Tag Archives: yusuf qardawy

MAKRUH

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

BAGIAN paling rendah dalam rangkaian perkara-perkara yang
dilarang adalah perkara makruh; yaitu makruh tanzihi. Sebagaimana diketahui, makruh ini ada dua macam; makruh
tahrimi dan makruh tanzihi. Makruh tahrimi ialah perkara
makruh yang lebih dekat kepada haram; sedangkan makruh tanzihi
ialah yang lebih dekat kepada halal. Dan itulah yang
dimaksudkan dengan istilah makruh pada umumnya.

Banyak sekali contoh yang kita kenal dalam perkara ini.
Barangsiapa yang pernah membaca buku Riyadh as-Shalihin, yang
ditulis oleh Imam Nawawi, maka dia akan dapat menemukan
berbagai contoh tentang perkara yang makruh ini. Seperti
makruhnya orang yang makan sambil bersandar, minum dari bawah
bejana air, meniup minuman, beristinja’ dengan tangan kanan,
memegang farji dengan tangan kanan tanpa adanya uzur, berjalan
dengan satu sandal, bertengkar di masjid dan mengangkat suara
di dalamnya, berbisik di masjid pada hari Jumat ketika imam
sedang berkhotbah, membesar-besarkan suara ketika berbicara,
mengucapkan doa, “Ya Allah ampunilah dosaku kalau engkau mau.”
“Kalau Allah dan Fulan menghendaki”, berbincang-bincang
setelah makan malam yang paling akhir, shalat ketika makanan
sudah dihidangkan, mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa,
atau untuk melakukan Qiyamul Lail.

Perkara yang makruh –sebagaimana didefinisikan oleh para
ulama– ialah perkara yang apabila ditinggalkan kita
mendapatkan pahala, dan apabila dikerjakan tidak mendapatkan
dosa.

Oleh karena itu, tidak ada siksa bagi orang yang melakukan
perkara yang dianggap makruh tanzihi. Hanya saja, ia akan
dikecam apabila melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan
kecaman apalagi jika ia melakukannya berulang-ulang.

Akan tetapi, kita tidak perlu menganggap mungkar tindakan
semacan ini (makruh tanzihi); agar mereka tidak terjebak dalam
kesibukan memerangi hal-hal yang makruh padahal di saat yang
sama mereka sedang melakukan hal-hal yang jelas diharamkan
oleh agama.

&

SYUBHAT

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

SETELAH tingkatan perkara-perkara kecil yang diharamkan, maka
di bawahnya adalah syubhat. Yaitu perkara yang tidak diketahui
hukumnya oleh orang banyak, yang masih samar-samar kehalalan
maupun keharamannya. Perkara ini sama sekali berbeda dengan
perkara yang sudah sangat jelas pengharamannya.

Oleh sebab itu, orang yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad, kemudian dia melakukannya, sehingga memperoleh
kesimpulan hukum yang membolehkan atau mengharamkannya, maka
dia harus melakukan hasil kesimpulan hukumnya. Dia tidak
dibenarkan untuk melepaskan pendapatnya hanya karena khawatir
mendapatkan celaan orang lain. Karena sesungguhnya manusia
melakukan penyembahan terhadap Allah SWT berdasarkan hasil
ijtihad mereka sendiri kalau memang mereka mempunyai keahlian
untuk melakukannya. Apabila ijtihad yang mereka lakukan
ternyata salah, maka mereka dimaafkan, dan hanya mendapatkan
satu pahala.

Dan barangsiapa yang hanya mampu melakukan taklid kepada orang
lain, maka dia boleh melakukan taklid kepada ulama yang paling
dia percayai. Tidak apa-apa baginya untuk tetap mengikutinya
selama hatinya masih mantap terhadap ilmu dan agama orang yang
dia ikuti.

Barangsiapa yang masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan
belum jelas kebenaran baginya, maka perkara itu dianggap
syubhat, yang harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan
kehormatannya; sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits
Muttafaq ‘Alaih:

“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan sesungguhnya
yang haram juga jelas. Di antara keduanya ada
perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui hukumnya
oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi
syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus ke
dalamnya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang
haram. Seperti penggembala yang menggembala ternak-nya
di sekitar tempat yang masih diragukan bila binatang
ternaknya memakan rumput di sana.” 63

Orang yang bodoh diharuskan bertanya kepada orang yang pandai
dan dapat dipercaya dalam perkara yang masih diragukan,
sehingga dia mengetahui betul hakikat hukumnya. Allah SWT
berfirman:

“…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Dalam sebuah hadits disebutkan:

“Tidakkah mereka mau bertanya kalau mereka tidak tahu?
Karena sesungguhnya kesembuhan orang yang tersesat
adalah dengan bertanya.” 64

Cara orang menghadapi masalah syubhat inipun bermacam-macam,
tergantung kepada perbedaan pandangan mereka, perbedaan tabiat
dan kebiasaan mereka, dan juga perbedaan tingkat wara’ mereka.

Ada orang yang tergolong kawatir yang senantiasa mencari
masalah syubhat hingga masalah yang paling kecil sehingga
mereka menemukannya. Seperti orang-orang yang meragukan
binatang sembelihan di negara Barat, hanya karena masalah yang
sangat sepele dan remeh. Mereka mendekatkan masalah yang jauh
dan menyamakan hal yang mustahil dengan kenyataan. Mereka
mencari-cari dan bertanya-tanya sehingga mereka mempersempit
ruang gerak mereka sendiri, yang sebetulnya diluaskan oleh
Allah SWT.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diteranglan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu…”
(al-Ma’idah: 101)

Sebagai orang Muslim tidaklah patut bagi kita untuk
mencari-cari hal yang lebih sulit.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari
‘Aisyah sesungguhnya Nabi saw pernah ditanya, “Sesungguhnya
ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging,
dan kami tidak mengetahui apakah mereka menyebut nama Allah
ketika menyembelihnya ataukah tidak.” Maka Nabi saw bersabda,
“Sebutlah nama Allah dan makanlah.”

Imam Ibn Hazm mengambil hadits ini sebagai suatu kaidah:
“Sesuatu perkara yang tidak ada pada kami, maka kami tidak
akan menanyakannya.”

Diriwayatkan bahwasanya Umar r.a. pernah melintasi sebuah
jalan kemudian dia tersiram air dari saluran air rumah
seseorang; ketika itu dia bersama seorang kawannya. Maka
kawannya berkata, “Hai pemilik saluran air, airmu ini suci
atau najis?” Maka Umar berkata, “Hai pemilik saluran air,
jangan beritahu kami, karena kami dilarang mencari-cari
masalah.”

Ada sebuah hadits shahih dari Nabi saw bahwa ada seseorang
yang mengadu kepadanya tentang orang yang merasa bahwa dia,
merasakan sesuatu, ketika shalat atau ketika berada di masjid.
Maka Nabi saw menjawab, “Jangan kembali, sampai dia ‘mendengar
suara’ atau merasa buang angin. ”

Dari hadits ini para ulama menetapkan suatu kaidah: “Keyakinan
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Dan sesungguhnya
orang itu harus berbuat sesuai dengan keyakinan asalnya dan
menyingkirkan keraguannya.” Inilah cara yang paling pasti
untuk menyingkirkan keraguan.

Pada suatu hari Rasulullah saw pernah menyambut undangan
seorang Yahudi. Beliau memakan makanannya dan tidak bertanya
apakah halal ataukah tidak? Apakah wadah-wadahnya suci ataukah
tidak. Nabi saw dan para sahabatnya mengenakan pakaian yang
diambil dari mereka, pakaian yang ditenun oleh orang-orang
kafir dan wadah yang dibuat oleh mereka. Ketika kaum Muslimin
berperang, mereka juga membagi-bagikan wadah, pakaian,
kemudian mereka pakai semuanya. Ada riwayat yang shahih bahwa
mereka juga mempergunakan air dari wadah air kaum musyrik.65

Sebaliknya, ada orang-orang yang sangat keras sikapnya karena
berpegang kepada hadits shahih dari Nabi saw bahwasanya beliau
pernah ditanya tentang bejana Ahli Kitab, yang memakan babi,
dan meminum khamar. Beliau menjawab “Jika kamu tidak menemukan
yang lainnya, maka basuhlah dengan air, kemudian makanlah
dengan bejana itu.” 66

Imam Ahmad menafsirkan bahwa syubhat ialah perkara yang berada
antara halal dan haram; yakni yang betul-betul halal dan
betul-betul haram. Dia berkata, “Barangsiapa yang menjauhinya,
berarti dia telah menyelamatkan agamanya. Yaitu sesuatu yang
bercampur antara yang halal dan haram.”

Ibn Rajab berkata, “Masalah syubhat ini berlanjut kepada cara
bermuamalah dengan orang yang di dalam harta bendanya
bercampur antara barang yang halal dan barang yang haram.
Apabila kebanyakan harta bendanya haram, maka Ahmad berkata,
‘Dia harus dijauhkan kecuali untuk sesuatu yang kecil dan
sesuatu yang tidak diketahui.’ Sedangkan ulama-ulama yang lain
masih berselisih pendapat apakah muamalah dengan orang itu
hukumnya makruh ataukah haram?

Jika kebanyakan harta bendanya halal, maka kita diperbolehkan
melakukan muamalah dengannya, dan makan dari harta bendanya.
Al-Harits meriwayatkan dari Ali bahwasanya dia berkata tentang
hadiah-hadiah yang diberikan oleh penguasa: “Tidak apa-apa,
jika yang diberikan kepada kamu berasal dari barang yang lebih
banyak halalnya daripada haramnya, karena dahulu Nabi saw dan
para sahabatnya pernah melakukan muamalah dengan orang-orang
musyrik dan Ahli Kitab, padahal mereka tidak menjauhi hal-hal
yang haram secara menyeluruh.”

