Tag Archives: wanita

Haram Perempuan Pergi Sendirian

1 Mei

Riyadhush shalihin, Imam Nawawi,
Akhlak dan Tuntunan Kaum Muslimin

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak halal-yakni haram-bagi seseorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari penghabisan, kalau ia bepergian sejauh jarak sehari semalam, melainkan wajib disertai orang yang menjadi mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia men-dengar Nabi s.a.w. bersabda:
“Janganlah seseorang lelaki itu menyendiri dengan seseorang wanita, melainkan wanita itu wajiblah disertai oleh orang yang menjadi mahramnya, juga janganlah seseorang wanita itu pergi, melainkan ia wajiblah disertai orang yang menjadi mahramnya.”
Ada seorang lelaki berkata: “Sesungguhnya isteri saya hendak keluar untuk beribadat haji, sedang saya telah dicatat diriku untuk mengikuti peperangan ini dan ini?” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Pergilah berhaji dengan isterimu.” (Muttafaq ‘alaih)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 15-16

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 15-16“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (QS. An-Nisaa’: 15) Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Mabapenyayang.” (QS. An-Nisaa’: 16)

Dahulu, hukum di masa permulaan Islam, jika seorang wanita telah diputuskan berzina dengan saksi yang adil, maka ia harus ditahan di rumah, serta tidak dibolehkan ke luar hingga mati. Untuk itu Allah swt. berfirman: wal laatii ya’tiinal faahisyatan (“Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji.”) Yaitu zina, min nisaa-ikum fasy-tasyHiduu ‘alaiHinna arba’atam minkum fa in syaHiduu fa amsikuuHunna fil buyuuti hattaa yatawaffaa Hunnal mautu au yaj’alallaaHu laHunna sabiilan (“Hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu [yang menyaksikannya]. Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka [wanita-wanita itu] dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.”) Jalan lain yang diberikan oleh Allah itu adalah ayat yang menasakhnya.

Ibnu `Abbas ra. berkata: “Dahulu, hukumnya demikian hingga Allah turunkan surat an-Nuur yang menghapusnya dengan hukuman jild (cambuk) dan rajam”. Hal tersebut merupakan perkara yang disepakati.

Imam Ahmad meriwayatkan dari `Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Apabila wahyu turun kepada Rasulullah saw., hal itu sangat tampak dan berbekas pada beliau, terasa berat oleh beliau hal itu dan berubah wajahnya. Lalu pada suatu hari Allah swt. menurunkan (sebuah ayat) kepadanya, di saat telah hilang kesusahan beliau, maka beliau bersabda: “Ambillah oleh kalian dariku. Allah telah menjadikan jalan keluar bagi mereka. Duda dengan janda serta perjaka dengan perawan. Duda atau janda adalah hukum jild (cambuk) 100 kali dan di rajam (dilempari) dengan batu. Sedangkan perjaka atau perawan adalah hukum jild 100 kali dan diasingkan selama satu tahun”. (HR. Muslim dan Ash-haabus Sunan dari riwayat `Ubadah bin ash-Shamit dari Nabi saw. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat [yaitu pada] penggabungan hukuman jild dan rajam bagi duda atau janda yang berzina. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa duda atau janda yang berzina hanya dikenakan hukuman rajam, tanpa jild. Dengan alasan bahwa Nabi saw. merajam Ma’iz, al-Ghamidiyyah dan orang-orang Yahudi, dimana beliau tidak menjilid mereka sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa jild bukan kewajiban, bahkan telah dinasakh. wallaaHu a’lam.

Walladzaani ya’tiyaaniHaa minkum fa adzuuHumaa (“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kalian, maka berikanlah kuhuman kepada keduanya.”) artinya terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji maka berikanlah hukuman kepada keduanya. Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, dan lain lain berkata: “Yakni dengan mencaci, mencela dan memukulnya dengan sandal, demikian hukuman yang berlaku pada mulanya, hingga Allah menasakhnya dengan jild dan rajam.” Ikrimah, Atha’, al-Hasan dan Abdullah bin Katsir berkata: “Ayat ini turun untuk laki-laki dan perempuan yang berzina.”

Ahlus sunan meriwayatkan secara marfu’ dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat seseorang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan obyek pelakunya.”

Firman-Nya: Fa in taaba wa ash-lahaa (“Kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri.”) artinya keduanya menjauhkan diri dan berhenti dari melakukan perbuatan tersebut, memperbaiki dan menghiasi amalnya, fa-a’ridluu ‘anHumaa (“maka biarkanlah mereka”) artinya setelah itu janganlah kalian menghinanya dengan kata-kata keji. Karena orang yang bertobat dari suatu dosa seperti orang yang tidak berdosa. innallaaHa kaana tawwaabar rahiiman (“Sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat dan Mahapenyayang”)

Di dalam ash-Shaihain tercantum: “Apabila budak perempuan salah satu kalian berzina, maka berlakukanlah hukum jild kepadanya dan jangan menghinanya.” Artinya janganlah mencela apa yang dilakukannya setelah mendapatkan hukuman sebagai penghapus bagi [dosa]nya.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 13-14

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 13-14“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisaa’: 13) Danbarangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisaa’: 14)

Berbagai ketentuan dan ukuran ini yang dijadikan Allah untuk ahli waris sesuai dengan kekerabatan mereka kepada mayit dan kebutuhan mereka kepadanya serta rasa kehilangan mereka dengan kepergiannya; merupakan batas-batas yang ditetapkan Allah. Maka janganlah kalian melampaui batas atau melanggarnya.

Untuk itu Allah berfirman: wa may yuthi’illaaHa wa rasuulaHuu (“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.”) Artinya, dalam masalah tersebut. Sehingga ia tidak menambahkan atau mengurangi sebagian ahli waris dengan tipuan atau cara-cara lain. Akan tetapi, ia menetapkannya sesuai dengan hukum, ketentuan dan pembagian dari Allah swt. Yud-khilHu jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru khaalidiina fiiHaa wa dzaalikal fauzul ‘adhiim, wa may ya’shillaaHa wa rasuulaHuu wayata-‘adda huduudaHuu yud-khilHu naaran khaalidan fiiHaa wa laHuu ‘adzaabum muHiin (“Niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yangbesar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”)

Artinya, karena keadaannya tidak menggunakan hukum Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya. Hal ini muncul dari ketidakrelaan terhadap pembagian dan keputuhan Allah, untuk itu dibalaslah ia dengan kehinaan berupa adzab yang amat pedih.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal ahli kebaikan selama tujuhpuluh tahun, tetapi ia berwasiat lalu zhalim dalam wasiatnya, niscaya akan ditutup dengan kejelekan amalnya dan dimasukkan ke dalam Neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar beramal ahli keburukan selama tujuhpuluh tahun, lalu ia adil dalam wasiatnya, maka akan ditutup dengan kebaikan amalnya dan dimasukkan ke dalam Surga.”

Kemudian Abu Hurairah berkata: “Jika kalian mau, bacalah oleh kalian : tilka huduudullaaHi wa may yuthi’illaaHa wa rasuulaHuu Yud-khilHu jannaatin tajrii min tahtiHal anHaaru khaalidiina fiiHaa wa dzaalikal fauzul ‘adhiim, wa may ya’shillaaHa wa rasuulaHuu wayata-‘adda huduudaHuu yud-khilHu naaran khaalidan fiiHaa wa laHuu ‘adzaabum muHiin. (“[Hukum-hukum tersebut] itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang-siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi berkata: “Hasan gharib”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 12

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 12“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahapenyantun. (QS. An-Nisaa’: 12)

Allah berfirman, “Hai laki-laki! kamu berhak memperoleh setengahdari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, apabila mereka wafat tanpa meninggalkan anak. Dan jika mereka meninggalkan anak, maka kamu memperoleh seperempat dari peninggalan mereka setelah dipenuhi wasiat atau utang piutang.”

Dalam pembahasan yang lalu dijelaskan bahwa utang-piutang didahulukan daripada wasiat, setelah itu baru wasiat dan warisan. Hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama. Dan Allah swt. menetapkan bahwa ketetapan (bagian) untuk cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan ketetapan anak kandung. Kemudian Allah berfirman: wa laHunnar rubu’u mimmaa taraktum… (“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…”)(Hingga akhir ayat), baik dalam seperempat atau seperdelapan sama ketetapannya, apakah untuk satu isteri, dua, tiga atau empat isteri, maka mereka bersekutu dalam bagian tersebut. Dan firman-Nya: mim ba’di washiyyatim… (“Sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat.” (Dan seterusnya), pembicaraan masalah ini sudah berlalu.

Sedangkan firman-Nya: wa in kaana rajuluy yuuratsu kalaalatan (“Jika seorang laki-laki mewariskan kalalah.”) Al-Kalalah diambil dari kata al-Iklil (sesuatu yang mengelilingi seluruh bagian kepala. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini adalah, orang yang hanya memiliki ahli waris dari kaum kerabatnya saja, tidak ada dari ahli waris pokok (ayah dan seterusnya) atau ahli waris cabang (anak dan seterusnya). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ditanya tentang al-Kalalah, maka ia menjawab: “Al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak mempunyai orang tua”. Di saat `Umar diangkat (menjadi Khalifah) beliau berkata: “Sesungguhnya aku malu untuk menyelisihi Abu Bakar dalam pendapatnya, al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua.”

Begitulah pendapat yang dikemukakan `Ali dan Ibnu Mas’ud. Telah shahih pula (pendapat ini) bukan hanya dari satu orang ulama, di antaranya Ibnu`Abbas dan Zaid bin Tsabit. Ini pula yang dikemukakan oleh tujuh orang fuqaha, empat Imam madzhab serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya. Bukan hanya satu ulama yang menceritakan telah terjadinya ijma’ dalam masalah tersebut disamping ada pula hadits marfu’ yang menjelaskannya.

