Tag Archives: Yusuf Qardhawy

Berbaik Sangka kepada Allah Ta’ala

13 Mar

Berbaik Sangka kepada Allah Ta’ala
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Disukai bagi si sakit –khususnya bagi yang telah kedatangan tanda-tanda mendekati kematian– untuk berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Dalam arti, pengharapannya kepada rahmat Allah melebihi perasaan takutnya kepada azab-Nya, selalu mengingat betapa besar kemurahan-Nya, betapa indah pengampunan-Nya, betapa luas rahmat-Nya, betapa sempurna karunia-Nya, dikedepankan-Nya kebaikan dan kebajikan-Nya, membayangkan apa yang dijanjikan-Nya kepada ahli tauhid dan rahmat yang disediakan-Nya untuk mereka pada hari kiamat. Jabir meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang diantara kamu meninggal dunia melainkan dalam keadaan dia berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.”90

Hal ini diperkuat oleh hadits qudsi yang telah disepakati kesahihannya, bahwa Allah berfirman: “Aku menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”91

Ibnu Abbas berkata, “Apabila Anda melihat seseorang kedatangan tanda-tanda kematian maka gembirakanlah dia agar dia menghadap kepada Allah dengan berbaik sangka kepada-Nya; dan apabila Anda lihat orang yang hidup –yakni sehat– maka takut-takutilah dia akan Tuhannya Azza wa Jalla.”

Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Ketika akan meninggal dunia, ayah berkata kepadaku, ‘Wahai Mu’tamir, bicaralah kepadaku tentang rukhshah-rukhshah (kemurahan-kemurahan), supaya aku menghadap Allah Ta’ala dengan berbaik sangka kepada-Nya.”92

Imam Nawawi berkata, “Orang yang sedang menunggu orang yang akan meninggal dunia disukai membangkitkan harapannya kepada rahmat Allah, menganjurkannya untuk berbaik sangka kepada Allah, mengingatkannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits mengenai pengharapan dan ditimbulkan semangatnya. Petunjuk mengenai apa yang saya sebutkan ini banyak terdapat dalam hadits-hadits sahih, diantaranya sejumlah hadits yang saya sebutkan dalam “Kitab al-Jana’iz” dari kitab al-Adzkar. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap Umar bin Khattab r.a. ketika menghadapi maut, juga dilakukan Ibnu Abbas terhadap Aisyah, dan dilakukan pula oleh Ibnu Amr bin Ash terhadap ayahnya. Semua ini tersebut dalam hadits dan riwayat yang sahih.”93

&

Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit

13 Mar

Disyariatkan Menjenguk Setiap Orang Sakit
Dr. Yusuf Qardhawi; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Dalam hadits-hadits yang menyuruh dan menggemarkan menjenguk orang sakit terdapat indikasi yang menunjukkan disyariatkannya menjenguk setiap orang yang sakit, baik sakitnya berat maupun ringan.

Imam Baihaqi dan Thabrani secara marfu’ meriwayatkan: “Tiga macam penderita penyakit yang tidak harus dijenguk yaitu sakit mata, sakit bisul, dan sakit gigi.”

Mengenai hadits ini, Imam Baihaqi sendiri membenarkan bahwa riwayat ini mauquf pada Yahya bin Abi Katsir. Berarti riwayat hadits ini tidak marfu’ sampai Nabi saw., dan tidak ada yang dapat dijadikan hujjah melainkan yang beliau sabdakan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Mengenai menjenguk orang yang sakit mata terdapat hadits khusus yang membicarakannya, yaitu hadits Zaid bin Arqam, dia berkata: “Rasulullah saw. menjenguk saya karena saya sakit mata.”12

Menjenguk orang sakit itu disyariatkan, baik ia terpelajar maupun awam, orang kota maupun orang desa, mengerti makna menjenguk orang sakit maupun tidak.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam “Kitab al-Mardha” dari kitab Shahih-nya, “Bab ‘Iyadatul-A’rab,” hadits Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. pernah menjenguk seorang Arab Badui, lalu beliau bersabda, “Tidak apa-apa, suci insya Allah.” Orang Arab Badui itu berkata, “Engkau katakan suci? Tidak, ini adalah penyakit panas yang luar biasa pada seorang tua, yang akan mengantarkannya ke kubur.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Oh ya, kalau begitu.”13

Makna perkataan Nabi saw., “Tidak apa-apa, suci insya Allah,” itu adalah bahwa beliau mengharapkan lenyapnya penyakit dan kepedihan dari orang Arab Badui itu, sebagaimana beliau mengharapkan penyakitnya akan menyucikannya dari dosa-dosanya dan menghapuskan kesalahan-kesalahannya. Jika ia sembuh, maka ia mendapatkan dua macam faedah; dan jika tidak sembuh, maka dia mendapatkan keuntungan dengan dihapuskannya dosa dan kesalahannya.

Tetapi orang Badui itu sangat kasar tabiatnya, dia menolak harapan dan doa Nabi saw., lalu Nabi mentolerirnya dengan menuruti jalan pikirannya seraya mengatakan, “Oh ya, kalau begitu.” Artinya, jika kamu tidak mau, ya baiklah, terserah anggapanmu.

Disebutkan juga dalam Fathul-Bari bahwa ad-Daulabi dalam al-Kuna dan Ibnu Sakan dalam ash-Shahabah meriwayatkan kisah orang Badui itu, dan dalam riwayat tersebut disebutkan: Lalu Nabi saw. bersabda, “Apa yang telah diputuskan Allah pasti terjadi.” Kemudian orang Badui itu meninggal dunia.

Diriwayatkan dari al-Mahlab bahwa ia berkata, “Pengertian hadits ini adalah bahwa tidak ada kekurangannya bagi pemimpin menjenguk rakyatnya yang sakit, meskipun dia seorang Badui yang kasar tabiatnya; juga tidak ada kekurangannya bagi orang yang mengerti menjenguk orang bodoh yang sakit untuk mengajarinya dan mengingatkannya akan hal-hal yang bermanfaat baginya, menyuruhnya bersabar agar tidak menggerutu kepada Allah yang dapat menyebabkan Allah benci kepadanya, menghiburnya untuk mengurangi penderitaannya, memberinya harapan akan kesembuhan penyakitnya, dan lain-lain hal untuk menenangkan hatinya dan hati keluarganya.

Diantara faedah lain hadits itu ialah bahwa seharusnya orang yang sakit itu menerima nasihat orang lain dan menjawabnya dengan jawaban yang baik.”14

&

Euthanasia

13 Mar

Euthanasia
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

PENGANTAR
Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta adab-adabnya, yang disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika Selatan. Persoalan pertama mengenai masalah berikut:

QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:

1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan
yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati” yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa’il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati –padahal masih ada kemungkinan untuk diobati– akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan –tanpa diberi pengobatan—apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/control pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya.

Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.

Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

PERTANYAAN
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) ditolerir oleh Islam?
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?

JAWABAN
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu pembahasannya setelah kita bicarakan euthanasia negatif.

EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu –baik dalam contoh nomor satu maupun nomor dua– berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: “‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.”2

Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.3

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya’ Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.4

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi –lebih sedikit dari golongan kedua– berpendapat wajib.

Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimanayang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma’ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter—maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat,
apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan demikian– semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.

Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU PERNAPASAN
Sekarang saya akan menjawab contoh kedua dari euthanasia positif menurut pertanyaan tersebut –bukan negatif—yaitu menghentikan alat pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap sudah “mati” atau “dihukumi telah mati” karena jaringan otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu telah rusak.

Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa’ilah (jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).

Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di luar daerah “memudahkan kematian dengan cara aktif” (eutanasia positif), tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)

Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara’, tidak terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir –yang tampak dalam pernapasan dan peredaran darah/denyut nadi saja– padahal dilihat dari segi aktivitas maka si sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber semua itu telah rusak.

Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat tersebut.

Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah yang menunjukkan kita.

Catatan kaki:
1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm. 260, terbitan Mathba’ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo.
2 Muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam “Kitab al-Mardhaa” dan Muslim dalam “Kitab al-Birr wash-Shilah,” hadits nomor 2265.
3 Ibnu Taimiyah, op cit.
4 Ihya ‘Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya.
5 Zadul-Ma’ad, juz 3, terbitan ar-Risalah, Beirut.

&

Peranan Hawa dalam Pengusiran Adam dari Surga

13 Mar

Peranan Hawa dalam Pengusiran Adam dari Surga
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka terusir dari surga dan menyebabkan penderitaan bagi kita (anak cucunya) di dunia.

Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan kedudukan kaum wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering dituding sebagai cikal bakal datangnya segala musibah yang terjadi di dunia, baik pada orang-orang dahulu maupun sekarang.

Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah dalam Islam dalil yang menunjukkan hal itu, atau kebalikannya?

Kami harap Ustadz berkenan menjelaskannya. Semoga Allah memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.

Jawaban:
Pendapat yang ditanyakan saudara penanya, tentang kaum wanita -seperti ibu kita Hawa – yang harus bertanggung jawab atas kesengsaraan hidup manusia, dengan mengatakan bahwa Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan buah terlarang … dan seterusnya, tidak diragukan lagi adalah pendapat yang tidak islami.

Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian dan tambahannya. Ini merupakan pendapat yang diimani oleh kaum Yahudi dan Nasrani, serta sering menjadi bahan referensi bagi para pemikir, penyair, dan penulis mereka. Bahkan tidak sedikit (dan ini sangat disayangkan) penulis muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.

Namun, bagi orang yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur’an yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun dalam beberapa surat, tidak akan bertaklid buta seperti itu. Ia akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.

1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah berfirman: “Dan Kami berfirman, ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim.'” (al-Baqarah: 35)

2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan, sebagaimana difirmankan Allah: “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula …” (al-Baqarah: 36)
Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai tipu daya dan bujuk rayu setan: “Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi nasihat kepada kamu berdua.’ Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka, ‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’ Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orangyang merugi.'” (al-A’raf: 20-23)

Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu, bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus. Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang dipersalahkan – karena pelanggaran itu – pun adalah Adam. Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.

Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami berkata, ‘Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari didalamnya. ‘Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 115-122)

3. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan memakan buah terlarang.

Firman Allah: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan befirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar?’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman, ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?'” (al-Baqarah: 30-33)

Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s. bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu (lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan ini tercantum dalam Taurat.

Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama, bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang dimasukkan orang ke dalam Taurat.

Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi.

4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.

Para ulama berbeda pendapat mengenai “surga” Adam ini, apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah “jannah” (taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah: “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
(jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari.” (al-Qalam: 17)

Dalam surat lain Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.” (al-Kahfi: 32-33)

Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris Sa’adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui lebih jauh masalah ini. Wallahu a’lam.

&

Bank Susu

13 Mar

Bank Susu
Dr. Yusuf Qardhawy; Fatwa Kontemporer; Fiqih Kontemporer

Pertanyaan:
Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah. Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).

Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).

Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan … tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.

Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek. Maka, apakah oleh syara’ mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?

Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah stadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan –yang jumlah mereka sangat sedikit– dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?

Jawaban:

Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba’du.

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.

Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur’an serta contoh riil kaum muslim.

Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu -yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya– patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala. Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini?

Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya.

Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain –menurut pendapat jumhur fuqaha– karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah … serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.

Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
– Pertama, menjelaskan pengertian radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ untuk menetapkan pengharaman.
– Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.
– Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.

Pengertian Radhn’ (Penyusuan):
Makna radha’ (penyusuan) yang menjadi acuan syara’ dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha –termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i– ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa’uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).

Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa’ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa’uth.

Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa’uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.

Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.

Disebutkan di dalam al-Mughni “Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha’ al-Khurasani mengenai sa’uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh.”

Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging”

Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali
isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.).

Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, “Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama –jika dilakukan melalui penyusuan– serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut.”

Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, “Kalau ‘illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta
perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran.”

Menurut pendapat saya, asy-Syari’ (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada “keibuan yang menyusukan” sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya: “… dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …” (an-Nisa’: 23)

Adapun “keibuan” yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.

Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari’ di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha’ dan radha’ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.
Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.

Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata: “Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan) hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.

Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: ‘Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan …’ (an-Nisa’:23)

Dan sabda Rasulullah saw.: “Haram karena susuan apa yang haram karena nasab.”

Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha’ (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha’athu-turdhi’uhu-irdha’an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha’ah dan radha’/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha’a – yardha’u/yardhi’u radha’an/ridha’an wa radha’atan/ridha’atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan irdha’, radha’ah, dan radha’, melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.

Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa’ad berkata, ‘Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak
diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman –yakni Daud, imam Ahli Zhahir– dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir.”‘

Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil dengan hadits: “Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena lapar,” Ibnu Hazm berkata: “Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah): “… Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)2

Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yang menenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha’ (menyusui) dan radha’/ridha’ (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut –bukan menghisap dari tetek– dan menelannya), sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.

Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan –lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran– dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali?

Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.

Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.

Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni: “Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya.”3

Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan: “Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan.

Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampong (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.

Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati.”4

Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.

Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua masalah ini juga ada pendukungnya.

Khulashah

Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam “bank susu” selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.

Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, “Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?”

Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara’ (lebih jauh dari syubhat), bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.

Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang telah mantap.

Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.

Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai himpunan “kehati-hatian” dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. “(HR al-Kharaithi)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan.” (HR Tirmidzi)

Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan: “Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan …” (al-Baqarah: 143)

Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali … (Pen;.).
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11.
3 Al-Mughni ma’a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3.

&

Pendahuluan Fiqih Prioritas

6 Mar

oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy; Fiqih Prioritas

DI ANTARA konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang ini ialah apa yang sering saya utarakan dalam berbagai buku saya, yang saya namakan dengan “fiqh prioritas” (fiqh al-awlawiyyat). Sebelum ini saya mempergunakan istilah lain dalam buku saya, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan pekerjaan (fiqh maratib al-a’mal).

Yang saya maksud dengan istilah tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.

“… Cahaya di atas cahaya…” (an-Nuur: 35)

Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu “yang biasa-biasa” saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.

Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

“Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman:7-9)

Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya
merupakan persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.

Persoalan seperti itu telah dijelaskan di dalam nas al-Qur’an, sebagaimana difirmankan Allah SWT:

“Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslim yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah, 19-20)

Di samping itu Rasulullah saw juga bersabda,

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah ‘la ilaha illa Allah,’ dan yang paling rendah ialah ‘menyingkirkan gangguan dari jalan.'”1

Para sahabat Nabi saw memiliki antusiasme untuk mengetahui amalan yang paling utama (atau yang diprioritaskan), untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai Allah SWT; sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibn Mas’ud, Abu Dzarr, dan lain-lain. Jawaban yang diberikan Nabi saw atas pertanyaan itupun banyak sekali, sehingga tidak sedikit hadits yang dimulai dengan ungkapan ‘Amalan yang paling mulia…”; dan ungkapan ‘Amalan yang paling dicintai Allah ialah.”2

Saya merasa cukup untuk menyebutkan sebuah hadits seperti itu pada baris berikut ini:

“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Abasah r. a. berkata bahwa ada seorang lelaki, yang berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah apakah Islam itu? ” Beliau menjawab, “Islam itu ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan selamatnya kaum Muslim dari lidah dan tanganmu.” Lelaki itu bertanya lagi: “Manakah Islam yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Iman.” Lelaki itu bertanya lagi: “Apa pula iman itu?” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah
mati.” Lelaki itu bertanya lagi: “Manakah iman yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Berhijrah.” Lelaki itu bertanya lagi. “Apakah yang dimaksud dengan berhijrah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau meninggalkan kejelekan.” Lelaki itu bertanya kembali: “Manakah hijrah yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Jihad.” Dia bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan jihad itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau berjumpa dengan mereka.” Dia bertanya lagi: “Jihad mana yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Jihad orang yang mempersembahkan kuda dan darahnya.”3

Barangsiapa yang mau meneliti apa yang dinyatakan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang suci dalam masalah ini, maka dia akan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, atau penjelasan mengenai hakikatnya. Dia akan melihat bahwa sejumlah parameter yang berkaitan dengan penjelasan amalan, nilai, dan kewajiban yang paling utama, paling baik, dan paling dicintai Allah SWT telah diletakkan di depan kita. Misalnya:

“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian; dengan kelebihan sebanyak dua puluh tujuh tingkatan.”4

“Satu dirham dapat menandingi seratus dirham.”5

“Berjaga dalam jihad selama sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa dan qiyamul-lail selama sebulan.”6

“Sesungguhnya keikutsertaan salah seorang dari kamu dalam jihad di jalan Allah adalah lebih baik daripada shalat yang dilakukan olehnya di rumahnya selama tujuh puluh tahun.”7

Sebaliknya, ada juga parameter yang berkaitan dengan penjelasan mengenai pelbagai perbuatan buruk, dengan berbagai tingkat perbedaannya di sisi Allah SWT; berupa dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil; perkara yang syubhat dan perkara makruh. Kadang-kadang sebagian perbuatan ini dikaitkan satu dengan lainya; seperti:

“Satu dirham barang riba yang dimakan oleh seseorang, dan dia mengetabui bahwa itu adalah riba, maka dosa itu lebih berat di sisi Allah SWT daripada tiga puluh enam kali zina.”8

Kita juga diperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan jahat daripada yang lainnya, atau yang lebih buruk daripada perbuatan lainnya. Seperti hadits:

“Sesuatu yang paling jelek yang ada di dalam diri seseorang ialah sifat kikir yang amat berat, dan sifat pengecut.”9

“Sejelek- jelek orang ialah orang yang meminta dengan sumpah atas nama Allah, kemudian dia tidak diberi.”10

“Sejelek-jelek umatku ialah mereka yang paling banyak omongnya, bermulut besar, dan berlagak pandai; dan sebaik-baik umatku ialah mereka yang paling baik akhlaknya.”11

“Manusia yang dianggap sebagai pencuri paling ulung ialah orang yang mencuri shalatnya, tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya; sedangkan manusia yang paling kikir ialah orang yang paling enggan untuk mengucapkan salam.”12

Al-Qur’an juga telah menjelaskan bahwa derajat manusia itu tidak sama meskipun kemanusiaan mereka sama, karena mereka sama-sama diciptakan sebagai manusia. Akan tetapi, sesungguhnya ilmu dan amal perbuatan mereka sama sekali berbeda satu dengan lainnya. Al-Qur’an mengatakan,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu…” (al-Hujurat: 13)

“… Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?…” (az-Zumar: 9)

“Tidaklah sama antara Mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 95-96)

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama antara orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati …” (Fathir: 19-22)

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganinya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah…” (Fathir: 32)

Begitulah kita menemukan bahwa manusia berbeda satu dengan lainnya, dan mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Amal perbuatan mereka berbeda; dan yang membedakan kedudukan mereka satu sama lainnya ialah ilmu, amal, ketaqwaan, dan perjuangannya.

Catatan kaki:

1 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah dari Abu Hurairah;
Bukhari meriwayatkannya dengan lafal “enam puluh macam lebih”;
Muslim meriwayatkannya dengan lafal “tujuh puluh macam lebih”
dan juga dengan lafal “enam puluh macam lebih” Tirmidzi
meriwayatkannya dengan “tujuh puluh macam lebih” dan begitu
pula dengan an-Nasa’i. semuanya terdapat dalam kitab al-Iman;
sedangkan Abu Dawud meriwayatkannya dalam as-Sunnah; dan Ibn
Majah dalam al-Muqaddimah.

2 Contoh-contoh hadits seperti ini ialah:
“Shadaqah yang paling utama ialah shadaqah yang engkau
berikan ketika engkau dalam keadaan sehat dan sangat
memerlukannya; ketika engkau khawatir menjadi miskin dan
berangan-angan untuk menjadi orang kaya.”; “Perjuangan yang
paling utama ialah menyampaikan ucapan yang benar di hadapan
penguasa yang zalim.”; “Amalan yang paling dicinta oleh Allah
ialah amalan yang terus-menerus dilakukan walaupun amalan itu
sedikit.”; “Sebaik-baik amalan agamamu ialah yang paling mudah
diamalkan.”