Jika ada suatu perkara yang masih diragukan maka perkara ini
dikatakan syubhat. Dan orang-orang wara’ (yang lebih
berhati-hati dalam menjauhkan diri dari kemaksiatan)
meninggalkan perkara yang termasuk dalam syubhat ini. Sufyan
berkata, “Hal itu tidak mengherankan saya, yang lebih
mengherankan bagi saya ialah cara dia meninggalkannya.”

Az-Zuhri dan Makhul berkata, “Tidak apa-apa bagi kita untuk
memakan sesuatu yang kita tidak tahu bahwa barang itu haram,
jika tidak diketahui dengan mata kepalanya sendiri bahwa di
dalam barang itu terdapat sesuatu yang haram.” Ini sesuai
dengan apa yang ditegaskan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal.

Ishaq bin Rahawaih berpendapat sesuai dengan riwayat yang
berasal dari Ibn Mas’ud dan Salman, dan lain-lain yang
mengatakan bahwa perkara ini termasuk rukhshah; serta
berdasarkan riwayat yang berasal dari al-Hasan dan Ibn Sirin
yang membolehkan pengambilan sesuatu yang berasal dari riba
dan judi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibn Manshur.

Imam Ahmad berkata tentang harta benda yang masih diragukan
kehalalan dan keharamannya, “Jika harta benda itu jumlahnya
sangat banyak, maka harta-harta yang haram harus dikeluarkan,
dan kita boleh mengadakan transaksi dengan harta yang masih
tersisa. Tetapi jika harta bendanya sedikit kita harus
menjauhi barang-barang itu semuanya. Dengan alasan bahwa
sesungguhnya barang yang jumlahnya hanya sedikit dan tercampur
dengan sesuatu yang haram, maka dengan menjauhinya kita lebih
selamat dari benda yang haram tersebut, dan berbeda dengan
barang yang jumlahnya banyak. Di antara sahabat kami ada yang
lebih berhati-hati dalam menjaga suasana wara’nya sehingga
mereka lebih membawa masalah ini kepada pengharaman. Kelompok
ini membolehkan transaksi dengan harta yang sedikit maupun
banyak setelah mengeluarkan barang-barang haram yang tercampur
di dalam barang-barang tersebut. Ini merupakan pendapat mazhab
Hanafi dan lain-lain. Pendapat inilah yang diikuti oleh
orang-orang wara’, seperti Bisyr al-Hafi.

Sekelompok ulama salaf yang lain memberikan keringanan untuk
memakan makanan dari orang yang diketahui bahwa di dalam
hartanya ada sesuatu yang haram, selama orang itu tidak tahu
barang haram itu dengan mata kepalanya sendiri; sebagaimana
pendapat Makhul dan al-Zuhri yang kami sebutkan di muka.
Begitu pula pendapat yang diriwayatkan dari Fudhail bin
‘Iyadh.

Sehubungan dengan hal ini ada beberapa riwayat yang berasal
dari para ulama salaf. Ada sebuah riwayat yang berasal dari
Ibn Mas’ud bahwasanya dia ditanya tentang orang yang mempunyai
tetangga yang memakan barang riba secara terang-terangan. Dia
merasa tidak bersalah dengan adanya barang kotor yang dia
pergunakan untuk makanan para tamu undangannya itu. Ibn Mas’ud
menjawab, “Penuhi undangannya, karena sesungguhnya jamuan itu
untukmu dan dosanya ditanggung olehnya.” 67

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa orang itu berkata, “Aku
tidak tahu sesuatupun dari miliknya selain barang yang kotor
dan haram.” Ibn Mas’ud menjawab: “Penuhi undangannya.” Imam
Ahmad men-shahih-kan riwayat ini dari Ibn Mas’ud, akan tetapi
dia menolak isi riwayat darinya dengan berkata, “Dosa itu
melingkari (hawazz) hati.” 68

Bagaimanapun, perkara-perkara syubhat yang tidak jelas apakah
itu halal atau haram, karena banyak orang yang tidak
mengetahui hukumnya, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw
kadang-kadang kelihatan jelas oleh sebagian orang bahwa ia
halal atau haram sebab dia memiliki ilmu yang lebih. Sedangkan
sabda Nabi saw menunjukkan bahwa ada perkara-perkara syubhat
yang diketahui hukumnya oleh sebagian manusia, tetapi banyak
orang yang tidak mengetahuinya.

Untuk kategori orang yang tidak mengetahuinya, terbagi menjadi
dua:

Pertama, orang yang mendiamkan masalah ini dan tidak mengambil
tindakan apa-apa karena ini adalah masalah syubhat.

Kedua, orang yang berkeyakinan bahwa ada orang lain yang
mengetahui hukumnya. Yakni mengetahui apakah masalah ini
dihalalkan atau diharamkan. Ini menunjukkan bahwa untuk
masalah yang masih diperselisihkan halal haramnya adalah sama
di sisi Allah, sedangkan orang yang lainnya tidak
mengetahuinya. Artinya, orang lain itu tidak dapat mencapai
hukum yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Allah SWT walaupun
dia berkeyakinan bahwa pendapatnya mengenai masalah syubhat
itu sudah benar. Orang seperti ini tetap diberi satu pahala
oleh Allah SWT karena ijtihad yang dilakukannya, dan dia
diampuni atas kesalahan yang telah dilakukannya.

“Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara yang syubhat
maka berarti telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan barangsiapa yang telah terjerumus
dalam syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam
sesuatu yang haram”

Hadits ini membagi manusia dalam masalah syubhat, menjadi dua
bagian; yakni bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya.

Adapun orang yang mengetahui hukumnya, dan mengikuti petunjuk
ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia termasuk pada
kelompok ketiga, yang tidak disebutkan di sini karena hukumnya
sudah jelas. Inilah kelompok terbaik dalam tiga kelompok yang
menghadapi masalah syubhat, karena ia mengetahui hukum Allah
dalam perkara-perkara syubhat yang dihadapi oleh manusia, dan
dia mengambil tindakan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.

Sedangkan kelompok yang tidak mengetahui hukum Allah terbagi
menjadi dua:

Pertama, orang yang menjauhi syubhat tersebut. Kelompok ini
dianggap telah menyelamatkan (istabra’a) agama dan
kehormatannya. Makna istabra’a di sini ialah mencari
keselamatan untuk agama dan kehormatannya, agar terhindar dari
kekurangan dan keburukan.

Hal ini menunjukkan bahwa mencari keselamatan untuk kehormatan
diri adalah terpuji, seperti halnya mencari kehormatan untuk
agamanya. Oleh sebab itu, ada ungkapan: “Sesungguhnya sesuatu
yang dipergunakan oleh seseorang untuk menjaga kehormatan
dirinya termasuk sedekah.”

Kedua, orang yang terjerumus ke dalam syubhat padahal dia tahu
bahwa perkara itu syubhat baginya. Sedangkan orang yang
melakukan sesuatu yang menurut pandangan orang syubhat, tetapi
menurut pandangan dirinya sendiri bukan syubhat, karena dia
tahu bahwa perkara itu halal, maka tidak ada dosa baginya di
sisi Allah SWT. Akan tetapi, kalau dia khawatir bahwa
orang-orang akan mengecam dirinya karena melakukan hal itu,
maka meninggalkan perkara itu dianggap sebagai penyelamatan
terhadap kehormatan dirinya. Dan ini lebih baik. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Nabi saw kepada orang yang sedang
melihatnya berdiri bersama Shafiyah; yakni Shafiyah binti
Huyai.69

Anas keluar untuk shalat Jumat, kemudian dia melihat
orang-orang telah shalat dan kembali, kemudian dia merasa
malu, lalu dia masuk ke sebuah tempat yang tidak tampak oleh
orang banyak, kemudian dia berkata, “Barangsiapa yang tidak
malu kepada orang, berarti dia tidak malu kepada Allah.”

Kalau seseorang melakukan suatu perkara dengan keyakinan bahwa
perkara itu halal, dengan ijtihad yang telah diketahui oleh
orang banyak, atau dengan taklid yang telah dilakukan oleh
orang banyak, kemudian ternyata keyakinannya salah, maka hukum
perkara yang dilakukannya adalah mengikut hukum ketika dia
melakukannya. Akan tetapi kalau ijtihadnya lemah, dan
taklidnya tidak begitu terkenal di kalangan orang banyak,
kemudian dia melakukan hal itu hanya sekadar mengikuti hawa
nafsu, maka perkara yang dia lakukan dihukumi sebagai orang
yang melakukan syubhat.

Dan orang yang melakukan perkara syubhat padahal dia
mengetahui bahwa perkara itu masih syubhat, maka orang seperti
ini adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw bahwa dia
termasuk orang yang terjerumus dalam sesuatu yang haram.
Pernyataan ini dapat ditafsirkan ke dalam dua hal:

Pertama, syubhat yang dilakukan tersebut –dengan keyakinan
bahwa apa yang dilakukan adalah syubhat– merupakan penyebab
baginya untuk melakukan sesuatu yang haram –yang diyakini
bahwa perkara itu adalah haram.

Dalam riwayat as-Shahihain untuk hadits ini disebutkan,

“Barangsiapa yang berani melakukan sesuatu yang masih
diragukan bahwa sesuatu itu berdosa, maka dia tidak
diragukan lagi telah terjerumus dalam sesuatu yang
jelas berdosa.” 70

Kedua, sesungguhnya orang yang memberanikan diri untuk
melakukan sesuatu yang masih syubhat baginya, dan dia tidak
mengetahui apakah perkara itu halal ataukah haram; maka tidak
dijamin bahwa dia telah aman dari sesuatu yang haram. Dan oleh
karena itu dia dianggap telah melakukan sesuatu yang haram
walaupun dia tidak mengetahui bahwa hal itu haram.

