Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 1-2 (1)

16 Okt

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Maa-idah (Hidangan)
Surah Madaniyyah; surah ke 5: 120 ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid, ia berkata: “Pada saat aku sedang memegang tali kekang Rasulullah saw., tiba-tiba turun kepada beliau surah al-Maa-idah secara keseluruhan. Karena beratnya surah al-Maa-idah, berdetak pangkal kaki depan unta itu.”

Sementara itu al-Hakim mengatakan: Muhammad bin Ya’qub menceritakan kepada kami dari Jubair bin Nufair, ia berkata: “Aku pernah pergi haji, lalu masuk ke rumah ‘Aisyah, maka ia berkata kepadaku: ‘Hai Jubair, apakah kamu sudah membaca surah al-Maa-idah?’ ‘Sudah.’ Jawabku. Kemudian, ‘Aisyah berkata: ‘Sesungguhnya, ia adalah surah yang terakhir kali turun. Apa saja yang kalian temukan dari yang halal, maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian temukan dari yang haram, maka haramkanlah.”
(Kemudian al-Hakim mengatakan: “Hadits tersebut shahih sesuai syarat Syaikhan [al-Bukhari dan Muslim], tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits itu.”)

tulisan arab alquran surat al maidah ayat 1-2bismillaaHir rahmaanir rahiim
(“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang”)
“1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (al-Maa-idah: 1-2)

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari az-Zuhri, ia berkata: “Apabila Allah berfirman: yaa ayyuHalladziina aamanuu [Hai orang-orang yang beriman] kerjakanlah oleh kalian, maka Nabi saw. termasuk dari mereka.”

Mengenai firman-Nya: aufuu bil ‘uquudi (“Penuhilah aqad-aqad itu.”) Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan aqad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir juga menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan: “Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”

Mengenai firman Allah: yaa ayyuHalladziina aamanuu aufuu bil ‘uquudi (“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”) ‘Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, [ia berkata]: “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang difardlukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam al-Qur’an secara keseluruhan, maka janganlah kalian mengkhianati dan melanggarnya.”

Kemudian Allah mempertegas hal itu lagi, Allah berfirman yang artinya: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (ar-Ra’du: 25)

Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak ada hak pilih dalam jual beli telah menjadikan ayat tersebut sebagai dalil.

Mengenai ayat : aufuu bil’uquudi (“Penuhilah aqad-aqad itu.”) Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menepati janji, dan hal itu menuntut dihilangkannya hak pilih dalam jual-beli.” Demikianlah madzab [pendapat] Abu Hanifah dan Malik. Namun pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat Syafi’i, Ahmad dan jumhur ulama. Yang menjadi dalil dalam hal itu adalah hadits yang ditegaskan dalam ash-Shahihain, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar [hak memilih untuk jadi atau membatalkannya], selama mereka belum berpisah.”

Sedangkan dalam lafadz lain menurut riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut: “Jika dua orang melakukan transaksi jual beli, masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah.”

Hal itu jelas sekali [sharih] dalam menetapkan adanya hak pilih dalam jual beli sebagai kelanjutan bagi perjanjian jual beli. Dan hal ini tidak menafikkan keharusan berpegang teguh pada perjanjian, justru menurut syariat hal itu merupakan konsekuensi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian, berpegang teguh pada perjanjian merupakan bagian dari kesempurnaan pemenuhan janji.

Firman-Nya: uhillat lakum baHiimatul an’aami (“Dihalalkan bagimu binatang ternak.”) yaitu unta, sapi dan kambing.” Demikian yang dikatakan oleh Abul Hasan, Qatadah, dan beberapa ulama lainnya. Ibnu Jarir mengatakan: “Dan demikian halnya menurut bangsa Arab.”

Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas serta beberapa ulama juga telah menggunakan ayat tersebut sebagai dalil yang membolehkan memakan janin binatang yang sudah mati dalam perut induknya jika induk tersebut telah disembelih. Dan mengenai hal itu telah ditegaskan oleh sebuah hadits dalam kitab Sunan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Abu Sa’id ia berkata: Kami bertanya: “Ya Rasulallah, kami menyembelih unta betina dan menyembelih sapi atau kambing, yang di dalam perutnya terdapat janin anaknya, apakah kami harus membuangnya ataukah kami boleh memakakannya?” Maka beliau menjawab: “Jika kalian mau, makanlah janin tersebut karena penyembelihannya [kehalalannya] terletak pada penyembelihan [kehalalan] induknya.”
(imam at-Tirmidzi mengatakan, “Hadits tersebut adalah hadits hasan.”)

Firman-Nya: illa maa yutlaa ‘alaikum (“Kecuali yang akan dibacakan kepadamu.”) kecuali apa yang akan diberitahukan kepada kalian berupa pengharaman sebagian binatang tersebut dalam beberapa kondisi tertentu.”

Ghaira muhillish shaidi wa antum hurum (“Yaitu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.”) sebagian ulama mengatakan, “Kata ‘ghair’ adalah manshub karena kedudukannya sebagai hal [yang menerangkan keadaan]. Yang dimaksud dengan binatang ternak tersebut adalah binatang yang jinak; terdiri dari unta, sapi dan kambing; dan yang termasuk dalam kategori liar, misalnya kijang, sapi liar, dan keledai. Dari kelompok binatang jinak itu dikecualikan binatang seperti yang dijelaskan di depan, dan dari kelompok binatang liar dikecualikan binatang yang diburu ketika dalam keadaan berihram.”

Ada juga yang mengatakan: “Maksudnya adalah, ‘Kami [Allah] halalkan bagi kamu semua binatang ternak, kecuali bagi orang yang diberlakukan baginya pengharaman berburu ketika sedang berihram.’” Hal itu didasarkan pada firman-Nya yang artinya:
“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (al-Baqarah: 173) artinya, Kami halalkan bangkai binatang bagi orang yang benar-benar terpaksa, dengan syarat ia tidak menginginkan hal itu dan tidak pula berlebihan. Demikian halnya disini, sebagaimana telah Kami halalkan semua binatang ternak dalam segala keadaan, lalu mereka diharamkan berburu ketika sedang berihram karena Allah telah menetapkan hal itu, dan Dia Mahabijaksana dalam segala perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu Allah berfirman: innallaaHa yahkumu maa yuriid (“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”)

Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuhilluu sya’aa-irallaaHi (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah.”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan hal ini adalah manasik haji.”
Ada juga yang berpendapat: “Yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah adalah semua yang diharamkan-Nya.” artinya janganlah kalian menghalalkan semua yang diharamkan Allah ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: wa lasy-syaHral haraama (“Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.”) yang dimaksud dengan hal itu adalah memberikan penghormatan dan mengakui keagungannya serta meninggalkan semua yang dilarang Allah Ta’ala (lihat surat al-Baqarah dan at-Taubah).

Firman-Nya: wa lal Hadya wa lal qalaa-ida (“[dan] jangan [mengganggu] binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qalaaid.”) maksudnya janganlah sampai kalian tidak berkorban ke Baitul Haram karena dalam berkurban itu terdapat nilai pengagungan terhadap syiar-syiar Allah. Jangan sampai pula kalian tidak mengikatkan tali pada lehernya untuk membedakan dengan hewan lainnya, dan untuk diketahui bahwa hewan kurban itu merupakan persembahan untuk Allah sehingga ia terhindar dari gangguan orang yang hendak mencelakainya. Dan supaya orang yang melihatnya tergerak hatinya untuk berkurban juga. Sebab, sesungguhnya orang yang menyeru untuk berkurban akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji Rasulullah saw. menginap di Dzul Hulaifah, yaitu lembah di al-‘Aqiq, maka pada pagi harinya beliau mendatangi [menggilir] kesembilan istrinya. Kemudian beliau mandi dan mengenakan wangi-wangian, lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Lalu menandai hewan kurbannya dan memberikan kalung pada hewan tersebut. Kemudian beliau mengerjakan ibadah haji dan umrah. Hewan yang menjadi kurbannya adalah unta yang jumlahnya enam puluh ekor lebih, yang berbadan paling bagus dan berwarna paling indah. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Demikianlah [perintah Allah]. Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)