3 al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wat-Tarhib, “Hadits
ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang shahih, yang
para rawinya bisa dianggap shahih; dan juga diriwayatkan oleh
al-Thabrani dan lain-lain. Sedangkan al-Haitsami (2:207)
mengatakan, “Hadits ini diriwayarkan oleh Ahmad dan
at-Thabrani, dengan rijal al-hadits yang shahih.

4 Diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih dari Ibn Umar;
sebagaimana disebutkan dalam al-Lu’lu’ wa al-Marjan (381)

5 Haditsnya secara lengkiap adalah sebagai berikut: “Ada
seorang lelaki yang memiliki dua dirham, kemudian dia
mengambil satu dirham untuk dishadaqahkan (dengan arti bahwa
orang ini bershadaqah dengan separuh harta yang dia miliki dan
sangat dia perlukan); kemudian ada lelaki lain sangat kaya
raya. Dia mengambil sebagian kekayaannya sejumlah seratus ribu
dirham untuk dishadaqahkan. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i
(5:95); Ibn Huzaimah (3443); Ibn Hibban (3347); dan al-Hakim
dari Abu Hurairah yang dianggap shahih menurut syarat yang
ditetapkan oleh Muslim, kemudian disepakati oleh adz-Dzahabi
(1:416)

6 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Turmudzi, dari Salman, dan
Ahmad bin Abdullah bin ‘Amr; seperti yang dijelaskan di dalam
Shahih al-Jami’ as-Shaghir (3480); (3481); dan (3483).

7 Diriwayatkan oleh Turmidzi dari Abu Hurairah, yang dianggap
sebagai hadits hasan (1350); dan diriwayatkan oleh al-Hakim
dan di-shahih-kan olehnya menurut syarat yang telah ditetapkan
oleh Muslim, yang sekaligus disepakati oleh adz-Dzahabi
(2:68). Ada pula yang mengatakan bahwa lafal hadiits ini ialah
“enam puluh tahun” seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
Abu Umamah.

8 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin
Hanzhalah, sebagaimana dimuat dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir
(3375).

9 Diriwayatkan okh al-Bukhari dalam at-Tarikh, den Abu Dawud
dari Abu Hurairah r.a. (Ibid., 3709)

10 Diriwayatkan oleh Ahmad. as-Syaikhani. Tirmidzi, Ibn Hibban
dari Ibn ‘Abbas (Ibid., 3708).

11 Diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dari Abu
Hurairah r.a. (ibid., 2740).

12 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Ausath, dari Abdullah
bin Maghfal, (ibid., 966).

——————————————————
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M

FIQH PRIORITAS DALAM WARISAN PEMIKIRAN KITA

6 Jan

Yusuf Qardhawy; Fiqih Prioritas

BARANGSIAPA yang mau menelusuri warisan pemikiran umat yang
sangat kaya ini, maka dia akan menemukan para ulama yang
memberikan perhatian besar terhadap fiqh prioritas dan
mewaspadai kelalaian terhadapnya, dalam berbagai bentuk yang
tersebar di dalam sumber-sumber rujukan Islam yang
bermacam-macam; yang dapat ditelusuri dalam baris-baris
berikut ini.

MENGENAI HARAMNYA ORANG YANG SEDANG IHRAM MEMBUNUH LALAT

Barangkali pertama-lama kita patut memberikan perhatian
terhadap persoalan ini. Yaitu riwayat yang shahih, berasal
dari Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan oleh Ibn Abu
Nu’aim yang berkata, “Ada seorang lelaki datang kepada Ibn
Umar dan pada saat itu saya sedang duduk. Lelaki itu bertanya
kepadanya tentang darah nyamuk.” Dalam riwayat yang lain
disebutkan: “Lelaki itu bertanya kepadanya tentang haramnya
membunuh lalat.” Maka Ibn Umar berkata kepadanya: “Berasal
dari manakah engkau ini?” Lelaki itu menjawab, “Berasal dari
Irak.” Ibn Umar berkata lagi: “Ha, lihatlah lelaki ini. Dia
bertanya tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh
anak Rasulullah saw!! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda, ,Kedua anak ini –al-Hasan dan al-Husain–
merupakan hiburanku di dunia.” Dalam riwayat yang lain
disebutkan: “Penduduk Irak bertanya tentang lalat, padahal
mereka telah membunuh cucu Rasulullah saw…” 1

Al-Hafiz Ibn Hajar ketika memberikan penjelasan hadits ini di
dalam Fath al-Bari mengatakan, “Ibn Umar meriwayatkan hadits
ini dengan penuh keheranan terhadap semangat penduduk Irak
yang menanyakan perkara kecil, tetapi mereka melanggar perkara
yang besar.” 2

Ibn Battal berkata, “Ada satu pelajaran yang dapat kita ambil
dari hadits tersebut, yaitu bahwa seseorang harus mendahulukan
perkara agama yang lebih penting bagi dirinya. Karena
sesungguhnya Ibn Umar tidak senang terhadap orang yang
bertanya kepada dirinya tentang darah nyamuk, padahal dia
meninggalkan istighfar dari dosa besar yang dilakukannya;
yaitu dengan memberikan bantuan terhadap pembunuhan al-Husain.
Ibn Umar mencela orang tersebut, dan mengingatkan peristiwa
itu karena besar dan tingginya kedudukan al-Husain di sisi
Nabi saw.” 3

Ketidaksenangan Ibn Umar bukanlah terhadap orang yang bertanya
itu, tetapi dia bermaksud mengingkari trend pemikiran pada
suatu kelompok manusia yang hendak memperdalam perkara-perkara
yang kecil, dan menyibukkan diri mereka di situ, dan pada masa
yang sama mereka mengabaikan perkara-perkara yang besar.

Apa yang terjadi pada masa Ibn Umar juga terjadi pada anaknya,
Salim, juga dengan penduduk Irak. Mereka bertanya kepadanya
tentang sebagian perkara kecil, padahal dalam saat yang sama
mereka terjebak dalam perkara-perkara besar, yakni pembunuhan
dan penumpahan darah antara sebagian mereka dengan sebagian
yang lain. Dia memberikan peringatan yang sangat keras
terhadap hal itu dengan menyampaikan suatu hadits yang shahih:
“Setelab kepergianku janganlah kamu menjadi kafir kembali, di
mana sebagian dan kamu membunuh sebagian yang lain.”

Muslim meriwayatkan dalam kitab al-Fitan, dari Salim bin
Abdullah bahwasanya dia berkata, “Wahai penduduk Irak, apakah
sebenarnya yang membuat kamu bertanya tentang perkara-perkara
yang kecil, dan yang menjadikan kamu melakukan dosa besar. Aku
mendengar ayahku, Abdulla ibn Umar berkata, Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya fitnah akan muncul dari
sini –sambil tangan beliau saw menunjuk ke arah timur– di
mana dua tanduk setan akan muncul dari sana.” Sekarang ini
sebagian kamu membunuh sebagian yang lain, dan sesungguhnya
Musa pernah salah bunuh, kemudian Allah SWT berfirman, “…
dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan
kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa
cobaan…”

Di antara warisan fiqh prioritas dalam warisan pemikiran kita
ialah sebuah risalah yang sangat cemerlang, yang diriwayatkan
oleh al-hafizh Ibn ‘Asakir dalam riwayat hidup Abdullah bin
al-Mubarak, dari Muhammad bin Ibrahim bin Abu Sukainah yang
berkata, “Abdullah bin al-Mubarak mendiktekan kepadaku
bait-bait syair ini di Tarsus, ketika itu aku meminta izin
kepadanya untuk keluar. Dia memperdengarkan bait-bait syair
itu bersamaku kepada al-Fudhail bin ‘Iyadh pada tahun seratus
tujuh puluh.” Dalam riwayat yang lain disebutkan pada tahun
seratus tujuh puluh tujuh.

Wahai para ahli ibadah di al-Haramain, kalau kamu
menyaksikan kami, maka kamu akan mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu bermain-main dalam ibadah. Kalau
orang-orang membasahi pipinya dengan air mata yang
mengucur deras, maka dengan pengorbanan kami, kami
mengucurkan darah yang lebih deras. Kalau kuda
orang-orang kepenatan dalam perkara yang batil, maka
sesungguhnya kuda-kuda kami penat dalam melakukan
penyerbuan dan peperangan di pagi hari. Bau wewangian
menjadi milikmu, sedangkan bau wewangian kami, adalah
debu-debu jalanan dan debu-debu itu lebih wangi. Telah
datang kepada kami sabda Nabi kami. Sabda yang benar,
jujur dan tidak bohong. Tidak sama debu kuda-kuda Allah
di hidung seseorang dan asap api yang menyala-nyala;
Inilah kitab Allah yang berbicara kepada kami, Bahwa
orang yang mati syahid tidak diragukan lagi tidak sama
dengan orang yang mati biasa.

Ibrahim berkata, “Kemudian aku pernah berjumpa dengan
al-Fudhail bin ‘Iyadh yang membawa tulisan itu di masjid
al-Haram. Ketika membacanya, kedua matanya mengucurkan air
mata sambil berkata, ‘Abu Abdurrahman benar ketika dia
memberikan nasihat kepadaku.'”, Ibrahim berkata lagi: “Apakah
kamu termasuk salah seorang yang menulis riwayat ini?” Dia
menjawab, “Ya.” Ibrahim berkata kepadanya, “Tulislah riwayat
tersebut sebagai orang yang pernah melihat peristiwa itu dan
yang membawa tulisan dari Abu Abdurrahman kepada kami.
Kemudian al-Fudhail mendiktekan kepada kami: Manshur bin
al-Mu’tamir meriwayatkan kepada kami, dari Abu Shalih, dari
Abu Hurairah r.a. bahwasanya ada seorang lelaki berkata kepada
Rasulullah saw, ‘Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku suatu
amalan yang aku dapat memperoleh pahala orang-orang yang
berjihad di jalan Allah.’ Maka Rasulullah saw menjawab,
‘Apakah engkau dapat melakukan shalat dan puasa secara
terus-menerus?’ Lelaki itu menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku
terlalu lemah untuk melakukan hal itu.’ Maka Nabi saw
bersabda, ‘Demi yang diriku berada di tangan-Nya, kalau kamu
mampu melakukan hal itu maka kamu tidak dapat mencapai
angkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Atau kamu
tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kuda yang berperang akan
mendapatkan pahala, sehingga berbagai kebaikan dituliskan
untuknya.”

Kisah di atas disebutkan dalam salah satu seminar tentang
pemikiran Islam di Aljazair, lalu salah seorang tokoh juru
da’wah menolaknya, dan tidak membenarkan bahwa cerita itu
memiliki dasar yang benar. Karena bagaimana Ibn al-Mubarak
menamakan ibadah di al-Haramain sebagai suatu permainan? Yang
jelas, kisah itu benar. Ibn ‘Asakir menyebutkan kisah itu
berikut sanadnya dalam riwayat hidup Abdullah bin al-Mubarak,
kemudian dikutip oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya, di
akhir surat Ali ‘Imran,4 yang mengaku kebenaran kisah
tersebut. Al-Hafiz al-Dzahabi juga menyebutkan riwayat hidup
Ibn al-Mubarak dalam ensiklopedianya, Siyar A’lam an-Nubala’ 5
Dalam kisah itu tidak ada pernyataan yang bertentangan dengan
aqidah Islam dan nash-nashnya, bahkan Ibn al-Mubarak
mempergunakan dalil dari al-Qur’an dan sunnah Nabi saw dalam
menggubah syairnya, sebagaimana dikuatkan oleh ahli ibadah dan
zuhud, al-Fudhail, yang pernah didikte oleh Ibn al-Mubarak.

Tokoh kita, al-Bahi al-Khuli, menyebutkannya dalam bukunya
yang terkenal, Tadzkirah ad-Du’at, dan memberikan komentar
atas kisah itu sebagai berikut:

“Ibn al-Mubarak menulis perkataan.ini untuk sahabatnya,
al-Fudhail, pada saat jihad belum menjadi fardhu ain.
Walaupun demikian dia menilai ibadahnya sebagai suatu
permainan, pada hal ibadah itu dilakukan di tempat yang
paling mulia di muka bumi ini. Tahukah kamu apa yang
akan dikatakan oleh Ibn al-Mubarak kalau jihad telah
menjadi fadhu ain? Dan apa yang akan dikatakan olehnya
tentang ibadah di luar masjid al-Haram?” 6

Tetap Bergaul dengan Masyrakat ketika Terjadi Kerusakan Moral
ataukah Mengucilkan Diri dari Mereka?

Di antara warisan pemikiran para ulama terdahulu yang dapat
kita ikuti sekarang ini ialah topik pembahasan mengenai
persoalan manakah yang lebih utama bagi seorang Muslim pada
saat terjadinya fitnah dan menyebarnya kemaksiatan dan
kerusakan. Apakah dia harus ikut serta menceburkan diri dalam
masyarakat ataukah berusaha untuk memperbaikinya, atau
memencilkan diri dari mereka dan menyelamatkan diri sendiri.

Orang-orarg sufi… kebanyakan lebih memilih tindakan yang
kedua. Sedangkan ulama rabbani dan pejuang lebih mementingkan
jalan para nabi. Yakni tetap bergaul dan berusaha memperbaiki
mereka dengan penuh kesabaran dalam menerima siksaan yang
dilakukan oleh manusia.

Ibn Umar meriwayatkan dari Nabi saw,

“Orang beriman yang tetap bergaul dengan manusia dan
bersabar atas gangguan mereka adalah lebih baik
daripada orang yang tidak mau bergaul dengan mereka dan
tidak bersabar atas gangguan mereka.” 7

Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam buku Ihya’-nya memberikan
komentar di sekitar keuntungan dan kerugian memencilkan diri
dan tetap bergaul dengan mereka.

Topik lainnya yang juga menjadi pembahasan mereka ialah
tentang dunia dan kekayaannya. Manakah yang lebih utama kita
menggeluti dunia dan kemewahannya, ikut serta melakukan
kesibukan dalam urusan dunia bersama mereka dan ikut merasakan
kenikmatannya dengan tetap memperhatikan batas-batas yang
ditetapkan oleh Allah SWT; ataukah kita memalingkan diri
darinya dan menjauhinya, serta menjauhi orang kaya, perhiasan
dunia, dan harta kekayaannya?

Kebanyakan orang sufi lebih memilih tindakan yang kedua, akan
tetapi ulama rabbani yang benar dari ulama umat ini lebih
memilih tindakan yang pertama; sebagaimana yang dilakukan oleh
para nabi. Seperti Nabi Yusuf, Dawud, dan Nabi Sulaiman, serta
para tokoh senior sahabat Rasulullah saw, seperti Utsman,
Abdurrahman bin Auf, Talhah, Zubair, Sa’ad, dan lain-lain

Al-Allamah Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) menolak sikap
para sufi yang mencela dunia secara mutlak, dan menganggapnya
sebagai suatu keburukan dan bencana, serta tidak mau
memilikinya dan mencarinya walaupun kekayaan itu halal. Ibn
al-Jawzi dalam buku kritiknya, Talbis Iblis, mempergunakan
dalil yang berasal dari al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw,
petunjuk para sahabat, dan kaidah-kaidah syari’ah agama.

MENINGGALKAN LARANGAN ATAU MELAKUKAN KETAATAN?

Di antara warisan itu ada juga pembahasan tentang manakah yang
lebih utama dan diprioritaskan di sisi Allah, meninggalkan
larangan dan yang diharamkan ataukah mengerjakan perintah-Nya
dan mentaati-Nya?

Sebagian ulama mengatakan, “Meninggalkan larangan lebih
penting daripada melakukan perintah.” Mereka mengeluarkan
pernyataan itu berdasarkan dalil hadits shahih yang disepakati
keshahihannya, yang disebutkan oleh al-Nawawi dalam
al-Arbain-nya, dan.juga disebutkan dalam Syarh Ibn Rajab dalam
Jami’-nya; yaitu:

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu
perkara maka kerjakanlah dia sesuai dengan
kemampuanmu.” 8

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa larangan lebih
diutamakan daripada perintah, karena sesungguhnya dalam
larangan tidak dikenal adanya keringanan (rukhshah) dalam
suatu perkara, sedangkan perintah dikaitkan dengan kemampuan
orang yang hendak mengerjakannya. Pendapat ini diriwayatkan
dari Imam Ahmad

Pendapat ini serupa dengan pendapat sebagian ulama yang
mengatakan, “Amal kebajikan dilakukan oleh orang baik dan
orang yang durhaka, sedangkan kemaksiatan tidak ditinggalkan
kecuali oleh orang yang jujur.”9

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw
bersabda kepadanya,

“Hindarilah perkara-perkara yang diharamkan, niscaya
engkau akan menjadi manusia yang paling baik dalam
beribadah.” 10

‘Aisyah r.a. berkata, “Barangsiapa yang ingin menyaingi
kebaikan orang yang selalu bersungguh-sungguh, maka hendaklah
dia menahan diri dari berbagai dosa.” Diriwayatkan dari
‘Aisyah secara marfu’. 11

Al-Hasan berkata, “Tidak ada sesuatu yang dapat dipersembahkan
oleh seorang hamba kepada Tuhannya yang lebih baik daripada
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.”

Sebetulnya, riwayat yang menyebutkan keutamaan meninggalkan
hal-hal yang haram atas perbuatan ketaatan hanyalah
dimaksudkan dalam ketaatan untuk perkara-perkara yang sunnah.
Jika tidak, maka sesungguhnya jenis amalan yang wajib lebih
utama daripada jenis meninggalkan hal-hal yang haram. Karena
memang amalan itulah yang dimaksudkan, sedangkan hal-hal yang
haram itu dituntut ketidakberadaannya; dan oleh sebab itu
tidak memerlukan niat. Berbeda dengan amalan yang bila
ditinggalkan bisa menyebabkan kekufuran; seperti meninggalkan
tauhid, meninggalkan seluruh atau sebagian rukun Islam. Hal
ini akan berbeda dengan melakukan perbuatan terlarang, di mana
perbuatan itu sendiri tidak mengandung kekufuran. Hal ini
dibuktikan dengan ucapan Ibn Umar, “Sesungguhnya menolak satu
daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih baik daripada
menafkahkan seratus ribu daniq di jalan Allah SWT.

Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf: “Meninggalkan satu
daniq yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah lebih aku sukai
daripada lima ratus kali melakukan ibadah haji.”

Maimun bin Mihran berkata, “Mengingat Allah dengan lidah
adalah baik, dan lebih utama lagi jika seorang hamba
mengingat-Nya saat hendak melakukan maksiat kemudian dia
mencegah diri dari melakukannya.”

Ibn al-Mubarak berkata, “Penolakanku terhadap satu dirham yang
berasal dari syubhat adalah lebih aku cintai daripada
bershadaqah seratus ribu dan seratus ribu, sehingga sampai
enam ratus ribu.”

Umar bin Abd al-Aziz berkata, “Ketaqwaan itu bukan berjaga dan
beribadah di malam hari, atau berpuasa di siang hari, atau
kedua-duanya sekaligus; akan tetapi ketaqwaan itu adalah
menunaikan apa yang difardhukan Allah SWT dan meninggalkan apa
yang diharamkan Allah SWT. Jika setelah itu masih ada lagi
amalan yang dapat dikerjakan, maka ia adalah kebaikan yang
ditambahkan kepada kebaikan.”

Dia juga mengatakan, “Aku senang kalau aku tidak dapat
melakukan shalat selain shalat lima waktu dan shalat witir;
dapat menunaikan zakat kemudian setelah itu tidak bershadaqah
dengan satu dirham pun; berpuasa Ramadhan dan tidak berpuasa
satu hari pun setelah itu; melakukan ibadah haji kemudian
tidak melakukan haji lagi selamanya sesudah itu; lalu dengan
sisa kekuatanku, diriku ini berniat melakukan apa yang
diharamkan oleh Allah kepadaku, tetapi aku dapat mencegahnya.”

