Kajian Fiqih Empat Imam madzab
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi
Ta’zir disyariatkan untuk setiap kemaksiatan yang tidak dikenai had dan tidak pula kafarah. Hukum ini tidak diperselisihkan lagi di antara para imam madzhab.
Apakah ta’zir itu suatu perkara yang wajib ataukah tidak? Syafi’i berkata: tidak diwajibkan hanya disyariatkan. Hanafi dan Maliki mengatakan: apabila menurut dugaan kuat seseorang yang dita’zir bisa menjadi baik maka ia wajib di-ta’zir. Sedangkan jika menurut dugaan bahwa orang yang bermaksiat itu dapat diperbaiki dengan cara lain maka tidak wajib ta’zir.
Hambali berkata: apabila seseorang pantas dikenai ta’zir karena telah melakukan kemaksiatan maka hukumnya wajib. Apabila hakim melakukan ta’zir terhadap seseorang lalu orang tersebut mati karena ta’zir itu, maka hakim tidak dibebani membayar pertanggungan. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Sedangkan Hanafi dan Syafi’i mengatakan: dikenai pertanggungan.
Apakah dibolehkan ta’zir melebihi batas had yang paling tinggi? Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: tidak boleh. Maliki berkata: hal demikian terserah pada pertimbangan hakim. Jika pertimbangannya menghendaki lebih, hendaknya dilakukan.
Apakah hukuman ta’zir berbeda-beda menurut perbedaan sebab perbuatannya? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: ta’zir yang paling tinggi adalah sejumlah had yang paling rendah. Adapun serendah-rendah ta’zir, menurut pendapat Hanafi adalah 40 kali jika penyebabnya adalah meminum khamr. Sedangkan menurut Syafi’i dan Hambali: serendah-rendahnya adalah 20 kali.
Setinggi-tingginya hukuman ta’zir menurut Hanafi adalah 39 kali. Menurut Syafi’i dan Hambali adalah 19 kali. Sedangkan Maliki berkata: hakim boleh melakukan ta’zir sebanyak yang menjadi pertimbangannya.
Hambali berkata: ta’zir itu berbeda-beda menurut perbedaan sebabnya. Apabila penyebabnya berupa persetubuhan yang syubhat pada kemaluan perempuan, atau menyetubuhi tidak pada kemaluannya, maka boleh dikenai ta’zir lebih dari hukuman minimal had, tetapi tidak boleh melebihi batas maksimalnya, yaitu dipukul 99 kali. Sedangkan jika perbuatannya bukan soal kemaluan, seperti mencium orang lain, memaki, atau mencuri kurang dar isatu nisab, maka ta’zirnya tidak boleh melebihi batas minimal had.
Apakah orang yang sakit dijatuhi had, apakah boleh ditunda hukuman ta’zirnya? Hanafi berkata: apabila had itu berupa rajam maka tidak boleh ditunda, kecuali seorang wanita yang sedang hamil. Sedangkan jika berupa cambuk maka boleh ditunda jika memang diharapkan kesembuhannya.
Maliki dan Hambali mengatkan: apabila had disebabkan pembunuhan maka tidak boleh ditunda, kecuali perempuan yang sedang hamil hingga telah melahirkan. Sedangkan jika berupa jilid [cambukan dengan kulit], jika diharapkan kesembuhannya maka boleh ditunda. Jika tidak dapat diharapkan kesembuhannya maka tidak boleh ditunda. Hambali berkata: tidak boleh ditunda secara mutlak.
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sifat pelaksanaan had terhadap orang sakit. Hanafi, Syafi’i dan Hambali mengatakan: orang sakit itu dipukul sebanyak yang dikenainya. Tetapi jika dikhawatirkan akan meninggal, hendaknya dipukul dengan ujung kain atau dengan sesuatu yang diperkirakan tidak mematikan. Demikian juga terhadap orang yang lemah.
Maliki berkata: tidak boleh diperlakukan had kecuali dengan cambukan. Pencambukan itu tidak harus terus-menerus, dan harus dipukul sebanyak yang diperlukan. Tidak boleh kurang. Sedangkan jika orang yang dikenai had tersebut merasa sakit maka ditunggulah sampai sembuh.
Apakah orang yang dikenai ta’zir harus dalam keadaan berdiri ataukah duduk? Maliki berkata: di-ta’zir dalam keadaan duduk. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: dalam keadaan berdiri. Dari Hambali dalam masalah ini diperoleh dua riwayat.
Apakah melepaskan bajunya? Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dilepas jika hadnya berupa had qadzaf. Sedangkan dalam had lainnya harus dilepas bajunya. Maliki berkata: dalam semua had bajunya harus dilepas. Sedangkan Hambali berkata: untuk semua jenis had tidak dilepas bajunya.
Para imam madzab berbeda pendapat tentang memukul pada anggota badan. Hanafi dan Hambali mengatakan: seluruh anggota badan boleh dipukul, kecuali muka, kemaluan dan kepala. Syafi’i berkata: yang tidak boleh dipukul adalah muka, kemaluan, pinggang dan bagian-bagian yang dikhawatirkan akan menyebabkan kematian. Maliki berkata: yang dipukul adalah pinggang dan sisi-sisinya.
Orang laki-laki yang dikenai hukuman rajam boleh digalikan tanah untuknya. Sedangkan orang perempuan bole digalikan untuknya jika ia terbukti berzina. Sedangkan jika ia hanya mengaku saja maka tidak boleh. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berkata: dalam hal ini hakim boleh memilihnya.
Syafi’i berkata: orang laki-laki yang dirajam boleh digalikan lubang dan boleh juga tidak. Sedangkan jika yang dirajam itu perempuan hendaklah digalikan lubang dan dibenamkan sebagian badannya ke dalam lubang tersebut.
Apakah boleh berbeda pukulan dalam had? Hanafi berkata: pukulan yang paling keras adalah ta’zir, lalu zina, minum khamar, kemudian qadzaf.
Maliki berkata: pukulan dalam semua had adalah sama saja. hambali berkata: pukulan dalam had zina harus lebih keras daripada pukulan dalam had qadzaf, dan dalam had qadzaf harus lebih keras daripada pukulan pada peminum khamar. &