Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nuur (Cahaya)
Surah Madaniyyah; surah ke 24:64 ayat
“32. dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. 33. dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. 34. dan Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (an-Nuur: 32-34)
Firman Allah: wa ankihul ayaamaa minkum (“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu”) ini merupakan perintah untuk menikah. Sebagian ulama berpendapat, nikah wajib hukumnya atas setiap orang yang mampu. Mereka berdalil dengan dhahir hadits: “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang memiliki kemampuan, hendaklah ia segera menikah. Karena menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena ibadah shaum merupakan salah satu peredam nafsu syahwat baginya.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ud ra. Dalam kitab sunan disebutkan dari beberapa jalur bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Nikahilah wanita yang subur, berusahalah mendapatkan keturunan. Sebab aku berbangga dengan jumlahmu yang banyak.”
Dalam riwayat lain ditambahkan: “Hingga [aku juga berbangga] dengan jumlah janin [Muslim] yang gugur.”
Kata “al-ayaamu” adalah bentuk jamak dari kata “ayyamun” artinya wanita yang tidak mempunyai suami lelaki yang tidak mempunyai istri, sama halnya ia sudah menikah kemudian bercerai atau memang belum menikah sama sekali. Demikian disebutkan oleh al-Jauhari dari para pakar bahasa. Dalam bahasa Arab disebut lelaki ayyim dan wanita ayyim.
Firman Allah: iy yakuunuu fuqaraa-a yughniHimullaaHu min fadl-liHi (“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”) dan ayat seterusnya. ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Allah mendorong mereka untuk menikah dan memerintahkan orang-orang merdeka maupun budak untuk melaksanakannya serta menjanjikan kekayaan bagi mereka. Allah berfirman: iy yakuunuu fuqaraa-a yughniHimullaaHu min fadl-liHi (“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya”)
Firman Allah: wal yasta’fifil ladziina laa yajiduuna nikaahan hattaa yughniyaHumullaaHu min fadl-liHi (“Dan orang-orang yang tidak mampu nikah hendaklah menjaga kesucian [diri]nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”) ini merupakan perintah Allah kepada siapa saja yang mampu menikah untuk menjaga kesucian dirinya dari perkara-perkara haram.
Firman Allah: wal ladziina yabtaghuunal kitaaba mimmaa malakat aimaanukum fa kaatibuuHum in ‘alimtum fiiHim khairan (“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.”) ini merupakan perintah dari Allah kepada para tuan apabila budak-budak mereka meminta mukaatabah (menebus dirinya dengan cicilan) agar memenuhinya dengan syarat si budak memiliki jalan dan usaha untuk menebus dirinya dari tuannya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa perintah di sini maksudnya adalah bimbingan dan anjuran, bukan keharusan dan kewajiban. Si tuan memiliki hak pilih apabila budaknya meminta mukaatabah, ia boleh memenuhinya dan ia boleh juga menolaknya. Sebagian ulama berpendapat, wajib hukumnya atas si tuan apabila budaknya meminta mukaatabah untuk memenuhinya berdasarkan dhahir perintah tersebut.
Firman Allah: fa kaatibuuHum in ‘alimtum fiiHim khairan (“Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”) sebagian ulama mengatakan, maksudnya yaitu sifat amanah.
Abu Dawud meriwayatkan dalam Maraasil-nya, dari Yahya bin Abi Katsir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda tentang firman Allah: fa kaatibuuHum in ‘alimtum fiiHim khairan (“Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”) yakni jika kalian tahu ia memiliki usaha dan janganlah engkau lepaskan begitu saja budakmu hingga ia bergantung kepada orang lain.”
Firman Allah: wa aatuHum mim maalillaaHil ladzii aataakum (“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.”) yaitu sebagian dari apa yang Allah wajibkan atasmu dari harta zakat. ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. berkata, “Allah memerintahkan kaum Mukminin agar membantu budak yang ingin memerdekakan dirinya.”
