Tag Archives: nikah

Ijab Qabul Bahasa Arab

29 Jul

Ijab Qabul Bahasa Arab
Akad Nikah dengan Bahasa Arab dan Artinya

ijab qobul bahasa arab dan artinya

Ijab Qabul Bahasa Arab dan Artinya

11 Jul

Ijab Qabul Bahasa Arab dan Artinya
Kalimat yang Diucapkan dalam Akad Nikah

ijab qobul bahasa arab dan artinya

&

Nikah

13 Mei

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan menikah dan khawatir terjerumus dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah lebih utama daripada haji, syalat, jihad dan puasa sunnah. Demikian menurut kesepakatan para imam Madzab.

Bagi orang yang sudah sangat berkeinginan untuk menikah dan mempunyai persiapan mustahab untuk melaksanakan nikah. Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi’i. Dan Hambali berpendapat: orang yang sangat berkeinginan untuk menikah dan khawatir berbuat zina wajib menikah. Adapun menurut pendapat Hanafi: dalam keadaan apapun nikah adalah mustahab, dan menikah lebih utama daripada tidak menikah untuk beribadah.

Dawud berpendapat: diwajibkan untuk menikah secara mutlak atas laki-laki dan perempuan seumur hidup sekali.

Apabila seseorang hendak menikahi seorang perempuan, maka disunnahkan melihat wajah dan kedua telapak tangan perempuan itu. Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Menurut Dawud, ia diperbolehkan melihat seluruh tubuhnya kecuali faraj dan dubur.
Pendapat yang paling shahih dalam madzab Syafi’i adalah dibolehkan melihat kemaluan istrinya dan budak perempuannya, demikian juga sebaliknya. Seperti ini pula pendapat Hanafi, Maliki, Hambali.

Menurut pendapat umumnya fuqaha: tidak sah suatu pernikahan melainkan oleh orang yang sudah diperbolehkan mengendalikan urusannya. Hanafi berpendapat: sah pernikahan yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz dan safih [belum dapat mengendalikan urusannya] jika dibenarkan oleh walinya.

Wali selain ayah diperbolehkan menikahkan anak yatim yang belum baligh jika orang itu adalah pemeliharanya, seperti ayahnya sendiri. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, Hambali. Sedangkan Hanafi menolak pendapat demikian.

Tidak sah menikahkan budak tanpa izin tuannya. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Dan Maliki berpendapat: sah menikahkannya, dan tuannya boleh membatalkannya. Hanafi berpendapat: sahnya pernikahan budak tergantung pada izin yang diberikan tuannya.

Pernikahan tidak sah kecuali ada wali laki-laki. Oleh kerena itu jika seorang wanita mengakadkan dirinya sendiri untuk menikah maka pernikahannya tidak sah. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri dan boleh pula mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan dirinya jika ia telah dibolehkan menggunakan hartanya. Juga tidak boleh dihalang-halangi kecuali jika menikah dengan orang yang tidak sekufu dengannya. Jika demikian maka walinya boleh menghalangi pernikahannya. Maliki berpendapat: jika perempuan itu mempunyai kemuliaan [bangsawan] dan cantik serta digemari orang maka pernikahannya tidak sah, kecuali ada wali. Sedangkan jika keadaannya tidak demikian maka ia boleh dinikahi orang lain yang bukan kerabat dengan kerelaan dirinya.

Dawud berpendapat: jika perempuan tersebut seorang gadis maka pernikahannya tidak sah tanpa wali. Sedangkan jika perempuan itu seorang janda maka sah pernikahannya meskipun tanpa wali.
Abu Tsawr dan Abu Yusuf mengatakan: sah pernikahan perempuan tersebut asalkan mendapat izin dari walinya.

Akan tetapi, jik ia menikah tanpa izin dari walinya, lalu keduanya mengadukan pernikahan itu kepada hakim yang bermadzab Hanafi, dan hakim menetapkan sahnya pernikahan tersebut, maka hakim yang bermadzab Syafi’i tidak boleh membatalkannya, kecuali menurut pendapat Abu Sa’id al-Ishtakhri.

Jika ia dicampuri oleh suaminya sebelum hakim memutuskan hukumnya makak suaminya tidak dikenai had, kecuali menurut pendapat Abu Bakar ash-Shairafi yang menyatakan haramnya perbuatan tersebut sehingga ia dikenai had. Sedangkan jika ia menalaknya sebelum hakim memutuskan hukumnya maka talaknya tidak sah, kecuali menurut pendapat Abu Ishaq al-Mawarzi, demi untuk kehati-hatian [ihtiyath].