Firman Allah: wa laHu akhun au ukhtun (“Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan.”) Artinya, dari pihak ibu (seibu), sebagaimana qira-at sebagian ulama Salaf, di antaranya Sa’ad bin Abi Waqqash. Demikian pula yang ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq yang diriwayatkan oleh Qatadah. Wa likulli waahidim min Humas sudusu fa in kaanuu aktsara min dzaalika faHum syurakaa-u fits-tsulutsu (“Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”)

Saudara seibu berbeda dengan ahli waris lainnya dari beberapa segi:
– Pertama, mereka mendapatkan warisan bersamaan dengan orang yang lebih dekat kepada jenazah, yaitu ibu.
– Kedua, laki-laki dan perempuan dari pihak ibu adalah sama.
– Ketiga, mereka tidak mendapatkan waris kecuali dalam masalah kalalah. Maka, mereka tidak mendapatkan waris jika bersama bapak, kakek, anak atau cucu dari anak laki-laki.
– Keempat, mereka tidak mendapat lebih dari sepertiga sekalipun laki-laki dan perempuannya banyak. Ibnu Abi Hatim mengatakan dari az-Zuhri, ia berkata: “Umar memutuskan bahwa warisan saudara-saudara seibu, bagian laki-lakinya sama dengan dua bagian perempuannya.” Az-Zuhri berkata: “Aku tidak melihat `Umar menetapkannya kecuali setelah ia mengetahui hal tersebut dari Rasulullah dan dari ayat ini yang mana Allah berfirman, “Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah persekutuan, yaitu suami, ibu atau kakek, dua orang saudara seibu lain bapak dan satu atau lebih saudara sekandung. Menurut pendapat Jumhur adalah suami mendapat setengah, ibu atau kakek seperenam, saudara seibu lain bapak mendapat sepertiga serta dipersekutukan bagian saudara sekandung di antara mereka sesuai kadar persekutuan, yaitu sama-sama saudara seibu.

Masalah ini pernah terjadi pada zaman Amirul Mukminin `Umar bin al-Khaththab, lalu beliau memberikan setengah untuk suami, ibu seperenam dan memberikan sepertiga untuk saudara seibu lain bapak. Maka, saudara sekandung bertanya: “Wahai Amirul mukminin, seandainya bapak kami keledai, bukankah kami tetap dari satu ibu?” Kemudian beliaupun mempersekutukan di antara mereka. Persekutuan ini shahih pula dari `Utsman, yaitu merupakan salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, Zaid binTsabit dan Ibnu `Abbas. Serta dikemukakan pula oleh Sa’id bin al-Musayyab, Syuraih al Qadhi, Masruq, Thawus, Muhammad bin Sirin, Ibrahim an-Nakha’i, `Umar bin `Abdul `Aziz, ats-Tsauri dan Syuraik.

Dan inilah madzhab Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ishaq bin Rahawaih. Sedangkan `Ali bin Abi Thalib tidak mempersekutukan bagian mereka, tetapi memberikan sepertiga untuk saudara seibu lain bapak dan tidak memberikan bagian apapun kepada saudara sekandung. Hal itu dikarenakan mereka adalah `ashabah. Waki’ bin al Jarrahberkata: “Tidak ada yang menyelisihinya dalam hal tersebut.” Inilah pendapat Ubay bin Ka’ab dan Abu Musa al-Asy’ari, itulah pendapat yang masyhur dari Ibnu `Abbas. Dan itulah madzhabnya asy-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, al-Hasan bin Ziyad, Zufar bin al-Hudzail, Imam Ahmad, Yahya bin Adam, Nu’aim bin Hammad, Abu Tsaur, Dawudbin `Ali azh-Zhahiri serta dipilih oleh Abul Husain bin al-Lubban al-Fardhi dalam kitabnya “al-iijaaz.”

Dan firman Allah: mim ba’di washiyyatiy yushaa biHaa au dainin ghaira mudlaarran (“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya [jenazah] atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat [kepada ahli waris].”) Artinya hendaklah wasiatnya itu atas dasar keadilan, bukan atas dasar kemudharatan, ketidakadilan dan penyimpangan dengan cara tidak memberikan sebagian ahli waris, menguranginya atau menambahkannya dari yang telah ditetapkan oleh Allah. Barangsiapa yang berupaya demikian, maka dia seperti orang yang menentang Allah dalam hukum dan syari’at-Nya. Karena itu, para Imam berbeda pendapat dalam menetapkan wasiat kepada ahli waris, apakah shahih atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Salah satu pendapat mengatakan tidak sah, karena mengandung unsure kecurigaan.

Di dalam hadits shahih dinyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Inilah madzhab Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan pendapat lama Imam asy-Syafi’i. Sedangkan dalam pendapat baru Imam asy-Syafi’i adalah bahwa penetapan wasiat itu sah. Dan itulah madzhab Thawus, `Atha’, al-Hasan, `Umar bin ‘Abdul `Aziz dan menjadi pilihan Abu ‘Abdillah al-Bukhari di dalam Shahihnya. Beliau berdalil bahwa Rafi’ bin Khadij memberi wasiat agar keretakan yang harus ditutupi tidak terbuka. Kapan pun penetapannya itu shahih dan sesuai kenyataan, maka perbedaan ini dapat dibenarkan. Sedangkan jika hanya dijadikan tipu daya atau alat untuk menambahkan atau mengurangi sebagian ahli waris, maka hal tersebut haram menurut ijma’ ulama dan nash ayat yang mulia ini.

Ghaira mudlaarraw washiyyatam minallaaHi wallaaHu ‘aliimun hakiim (“Dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. [Allah’menetapkan hal itu sebagai] syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahapenyantun.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 11

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 11“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yangditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya memperoleh seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 11)

Ayat yang mulia ini serta ayat-ayat sesudahnya dan ayat penutup surat ini adalah ayat-ayat mengenai ilmu fara-idh (pembagian warisan). Dan ilmu fara-idh tersebut diistimbatkan (diambil sebagai suatu kesimpulan hukum”Ed) dari tiga ayat ini dan hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut sebagai tafsirnya. Sebagian dari apa yang berkaitan dengan tafsir masalah ini akan kami sebutkan. Sedangkan berkenaan dengan keputusan masalah, uraian perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya serta hujjah-hujjah yang dikemukakan oleh para imam, tempatnya adalah dalam kitab-kitab hukum. Hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan.

Sesungguhnya telah datang anjuran mempelajari ilmu fara-idh, dan pembagian-pembagian tertentu ini merupakan hal yang terpenting dalam ilmu itu. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Abdullah bin `Amr secara marfu’: “Ilmu itu ada tiga, sedangkan selainnya adalah keutamaan (pelengkap); Ayat yang muhkam, sunnah yang pasti atau fara-idh yang adil.”
Ibnu `Uyainah berkata: “Fara-idh disebut sebagai setengah ilmu, karena semua manusia diuji olehnya.”

Ketika menafsirkan ayat ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin`Abdillah, ia berkata: “Rasulullah dan Abu Bakar yang sedang berada di Bani Salam menjengukku dengan berjalan kaki. Lalu, beliau menemukanku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Maka beliau meminta air untuk berwudhu dan mencipratkannya kepadaku, hingga aku sadar. Aku bertanya: “Apa yang engkau perintahkan untuk mengelola hartaku ya Rasulullah?” Maka turunlah ayat: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu hadh-dhil untsayain (“Allah mensyariatkan kepadamu tentang [pembagian waris untuk] anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”) Demikianlah yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa’i dan seluruh jama’ah. Wallahu a’lam.

Firman Allah: yuushiikumullaaHu fii aulaadikum lidz-dzakari mitslu hadh-dhil untsayain (“Allah mensyariatkan kepadamu tentang [pembagian waris untuk] anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”) Artinya, Dia memerintahkan kalian untuk berbuat adil kepada mereka. Karena, dahulu orang-orang Jahiliyyah memberikan seluruh harta warisan hanya untuk laki-laki, tidak untuk wanita. Maka, Allah swt. memerintahkan kesamaan di antara mereka dalam asal hukum waris dan membedakan bagian di antara dua jenis tersebut, di mana bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan. Hal itu disebabkan karena laki-laki membutuhkan pemenuhan tanggung jawab nafkah, kebutuhan, serta beban perdagangan, usaha dan resiko tanggung jawab, maka sesuai sekali jika ia diberikan dua kali lipat daripada yang diberikan kepada wanita.

Sebagian pemikir mengambil istimbath dari firman Allah Ta’ala ini, “Allah mensyariatkan bagimu tentang(pembagian waris untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” Bahwa Allah lebih sayang kepada makhluk-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya. Di mana Allah mewasiatkan kepada kedua orang tua tentang anak-anak mereka. Maka dapatlah diketahui bahwa Allah lebih sayang kepada mereka daripada mereka sendiri.

Di dalam hadits shahih dijelaskan bahwa beliau pernah melihat seorang tawanan wanita yang dipisahkan dari anaknya. Maka ia berkeliling mencari-cari anaknya. Tatkala ia menemukannya dari salah seorang tawanan. Ia pun mengambilnya, mendekapnya dan menyusukannya, maka Rasulullah bertanya kepada para Sahabatnya: “Apakah kalian berpendapat bahwa wanita ini tega akan membuang anaknya ke dalam api dan ia pun mampu melakukan hal itu?” Mereka menjawab: “Tidak ya Rasulullah!” Beliau bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya dari pada wanita ini kepada anaknya.”

Dalam masalah ini, al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Dahulu, harta itu untuk anak, sedangkan wasiat untuk kedua orangtua, maka Allah menghapuskan hal tersebut apa yang lebih dicintai-Nya, lalu dijadikan bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan, menjadikan setiap satu dari orang tua 1/6 atau 1/3, untuk isteri 1/8 atau 1/4 dan untuk suami 1/2 atau 1/4.”

Firman-Nya, fa in kunna nisaa-an fauqats-nataini falaHunna tsulutsaa maa taraka (“Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.”) Diperolehnya bagian dua anak perempuan dua pertiga adalah diambil dari hukum bagian dua saudari perempuan dalam ayat terakhir (dua dari surat an-Nisaa’ ini, Ed), karena di dalamnya Allah menetapkan saudari perempuan dengan dua pertiga. Apabila dua orang saudari perempuan mendapatkan dua pertiga, maka memberikan waris dua pertiga kepada anak perempuan jelas lebih utama. Sebagaimana pada penjelasan yang lalu di dalam hadits Jabir bahwa Rasulullah menetapkan dua pertiga untuk dua orang puteri Sa’ad bin Rabi’. Al-Qur’an dan as-Sunnah menunjukkan hal tersebut.

Begitu pula firman Allah: wa in kaanat waahidatan falaHan nisfu (“Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta.”) Seandainya dua orang anak perempuan mendapatkan setengah harta, niscaya akan disebutkan pula dalam nash. (Untuk itu dapat disimpulkan), bilamana bagian seorang anak perempuan disebutkan secara mandiri, maka hal tersebut menunjukkan bahwa 2 anak perempuan sama hukumnya dengan hukum 3 anak perempuan. Wallahu a’am.

Firman Allah: wa li abawaiHi likulli waahidim minHumas sudusu (“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan.”) Dua ibu bapak memiliki beberapa keadaan dalam menerima warisan.

Pertama, keduanya bergabung bersama anak-anak (jenazah), maka masing-masing memperoleh seperenam. Jika jenazah tidak meninggalkan ahliwaris kecuali satu orang anak perempuan, maka bagi anak perempuan adalah setengah dan masing-masing ibu-bapak mendapat seperenam, sedangkan bapak mendapat seperenam `ashabah (sisa) lainnya. Sehingga bapak memiliki bagian tetap dan `ashabah.