Sebagian ulama salaf mengatakan: “Pengagungan syiar-syiar Allah adalah dengan mengurbankan hewan yang paling bagus dan paling gemuk.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Rasulullah saw. menyuruh kami supaya memeriksa mata dan telinga [hewan kurban].” (HR Para penulis kitab as-Sunan).

Mengenai firman Allah: wa lal qalaa-ida (“Dan [jangan mengganggu] binatang-binatang qalaaid.”) Muqatil bin Hayyan mengatakan: “Janganlah kalian melanggarnya. Dahulu orang-orang jahiliyah jika pergi meninggalkan negeri mereka pada bulan-bulan haram, mengalungi diri dengan bulu unta dan bulu kambing. Sementara orang-orang musyrik Makkah mengalungi diri dengan kulit pohon, lalu dengan kulit itu mereka melindungi diri.” Demikian yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim. Kemudian ia mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, “Dari surah al-Maa-idah ini ada dua ayat yang dinasakh, yaitu ayat qalaaid dan firman-Nya: fa in jaa-uuka fahkum bainaHum au a’ridl ‘anHum (“Jika mereka [orang-orang Yahudi] datang kepadamu [untuk meminta keputusan], maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.”) (al-Maa-idah: 42)

Al-Mundzir bin Syadzan menceritakan kepada kami, dari Ibnu ‘Auf, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada al-Hasan, ‘Apakah ada ayat dalam surah al-Maa-idah yang dinasakh?’ ia menjawab, ‘Tidak.’”

Firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama yabtaghuuna fadl-lam mirrabbiHim wa ridl-waanan (“Dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) maksudnya janganlah kalian membolehkan penyerangan terhadap orang-orang yang hendak menuju ke Baitullah, yaitu suatu tempat dimana orang memasukinya akan menjadi aman. Demikian pula orang-orang yang hendak datang ke Baitullah dengan tujuan hendak mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, maka janganlah kalian merintangi dan menghalang-halangi mereka.

Mengenai firman-Nya: yabtaghuuna fadl-lam mir rabbiHim (“Mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) Mujahid, Atha’ Abul ‘Aliyah, Mutharrif bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair, Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyan, Qatadah dan beberapa ulama lainnya berkata: “Yang dimaksud dengan hal itu adalah perniagaan.” Yang demikian itu adalah sama seperti yang dikemukakan dalam pembahasan firman-Nya: laisa ‘alaikum junaahun an tabtaghuu fadl-lam mir rabbikum (“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia [rizky dari perniagaan] dari Rabbmu.”) (al-Baqarah: 198)

Mengenai firman-Nya: wa ridl-waanan (“Dan keridlaan [dari Rabbnya].”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Mereka mencari keridlaan Allah melalui haji yang mereka kerjakan.”

‘Ikrimah, as-Suddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan: “Ayat ini turun berkenaan dengan al-Hutham bin Hindi al-Bakri. Al-Hutham pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah [merampoknya], pada tahun berikutnya ia melaksanakan umrah ke Baitullah. Kemudian sebagian shahabat bermaksud menghalangi jalannya menuju Baitullah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama yabtaghuuna fadl-lam mir rabbiHim wa ridl-waanan (“Dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) Ibnu Jarir mengisahkan tentang adanya ijma’ bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai perlindungan meskipun ia mendatangi Baitullah atau Baitul Maqdis. Dan hukum ini telah dimansukh [dihapuskan] dari mereka. wallaaHu a’lam.