Perempuan yang berada di suatu tempat, yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam hukumnya. Pertama ia boleh menikahkan dirinya. Kedua, menyerahkan pernikahannya kepada orang lain yang beragama Islam.
Al-Mutadzhari berpendapat: masalah yang demikian tidak ada dalam ushul kami.

Abu Ishaq asy-Syirazi berpendapat: dalam masalah ini, boleh memilih hukum yang telah ditetapkan oleh seorang ahli faqih di antara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip bahwa diperbolehkan bertahkim dalam nikah.

Berwasiat untuk menikahkan seseorang dibolehkan, dan pernikahan yang dilaksanakan oleh orang penerima wasiat adalah lebih berhak. Demikian menurut Maliki. Menurut Hanafi: orang yang menikahkan adalah hakim. Syafi’i berpendapat: tidak ada kekuasaan bagi orang penerima wasiat untuk menikahkan selama masih ada wali.
Dibolehkan mengutus wakil untuk menikahkan. Abu Tsawr berpendapat: tidak boleh mengutus wakil dalam masalah pernikahan.

Kakek dibolehkan menjadi wali daripada saudara laki-laki. Maliki berpendapat: saudara laki-laki lebih berhak daripada kakek.
Saudara lebih utama menjadi wali daripada ayah, saudara laki-laki kandung lebih utama daripada saudara laki-laki seayah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya. Maliki berpendapat: antara saudara sekandung dan saudara seayah sama saja.

Menurut pendapat Syafi’i, anak tidak boleh menjadi wali atas ibunya. Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: sah. Bahkan Maliki dan Abu Yusuf mendahulukan anak atas bapak. Hambali berpendapat: ayah lebih utama daripada anak. Adapun mengenai mana yang lebih utama antara anak dan kakek, dari Hambali ada dua riwayat dan seperti itu pula pendapat Hanafi.

Tidak dibolehkan seorang yang fasik menjadi wali. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Hambali. Sebagian shahabatnya berpendapat: jika yang menjadi wali adalah ayah dan kekeknya yang fasik maka tidak sah perwaliannya. Sedangkan jika orang selain keduanya, yang masih mempunyai hubungan nasab, maka diperbolehkan meskipun fasik.
Hanafi dan Maliki: kefasikan tidak menghalangi perwalian.

Apabila wali yang paling dekat [yang lebih berhak menjadi wali] tempatnya jauh, yaitu di suatu tempat yang jauhnya sama dengan jarak bolehnya mengerjakan shalat qashar, datang kepadanya maka yang menikahkan adalah hakim, bukan wali yang jauh dalam urutan mereka yang berhak menjadi wali. Demikian menurut pendapat Syafi’i.

Hanafi, Maliki, dan Hambali: jika jauhnya tidak dapat dijangkau dengan suatu perjalanan maka perwalian pindah kepada wali berikutnya. Sedangkan jika jauhnya dapat dijangkau dengan suatu perjalanan maka tidak boleh berpindah kepada wali berikutnya.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: jarak yang tidak dapat dijangkau adalah jarak yang jauhnya setahun perjalanan dengan unta.

Apabila wali bagi seorang gadis yang hendak menikah pergi jauh dan tidak diketahui berita dan tempatnya maka saudaranya menjadi wali. Hal ini dapat dibenarkan jika mendapat izin dari gadis tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Hanafi dan para shahabatnya. Sedangkan Syafi’i tidak membolehkannya.

Bagi ayah dan kakek boleh menikahkan anaknya atau cucunya yang masih gadis tanpa perlu meminta izin kepada gadis itu, baik gadis itu sudah dewasa maupun masih kecil. Demikian menurut pendapat Syafi’i dan Maliki dalam masalah ayah saja. ini pula pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya dalam masalah kakek.

Hanafi berpendapat, menikahkan gadis yang sudah baligh dan berakal tanpa ada kerelaannya maka tidak dibolehkan bagi siapapun. Menurut pendapat Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya: kakek tidak mempunyai hak memaksa. Selain ayah tidak boleh menikahkan perempuan masih kecil hingga ia baligh dan memberi izin. Hanafi berpendapat: bagi semua ‘ashabah diperbolehkan untuk menikahkannya, tetapi gadis mempunyai hak pilih jika sudah dewasa antara meneruskan dan membatalkan pernikahan tersebut.
Abu Yusuf berpendapat: akad mereka tetap sah.