Kedua, dua ibu-bapak adalah satu-satunya ahli waris, maka untuk ibu mendapatkan sepertiga, sedangkan bapak mendapatkan bagian sisanya (ashabah murni). Dengan demikian, berarti bapak mengambil dua kali lipat dari ibu, yaitu dua pertiganya. Jika bersama keduanya terdapat suami atau isteri (jenazah), maka suami mendapatkan setengah, sedangkan isteri seperempat. Para ulama berbeda pendapat, apa yang akan didapatkan ibu setelah itu? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat; Salah satunya adalah bahwa ibu mendapatkan sepertiga sisa dalam dua masalah (di atas). Karena harta sisa, seolah-olah seperti seluruh harta warisan, jika dihubungkan pada keduanya. Sesungguhnya Allah swt. telah menetapkan bagi ibu itu setengah dari apa yang diperoleh bapak. Maka ibu memperoleh sepertiga dan bapak mengambil sisanya, yaitu dua pertiga. Inilah pendapat `Umar, `Utsman dan salah satu dari dua riwayat yang paling shahih dari `Ali serta pendapat Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit, yaitu pendapat tujuh orang ahli fiqih, empat Imam madzhab dan Jumhur Mama. Dan itulah pendapat yang shahih.

Ketiga, dua ibu-bapak bergabung bersama beberapa orang saudara laki-laki, baik sekandung, sebapak atau seibu. Mereka memang tidak mendapatkan warisan sedikitpun jika bersama bapak, akan tetapi mereka telah menghalangi ibu memperoleh sepertiga menjadi seperenam. Maka, ibu memperoleh seperenam, jika bersama mereka tidak ada ahli waris lainnya dan bapak mengambil sisa. Sedangkan hukum keberadaan dua orang saudara sama dengan keberadaan beberapa orang saudara menurut Jumhur ulama.

Firman-Nya: mim ba’di washiyyatiy yuushii biHaa au dain (“Pembagian-pembagian tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar utangnya.”) Para ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa utang piutang lebih didahulukan daripada wasiat. Pengertian tersebut dapat difahami dari maksud ayat yang mulia ini bila difikirkan lebih dalam. Wallahu a’am.

Firman-Nya: aabaa-ukum wa abnaa-ukum laa tadruuna ayyuHum aq-rabu laHum naf-‘an (“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”) Artinya, Kami telah tentukan bagian untuk orang tua dan anak-anak kalian serta Kami samakan seluruhnya dalam asal hukum mewarisi, berbeda dengan kebiasaan yang terjadi pada masa Jahiliyyah dan berbeda pula dengan ketentuan yang berlaku pada masa permulaan Islam, di mana harta adalah untuk anak-anak dan wasiat untuk orangtua, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu `Abbas. Sesungguhnya Allah telah menghapus hal tersebut hingga datangnya ayat ini, di mana ketentuan untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhan mereka, karena manusia terkadang memperoleh manfaat dunia, akhirat atau keduanya dari bapaknya apa yang tidak ia peroleh dari anaknya. Dan terkadang sebaliknya.

Untuk itu Allah berfirman: aabaa-ukum wa abnaa-ukum laa tadruuna ayyuHum aq-rabu laHum naf-‘an (“Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.”) Artinya, sesungguhnya manfaat itu dimungkinkan dan diharapkan dari sini (dari anak) sebagaimana juga dimungkinkan dan diharapkan dari pihak lain (bapak). Karena itu, Kami tetapkan (masing-masing bagian untuk) kedua belah pihak serta Kami samakan di antara dua belah pihak itu dalam asal hukum mewarisi. Wallahu a’lam.

Firman-Nya, fariidla-tam minallaaHi (“Ini adalah ketetapan dari Allah.”) Rincian warisan yang telah Kami sebutkan dan pemberian bagian warisan yang lebih banyak kepada sebagiannya adalah suatu ketetapan, hukum dan keputusan Allah. Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana yang meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya serta memberikan kepada setiap orang yang berhak sesuai dengan kadarnya. Untuk itu Allah berfirman: innallaaHa kaana ‘aliiman hakiiman (“Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 7-10

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 7-10“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa’: 7) Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedar-nya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (QS. An-Nisaa’: 8) Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisaa’: 9) Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [Neraka]. (QS. An-Nisaa’: 10)

Sa’id bin Jubair dan Qatadah berkata: “Dahulu, orang-orang musyrik memberikan hartanya hanya kepada laki-laki dewasa serta tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak. Maka Allah swt. menurunkan ayat: lir rijaali nashiibum mimmaa tarakal waalidaani wal aq-rabuun (“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya….”) (dan seterusnya). Artinya, seluruhnya sama di dalam hukum Allah, masing-masing sama dalam hukum asal waris-mewaris, sekalipun mereka berbeda sesuai ketentuan yang dibuat oleh Allah dengan melihat yang lebih dekat kepada mayit dari segi kekerabatan, pernikahan atau kemerdekaan budak, karena hal itu merupakan kekerabatan yang kedudukannya sama dengan kekerabatan dalam nasab. Wallahu a’lam.”

Firman-Nya: wa idzaa ha-dlaral qismata (“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir…[hingga akhir ayat]”). Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah apabila sewaktu pembagian warisan itu hadir para kerabat yang bukan ahli waris, wal yataamaa wal masaakiina (“anak-anak yatim dan orang-orangmiskin,”) maka berikanlah kepada mereka satu bagian dari harta warisan. Dan hal tersebut merupakan kewajiban di awal-awal masa Islam. Satu pendapat mengatakan (hal tersebut) di sunnahkan. Para ulama berbeda pendapat apakah hal tersebut telah dinasakh (dihapus) atau belum? Dalam hal ini ada dua pendapat.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu `Abbas, ia berkata tentang ayat ini: “Ia adalah ayat muhkamaat (hukumnya tetap berlaku) dan tidak dinasakh.” Pendapat ini diikuti oleh Sa’id dari Ibnu `Abbas. Sufyan ats-Tsauri mengatakan dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata tentang ayat ini: “la adalah kewajiban bagi ahli waris sesuai yang mereka sukai dan begitulah yang di-riwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Abu Musa, `Abdurrahman bin Abi Bakar, Abul-Aliyah, asy-Sya’bi dan al-Hasan. Malik berkata dari riwayatnya dalam kitab Tafsir Juz-in majmu’ dari az-Zuhri bahwa ‘Urwah memberikan sebagian harta Mus’ab di saat membagi-bagikan hartanya. Az-Zuhri berkata, “la adalah muhkamaat.” Malik mengatakan dari `Abdul Karim, dari Mujahid, ia berkata: “Ia adalah hak wajib sesuai keikhlasan hatinya.”

Pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dimansukh secara menyeluruh:

Isma’il bin Muslim al-Makki mengatakan dari Qatadah, dari `Ikrimah,dari Ibnu `Abbas, ia berkata, bahwa ayat ini; “wa idzaa ha-dlaral qismata ulul qurbaa” dinasakh oleh ayat sesudahnya: “yuushiikumullaaHu fii aulaadikum”. Malik mengatakan dari az-Zuhri, dari Sa’id bin al-Musayyab, ayat ini dinasakh oleh ayat waris dan wasiat.

Begitulah yang diriwayatkan dari `Ikrimah, Abu asy-Sya’tsa, al-Qasim bin Muhammad, Abu Shalih, Abu Malik, Zaid bin Aslam, adh-Dhahhak, ‘Atha’al-Khurasani, Muqatil bin Hayyan dan Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman yang seluruhnya mengatakan bahwa ayat itu dinasakh. Ini Pula yang menjadi pendapat Jumhur fuqaha, empat Imam dan para pengikut mereka. Al-`Aufi me-ngatakan dari Ibnu `Abbas, “Dan apabila sewaktu pembagian,” yang dimaksud adalah pembagian warisan. Begitulah pendapat banyak ulama.

Seperti itulah makna (ayat) tersebut, bukan sebagaimana makna yang dipiliholeh Ibnu Jarir, bahkan maknanya adalah, apabila orang-orang fakir dari kerabat yang bukan ahli waris, anak-anak yatim dan orang-orang miskin datang menghadiri pembagian harta yang cukup melimpah, lalu mereka pun sangat ingin mendapatkan sebagian harta tersebut, di saat mereka melihat yang ini mengambil dan yang itu mengambil (warisan), sedangkan mereka tidak mempunyai harapan, tidak ada sesuatu pun yang diberikan kepada mereka, maka Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang memerintahkan agar memberikan sebagian kecil dari harta itu kepada mereka dengan sekedarnya, sebagai perbuatan baik, shadaqah dan bermurah hati kepada mereka serta menutup kemungkinan sakit hati mereka. Sebagaimana firman Allah: kuluu min tsamariHi idzaa atsmara wa aatuu haqqaHuu yauma hashaadiHi (“Makanlah dari buahnya [yang bermacam-macam itu] bila ia berbuah, dan tunaikanlah hakknya di hari memetik hasilnya [dengan mengeluarkan zakatnya]”) (al-An’am: 141) dan firman-Nya: wal yakh-syal ladziina lau tarakuu min khalfiHim (“Dan hendaknya takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka.”) (QS. An-Nisaa’: 9)

`Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah memerintahkan orang yang mendengarnya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya pada kebenaran. Maka hendaklah ia berusaha menjaga ahli waris orang tersebut, sebagaimana ia senang melakukannya kepada ahli warisnya sendiri apabila ia takut mereka disia-siakan. Demikianlah pendapat Mujahid dan para ulama lainnya.

Di dalam ash-Shahihain dinyatakan bahwa Rasulullah saat menjenguk Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau ditanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki banyak harta dan tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak puteri. Apakah boleh aku bersedekah dua pertiga hartaku?” Beliau mejawab, “Tidak.” Ia bertanya, “Setengah?” Beliau menjawab, “Tidak.” Dia bertanya lagi, “(Bagaimana) sepertiga?” Beliaupun menjawab, “Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu cukup banyak.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kamu tinggalkan keturunanmu dalam keadaan cukup adalah lebih baik dari pada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam ash-Shahih dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Seandainya manusia mau menguranginya lagi dari 1/3 sampai 1/4 (hal itu boleh), karena Rasulullah bersabda: “Ya, 1/3 dan 1/3 itu cukup banyak.” Para fuqaha berkata: “Jika ahli waris itu kaya, maka dianjurkan bagi mayit (orang yang akan wafat) untuk menyempurnakan 1/3 wasiatnya. Dan jika ahli waris itu miskin, maka dianjurkan untuk menguranginya dari sepertiga.” Satu pendapat mengatakan: “Apa yang dimaksudkan dengan ayat (yang menyatakan) bertakwalah kalian kepada Allah di dalam memelihara harta anak-anak yatim adalah, “Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya). “Dicerita-kan oleh Ibnu Jarir dari jalan al-‘Aufi dari Ibnu `Abbas bahwa hal itu adalahpendapat yang baik.

