Mewarnai Gambar Kaligrafi
Nama-Nama Surah Al-Qur’an Anak Muslim
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 111
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Sesungguhnya pada kisab-kisab mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)
Allah berfirman bahwa sesungguhnya, dalam kisah para Rasul dan kaum mereka serta bagaimana Allah telah menyelamatkan orang-orang yang beriman dan menghancurkan orang-orang yang kafir: ‘ibratul li ulil albaabi maa kaana hadiitsaya yuftaraa (“Terdapat pengajaran bagi orang-yang berakal. Al-Qur’an itu bukanlah kitab yang dibuat-buat.”) maksudnya al-Qur’an itu tidak seharusnya di didustakan dan dibuat-buat dari selain Allah.
Wa laakin tashdiiqal ladzii baina yadaiHi (“Akan tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya”) dari kitab-kitab yang diturunkan dari langit, dan membenarkan apa yang benar dari isinya, membantah pemutarbalikan, penyelewengan, dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dan menentukan mana yang dinasakh (dihapus) atau ditetapkan.
Wa tafshiila kulla syai-in (“Dan menjelaskan segala sesuatu”) tentang halal, haram, sunnah, makruh, dan lain-lainnya. Seperti memerintahkan berbagai perbuatan taat, wajib, dan sunnah; dan melarang berbagai perbuatan haram dan sejenisnya, seperti makruh; memberitahukan hal-hal yang nyata dan ghaib yang akan datang, secara garis besar maupun rinci, memberitahukan tentang Rabb Ta’ala, dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan ke-Mahasucian-Nya dari persamaan dengan makhluk-Nya.
Oleh karena itu, al-Qur’an adalah: Hudaw wa rahmatal li qaumiy yu’minuun (“Sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”) yang membimbing hati mereka dari kesalahan menuju kebenaran, dari kesesatan menuju jalan yang lurus.
Dengan al-Qur’an itu, mereka mengharapkan rahmat dari Rabb seluruh hamba ini dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
alhamdulillaaH
selesai
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 110
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkanlah orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.” (QS. Yusuf: 110)
Allah menuturkan bahwa pertolongan-Nya diturunkan kepada para Rasul-Nya alaihimush shalatu wassalam ketika mereka berada dalam keadaan yang sulit dan mereka menunggu pertolongan dari Allah pada waktu yang sangat dibutuhkannya, seperti yang difirmankan Allah swt: wa zulziluu hatta yaquular rasuulu wal ladziina aamanuu ma’aHu mataa nashrullaaHi (“Dan mereka digoncangkan [dengan bermacam-macam cobaan] sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata: ‘Bilakah pertolongan Allah datang?’”)
Dan dalam firman Allah: kudzdzibuu (“Mereka didustakan”) terdapat dua bacaan: Ulama Kufah membacanya dengan dzal tanpa tasydid, sedang ulama lainnya dengan tasydid.
Pertama dengan dzal ditasydid, dan `Aisyah radhiyallahu `anHaa membacanya seperti itu. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah ketika `Urwah bin az-Zubair bertanya kepadanya tentang firman Allah: hattaa idzas tai-asar rusulu (“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi [tentang keimanan mereka]”) apakah kudzdzibuu atau kudzibuu? `Aisyah menjawab kudzdzibu. Aku berkata: “Karena mereka sudah yakin bahwa kaum mereka mendustakan mereka, lalu bagaimana jika sekedar dugaan saja?” Ia berkata: “Sungguh, mereka telah yakin akan hal itu.” Aku mengatakan, dalam ayat ini disebutkan: “Dan mereka menduga (dhannuu) bahwa mereka telah didustakan.” `Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, para Rasul tidak menduga demikian kepada Rabb mereka.” Aku bertanya: “Kalau demikian adanya, maka bagaimana makna ayat ini?” Dia menjawab: “Mereka itu adalah pengikut-pengikut para Rasul yang beriman kepada Rabb dan membenarkan mereka, setelah menderita cobaan panjang dan merasakan pertolongan Allah datang terlambat.
hattaa idzas tai-asar rusulu (“Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi [tentang keimanan mereka]”) tentang keimanan orang-orang dari kaum mereka yang mendustakan, dan mereka menduga pula bahwa pengikut mereka pun telah mendustakan mereka, maka pertolongan Allah pun datang pada saat itu.
Bacaan yang kedua adalah dengan dzal tanpa tasydid, para ulama berbeda pendapat tentang penafsirannya. Al-A’masy meriwayatkan dari Muslim dari Ibnu `Abbas tentang firman Allah, “Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan
kaum mereka) dan telah meyakini bahwa mereka didustakan”, mengatakan: “Setelah para Rasul tidak mempunyai harapan lagi bahwa kaumnya akan memenuhi ajakan mereka, dan kaum mereka itupun menduga bahwa para Rasul telah mendustai mereka, maka saat itu pertolongan Allah pun datang.”
