Tag Archives: 184

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-A’raaf ayat 184

6 Des

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-A’raaf (Tempat Tertinggi)
Surah Makkiyyah; surah ke 7: 206 ayat

tulisan arab alquran surat al a'raaf ayat 184“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwasanya teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.” (QS. al-A’raaf: 184)

Allah berfirman: a walam yatafakkaruu (“Apakah mereka tidak memikirkan.”) Yaitu, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami; maa bishaahibiHim (“Bahwa teman mereka.”) Yakni, Muhammad; min jinnatin (“tidak berpenyakit gila”) Maksudnya, tidak mengidap penyakit gila, justru ia adalah Rasul Allah yang sebenarnya, yang menyeru kepada kebenaran.

In Huwa illaa nadziirum mubiin (“[Muhammad itu] tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi Pemberi penjelasan.”) Maksudnya, hal itu sudah jelas bagi orang-orang yang mempunyai hati dan akal yang berfungsi dengan baik. Dan yang dimaksud dengan itu adalah, sebagaimana yang difirmankan Allah yang artinya: “Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.” (QS. Takwiir: 22)

Maksud firman Allah tersebut, sesungguhnya yang Aku minta dari kalian adalah, hendaklah kalian melaksanakan (perintah Allah itu) dengan ikhlas, tanpa sikap fanatik dan keras kepala, baik berdua atau sendiri, berkelompok atau masing-masing. Kemudian berpikirlah tentang orang yang datang kepada kalian dengan membawa risalah dari Allah, apakah ada padanya ketidakwarasan atau tidak. Jika kalian telah melakukan hal itu, niscaya akan tampak oleh kalian, bahwa ia adalah Rasul Allah yang sebenar-benarnya.

Qatadah bin Di’amah mengatakan, disebutkan kepada kami bahwa Rasulullah saw berada di Shafa, lalu beliau memanggil suku Quraisy, beliau memanggilnya satu-satu: “Hai bani fulan, hai bani fulan.” Dan beliau peringatkan mereka dari siksa dan hukuman-hukuman Allah. Kemudian seorang di antara mereka berkata: “Sesungguhnya teman kalian ini adalah gila, ia terus-menerus bicara sampai pagi.” Lalu Allah menurunkan firman: a walam yatafakkaruu In Huwa illaa nadziirum mubiin (“Apakah [mereka lalai], dan tidak memikirkan bahwa teman mereka [Muhammad] tidak berpenyakit gila. [Muhammad itu] tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.”)

&

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 183-184

6 Apr

Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah
Surat Madaniyyah; Surat Ke-2 : 286 ayat

tulisan arab surat albaqarah ayat 183-184“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblab baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada bari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Allah menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa. Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela.

Allah Ta’ala juga menyebutkan, sebagaimana Dia telah mewajibkan puasa itu kepada mereka, Dia juga telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka, karena itu ada suri teladan bagi mereka dalam hal ini. Maka hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban ini dengan lebih sempurna daripada yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maa-idah: 48)

Oleh karena itu dalam surat al-Baqarah ini, Allah berfirman: yaa ayyuHal ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum la’allakum tattaquun (“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa.”) Karena puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit jalan syaitan, maka dalam hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim ditegaskan, bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaldah ia berpuasa karena puasa merupakan penawar baginya.”

Setelah itu Allah menjelaskan waktu puasa. Puasa itu tidak dilakukan setiap hari supaya jiwa manusia ini tidak merasa keberatan sehingga lemah dalam menanggungnya dan menunaikannya. Tetapi puasa itu diwajibkan hanya pada hari-hari tertentu saja.

Pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari pada setiap bulan. Kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu bulan penuh, yaitu pada bulan Ramadhan, sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.

Diriwayatkan dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini masih tetap disyari’atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh as. sampai Allah menasakhnya dengan puasa Ramadhan.

Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya; Dengan diturunkannya ayat: kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum (“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelummu,”) puasa itu diwajibkan kepada mereka, jika salah seorang di antara mereka mengerjakan shalat isya’ kemudian tidur, diharamkan baginya makan, minum, dan (menyetubuhi) istrinya sampai waktu malam lagi seperti itu.