Kesimpulan pendapat mereka ialah bahwa menjauhi hal-hal yang
diharamkan –walaupun jumlahnya sangat sedikit– adalah lebih
utama daripada memperbanyak ketaatan yang hukumnya sunnah.
Karena sesungguhnya menjauhi larangan hukumnya fardhu dan
memperbanyak ketaatan dalam hal yang sunnah hukumnya sunnah.

Kelompok ulama khalaf mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda, ‘Apabila aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah
dia; dan apabila aku memerintahkanmu tentang suatu perkara
maka kerjakanlah dia sesuai dengan kemampuanmu,’ adalah karena
mentaati Allah SWT dalam suatu perkara tidak dapat dilakukan
kecuali dengan melakukan amalan, dan amalan itu bergantung
kepada adanya beberapa syarat dan sebab; sedangkan sebagian
sebab itu ada yang tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu,
Rasulullah saw mengaitkannya dengan kemampuan? sebagaimana
Allah SWT mengaitkan perintah-Nya untuk melakukan taqwa dengan
kemampuan.

“Maka bertagwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu
…” (at- Taghabun: 16)

“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, (bagi) orang yang mampu melaksanakannya” (Ali
Imran: 97)

Sedangkan tuntutan pada larangan ialah meniadakan perbuatan.
Itulah hukum asalnya. Maksudnya hendaklah perbuatan itu tidak
ada untuk selama-lamanya. Sehingga tidak dikenal di dalamnya
kemampuan untuk tidak dapat melakukannya Sehubungan dengan
masalah itupun ada beberapa pandangan. Kekuatan yang mendorong
kepada perbuatan maksiat itu bisa jadi kuat, sehingga
seseorang tidak memiliki kesabaran untuk mencegah diri
darinya, padahal dia memiliki kemampuan untuk
melakukannya.Sehingga pencegahan untuk kasus seperti ini
memerlukan usaha keras, dan barangkali melebihi usaha dalam
memberikan semangat kepada jiwa seseorang untuk melakukan
ketaatan. Oleh sebab itu, banyak sekali orang yang berusaha
keras melakukan ketaatan, tetapi dia tidak kuat untuk
meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Umar pernah
ditanya tentang suatu umat Islam yang sangat mudah digoda oleh
kemaksiatan tetapi mereka tidak melakukan kemaksiatan
tersebut. Dia menjawab, “Mereka adalah suatu umat Muslim yang
hati mereka diuji oleh Allah SWT dalam ketaqwaan. Mereka
berhak memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” 12

Yazid bin Maisarah berkata bahwa Allah SWT berfirman dalam
sebagian kitab suci-Nya yang lain, “Wahai pemuda yang mau
meninggalkan nafsu syahwatnya, yang menghabiskan waktu
remajanya untuk-Ku, engkau di sisi-Ku adalah seperti sebagian
malaikat-Ku.” 13

Dia juga berfirman, “Alanglah dahsyatnya nafsu syahwat di
dalam tubuh manusia. Ia bagaikan api yang membakar. Maka
bagaimana mungkin orang yang tak berpagar dapat selamat
darinya?” 14

Kesimpulannya, sesungguhnya Allah tidak memberikan beban
kepada para hamba-Nya untuk melakukan amal perbuatan yang
tidak mampu mereka lakukan. Dan banyak sekali amal perbuatan
yang tidak dibebankan lagi kepada mereka oleh Allah SWT hanya
karena ada kesulitan, sebagai keringanan dan rahmat bagi
mereka. Sedangkan perkara yang berkaitan dengan larangan, maka
tidak ada seorangpun yang dimaafkan apabila dia melakukannya
dengan kekuatan nafsu syahwatnya. Bahkan, Allah memberikan
beban kepada mereka untuk meninggalkannya bagaimanapun
keadaannya. Allah membolehkan seseorang untuk memakan makanan
yang diharamkan ketika dia berada di dalam keadaan darurat
untuk mempertahankan hidup, dan bukan untuk bersenang-senang
dan memuaskan nafsu syahwatnya. Atas dasar itu, kita dapat
mengetahui kebenaran apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad:
“Sesungguhnya larangan itu lebih berat daripada perintah.”
Diriwayatkan dari Nabi saw, dari Tsauban, dan lain-lain
bahwasanya beliau bersabda,

“Istiqamahlah terus, tetapi kamu tidak akan
mendapatkannya.” 15

Yakni tidak akan dapat mencapai derajat kesempurnaan.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 282. Darimi, 1: 168 dari al-Walid
bin Muslim: “Ibn Tsauban memberitahukan kepada saya, bahwa
Hisan bin ‘Athiyah memberitahu saya bahwa Abu Kabsyah
al-Saluli berkata bahwasanya dia mendengar Tsauban berkata…”

KAYA DISERTAI SYUKUR ATAUKAH MISKIN DISERTAI SABAR?

Di antara pembahasan yang termasuk di dalam fiqh pertimbangan
atau fiqh prioritas ialah apa yang dibahas oleh para ulama
terdahulu di sekitar pertanyaan ini, “Manakah yang lebih utama
dan lebih banyak pahalanya, kaya tetapi bersyukur ataukah
miskin tetapi bersabar? Dengan kata lain: “Menjadi orang yang
kaya tetapi bersyukur atau menjadi orang miskin tetapi
bersabar?”

Jawaban atas pertanyaan itu bermacam-macam. Ada yang memilih
pernyataan pertama dan ada juga memilih yang kedua.

Bagi saya, setelah menghayati nash-nash yang berkaitan
dengannya dan melakukan kajian perbandingan atas nash-nash
tersebut, maka saya memilih pernyataan bahwa menjadi orang
kaya tetapi mau bersyukur adalah lebih utama. Untuk menjadi
orang kaya tetapi mau bersyukur adalah sesuatu yang tidak
mudah, sebagaimana dugaan orang banyak. Allah SWT berfirman:

“… Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
berterima kasih… (Saba’: 13)

Allah SWT berfirman menirukan apa yang dikatakan oleh Iblis
terlaknat:

“… Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur (taat). (al-A’raf: 17)

Rasulullah saw pernah memohon kekayaan kepada Allah SWT, dan
memohon perlindungan dari-Nya untuk dijauhkan dari kemiskinan.

Rasulullah saw berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk,
ketaqwaan, kesucian diri, dan kekayaan.” 16

“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kemiskinan, kepapaan, dan kehinaan. Dan aku berlindung
kepada-Mu dari kezaliman orang dan menzalimi orang.” l7

“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kemiskinan, kekufuran, kefasikan, perpecahan, dan
kemunafiqan.” 18

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
kelaparan, karena sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk
sahabat.” 19

Rasulullah saw pernah bersabda kepada Sa’ad,

“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertaqwa,
kaya, dan tidak menonjolkan dirinya.” 20

Rasulullah saw bersabda kepada Amr’

“Wahai Amr, sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki
oleh orang yang shaleh.” 21

Hadits “Orang-orang kaya meraih tingkat yang tinggi…”
menunjukkan bahwa orang-orang kaya apabila mereka mau
bersyukur kepada nikmat Allah, dan menunaikan haknya, maka
mereka akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan
amalan-amalan fardhu yang tidak dapat dilakukan oleh
orang-orang miskin. Oleh karena itu dalam hadits pernah
disebutkan, “Itulah kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT
kepada siapa saja yang dikehendakiNya.” (Bukhari, 843, 6329,
dan Muslim, 595)

Allah SWT telah memuji rasul-rasul-Nya yang mulia, karena
mereka mau bersyukur kepadaNya. Seperti syaikh para rasul, Nuh
a.s., yang dipujiNya dalam firman-Nya:

” … Sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba Allah yang
banyak bersyukur. (al-Isra’: 3)

Dan Ibrahim bapak para nabi dan umat Islam ketika dipuji oleh
Allah SWT:

“(lagi) mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah
memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.”
(an-Nahl: 121)

Dan juga nikmat-Nya yang diberikan kepada nabi Dawud dan nabi
Sulaiman,

“…Bekerjalah hai keluarga Dawud untuk bersyukur
kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
yang berterima kasih.” (Saba’: 13)

Dan juga dikisahkan tentang Sulaiman a.s. yang berkata ketika
dia telah mendengar perbincangan yang dilakukan oleh semut.

“… Ya Tuhan, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakku…” (an-Naml:19)

Begitu pula kisah tentang Yusuf a.s.

“… Ya Tuhanku, sesungguhnya engkau telah
menganugerahkan kepadaku, sebagian kerajaan dan telah
mengajarkan kepadaku sebagian ta’bir mimpi…” (Yusuf:
101)

Dan kenikmatan yang diberikan Allah SWT kepada rasul-Nya yang
terakhir.

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
lalu Dia memberikan kecukupan.” (ad-Dhuha: 8)

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (ad-Dhuha: 11)

Serta kenikmatan yang diberikan-Nya kepada para sahabat
Rasulullah saw.

“Dan ingatlah hai para muhajirin ketika kamu masih
berjumlah sedikit, lagi tertindas di maka bumi
(Makkah), kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik
kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah)
dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan
diberi-Nya kamu rizki dari yang baik-baik agar kamu
bersyukur.” (al-Anfal: 26).

Catatan kaki:

1 Diriwayatkan oleh Ahmad melalui dua jalan, 5675,
5568, yang di-shahih-kan oleh Syaikh Syakir dalam
duatempat. Bukhari meriwayatkannya dalam dua tempat
jua, dalam al-Manaqib (3573) dan dalam al-Adab
al-Mufrad (5994), Bukhari dan Fath al-Bari.

2 al-Fath, 7: 95, Penerbit Dar al-Fikr yang dicetak
dari al-Salafiyyah.

4 Lihat Tafsir Ibn Katsir. cet. Isa al-Halabi. 1:447

5 Lihat Siyar A’lam al-Nabala’, 8: 364, 365.

6 Tadzkirah al-Du’at, h. 212.

7 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bukhari dalam al-Adab
al-Mufrad; Tirmidzi, dan Ibn Majah sebagaimana yang
disebutkan dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 6651.

8 Muttafaq Alaih’ diriwayatkan oleh Bukhari (7288); dan
Muslim (1337).

9 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari ucapan Sahl bin
Abdullah at-Tasturi, dalam al-Hilyah, 10: 211

1O Sabda Nabi saw ini merupakan potongan daripada
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, 2: 310; Tirmidzi
(2305); yang dianggap hadits gharib oleh Tirmidzi. Akan
tetapi ada isnad lain dari Ibn Majah (4217) Yang
menguatkan hadits tersebut; Baihaqi dalam al-Zuhd
(818); Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 10: 365; yang
dianggap sebagai hadits hasan oleh al-Bushiri dalam
Misbah al-Zujajah.

11 Diriwayatkan oleh Abu Ya’la (4950). Di dalam
sanad-nya terdapat Suwaid bin Sa’id, dan Yusuf bin
Maimun. Keduanya orang yang lemah.

12 Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Zuhd, sebagaimana
yang termuat dalam Tafsir Ibn Katsir, 7: 248; dari
Mujahid, dari Umar, tetapi dia tidak mendengarkannya
darinya, sehingga riwayat ini dianggap munaqathi’

13 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 5: 237

14 al-Hilyah, 5: 241

15 Hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Ahmad, 5: 276,
277, 282; Darimi, 1: 168; Ibn Majah, 288 dari Salim bin
Abu Ja’d, dari Nauban, yang di-shahih-kan oleh Hakim,
1: 130 dan disepakati okh al-Dzahabi.

16 Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah
dari Ibn Mas’ud, Shahih. al-Jami’, as-Shaghir, 1275

17 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, Ibn Majah, Hakim
dari Abu Hurairah r a ( al-Jami’, as-Shaghir, 1287)

18 Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi di dalam
al-Du’a,dari Anas, ibid., 1285

19 Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah
dari Abu Hurairah r.a., ibid., 1283

20 Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dari Sa’ad bin Abi
Waqqash.

21 Diriwayatkan oleh Ahmad dan di-shahih-kan oleh
Hakim, Ibn Hibban, dari Amr bin Ash.

&

IMAM AL-GHAZALI DAN FIQH PRIORITAS

6 Jan

Yusuf Qardhawy; Fiqih Prioritas

Di antara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh prioritas dan mengkritik cara hidup masyarakat Muslim yang berlebih-lebihan ialah Imam al-Ghazali. Hal ini tampak dengan jelas dalam ensiklopedianya, al-Ihya’ ‘Ulum al-Din. Pembaca buku ini akan menemukan pembahasan tersebut pada seperempat buku, dan juga buku al-Arba’in-nya. Lebih jelas lagi dalam bukunya, Dzamm al-Ghurur, yang merupakan bagian kesepuluh dari al Muhlikat.

Di dalam kajian itu disebutkan berbagai kelompok manusia yang tertipu tetapi mereka tidak menyadarinya.

Al-Ghazali menyebut orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, ahli ibadah dan amalan, orang-orang sufi, orang-orang kaya dan, juga orang-orang awam. Dia menyebutkan ketertipuan orang-orang dari masing-masing kelompok, dan bagaimana mereka tertipu oleh hawa nafsu mereka, atau bagaimana setan-setan mereka memperindah perbuatan buruk mereka, sehingga mereka melihatnya sebagai perbuatan yang baik. Setan telah memberikan sifat dan gambaran yang baru, yang harus mereka ikuti.

Saya menganggap cukup untuk menyebutkan dua contoh kritikannya yang mendalam dan arif, untuk melihat sejauh mana pemahamannya terhadap agama Allah, dan pemahamannya terhadap dunia manusia, serta kemauan kerasnya untuk memperbaiki keadaan manusia dari segi lahiriah dan batiniah mereka, di samping perhatiannya pada fiqh prioritas.

CONTOH KETIMPANGAN DALAM MEMBUAT PERINGKAT AMALAN SYARI’AH

Contoh pertama ialah kelompok orang-orang beragama yang tertipu, di antara para ahli ibadah dan amal perbuatan. Al-Ghazali berkata,

“Di antara mereka adalah kelompok orang-orang yang meremehkan perkara-perkara fardhu dan menyibukkan diri dengan masalah fadhail dan nawafil. Bahkan mungkin sekali mereka memperdalam perkara-perkara fadhail sehingga mereka berani melakukan permusuhan dan tindakan yang melampaui batas. Seperti orang yang dikalahkan oleh keraguan dalam berwudhu sehingga dia sangat berlebihan dalam melakukannya, dan tidak puas dengan air yang dianggap suci menurut fatwa syari’ah.
Dia menilai hal-hal yang jauh dari najis menjadi dekat. Tetapi apabila dia memakan makanan yang halal dia menilai hal-hal yang dekat kepada haram menjadi jauh. Dan bahkan dia memakan makanan yang betul-betul haram. (Lihat buku kami, ar-Rasul wa al-‘Ilm, h. 2~23. Pen. Al-Risalah, Beirut, dan al-Sahwah, Kairo)

Ada lagi kelompok yang sangat tamak untuk melaksanakan perkara-perkara yang hukumnya sunnah, tetapi tidak menghiraukan kepada perkara-perkara yang hukumnya fardhu. Anda dapat melihat orang yang termasuk di dalam kelompok ini begitu gembira bila dapat melaksanakan shalat Dhuha, shalat malam, dan perkara-perkara sunnah lainnya, tetapi dia tidak pernah merasakan nikmatnya perkara fardhu, serta tidak bersemangat untuk segera melaksanakan perkara ini di awal waktunya. Dia lupa terhadap sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Tuhannya,

“Tidak ada sesuatu yang dapat dipergunakan oleh seseorang mendekatkan diri kepada-Ku seperti apa yang Saya fardhukan kepada mereka.” (23 Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a. dengan lafal, “Tidak ada sesuatu yang dipergunakan oleh hamba-ku kepada diri-ku”)

Mengabaikan urutan prioritas pada perkara-perkara yang baik adalah termasuk keburukan. Bahkan, telah ditetapkan adanya dua macam fardhu dalam kehidupan manusia. Pertama, yang terluput, dan kedua tidak terluput. Atau adanya dua keutamaan. Pertama, ialah kategori fardhu yang sempit waktunya, dan kedua ialah kategori fardhu yang luas waktunya. Apabila dia tidak menjaga urutan prioritas tersebut, maka dia akan tertipu dan sia-sia.

Contoh-contoh yang lainnya sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya; karena sesungguhnya kemaksiatan dan ketaatan merupakan dua hal yang sangat jelas. Hanya saja masalah yang cukup rumit ialah mendahulukan sebagian ketaatan atas sebagian yang lain. Seperti mendahulukan hal-hal yang fardhu atas hal-hal yang sunnah; mendahulukan fardhu ain atas fardhu kifayah; mendahulukan fardhu kifayah yang tidak ada orang yang mengerjakannya atas fardhu kifayah yang sudah ada orang yang mengerjakannya; mendahulukan fardhu ain yang paling penting atas hal-hal yang kurang penting; dan mendahulukan urusan yang sudah mendesak atas urusan yang masih longgar waklunya. Hal ini adalah seperti mendahulukan kepentingan ibu atas kepentingan ayah; karena Sesungguhnya ketika Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat, “Kepada Siapakah aku harus berbuat baik wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian kepada siapa?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasul menjawab, “Ayahmu.” Dia bertanya lagi, “Kemudian kepada siapa lagi?” Rasul menjawab, “Kemudian kepada yang lebih dekat lagi dan kepada yang lebih dekat lagi.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan al-Hakim yang men-shahih-kan hadits ini dari hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya. Ada hadits yang serupa ini dalam as-Shahihain, dengan lafal yang lain dari hadits Abu Hurairah r.a.)

Oleh sebab itu, kita mesti memulai menjalin tali silaturahim dengan kerabat yang paling dekat. Dan jika ada kesamaan kedekatan mereka, maka kepada yang lebih perlu, jika masih sama lagi, maka kita harus memilih yang lebih bertaqwa dan lebih wara’.

Begitu pula orang yang harta bendanya tidak cukup untuk memberikan nafkah kepada kedua orangtua dan ibadah haji, maka barangkali dia dapat melaksanakan ibadah haji tetapi dia tertipu. Seharusnya dia mendahulukan hak kedua orangtuanya daripada melakukan ibadah haji. Dan inilah yang disebut dengan melakukan fardhu yang lebih penting atas fardhu yang lainnya.

Contoh lainnya sangat banyak, misalnya apabila seseorang membuat janji, dan telah masuk waktu shalat Jumat, kemudian shalat Jumatnya tertinggal, maka kesibukan untuk menepati janji “ketika itu” dianggap sebagai kemaksiatan, walaupun ini merupakan salah satu bentuk ketaatan dari dirinya.

Begitu pula seseorang yang pakaiannya terkena najis, kemudian dia marah kepada kedua orangtuanya dan keluarganya karena najis tersebut. Maka sesungguhnya najis itu perlu dihindari dan menyakiti hati kedua orangtua juga harus dihindari. Menghindarkan diri dari menyakiti hati orangtua adalah lebih penting daripada menghindarkan najis seperti itu.

Contoh-contoh benturan antara larangan dan ketaatan sangat banyak. Orang yang tidak menjaga urutan prioritas dalam semua persoalan di atas, maka ia akan tertipu. Ketertipuan ini merupakan masalah yang sangat pelik, karena sesungguhnya orang yang tertipu itu berada di dalam ketaatan, hanya saja dia kurang waspada terhadap ketaatan yang dapat menjelma menjadi kemaksiatan, Karena ia meninggalkan ketaatan yang wajib dan lebih penting.” (25 Ihya’ ‘Ulum al-Din, 3: 400-404, Pen. Dar al-Ma’rifah, Beitut.)