Untuk itu Allah berfirman: innal ladziina ya’kuluuna amwaalal yataamaa dhulman innamaa ya’kuluuna fii buthuuniHim naaraw wa sayash-launa sa’iiran (“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala [Neraka].”) Artinya, apabila mereka memakan harta-harta anak yatim tanpa alasan, maka berarti ia telah memakan api yang bergolak di dalam perut-perut mereka pada hari Kiamat.

Di dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jauhkanlah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.” Beliau ditanya: “Apakah itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh (jelek) wanita-wanita mukmin yang baik-baik, yang tidak terlintas untuk berbuat keji lagi beriman.”‘ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 5-6

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 5-6“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS.An-Nisaa’: 5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisaa’: 6)

Allah melarang memberikan wewenang kepada orang-orang yang lemah akalnya dalam pengelolaan keuangan yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Artinya, tegaknya kehidupan mereka adalah dengan harta itu berupa perdagangan dan lain-lain. Dari sini diambil hukum penangguhan (pemberian harta) bagi anak-anak. Sedangkan penangguhan itu sendiri memiliki berbagai bentuk. Ada penangguhan untuk anak-anak, karena anak-anak itu tidak dapat dipertanggungjawabkan perkataannya. Ada pula penangguhan bagi orang gila atau orang-orang yang tidak mampu mengelola harta dikarenakan lemah akal atau agamanya. Ada pula penyitaan karena pailit yaitu apabila utang piutang telah melilitnya, sedangkan harta yang dimiliki tidak dapat menutupi pembayarannya. Sehingga, di saat kreditor meminta hakim untuk menyita harta tersebut, niscaya hakim pun melakukan penyitaan.

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu’ Abbas tentang firman Allah: wa laa tu’tus sufaHaa-a amwaalukum (“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta [mereka yang ada dalam kekuasaanmu]”), ia berkata: “Mereka adalah anak-anakmu dan kaum wanita.” Begitu pula yangd ikatakan oleh Ibnu Mas’ud ra.

Firman Allah: war zuquuHum fiiHaa waksuuHum wa quuluu laHum qaulam ma’ruufan (“Berilah mereka belanja dan pakaian [dari basil harta itu] dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”) `Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas, ia berkata: “Jangan jadikan hartamu serta apa yang dianugerahkan Allah untuk kehidupanmu engkau berikan kepada isteri atau puterimu secara bebas, kemudian engkau menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Akan tetapi, tahanlah hartamu itu dan berbuat baiklah dalam (mengelola-nya) serta hendaklah engkau yang memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian, makanan dan rizki (biaya hidup) mereka.” Mujahid berkata (mengenai ayat ini): wa quuluu laHum qaulam ma’ruufan (“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”) Yaitu dalam kebaikan dan silaturrahim. Kandungan ayat yang mulia ini adalah berbuat ihsan kepada keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungan dengan melakukan infaq berupa pakaian dan rizki (biaya hidup), serta dengan kata-kata dan akhlak yang baik.

Firman Allah: wabtalul yataamaa (“Dan ujilah anak yatim itu”) Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, as-Suddi dan Muqatil berkata: “Artinya ujilah mereka.” Hattaa idzaa balaghun nikaaha (“Sampai mereka cukup umur untuk kawin.”) Mujahid berkata: “Artinya: baligh”. Jumhur ulama berkata: “Baligh pada anak laki-laki terkadang dapat ditentukan oleh mimpi, yaitu di saat tidur bermimpi sesuatu yang menyebabkan keluarnya air mani yang memancar, yang darinya akan menjadi anak.”

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan para Sahabat lain bahwa Nabi bersabda: “Diangkat pena (yaitu diangkat hukum taklif) dari tiga orang; dari anak kecil hingga ia mimpi (baligh) atau sempurna 15 tahun, dari orang tidur sampai ia bangun dan dari orang gila sampai ia sadar.” Mereka mengambil hal itu dari hadits yang terdapat dalam ash-Shahihaindari Ibnu `Umar, is berkata: “Pada saat perang Uhud aku mengajukan diri(untuk ikut berperang) kepada Nabi dan saat itu aku berumur 14 tahun, lalu beliau tidak membolehkanku. Sedangkan pada perang Khandaq akupun mengajukan diri kembali dan saat itu aku berumur 15 tahun, maka beliau membolehkanku.” Setelah mendengar hadits ini, `Umar bin `Abdul `Azizberkata: “Inilah perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah al-Hakim, dan al-Hakim berkata: “Hadits ini shahihsesuai syarat Muslim.” Imam adz-Dzahabi pun menyepakati)

Para ulama berbeda pendapat mengenai tanda tumbuhnya rambut kemaluan, dan pendapat yang shahih adalah bahwa hal itu sebagai tanda baligh. Sunnah yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bari ‘Athiyyah al-Qurazhi, ia berkata: “Di saat perang Quraizhah, kami (Bani Quraizhah) dihadapkan kepada Nabi. Maka beliau memerintahkan seseorang (Di dalam naskah al-Azhar (disebutkan nama orang itu, yaitu): `Abdul Majid bin Zahir yang ditugaskan) meneliti siapa yang sudah tumbuh (bulu kemaluannya). Barangsiapa yang sudah tumbuh dibunuh, bagi yang belum tumbuh tidak dibunuh (dilepaskan). Sedangkan aku termasuk orang yang belum tumbuh (bulu kemaluan), maka aku pun dibebaskan.” (Empat penulis kitab Sunan pun mengetengahkan hadits yang serupa dengannya. Dan at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”)

Firman Allah: fa in aanastum minHum rusydan fadfa-‘uu ilaiHim amwaalaHum (“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas [pandai memelihara harta], maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”) Sa’id bin Jubair berkata: “Yaitu,baik dalam agamanya dan pandai memelihara hartanya.” Begitulah yang diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas, al-Hasan al-Bashri dan imam-imam lainnya. Para fuqaha pun berkata: “Apabila seorang anak telah baik agamanya dan pandai mengatur hartanya, niscaya lepaslah hukum penangguhan hartanya. Maka harta miliknya yang berada di tangan walinya harus diserahkan.”

Firman-Nya: wa laa ta’kuluuHaa is-raafaw wa bidaaran ay yakbaruu (“Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan [janganlah kamu] tergesa-gesa [membelanjakannya] sebelum mereka dewasa.”) Allah melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Is-raafan wa bidaaran; artinya: tergesa-tergesa (membelanjakannya) sebelum mereka baligh. Kemudian Allah berfirman: wa man kaana ghaniyyan fal yasta’fif (“Barangsiapa [di antara pemeliharaitu] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [dari memakan harta anak yatim itu].”) Asy-Sya’bi berkata: “Harta itu baginya seperti bangkai dan darah.”

Wa man kaana faqiiran falya’kul bil ma’ruuf (“Dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”) Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Aisyah ra. tentang ayat: (Ayat ini) turun berkenaan dengan wali anak yatim yang mengurus dan mengaturnya di mana saat ia membutuhkan ia pun boleh memakannya. Riwayat lain dari `Aisyah, ia berkata: “Ayat ini turun mengenai wali anak yatim, (wa man kaana ghaniyyan fal yasta’fif Wa man kaana faqiiran falya’kul bil ma’ruuf) boleh ia makan sekedar keperluan mengurusnya.” (HR. Al-Bukhari).

Para fuqaha berkata, dia boleh memakan dari dua perkara yang lebih ringan; upah yang layak atau sekedar kebutuhannya. Dan mereka berbeda pendapat, apakah harta itu dikembalikan apabila ia sudah cukup? Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Tidak, karena ia memakan upah kerja dan saat itu ia faqir. Inilah pendapat yang benar di kalangan pengikut asy-Syafi’i. Karena ayat tersebut membolehkan memakan (harta anak yatim) tanpa mengganti. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata: Saya memelihara anak yatim yang memiliki harta, sedangkan saya tidak memiliki harta [Sedangkan dalam naskah al-Azhar (dengan lafazh): “Aku tidak memiliki sesuatu pun.”]. Bolehkah saya memakan hartanya?’ Beliau bersabda: ‘Makanlah secukupnya, tidak berlebihan.”‘ (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad, ia berkata: seorang Arab Badui mendatangi Ibnu `Abbas dan berkata: “Sesungguhnya saya memelihara anak-anak yatim dan mereka memiliki beberapa unta, sedangkan saya memiliki satu unta. Saya pun memberikan susu unta untuk orang-orang fakir, apakah dihalalkan minum susunya?” Beliau menjawab: “Jika engkau yang mencari untanya yang tersesat, mengobati yang sakit, membersihkan tempat minumnya dan mengurusi keperluannya, maka minumlah tanpa mengganggu untuk keturunan dan tanpa menghentikan perasan susunya.” (Inilah riwayat Malik dalam al-Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id). Pendapat yang mengatakan tidak perlu adanya penggantian ini dipegang oleh ‘Atha bin Abi Rabah, `Ikrimah, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Athiyyah al-‘Aufi dan al-Hasanal-Bashri.

Pendapat kedua: Ya, harus mengganti karena asal hukum harta anak yatim adalah haram. Dia hanya dibolehkan untuk kebutuhan, lalu dikembalikan gantinya, seperti memakan harta orang lain bagi orang yang sangat membutuhkannya. Sa’id bin Manshur berkata: Telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash, dari Abu Ishaq dari al-Barra’, ia berkata: “`Umar ra. berkata kepadaku: `Aku tempatkan diriku pada harta Allah seperti kedudukan wali anak yatim. Jika aku butuh, aku akan mengambilnya; dan jika aku cukup aku akan mengembalikan; Serta jika aku kaya, aku akan menahan diri.”‘ (Isnadnya shahih).

Firman Allah: fa idzaa dafa’tum ilaiHim amwaalaHum (“Kemudian apabila engkau menyerahkan harta kepada mereka,”) yaitu setelah mereka mencapai masa baligh dan kamu yakin kemampuan mereka, maka di saat itu kamu serahkan harta-harta mereka. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka; fa asyHiduu ‘alaiHim (“Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi [tentang penyerahan itu] bagi mereka.”) Ini merupakan perintah dari Allah untuk para wali, agar mengadakan saksi-saksi untuk anak-anak yatim yang telah mencapai dewasa dan kalian menyerahkan harta-harta mereka, agar tidak terjadi pengingkaran dari sebagian mereka setelah diserah terimakan.