Sesungguhnya Allah SWT telah menjaga hal-hal yang diharamkan
dan melarang hamba-Nya uneuk mendekatinya. Larangan itu Dia
namakan dengan batas-batas haram. Oleh karena itu Dia
menganggap bahwa orang yang menggembalakan binatang ternaknya
di sekitar batas-batas itu dan dekat dengannya, dianggap telah
melanggar dan memasuki kawasan yang diharamkan oleh-Nya.
Begitu pula orang yang melanggar batas-batas halal, kemudian
dia terjerumus ke dalam syubhat, maka dia dianggap sebagai
orang yang mendekatkan diri kepada sesuatu yang haram. Dan
sesungguhnya Allah SWT tidak bermaksud mencampur adukkan haram
yang murni, agar orang terjerumus ke dalamnya. Hal ini
menunjukkan bahwa kita harus menjauhi perkara-perkara yang
diharamkan-Nya dan meletakkan batas antara manusia dan sesuatu
yang haram itu

Tirmidzi dan Ibn Majah meriwayatkan hadits dari Abdullah bin
Yazid, dari Nabi saw bersabda,

“Seorang hamba tidak akan dapat mencapai tingkat
orang-orang yang bertaqwa sampai dia meninggalkan
sesuatu yang tidak apa-apa baginya karena khawatir akan
apa-apa baginya.”71

Abu Darda, berkata, “Kesempurnaan taqwa itu ialah bila seorang
hamba sudah bertaqwa kepada Allah SWT; sehingga dia menjauhi
dosa yang paling kecil sekalipun, dan meninggalkan sebagian
perkara yang dia anggap halal karena khawatir perkara tersebut
haram. Dia meletakkan batas antara dirinya dan sesuatu yang
haram itu.”

Al-Hasan berkata, “Ketaqwaan akan tetap berada pada diri orang
yang bertaqwa kalau mereka banyak meninggalkan hal-hal yang
halal karena khawatir ada sesuatu yang haram di dalamnya.”

Ats-Tsauri berkata, “Mereka dinamakan orang yang bertaqwa
karena mereka menjauhi apa yang tidak dijauhi oleh orang
banyak.” 72

Diriwayatkan dari Ibn Umar berkata, “Sesungguhnya aku suka
meletakkan batas penghalang antara diriku dan sesuatu yang
haram dan yang halal, dan aku tidak akan membakarnya.”

Maimun bin Mahran berkata, “Seseorang tidak dianggap telah
melakukan sesuatu yang halal, sampai dia membuat batas antara
dirinya dan sesuatu yang haram, dengan sesuatu yang halal.” 73

Sufyan bin Uyainah, 74 berkata, “Seseorang tidak dianggap
telah mencapai hakikat iman sampai dia menciptakan batas
antara yang halal dan yang haram dengan sesuatu yang halal,
dan dia meninggalkan dosa serta yang serupa dengannya.” 75

Itulah seharusnya tindakan yang harus dilakukan oleh setiap
orang sesuai dengan tingkatan keilmuannya. Ada orang yang
tidak keberatan sama sekali untuk melakukan syubhat, karena
dia telah tenggelam di dalam hal-hal yang haram, bahkan dalam
dosa-dosa besar. Na’udzu billah. Di samping itu, hal-hal yang
syubhat harus tetap dalam posisi syar’inya dan tidak
ditingkatkan kepada kategori haram yang jelas dan pasti.
Karena sesungguhnya di antara perkara yang sangat berbahaya
ialah meleburkan batas-batas antara berbagai tingkatan hukum
agama, yang telah diletakkan oleh Pembuat Syariah agama ini,
di samping perbedaan hasil dan pengaruh yang akan
ditimbulkannya.

Catatan kaki:

63 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Nu’man bin Basyir (52),
(2051); dan diriwayatkan oleh Muslim (1599)

64 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir (Shahih al-Jami’
as-Shaghir, 4362)

65 Lihat Bukhari (344); Ibn Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam,
1:199.

66 Muttafaq Alaih, diriwayatkan oleh Bukhari (5478): Muslim
(1390) dari Abu Tsa’labah al-Khasyani.

67 Diriwayatkan oleh Abd al-Razzaq di dalam al-Mushannaf,
4675, 4676, dengan isnad yang shahih.

68 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Kabir, 8747-8750,
kemudian disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’, 1: 176,
dan berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani seluruhnya dengan
sanad yang rijal-nya shahih.” Al-Hawazz sebagaimana yang
dijelaskan dalam buku an-Nihayah, adalah perkara-perkara yang
melingkupi hati atau yang paling banyak mempengaruhinya. Yakni
sesuatu yang terbetik di dalam hati, dan mendorong orang unruk
melakukan maksiat karena dia sudah kehilangan ketenangan
dirinya. Syamar meriwayatkan hadits ini dengan kata hawazz,
yang artinya melintas dan menguasainya.

69 Diriwayatkan oleh Bukhari (2035): Muslim (2175): Abu Dawud
(2470): dan Ahmad 6:337 dari hadits Shafiyyah.

70 Diriwayatkan oleh Bukhari saja (2051).

71 Diriwayatkan oleh Tirmidzi (2451); Ibn Majah (4215).
Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan gharib, padahal dalam
rangkaian sanad hadits ini ada Abdullah bin Yazid al-Dimasyqi
yang dianggap dha’if.”

72 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 7:384, dari
ucapan Sufyan bin Uyainah.

73 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 4:84.

74 al-Hilyah, 7:288

75 Ibn Rajab. Jami al-‘Ulum wa al-Hikam, 1:209,200, cet.
Al-Risalah yang di-tahqiq (diseleksi) oleh Syu’aib al-Arnauth,
yang beberapa takhrij haditsnya telah kita gunakan.

&

KEMAKSIATAN BESAR YANG DILAKUKAN OLEH HATI MANUSIA

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

DOSA-DOSA besar itu tidak hanya terbatas kepada amalan-amalan lahiriah, sebagaimana anggapan orang banyak, akan tetapi kemaksiatan yang lebih besar dosanya dan lebih berbahaya ialah yang dilakukan oleh hati manusia.

Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan lebih utama daripada amalan yang dilakukan oleh anggota
tubuhnya. Begitu pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh hati manusia juga lebih besar dosanya dan lebih besar
bahayanya.

KEMAKSIATAN ADAM DAN KEMAKSIATAN IBLIS

Al-Qur’an telah menyebutkan kepada kita dua bentuk kemaksiatan yang mula-mula terjadi setelah terciptanya Adam dan setelah dia ditempatkan di surga.

Pertama, kemaksiatan yang dilakukan oleh Adam dan istrinya
ketika dia memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah
SWT. Itulah jenis kemaksiatan yang berkaitan dengan
amalan-amalan anggota tubuh yang lahiriah, yang didorong oleh kelupaan dan kelemahan kehendak manusia; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha: 115)

Iblis terlaknat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yaitu
ketika Adam lupa dan lemah kekuatannya. Iblis menampakkan
kepada Adam dan istrinya bahwa larangan Allah untuk memakan buah pohon itu sebagai sesuatu yang indah. Ia menipu mereka, dan menjanjikan sesuatu kepada mereka sehingga mereka terjatuh ke dalam janji-janji manis Iblis.

Akan tetapi, Adam dan istrinya segera tersadarkan iman yang
bersemayam di dalam hati mereka, dan mereka mengetahui bahwa mereka telah melanggar larangan Allah; kemudian mereka bertobat kepada Tuhannya, dan Allah SWT menerima tobat mereka:

“… dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.
Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 121-122)

Keduanya berkata, “Ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 23)

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,
maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 37)

Kedua, kemaksiatan yang dilakukan oleh Iblis ketika dia
diperintahkan oleh Allah –bersama para malaikat– untuk
bersujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya, yang diciptakan oleh Allah SWT dengan kedua tangan-Nya, kemudian Dia tiupkan ruh kepadanya.

“Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama malaikat yang sujud itu. Allah berfirman: “Hai lblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” Berkata Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu akan tetap menimpamu hingga hari kiamat kelak.”” (al-Hijr: 30-35)

Itulah keengganan dan kesombongan terhadap perintah Allah
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah:

“… maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (al-Baqarah: 34)

Iblis membantah dan berkata kepada Tuhannya dengan sombongnya:

“… Aku lebih baik daripada dirinya. engkau ciptakan saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)

Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa kemaksiatan Adam adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh anggota badan yang tampak, kemudian dia segera bertobat.
Sedangkan kemaksiatan Iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang tidak tampak; yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang sangat buruk oleh Allah SWT. Kami berlindung kepada Allah dari segala kemaksiatan tersebut.

Tidak heranlah bahwa setelah itu datang peringatan yang sangat keras terhadap kita dari melakukan kemaksiatan dalam hati, yang digolongkan kepada dosa-dosa besar. Kebanyakan
kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan besar yang dilakukan oleh anggota tubuh kita yang tampak; dalam bentuk meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah, atau melakukan segala larangannya.

KESOMBONGAN

Sebagaimana yang kita ketahui dari kisah Iblis bersama dengan Adam, kesombongan dapat mendorong kepada penolakan terhadap perintah Allah SWT. Dia berfirman:

“Berkata Iblis: ‘Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal dari) lumpur hitam yang diberi bentuk.'” (al-Hijr: 33)

“… Aku lebih baik daripada dirinya…” (Shad: 76)

Atas dasar itulah kita diperingatkan untuk tidak melakukan kesombongan dan melakukan penghinaan terhadap orang lain; sehingga Rasulullah saw bersabda,

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat setitik kesombongan.”27

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, “Kemegahan adalah kain-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, dan barangsiapa yang merebutnya dari-Ku, maka Aku akan menyiksanya.” 28

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Seseorang akan dianggap telah melakukan keburukan apabila dia menghina saudaranya sesama Muslim.” 29

“Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya (memanjangkan pakaian yang dikenakannya secara berlebihan) maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak.”30

Selain dari hadits-hadits tersebut, al-Qur’an dalam berbagai ayatnya mencela orang yang melakukan kesombongan, dan menjelaskan bahwa kesombongan mencegah banyak orang untuk beriman kepada Rasulullah saw, sekaligus menjerumuskan diri mereka ke neraka Jahanam:

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenarannya)…” (an-Nahl: 14)

“Maka masuklah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (an-Nahl: 29)

“… Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong.” (an-Nahl: 23)

“… Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku…” (al-A’raf: 146)

KEDENGKIAN DAN KEBENCIAN

Dalam kisah dua orang anak nabi Adam yang dikisahkan oleh al-Qur’an kepada kita, kita dapat menemukan kedengkian (hasad) yang mendorong kepada salah seorang di antara dua bersaudara itu untuk membunuh saudaranya yang berhati baik.

