Arsip | 20.19

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 53-56

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 53-56“53. Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. 54. Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. 55. dari bumi (tanah) Itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain, 56. dan Sesungguhnya Kami telah perlihatkan kepadanya (Fir’aun) tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya. Maka ia mendustakan dan enggan (menerima kebenaran).” (ThaaHaa: 53-56)

Ini merupakan kelengkapan ucapan Musa yang disebutkan oleh Rabbnya ketika ia ditanya Fir’aun tentang Rabbnya. Maka Musa berkata, “Rabb [kami] adalah Rabb yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” Tetapi ucapannya itu dibantah oleh Fir’aun dengan pertanyaan tentang umat-umat terdahulu. Kemudian Musa memberikan bukti kepadanya, lalu dia mengatakan:

Alladzii ja’ala lakumul ardla maHdan (“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan.”) Menurut sebagian ahli qira-at, di baca yakni hamparan yang kalian tinggal, berdiri, dan tidurdi atasnya, serta melakukan perjalanan di atas permukaannya.
Wa salaka lakum fiiHaa subulan (“Dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan jalan,”) yakni, Dia telah membuatkan jalan bagi kalian, yang kalian dapat berjalan di permukaannya.

Wa anzala minas samaa-i maa-an fa akhrajnaa biHii azwaajam min nabaatin syattaa (“Dan menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”) Yakni, berbagai macam tumbuh-tumbuhan berupa tanam-tanaman dan buah-buahan, baik yang asam, manis, maupun pahit, dan berbagai macam lainnya.
Kuluu war’au an’aamakum (“Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu.”) Yakni, sesuatu bagi makanan kalian dan buah-buahan kalian serta sesuatu bagi binatang ternak kalian berupa makanannya yang hijau dan yang kering.
Inna fii dzaalika la-aayaati (“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah,”) yakni, bukti-bukti, hujjah-hujjah, dan argumen.
Li ulin nuHaa (“Bagi orang-orang yang berakal.”) Yakni, orang yang berakal sehat lagi lurus, bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, dan tidak ada Rabb kecuali hanya Dia.

minHaa khalaqnaakum wa fiiHaa nu’iidukum wa minHaa nukhrijukum taaratan ukhraa (“Dari bumi [tanah] itulah Kami menciptakanmu dan kepadanya Kami akan mengembalikanmu dan dari padanya Kami akan mengeluarkanmu pada kali yang lain.”) Yakni, dari bumi awal kejadian kalian, karena sesungguhnya ayah kalian, Adam as diciptakan dari tanah, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kalian. Atau dengan kata lain, dan kepadanya kalian akan kembali jika kalian mati dan mengalami kehancuran, darinya pula Kami akan mengeluarkan kalian pada kali yang lain.

“Yaitu pada hari Dia memanggilmu, lalu kamu mematiuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.” (QS. Al-Israa’: 52)

Dalam hadits yang terdapat dalam kitab Sunan, bahwa Rasulullah pernah menghadiri seorang jenazah, dan setelah si mayit dikubur, beliau mengambil segenggam tanah, lalu melemparkannya ke kuburan seraya bersabda: minHaa khalaqanaakum (“Dari bumi [tanah] itulah Kami menciptakanmu.”
kemudian beliau mengambil tanah yang lain, lalu beliau mengatakan: wa fiiHaa nu’iidukum (“Dan kepadanya Kami akan mengembalikanmu.”) Selanjutnya, beliau mengambil tanah yang lain seraya berkata: wa minHaa nukhrijukum taaratan ukhraa (“Dan darinya Kami akan mengeluarkanmu pada kali yang lain.”)

Firman-Nya: laqad arainaaHu aayaatinaa kullaHaa fakadzdzaba wa abaa (“Dan sesungguhnya Kami telah perlihatkan kepadanya [Fir’aun] tanda-tanda kekuasaan Kami semuanya, maka ia mendustakan dan enggan [menerima kebenaran].”) Yakni, Fir’aun, di mana telah jelas baginya berbagai macam hujjah, tanda-tanda kekuasaan, serta dalil-dalil, bahkan dia melihat dengan jelas, tetapi dia justru mendustakannya dan enggan menerimanya karena kufur dan ingkar serta melampaui batas. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: “Dan mereka mengingkarinya karena kedhaliman dan kesombongan mereka, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya.” (QS. An-Naml: 14).

bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 49-52

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 49-52“Berkata Fir’aun: ‘Maka siapakah Rabbmu berdua, hai Musa?’ (QS. 20:49) Musa berkata: ‘Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’ (QS. 20:50) Berkata Fir’aun: ‘Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?’ (QS. 20:51) Musa menjawab: ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah Kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (QS. 20:52) (ThaaHaa: 49-52)

Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya tentang Fir’aun, bahwasanya dia bertanya kepada Musa dengan mengingkari sang Pencipta, Rabb sekaligus Pemelihara dan Pemilik segala sesuatu.