Adapun orang yang mendatangi Baitullah dengan maksud untuk berbuat ingkar dan kemusyrikan serta kekufuran di sana, maka ia tidak diperbolehkan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)

Oleh karena itu, pada tahun ke-9 Hijrah Rasulullah saw. mengirim utusan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq ra., sebagai Amirul hajj [pemimpin rombongan haji] pada tahun itu, dan menyuruh Ali bin Abi Thalib supaya menyerukan kepada manusia atas nama Rasulullah saw. tentang “Bara’ah,” (pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya). memberitahukan bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik tidak boleh mengerjakan haji, dan tidak boleh berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.

Mengenai firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama (“Dan janganlah [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, [ia berkata]: “Yakni orang-orang yang berangkat menuju Baitullah.”

Sebelumnya orang-orang mukmin dan juga orang-orang musyrik sama-sama mengerjakan ibadah haji, lalu Allah melarang orang-orang Mukmin menghalang-halangi siapa saja, baik Mukmin maupun kafir dari Baitullah. Setelah itu Allah menurunkan firman-Nya yang artinya: “sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28)
“Tidak pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masji-masjid Allah.” (at-Taubah: 17)
“Hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saja yang memakmurkan masjid-masjid Allah.” (at-Taubah: 18)
Dengan demikian, orang-orang musyrik dilarang dari memakmurkan Masjidil haram.

Firman-Nya: wa idzaa halaltum fash-thaaduu (“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.”) maksudnya jika telah usai mengerjakan ibadah ihram dan bertahalul, maka Kami [Allah] membolehkan bagi kalian berburu, yang mana hal itu sebelumnya adalah haram bagi kalian ketika kalian sedang mengerjakan ihram. Perintah tersebut adalah setelah adanya larangan, dan yang benar setelah adanya penyelidikan bahwa kembalinya hukum adalah kepada keadaan semula sebelum adanya larangan. Jika hukum itu bersifat wajib, ia kembali pada wajib; jika sunnah kembali pada sunnah; jika bersifat mubah ia kembali pada mubah. Orang yang berpendapat bahwa hukum mubah itu akan kembali menjadi wajib berarti bertolak belakang dengan banyak ayat-ayat al-Qur’an. Adapun orang yang berpendapat bahwa ia akan kembali menjadi mubah, maka ia dibantah oleh ayat-ayat lain. Dan yang mengatur semua dalil itu adalah apa yang telah disebutkan, sebagaimana yang menjadi pilihan sebagian ulama ushulul fiqih. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: walaa yajrimannakum syana-aanu qaumin an shadduukum ‘anil masjidil haraami an ta’taduu (“Dan janganlah sekali-sekali kebencian[mu] kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram mendorong kalian berbuat aniaya [kepada mereka].”)

Di antara para qurra (Qurra yang tujuh, selain Ibnu Katsir dan Abu ‘Amir [Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya: “in”) yang membaca “an shadduukum” dengan harakat fathah di atas hamzah [yaitu “an”], maknanya jelas, yaitu janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum yang telah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram –dan itu terjadi pada tahun Hudaibiyah- menjadikan kalian menghalang-halangi mereka pergi ke Masjidil Haram. Sehingga dengan demikian kalian telah melampaui batas dalam memberlakukan hukum Allah kepada mereka, yang karenanya kalian telah menuntut balas kepada mereka secara dhalim dan penuh rasa permusuhan. Tetapi berlakukanlah hukum sesuai yang diperintahkan Allah kepada setiap orang secara adil. Ayat ini adalah sebagaimana ayat yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu firman-Nya:

Wa laa yajrimannakum syana-aanu qaumin ‘alaa alaa ta’diluu. I’diluu Huwa aqrabu lit taqwaa (“Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”) (al-Maa-idah: 8). Maksudnya, janganlah kebencian pada suatu kaum menjadikan kalian berlaku tidak adil. Karena sesungguhnya berbuat adil itu wajib atas setiap orang lain dalam kondisi apapun. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Selama engkau diperlakukan orang yang dhalim terhadap dirimu sesuai dengan ketentuan Allah dalam urusannya dan engkau pun berlaku adil terhadapnya, maka akan tegaklah langit dan bumi ini.”

Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Rasulullah saw. pernah berada di Hudaibiyah bersama shahabat beliau ketika dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari Baitullah, yang dilakukan keras terhadap mereka. lalu ada sekelompok kaum musyrikin dari penduduk daerah timur yang melewati mereka yang hendak menunaikan umrah, maka para shahbat Nabi berkata: “Kami akan menghalangi mereka sebagaimana shahabat-shahabat mereka telah menghalangi kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Asy-syana-aanu; berarti kebencian. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya.

Firman Allah: wa ta’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa wa laa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaani (“dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”) maknanya Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa tolong menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut dengan al-birru [kebajikan]; serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah dinamakan dengan at-taqwa. Allah swt. melarang mereka tolong menolong dalam hal kebathilan, berbuat dosa dan mengerjakan hal-hal yang haram.

Ibnu Jarir berkata: “Al-itsmu [dosa] berarti meninggalkan apa yang oleh Allah perintahkan untuk mengerjakannya, sedangkan al’udwan [permusuhan] berarti melanggar apa yang telah ditetapkan Allah dalam urusan agama dan melanggar apa yang telah diwajibkan-Nya kepada kalian dan kepada orang lain.”

Imam Ahmad berkata, dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik yang dalam keadaan berbuat dhalim atau didhalimi.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, aku akan menolong orang yang didhalimi, lalu bagaimana aku akan menolongnya jika ia dalam keadaan berbuat dhalim ?” Beliau menjawab: “Menghindarkan dan melarangnya dari kedhaliman, itulah bentuk pertolongan baginya.”
(Hadits yang senanda juga diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri dari Husyaim. Muslim juga mengeluarkannya dari Anas)

Imam Ahmad berkata, dari salah seorang Syaikh dari kalangan shahabat Nabi saw. beliau bersabda: “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia lainnya dan bersabar atas tindakan yang menyakitkan diri mereka adalah lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas apa yang menyakitkan dari mereka.”
(Demikian hadits yang diriwaytkan oleh at-Tirmidzi dari hadits Syu’bah dari Ibnu Majah, melalui jalan Ishaq bin Yusuf. Keduanya dari al-A’masy).

Sehubungan dengan itu, Ibnu Katsir katakan bahwa di dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala yang diterima oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka [orang-orang yang mengikuti petunjuk itu] sedikitpun. Barangsiapa menyeru pada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, dan hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka [orang-orang yang mengikutinya].” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitabnya, Sunan Abi Dawud bab “as-Sunnah”)

Bersambung ke bagian 2

2 Tanggapan to “Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 1-2 (1)”

  1. abu ubaidah al ISLAMiy 28 Oktober 2017 pada 12.52 #

    Tanggal lahir TIDAK mempengaruhi sifat
    Yg berkuasa membuat sifat hanya ALLAH

  2. Dery 13 November 2018 pada 12.38 #

    Assalamu’alaikum ustadz,,terima kasih atas penjelasan tafsirnya,,cm ada yg ingin saya tanyakan,mohon maaf ustadz,,sya mau tanya,,pas di ayat”tolong menolong lah kamu dalam kebaikkan”,nah makna” kamu “di sini,apakah juga termasuk kaum jin,apa cuma manusianya saja,,dan makna ayat ini kn,Allah memerintahkan hamba-hamba Nya yg beriman untk senantiasa tolong menolong dalam kebaikan,, “Hamba-hamba Nya”,sedangkan dari bangsa jin juga ada yang beriman,,bagaimana penjelasannya akan hal ini ustadz,,atas jawabannya saya ucapkan terima kasih,assalamu’alaikum,,wr wb

Tinggalkan komentar