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu.” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa.”
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.”
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.” Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?.” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (al-Ma’idah: 27-31)

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berlindung kepada Allah
dari kejahatan orang-orang yang dengki.

“Dan dari kejahatan orang dengki apabila dia sedang dengki.” (al-Falaq: 5)

Al-Qur’an mengatakan bahwa hasad adalah salah satu sifat orang Yahudi.

“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran, karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia itu.?…” (an-Nisa’: 54)

Allah menjadikan hasad sebagai salah satu penghalang keimanan terhadap ajaran Islam, dan merupakan salah satu sebab penipuan terhadapnya:

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (al-Baqarah: 109)

Rasulullah saw mengatakan bahwa kedengkian dan kebencian merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan sangat mempengaruhi agamanya. Beliau saw bersabda,

“Penyakit umat terdahulu telah merambah kepada kamu semua yaitu: kebencian dan kedengkian. Kebencian itu adalah pencukur. Aku tidak berkata pencukur rambut, tetapi pencukur agama.” 31

Dalam hadits yang lain disebutkan, “Tidak akan bertemu di dalam diri seorang hamba, keimanan dan kedengkian.”32

Rasulullah saw bersabda, “Manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama dia tidak mempunyai rasa dengki”33

KEKIKIRAN YANG DIPERTURUTKAN

Di antara bentuk kemaksiatan hati yang besar ialah tiga hal yang dianggap merusak kehidupan manusia, yang kita diperingatkan oleh hadits Nabi saw untuk menjauhinya: “Ada tiga hal yang dianggap dapat membinasakan kehidupan manusia, yaitu kekikiran (kebakhilan) yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dan ketakjuban orang terhadap dirinya sendiri.”34

Banyak sekali hadits yang mencela sifat kikir ini:

“Kekikiran dan keimanan selamanya tidak akan bertemu
dalam hati seorang hamba.” 35

“Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah, kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang melucuti.” 36

“Jauhilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu; karena ia membuat mereka menumpahlan darah dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan bagi mereka.” 37

“Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskannya; kekikiran itu menyuruh bakhil, maka mereka bakhil; kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka mereka berbuat keji.” 38

Para ulama berkata, “Kikir adalah sifat bakhil yang disertai dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali’)ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah.
Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang diminta orang.” Mereka berkata, “Kekikiran selamanya tidak pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin, dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadits Nabi saw menafikan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.

HAWA NAFSU YANG DITURUTI

Di antara hal-hal yang dapat membinasakan (al-muhlikat) manusia sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw ialah hawa nafsu yang dituruti; yang juga diperingatkan oleh al-Qur’an dalam berbagai ayatnya. Allah SWT pernah berkata kepada Dawud:

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu penguasa di maka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL

3 Jan

Yusuf Qardawy, Fiqih Prioritas

SATU hal yang sangat penting di sini ialah kemampuan untuk
membedakan tingkat kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan.
Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan ini ada
tingkat-tingkatnya.

Akan tetapi, nash-nash agama menyebutkan kekufuran,
kemusyrikan, dan kemunafiqan hanya dalam satu istilah, yakni
kemaksiatan; apalagi untuk dosa-dosa besar. Kita mesti
mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita tidak
mencampur adukkan antara berbagai istilah tersebut, sehingga
kita menuduh sebagian orang telah melakukan kemaksiatan berupa
kekufuran yang paling besar (yakni ke luar dari agama ini)
padahal mereka sebenarnya masih Muslim. Dengan menguasai
penggunaan istilah itu, kita tidak menganggap suatu kelompok
orang sebagai musuh kita, lalu kita menyatakan perang terhadap
mereka, padahal mereka termasuk kelompok kita, dan kita juga
termasuk dalam kelompok mereka; walaupun mereka termasuk orang
yang melakukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk
menangani masalah ini sebaiknya kita mengaca pada peribahasa
Arab: “Hidungmu adalah bagianmu, walaupun hidung itu pesek.”

KEKUFURAN BESAR DAN KEKUFURAN KECIL

Sebagaimana diketahui bahwasanya kekufuran yang paling besar
ialah kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana
yang telah kami sebutkan di muka sehubungan dengan kekufuran
orang-orang atheis; atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad
saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang Yahudi dan
Nasrani. Mereka dikategorikan sebagai orang-orang kafir
terhadap kerasulan Muhammad dalam hukum-hukum dunia Adapun
balasan yang akan diterima oleh mereka, tergantung kepada
sejauh mana rintangan yang pernah mereka lakukan terhadap
Rasulullah saw setelah dijelaskan bahwa beliau adalah
Rasulullah saw; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)

Adapun bagi orang yang belum jelas kebenaran baginya, karena
dakwah Islam belum sampai kepada mereka, atau telah sampai
tetapi tidak begitu jelas sehingga dia tidak dapat memandang
dan mempelajarinya, maka dia termasuk orang-orang yang
dimaafkan. Allah SWT berfirman:

“… dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.” (al-Isra,: 15)

Diyakini bahwasanya kaum Muslimin bertanggung jawab –sampai
kepada batas yang sangat besar– terhadap kesesatan
bangsa-bangsa di muka bumi; kebodohan mereka akan hakikat
Islam; dan keterjerumusan mereka kepada kebathilan musuh
Islam. Kaum Muslimin harus berusaha dengan keras dan
sungguh-sungguh untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan
dakwah mereka kepada setiap bangsa dengan bahasa mereka,
sehingga mereka mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan
sejelasjelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.

Sedangkan kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang berbentuk
kemaksiatan terhadap agama ini, bagaimanapun kecilnya.

Misalnya orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas,
dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya. Orang seperti
ini, menurut jumhur ulama adalah orang yang berbuat maksiat,
atau fasiq, dan tidak kafir; walaupun dalam beberapa hadits
dikatakan sebagai kafir. Sebagaimana hadits: “Batas antara
kami dan mereka adalah shalat.” “Barangsiapa yang
meninggalkannya, maka dia termasuk kafir.”3 “Batas antara
seseorang dengan kekufuran ialah meninggalkan shalat.”4

Ibn Hazm –dengan Zhahiriyahnya– tidak mengatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat termasuk kafir… Selain itu, ada
riwayat yang berasal dari Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa
orang yang meninggalkan shalat itu adalah kafir. Tetapi dia
dihukumi sebagai orang kafir, kalau imam atau qadhi telah
memanggilnya dan memintanya untuk bertobat, kemudian dia
enggan menuruti permintaan itu.

Imam Ibn Qudamah mendukung pendapat tersebut dan mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir –asal
orang itu tidak mengingkarinya dan tidak mengabaikannya. Jika
dia dibunuh karena meninggalkan shalat, maka hal itu adalah
sebagai pelaksanaan hudud dan bukan karena kafir. Ada riwayat
lain yang juga berasal dari Ahmad, yang dipilih oleh Abu
Abdillah bin Battah, yang tidak setuju dengan pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Abu Abdillah
mengatakan, “Inilah pendapat mazhab, dan tidak ada pendapat
yang bertentangan dengannya dalam mazhab ini.”

Ibn Qudamah mengatakan, “Ini merupakan pendapat kebanyakan
fuqaha, dan juga pendapat Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i…”
seraya mengutip hadits-hadits yang disepakati ke-shahih-annya
5 yang mengharamkan api neraka atas orang yang mengatakan:
“Tiada tuhan selain Allah,” dan orang yang mengatakannya akan
dikeluarkan darinya; karena di dalam hati orang ini masih ada
kebaikan sebesar biji gandum. Selain itu, Ibn Qudamah juga
berargumentasi dengan qaul para sahabat dan konsensus kaum
Muslimin yang mengatakan, “Sesungguhnya kami belum pernah
mengetahui pada suatu zaman yang telah berlalu ada seseorang
yang meninggalkan shalat kemudian dia tidak dimandikan dan
dishalatkan ketika meninggal dunia, kemudian tidak dikubur di
kuburan kaum Muslimin; atau yang ahli warisnya tidak boleh
mewarisi dirinya, atau dia mewarisi keluarganya yang telah
meninggal dunia; atau ada dua orang suami istri yang
dipisahkan karena salah seorang di antara keduanya
meninggalkan shalat, padahal orang yang meninggalkan shalat
sangat banyak. Kalau orang yang meninggalkan shalat dianggap
sebagai kafir, maka akan jelaslah hukum yang berlaku atas
mereka.”