Famar rabbukumaa yaa muusaa (“Maka siapakah Rabbmu berdua, hai Musa?”) Yakni, yang telah mengutus dan mengirimmu? Aku tidak mengenalnya, dan setahuku, tidak ada Ilah lain bagimu selain-Ku?”
Qaala rabbunal ladzii a’thaa kulla syai-in khalqaHuu tsumma Hadaa (“Musa berkata: ‘Rabb kami
ialah [Rabb] yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’”) ‘Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, dia mengatakan: “Dia telah menciptakan pasangan bagi segala sesuatu.” Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu `Abbas: “Dia telah menjadikan manusia sebagai manusia, keledai sebagai keledai, dan kambing sebagai kambing.”

Mengenai firman Allah Ta’ala ini, Sa’id bin Jubair mengatakan: “Dia berikan kepada setiap makhluk apa yang dibutuhkan bagi penciptaannya, dan Dia tidak menerapkan ciptaan manusia pada binatang, demikian juga binatang pada manusia, tidak juga memberlakukan ciptaan kambing pada anjing dan tidak juga ciptaan anjing pada kambing. Jadi, Dia berikan segala sesuatu yang memang dibutuhkannya, berupa perkawinan dengan menyediakan segala sesuatu untuk itu, tidak ada sesuatu pun dari-Nya yang serupa dalam hal perbuatan, baik itu berupa penciptaan, pemberian rizki, maupun perkawinan.”

Sebagian ahli tafsir mengatakan: “Dia telah memberikan bentuk ciptaan kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk. Hal itu sama seperti firman-Nya, “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. Al-A’laa: 3). Yakni, Dia menetapkan suatu ketetapan lalu memberikan petunjuk kepada makhluk-makhluk-Nya mengenai ketetapan tersebut. Dengan kata lain, Dia telah menetapkan amal perbuatan, ajal, dan rizki, kemudian semua makhluk berjalan berdasarkan ketetapan tersebut, tanpa dapat menghindar darinya, dan tidak ada seorang pun yang mampu keluar darinya. Dia berkata, Rabb kami yang telah menciptakan makhluk dan menetapkan ketetapan serta menjadikan ciptaan sesuai apa yang dikehendaki-Nya.

Qaala famaa baalul quruunil uulaa (“Berkata Fir aun, Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?’”) Pendapat yang paling tepat mengenai makna tersebut adalah, Fir’aun setelah diberitahu oleh Musa bahwa Rabb yang telah mengutusnya adalah yang telah menciptakan, memberi rizki, memberikan ketaatan, lalu memberikan petunjuk, maka Fir’aun segera mengajukan bantahan dengan (pertanyaan tentang) umat-umat terdahulu, yaitu mereka yang tidak menyembah Allah. Artinya, bagaimana keadaan mereka, jika keadaannya demikian, di mana mereka tidak menyembah Rabbmu, tetapi mereka justru menyembah selain-Nya? Menjawab hal tersebut, Musa berkata kepadanya: “Mereka, meskipun tidak menyembah-Nya, maka sesungguhnya amal perbuatan mereka di sisi Allah tetap tercatat dan akan diberikan balasan kepada mereka sesuai amal perbuatan mereka yang tercatat di dalam kitab Allah, yaitu Lauhul Mahfudh dan Kitab Catatan umur.”

Laa yadlillu rabbii wa laa yansaa (“Rabb kami tidak akan salah dan tidak [pula] lupa”) maksudnya tidak ada yang terlewatkan dari-Nya dan tidak juga terabaikan, baik yang kecil maupun besar. Tidak pula Dia lupa. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak akan lupa terhadap sesuatu apapun.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 45-48

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 45-48“Berkatalah mereka berdua: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami kbawatir babwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.’ (QS. 20:45) Allah berfirman: ‘Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.’ (QS. 20:46) Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: ‘Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabbmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Rabbmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk. (QS. 20:47) Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. 20:48) (ThaaHaa: 45-48)

Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya ini tentang Musa dan Harun, bahwa keduanya berkata sambil memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dan mengadu kepada-Nya: innanaa nakhaafu ay yafrutha ‘alainaa au ay yath-ghaa (“Sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.”) Yang mereka maksudkan adalah Fir’aun malah menimpakan siksaan kepada keduanya atau malah berlaku dhalim dengan menyiksa keduanya, padahal keduanya tidak berhak mendapatkan hal itu.

`Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “An yafrutha berarti bersegera.” Sedangkan Mujahid mengungkapkan: “Menimpakan siksaan kepada kami.” Adh-Dhahhak bercerita, dari Ibnu `Abbas: “Au an yathgha berarti melampaui batas.”

Qaala laa takhaafaa innanii ma’akumaa asma’u wa araa (“Allah berfirman: ‘Jangan kamu berdua
khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.”) Maksudnya, janganlah kalian takut kepadanya, karena sesungguhnya Aku bersama kalian, mendengar ucapan kalian dan ucapannya, serta melihat posisi kalian berdua dan juga posisinya. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Ku. Dan kalian berdua harus mengetahui bahwa ubun-ubunnya (Fir’aun) berada di tangan-Ku, sehingga dia tidak berbicara, bernafas, dan menyentuh kecuali dengan seizin-Ku. Aku bersama kalian dengan perlindungan, pertolongan, dan pembelaan-Ku.

Fa’tiyaaHu faquulaa innaa rasuulaa rabbika (“Maka datanglah kamu berdua kepadanya [Fir’aun] dan katakanlah, ‘Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabbmu.’”) Di dalam hadits al futuun dari Ibnu `Abbas, bahwasanya dia mengatakan: “Keduanya diam di depan pintunya ketika keduanya tidak diberi izin, hingga akhirnya keduanya diberi izin setelah mengalami pemagaran yang cukup ketat.”

Firman-Nya: qad ji’naaka bi-aayatim mir rabbika (“Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti [atas kerasulan kami] dari Rabbmu.”) Yakni, dengan bukti-bukti dan mukjizat dari Rabbmu. Was salaamu ‘alaa manit taba’al Hudaa (“Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.”) Yakni, keselamatan bagimu jika kamu mau mengikuti petunjuk. Oleh karena itu, Rasulullah pernah mengirimkan surat kepada Heraclius, seorang pembesar Romawi, yang diawali dengan kalimat: “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasul Allah, kepada Heraclius pembesar Romawi, keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du. Sesungguhnya Aku mengajakmu untuk mendukung Islam. Oleh karena itu, masuklah Islam, niscaya kamu akan selamat. Dan Allah akan memberimu pahala dua kali.” (HR. Al-Bukhari)

Oleh karena itu, Musa dan Harun berkata kepada Fir’aun: Was salaamu ‘alaa manit taba’al Hudaa innaa qad uuhiya ilainaa annal ‘adzaaba ‘alaa man kadz-dzaba wa tawallaa (“Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu [ditimpakan] atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.”) Maksudnya, Allah Ta’ala telah memberitahu kami mengenai apa yang telah Dia wahyukan kepada kami berupa wahyu yang ma’shum (terlindungi), yaitu bahwa adzab itu akan ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaan Allah dan berpaling
dari perbuatan taat kepada-Nya.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 40-44

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 40-44“Maka kamu tinggal beberapa tahun di antara penduduk Madyan, kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa, (QS. 20:40) dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. (QS. 20:41) Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; (QS. 20:42) Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas; (QS. 20:43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. 20:44) (ThaaHaa: 40-44)

Allah Ta’ala berfirman yang ditujukan kepada Musa as, bahwa dia telah tinggal menetap di tengah-tengah penduduk Madyan karena lari dari Fir’aun dan Para pengikutnya, ia menggembalakan ternak milik semendanya sehingga berakhir masa yang telah ditentukan. Kemudian dia datang sesuai dengan ketetapan dan kehendak Allah tanpa melalui penetapan waktu, dan segala sesuatu hanya berada di tangan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, Dialah yang mengendalikan hamba-hamba-Nya dan semua makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Oleh karena itu, Dia berfirman: tsumma ji’ta ‘alaa qadariy yaa muusaa (“Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.”) Mujahid mengatakan: “Yakni, sesuai dengan waktu yang ditentukan.”
`Abdurrazzaq menceritakan dari Ma’mar, dari Qatadah, mengenai firman-Nya ini, yakni, sesuai dengan ketetapan risalah dan kenabian.

Firman Allah Ta’ala: washthana’tuka linafsii (“Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.”) Artinya, Aku (Allah) telah memilih dirimu sebagai Rasul bagi-Ku, yakni sesuai dengan yang Aku inginkan dan kehendaki.

