orang tertentu. Namun kematian memang harus terjadi, karena telah menjadi ketentuan Allah.”

Dengan tambahan di atas, maka jelaslah bahwa kematian [bagi orang yang dicintai Allah] bukanlah sesuatu yang bertujuan menghinakannnya, tetapi justru mengangkat derajatnya. Karena kematian merupakan jalan untuk berpindah ke tempat yang mulia dan penuh kenikmatan.

9. Tawadlu’
Imam Bukhari menggunakan hadits di atas sebagai dalil tawadlu’. Beliau menempatkan hadits tersebut dalam bab “tawadlu”. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah pada dasarnya adalah karena sikap tawadlu’. Demikian juga, mencintai dan tidak memusuhi wali-wali Allah, juga merupakan sikap tawadlu’ dan kepatuhan kepada Allah.

Iyadh bin Hammar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian semua bersikap tawadlu’, agar tak ada seorang pun merasa lebih mulia dari yang lain.” (HR Muslim)

Selain itu, hadits di atas juga mengisyaratkan beberapa hal:
a. Wali Allah mempunyai kedudukan yang tinggi, karena ia menyerahkan semua urusan dirinya kepada Allah swt.
b. Seseorang yang menyakiti wali Allah, tetapi tidak segera ditimpa musihab, bukan berarti terlepas dari kemarahan Allah. Bisa jadi musibahnya dalam bentuk yang lain. Karena sesungguhnya kesesatan adalah bentuk dari musibah.

&