Ibn Qudamah menambahkan, “Kami belum pernah mengetahui
pertentangan yang terjadi antara kaum Muslimin tentang
orang-orang yang meninggalkan shalat bahwa mereka wajib
mengqadhanya. Sampai kalau dia murtad, dia tidak wajib
mengqadha shalat dan puasanya. Adapun hadits-hadits terdahulu
(yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat
dianggap kafir), maka sesungguhnya hadits tersebut ingin
memberikan tekanan yang lebih berat dan menyamakannya dengan
kekufuran, dan bukan ungkapan yang sebenarnya. Sebagaimana
sabda Rasulullah s aw, “Mencela orang Muslim adalah kefasikan
dan membunuhnya adalah kekufuran.”6

“Barangsiapa berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,
maka sesungguhnya kalimat ini akan kembali kepada salah
seorang di antara mereka.”7

Ungkapan-ungkapan seperti itu sebetulnya dimaksudkan untuk
memberikan tekanan dan ancaman, dan pendapat terakhir inilah
yang paling tepat di antara dua pendapat di atas. Wallah
a’lam.8

PENJELASAN IMAM IBN AL-QAYYIM

Dalam buku al-Madarij, imam Ibn al-Qayyim berkata, “Kekufuran
itu adalah dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar
adalah penyebab kekalnya seseorang di api nereka, sedangkan
kufur kecil hanya menyebabkan ancaman Allah SWT dan tidak
kekal di api neraka.” Sebagaimana dijelaskan oleh sabda Nabi
saw,

“Ada dua hal yang menyebabkan kekafiran dalam umatku:
yaitu orang yang menyesali nasabnya dan orang yang
berkhianat.”9

Dalam as-Sunan, Nabi saw bersabda,

“Barangsiapa mendatangi istrinya dari duburnya, maka
dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan kepada
Muhammad.” 10

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda,

“Barangsiapa datang kepada dukun atau peramal, kemudian
dia mempercayai apa yang dia katakan, maka dia telah
kufur terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah
kepada Muhammad.” 11

“Janganlah kamu menjadi kafir lagi sesudahku, kemudian
sebagian dari kamu memukul leher sebagian yang lain.”12

Berikut ini ada baiknya kami kemukakan tentang penakwilan Ibn
Abbas dan para sahabat yang lainnya terhadap firman Allah SWT:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa
yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44)

Ibn Abbas berkata, “Bukan kafir yang mengakibatkan pindahnya
agama, tetapi kalau dia melalukannya maka dia dianggap kafir,
dan tidak seperti orang yang kafir terhadap Allah dan hari
akhir.” Begitu pula pendapat Thawus.

Atha’ berkata, “Yang serupa itu adalah kekufuran di bawah
kekufuran kezaliman di bawah kezaliman, dan kefasiqan di bawah
kefasiqan.”

Sebagian dari mereka ada yang mentakwilkan ayat meninggalkan
hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai orang
yang ingkar kepada-Nya. Ini adalah pendapat Ikrimah.
Penakwilan ini tidak dapat diterima karena sesungguhnya ingkar
kepada-Nya adalah kufur.

Diantara mereka ada yang menakwilkan bahwa meninggalkan hukum
yang dimaksudkan oleh ayat di atas ialah meninggalkan hukum
dengan seluruh ayat yang diturunkan oleh Allah SWT. Dia
menambahkan: “Termasuk di dalamnya ialah hukum yang berkaitan
dengan tauhid dan Islam.” Ini adalah penakwilan Abd al-Aziz
al-Kinani, yang merupakan penakwilan yang jauh juga. Karena
sesungguhnya ancamannya diberikan kepada orang yang menafikan
hukum yang telah diturunkan olehnya, yang mencakup penafian
dalam kadar yang banyak (semuanya) atau hanya sebagian saja.

Ada juga orang yang menakwilkan ayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang dimaksudkan ialah menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nash, dengan sengaja, bukan karena tidak
mengetahui atau karena salah takwil. Begitulah yang dikisahkan
oleh al-Baghawi dari para ulama pada umumnya.

Ada yang mentakwilkan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat itu
ialah para ahli kitab. Yaitu pendapat Qatadah, al-Dhahhak, dan
lain-lain. Dan ini dianggap sebagai penakwilan yang cukup
jauh, karena bertentangan dengan bentuk lahiriah lafal
tersebut sehingga ia tidak dapat ditakwilkan seperti itu.13

Ada pula yang berpendapat: “Hal itu adalah kufur yang dapat
mengeluarkan seseorang dari agama ini.”

Yang benar ialah bahwa sesungguhnya memutuskan hukum dengan
sesuatu yang tidak diturunkan oleh Allah SWT mengandung dua
kekufuran, kecil dan besar, melihat keadaan hakimnya. Kalau
dia berkeyakinan bahwa wajib baginya untuk menetapkan hukum
dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah,
kemudian dia mengetahui bahwa menyimpang darinya dianggap
sebagai suatu kemaksiatan, dan dia juga mengakui bahwa hal itu
akan mendapatkan siksa, maka tindakan ini termasuk kufur
kecil. Jika dia berkeyakinan bahwa tidak wajib baginya
menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam
suatu masalah, kemudian dia merasa bebas untuk menetapkan
hukum tersebut –padahal dia yakin bahwasanya ada hukum Allah
dalam masalah tersebut– maka tindakan ini dianggap sebagai
kekufuran besar. Jika dia tidak tahu dan dia melakukan
kesalahan, maka dia dianggap bersalah dan dihukum sebagai
orang yang memiliki dua kesalahan.

Maksudnya, sesungguhnya semua kemaksiatan merupakan satu
bentuk kekufuran kecil. Ia bertolak belakang dengan
kesyukuran, yakni bekerja untuk melakukan ketaatan. Upaya
untuk menetapkan hukum itu sendiri boleh jadi merupakan satu
bentuk kesyukuran, atau kekufuran, atau yang lain, yaitu tidak
syukur atau tidak kufur…. Wallah a’lam.14

KEMUSYRIKAN BESAR DAN KEMUSYRIKAN KECIL

Sebagaimana adanya pembagian kategori besar dan kecil dalam
kekufuran, begitu pula dalam kemusyrikan. Ada yang besar dan
ada pula yang kecil.

Kemusyrikan yang besar telah diketahui bersama, sebagaimana
dikatakan oleh Ibn al-Qayyim: “Yaitu mempersekutukan sesuatu
dengan Allah SWT. Mencintai sesuatu sebagaimana dia mencintai
Allah. Inilah kemusyrikan yang setara dengan kemusyrikan
karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan alam
semesta. Dan oleh karena itu, mereka berkata kepada
tuhan-tuhan mereka ketika di neraka kelak, ‘Demi Allah,
sungguh kita dahulu di dunia dalam kesesatan yang nyata,
karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan alam semesta.'”l5

Kemusyrikan seperti ini tidak dapat diampuni kecuali dengan
tobat kepada-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik
itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya…”
(an-Nisa’: 48)

Dapat diampuni kalau seseorang tidak mengetahui bahwa amalan
itu adalah amalan jahiliyah dan musyrik, yang sangat dicela
oleh al-Qur’an, sehingga dia terjerumus ke dalamnya, mengakui
kebenarannya, dan menganjurkan orang kepadanya, serta
menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dia tidak tahu bahwa
apa yang sedang dia lakukan adalah pekerjaan orang jahiliyah,
atau orang yang serupa dengannya, atau orang yang lebih jahat
daripada mereka atau di bawah mereka. Karena ketidaktahuannya,
hatinya menentang Islam, menganggap kebaikan sebagai
kemungkaran, dan menganggap kemungkaran sebagai kebaikan;
menganggap sesuatu yang bid’ah sebagai Sunnah, dan menganggap
sunnah sebagai bid’ah; mengkafirkan orang lain yang beriman
dan bertauhid, serta menganggap bid’ah orang-orang yang
mengikuti R3Sulullah saw, orang-orang yang menjauhi hawa nafsu
dan segala bentuk bid’ah. Oleh sebab itu, barangsiapa yang
memiliki mata hati yang hidup, maka dia akan melihat kebenaran
itu dengan mata kepalanya sendiri.

Ibn al-Qayyim berkata, “Sedangkan kemusyrikan kecil adalah
seperti riya’, memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah
dengan selain Allah, sebagaimana ditetapkan oleh hadits Nabi
saw yang bersabda,

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia
telah musyrik.” 16

Dan ucapan seseorang kepada orang lain: ‘Kalau Allah
menghendaki dan engkau menghendaki’; ‘Ini berasal dari Allah
dan dari engkau’; ‘Aku bersama Allah dan engkau’; ‘Kepada
siapa lagi aku bergantung kecuali kepada Allah dan engkau’;
‘Aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu’; ‘Jika tidak ada
kamu, maka tidak akan terjadi begini dan begitu’; dan
ucapan-ucapan seperti ini dapat dikategorikan sebagai
kemusyrikan besar, terpulang kepada orang yang mengatakannya
dan tujuannya. Nabi saw bersabda kepada seorang lelaki yang
berkata kepadanya: “Kalau Allah SWT dan engkau
menghendakinya.” Maka Nabi saw bersabda, “Apakah engkau hendak
menjadikan diriku, sebagai sekutu Allah? Katakan: “Kalau Allah
sendiri menghendaki.”” Ucapan seperti ini adalah yang paling
ringan dibandingkan dengan ucapan yang lainnya.

Di antara bentuk kemusyrikan lainnya ialah sujudnya seorang
murid kepada syaikhnya. Orang yang bersujud, dan orang yang
disujudi dianggap sama-sama melakukan kemusyrikan.

Bentuk yang lainnya yaitu mencukur rambut untuk syaikhnya,
karena sesungguhnya hal ini dianggap sebagai penyembahan
terhadap selain Allah, dan tidak ada yang berhak mendapatkan
penyembahan dengan cara mencukur rambut kecuali dalam ibadah
kepada Allah SWT saja.

Bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah bertobat kepada syaikh.
Ini adalah suatu kemusyrikan yang besar. Karena sesungguhnya
tobat tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Seperti
shalat, puasa, dan haji. Ibadah-ibadah ini hanya khusus untuk
Allah SWT saja.

Dalam al-Musnad disebutkan bahwa kepada Rasulullah saw
didatangkan seorang tawanan, kemudian dia berkata, “Ya Allah,
sesunggguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada
Muhammad.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Dia telah mengetahui
hak untuk yang berhak memilikinya.”

Tobat adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah SWT
sebagaimana sujud dan puasa.

Bentuk kemusyrikan lainnya ialah bernazar kepada selain Allah,
karena sesungguhnya hal ini termasuk kemusyrikan dan dosanya
lebih besar daripada dosa bersumpah atas nama selain Allah .

Kalau ada orang yang bersumpah dengan selain Allah dianggap
musyrik, maka bagaimana halnya dengan orang yang bernazar
untuk selain Allah? Dalam as-sunan ada hadits yang berasal
dari Uqbah bin ‘Amir dari Rasulullah saw yang bersabda, “Nazar
adalah sumpah.”