Itulah persoalan paling penting yang disebutkan oleh al-Ghazali, ahli fiqh itu, dan betapa perlunya para juru da’wah kebangkitan Islam kepada fiqh dan kesadaran al-Ghazali. Sejak munculnya isu kebangkitan Islam dan organisasi keagamaan saya telah mempergunakan konsep itu yang saya sebut dengan “fiqh urutan pekerjaan”, karena setiap amalan harus diberi ‘kredit’ syari’ah nya, dan ditempatkan pada “anak tangga” perkara-perkara yang diperintahkan atau dilarang. Saya belum pernah membaca tulisan seperti yang dibuat oleh al-Ghazali yang demikian mendalam dan jelas. Dia mempergunakan istilah yang sangat menonjol, yaitu “meninggalkan urutan prioritas pada perkara-perkara yang baik dari sejumlah keburukan.” Dan banyak lagi contoh lainnya yang dapat kita peroleh dari uraian yang dibuatnya.

MEMBELANJAKAN HARTA PADA SESUATU YANG KURANG DIPRIORITASKAN

Contoh lainnya, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya, dan tertipu. Orang yang tergolong dalam kelompok ini ada bermacam-macam. Salah satunya ialah orang yang sangat berambisi untuk membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah, jembatan-jembatan, yang tampak pada mata orang banyak, kemudian mereka mengukirkan nama-nama mereka pada batu prasasti, agar nama mereka senantiasa diingat, dan tetap dikenang walaupun mereka telah meninggal dunia, serta diketahui bahwa itulah hasil peninggalan mereka. Mereka menyangka bahwa dengan melakukan perbuatan seperti itu mereka berhak mendapatkan ampunan dari Allah SWT, namun sebenarnya mereka tertipu dalam dua hal.

Pertama, mereka membangun proyek-proyek itu dari harta kekayaan yang mereka peroleh melalui kezaliman, perampasan, dan sogokan (risywah), serta dari hal-hal yang terlarang. Dengan cara pencarian harta kekayaan seperti ini berarti mereka telah mendapatkan satu kemurkaan dari Allah SWT, serta kemurkaan ketika menafkahkannya. Seharusnya mereka mencegah diri untuk tidak mencari harta kekayaan dengan cara seperti itu. Dan apabila mereka telah melakukan kemaksiatan kepada Allah untuk memperoleh harta kekayaan itu, maka mereka harus bertobat dan kembali kepada Allah, mengembalikan harta kekayaan itu kepada orang yang berhak memilikinya. Yaitu dengan cara mengembalikan barangnya atau menggantikan nilai barang tersebut apabila mereka tidak dapat mengembalikan barangnya. Jikapun mereka tidak dapat mengembalikan barang-barang itu kepada pemiliknya, maka mereka wajib mengembalikannya kepada para ahli warisnya. Jika orang yang dizalimi itu tidak mempunyai ahli waris, maka dia harus menafkahkan harta itu untuk kemaslahatan yang paling penting.

Dan barangkali tindakan yang paling penting ialah mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, sayang sekali mereka tidak melakukannya, karena khawatir bahwa perbuatannya tidak banyak diketahui oleh mata manusia. Dan oleh karena itu mereka mendirikan bangunan, dengan tujuan memamerkan amal perbuatannya, dan memperoleh pujian dari manusia, serta berambisi untuk mengekalkan amal perbuatannya agar pada masa yang sama namanya juga ikut terabadikan.

Kedua, mereka menyangka bahwa amal perbuatan itu mereka lakukan dengan ikhlas, dan bertujuan baik karena menafkahkan harta kekayaan untuk membangun gedung-gedung. Akan tetapi, kalau salah seorang di antara mereka diminta sumbangan satu dinar, dan namanya tidak diabadikan sebagai penyumbang, maka hatinya tidak hendak memberikan sumbangan itu, padahal Allah SWT Maha Mengetahui amal perbuatannya baik namanya ditulis sebagai penyumbang atau tidak. Misalkan orang itu tidak memerlukan pujian orang, tapi hanya karena Allah, maka mengapa dia harus berlaku seperti itu.

KESIBUKAN ORANG KAYA DENGAN IBADAH FISIK

Kelompok lainnya ialah orang-orang kaya yang sibuk menumpuk dan menyimpan harta kekayaannya tapi sangat pelit (bakhil) untuk membelanjakan harta kekayaan tersebut. Kemudian mereka menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah fisik yang tidak memerlukan biaya. Seperti berpuasa pada siang hari, melakukan shalat malam, dan mengkhatamkan al-Qur’an. Sebenarnya orang-orang seperti ini tertipu, sebab kebakhilan yang sangat merusak telah menguasai relung batiniah mereka. Seharusnya dia dapat memasuki ketinggian derajat dengan menafkahkan harta kekayaannya, tetapi dia sibuk mencari suatu kelebihan yang sepatutnya tidak perlu dia lakukan. Perumpamaan orang seperti ini adalah seperti orang yang pakaiannya dimasuki ular dan hampir binasa, tetapi dia masih menyibukkan diri dengan memasak jamu untuk menyembuhkan penyakit kuningnya. Lalu, apakah orang yang mendekati kehancuran karena diracuni oleh ular masih memerlukan jamu?

Oleh sebab itu, Ketika ada seseorang yang berkata kepada Bisyr, “Sesungguhnya Fulan yang kaya itu banyak melakukan puasa dan shalat,” Bisyr berkata kepadanya, “Kasihan, dia meninggalkan urusannya sendiri dan memasuki urusan orang lain. Sesungguhnya lebih baik bagi dirinya untuk memberikan makanan kepada orang-orang yang kelaparan, dan menafkahkan hartanya untuk orang-orang miskin daripada dia melaparkan dirinya sendiri, dan melakukan shalat untuk kepentingan dirinya. Untuk apa dia mengumpulkan dunia dan menahan harta kekayaan itu dari fakir miskin?”

MEMBELANJAKAN HARTA UNTUK HAJI SUNNAH

Sesuatu yang dianggap aib oleh al-Ghazali dalam perilaku orang-orang kaya umat ini ialah bahwa sesungguhnya mereka sangat berambisi membelanjakan uangnya untuk melakukan ibadah haji. Sehingga mereka melakukan ibadah haji berkali-kali, dan bahkan mereka meninggalkan tetangga-tetangganya kelaparan.

Oleh sebab itu, Ibn Mas’ud berkata, “Pada akhir zaman nanti banyak orang yang melakukan ibadah haji tanpa sebab. Mereka begitu mudah melakukan perjalanan ke Makkah, mempunyai rizki yang melimpah, tetapi mereka pulang kembali ke tanah airnya dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Hingga ada salah seorang di antara mereka yang untanya tersesat di tengah padang pasir, tetapi tetangganya yang ada di sampingnya terbelenggu dan dia tidak dapat memberikan pertolongan kepadanya.”

Seakan-akan Ibn Mas’ud r.a. melihat kepada apa yang akan terjadi pada zaman kita sekarang ini melalui alam gaib dan memberikan ciri-cirinya Abu Nashr al-Tammar berkata, “Sesungguhnya ada seorang lelaki yang datang dan ingin mengucapkan selamat tinggal kepada Bisyr bin al-Harits sambil berkata “Aku telah berniat melakukan ibadah haji, barangkali engkau hendak memerintahkan sesuatu kepadaku.” Bisyr berkata kepadanya: “Berapa biaya yang telah engkau persiapkan untuk itu?” Dia menjawab, “Dua ribu dirham.”

Bisyr berkata, “Apakah yang hendak engkau cari dalam hajimu? Karena zuhud, rindu kepada Baitullah, ataukah untuk mencari keridhaan Allah SWT?”

Dia menjawab, “Saya hendak mencari keridhaan Allah SWT.”

Bisyr berkata, “Kalau engkau hendak mencari keridhaan Allah SWT, sementara engkau tetap berada di rumahmu dan membelanjakan dua ribu dirham itu (bukan untuk berhaji), serta engkau merasa yakin bahwa engkau akan dapat memperoleh keridhaan itu, maka apakah engkau akan melakukannya (haji) juga?”

Dia menjawab, “Ya.”

Bisyr berkata, “Pergilah, dan berikan dua ribu dirham itu kepada sepuluh kelompok manusia ini: orang yang berutang agar dia dapat membayar utang-utangnya; orang miskin agar dia dapat bangkit kembali; orang yang menanggung pemeliharaan anggota keluarga yang banyak agar mereka tercukupi keperluannya; dan pengasuh anak yatim agar dia dapat menggembirakan mereka.Kalau hatimu kuat, berikanlah uang itu kepada salah satu kelompok tersebut, karena sesungguhnya usahamu untuk menggembirakan hati seorang Muslim, memberikan pertolongan kepada orang yang bersedih hati, menyelamatkan orang yang sedang dalam keadaan berbahaya, memberikan bantuan kepada orang yang lemah, adalah lebih baik daripada seratus kali haji yang dilakukan setelah haji wajib dalam Islam. Berdirilah dan berikanlah uang itu kepada mereka sebagaimana kami memerintahkan kepadamu. Jika tidak, maka katakanlah apa yang terdetik di dalam hatimu?”

Dia menjawab, “Wahai Abu Nashr, perjalananku lebih kuat dalam hatiku. ”

Bisyr lalu tersenyum, kemudian mendekatinya dan berkata kepadanya: “Harta kekayaan yang dikumpulkan dari kotoran perniagaan dan syubhat, membuat hawa nafsu bertindak di dalamnya untuk memamerkan amal shalehnya Padahal Allah SWT telah berjanji kepada diri-Nya sendiri untuk tidak menerima kecuali amal orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya.” (26 Ibid., 3: 409; dan lihat buku kami yang berjudul al-Imam al-Ghazali bayn Madihihi wa Naqidihi, h. 81-93, Penerbit Dar al-Wafa’.)

“… Ya tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 127).

&

PARA ULAMA YANG PUNYA KEPEDULIAN TERHADAP FIQH PRIORITAS

6 Jan

Yusuf Qardhawy, Fiqih Prioritas

Di antara ulama yang hidup sezaman dengan al-Ghazali ialah al-‘Allamah al-Raghib al-Isfahani (w. 502 H.) yang memiliki pemikiran cemerlang dalam fiqh prioritas. Ada baiknya kami kutipkan ucapannya di sini tentang kesibukan orang-orang terhadap perkara yang sunnah sehingga mereka meninggalkan perkara yang wajib. Dia berkata, “Barangsiapa disibukkan mencari perkara fardhu sehingga dia tidak dapat mencari tambahan (sunnah) maka dia dimaafkan. Tetapi barangsiapa yang sibuk mencari tambahan (sunnah) dan melalaikan kewajiban, maka sesunngguhnya dia tertipu.”

Setelah itu kita juga menemukan seorang imam kritikus, Abu al-Faraj ibn al-Jawzi (w. 597 H.) memiliki pengalaman yang sangat luas tentang kritik terhadap masyarakat dan berbagai kelompoknya yang bermacam-macam, ketimpangan dalam memberikan prioritas, dan tipu daya setan atas mereka. Pemikiran ini dapat kita baca dalam buku-buku Talbis Iblis; Shayd al-Khathir; Dzamm al-Hawa; dan lain-lain. Di samping itu, Ibn al-Jawzi telah memiliki kesadaran mengenai betapa pentingnya memberikan perhatian kepada ketimpangan dalam prioritas pada manusia awam; khususnya yang berkaitan dengan pengaruh hadits-hadits yang lemah dan mawdhu, terhadap pola kehidupan mereka. Sehingga dia mengarang dua buah buku besar yang berjudul al-Mawdhu’at dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah.

Kita juga mempunyai seorang ulama yang kuat, Izzuddin bin Abd al-Salam (w. 660 H.) yang memiliki pandangan sangat tajam, pemikiran yang menerawang jauh dalam fiqh perbandingan dan fiqh prioritas. Pengaruh pemikirannya menyebar kepada masyarakat melalui buku kajiannya yang sangat mendasar, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, yang beberapa paragraph isinya telah kami kutip pada bab kedua buku ini.

IBN TAIMIYAH DAN FIQH PRIORITAS

Di antara imam yang memberikan petunjuknya kepada umat manusia dan memiliki tonggak yang kuat dalam fiqh prioritas –fiqh perbandingan– ialah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H.) yang kemudian diikuti oleh muridnya, al-Muhaqqiq al-Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H.)

Saya telah mengutip dalam sebuah buku saya Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, sebanyak dua bab yang berasal dari buku Syaikh al-Islam, yang mencerminkan pemahaman dan pemikirannya dalam bidang ini, yang saya tempatkan sebagai lampiran di akhir buku tersebut.

Dalam buku-buku, risalah, fatwa dan pendiriannya, Syaikh al-Islam memiliki banyak jasa dan baik sekali untuk dipergunakan sebagai bukti yang sangat memuaskan, karena perkara-perkara itu berkaitan dengan sumber-sumber petunjuk Ilahi dan petunjuk Nabi. Pada kesempatan ini saya menganggap cukup untuk menyebutkan dua buah contoh pandangan imam Ibnu Taimiyah, semoga bermanfaat.

1) PERBEDAAN KEUTAMAAN AMAL KARENA PERBEDAAN KEADAAN

Contoh yang pertama, pernah saya sebutkan ringkasannya dalam buku saya al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yang berkaitan dengan perbedaan keutamaan amal karena perbedaan situasi dan kondisinya, serta tenggang rasa dengan orang-orang di sekitarnya.

Syaikh al-Islam berkata, “Satu amalan boleh jadi kita dianjurkan untuk mengerjakannya dalam satu waktu, dan boleh jadi pula kita dianjurkan untuk meninggalkannya, tergantung kepada kemaslahatan yang timbul ketika kita mengerjakan atau meninggalkannya, berdasarkan dalil-dalil syari’ah agama.

Seorang Muslim kadangkala mesti meninggalkan sesuatu yang dianjurkan manakala sesuatu itu apabila dikerjakan akan menimbulkan kerusakan dan tidak mendatangkan kemaslahatan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau meninggalkan pembangunan Baitullah di atas fondasi yang didirikan oleh Ibrahim, sambil berkata kepada ‘Aisyah, ‘Kalau bukan karena kaummu baru saja meninggalkan zaman jahiliyah, niscaya akan kuhancurkan Ka’bah dan akan kubangun di atas tanah dengan dua pintu. Satu pintu untuk masuk dan satu pintu lagi untuk pintu keluar.’ Hadits ini disebutkan dalam as-Shahihain.

Nabi meninggalkan niatnya ini karena ada sesuatu yang lebih utama darinya. Yaitu seandainya niat ini beliau lakukan, sedangkan kaum Muslim Quraisy baru saja meninggalkan zaman jahiliyah, niscaya perbuatan itu akan membuat mereka menjauh dari Islam. Sehingga menghindari kerusakan yang akan terjadi lebih diutamakan atas kemaslahatan yang akan diperoleh.

Oleh sebab itu, Imam Ahmad dan ulama lainnya lebih senang melakukan sesuatu yang lebih utama, jika perbuatan itu dianggap dapat tetap menjaga keutuhan persatuan umat Islam. Menurutnya, memisalkan shalat witir dianggap lebih utama; yaitu dengan melakukan salam pada dua rakaat yang pertama, kemudian baru melakukan shalat satu rakaat pada salam yang kedua; jika dia menjadi imam pada suatu kaum yang memiliki pandangan memisahkan witir. Misalnya tidak memungkinkan baginya untuk memisahkan witir, dan dia terus menyambungkannya, maka kemaslahatannya sendiri dapat dicapai tetapi orang-orang merasa benci untuk shalat di belakangnya.

Begitu pula halnya dengan orang yang berpandangan bahwa membaca basmalah dengan suara pelan lebih utama, atau dengan suara keras yang lebih utama, tergantung kepada kebanyakan ma’mumnya. Dalam hal ini harus ada sesuatu yang diutamakan sehingga kemaslahatan dan menjaga persatuan tetap dapat dijalankan.

Begitu pula halnya apabila kita mengerjakan sesuatu yang berbeda tetapi lebih utama, untuk memberikan penjelasan terhadap sunnah dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya, merupakan sesuatu yang baik. Seperti membaca doa iftitah, ta’awwudz, atau basmalah dengan suara keras, agar diketahui oleh manusia bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang disyari’ahkan di dalam shalat, sebagaimana dijelaskan oleh sebuah hadits shahih bahwa Umar bin Khattab membaca iftitah dengan suara keras. Dahulu Umar bin Khattab melakukan takbiratul-ihram, kemudian mengucapkan, “Mahasuci Engkau wahai Allah dan Maha Terpuji, yang nama-Mu membawa berkah, dan kesungguhan-Mu yang Maha Tinggi, dan tiada Tuhan selain Engkau.” Al-Aswad bin Yazid berkata, “Aku shalat di belakang Umar lebih dari tujuh puluh kali shalat. Dia bertakbir, kemudian dia mengucapkan doa tersebut.” Diriwayatkan oleh
Muslim dalam Shahih-nya.

Dan oleh sebab itu, doa iftitah tersebut sangat populer di kalangan masyarakat sehingga mereka dapat melakukan hal yang sama. Begitu pula yang dilakukan oleh Ibn Umar dan Ibn ,Abbas, kedua orang ini mengeraskan bacaan ta’awwudz, dan tidak sedikit sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah. Dan menurut para imam jumhur, yang tidak berpandangan mengeraskan basmalah dalam shalat, bahwa hal itu dilakukan agar semua orang mengetahui bahwa bacaan basmalah adalah sesuatu yang disunnahkan di dalam shalat. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Ibn Abbas melakukan perbuatan itu agar masyarakat mengetahui bahwa ia adalah sesuatu yang sunnah. Oleh sebab itu, ada dua pandangan besar yang berkaitan dengan shalat jenazah.

Pertama, kelompok yang tidak memandang bahwa di dalam shalat itu ada bacaan, sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama salaf, dan ini merupakan mazhab Abu Hanifah.

Kedua, kelompok yang memandang bahwa bacaan di dalam shalat itu merupakan sesuatu yang sunnah. Dan ini adalah mazhab Syafi’i dan Ahmad; berdasarkan hadits Ibn Abbas dan lain-lain.

Kemudian ada kelompok lain lagi yang mengatakan bahwa bacaan di dalam shalat itu adalah wajib sebagaimana kewajiban yang berlaku di dalam shalat.

Sebagian kelompok lainnya mengatakan, “Bacaan ayat al-Qur’an itu hukumnya sunnah, dan tidak wajib.” Pendapat ini merupakan pendapat yang moderat dibandingkan dengan tiga pendapat sebelumnya. Karena sesungguhnya para ulama salaf mengerjakan ini dan yang lainnya mengerjakan itu. Dan kedua perbuatan mereka sangat masybur di kalangan mereka. Dahulu mereka melakukan shalat jenazah dengan bacaan dan tanpa bacaan, sebagaimana mereka kadang-kadang mengeraskan bacaan basmalah dan kadangkala tidak mengeraskannya. Kadangkala mereka membaca doa iftitah dan kadangkala tidak membacanya.

Kadangkala mereka mengangkat kedua tangan pada tiga tempat, dan kadangkala tidak mengangkatnya. Kadangkala mereka mengucapkan dua salam dalam shalat, tetapi kadangkala mereka hanya mengucapkan satu kali salam saja. Kadangkala mereka membaca bacaan di belakang imam dengan hati, tetapi kadang-kadang mereka tidak membaca. Kadangkala mereka bertakbir empat kali dalam shalat jenazah, kadang-kadang membaca takbir lima kali. Bahkan ada yang bertakbir sebanyak tujuh kali. Semua perbuatan ini dilakukan oleh para sahabat r.a.

Begitu pula riwayat yang menyatakan bahwa di kalangan para sahabat ada yang melakukan adzan lagi, dan ada pula yang tidak melakukannya. Mereka juga ada yang mengganjilkan iqamat dan ada pula yang menggenapkannya. Kedua hal ini merupakan riwayat yang berasal dari para sahabat Nabi saw.

Ketiga hal ini, walaupun salah satu di antaranya lebih kuat daripada yang lain, seandainya ada yang melakukan pendapat yang tidak kuat, maka dia dianggap melakukan sesuatu yang boleh dilakukan. Dan kadangkala sesuatu yang tidak kuat menjadi lebih kuat melihat kepada kemaslahatan yang dapat diperoleh; sebagaimana meninggalkan suatu perkara yang dianggap kuat dinilai lebih baik karena ada kemaslahatan yang ada di balik itu.