Kemudian Allah berfirman, wa kafaa billaaHi hasiiban (“Dan cukuplah Allah sebagai pengawas [atas persaksian itu].”) Artinya cukuplah Allah sebagai pengawas, saksi dan peneliti para wali dalam memelihara anak-anak yatim dan dalam menyerahkan harta-harta mereka, apakah dicukupkan dan disempurnakan atau dikurangi dan ditipu dengan memalsukan hitungan dan memutarbalikkan urusan? Allah Mahamengetahui semua itu. Untuk itu, di dalam Shahih Muslim dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu sebagai seorang yang lemah dan aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi amir bagi dua orang atau mengurus harta anak yatim.” (HR. Muslim)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 2-4

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 2-4“2. dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. 3. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 4. berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 2-4)

Allah swt. memerintahkan untuk menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka apabila telah mencapai masa baligh secara sempurna, serta melarang memakan dan menggabungkannya dengan harta mereka. Untuk itu, Allah berfirman: wa laa tatabaddalul khabiitsa bith-thayyibi (“Dan janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk.”) Sufyan ats-Tsauri mengatakan dan Abu Shalih: “Janganlah engkau tergesa-gesa dengan rizki yang haram sebelum datang kepadamu rizki halal yang ditakdirkan untukmu.” Said bin Jubair berkata: “Janganlah kalian menukar harta haram milik orang lain dengan harta halal dari harta kalian.” la (Sa’id) pun berkata: “Janganlah kalian mengganti harta kalian yang halal dan memakan harta-harta mereka yang haram.” Sedangkan Sa’id bin al-Musayyab dan az-Zuhri berkata: “Janganlah engkau memberi sesuatu yang kurus dan mengambil sesuatu yang gemuk.” Adapun Ibrahim an-Nakha’i dan adh-Dhahhak berkata: “Janganlah engkau memberi sesuatu yang palsu dan mengambil sesuatu yang baik.” Dan as-Suddi berkata: “Salah seorang di antara mereka mengambil kambing anak yatim yang gemuk lalu sebagai gantinya is memberi kambing yang kurus kering sambil berkata: (Yang penting) kambing dengan kambing.’ Serta ia pun mengambil dirham yang baik dan menggantinya dengan dirham yang buruk dan berkata: ‘(Yang
penting) dirham dengan dirham.

Firman-Nya: wa laa ta’kuluu amwaalaHum ilaa amwaalikum (“Dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.”) Mujahid, Said bin Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi dan Sufyan bin Husain berkata: “Artinya, janganlah kalian campur harta tersebut, lalu kamu makan seluruhnya.”

Firman Allah: innaHuu kaana huuban kabiiran Ibnu ‘Abbas berkata: “Artinya dosa besar.”
Di dalam hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud: ighfirlanaa huubanaa wa khathaayaanaa (“Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.”)

Maksudnya adalah: “Sesungguhnya upayamu yang memakan harta mereka bersama hartamu adalah sebuah dosa besar dan kesalahan besar, maka jauhilah olehmu.”

FirmanNya: wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa fankihuu maa thaaba lakum minan nisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ (“”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim [bilamana kamu mengawininya], maka kawinilah wanita-wanita [lain] yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.”) Artinya apabila di bawah pemeliharaan salah seorang kamu terdapat wanita yatim dan ia merasa takut tidak dapat memberikan mahar sebanding, maka carilah wanita lainnya. Karena mereka cukup banyak, dan Allah tidak akan memberikan kesempitan padanya.

Al-Bukhari meriwayatkan: dari ‘Aisyah “Sesungguhnya seorang laki-laki yang memiliki tanggungan wanita yatim, lalu dinikahinya, sedangkan wanita itu memiliki sebuah pohon kurma yang berbuah. Laki-laki itu menahannya sedangkan wanita itu tidak mendapatkan sesuatu pun dari laki-laki itu, maka turunlah ayat ini: wa in khiftum allaa tuqsithuu (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.”) Aku mengira ia mengatakan, “Ia bersekutu dalam pohon kurma dan hartanya.”

Al-Bukhari meriwayatkan: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari Shalih bin Kaisan dari Ibnu Syihab, ia berkata: ‘Urwah bin az-Zubair mengabar- kan kepadaku bahwa is bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang firman Allah: wa in khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim bilamana kamu mengawini,”) beliau menjawab: “Wahai
anak saudariku, anak yatim perempuan yang dimaksud adalah wanita yatim yang berada pada pemeliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya.” Sedangkan ia menyukai harta dan kecantikannya. Lalu, walinya ingin mengawininya tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan memberikan mahar yang terbaik untuk mereka. Dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita yang mereka sukai selain mereka. ‘Urwah berkata: ‘Aisyah berkata: ‘Sesungguhnya para Sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah setelah ayat ini, maka Allah menurunkan firman-Nya: wa yastaftuunaka fin nisaa’i (“Dan mereka memintafatwa kepadamu tentang para wanita.”) (QS. An-Nisaa’: 127) ‘Aisyah berkata: ‘Firman Allah di dalam ayat yang lain: wa targhabuuna an tankihuuHunna (“Sedangkan kamu ingin menikahi mereka.”) (QS. An-Nisaa:127). [Karena] Kebencian salah seorang kalian kepada wanita yatim, jika mereka memiliki sedikit harta dan kurang cantik, maka mereka dilarang untuk menikahi wanita yang disenangi karena harta dan kecantikannya kecuali dengan berbuat adil. Hal itu dikarenakan kebencian mereka kepada wanita-wanita itu jika sedikit harta dan kurang cantik.

Firman Allah: matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa’ (“Dua, tiga atau empat.”) Artinya nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian sukai selain mereka. Jika kalian suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka silahkan empat. Sebagaimana firman Allah swt.: “Yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (QS. Faathir: 1) Artinya, di antara mereka ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga dan ada yang empat. Hal tersebut tidak berarti meniadakan adanya Malaikat yang (memiliki jumlah sayap Ed) selain dari itu, karena terdapat dalil yang menunjukkannya. Berbeda dengan kasus pembatasan empat wanita bagi laki-laki dari ayat ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu`Abbas dan Jumhur ulama, karena kedudukannya adalah posisi pemberian nikmat dan mubah. Seandainya dibolehkan menggabung lebih dari empat wanita, niscaya akan dijelaskan.

Imam asy-Syafi’i berkata: “Sunnah Rasulullah yang memberikan penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang selain Rasulullah untuk menghimpun lebih dari empat wanita.” Pendapat yang dikemukan oleh asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali pendapat dari sebagian penganut Syi’ah yang menyatakan bolehnya menggabung wanita lebih dari empat orang hingga sembilan orang. Sebagian ulama berpendapat, tanpa batas. Sebagian lain berpegang pada perilaku Rasulullah` yang menggabung empat wanita hingga sembilan orang, sebagaimana yang tersebut dalam hadits shahih. Adapun (pendapat yang mengatakan hingga)11 orang adalah sebagaimana terdapat dalam sebagian lafazh hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Sesungguhnya al-Bukhari memu’allaqkannya, telah kami riwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah kawin dengan 15 orang wanita. Di antara mereka yang telah digauli adalah 13 orang dan yang dihimpun beliau adalah 11 orang. Sedangkan di saat wafat, beliau meninggalkan 9 orang isteri. Menurut para ulama, hal ini merupakan kekhususan-kekhususan beliau, bukan untuk umatnya, berdasarkan hadits-hadits yang menunjukkan pembatasan 4 isteri yang akan kami sebutkan. Di antaranya: Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam, saat itu ia memiliki 10 orang isteri. Maka, Nabi saw. bersabda: “Pilihlah 4 orang di antara mereka.” Begitu pula yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, al-Baihaqi dan yang lainnya. Dan itu pula yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri secara mursal. Abu Zur’ah berkata: “Inilah yang lebih shahih.”

Hadits mu’allaq: Hadits yang disebutkan, tetapi tanpa mencantumkan/menyebutkansanadnya

Firman-Nya: fa in khiftum allaa ta’diluu fa waahidatan au maa malakat aimaanukum (“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.”) Artinya, jika kamu takut memiliki banyak isteri dan tidak mampu berbuat adil kepada mereka, sebagaimana firman Allah: wa lan tastathii-‘uu an ta’diluu bainan nisaa-i wa lau harash-tum (“Dan tidak akan pernah kamu mampu berbuat adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat menginginkannya.”) (QS. An-Nisaa’: 129) Barangsiapa yang takut berbuat demikian, maka cukuplah satu isteri saja atau budak-budak wanita. Karena, tidak wajib pembagian giliran pada mereka (budak-budak wanita), akan tetapi hal tersebut dianjurkan, maka barangsiapa yang melakukan, hal itu baik dan barangsiapa yang tidak melakukan, maka tidaklah mengapa.

Firman-Nya: dzaalika adnaa allaa ta-‘uuluu (“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”) Yang shahih, artinya adalah janganlah kalian berbuat aniaya. (Dalam bahasa Arab dikatakan “… ‘aala fil hukmi” [menyimpang dari hukum] apabila ia menyimpang dan zhalim. Abu Thalib berkata dalam bait qashidahnya yang cukup masyhur:
Dengan timbangan keadilan yang tidak dikurangi satu biji gandum pun.
Dia memiliki saksi dari dirinya sendiri tanpa aniaya.

Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Hibban dalam shahihnya meriwayatkan dari ‘Aisyah dari Nabi saw. “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, ” beliaubersabda: “Janganlah kalian berbuat aniaya.”

Ibnu Abi Hatim berkata, ayahku berkata, “Ini adalah kesalahan.” Yang benar adalah ucapan itu dari ‘Aisyah secara mauquf.

Firman Allah: wa aatun nisaa-a shaduqaatiHinna nihlatan (“Berikanlah mas kawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”) `Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: an-nihlatu adalah mahar. Muhammad bin Ishaq berkata dari ‘Aisyah “nihlatun”, adalah kewajiban. Ibnu Zaid berkata: “an-nihlatu” dalam bahasa Arab adalah suatu yang wajib, ia berkata, “Janganlah engkau nikahi dia kecuali dengan sesuatu yang wajib baginya.” Kandungan pembicaraan mereka itu adalah, bahwa seorang laki-laki wajib menyerahkan mahar kepada wanita sebagai suatu keharusan dan keadaannya rela. Sebagaimana ia menerima pemberian dan memberikan hadiah dengan penuh kerelaan, begitu pula kewajiban ia memberikan mahar kepada wanita dengan penuh kerelaan. Dan jika si isteri secara suka rela menyerahkan sesuatu dari maharnya setelah disebutkan jumlahnya, maka suami boleh memakannya dengan halal dan baik.

Untuk itu Allah berfirman: fa in thibna lakum ‘an syai-in minHu nafasan fakuluuHu Hanii-am marii-an (“Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah [ambillah] pemberian itu [sebagai makanan] yang sedap lagi baik akibatnya.”)