Al-Bukhari meriwayatkan pada saat menafsirkan ayat tersebut dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw: “Adam dan Musa pernah bertemu, maka Musa bertanya kepada Adam: ‘Engkau yang telah membuat umat manusia menderita dan mengeluarkan mereka dari surga?’ Maka Adam menjawab: `Engkau Musa yang telah dipilih Allah untuk mengemban risalah-Nya dan Dia telah memilih diri-Mu untuk diri-Nya serta menurunkan Taurat kepadamu?’ ‘Benar,’ jawab Musa. Adam bertanya: `Apakah engkau mendapatkannya telah ditetapkan padaku sebelum Dia menciptakan diriku?’ Dia menjawab: ‘Ya.’ Maka (dengan demikian) Adam mengalahkan Musa (dengan hujjahnya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Firman-Nya: idzHab anta wa akhuuka bi-aayaatii (“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku,”) yakni, dengan hujjah-hujjah, bukti-bukti, dan mukjizat-Ku. Wa laa tatiyaa fii dzikrii (“Dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku.”) `Ali bin’Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu `Abbas: “Yakni, janganlah kalian berdua lambat.” Mujahid mengatakan, dari Ibnu `Abbas: “Yakni, janganlah kalian lemah.” Maksudnya, keduanya tidak boleh lalai dalam berdzikir kepada Allah, tetapi mereka senantiasa berdzikir kepada Allah pada saat menghadapi Fir’aun agar dzikir kepada Allah itu menjadi penolong bagi keduanya sekaligus sebagai kekuatan yang menghancurkan mereka.

Firman-Nya: idzHabaa ilaa fir’auna innaHuu thaghaa (“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas.”) Yakni inkar, angkuh, lagi sombong serta durhaka kepada Allah.

Faquulaa laHuu qulal layyinal la’allaHu yatadzakkaru aw yakhsyaa (“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.”) Di dalam ayat ini terdapat pelajaran yang sangat berharga, yaitu bahwa Fir’aun benar-benar berada di puncak keangkuhan dan kesombongan, sedangkan pada saat itu Musa merupakan makhluk pilihan Allah. Berdasarkan hal tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Fir’aun dengan lemah lembut.

Mengenai firman Allah: Faquulaa laHuu qulal layyinan (“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut”) dari `Ikrimah, dia mengatakan: “Katakanlah: laa ilaaHa illallaaH (Tidak ada Ilah [yang haq] selain Allah).” `Amr bin `Ubaid meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri tentang firman-Nya ini, yakni sampaikanlah kepadanya kata-kata bahwa kamu mempunyai Rabb dan kamu juga mempunyai tempat kembali, dan sesungguhnya di hadapanmu terdapat surga dan neraka.

Baqiyyah meriwayatkan dari `Ali bin Harun, dari `Ali mengenai firman-Nya ini dia mengatakan: “Gunakanlah kun-yah untuk menyebut namanya.”
Demikian juga yang diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri: “Gunakanlah kun-yah (nama panggilan, contoh Abu Hurairah).”

Dari pendapat-pendapat mereka itu dapat dihasilkan kesimpulan bahwa seruan keduanya (Musa dan Harun) kepada Fir’aun disampaikan dengan lemah lembut, agar hal itu bisa menyentuh jiwa, lebih mendalam, dan mengenai sasaran. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Firman Allah Ta’ala: la’allaHu yatadzakkaru aw yakhsyaa (“Mudah-mudahan ia ingat atau takut,”) yakni, mudah-mudahan dia mau meninggalkan kesesatan dan kehancuran yang digelutinya, atau dia takut, atau dia memperoleh ketaatan dari rasa takut kepada Rabbnya. Dengan demikian, mengingat di sini berarti berpaling dari larangan, sedangkan takut berarti tercapainya ketaatan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 36-40

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 36-39“Allah berfirman: ‘Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.’ (QS. 20:36) Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain, (QS. 20:37) yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, (QS. 20:38) Yaitu: ‘Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu akan membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya; Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (QS. 20:39) (yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir’aun): ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita. Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan..” (ThaaHaa: 36-40)