Di antara bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah takut kepada
selain Allah, bertawakkal kepada selain Allah, dan beramal
karena selain Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada selain
Allah, meminta rizki kepada selain Allah, dan memuji kepada
selain Allah karena memberikan sesuatu kepadanya dan tidak
memuji kepada Allah SWT, mencela dan marah kepada Allah karena
belum mendapat rizki, dan belum ditakdirkan untuk
mendapatkannya, menisbatkan nikmat-nikmat-Nya kepada selain
Allah, dan berkeyakinan bahwa di alam semesta ini ada sesuatu
yang tidak dijangkau oleh kehendak-Nya.” 17

KEMUNAFIQAN BESAR DAN KEMUNAFIQAN KECIL

Kalau di dalam kekufuran dan kemusyrikan ada yang besar dan
ada juga yang kecil, maka begitu pula halnya dengan
kemunafiqan. Ia juga ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemunafiqan besar adalah kemunafiqan yang berkaitan dengan
aqidah, yang mengharuskan pelakunya tetap tinggal
selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan
kekufuran dan menampakkan Islam. Beginilah bentuk kemunafiqan
pada zaman Nabi saw, yang ciri-cirinya disebutkan di dalam
al-Qur’an dan di jelaskan kepada hamba-hamba yang beriman,
agar mereka berhati-hati terhadap orang-orang munafiq,
sehingga mereka sedapat mungkin menjauhi perilaku mereka.

Sedangkan kemunafiqan kecil ialah kemunafiqan dalam amal
perbuatan dan perilaku, yaitu orang yang berperilaku seperti
perilaku orang-orang munafiq, meniti jalan yang dilalui oleh
mereka, walaupun orang-orang ini sebenarnya memiliki aqidah
yang benar. Inilah sebenarnya yang diingatkan oleh beberapa
hadits yang shahih.

“Ada empat hal yang apabila kamu berada di dalamnya,
maka kamu dianggap sebagai orang munafiq murni. Dan
barangsiapa yang mempunyai salah satu sifat tersebut,
maka dia dianggap sebagai orang munafiq hingga ia
meninggalkan sifat tersebut. Yaitu apabila dia
dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia
berbohong, dan apabila membuat janji dia mengingkari,
apabila bertengkar dia melakukan kecurangan.” 18

Hadits yang lain menyebutkan, “Tanda-tanda orang munafiq itu
ada tiga: Apabila bicara, dia berbohong; apabila berjanji dia
mengingkarinya; dan apabila dipercaya, dia berkhianat.”19

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Walaupun dia berpuasa,
shalat, dan mengaku bahwa dia Muslim.” 20

Hadits-hadits ini dan hadits-hadits yang serupa dengannya
menjadikan para sahabat mengkhawatirkan bahwa diri mereka
termasuk golongan munafiq. Sehingga al-Hasan berkata, “Tidak
ada yang takut kecuali omng mu’min dan tidak ada yang merasa
aman darinya kecuali orang munafiq.”

Bahkan, Umar berkata kepada Hudzaifah yang pernah diberi
penjelasan oleh Nabi saw mengenai ciri-ciri orang munafiq:
“Apakah diriku termasuk golongan mereka?”

Umar r.a. pernah memperingatkan adanya orang munafiq yang
cerdik pandai, sehingga ada orang yang bertanya, “Bagaimana
mungkin ada orang munafiq yang pandai?” Dia menjawab: “Pandai
lidahnya, tetapi bodoh hatinya.”

Sebagian sahabat berkata, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dan kekhusyu’an orang munafiq?” Lalu ada orang yang berkata
kepada mereka, “Bagaimanakah bentuknya kekhusyu’an orang
munafiq itu?” Dia menjawab, “Badannya kelihatan khusyu’ tetapi
hatinya tidak khusyu’.” 21

DOSA-DOSA BESAR

Setelah kekufuran dan berbagai tingkatannya, maka di bawahnya
ada kemaksiatan, yang terbagi menjadi dosa-dosa besar, dan
dosa-dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sangat berbahaya,
yang dapat menimbulkan kemurkaan, laknat Allah, dan neraka
Jahanam. Orang yang melakukannya kadang-kadang harus dikenai
hukum had di dunia ini.

Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan batasan
terhadap dosa besar ini. Barangkali yang paling dekat ialah
kemaksiatan yang pelakunya dapat dikenakan had di dunia, dan
diancam dengan ancaman yang berat di akhirat kelak, seperti
masuk neraka, tidak boleh memasuki surga, atau mendapatkan
kemurkaan dan laknat Allah SWT. Itulah hal-hal yang
menunjukkan besarnya dosa itu.

Ada pula nash-nash agama yang menyebutkan batasannya secara
pasti dan mengatakannya ada tujuh 22 macam dosa besar setelah
kemusyrikan; yaitu: Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah
untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar; sihir;
memakan riba; memakan harta anak yatim; menuduh perempuan
mukmin melakukan zina; melakukan desersi dalam peperangan.
Sedangkan hadits-hadits shahih lainnya menyebutkan: Menyakiti
kedua hati orang tua, memutuskan tali silaturahim, menyatakan
kesaksian yang palsu, bersumpah bohong, meminum khamar,
berzina, melakukan homoseksual, bunuh diri, merampok,
mempergunakan barang orang lain secara tidak benar,
mengeksploitasi orang lain, menyogok, dan meramal.

Termasuk dalam kategori dosa besar ini ialah meninggalkan
perkara-perkara fardu yang mendasar, seperti: meninggalkan
shalat, tidak membayar zakat, berbuka tanpa alasan di bulan
Ramadhan, dan tidak mau melaksanakan ibadah haji bagi orang
yang memiliki kemampuan untuk pergi ke tanah suci.

Dosa-dosa besar yang disebutkan oleh pelbagai hadits banyak
sekali macamnya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan
oleh hadits, “Tidakkah telah saya beritahukan kepada kamu
semua mengenai dosa-dosa besar?”23 Kemudian beliau menyebutkan
berbagai dosa besar setelah kemusyrikan: menyakiti hati kedua
orangtua, dan mengucapkan persaksian yang palsu.

Dalam sebuah hadits shahih dikatakan bahwa Nabi saw bersabda.

“Sesungguhnya, yang termasuk salah satu dosa besar
ialah orang yang melaknat kedua orang tuanya.” Kemudian
ada seorang sahabat yang bertanya: “Bagaimana mungkin
seseorang dapat melaknat kedua orang tuanya?” Nabi saw
menjawab, “Seorang lelaki, mencela ayah seorang lelaki,
yang lainnya, kemudian lelaki yang ayahnya dicela itu
mencela ayah orang yang mencelanya, dan mencela
ibunya.”24

Yakni orang yang ayahnya dicela itu, kemudian membalasnya
dengan mencela ayah dan ibunya.

Hadits Nabi saw menganggap bahwa pencelaan terhadap kedua
orangtua secara tidak langsung termasuk salah satu jenis dosa
besar, dan bukan hanya termasuk sesuatu yang diharamkan; lalu
bagaimana halnya dengan orang yang langsung mencela dan
menyakiti hati kedua orangtuanya? Bagaimana halnya dengan
orang yang langsung menyiksa dan memukul kedua orang tuanya?

Bagaimana pula dengan orang yang membuat kehidupan mereka
bagaikan neraka jahim karena kekerasan dan perbuatan yang
menyakitkan hati?

Syariah agama ini telah membedakan antara kemaksiatan yang
didorong oleh suatu kelemahan dan kemaksiatan yang didorong
oleh kezaliman. yang pertama ialah bagaikan zina, dan yang
kedua ialah bagaikan riba. Dari riba adalah dosa yang paling
berat di sisi Allah SWT, sehingga al-Qur’an tidak pernah
mengatakan sesuatu maksiat sebagaimana yang dikatakannya dalam
hal riba:

“… dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu
…” (al-Baqarah: 278-279)

Rasulullah saw yang mulia melaknat orang yang memakan riba,
orang yang menyuruh orang lain memakan riba, penulisnya, dan
kedua saksi atas perbuatan riba itu, sambil bersabda,

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang lelaki dan
dia mengetahui, maka hal itu lebih berat daripada tiga
puluh enam kali berzina.”25

Dan beliau membagi riba menjadi tujuh puluh macam, atau
tujuhpuluh dua atau tujuh puluh tiga macam. Yang paling rendah
dari berbagai macam bentuk itu ialah seorang lelaki yang
menikahi ibunya.26

Catatan Kaki:

3 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Hibban, dan
Hakim dari Buraidah, sebagaimana disebutkan dalam Shahih
al-Jami’ as-Shaghir (4143)

4 Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah
dari Jabir, ibid., (2848)

5 Lihatlah hadits~hadits ini dalam al-Mughni, 3:356; yang
ditahqiq oleh Dr. Taraki dan Dr. Halwa.

6 Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Mas’ud, al-Lu’lu’ wa al-Marjan (43)

7 Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar, ibid., 39

8 Lihat al-Mughni, 3:351-359

9 Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir: 138).

10 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3904); Tirmidzi (135); dan Ibn
Majah (939).

11 Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dari Abu Hurairah r.a.
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir).

12 Muttafaq ‘Alaih dari Jarir dan Ibn Umar, sebagaimana
disebutkan dalam al-Lu’lu’wal-Marjan (44) dan (45).

13 Lihat rincian yang berkaitan dengan masalah ini dalam
fatwa- fatwa yang terperinci dalam buku kami yang berjudul,
Fatawa Mu’ashirah, juz 2, bagian Fatwa: al-Hukm bi ghair ma
Anzala Allah.

14 Lihat Madarij as-Salikin, 1: 335-337

15 Surat as-Syu’ara’, 97-98

16 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibn Umar
(Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 8462)

17 Lihat Madarij as-Salikin, 1:344-346.

18 Muttafaq ‘Alaih, dari Abdullah bin Umar; al-Lu’lu’
wal-Marjan (37).

19 Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah r.a., ibid., (38).