Fa nujjiya man nasyaa-u (“Lalu diselamatkanlah orang-orang yang Kami kehendaki.”)
Demikian pula telah diriwayatkan pendapat serupa dari Sa’id bin Jubair, `Imran bin al-Harits as-Sulami. `Abdurrahman bin Mu’awiyah, `Ali bin Abi Thalhah, dan al-`Aufi dari Ibnu `Abbas”,
Pendapat yang lain ditolak, tidak dapat diterima. wallahu a’lam.
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 109
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka berjalan di muka bumi lalu mereka melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya.” (QS. Yusuf: 109)
Allah memberitahukan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya dari kaum laki-laki, bukan dari kaum wanita. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang ditunjukkan oleh teks ayat yang mulia ini, yaitu bahwa Allah tidak memberi wahyu kepada perempuan dari anak cucu Adam, yaitu wahyu yang berisi syari’at. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa Sarah, isteri Nabi Ibrahim as, ibu Musa dan Maryam binti ‘Imran, mereka adalah Nabi, dengan dalil bahwa Malaikat telah memberi kabar gembira kepada Sarah bahwa dia akan mendapat anak yaitu Ishaq, kemudian Ishaq akan mempunyai anak yaitu Ya’qub, dan Allah berfirman: “Dan kami wahyukan kepada ibu Musa hendaklah ia menyusuinya.” (QS. Al-Qashash: 7)
Dan Malaikat telah datang kepada Maryam dan memberinya kabar gembira bahwa dia akan melahirkan `Isa as, dan dalil lainnya adalah firman Allah:
“(Ingatlah) tatkala Malaikat berkata. ‘Wahai Maryam sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikanmu dan melebihkanmu di atas semua wanita di dunia ini. Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dun ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.’”
Derajat ini telah dicapai mereka, tetapi tidak berarti mereka itu menjadi Nabi. Jika yang mereka maksud dengan kenabian itu adalah derajat kemuliaan yang tinggi, maka hal itu memang tidak perlu diragukan, tetapi apakah dengan derajat seperti itu telah cukup untuk memasukkan mereka ke dalam golongan para Nabi?
Pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah seperti yang dikutip oleh Syaikh Abul Hasan `Ali bin Isma’il al-Asy’ari tentang mereka, bahwa tidak ada di antara kaum wanita yang menjadi Nabi, tetapi ada di antara mereka itu wanita-wanita shiddiqah sebagaimana firman Allah swt. yang memberitahukan bahwa wanita termulia adalah Maryam binti `Imran, Allah berfirman yang artinya:
“Masih bin Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya juga sudah ada para Rasul yang lain dan ibunya adalah seorang wanita yang sangat jujur. Keduanya juga makan makanan.” (QS. Al-Maaidah: 75). Allah menyebutnya pada tingkat yang paling mulia dengan shiddiiqah (sangat jujur)
Jika dia seorang Nabi perempuan, pasti Allah menyebutnya dengan kata Nabi pada kedudukan paling mulia dan paling agung ini. Tetapi dalam nash al-Qur’an hanya disebut dengan ash-shiddiqah.
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu `Abbas tentang firman Allah: wa maa arsalnaa min qablika illaa rijaalan (“Kami tidak mengutus sebelum kamu melainkan orang laki-laki.”) Maksudnya, para Rasul itu bukan dari penduduk langit (Malaikat) sebagaimana yang kalian katakan. Pendapat Ibnu `Abbas ini diperkuat dengan firman Allah: wa maa arsalnaa min qablika minal mursaliina illaa innaHum laya’kuluunath th’aama wa yamsyuuna fil aswaaq (“Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pun dari para Rasul kecuali mereka itu pasti makan makanan dan mereka pun berjalan di pasar-pasar.”)
Firman Allah: min aHlil quraa (“Di antara penduduk negeri,”) maksudnya dari penduduk kota, bukan penduduk Badui (pedalaman) yang keras (kasar) tabi’at dan akhlaknya. Sebagaimana yang kita saksikan bahwa penduduk kota lebih halus tabi’atnya, dan lebih lembut daripada penduduk Badui (pedalaman). Sedangkan warga desa itu lebih dekat dengan penduduk pedalaman.
Karena itu Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang A’rab (penduduk Badui atau pedalaman) itu rebih kufur dan lebih nifak.” (QS. At-Taubah: 97)
Qatadah berkata tentang firman Allah: min aHlil quraa (“Di antara penduduk negeri,”) karena mereka lebih mengetahui dan lebih halus daripada penduduk Badui.
