Tag Archives: Tahun Berdukacita

Tahun Berdukacita (‘Amul Huzni)

19 Feb

DR.Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy; Sirah Nabawiyah; analisis Ilmiah Mahajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw.

Pada tahun ke sepuluh kenabian, istri Nabi Muhammad saw., Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thalib, wafat. Berkata Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya, “Selisih waktu antara kematian Khadijah dan kematian Abu Thalib hanya satu bulan lima hari.”

Khadijah ra., sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hisyam, adalah menteri kebenaran untuk Islam. Pada saat-saat Rasulullah saw. menghadapi masalah-masalah berat, beliaulah yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya. Sebagaimana halnya Abu Thalib, dia telah memberikan dukungan kepada Rasulullah saw. dalam menghadapi kaumnya.

Berkata Ibnu Hisyam, “Setelah Abu Thalib meninggal, kaum Quraisy bertambah leluasa melancarkan penyiksaan terhadap Rasulullah saw. sampai orang awa Quraisy pun berani melempar kotoran ke atas kepala beliau sehingga Rasulullah saw. pulang ke rumah dengan berlumuran tanah. Melihat ini, salah seorang putri beliau bangkit membersihkan kotoran dari atas kepalanya sambil menangis. Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Janganlah engkau menangis wahai anakku. Sesungguhnya Allah akan menolong bapakmu.”

Nabi saw. menamakan tahun ini sebagai “Tahun Dukacita” karena begitu berat dan hebatnya penderitaan di jalan dakwah pada tahun ini.

BEBERAPA IBRAH

Perhatikanlah apa sebenarnya hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Abu Thalib sebelum terbentuknya kekuatan dan masih sedikitnya pertahanan kaum Muslimin di Makkah? Padahal seperti telah diketahui, Abu Thalib banyak memberikan pembelaan kepada Rasulullah saw. Demikian pula, apa hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat wafatnya Khadijah ra., padahal Rasulullah saw. masih memerlukan orang yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya atau meringankan beban-beban penderitaannya?

Di sini tampak suatu fenomena penting yang berkaitan dengan prinsip aqidah Islam.
Seandainya Abu Thalib berusia panjang dan membela Rasulullah saw. sampai tegaknya negara Islam di Madinah dan selama itu Rasulullah saw. dapat terhindar dari gangguan kaum musyrik, niscaya akan timbul kesan bahwa Abu Thalib adalah tokoh utama yang berada di balik layar dakwah ini. Dialah yang dengan pengaruh dan kedudukannya, seolah-olah memperjuangkan dan melindungi dakwah Islam kendatipun tidak menampakkan keimanan dan ketertarikannya kepada dakwah. Tentu akan muncul analisis yang panjang lebar yang menjelaskan “nasib baik” yang diperoleh Rasulullah saw. pada saat melaksanakan dakwahnya lantaran pembelaan pamannya, sementara “nasib baik” ini tidak diperoleh kaum Muslimin yang ada di sekitarnya. Seolah-olah, ketika semua orang disiksa dan dianiaya, hanya beliaulah yang terbebas dan terhindar.

Sudah menjadi ketentuan Ilahi bahwa Rasulullah saw. harus kehilangan orang yang secara lahiriyah melindungi dan mendampinginya, Abu Thalib dan Khadijah. Ini antara lain untuk menampakkan dua hakekat penting:

1. Pertama, sesungguhnya perlindungan, pertolongan dan kemenangan itu hanya datang dari Allah. Allah telah berjanji untuk melindungi Rasul-Nya dari kaum musyrik dan musuh-musuhnya. Karena itu, dengan atau tanpa pembelaan manusia, Rasulullah saw. tetap akan dijaga dan dilindungi oleh Allah dan bahwa dakwahnya pada akhirnya akan mencapai kemenangan.