20 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dalam kitab
al-Iman, 109, 110.

21 Madarij al-Salikin, 1: 358

22 Lihat makalah kami yang membahas tentang kemurtadan dan
cara mengatasinya dalam masyarakat Islam; di dalam buku kami
yang berjudul Malaamih al-Majtama’ al-Muslim al-ladzi,
Nansyuduh, bagian al-‘Aqidah wa al-Iman, penerbit Maktabah
Wahbah, Kairo.

23 Ada riwayat dari Abu Hurairah r.a. dalam as-Shahihain dan
lain-lain, yang mengisyaratkan tentang 41 dosa besar ini,
yaitu hadits: “Jauhilah tujuh macam dosa besar (atau hal-hal
yang dapat membinasakan).” Al-Lu’lu’ wa al-Marjan (56).

24 Hadits Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih;
al-Lu’lu’ wa al-Marjan (54).

25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin
Hanzhalah, sebagaimane disebutkan dalam Shahih al-Jami’
as-Shaghir.

26 Diriwayatkan oleh Thabrani dari al-Barra’; al-Hakim dari
Ibn Mas’ud; Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a. sebagaimana
disebutkan dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (3537) (3539) dan
(3541)

PRIORITAS DALAM PERKARA YANG DILARANG

3 Jan

Dr. Yusuf Al Qardhawy, Fiqih Prioritas

PADA bab terdahulu kami telah membahas mengenai perbedaan tingkat dalam perkara-perkara yang diperintahkan, dari perkara yang mustahab hingga perkara yang wajib, fardu kifayah, ardu ain, dan tingkatan fardu ‘ain. Pada bab ini kami juga hendak menguraikan perbedaan tingkat ada perkara-perkara yang dilarang, karena sesungguhnya perkara-perkara yang dilarang tidak berada pada tingkat yang sama. Ia juga memiliki berbagai tingkat yang sangat berbeda.

Yang paling tinggi ialah kufur kepada Allah SWT dan yang paling rendah ialah perkara yang makruh tanzihi, atau yang dikatakan dengan khilaf al-awla (bila kita meninggalkannya, maka hal ini adalah lebih baik).

Kekufuran terhadap Allah SWT juga bertingkat-tingkat dan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

KUFUR ATHEIS

Yang dimaksudkan dengan kufur atheis ialah yang pelakunya tidak percaya bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan, yang mempunyai malaikat, kitab-kitab suci, rasul yang memberi

kabar gembira dan peringatan, serta tidak percaya kepada adanya akhirat di mana manusia akan diberi balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan di dunia ini, baik berupa kebaikan maupun keburukan, Mereka tidak mengakui ketuhanan, kenabian, kerasulan, dan pahala di akhirat kelak, Bahkan mereka adalah sebagaimana pendahulu mereka yang dikatakan di dalam al-Qur’an:

“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): ‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.'” (al-An’am: 29)

Atau sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian orang atheis: “Hidup ini hanyalah lahir dari rahim kemudian ditelan oleh tanah, dan tidak ada apa-apa lagi selepas itu.”

Inilah bentuk kekufuran orang-orang materialis pada setiap zaman. Dan itulah yang menjadi dasar pemikiran orang-orang komunis yang telah tercabut akar-akarnya dan yang menetapkan dalam undang-undang dasar negara mereka: “Tuhan tidak ada, dan hidup ini hanya materi saja.”

Agama menurut pandangan mereka hanyalah sesuatu yang diada-adakan, dan ketuhanan adalah omong kosong belaka. Dan oleh karena itu ada ucapan tokoh filosof materialisme yang ingkar terhadap Tuhan, dan sangat terkenal di kalangan mereka: “Tidaklah benar bahwa sesungguhnya Allah menciptakan manusia. Yang benar ialah bahwa sesungguhnya manusialah yang menciptakan Allah.”

Ucapan ini merupakan kesesatan yang sangat jauh, yang tidak dapat diterima oleh logika akal sehat, logika fitrah, logika ilmu pengetahuan, logika alam semesta, logika sejarah, dan juga logika wahyu yang didasarkan pada bukti-bukti yang sangat pasti mengenai keberadaan-Nya.

Allah SWT berfirman:

“… Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya.” (an-Nisa’: 136)

Inilah tingkat kekufuran yang paling tinggi.

KUFUR SYIRIK

Di bawah tingkat kekufuran di atas ialah kufur syirik, seperti kemusyrikan yang dilakukan oleh orang Arab pada zaman Jahiliyah. Dahulu mereka percaya tentang adanya Tuhan, yang menciptakan langit, bumi, dan manusia, serta yang memberikan rizki, kehidupan, dan kematian kepada mereka. Akan tetapi, di samping adanya pernyataan tentang adanya Tuhan itu -yang disebut dengan tauhid rububiyyah, mereka juga mempersekutukan Allah- yang disebut dengan tauhid ilahiyyah, dengan menyembah tuhan-tuhan yang lain, baik yang berada di bumi maupun yang berada di langit. Allah SWT berfirman:

“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciplakan langit dan bumi?,’ niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)

“Dan sesungguhrrya jika kamu tanyakan kepada mereka. ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? n Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah.’…'” (al-Ankabut: 61)

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah.’ Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya).'” (Yunus: 31)

Mereka percaya kepada adanya Pencipta, Pemberi Rizki, dan Pengatur alam semesta. Akan tetapi mereka masih menyembah tuhan-tuhan yang lain berupa pohon, batu, barang tambang, dan lain-lain, dengan mengatakan:
“… Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya …” (az-Zumar: 3)

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'” … (Yunus: 18)

Bentuk kemusyrikan seperti ini bermacam-macam. Ada kemusyrikan Arab penyembah berhala; kemusyrikan Majusi Persia yang mengatakan ada dua macam tuhan, yaitu tuhan baik atau tuhan cahaya, dan tuhan buruk atau tuhan gelap; kemusyrikan Hindu dan Budha, dan para penyembah berhala lainnya yang masih mewarnai pikiran ratusan juta orang di
Asia dan Afrika; yang merupakan jenis kekufuran yang paling banyak pengikutnya.

Kemusyrikan itu ialah tempat tumbuhnya berbagai bentuk khurafat, dan bersemayam pelbagai kebathilan, yang sekaligus merupakan kejatuhan martabat manusia. Di mana manusia menyembah benda yang dia ciptakan sendiri, benda yang tidak dapat berkhidmat kepada dirinya, yang akhirnya manusia itu sendiri yang berkhidmat kepada benda ciptaannya, dan bahkan menjadi hambanya, tunduk dan taat kepadanya. Allah SWT berfirman:

“… Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit dan disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
(al-Hajj: 31)

KEKUFURAN AHLI KITAB

Di bawah kekufuran di atas adalah kekufuran ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Kekufuran mereka ialah karena mereka mendustakan kerasulan Muhammad saw, yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah-Nya yang terakhir, dandiberi kitab suci yang abadi, yang dalam satu segi membenarkan Taurat dan Injil, dan dari segi yang lain melakukan perbaikan ajaran yang terdapat pada kedua kitab
suci tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Allah SWT berfirman:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu …” (al-Ma’idah: 48)

Di antara ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw ialah membenarkan konsep ketuhanan, karena banyak sekali penyelewengan yang telah mereka lakukan terhadap ajaran
kitab suci dan keyakinan mereka. Sehingga penyelewengan itu membuat keruh ajaran yang tadinya jernih, dan mengeluarkan mereka dari kemurnian tauhid yang dibawa oleh Ibrahim, bapak para nabi. Kitab taurat mereka beri muatan makna inkarnasi dan penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka, sehingga Allah dianggap sebagai salah seorang dari kalangan manusia, yang mempunyai rasa takut, iri hati, cemburu, dan juga bertengkar dengan manusia dan dikalahkan olehnya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang Israil … Begitulah penyelewengan itu mereka lakukan terhadap lembaran kitab Taurat.

Hal yang serupa juga dilakukan terhadap aqidah Nasrani yaitu dengan masuknya konsep Trinitas, pengaruh keyakinan Roma kepada agama ini, setelah masuknya raja Konstantinopel Imperium Romawi ke dalam agama Nasrani. Kasus ini justru menguntungkan negaranya, dan merugikan agamanya, sehingga sebagian ulama kita mengatakan: “Sesungguhnya Roma tidak diwarnai oleh Nasrani, tetapi justru Nasrani yang diwarnai oleh Roma.”

Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani meski digolongkan kepada orang-orang kafir -karena mereka mendustakan ajaran Islam, dan kenabian Muhammad saw- mereka menempati kedudukan khusus dalam tingkat kekufuran ini, sehingga mereka dikatakan sebagai “Ahli Kitab Samawi.” Mereka beriman kepada sejumlah tuhan, rasul yang diutus dari langit, dan juga percaya kepada balasan di akhirat kelak. Atas dasar itu, mereka adalah orang yang paling dekat dengan kaum Muslimin daripada yang lain. Al-Qur’an membolehkan kaum Muslimin untuk memakan makanan mereka dan melakukan pernikahan dengan
mereka:

“… Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula bagi mereka). Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu…” (al-Ma’idah: 5)

Surat yang sama pula, yakni surat al-Ma’idah, berbicara tentang kekufuran orang-orang Nasrani karena mereka mengatakan:

“… sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam …” (Surat al-Ma’idah, 72)
“… bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga …” (Surat al-Ma’idah, 73)

Oleh karena itu, tidak benar orang yang mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Nasrani pada hari ini berbeda dengan orang-orang Nasrani ketika al-Qur’an diturunkan.” Karena kita semua telah tahu bahwa ajaran agama Nasrani telah terkristalisasi dan dikenal pasti batas- batas keyakinannya sejak adanya ‘Seminar Nicea’ yang sangat terkenal pada tahun 325 M.
Pada era Makkah, para sahabapun mengetahui kedekatan para ahli kitab -khususnya orang-orang Nasrani- kepada orang-orang Roma. Para ahli kitab ini begitu sedih dengan kekalahan orang-orang Nasrani dari Bizantium terhadap orang-orang Persia, yang Majusi. Dan pada masa yang sama, para penyembah berhala dari kaum musyrik Makkah sangat bergembira dengan kemenangan yang diraih oleh orang Persia. Kedua golongan ini diketahui kepada siapa mereka lebih dekat dan kepada siapa mereka lebih jauh. Kekalahan orang-orang Roma ini disebutkan dalam awal surat ar-Rum sebagai berikut:

“Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah …” (ar-Rum: 1-5)

Begitulah kaidah penting yang diletakkan di depan kita, untuk memberikan pertimbangan dan pengambilan keputusan dalam bergaul dengan orang-orang non-Islam. Secara umum, ahli kitab, adalah lebih dekat kepada kaum Muslimin daripada pengikut faham atheis dan paganisme, selama tidak ada factor yang menjadikan ahli kitab sebagai musuh yang paling keras dan paling dengki dengan kaum Muslimin; sebagaimana peristiwa yang sedang terjadi di Serbia dan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi.