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari `Ali ra, ia berkata berkata: “Apabila salah seorang kamu mengeluh tentang sesuatu, maka mintalah kepada isterinya 3 dirham atau yang sama dengan itu, lalu belilah madu, kemudian ambilah air hujan dan campurkan hingga nikmat dan lezat, niscaya Allah akan menyembuhkannya dengan penuh berkah.”

Husyaim berkata dari Sayyar dari Abu Shalih: “Dahulu apabila seseorang mengawinkan putrinya, ia mengambil mahar haknya tanpa kerelaannya, maka hal itu dilarang oleh Allah dan diturunkannya ayat: wa aatun nisaa-a shaduqaatiHinna nihlatan (“Berikanlah mas kawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”)

&

Wanita Dalam Pandangan Islam; Penutup

3 Mar

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Pertanyaan orang-orang non muslim yang telah membaca cetakan yang lalu dari pelajaran ini yaitu: “Apakah wanita-wanita muslimah diperlakukan seperti ini (sebagaimana yang telah diterangkan dalam buku ini) pada masyarakat-masyarakat Islam sekarang?” Jawabanya, maaf (dengan sangat menyesal): “tidak…!”. Saya akan memberikan sebagian keterangan (titik terang) terhadap jawaban pertanyaan ini agar bisa memberikan gambaran secara sempurna kepada pembaca tentang posisi perempuan dalam Islam.

Sesungguhnya interaksi (perlakuan) terhadap perempuan dalam dunia Islam berbeda-beda dari satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, dari satu pribadi dengan pribadi yang lain, karena disana terdapat beberapa hukum-hukum yang diikuti oleh setiap masyarakat. Sebagian besar masyarakat Islam sangat jauh dari ajaran-ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan perlakuan terhadap wanita. Di sana terdapat dua sisi: sisi yang sangat fanatik, keras, mengikuti adat-adat dan tradisi, dan sisi yang lain adalah sisi yang bebas (liberal) dan mengikuti barat.

Masyarakat-masyarakat yang tenggelam dalam sisi yang pertama, memperlakukan perempuan sesuai dengan adat dan tradisi yang terwarisi diantara mereka. Dan adat ini mengharamkan perempuan untuk memperoleh hak-hak yang telah diberikan oleh Islam kepadanya. Hukum-hukum diterapkan terhadap perempuan sangat berbeda dengan hukum-hukum yang diterapkan terhadap laki-laki. Terdapat pebedaan yang sangat jauh diantara keduanya, perempuan tidak disenangi kelahirannya karena berbeda dengan anak-anak laki-laki, terkadang dilarang untuk mendapatkan pengajaran, diharamkan untuk mendapatkan warisan, selalu di bawah pengawasan hingga tidak ada yang bersumber darinya satu tindakan apapun kecuali moral. Sementara, laki-laki diterima semua tindakannya walaupun selain moral. Dan perempuan boleh dibunuh karena salah satu dari tindakan-tindakan tersebut, sementara anak laki-laki bangga dengan melakukan tindakan-tindakan ini. Perempuan tidak mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya dalam hal apapun, baik yang berkaitan dengan keluarga atau masyarakat. Dan mungkin, dia tidak mempunyai kebebasan menggunakan barang-barang dan hadiah-hadiah pernikahannya. Sebagai isteri, dia harus lebih mengutamakan untuk melahirkan anak laki-laki agar mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat.

Sementara, di sisi lain terdapat sebagian masyarakat yang Islami (sebagian golongan dalam masyarakat tersebut) yang telah menyuburkan aliran-aliran barat. Masyarakat ini mengikuti orang-orang Barat dengan taqlid buta pada segala sesuatu, bahkan dia mengambil adat-adat yang paling jelek pada masyarakat-masyarakat Barat. Yang terpenting, bagi perempuan pada masyarakat ini adalah hal yang baru, yaitu bepenampilan cantik. Maka dia senantiasa terobsesi dengan kecantikannya, beratnya, sangat memperhatikan badannya dan kecantikannya melebihi akalnya. Kehebatannya untuk menjerumuskan dan menakjubkan orang lain adalah suatu hal yang lebih diprioritaskan dari pada menimba ilmu dan posisinya dalam masyarakat. Dan tentu saja tidak terdapat mushaf di dalam tasnya, karena dipenuhi dengan alat-alat make up yang selalu dibawa bersamanya ke setiap tempat. Sementara kecantikan rohnya tersembunyi ketika ketertarikannya semakin bertambah, maka dia menghabiskan umurnya dengan mementingkan kewanitaannya dan tidak ada sama sekali perhatian terhadap kepribadiannnya.

Kenapa masyarakat Islam semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam? Sangat susah untuk menjawab pertanyaan ini, karena keterangan tentang jauhnya orang-orang muslim dari ajaran al-Qur`an (khususnya yang berkaitan dengan perempuan) membutuhkan penelitian lain agar saya mampu untuk memberikan keterangan tentang jauhnya orang-orang muslim dari ajaran-ajaran agamanya, yang kebanyakan dari segi-segi kehidupan pada masa yang telah berlalu, karena di sana terdapat celah yang besar di antara apa yang wajib bagi orang-orang muslim dan apa yang mereka praktekkan sekarang.

Celah ini tidak terjadi pada akhir-akhir ini saja, akan tetapi ini adalah hasil dari akumulasi selama beberapa tahun yang semakin bertambah dari hari ke hari. Sangat jelas pengaruh dari celah ini yang kebanyakan mengenai segi-segi kehidupan pada dunia Islam sekarang, contohnya: zalim dalam hukum, pemisahan, kemunduran ekonomi, kezaliman masyarakat, keterlambatan ilmu dan lemah berfikir, dan lain-lain. Dan memposisikan perempuan dalam dunia Islam yang tidak ada hubungannya dengan Islam adalah salah satu tanda dari pengaruh yang memusnahkan ini.

Wajib memperbaiki kembali masyarakat Islam pada setiap segi dan kembali memposisikan perempuan sesuai dengan tempat sebelumnya. Dan juga wajib mengikuti ajaran-ajaran Islam sampai sempurna perbaikan ini. Ringkasnya, anggapan yang dikatakan bahwa sebab buruknya posisi perempuan dalam dunia Islam sekarang adalah karena Islam itu sendiri. Ini merupakan suatu keyakinan yang salah. Justru sebaliknya, setiap masalah yang dihadapi oleh orang-orang muslim adalah karena mereka semakin jauh dari ajaran-ajaran Islam. Saya harus menguatkan, bahwasanya tujuan dari penelitian ini bukanlah untuk menjelekkan atau merendahkan akidah orang-orang Yahudi dan Masihi. Posisi perempuan dalam akidah Yahudi dan Masihi yang semakin melemah sepanjang masa itu disebabkan oleh kondisi masyarakat dan pendapat-pendapat para Pendeta dan Santo yang berpengaruh pada keadaan ini, dan merubah hukum-hukum yang khusus berkaitan dengan perempuan.

Oleh karena Kitab al-Muqaddas itu sendiri ditulis oleh beberapa orang pada waktu yang berbeda-beda, maka berbeda pulalah pandangan mereka dan berubah sesuai dengan perbedaan nilai-nilai dan kondisi-kondisi kehidupan di sekitar mereka. Sebagai contoh, hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan zina pada Perjanjian Lama berpihak melawan perempuan dengan bentuk yang tidak masuk akal. Ini disebabkan oleh kabilah-kabilah orang-orang Yahudi terdahulu yang sangat membanggakan keturunannya. Oleh karena itu, mereka takut jika perempuan melakukan hubungan apapun dengan seseorang yang berasal dari kabilah-kabilah tetangga. Hal ini tidak membuat kita simpati dengan hukum-hukum tersebut, namun sekedar untuk memahami sebab keberpihakan melawan perempuan. Dan juga serangan para Santo yang melawan perempuan seharusnya tidak ditafsirkan terpisah dari kebencian terhadap perempuan pada peradaban Yunani dan Romania. Maka, seharusnya kita tidak menghukum akidah-akidah Yahudi dan Masihi tanpa memposisikan kondisi-kondisi dan sejarah-sejarah sebagai I`tibar (penelitian).

Supaya kita memahami periode Islam dalam sejarah dan peradaban manusia, wajib bagi kita untuk memahami kondisi-kondisi sejarah yang telah dilewati oleh akidah orang-orang Yahudi dan Masihi. Karena lingkungan, kondisi, dan peradaban yang berbeda-beda sangat berpengaruh dalam membentuk akidah orang-orang Yahudi dan Masihi. Pada abad ke tujuh sebelum Hijrah, pengaruh ini telah menjadi faktor perubahan (pemalsuan) Risalah Ilahiyah yang telah diturunkan kepada Nabi Musa as. dan kepada Nabi Isa as. Semakin melemahnya kedudukan perempuan dalam akidah orang-orang Yahudi dan Masihi pada abad ketujuh merupakan contoh terhadap perubahan ini. Oleh karena itu, dibutuhkan Risalah Ilahiyah yang dapat mengembalikan manusia ke jalan yang lurus. Al-Qur`an telah menjelaskan bahwasanya periode Rasulullah Saw. ialah untuk membebaskan orang-orang Yahudi dan Masihi dari kesedihan-kesedihan yang menimpa mereka:

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka, maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-A`raaf: 157).

Islam bukanlah agama saingan bagi Yahudi dan Masihi, akan tetapi Islam adalah penyempurna risalah-risalah ilahiyah yang telah turun sebelumnya. Di akhir pembahasan ini, saya ingin mempersembahkan nasihat kepada masyarakat Islam, bahwa: “Telah diharamkan banyak hal terhadap perempuan-perempuan dari hak-haknya yang telah diperintahkan oleh Islam untuk ditunaikan, dan wajib memperbaiki apa yang telah terjadi. Hal ini wajib bagi setiap muslim (secara khusus), dan dunia Islam (secara umum) untuk meletakkan undang-undang yang tertulis di dalamnya hak-hak perempuan yang telah diperintahkan oleh Islam dan Rasul Islam Muhammad Saw.

Oleh karena itu, undang-undang tersebut wajib memberikan kepada perempuan hak-hak yang telah Allah Swt. berikan kepadanya, dan wajib mengusahakan segala cara untuk terlaksananya undang-undang ini. Sebetulnya hal ini adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan waktu, akan tetapi ini lebih bagus daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Jika orang-orang muslim tidak menjamin hak-hak ibunya, isteri-isterinya, saudari-saudarinya, dan anak-anak perempuannya, maka siapakah yang akan menjamin hak-hak mereka?!