Perkara seperti ini dapat berlaku dalam semua amalan. Karena sesungguhnya amalan yang termasuk lebih penting, kadang-kadang menempati suatu kondisi lain yang lebih penting lagi. Seperti shalat merupakan sesuatu yang lebih penting daripada membaca al-Qur’an, dan membaca al-Qur’an lebih utama daripada dzikir, dan dzikir lebih utama daripada doa. Kemudian shalat setelah shalat Subuh dan shalat Asar merupakan sesuatu yang dilarang padahal bacaan al-Qur’an, dzikir, dan doa diperbolehkan pada waktu-waktu itu. Begitu pula bacaan al-Qur’an pada waktu ruku’ dan sujud itu dilarang, sehingga zikir pada saat seperti itu dianggap lebih utama daripadanya. Dan doa pada akhir shalat setelah melakukan tasyahud dipandang lebih utama daripada dzikir.

Dan kadang-kadang ada sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan tetapi ia dapat menjadi lebih utama ketika dilakukan oleh orang tertentu, karena orang itu tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih utama daripada perbuatan tersebut, atau karena kecintaan, kesenangan, perhatian, dan faedah yang diperoleh dari sesuatu perbuatan yang tidak begitu diutamakan itu lebih banyak, sehingga perbuatan tersebut menjadi lebih utama baginya, karena adanya peningkatan amalan, kecintaan, kemauan, dan manfaat. yang diperkirakan dapat diperoleh. Seperti yang terjadi pada orang sakit, yang hanya mau meminum obat kesukaannya dan bermanfaat bagi kesehatannya, tetapi tidak mau meminum obat yang tidak disukai, walaupun obat yang terakhir ini dianggap lebih utama.

Atas dasar ini, dzikir untuk sebagian manusia dalam beberapa waktu adalah lebih baik daripada membaca al-Qur’an; dan membaca al-Qur’an bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu adalah lebih baik daripada shalat sunnah; melihat kegunaannya dan tidak melihat kepada jenisnya yang lebih utama.

Pembahasan mengenai persoalan ini, “melebihkan sebagian amalan atas sebagian yang lain”, jika belum dikenal adanya prioritas di dalamnya, akan sangat beragam dan terpulang kepada kondisi ketika amalan itu dilakukan. Dan jika tidak ada ketergantungan kepada kondisi seperti itu, maka akan terjadi banyak kekacauan. Karena ada orang yang tetap berkeras hati menganggap suatu perkara sebagai sesuatu yang utama di mana saja dan pada keadaan apapun, tanpa mempedulikan keadaan, sehingga akhirnya dia menjadi pengikut hawa nafsunya dan sangat fanatik terhadap pandangannya. Sebagaimana kita temukan orang-orang yang menganut suatu mazhab sehingga dalam satu persoalan dia selalu berpegang kepada mazhabnya sekaligus menganggapnya sebagai syiar mazhabnya.

Di antara mereka juga ada yang berpandangan terhadap suatu perkara lebih utama meninggalkan hal seperti itu. Dia selalu berpegang kepada pandangan ini walaupun ada sesuatu yang lebih besar yang harus dia tinggalkan , misalnya meninggalkan hal-hal yang diharamkan kepadanya. Sehingga orang ini mengikuti hawa nafsunya dan fanatik terhadap pandangannya. Juga ada orang yang berpandangan bahwa meninggalkan suatu perkara yang dilarang dalam mazhabnya, harus dipertahankan sedemikian rupa. Hal itu tentu merupakan suatu kesalahan.

Seharusnya kita memberikan hak kepada sesuatu yang berhak menerimanya, dan memberikan keleluasaan sebagaimana yang diberikan Allah SWT dan rasul-Nya, dan merapatkan hati manusia yang dianjurkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, menjalin jalinan yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, memelihara berbagai kemaslahatan yang dicintai oleh Allah SWT dan rasul-Nya, memelihara tujuan-tujuan syari’ah, dan mengajarkan bahwa sebaik-baik ucapan ialah Kalamullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad saw. Dan bahwasanya Allah SWT telah mengutusnya sebagai rahmat untuk alam semesta, mengutusnya untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat, dalam segala urusan. Ajaran yang bersifat global itu harus dijelaskan rinciannya, sehingga manusia tidak hanya berkeyakinan terhadap perkara yang bersifat global, tetapi tidak meyakini rinciannya, baik karena kebodohannya, kezalimannya atau karena mengikuti hawa nafsunya. Kami bermohon kepada Allah SWT agar Dia memberi petunjuk kepada kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang mendapatkan nikmat dan karunia Allah SWT, yang terdiri dari para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada’, dan orang-orang shaleh, karena mereka itulah sebaik-baiknya ikhwah (teman).” (27 Majmu, Fatawa Syaikh al-Islam, 24: 195-196)

Atas dasar fiqh inilah, Imam Hasan al-Banna, pernah mengeluarkan fatwa ketika dia ditanya oleh orang-orang yang berselisih pendapat mengenai shalat tarawih: apakah ia harus dilakukan sebanyak dua puluh rakaat seperti yang dilakukan di al-Haramain dan tempat-tempat lain, dan seperti yang masyhur dalam mazhab yang empat; ataukah shalat itu dilakukan sebanyak delapan rakaat, sebagaimana yang dianjurkan oleh para ulama salaf? Dalam pada itu, semua penduduk desa yang bertanya kepada Syaikh al-Banna nyaris saling baku hantam karena persoalan ini.

Syaikh al-Banna memberikan pandangan kepada mereka bahwa sesungguhnya shalat tarawih itu hukumnya sunnah dan persatuan umat Islam itu hukumnya wajib. Lalu, bagaimana mungkin orang-orang itu mengabaikan sesuatu yang fardhu untuk melakukan perkara yang hukumnya sunnah. Kalau mereka akan shalat di rumah-rumah mereka tanpa melakukan permusuhan dan pergaduhan, tentu hal itu akan lebih baik dan dianggap lebih benar.

2) PERTENTANGAN ANTARA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN

Contoh kedua sebagaimana yang saya sebutkan dalam lampiran kedua buku saya, yang terdapat di akhir buku Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, dengan sub-judul “Pembahasan Menyeluruh tentang Benturan antara Kebaikan dan Keburukan.”

Syaikh Islam, Ibn Taimiyah pernah membahas tentang pertentangan antara kebaikan dan keburukan sebagai berikut:

“Kalau kebaikan itu betul-betul mendatangkan manfaat
sekaligus wajib dikerjakan, dan jika ia ditinggalkan
akan mengandung bahaya, tetapi pada saat yang sama
dalam keburukan juga terhadap bahaya, sedangkan dalam
perkara yang makruh ada sebagian kebaikan, maka
pertentangan itu dapat terjadi antara dua kebaikan
yang tidak mungkin digabungkan antara keduanya.
Sehingga kebaikan yang dianggap lebih baik harus
didahulukan atas kebaikan yang kurang baik. Atau,
pertentangan itu juga bisa terjadi antara dua
keburukan yang tidak mungkin dihindarkan keduanya,
sehingga harus dipilih keburukan yang lebih ringan
bahayanya. Selain itu, pertentangan juga dapat
terjadi antara kebaikan dan keburukan yang keduanya
tidak dapat dipisahkan karena kebaikan itu, jika
dilakukan akan mendatangkan keburukan, atau jika
keburukan itu ditinggalkan akan mengakibatkan
ditinggalkannya kebaikan. Sehingga untuk kasus
seperti ini harus dipilih yang lebih baik di antara
manfaat kebaikan dan bahaya keburukan.”

Yang pertama adalah seperti sesuatu yang wajib dan yang dianjurkan. Misalnya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah; dan mendahulukan pembayaran utang atas shadaqah yang hukumnya sunnah.

Sementara yang kedua adalah seperti mendahulukan pemberian nafkah kepada keluarga atas pemberian nafkah untuk perjuangan yang belum sampai kepada fardhu ‘ain. Dan mendahulukan pemberian nafkah kepada kedua orangtua atas jihad; sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shahih, “Perbuatan apakah yang paling mulia?” Nabi menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”
Saya berkata, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orangrua.” Saya berkata, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjuang di jalan Allah.” Mendahulukan jihad atas haji, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, merupakan pendahuluan fardhu ‘ain atas fardhu ‘ain yang lain, mendahulukan sesuatu yang dianjurkan atas sesuatu yang dianjurkan lainnya. Begitu pula halnya dengan mendahulukan bacaan al-Qur’an atas dzikir karena keduanya sama-sama amalan hati dan lisan; dan mendahulukan shalat atas kedua hal itu, karena shalat juga merupakan amalan hati. Jika tidak, maka dzikir dengan pemahaman dan getaran hati akan didahulukan atas bacaan al-Qur’an yang tidak melampaui batas tenggorokan. Pembahasan seperti ini akan menjadi sangat luas sekali.

Ketiga, ialah seperti mendahulukan wanita yang berhijrah dengan perjalanan tanpa mahram atas tetapnya wanita itu di kawasan musuh (dar al-harb); sebagaimana dilakukan oleh Umm al-Mu’minin Kultsum, di mana ada sebuat ayat al-Qur’an yang diturunkan mengenai dirinya.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka…” (al-Mumtahanah: 10)

Begitu pula persoalan yang berkaitan dengan peperangan. Sesungguhnya kita dilarang membunuh orang-orang yang tidak ikut berperang, seperti para wanita, anak-anak dan lain-lain. Akan tetapi kadang-kadang kita terpaksa membunuh mereka karena tidak sengaja, misalnya kalau kita melemparkan granat dan melancarkan serangan di waktu malam, maka kita diperbolehkan melakukannya –tentu saja dengan perhitungan yang matang. Sebagaimana yang pernah terjadi dalam sunnah Rasulullah ketika mengepung Thaif dan melempari mereka dengan manjanik. Di sana terdapat orang-orang musyrik, sehingga pelemparan manjanik yang dimaksudkan untuk melenyapkan fitnah tersebut terpaksa membunuh orang-orang yang seharusnya tidak boleh dibunuh.

Begitu pula halnya dengan orang yang dijadikan sebagai “tameng hidup” oleh musuh, seperti yang disebutkan oieh para fuqaha. Karena sesungguhnya peperangan adalah untuk menyingkirkan fitnah orang-orang kafir, tetapi tindakan ini mesti disertai dengan risiko yang tingkatnya berada di bawah bahaya tersebut.

Oleh sebab itu, para fuqaha sepakat bahwa jika tidak mungkin melenyapkan fitnah tersebut dari umat Islam kecuali dengan mengorbankan umat Islam yang menjadi “tameng hidup” tersebut, maka kita diperbolehkan untuk mengorbankan mereka. Akan tetapi jika bahaya itu tidak begitu besar tetapi bahaya tersebut tidak dapat disingkirkan kecuali dengan mengambil tindakan tersebut, maka ada dua pandangan yang berkaitan dengan membunuh “tameng hidup” itu.

Keempat, adalah seperti makan bangkai binatang ketika seseorang berada di dalam kesempitan. Dia harus memakan makanan yang tidak baik itu, karena kemaslahatanya telah tampak. Sebaliknya, ialah seperti obat yang buruk, karena bahayanya dipandang lebih kuat daripada manfaatnya untuk menyembuhkan penyakit, sementara ada obat lain yang dapat menggantikannya; sebab kesembuhan itu hanya diyakini berasal dari obat yang baik. Dan begitu pula halnya meminum khamar sebagai obat: tidak boleh dilakukan.

Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa keburukan boleh dilakukan dalam dua kondisi. Pertama, ketika kita menyingkirkan keburukan yang lebih buruk daripada keburukan yang pertama, di mana tidak ada pilihan lain kecuali melakukan keburukan yang kedua itu. Kedua, ketika kita melakukan keburukan itu kita dapat memperoleh sesuatu yang lebih bermanfaat daripada tidak melakukannya. Begitu pula halnya dengan kebaikan. Kebaikan itu dapat kita tinggalkan dalam dua kondisi: Apabila kita melakukan kebaikan itu akan melepaskan kesempatan untuk memperoleh kebaikan yang lebih baik daripada kebaikan yang pertama. Atau, apabila kita melakukan kebaikan itu, akan mendatangkan atau menambah bahaya yang mengancam kita. Pembahasan ini berkaitan dengan pertimbangan agama.

Ada lagi hukum yang berkaitan dengan gugurnya kewajiban karena adanya bahaya di dunia, dan bolehnya melakukan perkara-perkara yang diharamkan untuk keperluan dunia, seperti bolehnya berbuka puasa karena sedang bepergian, dan gugurnya hal-hal yang dilarang dalam ihram dan rukun shalat karena sakit.

Perkara-perkara ini termasuk dalam bab lain, yaitu keleluasaan agama dan menghapus kesusahan yang banyak sekali aturannya di dalam syari’ah. Persoalan ini berbeda dengan persoalan yang kita bicarakan sebelumnya, di mana syari’ah tidak memberikan aturan yang berbeda-beda walaupun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap di dalam pandangan akal. Sebagaimana dikatakan: “Orang yang berakal itu bukanlah orang yang mengetahui
kebaikan dari kejelekan, tetapi orang yang berakal ialah orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang baik dan mengetahui yang terburuk di antara dua hal yang buruk.”

“Sesungguhnya orang yang berakal itu apabila mendapati dua penyakit dalam tubuhnya, maka dia akan mengobati yang lebih berbahaya.”

Begitulah yang seharusnya diberlakukan dalam semua persoalan.

Oleh sebab itu, dalam pandangan manusia, turunnya hujan ketika musim kering merupakan rahmat bagi mereka. Tidak adanya hujan sama sekali lebih berbahaya bagi mereka. Sehingga mereka lebih menguatkan adanya penguasa walaupun zalim daripada tidak ada penguasa sama sekali. Sebagaimana dikatakan:

“Enam puluh tahun dengan penguasa yang zalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa.”

Setelah itu, penguasa akan disiksa karena melakukan permusuhan dan melanggar hak-hak mereka. Akan tetapi saya ingin mengatakan, “Kalau yang memegang kekuasaan adalah penguasa untuk seluruh wilayah, atau sebagian wilayah, seperti imaroh, dan pendidikan, kemudian dia tidak mampu melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan, akan tetapi dia melakukannya dengan tidak sengaja dan di luar kemampuannya, maka dia boleh bahkan wajib memegang kekuasaan tersebut. Dan bahkan wajib melakukannya.

Karena kekuasaan yang dapat menghasilkan berbagai kemaslahatan, seperti melakukan peperangan terhadap musuh, membagi barang pampasan, menegakkan hukum agama, mengamankan negara, maka sesungguhnya memegang kekuasaan itu hukumnya wajib. Akan tetapi, manakala kekuasaan itu dipegang oleh orang yang tidak berhak memegangnya, sehingga ia mengambil sesuatu yang tidak halal, memberikan sebagian hak kepada orang yang seharusnya tidak menerimanya, tetapi hal ini tidak dapat dihindarkan, maka perkara ini termasuk dalam pembahasan “sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban atau perkara sunnah kecuali dengannya”.

Sehingga memegang kekuasaan itu hukumnya bisa menjadi wajib atau sunnah apabila keburukannya lebih sedikit daripada kebaikannya. Bahkan, kalau kekuasaan itu tidak wajib dan mengandung kezaliman, sehingga orang yang memegang kekuasaan itu melakukan kezaliman sampai diganti oleh orang yang hendak memperingan kezaliman dan orang yang memegang kekuasaan tersebut. Pada hakikatnya kita harus memilih resiko yang paling ringan, dan ini dianggap sebagai tindakan yang paling baik.

Pembahasan ini berkisar pada perbedaan niat dan tujuannya. Oleh sebab itu, barang siapa dimintai bantuan oleh seorang zalim yang berkuasa, kemudian dia diberi harta benda, sedangkan orang yang dimintai bantuan ini dapat mengambil tindakan yang netral antara yang menzalimi dan yang dizalimi, dan dapat mencegah terjadinya kezaliman yang lebih banyak, kemudian dengan cara seperti itu dapat mencegah terjadinya kezaliman tersebut, maka dia dianggap sebagai orang yang baik. Akan tetapi, apabila dia menjadi penengah dan malah membantu orang yang zalim itu, maka dia dianggap sebagai orang yang buruk.

Hanya saja, kebanyakan kasus yang terjadi terpulang kepada rusaknya niat dan tindakan orangnya. Yaitu niat untuk memperoleh kekuasaan dan harta kekayaan; dan tindakannya dalam melakukan hal-hal yang diharamkan dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan. Persoalannya sudah bukan lagi pada benturan dan mencari sesuatu yang lebih bermanfaat dan lebih bermaslahat.

Kemudian, masalah yang berkaitan dengan kekuasaan, sekalipun hukumnya boleh, mustahab, atau wajib, tetapi kekuasaan itu untuk orang lain dapat menjadi lebih wajib, atau lebih dianjurkan, sehingga untuk hal ini harus didahulukan sesuatu yang lebih baik di antara dua kebaikan, baik yang hukumnya wajib atau mustahab.

Termasuk di dalam kategori ini ialah tindakan Yusuf al-Shiddiq untuk menguasai perbendaharaan negara milik raja Mesir. Bahkan Yusuf sendiri yang meminta kepadanya untuk menjadi penjaga kekayaan negara, padahal raja dan kaumnya adalah orang-orang kafir. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu…” (al-Mu’min: 34)

“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu alaukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya…” (Yusuf: 39)

Telah diketahui bersama bahwa mereka adalah orang-orang kafir yang telah memiliki adat istiadat dan tradisi tersendiri dalam menyimpan dan membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki oleh raja, kerabatnya, tentara dan rakyatnya. Dan sudah barang tentu adat istiadat dan tradisi itu tidak berjalan pada garis yang ditentukan oleh para nabi dan keadilan mereka. Yusufpun menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan segala yang diinginkannya, sesuai dengan pandangan yang didasarkan ajaran agama Allah; karena kaumnya tidak menyambut apa yang diserukannya. Akan tetapi dia melakukan apa yang mungkin dilakukannya, yaitu keadilan dan kebajikan. Sehingga dia memperoleh kekuasaan melalui penghormatan kaum mu’min, dan keluarganya, yang tidak mungkin dia peroleh melalui jalan yang lain. Semua ini termasuk dalam firman Allah SWT:

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (at-Taghabun: 16)

Oleh sebab itu, apabila ada dua kewajiban yang tidak mungkin digabungkan, maka harus didahulukan yang lebih kuat di antara kedua kewajiban tersebut; yang pada hakikatnya bukan berarti kita meninggalkan kewajiban.

Begitu pula halnya apabila ada dua perkara haram yang bertemu dan tidak mungkin kita meninggalkan perkara haram yang lebih besar kecuall dengan melakukan perkara haram yang lebih kecil, maka melakukan perbuatan haram yang lebih kecil itu pada hakikatnya tidak dianggap melakukan perbuatan yang haram; walaupun orang menamakannya dengan “meninggalkan kewajiban” atau “melakukan perbuatan haram”. Dalam hal ini ada ungkapan yang paling pas untuk dikatakan: “Meninggalkan kewajiban karena ada suatu uzur, dan melakukan sesuatu yang haram karena ada kemaslahatannya, atau dalam keadaan darurat, atau untuk menahan sesuatu yang lebih diharamkan.”

Pembahasan yang berkaitan dengan masalah pembenturan seperti ini sangat luas, terutama pada masa dan tempat yang tidak banyak dipengaruh ajaran Nabi saw dan para khalifahnya. Masalah seperti ini akan banyak sekali dijumpai di masyarakat tersebut. Semakin lemah pengaruh Islam, maka akan semakin bertambah permasalahannya. Hal inilah yang banyak menimbulkan fitnah di antara umat. Karena sesungguhnya apabila kebaikan bercampur dengan keburukan, maka akan terjadi kerancuan.