Seorang gadis yang hilang kegadisannya karena suatu persetubuhan, meskipun persetubuhan yang haram, tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya, meskipun ia telah dewasa. Jika ia masih kecil, hendaknya ditunggu hingga dewasa dan ia pun mengizinkannya. Berdasarkan inilah jika keperawanan hilang sebelum ia dewasa maka ia tidak boleh dinikahkan hingga menjadi dewasa, baik yang menikahkannya itu bapaknya maupun lainnya. Demikian menurut pendapat Syafi’i.

Hambali berpendapat: jika ia berumur sembilan tahun maka sah izinnya, baik yang ada hubungannya dengan pernikahan maupun dengan yang lainnya.
Seseorang yang menjadi wali bagi seorang perempuan, baik dengan sebab hubungan nasab, perwalian, maupun berdasarkan hukum, dibolehkan menikahkan perempuan tersebut untuk dirinya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Kebolehan itu bersifat mutlak.
Hambali berpendapat: hendaknya diwakilkan kepada orang lain agar ia tidak menjadi orang yang melakukan ijab dan qabul sekaligus. Syafi’i berpendapat: ia tidak boleh melakukan qabul untuk dirinya sendiri maupun diwakilkan kepada orang lain, tetapi dinikahkan oleh hakim lainnya, walaupun wakilnya.

Tetapi sebagian shahabat Syafi’i membolehkannya. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Yahya al-Balkhi, seorang qadhi [hakim] di Damaskus, yaitu ia pernah menikah dengan seorang perempuan yang berada dalam perwaliannya.

Seseorang yang mempunyai anak perempuan yang masih kecil diperbolehkan mewakilkan kepada calon menantunya untuk menikahkan anak terebut kepadanya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Maliki.

Apabila wali dan perempuan yang akan dinikahkan sepakat untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, maka akad nikahnya adalah sah. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Syafi’i.
Hambali: tidak sah.

Apabila salah seorang wali menikahkan seorang perempuan yang berada di bawah perwaliannya, dengan seizin perempuan tersebut, dengan seorang laki-laki yang tidak sepadan, maka tidak sah akad nikahnya. Demikian pendapat Syafi’i. Dan Maliki berpendapat: baik para wali setuju atau tidak, sama saja. akadnya tetap sah. Apabila perempuan tersebut mengizinkan untuk dinikahkan dengan seorang Muslim maka tidak seorang pun di antara para walinya yang berhak mencegahnya. Hanafi berpendapat: pernikahannya tetap sah.

Menurut Hanafi dan Maliki, apabila seseorang memerdekakan seorang budak, dan budak itu hendak menikah, maka dibolehkan bekas tuan itu menjadi wali dalam pernikahannya.

Menurut Syafi’i, kekufuan dalam pernikahan ada lima: agama, nasab, pekerjaan, merdeka, bebas dari cacat.
Sebagian sahabat Syafi’i mensyaratkan kekayaan.

Pendapat Hanafi juga seperti Syafi’i. Namun Abu Hanifah tidak mensyaratkan bebas dari cacat. Sedangkan Muhammad bin al-Hasan tidak mensyaratkan agama dalam masalah kekufuan. Maliki berpendapat: sekufu hanya dalam agama.

Ibnu Abi Laila berpendapat: Kekufuan adalah sama dalam agama, nasab dan kekayaan. Seperti ini juga sebuah riwayat dari Hanafi. Abu Yusuf mengatakan bahwa semua itu ditambah dengan pekerjaan. Ini pula satu riwayat lain Hanafi.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Syafi’i. Kedua Hambali mensyaratkan agama dan pekerjaan saja dalam kekufuan. Adapun masalah perbedaan usia, para shahabat Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan yang paling shahih: laki-laki tua tidak sah menikah dengan perempuan muda.

Apakah ketidaksekufuan dapat menyebabkan pernikahan menjadi batal? Hanafi berkata: para wali wajib menghalanginya. Maliki: pernikahannya menjadi batal.
Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat, dan yang paling shahih adalah membatalkannya, kecuali jika pernikahan tersebut mendapat ridla dari istri dan para walinya.
Dari Hambali diperoleh dua riwayat, dan yang paling jelas adalah batal.

Apabila seseorang perempuan minta dinikahkan dengan seorang laki-laki sekufu dengan mahar yang kurang dari mahar mistl, maka wali wajib menikahkannya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, Hambali, Abu Yusuf, dan Muhammad bin la-Hasan. Hanafi berpendapat: tidak wajib menikahkannya.
Menikah dengan seseorang yang tidak sekufu dalam masalah nasab adalah tidak haram. Demikian kesepakatan para imam madzab.