Sedang firman Allah: afalam yasiiruu fil ardli (“Tidakkah mereka berjalan di muka bumi”) yaitu orang-orang yang mendustakanmu, wahai Muhammad; fa yandhuruu kaifa kaana ‘aaqibatul ladziina min qabliHim (“Lalu mereka melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka”) dari umat-umat yang mendustakan Rasul, bagaimana Allah menghancurkan mereka, dan orang-orang kafir pun bagi mereka adalah nasib yang sama.
Jika mereka mendengar berita umat-umat tersebut, maka mereka dapat melihat bahwa Allah telah menghancurkan orang-orang yang kafir dan menyelamatkan orang-orang mukmin. Dan itulah sunnatullah (aturan Allah Ta’ala) untuk makhluk-Nya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: wa ladarul aakhirati khairul lilladziinat taqau (“Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa”) maksudnya, sebagaimana Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman di dunia, demikian pula Kami tetapkan keselamatan bagi mereka di kampung akhirat, dan kampung akhirat itu jauh lebih baik bagi mereka daripada kampung dunia ini.
Kata daar itu dimudhafkan kepada kata al-akhirat seperti dikatakan shalatul ula dan masjidul jami’.
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 108
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (mu) kepada Allah diatas bashirah (hujjah yang nyata), Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Allah berfirman kepada Rasul-Nya yang diutus kepada manusia dan jin, memerintahkan kepadanya agar memberitahu kepada manusia bahwa inilah jalannya, maksudnya adalah cara, jalan dan sunnahnya, yaitu dakwah kepada syahadah bahwa tidak ada Ilah yang haq selain Allah yang Mahaesa tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan jalan itu dia mengajak kepada Allah berdasarkan bukti, dalil, dan keyakinan.
la dan orang-orang yang mengikutinya menyerukan apa yang diserukan oleh Rasulullah saw. berdasarkan kebenaran, keyakinan, dan argumentasi rasional dan syari’at. Wa subhaanallaaHi (“Mahasuci Allah.”) Yakni Mahabersih, Maha-agung, Mahabesar dan Mahakudus dari memiliki sekutu, atau penyetara, pesaing, atau yang menyamai, atau anak, atau bapak, atau isteri, atau pembantu, atau penasehat. Dia Mahasuci, Mahabersih, Mahatinggi dari semua hal tersebut setinggi-tingginya.
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 105-107
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling daripadanya. (QS. 12:105) Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan ilah-ilah lain). (QS. 12:106) Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka, atau dari kedatangan Kiamat kepada mereka secara mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya. (QS. 12:107)” (Yusuf: 105-107)
Allah memberitahukan bahwa kebanyakan manusia lalai berfikir tentang ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah dan dalil-dalil keesaan-Nya dengan berbagai macam ciptaan Allah di langit dan di bumi, berupa bintang-bintang yang berkerlap-kerlip cemerlang yang tetap maupun yang berjalan, dan falak yang berputar dalam peredarannya, yang semuanya dikendalikan oleh Allah. Betapa banyak di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun dan taman, gunung-gunung yang tegak kuat, lautan yang mengandung banyak kekayaan, gelombang yang saling menghantam, dan padang kering yang luas.
Dan berapa banyak makhluk yang hidup dan yang mati, binatang dan tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang serupa tetapi berbeda-beda rasanya, baunya, warnanya, dan sifatnya. Mahasuci Allah yang Mahaesa, Pencipta segala makhluk, satu-satunya yang kekal, abadi, dan tempat berlindung dan Esa dalam nama dan sifat-sifat-Nya, dan lain-lainnya.
Firman Allah: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”) Ibnu `Abbas berkata: “Di antara iman mereka adalah apabila mereka ditanya: ‘Siapakah yang menciptakan langit, siapakah yang menciptakan bumi, siapakah yang menciptakan gunung-gunung mereka pasti menjawab, `Allah.’ Sedangkan mereka tetap menyekutukan (musyrik) kepada Allah.”
Mujahid, `Atha’, `Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah, adh-Dhahhak, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan seperti itu juga.
Disebutkan dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim, bahwa orang-orang musyrik mengatakan dalam talbiyah mereka: “Aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang memang dia milik-Mu. Engkau memilikinya dan apa yang dimilikinya.” Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa bila mereka mengatakan: “Aku memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,” Rasulullah bersabda: “Cukup, cukup, jangan kalian tambah lagi!”
Allah berfirman: innasy syirka ladhulmun ‘adhiim (“Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kedhaliman yang besar.”) Ini adalah syirik besar, yaitu beribadah kepadia Allah juga kepada ilah yang lain.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, aku bertanya kepada Rasulullah saw: “Apakah dosa yang paling besar?” Beliau menjawab: “Kamu menjadikan sekutu bagi Allah, sedang Dia-lah yang menciptakanmu.”