Ada umat Islam yang melihat kepada pelbagai kebaikan dan menguatkannya walaupun di dalam kebaikan itu tersimpan berbagai keburukan yang besar. Ada pula umat Islam yang melihat kepada pelbagai keburukan dan memegang erat pandangan ersebut, walaupun dia harus mengorbankan berbagai kebaikan yang besar. Sedangkan orang-orang yang moderat akan memandang dari dua sudut tersebut.

Oleh sebab itu, orang yang alim harus melihat dan menghayati semua persoalan ini. Karena kadang-kadang sebagian kewajiban –sebagaimana yang telah saya jelaskan di muka– dapat berubah menjadi pemaafan dalam persoalan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dan bukan penghalalan atau pengharaman. Seperti, memerintahkan suatu ketaatan dengan melakukan kemaksiatan yang lebih besar, sehingga tidak memerintahkan ketaatan itu dianggap sebagai penjagaan terhadap terjadinya suatu kemaksiatan.

Contohnya adalah melaporkan orang yang berbuat dosa kepada penguasa yang zalim, sehingga bila hal itu dilakukannya, maka penguasa itu akan menyiksanya secara berlebihan, dan melebihi batas dosa yang telah dilakukan olehnya. Contoh lainnya ialah melarang suatu kemungkaran dengan meninggalkan perbuatan baik yang lebih besar manfaatnya daripada meninggalkan kemungkaran tersebut; sehingga larangan itu tidak dihiraukan karena mengandung risiko meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan rasul-Nya, di mana perkara ini lebih besar manfaatnya daripada sekadar meninggalkan kemungkaran tersebut.” (Ringkasan Kumpulan Fatwa Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyah, 20: 48-61)

&

PANDANGAN PARA PEMBARU TENTANG FIQH PRIORITAS

6 Jan

Yusuf Qardhawy; Fiqih Prioritas

BARANGSIAPA melihat perjalanan hidup para juru da’wah dan pembaru di zaman modern, maka. dia akan menemukan –dua aspek amaliyah mereka– bahwa setiap orang di antara mereka memberikan perhatian tertentu dalam bidang da’wah dan pembaruan, dan memprioritaskannya atas hal-hal yang lain. Perhatian kepada persoalan tersebut menyita seluruh pikiran dan usaha kerasnya, berdasarkan pemahamannya terhadap hakikat Islam dari satu segi, dan pandangannya terhadap adanya kekurangan dan kelemahan dalam kehidupan nyata ummat Islam dari segi yang lain, serta adanya keperluan untuk menghidupkan, mengangkat dan membina ummat.

IMAM MUHAMMAD BIN ABD AL-WAHHAB

Prioritas dalam da’wah Imam Muhammad bin Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia ialah pada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhid dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telah mencemari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mempraktekkannya dalam rangka menghancurkan berbagai fenomena kemusyrikan.

AZ-ZA’IM MUHAMMAD AHMAD AL-MAHDI

Zaim Muhammad Ahmad al-Mahdi ialah seorang tokoh dari Sudan. Prioritas perjuangannya ialah mendidik para pengikutnya bersikap keras dan melepaskan diri dari penjajahan Inggris dan antek-anteknya.

SAYYID JAMALUDDIN

Prioritas yang ada pada Sayid Jamaluddin al-Afghani ialah membangunkan ummat, dan menggerakkannya untuk mengusir penjajah, yang merupakan bahaya bagi kehidupan agama dan dunianya. Di samping itu, dia menyadarkan mereka bahwa ummat Islam adalah satu, memiliki kiblat, aqidah, arah dan tujuan hidup yang satu pula.

Perjalanan hidup dan pemikirannya tampak di dalam majalah “al-Urwah al-Wutsqa” yang diterbitkan olehnya dan murid sekaligus kawannya, yaitu Syaikh Muhammad Abduh.

IMAM MUHAMMAD ABDUH

Imam Muhammad Abduh sangat peduli dengan pembebasan pemikiran kaum Muslim dari belenggu taqlid, dan mengaitkannya dengan sumber-sumber Islam yang jernih; sebagaimana ditegaskan sendiri tentang dirinya dan tujuan-tujuannya: Suaraku lantang
dalam melakukan da’wah kepada dua perkara yang besar. Pertama, membebaskan pikiran ummat dari belenggu taqlid, dan memahami ajaran agama melalui jalan ulama-ulama salaf sebelum munculnya berbagai perbedaan pendapat, serta menggali pengetahuan dengan
kembali kepada rujukan-rujukan utamanya. Di samping itu pemahaman tersebut harus diletakkan dalam pertimbangan akal manusia yang telah diciptakan oleh Allah SWT untuk
mengembalikan manusia dari kesesatan, dan mengurangi kesalahan, agar rahmat Allah SWT menjadi sempurna dalam menjaga tatanan hidup manusia. Dengan jalan ini, akal pikiran
manusia dapat dianggap sebagai partner dalam ilmu pengetahuan, pendorong ke arah pengkajian rahasia-rahasia alam semesta, dan penyebab adanya penghargaan terhadap berbagai hakikat yang tidak berubah. Akal pikiran manusia dapat dituntut untuk
memberikan pemecahan terhadap hakikat tersebut sehingga dapat dipergunakan untuk mendidik jiwa manusia dan memperbaiki amal perbuatan mereka. Semua hal di atas dalam pandangannya merupakan satu perkara. Namun, apa yang dilakukan oleh Abduh ini ditentang oleh dua kelompok besar yang terdapat di dalam tubuh ummat; yaitu para mahasiswa ilmu-ilmu agama dan kelompok yang sefaham dengan mereka, serta para mahasiswa dalam bidang
ilmu-ilmu modern dan sejenisnya. Kedua, memperbaiki gaya bahasa Arab.

Ada hal lain, di mana saya juga ikut menjadi penyerunya yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya karena memang mereka dijauhkan darinya, padahal persoalan itu merupakan tiang penyangga kehidupan sosial mereka, sehingga tanpa tiang penyangga itu kehidupan sosial mereka akan lemah tak berdaya. Persoalan itu ialah pemisahan antara hak pemerintah untuk ditaati oleh rakyat dan hak rakyat untuk memperoleh keadilan dari pemerintah… Sesungguhnya, seorang penguasa, walaupun harus ditaati, tetapi dia adalah manusia yang bisa melakukan kesalahan dan dikalahkan oleh hawa nafsunya. Sementara itu,
tidak ada sesuatu yang efektif dalam menghentikan kesalahan dan kesewenang-wenangannya selain dari nasihat ummat kepadanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Kita harus berani menyuarakan hati kita dengan lantang untuk menghadapi kediktatoran dan kezaliman, tangan besi, dan kezaliman, di saat semua orang menjadi tak berdaya menghadapinya.

IMAM HASAN AL-BANNA,

Imam Syahid Hasan al-Banna, memberi perhatian yang sangat besar terhadap upaya meluruskan pemahaman Islam, ummat Islam dan mengembalikan hal-hal yang telah dibuang oleh orang-orang yang ter-Barat-kan dan para pengikut sekularisme.

Mereka menginginkan aqidah tanpa syari’ah, agama tanpa negara, kebenaran tanpa kekuatan, perdamaian –penyerahan diri—tanpa perjuangan, tetapi al-Banna, menginginkan Islam sebagai aqidah dan syari’ah, agama dan negara, kebenaran dan kekuatan, perdamaian dan perjuangan, al-Qur’an dan pedang.

Hasan al-Banna, berusaha dengan gigih memberikan penjelasan kepada ummat bahwa politik merupakan bagian dari Islam, dan sesungguhnya kemerdekaan adalah salah satu kewajibannya. Dia juga memberikan perhatian yang besar untuk membentuk generasi muda Muslim yang istiqamah terhadap dirinya, Allah sebagai tujuannya, Islam jalannya, dan Muhammad sebagai teladannya. Generasi yang memahami Islam secara mendalam, memiliki iman yang kuat, menjalin hubungan (silah) yang erat satu sama lain , yang mengamalkan ajaran itu dalam dirinya sendiri, bekerja dan berjuang untuk mencapai kebangkitan Islam, serta berusaha mewujudkan kehidupan yang Islami di masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dia harus menyatukan ummat dan tidak memecah belahnya. Oleh sebab itu, dia tidak memunculkan isu-isu yang dapat memecah belah barisan kaum Muslimin, memecah belah kalimatnya, dan membagi-bagi manusia menjadi berbagai kelompok dan golongan. Untuk itu, dalam pandangannya, ummat Islam harus disatukan dalam satu landasan Islam yang universal.

Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa kesadaran untuk itu telah ada sejak masa mudanya, yaitu ketika dia berusia awal dua puluhan. Dia berpendirian bahwa anak-anak ummat dapat disatukan pada landasan aqidah, syari’ah dan akhlak, serta dijauhkan dari perselisihan pendapat pada masalah-masalah furu’iyah yang tidak akan ada habis-habisnya.

Adalah sebuah sudut masjid kecil tempat al-Banna, menyampaikan pelajaran-pelajarannya. Di situlah dia mengatakan, “Inilah sudut yang kedua, yang dibangun oleh Haji Musthafa sebagai upaya pendekatan dirinya kepada Allah SWT. Di situ para pelajar menimba ilmu pengetahuan,
belajar ayat-ayat Allah dan hikmah dengan penuh persaudaraan dan kejernihan hati.”

Tidak lama kemudian, tersebarlah ke seluruh pelosok tentang adanya kegiatan belajar tersebut, yang disampaikan antara waktu Maghrib dan Isya’; kemudian setelah itu mereka dapat pergi ke warung kopi, sehingga banyak orang yang hendak mengikutinya. Di antara mereka ada orang-orang yang suka memperdebatkan masalah-masalah khilafiyah, dan perkara-perkara yang dapat menimbulkan fitnah.

“Pada suatu hari saya merasakan adanya sesuatu yang aneh, suasana pertengkaran, keributan, dan perpecahan. Saya melihat para pendengar dalam ceramah yang saya sampaikan telah terpecah menjadi kelompok-kelompok, dan mengambil tempat sendiri-sendiri. Sehingga sebelum saya mulai ceramah, saya dikejutkan oleh satu pertanyaan, ‘Bagaimanakah pendapat ustadz tentang tawassul?’ Kemudian saya menjawabnya, ‘Wahai saudaraku, saya kira Anda tidak hanya ingin bertanya kepadaku tentang masalah itu saja, tetapi Anda hendak bertanya kepadaku tentang masalah shalat, salam setelah adzan, membaca surat al-Kahfi pada hari Jum,at, penggunaan kata sayyid untuk Rasulullah saw dalam tasyahhud, tentang nasib kedua orangtua Nabi saw, di manakah tempat mereka, di surga atau neraka? Dan juga tentang bacaan al-Qur’an yang dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia apakah pahalanya sampai kepadanya ataukah tidak? Juga pertemuan yang diadakan oleh para ahli tarikat, apakah itu kemaksiatan ataukah pendekatan kepada Allah SWT? Masalah-masalah khilafiyah ini merupakan penyebar fitnah dan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat di antara mereka.’ Karenanya, orang yang bertanya itu merasa heran, lalu dia berkata, ‘Ya, saya menginginkan jawaban untuk semua pertanyaan itu.'”

Saya berkata kepada orang itu, “Aku bukanlah seorang ulama, akan tetapi aku adalah seorang guru yang terpelajar yang hafal beberapa ayat al-Qur’an, sebagian hadits Nabi saw, hukum-hukum agama yang saya peroleh dari beberapa buku, dan aku berbaik hati mengajarkannya kepada orang banyak. Apabila engkau keluar bersama diriku untuk membicarakan masalah-masalah itu, maka sesungguhnya engkau telah mengeluarkanku dari majelis ini. Dan siapa yang berkata bahwa dia tidak tahu berarti dia telah memberikan fatwa. Jika kamu merasa tertarik terhadap apa yang aku katakan, dan melihat ada kebaikan di dalamnya, maka dengarkanlah apa yang saya sampaikan dengan penuh rasa syukur, dan apabila engkau hendak memperluas lagi pengetahuan itu, maka bertanyalah kepada ulama-ulama selain diriku yang memiliki kelebihan dan spesialisasi. Mereka mungkin dapat memberikan kepuasan yang engkau cari, sedangkan diriku ini tidak lain hanyalah penyampai ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali
sesuai dengan kemampuannya.” Orang itu kemudian merasa terpukul dengan jawaban itu, dan tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia sampaikan. Begitulah cara yang
sengaja saya lakukan dalam memberikan jawaban kepadanya, dengan berkelakar. Semua orang –atau kebanyakan –yang hadir pada pertemuan itu merasa puas hati dengan adanya penyelesaian seperti itu.

Akan tetapi, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
tersebut. Saya berpaling ke arah mereka sambil berkata, “Wahai
saudara-saudaraku, aku menyadari sepenuhnya kepada saudara
kita yang bertanya itu, dan kebanyakan saudara yang hadir di
majelis ini. Menyadari sepenuhnya apa yang ada di balik itu,
yaitu untuk mengetahui siapakah guru baru ini dan dari
golongan manakah dia? Apakah dia termasuk golongan Syaikh Musa
ataukah dari golongan Syaikh Abd al-Sami’? Sesungguhnya
pengetahuan tersebut sama sekali tidak akan bermanfaat untuk
kamu semua, karena kamu telah bergelimang dalam fitnah selama
delapan puluh tahun, dan itu sudah cukup.
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah diperselisihkan oleh kaum
Muslimin selama ratusan tahun dan mereka hingga kini tetap
berselisih pendapat. Sesungguhnya Allah akan rela kepada kita
apabila kita saling mencintai dan bersatu, dan tidak suka
kepada kita apabila berselisih pendapat dan berpecah belah.
Saya berharap bahwa kamu semua sekarang ini mau berjanji
kepada Allah SWT untuk meninggalkan perkara-perkara tersebut,
dan berusaha keras untuk belajar pokok-pokok dan kaidah agama,
mengamalkan akhlak, sifat-sifat yang baik, pengarahan yang
menyatukan ummat, melakukan perkara-perkara yang difardukan
dan disunnahkan kepada kita, dan kita tinggalkan mencari-cari
masalah dan memperdalam masalah khilafiyah, sehingga jiwa
semua kaum Muslimin menjadi jernih, dengan satu tujuan yang
hendak kita capai, yaitu mencari kebenaran dan bukan sekadar
mencari kemenangan berpendapat. Dengan cara seperti itu kita
dapat belajar bersama-sama dalam suasana penuh rasa cinta,
saling percaya, kesatuan dan keikhlasan. Saya juga berharap
kamu semua dapat menerima pandangan saya ini, dan berjanji
kepada saya untuk melakukan perkara di atas.”

“Hendaknya kita tidak keluar dari pelajaran ini kecuali
kita masih memegang janji setia antara kita, dan
hendaknya kita saling bekerja sama serta berkhidmat
untuk Islam yang mulia, menyingkirkan segala bentuk
perselisihan pendapat, menghormati pendapat kita
masing-masing sehingga Allah memutuskan perkara yang
mesti dilaksanakan.”

Pelajaran di sudut (zawiyah) masjid itu terus berlangsung
dalam suasana yang jauh dari pereselisihan pendapat berkat
taufiq dari Allah. Suasana pada majelis itu semakin baik,
karena setiap topik dalam pengajian tersebut dikaitkan dengan
makna persaudaraan antara orang-orang yang beriman, untuk
memantapkan persaudaraan dalam jiwa mereka. Di samping itu,
masalah khilafiyah senantiasa ditekankan untuk tidak
diperdalam dalam perdebatan di antara mereka. Dengan demikian
timbul rasa untuk saling menghormati dan menghargai di antara
mereka. Cara seperti itu saya pergunakan sebagai contoh dari
para ulama salaf yang shaleh, yang wajib kita tiru dalam
memberikan toleransi dan menghormati pendapat yang berbeda di
antara kita.

Saya sebutkan satu contoh yang sangat praktis, saya berkata
kepada mereka, “Siapakah di antara kamu sekalian yang
bermazhab Hanafi?” Kemudian ada salah seorang di antara mereka
yang datang kepadaku. Lalu aku berkata lagi, “Siapakah di
antara kamu yang bermazhab Syafi’i?” Ada seseorang yang maju
kepadaku. Setelah itu aku berkata kepada mereka, “Aku akan
shalat dan menjadi imam bagi kedua orang saudara kita ini.
Bagaimana kamu membaca surat al-Fatihah wahai pengikut mazhab
Hanafi?” Dia menjawab, “Aku diam dan tidak membacanya.” Aku
bertanya lagi, “Dan bagaimana engkau wahai kawan yang
bermazhab Syafi’i?” Dia menjawab, “Aku harus membacanya.”
Kemudian aku berkata lagi, “Setelah kita selesai shalat, maka
bagaimanakah pendapatmu wahai pengikut mazhab Syafi’ i tentang
shalat yang dilakukan oleh saudaramu yang bermazhab Hanafi?”
Dia menjawab, “Batal, karena dia tidak membaca surat
al-Fatihah, padahal membaca al-Fatihah termasuk salah satu
rukun shalat.” Aku bertanya lagi, “Dan bagaimana pula
pendapatmu wahai kawan yang bermazhab Hanafi tentang shalat
yang dilakukan oleh saudara kita yang bermazhab Syafi’i?” Dia
menjawab, “Dia telah melakukan sesuatu yang makruh dan
mendekati haram, karena sesungguhnya membaca surat al-Fatihah
pada saat seseorang menjadi ma’mum adalah makruh tahrimi.”
Lalu aku berkata, “Apakah salah seorang di antara kamu berdua
memungkiri yang lain?” Kedua orang itu menjawab, “Tidak.”
Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ,
“Apakah kamu memungkiri salah seorang di antara mereka
berdua?” Mereka menjawab, “Tidak.” Lalu aku berkata,
“Subhanallah, kamu semua dapat diam dalam menghadapi masalah
seperti ini, padahal ini adalah perkara yang berkaitan dengan
batal dan sahnya shalat; pada saat yang sama kamu tidak dapat
memberikan toleransi kepada orang yang dalam shalatnya membaca
“Allahumma shalli ala Muhammad” atau “Allahumma shalli ‘ala
sayyidina Muhammad” dalam tasyahud, serta menjadikannya
sebagai bahan perselisihan pendapat yang sangat dahsyat.”
Metode seperti itu sangat berkesan, karena mereka dapat
mempertimbangkan sikap sebagian orang atas sebagian yang lain,
dan mengetahui bahwa agama Allah SWT sangat luas dan mudah,
serta tidak ditentukan oleh pendapat satu orang atau satu
kelompok. Semua amalan itu ditujukan kepada Allah dan
Rasul-Nya, kepada jamaah kaum Muslimin dan imam mereka, kalau
mereka dianggap memiliki jamaah dan imam. 2

IMAM AL-MAUDUDI

Imam Abu al-A’la al-Maududi memberikan prioritas perjuangannya
dalam memerangi “jahiliyah” modern, mengembalikan manusia
kepada agama dan ibadah dengan maknanya yang komprehensif,
tunduk kepada kekuasaan Allah saja, dan menolak kekuasaan
segala makhluk-Nya, bagaimanapun kedudukan dan tugas mereka.
Baik mereka sebagai pemikir, ataupun sebagai pemegang kendali
politik. Dia juga memberikan perhatian kepada pembentukan
peradaban Islam yang eksklusif, menolak pemikiran Barat dalam
bidang peradaban, ekonomi, politik, kehidupan individu,
keluarga dan masyarakat. Metode seperti ini harus dipergunakan
untuk mengadakan revolusi atau perubahan secara besar-besaran.
Pandangannya tercermin dalam berbagai buku dan risalahnya,
yang mengungkapkan tentang filsafat da’wahnya kepada Islam dan
ide-ide pembaruannya. Jamaahnya mengapresiasi dan menyebarkan
pikiran-pikirannya.