2. Kedua, ‘ishmah (perlindungan dan penjagaan) di sini tidak berarti bahwa terhindar dari gangguan, penyiksaan, atau penindasan, tetapi arti ‘ishmah (perlindungan) yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya: “Allah melindungi dari (gangguan) manusia.” (al-Maaidah: 67)
perlindungan itu berupa perlindungan dari pembunuhan atau dari segala bentuk rintangan dan perlawanan yang dapat menghentikan dakwah Islam. Ketetapan Ilahi bahwa para Nabi dan Rasul-Nya harus merasakan aneka ragam gangguan dan penyiksaan, tidak bertentangan dengan prinsip ‘ishmah yang dijanjikan Allah kepada mereka. karena itu setelah ayat:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu),” (al-Hijr: 94-95)

Allah berfirman kepada Rasulullah saw.:

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (al-Hijr: 97-99)

Adalah termasuk sunnatullah dan hikmah ilahiyah yang sangat besar artinya bahwa Rasulullah saw. harus mengalami dan menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah. Dengan demikian, para da’i pada setiap zaman akan menganggap ringan segala bentuk cobaan berat yang ditemui di jalan dakwah.

Seandainya Nabi saw. berhasil dalam dakwahnya tanpa penderitaan atau perjuangan berat, niscaya para shahabatnya dan kaum Muslimin sesudahnya ingin berdakwah dengan “Santai”, sebagaimana dilakukan beliau, dan merasa berat menghadapi penderitaan dan ujian yang mereka temui di jalan dakwah.

Akan tetapi, dengan melihat penderitaan yang dialami Rasulullah saw., akan terasa ringanlah segala beban penderitaan yang harus dihadapi oleh kaum Muslimin di jalan dakwah. Dengan demikian, mereka sedang merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Rasulullah saw. dalam berjalan di jalan yang pernah dilewati oleh beliau.

Betapapun penghinaan dan penyiksaan kepada mereka, hal itu tak pernah melemahkan semangat perjuangannya. Bukankah Rasulullah saw. sendiri, sebagai kekasih Allah, pernah dianiaya dan dilempari kotoran pada kepalanya sehingga terpaksa harus pulang dengan kepala kotor. Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan dan penyiksaan yang pernah ditemui Rasulullah saw. ketika berhijrah ke Tha’if.

Hal lain yang berkaitan dengan bagian shirah Rasulullah saw. ialah munculnya anggapan dari sebagian pihak bahwa Rasulullah saw. menamakan tahun ini sebagai “Tahun Dukacita” semata-mata karena kehilangan pamannya, Abu Thalib, dan istrinya, Khadijah binti Khuwailid. Dengan dalih ini, mungkin mereka lalu mengadakan acara berkabung atas kematian seseorang selama beberapa hari memasang bendera tanda berkabung dan sebagainya.

Sebenarnya pemahaman dan penilaian ini keliru sebab Nabi saw. tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istri beliau. Rasulullah juga tidak menyebut tahun ini dengan “Tahun Dukacita” semata-mata karena kehilangan sebagian keluarganya, tetapi karena bayangan akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini. Sebagaimana kita ketahui, pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah saw. banyak memberikan peluang dan jalan untuk menyampaikan dakwah dan bimbingan. Rasulullah saw. sendiri telah melihat sebagian keberhasilannya dalam membantu melaksanakan tugas dakwahnya.

Akan tetapi, setelah kematian Abu Thalib, peluang-peluang itu menjadi tertutup. Setiap kali mencoba untuk menerobosnya, selalu saja mendapatkan rintangan dan permusuhan. Kemana saja beliau pergi, jalan selalu tertutup baginya. Tak seorang pun yang mendengarkan dan meyakini dakwahnya, bahkan semua orang mencemooh dan memusuhinya sehingga hal ini menimbulkan rasa sedih yang mendalam di hati Rasulullah saw. karena itulah kemudian tahun ini dinamakan “Tahun Dukacita”.

Kesedihan karena keberpalingan manusia dari kebenaran yang dibawanya ini telah sedemikian rupa mempengaruhi diri beliau sehingga untuk mengurangi kesedihan ini, Allah menurunkan beberapa ayat yang menghibur dan mengingatkannya bahwa ia hanya dibebani tugas untuk menyampaikan, tidak perlu menyesali diri sedemikian rupa jika mereka tidak mau beriman dan menyambut seruan.
Perhatian arti ayat berikut:

“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. dan Sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita Rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa Amat berat bagimu, Maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk sebab itu janganlah sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang jahil.” (al-An’am: 33-35)

&