Apabila ayah atau kakek menikahkan anak atau cucu yang masih kecil dengan mahar yang kurang dari mahar mitsl, maka hendaknya dipenuhi dengan mahar mitsl-nya. demikian juga ketika ia menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil dengan mahar yang lebih banyak dari mahar pada umumnya, maka hendaknya dibayar dengan mahar yang umum saja. demikian menurut Syafi’i.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: wajib dibayar dengan mahar sesuai dengan yang disebutkan.

Apabila wali yang dekat dalam urutan perwalian masih ada maka wali yang jauh tidak sah menikahkan. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Maliki berkata: pernikahan itu sah, kecuali jika yang dilangkahi adalah ayah yang mempunyai hak memaksa terhadap gadis. Demikian juga menerima wasiat, jika yang dilewati adalah mereka maka wali yang jauh tidak sah menikahkan.

Apabila seorang wanita dinikahkan oleh dua orang wali dengan seizinnya kepada dua orang laki-laki, dan diketahui mana yang lebih dahulu, maka pernikahan kedua adalah batal. Demikian menurut Syafi’i, Hanafi, dan Hambali.
Maliki berkata: jika telah dicampuri oleh laki-laki kedua, sedangkan ia tidak mengetahui adanya pernikahan pertama, maka pernikahan pertama batal dan pernikahan kedua sah. Jika tidak diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian maka pernikahannya batal.

Apabila seseorang berkata, “si fulan adalah istriku,” dan hal itu dibenarkan oleh perempuan tersebut, maka pernikahannya sah. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali.
Maliki berkata: pernikahan tidak dapat ditetapkan hingga terlihat berulang kali ia keluar masuk dari tempat tinggal perempuan tersebut, kecuali jika mereka dalam suatu perjalanan.

Pernikahan tidak sah kecuali ada saksi. Demikian menurut pendapat Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Maliki berkata: Pernikahan tetap sah meskipun tidak ada saksi. Namun Malik mewajibkan adanya pengumuman pernikahan. Dengan demikian, jika terjadi akad nikah secara rahasia dan disyaratkan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut menjadi batal. Demikian menurut pendapat Maliki.
Dalam hal ini menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali, syarat tidak diumumkan tidak merusak pernikahan tersebut asalkan akad nikah disaksikan dua saksi.

Pernikahan yang disaksikan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, atau oleh saksi yang fasik, maka hukumnya sah. Demikian menurut Hanafi. Menurut pendapat Syafi’i dan Hambali: pernikahan tidak sah jika tidak disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil.

Apabila seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan dzimmi maka pernikahan tersebut tidak sah, kecuali disaksikan oleh dua orang muslim. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dan Hanafi berkata: sah dengan disaksikan dua orang dzimmi saja.

Khutbah dalam pernikahan bukan merupakan syarat. Demikian menurut pendapat seluruh fuqaha, kecuali Dawud yang menyatakan bahwa khutbah nikah merupakan syarat, yaitu ketika akad, berdasarkan apa yang dikerjakan oleh Nabi saw.

Pernikahan tidak sah kecuali dengan menggunakan lafadz tazwij atau nikah. Demikian menurut Syafi’i dan Hambali. Menurut hanafi: pernikahan adalah sah dengan setiap lafadz yang menunjukkan pada memberi hak milik yang kekal selama hidup. Adapun, dalam menggunakan lafadz ijarah, Hanafi mempunyai dua pendapat.

Maliki berpendapat: pernikahan adalah sah dengan menggunakan selain lafadz tazwij atau nikah asalkan disebutkan maharnya.

Apabila seseorang mengatakan zawwajtu binti min fulan [aku nikahkan anak perempuanku dengan si fulan], kemudian sampai berita tersebut kepada orang yang telah disebutkan namanya, lalu orang itu menjawab, qabiltu an-nikah [kuterima nikah itu], maka pernikahan tersebut tidak sah. Demikian menurut pendapat umumnya para fuqaha. Abu Yusuf berpendapat: sah nikahnya.

Kalau orang tersebut mengatakan: zawwajtuka binti [aku nikahkan anakku denganmu], lalu orang itu menjawab: qabiltu [aku terima], maka Syafi’i berpendapat, dan pendapatnya yang paling shahih: tidak sah hingga orang itu mengatakan: qabiltu nikahaHaa; atau qabiltu tazwujaHaa [aku terima pernikahannya].

&