AS-SYAHID SAYID QUTHUB

As-Syahid Sayid Quthub memberikan prioritas pada aqidah
sebelum terciptanya tatanan hukum Islam dan terwujudnya
kekuasaan Allah di muka bumi. Itulah yang sering dia sebutkan
dan sangat ditekankan dalam buku-butu karangannya, khususnya
buku al-Zhilal. Sebagian orang menyangka bahwa pemikiran
‘kekuasaan’ merupakan pemikiran yang dicetuskan oleh Maududi
dan Sayid Quthub. Dugaan ini sama sekali tidak benar.
Pemikiran ini adalah suatu perkara yang telah disepakati oleh
para ahli usul fiqh ketika mereka membahas tentang ‘kekuasaan’
yang menjadi salah satu pokok bahasan dalam usul fiqh, yang
menyatakan, “Sesungguhnya penguasa (penentu hukum) adalah
Allah, tidak ada penentu hukum selain Dia. Dan sesungguhnya
Rasulullah saw yang mulia adalah penyampai hukum tersebut.”
Pemikiran seperti ini merupakan salah satu anasir dalam tauhid
yang disebutkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah,
padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Qur’an)
kepadamu dengan terperinci…” (al-An’am: 114)

As-Syahid juga memberikan perhatian kepada pelurusan
“pandangan aqidah” Islam, karena menurutnya tidak mungkin kita
dapat melakukan pelurusan amalan yang dilakukan oleh suatu
generasi muda kalau pandangan hidup mereka rusak atau sakit.
Kapankah bayangan dapat lurus kalau tongkatnya bengkok?

Atas dasar pemikiran itu dia menolak segala bentak ‘jahiliyah’
modern dalam seluruh bidang kehidupan. Dalam aqidah,
pemikiran, perilaku, kehidupan individu, keluarga, dan
masyarakat. Dia menganggap bahwa masyarakat yang ada di
negara-negara dunia –di antaranya negara-negara Islam–
adalah masyarakat jahiliyah, karena mereka menolak kekuasaan
Allah, yakni kekuasaan yang merujuk kepada batasan yang telah
ditetapkan oleh syari’ah dan hukum Islam, meletakkan nilai dan
pertimbangan yang telah ditetapkan oleh Islam, atau aturan dan
konsep-konsepnya, yang semuanya menjadi dasar bagi perjalanan
hidup manusia dan masyarakat. Semua bentuk pengakuan kekuasaan
kepada selain Allah merupakan perampasan terhadap Allah dalam
hal penentuan syari’ah-Nya untuk makhluk-Nya.

Perkara yang bersifat umum ini harus diberi prioritas atas
perkara yang lain, didahulukan atas setiap persoalan yang
sifatnya parsial yang diperjuangkan dengan gigih oleh sebagian
kaum Muslimin yang baik; seperti melarang dari sebagian
kemungkaran, tetapi melalaikan kemungkaran yang lebih besar,
yang dijadikan dasar bagi berdirinya suatu masyarakat.

Ada baiknya pada kesempatan ini saya kutipkan satu bagian dari
tafsir al-Zhilal, yang memberikan komentar terhadap apa yang
disebutkan oleh al-Our’an tentang bani Israil.

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang selalu mereka perbuat itu” (al-Ma’idah: 79)

Sesungguhnya perjuangan yang gigih, pengorbanan yang mulia
harus diarahkan pertama-tama untuk mendirikan masyarakat yang
baik… masyarakat yang baik ialah masyarakat yang berdiri di
atas jalan Allah… sebelum berjuang dan berkorban untuk
melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang kecil, yang
bersifat pribadi dan individual, melalui cara amar ma’ruf dan
nahi mungkar.

Sesungguhnya tidak ada gunanya sama sekali melakukan usaha
dalam hal yang kecil-kecil dan parsial ketika semua masyarakat
rusak, kejahiliyahan merajalela, masyarakat berjalan bukan di
jalan Allah, dan ketika syari’ah yang dipergunakannya bukan
syari’ah Allah. Ketika itulah kita harus memulai usaha kita
dari dasar, menumbuhkan akar. Semua perjuangan dan usaha kita
harus diarahkan untuk mewujudkan kekuasaan Allah di muka bumi
ini… Manakala kekuasaan ini telah terwujudkan, maka perkara
amar ma’ruf nahi mungkar dapat dibangun pada landasan yang
telah dibuat itu.

Usaha ini memerlukan kepada keimanan, dan pengetahuan tentang
hakikat iman, serta peranannya dalam tatanan hidup manusia.
Iman dalam hal ini menjadikan seluruh ketergantungan
disandarkan kepada Allah SWT, yang menciptakan kepercayaan
bahwa Dia akan memberikan pertolongan dalam melakukan kebaikan
–walaupun untuk ini memakan masa yang cukup panjang– serta
membuat pahala di sisi-Nya. Oleh sebab itu, orang yang
melakukan tugas tersebut tidak boleh menunggu balasan di muka
bumi ini, penghargaan dari masyarakat yang tersesat, dan
dukungan dari para pengikut jahiliyah di mana pun berada.

Sesungguhnya semua nash-nash al-Qur’an dan hadits Nabi saw,
yang menyebutkan perkara amar ma’ruf dan nahi mungkar selalu
berbicara tentang kewajiban seorang Muslim dalam masyarakat
Muslim yang mengakui bahwa kekuasaan itu hanyalah milik Allah
SWT; masyarakat yang menetapkan hukum berdasarkan
syari’ah-Nya; walaupun kadang-kadang masih terjadi tindakan
hukum sewenang-wenang, dan masih tersebarnya perbuatan dosa di
dalamnya.

Begitulah, kita menemukan sabda Rasulullah saw, “Perjuangan
yang paling utama ialah mengucapkan kalimat yang hak di depan
pemimpin yang zalim.” Dia dapat dikatakan sebagai pemimpin
kalau dia mengakui kekuasaan Allah dan menetapkan hukum dengan
syari’ah-Nya. Seseorang yang tidak menetapkan hukum
berdasarkan syari’ah Allah SWT maka dia tidak dapat dikatakan
sebagai pemimpin, karena Allah SWT berfirman:

“… barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orangyang kafir.” (al-Ma’idah: 44)

Masyarakat-masyarakat jahiliyah yang tidak menetapkan hukum
berdasarkan syari’ah Allah, adalah pelaku kemungkaran yang
paling besar, pelaku kemungkaran yang menjadi sumber segala
bentuk kemungkaran… Masyarakat ini dapat dianggap menolak
ketuhanan Allah, karena menolak syari’ah-Nya dalam kehidupan
manusia… Kemungkaran paling besar, mendasar, dan mengakar
inilah yang harus dilenyapkan terlebih dahulu sebelum kita
memberantas pelbagai bentuk kemungkaran kecil yang bercabang
darinya.

Sesungguhnya upaya para pejuang, perjuangan orang-orang yang
shaleh memerangi kemungkaran yang kecil akan sia-sia dan tidak
ada gunanya, karena kemungkaran itu bersumber dari kemungkaran
yang pertama, yang paling besar… yakni kemungkaran yang
berbentuk keberanian terhadap Allah SWT, menolak ketuhanan
Allah, menolak syari’ah-Nya dalam kehidupan ini. Sesungguhnya
tidak ada gunanya bagi kita memerangi berbagai bentuk
kemungkaran yang bersumber dari kemungkaran utama, karena
kemungkaran kecil itu hanya merupakan buah darinya.

Lalu dengan apakah kita memberikan keputusan hukum terhadap
orang yang melakukan kemungkaran? Timbangan apakah yang kita
pergunakan untuk menimbang amal perbuatan mereka, sehingga
kita dapat mengatakan: “Ini perbuatan mungkar, maka jauhilah
ia”? Mungkin sekali Anda mengatakan, “Sesungguhnya ini adalah
perbuatan mungkar,” kemudian pada kala yang sama muncul dari
berbagai arah orang yang menyergah Anda, (mengatakan kepada
Anda) “Tidak, sesungguhnya ini bukan perbuatan mungkar.” Suatu
perbuatan dapat dianggap sebagai kemungkaran pada zaman
tertentu, kemudian dunia berkembang dan masyarakat menjadi
maju, sehingga istilah untuk kemungkaranpun ikut bergeser.

Oleh sebab itu, harus ada timbangan dan ukuran yang tetap yang
kita pergunakan sebagai rujukan untuk menilai amal perbuatan
manusia. Harus ada nilai yang diakui, yang dapat kita jadikan
sebagai ukuran untuk perbuatan baik dan juga perbuatan
mungkar. Dari manakah kita mengambil nilai-nilai tersebut? Dan
dari manakah kita mendatangkan timbangan itu?

Apakah dari hasil rekayasa manusia, adat istiadat, dan hawa
nafsu mereka, yang tidak tetap dan berubah-ubah keadaannya?
Kalau demikian, berarti kita telah terjerumus ke dalam
kebimbangan dan kesesatan yang tidak ada petunjuk di dalamnya.
Oleh sebab itu, kita mesti membangun timbangan… dan
timbangan itu harus tetap, dan tidak dapat diguncangkan oleh
hawa nafsu manusia.

TIMBANGAN YANG TETAP ITU ADALAH TIMBANGAN ALLAH SWT.

Apa yang akan terjadi kalau masyarakat tidak mengenal
kekuasaan Allah? Dan apa yang terjadi kalau mereka tidak
menetapkan hukum berdasarkan syari’ah-Nya? Dan bahkan apa yang
akan terjadi kalau masyarakat menghina, mencemoohkan, dan
mengingkari orang yang mengajaknya kepada jalan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT?

Jangan sampai ada perjuangan yang sia-sia, tidak berguna dan
hampa. Yakni jangan ada masyarakat yang menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran, dalam perkara-perkara kecil
di dalam kehidupan mereka berdasarkan pertimbangan dan nilai
yang berbeda-beda, dan diperselisihkan oleh pendapat dan hawa
nafsu mereka.

Oleh sebab itu, pertama-tama harus ada kesepakatan yang
prinsipil terhadap masalah hukum, timbangan, dan kekuasaan,
yang dapat dijadikan sebagai rujukan bagi orang-orang yang
berselisih pendapat dalam pandangan dan hawa nafsu mereka.

Mau tidak mau, harus ada amar ma’ruf kepada perkara yang
paling besar. Yaitu pengakuan terhadap kekuasaan Allah dan
jalan hidup yang ditentukan oleh-Nya; serta pencegahan
terhadap kemungkaran yang paling besar, yaitu penolakan
terhadap ketuhanan Allah, penolakan terhadap syari’ah-Nya bagi
kehidupan ini… Setelah kita membangun landasan itu, kita
dapat mendirikan bangunan di atasnya. Oleh sebab itu, kekuatan
yang terpecah-pecah sekarang ini harus disatukan semuanya
menuju kepada satu arah untuk membangun landasan yang di
atasnya dapat didirikan bangunan.

Kadang-kadang manusia terlalu memuji dan kagum kepada orang-
orang yang baik, yang berjuang dengan gigih untuk melaksanakan
amar ma’ruf dan nahi mungkar, dalam hal-hal yang kecil,
padahal dasar yang menjadi landasan hidup masyarakat Muslim,
dan tegakaya amar ma’ruf dan nahi mungkar itu terlupakan.

Lalu, apakah ada artinya engkau melarang manusia untuk memakan
makanan yang haram, misalnya, pada suatu masyarakat yang
ekonominya didasarkan kepada riba, sehingga seluruh harta
kekayaan yang ada di dalam masyarakat itu menjadi haram, dan
tidak ada lagi seseorang yang dapat memakan makanan yang
halal… Semua itu karena aturan sosial dan ekonomi mereka
tidak didasarkan kepada syari’ah Allah, atau karena mereka
menolak ketuhanan Allah dengan menolak penerapan syari’ah-Nya
dalam kehidupan ini.

Apa artinya kalau kita melarang manusia melakukan kefasikan,
misalnya, dalam suatu masyarakat yang undang-undangnya tidak
menganggap perzinaan sebagai suatu kejahatan –kecuali dalam
kondisi yang sangat terpaksa– dan tidak mengenakan sanksi
terhadap pelakunya yang sesuai dengan syari’ah Allah SWT. Jika
demikian, hal itu dianggap menolak ketuhanan Allah dengan
menolak penerapan syari’ah-Nya dalam kehidupan ini.

Apa artinya kalau kita melarang manusia untuk bermabuk-mabukan
dalam masyarakat yang undang-undangnya membolehkan peredaran
minuman keras, dan tidak memberikan sanksi kepada orang-orang
yang jelas mabuk di tengah-tengah keramaian manusia. Ia tidak
diberi sanksi dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah,
karena masyarakat itu tidak mengakui prinsip kekuasaan Allah.

Apa artinya, kita melarang manusia menghina agama dalam suatu
masyarakat yang tidak mengakui kekuasaan Allah, dan tidak
menyembah-Nya. Masyarakat yang menyembah pelbagai tuhan selain
Dia. Masyarakat yang menurunkan syari’ah dan
undang-undang-Nya, tatanan dan aturan-Nya, nilai dan
timbangan-Nya. Orang yang menghina dan yang dihina sama-sama
bukan berada dalam agama Allah SWT, karena mereka sama-sama
menurunkan syari’ah dan undang-undang-Nya, dan tidak
meletakkannya sebagai satu nilai dan timbangan.

Apa artinya menyuruh orang melaksanakan kebaikan dan mencegah
kemungkaran dalam kondisi seperti ini? Dan apa gunanya
melarang orang untuk melakukan dosa-dosa besar dan juga
dosa-dosa kecil lainnya, kalau dosa yang sangat besar tidak
ada larangan… yakni kufur terhadap Allah dan menolak jalan
hidup yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Sesungguhnya persoalannya lebih besar, lebih luas, dan lebih
dalam daripada apa yang telah diperjuangkan oleh orang-orang
yang “berhati baik” itu. Sesungguhnya dalam masa seperti ini
kita tidak perlu memberikan perhatian kepada perkara-perkara
furu’iyah bagaimanapun besarnya masalah itu, walaupun sampai
melanggar batas yang ditetapkan oleh Allah, karena
sesungguhnya batas yang telah ditetapkan oleh-Nya pada
prinsipnya adalah mengakui kekuasaan-Nya tanpa kekuasaan yang
lainnya. Apabila pengakuan itu belum ada dan belum menjadi
kenyataan, di mana syari’ah Allah SWT diakui sebagai
satu-satunya sumber dalam penetapan hukum, dan Allah SWT
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan… Segala usaha yang
diupayakan dalam perkara cabang dianggap sia-sia, dan semua
usaha dalam masalah furu’iyah tidak ada gunanya… Kemungkaran
yang paling besar lebih utama untuk diberantas dan ditangani
daripada segala bentuk kemungkaran yang lain. 3

USTADZ MUHAMMAD AL-MUBARAK

Di antara tokoh pembaru Islam yang tergerak hatinya untuk
menerapkan fiqh prioritas ialah seorang tokoh pemikir Islam
dari Syria yang terkenal. Ia adalah Ustadz Muhammad Mubarak.
Ia berbicara tentang satu sisi yang sangat penting dalam
perkara ini dengan mendalam dalam bukunya, al-Fikr al-Islami
al-Hadits fi Muwajahah al-Afkar al-Gharbiyyah, yang pada
hakikatnya merupakan kumpulan kajian dan kuliah yang ia tulis
atau ia sampaikan pada berbagai kesempatan.

Dalam bukunya itu, dia banyak berbicara tentang “Aturan
Peringkat Kerja dalam Islam” yang saya kutipkan dalam
baris-baris berikut ini mengingat pentingnya masalah ini:

“Ciri khas kesatuan aturan Islam harus disertai dengan
kesatuan lain yang tidak kalah pentingnya dengan hal
itu; yaitu kesatuan aturan peringkat kerja yang
mengatur berbagai sektor kehidupan manusia dan
nilainya. Harta kekayaan, kenikmatan, pekerjaan, akal
pikiran, pengetahuan, kekuatan, ibadah, kekerabatan,
kemanusiaan adalah nilai-nilai kehidupan. Islam
menempatkan perkara-perkara di atas pada tempat
tertentu dalam tatanan hidup dan tingkatan tertentu
yang tidak boleh dilanggar oleh manusia sehingga tidak
ada nilai yang terabaikan.

Sesungguhnya salah satu bentuk penyimpangan dalam Islam
ialah menggantikan tingkat kedudukan nilai-nilai
tersebut dengan cara menambah atau menguranginya kepada
nilai yang lain; sebagaimana yang terjadi pada
akhir-akhir ini. Sesungguhnya penggantian nilai-nilai
yang berlaku di dalam tatanan kehidupan ini dapat
berupa perubahan peringkat amalan dengan acak, tanpa
aturan, yang memberikan petunjuk yang samar kepada
manusia, atau dengan cara bersenda gurau. Tindakan
seperti itu adalah seperti mencampurkan berbagai obat,
tanpa aturan, sehingga menyebabkan kerusakan, dan
perubahan sifat dan karakteristik obat tersebut. Dan
bahkan obat itu dapat berubah menjadi suatu bahan yang
berbahaya dan mengandung racun.

Kalau kita berasumsi membagi kehidupan ini menjadi
seratus bagian, maka kita akan menemukan bahwa
kekhususan ibadah dalam Islam itu terbagi menjadi
beberapa bagian. Begitu pula halnya dengan perkara yang
berkaitan dengan infaq, pencarian rizki, jihad, dan
menikmati berbagai kelezatan hidup lainnya. Semuanya
memiliki bagian tersendiri. Kalau masing-masing bagian
itu kita ubah, lalu kita kurangi bagian jihad, dan kita
tambah bagian ibadah, kemudian kita kurangi juga
mencari rizki dan memberikan infaq, lalu kita menangkan
penikmatan hidup sehingga kita menjadi orang yang
lalai, maka berarti kita telah keluar dari aturan yang
hakiki, keluar dari aturan Islam, dan kita juga
dianggap menghilangkan keseimbangan nilai-nilai
kehidupan yang telah ditetapkan olehnya (Islam).

Maka orang Muslim yang “sempurna” pada beberapa kurun
waktu terakhir ini adalah orang yang melakukan ibadah
dengan maknanya yang sempit dan tidak memiliki
kesibukan lainnya, yang senantiasa melakukan i’tikaf di
masjid/mushalla dan senantiasa berdzikir dan membaca
wirid. Sesungguhnya gambaran seperti ini sama sekali
tidak sama dengan gambaran yang dahulu pernah dilakukan
oleh Rasulullal saw yang mulia serta para sahabatnya
yang mengikutinya. Walaupun ibadah merupakan bagian
yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka, tetapi
jihad tetap memenuhi hati mereka. Jihad di jalan Allah
untuk membebaskan masyarakat dari berbagai aqidah yang
rusak dan menanamkan aqidah yang benar dalam hati
mereka, serta membebaskan kezaliman orang-orang yang
zalim, dan kediktatoran para diktator untuk memberikan
perlindungan kepada orang-orang yang lemah dan
menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia. Begitu
pula kehidupan orang Muslim yang menyibukkan diri dalam
perjuangan dan perbaikan masyarakat akan dianggap
kurang apabila tidak disertai dengan ibadah sehingga
hubungannya dengan Allah SWT tidak begitu erat.