Al-Hasan al-Bashri mengatakan tentang firman Allah: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”) yang dimaksud adalah orang munafik, kalau ia berbuat sesuatu, hal itu karena pamer (riya’) kepada orang lain, dengan demikian ia mempersekutukan Allah dalam amal perbuatannya tadi, sebagaimana firmanAllah:
“Sesunggubnya orang-orang munafik itu menipu Allah, sedang Allah menipu mereka. Bila mereka mengerjakan shalat mereka mengerjakannya dengan malas-malasan, mereka pamer (riya) kepada orang lain dan mereka tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja.” (QS. An-Nisaa’: 142)
Kemudian macam lain dari syirik yaitu syirik yang tersembunyi yang biasanya tidak dirasakan (disadari) oleh pelakunya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah dari `Ashim bin Abi an-Najud, dari `Urwah ia berkata: “Hudzaifah menjenguk seorang yang sakit dan ia melihat ikatan pada pangkal lengannya, maka ia memotong, atau melepaskannya, lalu berkata: wa maa yu’minu aktsaruHum billaaHi illaa wa Hum musyrikuun (“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Alah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah [dengan ilah-ilah lain].”)
Disebutkan dalam hadits bahwa: “Barangsiapa bersumpah selain dengan nama Allah, maka dia telah berbuat syirik (mempersekutukan Allah).” Hadits tersebut diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Ibnu `Umar, dan dinilainya sebagai hadits hasan.
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain dari Ibnu Masud ia berkata: Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ar-ruqa’ (mantra/jampi), at-tamaim (jimat untuk menolak hasad) dan at-tiwalah (sihir pengasih) itu adalah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah).”
Keduanya juga meriwayatkan dengan lafazh lain: “Thiyarah (berfirasat buruk, merasa bernasib sial) itu adalah perbuatan syirik, tidak ada orang di antara kita yang tidak melakukannya, tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.”
Riwayat Imam Ahmad lebih luas (lengkap) lagi. Dari Zainab, isteri `Abdullah bin Mas’ud berkata: “Setiap kali `Abdullah pulang dari suatu keperluan, sesampainya di pintu ia berdehem dan meludah supaya tidak ada di antara kami yang tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan.” Zainab berkata: “Pada suatu hari ia datang dan berdehem seperti biasanya, sedang di rumah ada seorang wanita tua yang sedang mengobatiku dari merah-merah (di kulitku), maka ia segera kumasukkan (sembunyikan) di bawah tempat tidur. `Abdullah pun masuk dan duduk di sampingku dan melihat benang melingkar di leherku.” Ia bertanya: “Benang apa ini?” Aku menjawab: “Ini benang ruqyah untukku.” Maka ia segera memutuskannya sambil berkata: “Sesungguhnya keluarga `Abdullah tidak memerlukan perbuatan syirik, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya ar-ruqa’, at-tamaim, dan at-tiwalah itu perbuatan syirik (mempersekutukan Allah).’” Aku bertanya kepadanya: “Mengapa engkau mengatakan demikian, padahal dulu mataku pernah sakit, lalu aku pergi kepada seorang Yahudi untuk mengobatinya dengan ruqyah, dan setelah diobati pun sembuh.” Ia menjawab: “Hal itu disebabkan oleh syaitan, ia mencolok (matamu)
itu dengan tangannya, maka jika dijampinya, syaitan pun berhenti mengganggu matamu. Cukuplah bagimu mengatakan seperti yang dikatakan Rasulullah saw: ‘Hilangkanlah penyakit, wahai Rabb manusia, sembuhkanlah, karena Engkau-lah penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali (dengan) kesembuhan-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit apapun.”
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari `Isa bin `Abdurrahman berkata: Saya masuk ke tempat `Abdullah bin `Ukaim yang sedang sakit untuk menjenguknya. Lalu, ada orang yang menasehatinya supaya mengalungkan sesuatu pada lehernya. Maka ia berkata: “Bagaimana aku mengalungkan sesuatu, sedang Rasulullah pernah bersabda: ‘Barangsiapa mengalungkan sesuatu, maka ia dibuat bergantung kepadanya.’
Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Abu Hurairah ra. Disebutkan dalam Musnad al-Imam Ahmad dari `Uqbah bin `Amir, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengalungkan tamimah (jimat untuk menolak hasad dan lain-lain), maka dia telah berbuat syirik (mempersekutukan Allah).”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka Allah tidak menyempurnakan (kesembuhan) baginya, dan barangsiapa menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), maka Allah tidak memberikan ketenangan baginya.”