Ibnu Abi Hatim berkata, hal senada juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah, Abdur Rahman bin Abi Laila, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, Rabi’ bin Anas, dan Atha’ al-Khurasani.

Mengenai firman-Nya: kutiba ‘alal ladziina min qablikum (“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu,”) Atha’ al-Khurasani meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Yang dimaksudkan yaitu Ahlul Kitab.”

Selanjutnya Allah Ta ala menjelaskan hukum puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. Dia berfirman: fa man kaana minkum mariidlan au ‘alaa safarin fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu dari hari-hari yang lain.”) Artinya, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena hal itu merupakan kesulitan bagi mereka. Mereka boleh tidak berpuasa tetapi harus mengqadhanya pada hari-hari yang lain. Adapun orang yang sehat dan tidak berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua pilihan; berpuasa atau memberikan makan. Jika mau ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka, tetapi harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada memberi makan. Demikian menurut pendapat Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan ulama salaf lainnya.

Oleh karena itu Allah swt. berfirman: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin faman tathawwa’a khairan fa Huwa khairul laHu wa an tashuumuu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan wajib bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] untuk membayar fzdyah, [yaitu]: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”)

Demikian pula yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”) Ketika itu, bagi siapa yang hendak berbuka (tidak berpuasa), maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan manasakhnya.

Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa hal tersebut sudah dinasakh.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca ayat: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”) Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin.” Demikian pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas.

Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat: faman syaHida minkumusy syaHra falsamumHu (“Barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.”) Sedangkan orang tua renta yang tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, maka diperbolehkan baginya berbuka [tidak berpuasa] dan tidak perlu menggadhanya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu. Tetapi, apakah jika ia berbuka [tidak berpuasa] juga berkewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin, jika ia kaya?

Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada orang miskin, karena usianya ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga ia tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya bayi, karena Allah swt. tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i.

Sedangkan pendapat kedua dan merupakan pendapat yang shahih dan yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf lainnya. Pendapat ini menjadi pilihan Imam al-Bukhari, ia mengatakan, mengenai orang yang sudah tua jika ia tidak mampu menjalankan puasa, maka ia harus membayar fidyah. Karena Anas ketika telah tua pernah setahun atau dua tahun ia tidak berpuasa dan memberi makan roti dan daging kepada seseorang miskin setiap hari.

Atsar mu’allaq yang diriwayatkan al-Bukhari telah disebutkan sanadnya oleh al-Hafiz Abu Ya’la al-Mushili dalam musnadnya, dari Ayub bin Abu Tamimah, katanya: “Anas tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, lalu ia membuatkan bubur roti satu mangkok besar, kemudian mengundang tiga puluh orang miskin dan memberinya makan.” Demikian diriwayatkan oleh Abd bin Humaid, dari Ayub. Hal senada diriwayatkan pula oleh Abd, dari enam sahabat Anas, dari Anas.

Termasuk dalam pengertian ini adalah wanita hamil dan yang menyusui jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan anak mereka. Dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya (wanita hamil dan yang menyusui) boleh tidak berpuasa, tetapi membayar fidyah dan mengqadha puasanya.

Dan ada pula yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha. Ada juga yang berpendapat, wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui itu berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Tetapi ada juga yang berpendapat kedua wanita itu boleh berbuka dengan tanpa membayar fidyah dan tidak juga mengqadhanya.

Alhamdulillah, masalah ini telah kami uraikan secara panjang lebar dalam kitab Shiyam yang kami tulis secara khusus.

&

Tafsir Ibnu Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 181-184

18 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah Ali ‘Imraan (Keluarga ‘Imraan)
Surah Madaniyyah; surah ke 3: 200 ayat

tulisan arab alquran surat ali imraan ayat 181-184“Sekali-kali Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya.’ Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-Nabi tanpa alasan yang benar dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): ‘Rasakanlah olehmu adzab yang membakar.” (QS. Ali ‘Imraan: 181) (Adzab) yang demikian itu adalah disebabkan perbuatan tanganmu sendiri dan bahwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya. (QS. Ali ‘Imraan: 182) (Yaitu) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada seseorang Rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api.” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang Rasul sebelumku, membawa keterangan-keterangan yang nyata dan membawa apa yang kamu sebutkan, maka mengapa kamu membunuh mereka jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Ali ‘Imraan: 183) Jika mereka mendustakankamu, maka sesungguhnya Rasul-Rasul sebelum kamupun telah didustakan (pula), mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.” (QS. Ali ‘Imraan: 184)

Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ketika firman Allah berikut ini turun: man dzalladziina yuqridlullaaHa qardlan hasanan fayudlaa’ifu laHuu adl-‘aafan katsiiran (“Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [menakahkan hartanya di jalan Allah], maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”) Maka orang-orang Yahudi berkata, “Hai Muhammad, apakah Rabb-mu itu miskin, sehingga Dia masih mencari pinjaman dari hamba-hamba-Nya?” Maka Allah pun menurunkan firman-Nya: laqad sami’allaaHu qaulal ladziina qaaluu innallaaHa faaqirun wa nahnu aghniyaa-u (“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya.’”)

Dan firman-Nya, sanaktubu maa qaaluu (“Kami akan mencatat perkataan mereka itu,”) hal ini merupakan ancaman. Oleh karena itu Allah menyandingkannya dengan firman-Nya: wa qatla Humul ambiyaa-a bighairi haqqi (“Dan perbuatan mereka membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar.”) Artinya, demikian itulah ucapan mereka mengenai Allah dan inilah perlakuan mereka terhadap para Rasul-Nya. Dan atas perbuatan mereka itu, Allah akan memberikan balasan yang paling buruk.

Oleh karena itu Allah berfirman yang artinya, “Dan kami akan mengatakan (kepada mereka), Rasakanlah olehmu adzab yang membakar. (Adzab) yang demikian itu disebabkan perbuatan tanganmu sendiri dan babwasanya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Nya.” Maksudnya, apa yang dikatakan kepada mereka itu merupakan teguran, celaan, penghinaan dan ejekan.

Firman-Nya yang artinya, “Yaitu orang-orang (Yahudi) yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada seseorang Rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami kurban yang dimakan api.” Allah berfirman dalam mendustakan mereka yang menganggap bahwa Allah telah mengambil janji dari mereka dalam kitab-kitab mereka, untuk tidak beriman kepada seorang Rasul pun, sehingga terjadi mukjizat yaitu jika ada orang dari umatnya bersedekah, lalu sedekahnya itu diterima, maka akan turun api dari langit yang melalap sedekah tersebut. Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, al-Hasan al-Bashri dan lain-lainnya.

Allah berfirman, qul qad jaa-akum rusulum min qablii bil bayyinaati (“Katakanlah, ‘Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang Rasul sebelumku, membawa keterangan-keterangan yang nyata.’”) Yakni dengan membawa berbagai hujjah dan bukti,” wa bil ladzii qultum (“Dan membawa apa yang kamu sebutkan.”) Artinya, dengan api yang melalap kurban-kurban yang diterima. Fa lima qataltumuuHum (“Maka mengapa kamu membunuh mereka.”) Artinya, lalu mengapa kalian menyambut mereka dengan kebohongan, penentangan dan keengganan, bahkan pembunuhan terhadap mereka; in kuntum shaadiqiin (“Jika kamu orang-orang yangbenar.”) Maksud-nya, jika kalian mengikuti kebenaran dan tunduk kepada para Rasul.

Setelah itu Allah menghibur Rasul-Nya, Muhammad saw., Firman-Nya: fa in kadz-dzabuuka faqad kudz-dziba rusulum min qablika jaa-uu bil bayyinaati waz-zuburi wal kitaabil muniir (“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya Rasul-Rasul sebelum kamu pun telah didustakan [pula], mereka membawa mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna,”) Artinya, janganlah kedustaan mereka terhadapmu itu melemahkanmu, karena telah ada bagimu teladan dari Rasul-Rasul sebelummu, di mana mereka telah didustakan, padahal mereka datang dengan membawa penjelasan yaitu hujjah dan bukti yang pasti.

Waz zuburi (“Dan Zabur,”) yaitu kitab yang diturunkan dari langit sebagaimana halnya Shuhuf (kitab-kitab) yang diturunkan kepada para Rasul, wal kitaabil muniir (“Dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna”) yaitu yang benar, jelas lagi nyata.

&