Firman Allah: wa laa tukriHuu fatayaatikum ‘alal bighaa-i (“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.”) dahulu kaum jahiliyyah apabila mereka memiliki budak-budak wanita, mereka mengirimkannya untuk berzina dan mengharuskan budak-budak itu menyerahkan sertoran yang mereka ambil setiap waktu. Ketika Islam datang, Allah melarang kaum Mukminin dari hal itu. Sebab turunnya ayat yang mulia ini seperti yang disebutkan oleh sejumlah ahli tafsir dari kalangan salaf dan khalaf berkenaan dengan ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, ia memiliki budak wanita yang ia paksa untuk melacur karena mengharapkan setoran darinya, karena menginginkan anak-anak mereka dan karena kekuasaannya, demikian anggapannya.
Firman Allah: wa laa tukriHuu fatayaatikum ‘alal bighaa-i (“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran.”) yaitu zina. Firman Allah: in aradna tahassunaa (“Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian.”) ini dilihat dari kebiasaan yang umum terjadi, tidak bisa diambil makna implisit dari firman Allah tersebut.
Firman Allah: latabghuu ‘aradlal hayaatid dun-yaa (“Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”) yakni mengharapkan setoran mereka, bayaran mereka dan anak-anak mereka. rasulullah saw. telah melarang mengambil uang hasil upah membekam, bayaran pelacur dan bayaran dukun.” (Rasulullah saw. melarang mengambil uang hasil penjualan anjing, bayaran pelacuran dan upah dukun).
Dalam riwayat lain disebutkan: “Uang hasil melacur itu haram, uang hasil membekam itu haram dan uang hasil penjualan anjing juga haram.”
Firman Allah: wa may yukriH Hunna fa innallaaHa mim ba’di ikraaHiHinna ghafuurur rahiim (“Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang [kepada mereka] sesudah mereka dipaksa [itu]].”) yakni memberi ampun kepada mereka. Ibnu Abi Thalhah meriwayatkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas ra: “Jika kalian melakukannya [pelacuran karena dipaksa oleh tuannya], maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang kepada mereka dan dosa mereka ditimpakan kepada orang-orang yang memaksa mereka.” demikian yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’ al-Khurasani, al-A’Masy dan Qatadah.
Dalam sebuah hadits marfu’, dari Rasulullah saw. beliau bersabda: “Sesungguhnya Alllah telah mengangkat [memaafkan] dari umatku kekeliruan, lupa dan perbuatan yang dilakukan karena terpaksa.”
Firman Allah: wa laqad anzalnaa ilaikum aayaatim mubayyinaat (“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang memberikan penerangan,” ) yakni, al-Qur’an berisi ayat-ayat yang jelas dan memberi penerangan.
Firman Allah: wa matsalam minal ladziina khalau min qabliHim (“Dan contoh-contoh dari orang-orang terdahulu sebelumnya.”) yakni kabar-kabar dari umat terdahulu dan adzab yang menimpa mereka karena menyelisihi perintah-perintah Allah, seperti yang disebutkan dalam ayat lain:
Fa ja’alnaaHum salafaw wa matsalal lil aakhiriin (“Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.”) (az-Zukhruf: 56). Sebagai peringatan agar kalian tidak melakukan perbuatan dosa dan perbuatan haram.
Firman Allah: wa mau’idhatal lil muttaqiin (“Dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”) yakni bagi orang-orang yang bertakwa dan takut kepada Allah. Dalam menyebutkan sifat-sifat al-Qur’an, ‘Ali bin Abi Thalib ra. berkata: “Di dalamnya terdapat hukum di antara kalian, kabar umat-umat sebelum kalian dan memisahkan antara haq dan bathil dan sekali-sekali bukanlah senda gurau. Barangsiapa yang meninggalkannya karena takabbur, maka Allah akan menghancurkannya, barangsiapa mencari petunjuk pada selainnya, maka Allah akan menyesatkannya.”
&