Dan hadits dari al-‘Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah berfirman: `Aku adalah sekutu yang paling kaya, tidak memerlukan sekutu lagi. Barangsiapa berbuat suatu amal perbuatan dan ia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka akan Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.’” (Hadits diriwayatkan oleh Muslim)
Dari Mahmud bin Labid, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku khawatirkan atas diri kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu riya’ (pamer), Allah pada hari Kiamat nanti, ketika membalas amal perbuatan manusia, mengatakan: `Pergilah kepada orang-orang yang kalian pameri waktu di dunia dahulu, dan lihatlah apakah mereka menyediakan balasan untuk kalian?’”) Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
A fa aminuu an ta’tiyaHum ghaasyiyatum min ‘adzaabillaaHi (“Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah”) maksudnya, apakah orang-orang yang mempersekutukan Allah itu merasa aman dari kedatangan sesuatu yang meliputi mereka, sedang mereka tidak menyadarinya.
Ini seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu merasa aman jika Allah melenyapkan bumi ini, atau (merasa aman dari) kedatangan siksa secara mendadak yang tidak mereka sadari?” (QS. An-Nahl: 45)
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 102-104
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya. (QS. 12:102) Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. 12:103) Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka
(terbadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam. (QS. 12:104)” (Yusuf: 102-104)
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad setelah menceritakan saudara-saudara Yusuf, bagaimana Allah meninggikan Yusuf di atas mereka dan menjadikan untuknya akibat yang baik, kemenangan, kerajaan, dan kekuasaan, padahal mereka bermaksud berbuat kejahatan, kehancuran, dan kematian baginya.
Kisah ini dan kisah-kisah serupa adalah sebagian dari kabar ghaib yang terjadi pada masa lampau; nuuhiiHi ilaika (“Kami beritahukan kepadamu wahai Muhammad,”) karena di dalamnya terdapat suri tauladan bagimu, dan nasehat bagi orang-orang yang menyelisihimu. Wa maa kunta ladaiHim (“Padahal kamu tidak berada di sisi mereka”) tidak hadir di sisi mereka tidak pula menyaksikan mereka.
Idz ajma’uu amraHum (“Ketika mereka memutuskan rencana mereka”) untuk memasukkannya ke dalam sumur; wa Hum yamkuruun (“Dan mereka sedang mengatur tipu daya,”) terhadapnya (Yusuf), tetapi Kami memberitahukannya melalui wahyu yang diturunkan kepadamu, seperti firman Allah lainnya: “Padahal kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (mengundi),” (QS. Ali-‘Imran: 44)
Allah berfirman bahwa dia adalah Rasul-Nya dan diberitahukan-Nya berita-berita masa lampau yang mengandung suri tauladan dan keselamatan agama dan dunia bagi manusia. Walaupun demikian, tetap sebagian besar di antara mereka masih tidak mau beriman. Karena itu Allah berfirman: wa maa aktsarun naasi wa lau harashta bimu’miniin (“Dan sebagian besar manusia tidak beriman walau kamu sangat menginginkannya.”) ini seperti firman Allah: “Sebenarnya dalam hal demikian itu terdapat tanda (kekuasaan Allah) tetapi kebanyakan mereka tidak beriman (percaya).” (Asy-Syu’araa’: 8)
Firman Allah: wa maa tas-aluHum ‘alaiHi min ajrin (“Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah.”) Maksudnya, kamu wahai Muhammad tidak meminta dari mereka upah sebagai imbalan dari nasehat dan seruan kepada kebaikan serta petunjuk ini, tetapi kamu melakukannya hanya karena mengharapkan ridha Allah dan kasih yang tulus kepada makhluk-Nya.
In Huwa illaa dzikrul lil ‘aalamiin (“Itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam”) agar mereka menjadikannya peringatan, petunjuk dan dapat selamat di dunia dan akhirat.
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 101
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Ya Rabbku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Rabb) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keaadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101)
Ini adalah do’a Yusuf kepada Rabbnya, setelah nikmat yang diberikan kepadanya sempurna dengan dapat berkumpulnya ia dengan bapak, ibu dan saudara-saudaranya, dan anugerah lain yang berupa kenabian dan kekuasaan (kerajaan). Dia memohon kepada Rabbnya agar nikmat yang sempurna yang telah diterimanya di dunia ini berlanjut di akhirat nanti, dan agar ia diwafatkan dalam keadaan Islam [-demikian menurut adh-Dhahhak-] serta digabungkan dengan orang-orang yang shalih, yaitu saudara-saudaranya para Nabi dan Rasul, semoga shalawat dan salam terlimpah atas mereka seluruhnya.
Ada kemungkinan do’a ini diucapkan Yusuf pada waktu menjelang wafatnya sebagaimana disebutkan dalam ash-Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) dari `Aisyah radhiallahu `anha bahwa Rasulullah mengangkat jarinya tatkala menjelang wafat dan berkata: “AllaHumma firrafiiqil a’la”, tiga kali.