Lebih dari itu, kita wajib untuk menghilangkan segala adat-adat dan tradisi-tradisi yang salah, yang terwarisi dikalangan kita dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Bukankah al-Qur`an telah mengkritik dengan keras orang-orang Arab sebelum Islam muncul karena mereka mengikuti tradisi-tradisi nenek moyang mereka sebagai ikutan yang menyesatkan? Dan wajib bagi kita untuk melawan segala tradisi buruk yang datang kepada kita dari orang Barat atau dari peradaban manapun. Namun, wajib bagi kita untuk berkomunikasi dengan mereka dan belajar dari mereka setiap apa yang berfaidah, bermanfaat, dan hal ini adalah suatu hal yang dianjurkan oleh al-Qur`an:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujuraat: 13).

Akan tetapi wajib bagi kita untuk tidak mengikuti orang lain dengan taqlid buta, karena hal ini adalah sebagai tanda orang yang tidak berjiwa besar. Dan saya hadiahkan kalimat-kalimat ini kepada orang-orang selain muslim (Yahudi, Masihi, atau selainnya): “Sesungguhnya ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan dengan mengkategorikan agama yang menjaga posisi perempuan dan memuliakannya sebagai penindasan terhadap perempuan. Hal ini adalah suatu keyakinan dari kebanyakan keyakinan-keyakinan yang menyebar di dunia kita sekarang. Dan hal ini telah dimuat oleh banyak artikel-artikel, kitab-kitab, sarana-sarana iklan dan film-film HOLLY WOOD.

Keyakinan-keyakinan yang salah ini menyebabkan jeleknya pemahaman dan rasa takut dari segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Dan kita wajib menghilangkan segala sesuatu yang menjelekkan Islam dalam iklan, agar kita hidup dalam masyarakat yang sunyi dari perpecahan golongan, keberpihakan dan pemahaman yang jelek. Maka, wajib bagi orang-orang non muslim untuk menemukan bahwasanya di sana terdapat celah antara ajaran-ajaran Islam dan tingkah laku sebagian muslim sekarang, karena tingkah laku ini tidak bersumber dari Islam secara mutlak. Posisi perempuan pada masyarakat Islam sekarang jauh dari posisi yang telah dijelaskan oleh al-Qur`an. Seperti jauhnya posisi perempuan di Barat sekarang dari posisinya pada “Akidah Yahudi dan Masihi” sebenarnya. Maka wajib bagi orang-orang muslim dan non muslim untuk saling berkomunikasi, berdiskusi, agar mereka dapat menghilangkan keyakinan-keyakinan yang salah, segala keraguan dan ketakutan demi terciptanya kehidupan yang aman di masa mendatang.

Wajib bagi Islam untuk menjelaskan bahwa dia adalah agama yang memuliakan perempuan dan memberikan hak-haknya, dan dunia menemukan hal-hal tersebut pada abad ini saja. Islam memberikan jaminan untuk perempuan kemuliaan, kehormatan, dan penjagaan dari segala kejelekan sejak dia lahir sampai dia meninggal. Lebih dari itu Islam telah memberikan setiap kebutuhannya dari segi rohani, pikiran, materi dan kasih sayang. Tidak mengherankan bahwa kebanyakan orang yang memeluk Islam di British adalah wanita. Dan perbandingan antara jumlah perempuan dan jumlah laki-laki yang memeluk Islam di Amerika serikat adalah 4 banding 1.

Alam kita sekarang sangat membutuhkan Islam, agar bisa mengembalikannya ke jalan yang benar. Seorang Duta yang bernama Herman Ieltas telah mengatakan di depan panitia ikatan-ikatan luar negeri pada Kongres Amerika pada tanggal 24 juni 1985: “Sesungguhnya jumlah muslim sekarang lebih dari satu miliar, jumlah yang sangat menakjubkan, akan tetapi yang lebih mengherankan saya bahwasanya Islam adalah agama yang meng-Esakan Allah termasuk paling cepat menyebar. Jika hal ini menunjukkan terhadap sesuatu, berarti hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama yang benar. Hal ini yang banyak menarik dari orang-orang yang saleh”. Betul! Islam adalah agama yang benar dan sudah tiba saatnya untuk mengungkap hal itu. Saya berharap semoga pembahasan ini adalah langkah untuk menuju ke jalan tersebut.

&

Poligami

3 Mar

Wanita Dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Sekarang kita akan melihat pada suatu hal yang mempunyai posisi sangat urgen yaitu poligami. Sesungguhnya poligami adalah suatu adat yang telah lama, yang terdapat pada kebanyakan masyarakat. Kitab al-Muqaddas tidak mengharamkan praktek poligami, juga Perjanjian Lama dan kitab-kitab para pendeta senantiasa menguatkan diperbolehkannya poligami, dan mengatakan bahwasanya Nabi Sulaiman as. mempunyai 700 isteri dan 300 selir. (1 Muluuk 11: 3). Begitupun Nabi Daud as. dikatakan bahwasanya beliau mempunyai banyak isteri dan selir. (2 Samuel 5: 13). Perjanjian Lama telah menjelaskan bagaimana sistem pembagian harta bapak kepada anak-anaknya dari isteri-isterinya. (Tatsniyah 22: 7). Satu hal yang diharamkan ketika berpoligami yaitu seorang laki-laki menikahi saudari isterinya. (Lawien 18: 18). Dan Talmuud menasihati agar bilangan isteri tidak boleh lebih dari empat.

Orang-orang Yahudi Eropa senantiasa mencoba mempraktekkan poligami hingga abad ke enam belas. Dan orang-orang Yahudi timur senantiasa mencoba mempraktekkannya hingga mereka datang ke Israel yang mana undang-undang sipil telah mengharamkan untuk berpoligami. Akan tetapi hal ini (berpoligami) masih tetap diperbolehkan dalam akidah orang-orang Yahudi.

Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Pendeta Youcin Hilman mengatakan dalam kitabnya “Meninjau Kembali Tentang Konsep Poligami” bahwasanya tidak disebutkan dalam perjanjian baru hal-hal yang berkaitan tentang poligami atau larangan mengenai hal tersebut.

Sebagaimana Isa as. tidak mengharamkan poligami walaupun hal tersebut menyebar di kalangan masyarakat Yahudi pada waktu itu. Dan pendeta Hilman telah menguatkan tentang kebenaran bahwasanya gereja di Roma melarang praktek poligami karena hal tersebut ikut-ikutan dengan budaya orang-orang Yunani Romania (yang membolehkan seorang isteri yang sah dan dia juga menerima perzinahan) dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Santo Ojistien: “Sekarang kita akan mengikuti adat-adat orang Romania yang tidak memperbolehkan menikahi perempuan yang kedua (poligami)”.

Gereja-gereja orang Afrika senantiasa menyebutkan bahwa orang Masihi Eropa melarang praktek poligami, dan bahwasanya larangan poligami tersebut disebabkan adat dari adat-adat peradaban orang-orang Romania dan bukan karena disebabkan faktor agama. Al-Qur`an membolehkan praktek poligami akan tetapi dengan beberapa syarat: “Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisaa: 3). Al-Qur`an -berbeda dengan Kitab al-Muqaddas- membatasi bilangan maksimal untuk berpoligami hanya sampai empat dan suami diharuskan untuk berlaku adil di antara mereka. Akan tetapi al-Qur`an tidak menganjurkan bagi orang-orang mukmin untuk berpoligami tapi hanya memberikan toleransi terhadap hal tersebut. Namun kenapa? Kenapa disyari`atkan poligami?

Jawabannya sangat mudah: karena pada sebagian waktu dan beberapa tempat terdapat sebab-sebab secara komonitas dan akhlak yang mengharuskan terjadinya poligami. Dan ayat yang telah terdahulu telah menjelaskan bahwasanya poligami disyari`atkan karena anak yatim dan para janda. Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang menyeluruh dan sesuai dengan seluruh waktu dan tempat. Sesungguhnya jumlah bilangan wanita bertambah dari bilangan laki-laki di beberapa masyarakat. Terdapat di daerah Amerika serikat minimal 8.000.000 penambahan jumlah perempuan dibandingkan jumlah laki-laki. Di Genia terdapat perimbangan 122 wanita sedangkan laki-laki 100. Di Tanzaniya 1, 95 laki-laki di banding 100 wanita.

Maka apa yang akan dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan solusi terhadap masalah tersebut? Terdapat banyak solusi-solusi, sebagian ada yang memilih untuk membujang atau melajang, dan sebagian ada yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya (yang sedang atau akan dipraktekkan oleh sebagian masyarakat-masyarakat pada zaman kita sekarang). Di sebagian masyarakat yang lain ada yang lebih menerima berzina dan kelainan seksual, dan lain-lain. Sedangkan kebanyakan orang-orang Afrika memperbolehkan poligami. Sementara di Barat mereka meyakini bahwa poligami adalah suatu penghinaan terhadap wanita. Dan mereka heran bahwasanya perempuan pada sebagian masyarakat memilih poligami. Sebagai contoh kebanyakan wanita-wanita Afrika mereka lebih mengutamakan pernikahan dengan seorang laki-laki yang sudah menikah agar mereka dapat menjamin bahwasanya suami tersebut dapat memikul tanggung jawab. Dan kebanyakan isteri-isteri di Afrika mereka menganjurkan suami-suami mereka untuk menikah lagi agar mereka (isteri-isteri tersebut) tidak merasakan kesepian.

Di Nigeria terdapat sekitar 60 % dari 6000 perempuan yang rata-rata umur mereka diantara 15 sampai 59 tahun, mereka tidak melarang suami-suami mereka menikah untuk yang kedua kalinya, dan 23 % saja yang menolak hal ini. Sedangkan 76 % dari wanita-wanita Kenya tidak menolak poligami dan pada pinggiran Kenya 25 perempuan dari setiap 27 perempuan mereka lebih memilih poligami, karena mereka memandang terdapat faidah pada poligami di mana isteri-isteri bisa saling membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Sesungguhnya poligami diterima oleh kebanyakan masyarakat di Afrika karena sebagian gereja-gereja Protestan membolehkan hal tersebut. Dan seorang Pendeta gereja Nasrani di Kenya berkata: “Meskipun penolakan poligami diibaratkan dengan kecintaan suami-isteri, hanya saja gereja memperhatikan di sana terdapat banyak dari masyarakat-masyarakat yang menerima praktek poligami dan praktek poligami tidak akan pernah kembali kontra dengan orang-orang Masihi”.

Setelah mempelajari tentang praktek poligami di Afrika, seorang pendeta gereja Nasrani David gietary mengatakan bahwasanya dia mengutamakan sistem poligami dari pada talak, dan pernikahan yang kedua kali adalah suatu bentuk kelembutan terhadap wanita-wanita yang tertalak dan anak-anak mereka.

Saya pribadi mengetahui sebagian perempuan-perempuan yang telah hidup lama di Barat, mereka tidak menolak praktek poligami. Salah seorang diantara mereka yang hidup di Amerika Serikat meminta kepada suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan lain hingga isteri baru tersebut dapat membantunya dalam mendidik anak.