Ditegaskan bahwa di antara orang-orang kafir itu ada yang dapat menjaga kedamaian dengan kaum Muslimin, sehingga mereka dapat kita perlakukan secara damai. Dan ada pula di antara mereka yang suka menyerang dan memerangi kaum Muslimin, sehingga kita harus memerangi mereka sebagaimana mereka telah memerangi kita. Ada pula di antara mereka yang hanya sekadar kafir saja, ada yang kafir dan zalim, ada yang kafir dan menghalangi jalannya agama Allah. Semua bentuk kekufuran ini ada hukumnya masingmasing. Allah SWT berfirman:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan (tidak pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8-9)

Tepatnya, sesungguhnya orang-orang ahli dzimmah mempunyai hak untuk bertempat tinggal karena mereka termasuk penduduk “Dar al-Islam.” Kita mempunyai hak dan kewajiban atas mereka, dan sebaliknya mereka juga memiliki hak dan kewajiban atas kita, kecuali perbedaan-perbedaan dalam ajaran agama. Mereka tidak diwajibkan untuk melepaskan identitas agama mereka, dan begitu pula kaum Muslimin.

KEKUFURAN ORANG MURTAD

Para ulama sepakat bahwa bentuk kekufuran yang paling buruk ialah kemurtadan (ar-riddah); yaitu keluarnya seseorang dari Islam setelah dia mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.

Kufur setelah Islam adalah lebih buruk daripada kufur yang asli. Musuh-musuh Islam akan tetap berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengembalikan kekufuran kepada para pemeluk Islam. Allah SWT berfirman:

“… Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup…” (al-Baqarah: 217)
Kemudian Allah menjelaskan balasan orang yang mengikuti musuh yang menyesatkan dari ajaran agama itu dengan firman-Nya:

” … Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 217)

Kemurtadan dianggap sebagai pengkhianatan kepada Islam dan umat Islam, karena di dalamnya terkandung desersi, pemihakan dari satu umat kepada umat yang lain. Ia serupa dengan pengkhianatan terhadap negara, karena dia menggantikan kesetiaannya kepada negara lain, kaum yang lain. Sehingga dia memberikan cinta dan kesetiaannya kepada mereka, dan mengganti negara dan kaumnya.

Kemurtadan bukan sekadar terjadinya perubahan pemikiran, tetapi perubahan pemberian kesetiaan dan perlindungan, serta keanggotaan masyarakatnya kepada masyarakat yang lain yang bertentangan dan bermusuhan dengannya.

Oleh karena itulah, Islam menerapkan sikap yang sangat tegas dalam menghadapi kemurtadan, khususnya bila para pelakunya menyatakan kemurtadan diri mereka, dan menjadi penganjur kepada orang lain untuk melakukan kemurtadan. Karena sesungguhnya mereka merupakan bahaya yang sangat serius terhadap identitas masyarakat, dan menghancurkan dasar-dasar aqidahnya. Oleh sebab itu, ulama dari kalangan tabiin menganggap penganjur kemurtadan sebagai orang yang disebut dalam ayat ini:

“… orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi …” (al-Ma’idah: 33)

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa usaha melakukan kerusakan di muka bumi dengan cara menyebarkan kekufuran dan keraguan terhadap agama Islam adalah lebih berat daripada melakukan kerusakan dengan cara mengambil harta benda, dan menumpahkan darah.

Pendapat ini benar, karena sesungguhnya hilangnya identitas umat, penghancuran aqidahnya adalah lebih berbahaya dibandingkan kehilangan harta benda dan rumah mereka, serta terbunuhnya beberapa orang di antara mereka. Oleh sebab itu, al-Qur’an seringkali menganjurkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi kemurtadan orang-orang yang telah beriman, dan tidak berdiam diri dalam menghadapi keadaan itu, serta tidak takut mendapatkan celaan ketika melakukan kebenaran. Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela …” (al-Ma’idah: 54)

Al-Qur’an juga mengancam orang-orang munafiq apabila mereka menampakkan kekufurannya. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah: ‘Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab yang besar dari sisi-Nya, atau azab dengan tangan kami. Sebab itu, tunggulah, sesungguhrrya kami menunggu-nunggu bersama kamu.'” (Surat at-Taubah: 52)
Sesungguhnya mereka akan ditimpa azab dari tangan kaum Muslimin apabila mereka menampakkan kekufuran yang mereka sembunyikan. Karena sesungguhnya kaum Muslimin tidak dapat mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kaum Muslimin hanya akan memperlakukan mereka dengan apa yang tampak dari lidah dan tubuh mereka.

Banyak hadits shahih yang menyebutkan hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad (keluar dari Islam). Ada riwayat yang berasal dari Umar, yang menunjukkan bolehnya memenjarakan orang-orang murtad dan terus menahannya sehingga dia mau melihat kembali dirinya dan bertobat kepada Tuhannya. Pandangan ini dianut oleh an-Nakha’i dan ats-Tsauri.

Begitulah pendapat yang saya pilih sehubungan dengan kemurtadan secara diam-diam. Adapun kemurtadan yang ditampakkan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama, maka saya kira Umar bin Khattab, an-Nakhai, dan at-Tsauri juga tidak akan memberikan toleransi terhadap pemikiran yang merusak aqidah umat itu, dan mendiamkan pelakunya bergerak dengan leluasa, walaupun mereka didukung oleh suatu kekuatan di belakang mereka.

Kita mesti membedakan antara kemurtadan yang ringan dan kemurtadan yang berat. Kita mesti membedakan orang murtad yang diam saja dan orang murtad yang menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama; karena sesungguhnya orang yang disebut terakhir ini termasuk orang yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan berusaha membuat kerusakan di muka bumi. Para ulama juga telah membedakan antara bid’ah yang ringan dan bid’ah yang berat, antara orang yang menganjurkan kepada bid’ah dan orang yang tidak menganjurkannya.

KEKUFURAN ORANG MUNAFIQ

Di antara kekufuran yang termasuk dalam kategori yang berat dan sangat membahayakan kehidupan Islam dan eksistensinya ialah kekufuran orang-orang munafiq. Karena orang-orang munafiq hidup dengan dua wajah di tengah-tengah kaum Muslimin. Mereka ikut serta mengerjakan shalat, membayar zakat, mendirikan syiar-syiar Islam, padahal di dalam batin mereka, mereka hendak menipu orang-orang Islam, membuat makar terhadap mereka, dan menyokong musuh-musuh mereka.

Oleh karena itu, al-Qur’an menganggap penting untuk memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri, dan mengungkapkan tabir kehidupan mereka, serta menjelaskan sifat-sifat dan perilaku mereka. Sehingga surat al-Taubah dinamakan dengan al-Fadhihah (sebuah skandal), karena mengikuti pelbagai golongan mereka dan menguraikan tentang sifat-sifat mereka; sebagai satu surat khusus yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafiq. Di samping itu banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang kehidupan mereka.

Awal surat al-Baqarah berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa sebanyak tiga ayat, tentang orang-orang kafir sebanyak empat ayat, sedangkan tentang orang-orang munafiq sebanyak tiga belas ayat.

Oleh karena itu, Allah SWT akan membenamkan orang-orang munafiq di lapisan neraka paling bawah; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (an-Nisa’: 145-146)

Pada zaman kita sekarang ini banyak sekali orang-orang murtad yang tidak mengindahkan wahyu Ilahi, dan tidak menganggap syariah ini sebagai rujukan yang paling tinggi dalam mengendalikan pemikiran, perilaku dan berbagai hubungan yang dijalin antar manusia. Mereka menghina agama Islam, para dainya, dan penganut agama yang mulia ini.

Mereka adalah orang-orang munafiq, yang hendak membawa nama Islam, ingin tetap berada di tengah-tengah orang Islam, padahal mereka lebih jahat daripada orang-orang munafiq pada zaman Nabi saw. Dahulu, orang-orang munafiq di zaman Rasulullah saw berangkat pergi shalat dengan malas, dan kini orang-orang munafiq tidak mau melaksanakannya. Tidak malas dan juga tidak bersemangat. Dahulu mereka tidak ingat kepada Allah SWT kecuali sangat sedikit sekali, dan kini mereka tidak ingat kepada Allah SWT sedikit atau banyak. Dahulu mereka ikut serta dalam barisan kaum Muslimin memerangi musuh-musuh mereka, dan kini mereka bersama-sama musuh Islam memerangi kaum Muslimin. Dahulu mereka tampak bersama-sama kaum Muslimin di masjid-masjid mereka, dan kini mereka bersama-sama orang kafir dalam permainan dan kekejian mereka.

Kalau saja mereka menyatakan kekufuran mereka, maka akan jelas sikap yang dapat kita ambil, dan kita dapat istirahat, akan tetapi mereka adalah seperti yang disebutkan Allah SWT:

“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak menyadarinya.” (al-Baqarah: 9)

&