Dan ada kemungkinan dia berdo’a memohon agar wafat dalam keadaan Islam dan bergabung dengan orang-orang shalih sewaktu ajalnya datang dan umurnya telah habis. Bukan memohon hal tersebut terjadi seketika itu, seperti yang dikatakan orang yang mendo’akan orang lain: “Semoga Allah mewafatkanmu dalam keadaan Islam,” atau berdo’a dengan mengatakan: “Ya Allah, hidupkan kami dalam keadaan muslim dan matikan kami dalam keadaan muslim dan gabungkan kami dengan orang-orang yang shalih.”
Ada kemungkinan pula dia berdo’a agar permohonannya dikabulkan seketika itu juga. Hal ini dibolehkan dalam agama mereka seperti dikatakan oleh Qatadah.
Firman Allah: tawaffanii muslimaw wal hiqnii bish shaalihiin (“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.”) Setelah Allah mengumpulkan keluarganya dan menyenangkan hatinya, sedangkan saat itu ia bergelimang di dunia dengan kekuasaan dan kemakmuran, maka dia merindukan pertemuan dengan orang-orang shalih sebelumnya.
Ibnu `Abbas berkata: “Tidak ada seorang Nabi pun sebelum Yusuf as. yang mengharapkan kematian, tetapi hal ini tidak diperbolehkan dalam syari’at kita.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian karena bahaya yang menimpanya, jika ia dalam keadaan terpaksa mengharapkan kematian, maka hendaklah mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku kalau memang hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku kalau memang mati itu lebih baik bagiku.’”
Hadits ini juga diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut: “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian karena bahaya yang menimpanya, karena kalau ia orang baik maka akan bertambah lagi kebaikannya, dan bila ia orang buruk ada kemungkinan ia bertaubat. Tetapi hendaklah mengatakan: ‘Ya Allah, hidupkanlah aku kalau
memang hidup itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku kalau memang mati itu lebih baik bagiku.’”
Hal tersebut jika bahaya itu hanya mengancam dirinya, tetapi jika bahaya itu mengancam agamanya, maka seseorang diperbolehkan mengharapkan kematian, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang menceritakan tukang-tukang sihir Fir’aun yang diancam agamanya setelah mereka beriman bersama Musa, dan diancam pula akan dibunuh, maka mereka berkata: “Ya Rabb kami, limpahkanlah kepada kami kesabaran dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim.” (QS. Al-A’raaf: 126)
Maryam berkata ketika ia merasa sakit saat akan melahirkan anak yang memaksa ia bersandar pada pangkal pohon kurma: “Mengapa aku tidak mati saja sebelum ini dan aku menjadi orang yang tidak berarti lagi dilupakan,” (QS. Maryam: 23) setelah ia mengetahui bahwa orang-orang menuduhnya berzina, karena dia tidak bersuami, tetapi ternyata hamil dan melahirkan anak. Mereka mengatakan: “Wahai Maryam, kamu telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar. Wahai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat, dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam 27-28)
Maka, Allah memberikan pertolongan dan jalan keluar dari keadaan itu dan membuat bayi yang masih dalam ayunan itu mampu berbicara bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Maka, ia (Isa as) menjadi ayat (tanda) keagungan Allah dan mukjizat yang cemerlang.
Dalam hadits Mu’adz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi tentang kisah mimpi dan do’a, disebutkan: “Apabila Engkau menghendaki terjadinya fitnah pada suatu kaum, maka panggillah aku menghadapmu (wafatkanlah aku) tanpa mengalami fitnah.” Tatkala terjadi fitnah yang menimpa agama, maka diperbolehkan berdo’a memohon kematian.
Oleh karena itu, `Ali bin Abi Thalib pada akhir masa kekhalifahannya, setelah melihat bahwa urusan umat tidak dapat dikuasainya, bahkan suasana semakin meruncing, `Ali berkata: “Ya Allah, panggil sajalah aku menghadapmu, karena aku sudah bosan dengan mereka dan mereka pun sudah bosan denganku.”
Al-Bukhari rahimahullah, setelah terkena fitnah, dan terjadi masalah antara dia dan amir (penguasa) Khurasan, ia berkata: “Ya Allah, wafatkanlah aku kepada-Mu.”
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 99-100
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf. Yusuf merangkul ibu-bapaknya dan dia berkata: ‘Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.’ (QS. 12:99) Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf. ‘Wahai ayahku inilah ta`bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Rabbku telah menjadikan suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun Badui yaitu padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.’ (QS. 12:100)” (Yusuf: 99-100)
Allah memberitakan tentang kedatangan Ya’qub as. ke tempat Yusuf as. dan masuknya ia ke negeri Mesir, setelah Yusuf meminta kepada saudara-saudaranya supaya mereka membawa seluruh keluarganya. Maka mereka semua berangkat, meninggalkan negeri Kan’an menuju negeri Mesir.