Sesungguhnya masalah bertambahnya jumlah perempuan dari jumlah laki-laki bertambah pada waktu perang terjadi. Maka kabilah-kabilah Hindia sebagai orang-orang asli di Amerika adalah orang yang paling banyak mendapatkan masalah ini setelah perang. Dan perempuan pada kabilah-kabilah ini lebih memilih poligami dari pada melakukan hubungan-hubungan yang tidak sah. Sedangkan para penjajah di Eropa (mereka tidak memberikan solusi apapun) mereka menolak poligami karena menganggapnya “bukan peradaban”.

Setelah perang dunia ke dua, terjadi penambahan 7,300,000 perempuan dari jumlah laki-laki. Sedangkan di Jerman (3,3 juta diantara mereka janda-janda) berbanding 100 laki-laki yang rata-rata umur mereka dari 20 sampai 30 tahun, setiap 176 perempuan berumur seperti itu.

Kebanyakan dari mereka tidak hanya membutuhkan laki-laki sebagai pendamping hidup saja, bahkan juga sebagai keluarga pada waktu kefakiran menyebar di sana. Sedangkan tentara-tentara penguasa memenuhi kebutuhan-kebutuhan perempuan-perempuan tersebut. Dan kebanyakan dari gadis-gadis dan janda-janda mereka melakukan hubungan tidak sah dengan tentara-tentara penguasa. kemudian kebanyakan dari tentara-tentara Amerika dan British mereka membayar harga senang-senang mereka dengan rokok, coklat dan roti. Dan anak-anak mereka senang dengan hadiah-hadiah ini. Seorang anak yang berumur sekitar sepuluh tahun telah mendengar tentang hadiah-hadiah ini dari anak-anak yang lain, maka dia berangan dengan segenap hatinya agar seorang laki-laki Inggris datang kepada ibunya agar dia memberikan mereka hadiah-hadiah ini dan menghilangkan mereka dari kelaparan.

Wajib kita untuk bertanya pada diri kita sekarang: Bagaimana memuliakan perempuan? apakah seorang isteri harus merelakan suaminya untuk menikah lagi sebagaimana yang terjadi pada masyarakat orang Hindia merah. Atau berzina sesuai dengan dasar tentara-tentara sekutu (orang kota)? Dengan arti lain, bagaimana memuliakan perempuan? Apakah dengan yang diturunkan dalam al-Qur`an, atau dengan akidah yang didasari oleh peradaban kaisar Romania? Telah didiskusikan tentang masalah bertambahnya jumlah perempuan dari jumlah laki-laki di Jerman dalam Konfrensi yang dilaksanakan di Miyunkh pada tahun 1948, mereka tidak mendapatkan solusi apapun, hanya saja sebagian orang-orang yang hadir mereka menawarkan praktek poligami. Dan tanggapan yang pertama dari sebagian orang-orang yang hadir yaitu shock dan putus asa. Akan tetapi setelah mempelajari solusi ini, orang-orang yang hadir dalam Konfrensi tersebut menyetujui hal tersebut bahwasanya hal itu adalah solusi yang ideal. Selanjutnya Konfrensi mewasiatkan untuk diterimanya praktek poligami.

Dunia sekarang telah di penuhi oleh senjata-senjata pemusnah yang merata dan akan terpaksa gereja-gereja di Eropa (cepat atau lambat) untuk menerima poligami sebagai solusi yang ideal. Kebenaran ini telah di temukan oleh pendeta Hilman dan berkata : ” Sesungguhnya sarana-sarana pemusnah seperti (nuklir, biologi, kimia,….) akan mengakibatkan kepada keseriusan terhadap masalah tidak adanya keserasian antara jumlah dari dua jenis (laki-laki dan perempuan). oleh karena itu poligami menjadi hal yang sangat darurat jika tidak akan menyebar kerusakan. Pada keadaan seperti ini akan berlindung para pendeta dan gereja dengan mengajukan sebab-sebab dan nas-nas agama untuk mensyari`atkan pemahaman baru bagi pernikahan”.

Dan kemudian praktek poligami sekarang menjadi suatu solusi untuk kebanyakan masalah-masalah kemasyarakatan. Dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh al-Qur`an terhadap praktek poligami sudah telah terealisasi dengan jelas pada masayarakat di Barat melebihi masyarakat di Afrika. Sebagai contoh, pada masyarakat kulit hitam di wilayah Amerika Serikat sekarang, terdapat kesedihan dengan bertambahnya jumlah perempuan dari jumlah laki-laki. Hal ini disebabkan karena satu dari setiap dua puluh pemuda mereka meninggal sebelum umur mereka mencapai dua puluh satu tahun.

Kebanyakan mereka terbunuh dan yang lain pengangguran atau di penjara atau menjadi pecandu Narkoba. Berikutnya, satu dari setiap empat perempuan pada umur empat puluh tahun belum nikah. Kemudian satu dari setiap sepuluh perempuan kulit putih belum nikah. Demikian juga kebanyakan di sana perempuan-perempuan kulit hitam mereka menjadi ibu sebelum berumur dua puluh tahun dan mereka membutuhkan keluarga. Ini merupakan faktor yang mendukung terjadinya apa yang dinamakan “Suami Bersama” yaitu seorang suami menikahi perempuan lain tanpa diketahui oleh isterinya tentang hal tersebut.

Untuk menyelesaikan masalah ini mereka mengusulkan untuk membolehkan masyarakat Afra Amerika untuk berpoligami. Ini merupakan suatu keputusan yang disepakati oleh setiap partai-partai pada masyarakat untuk menyelesaikan atas dampak “suami bersama” secara sembunyi-sembunyi yang memberikan kerusakan terhadap isteri dan masyarakat. Dan masalah ini telah didiskusikan pada pertemuan di Universitas di Philadelphia pada tanggal 27 Januari 1993.

Kemudian kebanyakan dari mereka memilih poligami untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka juga mengusulkan agar undang-undang wajib untuk tidak mencegah praktek poligami khususnya pada masyarakat-masyarakat di mana perzinahan merajalela di tempat tersebut. Seluruh hadirin menyetujui perkataan seorang perempuan yang juga termasuk audiens pada pertemuan ini “Bahwasanya Afra Amerika wajib mencontoh kepada orang-orang Afrika yang telah membolehkan praktek poligami”. Seorang ahli Antrologi Amerika dalam Turats orang katolik Romani (Philips Kilbrad) mengusulkan dalam kitabnya “Poligami Pada Masa Kita” yang mengobarkan perdebatan. bahwasanya poligami adalah solusi yang paling ideal untuk menyelesaikan beberapa masalah pada masyarakat Amerika.

Hal tersebut akan menyelesaikan masalahan perceraian yang sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Sebab kebanyakan perceraian yang terjadi pada masyarakat Amerika adalah hasil dari hubungan yang tidak sah yang berlaku di sana. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka wajib diterapkan praktek poligami. Karena hal itu lebih baik daripada perceraian, dan lebih efektif untuk menjaga anak-anak. “Karena menjaga keluarga dari kehancuran dan perpecahan akan lebih baik untuk anak-anak”. Demikian juga dia mengatakan bahwasanya poligami akan memberikan solusi terhadap permasalahan perempuan yang belum pernah menikah, disebabkan kurangnya jumlah laki-laki dari jumlah perempuan, dan hal ini akan menyelesaikan masalah “Suami Bersama” pada masyarakat Afra Amerika .

Pada tahun 1987, diadakan percobaan dengan meminta Polling pendapat pada koran pelajar di Universitas California di Berkly, untuk mensepakati undang-undang yang membolehkan laki-laki untuk menikahi lebih dari satu isteri, demi menyelesaikan masalah bertambah banyaknya jumlah perempuan dari jumlah laki-laki di California. Kebanyakan siswa-siswi sepakat terhadap ide ini. Seorang pelajar perempuan mengatakan bahwa sebetulnya poligami itu lebih bagus menurut pendapatnya, karena bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya lahir dan batin.

Dan perempuan-perempuan “Mormon” (suatu kelompok agama di Amerika), mereka lebih mengutamakan poligami karena para isteri akan saling membantu dalam mendidik anak.
Sedangkan sistem poligami dalam Islam harus disetujui oleh dua pihak. Maka tidak seorangpun boleh memaksa seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang sudah beristeri. sedangkan isteri berhak menolak suaminya untuk menikah dengan perempuan lain.

Adapun Kitab Al-Muqaddas terkadang memerintahkan poligami, karena janda yang tidak melahirkan keturunan wajib menikah dengan saudara suaminya, walupun dia sudah menikah. (lihat bab “Kesedihan Perempuan Janda” ) dan dia (janda) tidak mempunyai hak untuk menolak. (Takwien (penciptaan) 38: 8-10). Berdasarkan pengamatan pada masyarakat Islam dapat kita lihat praktek poligami tidak begitu menyebar dengan bentuk yang besar, karena perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan tidak begitu besar. Dan mungkin bisa kita katakan bahwa praktek poligami di alam Islam lebih sedikit bila dibandingkan banyaknya hubungan-hubungan yang tidak sah di Barat. Bele Graham seorang Masihi protestan yang terkenal pernah berkata:

“Sebenarnya perempuan-perempuan Masihi wajib untuk tidak melarang praktek poligami agar masyarakat terjaga. Karena Islam membolehkan poligami untuk menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan dan memberikan kebebasan untuk memilih para muslim laki-laki, akan tetapi dengan syarat yang jelas dan terbatasi. Sedangkan pada masyarakat Masihi seorang laki-laki hanya boleh menikahi satu perempuan saja, akan tetapi hubungan-hubungan yang tidak sah menyebar di sana. Oleh karena itu agama Islam adalah agama yang mulia karena membolehkan bagi laki-laki menikah untuk yang kedua kalinya. Kemudian Islam juga sangat mengharamkan hubungan-hubungan apapun yang tersembunyi, agar masyarakat terjaga dari perzinahan dan kehancuran, serta menjamin kelurusan masyarakat”.

Namun dari beberapa pengamatan, kebanyakan negeri non muslim dan muslim tidak menerima solusi ini, yang diterima sekarang adalah larangan terhadap poligami. Dan pernikahan dengan perempuan lain walaupun dengan persetujuan isteri pertama dikategorikan melanggar undang-undang. Tetapi pengkhianatan isteri dan suami dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan isteri atau dengan persetujuannya dikategorikan sebagai undang-undang!!! Apa hikmah dari kontradiksi ini? Apakah undang-undang dibuat untuk membolehkan pengkhianatan dan mengganti kepercayaan (amaanah)? Sesungguhnya ini adalah salah satu dari pertentangan-pertentangan yang mengherankan pada masyarakat kita (Orang kota) sekarang.

&