Para ahli fiqh kita terdahulu telah menyadari pemikiran
ini, pemikiran mengenai adanya perbedaan tingkat dan
persentase dalam amal perbuatan manusia, sehingga
mereka meminta kepada kaum Muslimin untuk melakukan
berbagai fardu dengan tertib sesuai dengan tingkat
permintaan yang diajukan kepada mereka. Begitu pula
pandangan mereka kepada perkara-perkara yang dilarang
dan diharamkan. Mereka menempatkan tingkat pelarangan
dan pengharamannya secara berperingkat-peringkat. Oleh
sebab itu, tidaklah sama dosa yang dilakukan oleh
seorang pejuang yang meninggalkan barisan perangnya
sehingga dia membuka celah bagi masuknya musuh Islam
dengan dosa meminum khamar dan memakan daging babi,
padahal kedua perkara tersebut adalah haram. Banyak
sekali ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw
mengisyaratkan kepada pemikiran tersebut. Misalnya
firman Allah SWT:

“Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus
masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad
di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah…”
(at-Taubah: 19)

Begitu pula halnya dengan sabda Rasulullah saw ketika
beliau ditanya tentang suatu amalan yang menyamai
tingkat jihad di jalan Allah. Orang yang bertanya itu
mengulangi dua atau tiga kali Kemudian Rasulullah saw
bersabda, “Mereka tidak dapat menyamainya.” Lalu beliau
saw bersabda lagi, “Perumpamaan orang yang berjihad di
jalan Allah, adalah seperti orang yang berpuasa, lalu
melakukan qiyamul lail kemudian dia membaca ayat-ayat
Allah dan tidak menghentikan puasa dan shalatnya
sehingga orang yang berjuang itu kembali lagi ke
rumahnya.” 4

Dalam riwayat shahih disebutkan bahwa ada seorang sahabat yang
bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, manusia
manakah yang paling utama?” Beliau saw menjawab, “Orang mu’min
yang berjihad dengan jiwa dan harta bendanya di jalan Allah.”
Kemudian beliau saw ditanya lagi, “Lalu siapa setelah itu?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang berada di suatu bangsa yang
bertaqwa kepada Allah, kemudian dia meninggalkan manusia
karena takut kejahatan mereka.” 5

Ahmad meriwayatkan sabda Rasulullah saw dengan sanad yang
shahih,

“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang sedangkan
dia mengetahuinya, maka dosanya lebih berat daripada
tiga puluh enam kali berzina.” 6

Maka riba adalah jenis kezaliman dalam harta benda yang
dosanya lebih berat daripada melakukan zina.

Kalau kita berusaha mengumpulkan hadits-hadits seperti ini,
yang memberikan nilai suatu amalan dibandingkan dengan amalan
lainnya, maka kita akan menemukan berbagai peringkat amalan
itu secara matematis antara pelbagai nilai hidup. Sebagaimana
sabda Nabi saw, “Satu hari yang dijalani oleh seorang Imam
yang adil adalah lebih utama daripada ibadah selama enam puluh
tahun.” 7

“Kelebihan seorang yang berilmu atas orang yang
beribadah adalah seperti kelebihan diriku atas orang
yang paling hina di antara kamu.” 8

“Seorang ahli fiqh adalah lebih berat bagi setan
daripada seribu orang ahli ibadah.” 9

Dari uraian tersebut jelaslah kesalahan orang yang menumpukan
perhatiannya kepada satu perkara yang kadang-kadang dituntut
atau dilarang dalam Islam, tetapi dia tidak menghadapi perkara
yang jauh lebih penting daripada itu. Negara-negara Islam pada
zaman ini ditimpa dua bahaya yang sangat besar; yaitu
imperialisme dan atheisme; atau penguasaan atas bumi mereka
sekaligus aqidah mereka. Harta kekayaan material musnah dan
kehidupan spiritual mereka terampas. Apabila negara itu telah
dapat dikuasai sepenuhnya dan aqidah mereka dapat dihancurkan,
maka mereka tidak mungkin lagi mendirikan syiar-syiar agama
dan melaksanakan segala perintahnya, serta menerapkan
hukum-hukumnya. Oleh sebab itu, para penjajah mengalihkan
pikiran kaum Muslimin kepada persoalan-persoalan yang lain
sehingga mereka memusatkan perhatian dan perjuangan mereka ke
sana sehingga melalaikan persoalan yang lebih penting dan
mendasar; dan dengan cara seperti itu mereka dapat menguasai
negara-negara Islam secara langsung atau tidak langsung,
menghancurkan aqidah Islam melalui berbagai cara, menyebarkan
pemikiran dan mazhab-mazhab atheisme dengan berbagai
bentuknya. Apakah dalam keadaan seperti ini kita masih perlu
membagi-bagi kaum Muslimin kepada kelompok yang berpendapat
bahwa shalat tarawih delapan rakaat dan kelompok yang
berpendapat dua puluh rakaat? Dan membagi mereka kepada
kelompok yang berpendapat boleh mengulang-ulang shalat jamaah
dan yang tidak mengatakannya? Ataukah kita masih perlu
melayani pertarungan antara sunnah dan bid’ah yang sama sekali
tidak menyentuh masalah aqidah?

Saya tidak berkata bahwa perkara-perkara seperti itu tidak
perlu dibahas lagi secara ilmiah, tetapi saya hanya
mengatakan, “Kita hanya perlu mengambil perhatian kalau
seandainya masalah tersebut telah menyentuh aqidah kita. Dan
kita lebih baik memberikan perhatian kepada cara yang benar
dalam melakukan ibadah. Karena sesungguhnya ibadah itu
tawqifi, tidak ditambah dan juga tidak dikurangi dari apa yang
telah diperintahkan oleh Nabi saw. Walaupun demikian, jika
terjadi suatu fitnah atau pergaduhan antara dua kelompok kaum
Muslimin maka kita wajib meninggalkannya karena ada
kemungkaran yang lebih besar yang memecah belah kaum Muslimin
menjadi beberapa bagian dalam keadaan tertentu dan dapat
melemahkan kekuatan mereka. Sepatutnya kita tidak perlu
menyibukkan diri kecuali kepada persoalan yang mendasar dan
besar.” 10

SYAIKH AL-GHAZALI

Di antara ulama yang memberikan perhatian besar kepada fiqh
prioritas melalui pandangan, pemikiran, dan penjelasan yang
diberikannya ialah seorang juru da’wah besar, Syaikh Muhammad
al-Ghazali. Ia telah memberikan perhatian yang sangat besar
kepada masalah ini dalam buku-buku yang ditulisnya, terutama
buku-buku yang ditulis menjelang akhir hayatnya. Hal itu ia
lakukan dan ia beri perhatian karena pengalamannya dalam
melakukan da’wah di tengah-tengah manusia yang mengaku sebagai
orang Islam dan juru da’wah Islam, yang menjungkirbalikkan
pohon Islam. Mereka menjadikan pohon dan akarnya yang kuat
sebagai ranting-ranting yang lemah, dan menjadikan
ranting-rantingnya sebagai dedaunan yang menghembuskan angin,
dan menjadikan daun-daunnya sebagai akar, yang bertumpu
kepadanya seluruh pemikiran, perhatian, dan pekerjaan.

Pada kesempatan ini saya menganggap cukup mengutip sebuah teks
dari Syaikh al-Ghazali yang dapat menggambarkan sejauh mana
pemahaman dan kesadarannya terhadap fiqh prioritas, dan
kesadarannya untuk menciptakan pandangan yang menyeluruh dan
seimbang dalam Islam, sehingga setiap segala sesuatu
mendapatkan haknya dan ditempatkan pada tempatnya. Dalam
sebuah kajiannya tentang sebab-sebab kehancuran peradaban
Islam dan kemunduran ummat Islam setelah ia menjadi ummat yang
maju, dengan Judul al-Tashwir al-Juz’iy li al-Islam, dalam
bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islamiyyah Tastaqbil
Qarnaha al-Khamis ‘Asyar.

Dia mengatakan, “Iman itu ada enam puluh macam lebih atau
tujuh puluh cabang lebih. Apakah bagian-bagian ini tersusun
bertindih-tindih antara sebagian dengan sebagian yang lain
dengan begitu saja? Ataukah dia seperti barang dagangan yang
dibeli oleh seseorang dari pasar kemudian diletakkan di dalam
tasnya begitu saja sehingga memudahkan baginya untuk
membawanya? Tidak! Sesungguhnya bagian-bagian itu
bertingkat-tingkat sesuai dengan kepentingan dan nilainya. Dan
setiap bagian mempunyai tempat yang tersendiri dan tidak dapat
diganggu oleh yang lainnya.

Bagan yang menggambarkan bagian-bagian iman ini serupa dengan
bagan organisasi pada suatu kementerian atau satu organisasi.
Di sana ada direktur, ada wakil-wakil direktur, pekerja, dan
ada pula pengawasnya. Di antara bagian-bagian itu ada garis
hubungan secara timbal-balik, garis perintah dan garis
produktif.

Sesungguhnya bagian-bagian iman yang jumlahnya ada puluhan itu
seperti sebuah mobil yang memiliki bentuk, kerangka, stir,
bahan bakar, rem, lampu, kursi, dan lain-lain. Setiap bagian
darinya memiliki tugas dan nilai tersendiri.

Sejak peradaban Islam mulai muncul di permukaan, telah ada
rukun iman dan perbuatan-perbuatan sunnah, perkara-perkara
pokok dan cabang amalan hati dan amalan badaniah.

Satu hal yang terjadi pada sebagian manusia ialah bahwa satu
bagian tertentu dari Islam itu menjalar memakan kepada
bagian-bagian yang lain sebagaimana luka di badan yang
menjalar dan menjangkiti bagian yang lain, sehingga tubuh itu
hancur semuanya.

Kelompok Khawarij merupakan kelompok yang pertama kali terkena
penyakit pemikiran ini, dan tidak memahami Islam sehingga
mereka memerangi Ali atau melepaskan diri dari peristiwa
tahkim, dan memerangi Umar bin Abd al-Aziz atau melaknat para
nenek moyangnya, para penguasa bani Umayyah.

Penguasaan pemikiran tertentu atas manusia, yang memenuhi
kekosong dirinya, akan menguasai dirinya dan tidak memberikan
tempat kepada pemikiran yang lain.

Saya pernah berjumpa dengan seorang lelaki yang dikenal
sebagai orang yang baik. Dia bertanya kepada saya: “Apakah
engkau percaya dengan karamah Syaikh Fulan?” Saya menjawabnya:
“Saya belum pernah membaca riwayat hidup Syaikh itu.” Dia
berkata, “Saya akan membawakan kepadamu buku yan menjelaskan
riwayat hidupnya.” Tidak lama kemudian saya berjumpa
dengannya, dan dia bertanya kepada saya, “Bagaimana pendapat
kamu?” Saya menjawab, “Saya lupa membaca buku itu.” Dia
bertanya, “Bagaimana?” Dengan tegas saya katakan: “Perkara itu
tidak penting… Apabila saya meninggal dunia dan saya tidak
tahu sahabatmu itu, maka sesungguhnya Allah tidak akan
bertanya kepadaku tentang dirinya dan karamahnya.” Kemudian
dia pergi dariku karena aku dianggap tidak mempercayai
berbagai karamah itu.

Saya berjumpa dengan orang lain yang berkata: “Bagaimanakah
pendapatmu tentang musik?” Saya jawab: “Kalau musik itu
patriotik, membangkitkan semangat dan pengorbanan, tidak
apa-apa. Kalau musik sentimental yang membangkitkan semangat
atau kasih sayang tidak apa-apa… Tetapi kalau musik itu
membangkitkan kesia-siaan dan pornografi, maka tidak boleh.”
Orang itu kemudian pergi menjauh dari diri saya dan menganggap
bahwa saya menghalalkan untuk mendengarkan hal-hal yang haram.

Kedua orang itu beriman kepada sesuatu yang menjadi salah satu
bagian agama yang menyeluruh. Dia menghukumi orang lain dan
keadaan orang lain berdasarkan ukuran dirinya.

‘Luka’ seperti inilah yang menjangkiti sebagian sisi tertentu
dari agama ini. Itulah sebabnya mengapa ada sejumlah fuqaha
yang memiliki pemikiran cemerlang, tetapi mereka tidak
mempunyai ‘hati ahli ibadah’; atau orang sufi yang memiliki
‘perasaan halus’ tetapi tidak memiliki ‘akal pikiran’ seperti
para fuqaha.

Itulah sebabnya mengapa ada sejumlah ahli hadits yang hanya
menghalalkan nash-nashnya, tetapi mereka tidak meletakkan pada
proporsinya dan tidak pandai mengambil suatu kesimpulan hukum.

Itulah pula sebabnya mengapa ada orang-orang yang yang
memiliki pemikiran cemerlang, tetapi mereka tidak memiliki,
sandaran nash, untuk itu.

Itulah pula sebabnya mengapa ada sejumlah hakim yang bekerja
–sesuai dengan syarat-syarat tertentu– sebagai pengayom
rakyat, yang sangat rendah kadar ketaqwaan mereka, dan
orang-orang awamnya khusyu’ dalam melakukan ibadah individual,
tetapi apabila sampai kepada suatu persoalan yang melibatkan
pemberian nasehat, perintah, larangan, dan pertentangan yang
menyebabkan kemarahan para penguasa itu, maka mereka berdiam
diri saja.

Itulah pula sebabnya mengapa ada orang-orang yang tekun
beribadah, yang tidak pernah lalai sedetikpun dalam melakukan
ketaatan dalam beribadah itu, tetapi mereka tidak menyadari
setitik pun hikmah dari ibadah tersebut dan tidak
memanfaatkannya sebagai bagian dari perilakunya. Padahal,
shalat dapat menimbulkan keteraturan dan kebersihan, tetapi
mereka tidak teratur dan kotor.

Padahal haji merupakan pengembaraan yang memenuhi hati dan
tubuh manusia dengan rasa tenteram dan kasih sayang, tetapi
mereka di tengah-tengah melakukan ibadah haji dan sesudahnya
bersikap garang dan buruk.

Sesungguhnya da’wah Islam mengambil duri dari orang-orang yang
sedikit pemahamannya, tetapi banyak semangatnya, yang
berangkat dengan akal pemikirannya yang tumpul kemudian mereka
tidak melakukan pekerjaan yang baik, dan hanya melakukan
perbuatan buruk.

Apakah peranan yang dapat dimainkan oleh Islam pada diri para
pemuda yang sangat kaku terhadap masyarakat Eropa dan Amerika
itu? Mereka mengenakan jubah putih, duduk di atas tanah,
memakan makanan dengan tangan mereka kemudian membersihkan
ujung jemari mereka dengan mulut. Menurut pandangan mereka,
begitulah petunjuk dari Rasulullah saw yang mulia tentang cara
makan, dan sunnah yang harus mereka lakukan sebagai upaya
penentangan Islam terhadap orang-orang Barat.

Apakah itu tata cara makan yang diajarkan oleh Islam?

Ketika orang-orang Eropa melihat seorang lelaki yang hendak
minum, mengambil gelas, kemudian dia duduk –sebelum itu dia
berdiri– untuk mengikuti tata cara minum, apakah pemandangan
yang aneh ini yang menarik hati mereka untuk masuk Islam?

Mengapa perkara-perkara yang remeh ini ditampilkan padahal
perkara ini malah dapat menghalangi jalan Allah, dan
menampilkan Islam dengan cara seperti itu akan lebih
menggambarkan Islam berwajah garang?

Sesungguhnya da’wah kepada Islam tidak menerima
perkara-perkara khilafiyah walaupun hal itu dianggap sangat
penting oleh sebagian juru da’wah. Makan di atas tanah, atau
makan dengan tangan merupakan masalah biasa dan bukan masalah
ibadah. Itulah yang mereka tampilkan sebagai wajah Islam.
Kemudian meletakkan tutup wajah di muka perempuan adalah
perkara yang masih diterima dan ditolak, dan jangan dijadikan
hal itu sebagai penampilan agama Allah kepada para hamba-Nya.

Renungkanlah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tentang
metoda da’wah Islam sebagaimana yang ditetapkan oleh Tuhan
yang Maha Agung; yang diriwayatkan dari Yusuf bin Mahik, yang
berkata, “Sesungguhnya aku berada di sisi ‘ Aisyah ketika ada
orang Irak yang datang dan bertanya kepadanya: ‘Kain kafan
manakah yang lebih baik?’

‘Aisyah menjawab, ‘Celaka, apa yang engkau anggap penting di
situ.’

Dia berkata lagi, ‘Wahai Umm al-Mu’minin, perlihatkan kepadaku
Mushafmu.’

‘Aisyah berkata, ‘Kenapa?’

Dia berkata: ‘Barangkali aku dapat menyusun al-Qur’an seperti
itu, karena al-Qur’an yang aku baca tidak tersusun.’

‘Aisyah berkata, ‘Apa yang engkau anggap penting di situ. Dan
apa yang engkau baca sebelumnya? Sesungguhnya yang pertama
kali diturunkan ialah golongan surat-surat Mufashshal yang
menyebutkan sorga dan neraka kemudian ketika orang-orang sudah
mulai cenderung kepada Islam diturunkanlah perkara halal dan
haram. Seandainya yang pertama kali diturunkan ialah:
‘janganlah kamu meminum khamar,’ niscaya mereka berkata, ‘Kami
tidak akan meninggalkan khamar.’ Seandainya yang pertama kali
turun adalah ayat tentang larangan untuk berzina, niscaya
mereka akan berkata, ‘Kam tidak akan meninggalkan zina
selama-lamanya.’ Sungguh ayat-ayat ini turun di Makkah kepada
Muhammad dan ketika itu aku masih kecil dan suka bermain.

“Sebenarnya hari kiamat itulah adalah hari yang
dijanjikan kepada mereka; dan kiamat itu lebih dahsyat
dan lebih pahit” (al-Qamar: 46)

Surat al-Baqarah dan surat an-Nisa’ tidak turun kepadanya
kecuali saya bersama dengannya. Setelah itu ‘Aisyah berkata,
‘Kemudian saya keluarkan mushaf untuknya dan saya diktekan
surat itu kepadanya.” 11

Akan tetapi, masih banyak orang yang menyibukkan diri dalam
dunia da’wah, tetapi mereka tidak memiliki fiqh dan
pengetahuan untuk itu, sehingga mereka menampilkan wajah agama
ini dengan buruk dan tidak baik. Di antara mereka ada yang
mencampuradukkan kekurangan itu dan kekurangan orang lain.

Kekurangan dalam da’wah terus berkembang sehingga saya melihat
para pengajar yang semu, yang menggambarkan Islam dari empat
sudut saja, yaitu orang lelaki harus berjenggot, wanita harus
menutup wajahnya, penolakan untuk menggambar walaupun di atas
kertas, larangan terhadap lagu dan musik walaupun pada
munasabah (acara) yang sangat mulia dengan rangkaian kata-kata
yang sangat baik.

Saya tidak ingin memutuskan hukum tertentu dalam perkara ini,
tetapi saya hanya ingin agar tindakan itu tidak melampaui
batas, dan jangan sampai orang-orang yang melakukannya
menyangka bahwa itulah puncak pengabdian dalam agama, padahal
perkara itu sebenarnya adalah perkara kecil dan terbatas,
dimana peperangan untuk membelanya justru akan mematikan Islam
dan memporakporandakan ummatnya.

Demikianlah kajian tentang fiqh prioritas yang saya ungkapkan
secara mendasar, komprehensif, dan terperinci sebagaimana yang
dianjurkan oleh para tokoh pembaruan Islam. Saya berharap
bahwa pemikiran ini menjadi salah satu sumbangan dalam
perkembangan pemikiran Islam di zaman modern ini. Segala puji
bagi Allah di awal dan di akhir kajian ini.

“Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri
maaflah kami; ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
engkau Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir” (al-Baqarah: 286).

Catatan kaki:

1 Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz Imam Syaikh
Muhammad Abduh, juzu’ 1, h. 11-12, cetakan al-Manar, Kairo,
1931.

2 Mudzakkirat ad-Da’wah wa al-Da’iyah, hal. 58-60.

3 Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, juz 6, h. 949-951, cet. Dar
as-Syuruq.

4 Muttafaq ‘Alaih.

5 Muttafaq Alaih

6 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

7 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

8 Periwayatan hadits ini telah kita sebutkan pada bab-bab
terdahulu.

9 Diriwayatkan oleh Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata, “Ini
adalah hadits gharib yang tidak kami ketahui kecuali dari
al-Walid bin Muslim. Ibn al-Jawzi berkata dalam al-‘Ilal,
“Hadits ini tidak shahih.” Al, Iraqi berkata, “Isnad hadits
ini lemah.” Al-Albani berkata, “Hadits ini dha’if.” Al-Jami’
al-Shaghir, “Mawdhu'”

10 al-Fikr al-Islami al-Hadits, 65-69, Penerbit Dar al-Fikr.

11 Dikutip dari buku al-Da’wah al-Islamiyyah, h. 68-71

&