Setelah Yusuf as. diberi kabar bahwa mereka hampir sampai di Mesir, dia segera keluar untuk menerima mereka. Dan sang Raja pun memerintahkan semua pejabat negara dan tokoh masyarakat agar keluar bersama Yusuf untuk menyambut Nabi Ya’qub as. bahkan ada yang mengatakan bahwa sang Raja pun keluar untuk menyambutnya, dan pendapat inilah yang lebih cocok.
Terdapat kemusykilan (masalah/persoalan) dalam firman Allah: aawaa ilaiHi abawaiHi wa qaaladkhulu mishra (“Setelah mereka masuk ke tempat Yusuf, Yusuf merangkul ibu bapaknya, dan dia berkata: ‘Masuklah kalian ke negeri Mesir.’)
Bagi banyak mufassir, sebagian mengatakan bahwa hal ini termasuk kategori mendahulukan yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan yang seharusnya didahulukan, dan artinya adalah: “Masuklah Mesir insya Allah kalian dalam keadaan aman, dan ia merangkul ibu bapaknya. Dan dia menaikkan ibu bapaknya ke atas singgasana.”
Ibnu Jarir menyanggah pendapat ini dengan baik, kemudian ia memilih pendapat yang dikemukakan oleh as-Suddi, bahwa Yusuf merangkul ibu bapaknya ketika bertemu dengan mereka, kemudian setelah mereka sampai di pintu gerbang negeri ini, Yusuf berkata: udkhulu mishra insyaa AllaaHu aaminiin (“Masuklah kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman”) Pendapat ini pun masih perlu diteliti lagi, karena tindakan merangkul hanya terjadi di rumah, seperti ditunjukkan firman Allah: aawaa ilaiHi akhaaHu (“Merangkul saudaranya kepada dirinya.”)
Apa yang menghalangi jika kita katakan bahwa Yusuf, setelah sampai di rumah dan merangkul mereka mengatakan: “Masuklah ke Mesir!” dan iapun memberikan jaminan dengan mengatakan: “Tinggalah di Mesir insya Allah kalian aman dari penderitaan disebabkan oleh kekeringan dan paceklik.”
Firman Allah: aawaa ilaiHi abawaiHi (“Yusuf merangkul ibu bapaknya”) As-Suddi dan `Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Sesungguhnya mereka adalah bapak dan bibi (saudari ibu)nya, karena ibunya sudah meninggal sejak lama. Sedang Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Jarir mengatakan, ayah dan ibunya masih hidup. Dan Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ibunya sudah meninggal, dan teks al-Qur’an menunjukkan bahwa ibunya masih hidup.” Pendapat yang didukungnya inilah yang kuat dan merupakan pendapat yang ditunjukkan oleh susunan kalimatnya.
Dan firman Allah: wa rafa’a abawaiHi ‘alal ‘arsy (“Dia menaikkan ibu-bapaknya ke atas singgasana.”) Ibnu `Abbas, Mujahid dan lain-lainnya mengatakan: “Maksudnya adalah kursi kerajaan, Yusuf mendudukkan mereka berdua di atas kursi kerajaan bersama dia.”
Wa kharruu laHuu sujjadan (“Dan mereka semua merebahkan diri sujud kepada Yusuf”) maksudnya, ayah, ibu, dan saudara-saudaranya yang lain yang berjumlah sebelas orang sujud kepadanya.
Wa qaala yaa abati Haadzaa ta’wiilu ru’yaaya min qablu (“Dan Yusuf berkata: ‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu”) yaitu yang diceritakan kepada ayahnya dahulu, Hal ini diperbolehkan dalam syari’at mereka, bila mereka memberi salam kepada orang besar mereka sujud kepadanya, dan hal ini berlaku sejak Nabi Adam sampai syari’at Nabi `Isa as. Tetapi cara seperti itu diharamkan dalam agama Islam, yang menjadikan sujud hanya milik Allah saja. Inilah inti dari pendapat Qatadah dan lain-lainnya.
Disebutkan dalam hadits bahwa Mu’adz datang ke negeri Syam dan melihat penduduknya bersujud kepada uskup-uskup mereka. Setelah kembali, ia segera sujud kepada Rasulullah saw, maka beliau bertanya: “Apa yang kamu perbuat ini hai Mu’adz?” la menjawab: “Saya melihat mereka bersujud kepada uskup-uskup mereka, sedang engkau wahai Rasulullah, lebih berhak disujudi daripada mereka,” maka beliau bersabda: “Andaikata aku boleh menyuruh seseorang bersujud kepada orang lain, pasti aku menyuruh wanita bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadap isterinya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadits nomor 1853, dan Imam Ahmad.)
Kesimpulannya, sujud kepada orang lain itu diperbolehkan dalam syari’at mereka. Oleh karena itu mereka merebahkan diri bersujud kepada Yusuf, kemudian ia berkata: yaa abati Haadzaa ta’wiilu ru’yaaya min qablu qad ja’alaHaa rabbii haqqan (“‘Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu. Sesungguhnya Rabbku telah menjadikannya suatu kenyataan.”) Maksudnya, inilah kenyataan dari mimpiku dahulu itu, karena ta’wil itu berarti kenyataan sebenarnya yang terjadi dari mimpi atau hal-hal lainnya.
Sebagaimana Allah berfirman, “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali ta’wil (terlaksananya kebenaran) al-Qur’an, pada hari datangnya kebenaran pemberitaan al-Quran itu.” (QS. Al-A’raaf: 53). Maksudnya, pada hari Kiamat akan terjadi pada mereka apa yang telah dijanjikan kepada mereka berupa kebaikan maupun keburukan.
Qad ja’alaHaa rabbii haqqan (“Sesungguhnya Rabbku telah menjadikannya suatu kenyataan,”) maksudnya, benar-benar menjadi kenyataan. Dia menyebutkan nikmat-nikmat Allah yang telah didapatkannya: wa qad ahsanabii idz akhrajanii minas sijni wa jaa-a bikum minal badwi (“Dan sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika mereka membebaskanku dari rumah penjara dan ketika membawa kalian dari dusun Badui,”) yaitu padang pasir. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Juraij dan lain-lain bahwa mereka itu hidup di padang pasir dan hidup sebagai penggembala ternak:
Mim ba’di an nazzaghasy syaithaanu bainii wa baina ikhwatii inna rabbii lathiiful limaa yasyaa-u (“Setelah syaitan merusak hubungan antara aku dari saudara-saudaraku. Sesungguhnya Rabbku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.”) Maksudnya, bila menghendaki sesuatu, maka Allah menyiapkan sarana dan sebabnya, mentakdirkan dan memudahkannya.
Inna Huu Huwal ‘aliimu (“Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamengetahui”) apa yang baik bagi hamba-Nya; alhakiim (“Lagi Mahabijaksana”) dalam segala perkataan, perbuatan, qadla’ dan qadar-Nya, dan segala yang dipilih dan dikehendaki-Nya.
Bersambung
Tafsir Ibnu Katsir Surah Yusuf ayat 96-98
27 SepTafsir Al-Qur’an Surah Yusuf
Surah Makkiyyah; surah ke 12: 111 ayat
“Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’qub, lalu kembalilah ia dapat melihat. Berkata Ya’qub: ‘Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.’ (QS. 12:96) Mereka berkata: ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).’ (QS. 12:97) Ya’qub berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’ (QS. 12:98)” (Yusuf: 96-98)
Ibnu `Abbas dan adh-Dhahhak mengatakan: “Al-Basyiir adalah pembawa surat, sedang Mujahid dan as-Suddi mengatakan; “Pembawa berita gembira itu adalah Yahudza bin Ya’qub.” As-Suddi selanjutnya mengatakan: “Dia yang menyampaikan kabar itu karena dia yang membawa baju Yusuf yang dilumuri dengan darah palsu dahulu. Jadi, ia ingin membersihkan dirinya dari kesalahan lama itu dengan cara ini. Maka, dia yang membawa baju Yusuf itu dan meletakkannya di wajah ayahnya, tiba-tiba ia dapat melihat kembali.”
Saat itu Ya’qub berkata kepada anak-anaknya: alam aqul lakum innii a’lamu minallaaHi maa laa ta’lamuun (“Tidakkah aku katakan kepadamu bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya?”) Maksudnya, aku tahu bahwa Allah akan mengembalikan Yusuf kepadaku, dan aku juga mengatakan: innii la-ajidu riiha yuusufa lau laa an tufanniduun (“Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal”)
Pada saat itu mereka berkata memohon kepada ayah mereka dengan lemah-lembut: yaa abanas taghfirlanaa dzunuubanaa innaa kunnaa khaathi-iina qaala saufa astaghfiru lakum rabbii innaHuu Huwal ghafuurur rahiim (“’Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah [berdosa].’ Ya’qub berkata: ‘Aku akan memohonkan ampun bagi kalian kepada Rabbku. Sesungguhnya Allah-lah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.’”) Maksudnya, siapa saja yang mau bertaubat kepada Allah, maka Allah pasti menerima taubatnya (mengampuninya)
Ibnu Mas’ud, Ibrahim at-Taimi, `Amr bin Qais, Ibnu Juraij, dan lain-lain mengatakan, bahwa Ya’qub menunda (menangguhkan) mereka sampai (dini hari) waktu sahur.
Bersambung