Ini adalah pengabulan dari Allah Ta’ala bagi Rasul-Nya, Musa as. terhadap permintaan yang diajukan kepada Rabbnya, sekaligus sebagai peringatan baginya akan nikmat-nikmat-Nya yang telah diberikan kepadanya dahulu, yakni menyangkut masalah ibunya ketika menyusui dan menghindarkannya dari Fir’aun dan para pengikutnya agar tidak membunuhnya. Sebab, dia telah dilahirkan pada tahun di mana Fir’aun dan para pengikutnya membunuh semua bayi laki-laki. Kemudian ibunya membuatkan peti untuk Musa, anaknya. Selanjutnya, ibunya menyusuinya lalu meletakkan Musa di dalam peti itu lalu menghanyutkannya di sungai Nil, dan mengikatnya dengan tali ke rumahnya. Sesekali, dia pergi untuk mengikatkan tali, kemudian petinya itu lepas darinya dan pergi dibawa arus sungai, sehingga dia benar-benar merasa sedih dan teruncang, seperti yang diceritakan oleh Allah melalui firman-Nya:
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya.” (QS. Al-Qashash: 10)

Kemudian sungai itu membawa Musa ke rumah Fir’aun: faltaqathaHuu aalu fir’auna liyakuuna laHum ‘aduwwaw wahazanan (“Maka diambillah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.”) (QS. Al-Qashash: 8)

Maksudnya, hal itu sudah menjadi ketetapan dari Allah, di mana mereka semua membunuh semua bayi laki-laki dari Bani Israil karena takut akan munculnya Musa. Tetapi Allah-lah yang menetapkan, dan hanya Dia yang memiliki kekuasaan yang agung dan kekuasaan yang sempurna, agar Musa tidak dibesarkan melainkan di atas tempat tidur Fir’aun, makan dan minum dengan makanan dan minumannya dengan disertai kecintaannya dan juga kecintaan isterinya kepadanya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: ya’khudzuuHu ‘aduwwullii wa ‘aduwwullaHu wa alqaitu ‘alaika mahabbatam minnii (“Supaya diambil oleh [Fir’aun] musuh-Ku dan musuhnya; Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku.”) Yakni, Aku jadikan musuhmu mencintaimu.

Mengenai firman-Nya: wa alqaitu ‘alaika mahabbatam minnii (“Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku,”) Salamah bin Kahil mengatakan: “Aku jadikan hamba-hamba-Ku mencintaimu.”
Wa litushna’a ‘alaa ‘ainii (“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.”) Abu `Imran al Juni mengatakan: “Diasuh dengan pengawasan Allah.” Qatadah mengatakan: “Dia makan di bawah pengawasan-Ku.”
Mu’ammar bin al-Mutsanna mengatakan: “Yakni, di mana Aku (Allah) dapat langsung melihat.” `Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “Yakni, Aku tempatkan dia di rumah sang raja, bersenang-senang dan menikmati kemewahan. Makanannya di tengah-tengah mereka adalah makanan raja. Itulah pengasuhan terhadap Musa.”

Firman-Nya: idz tamsyii ukhtuka fataquulu Hal adullukum ‘alaa may yakfuluHuu faraja’naaka ilaa ummika kay taqarra ‘ainuka (“[yaitu] ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada [keluarga Fir aun]: ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya.”) Yaitu, ketika dia berada di tengah-tengah keluarga Fir’aun, mereka menawarkan Para penyusu, tetapi dia menolaknya.

Allah Ta’ala berfirman: wa harramnaa ‘alaiHil maraadli’a min qablu (“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu.”) Kemudian datanglah saudara perempuannya seraya berkata: Hal adullukum ‘alaa aHli baitiy yakfuluunaHu lakum waHum laHuu naashihuun (“Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu Ahlul Bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”) (QS. Al-Qashash: 12).

Yakni, maukah kalian aku tunjukkan orang yang bisa menyusuinya untuk kalian dengan memberikan upah kepadanya? Kemudian, saudaranya itu pergi bersamanya dan mereka pun ikut bersamanya menuju kepada ibunya. Lalu ibunya menyodorkan susu kepadanya, dan Musa pun mau menyusu kepadanya. Maka mereka pun merasa sangat senang menyaksikan hal tersebut, dan mereka membayarnya untuk menyusuinya. Karenanya, ibunda Musa merasakan kebahagiaan, kegembiraan, ketenangan di dunia, sedang di akhirat akan mendapatkan yang lebih agung dan lebih banyak.

Di sini Allah Ta’ala berfirman: faraja’naaka ilaa ummika kay taqarra ‘ainuHaa wa laa tahzana (“Maka Kami mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak berduka cita,”) yakni, karena dirimu. Wa qatalta nafsan (“Dan kamu pernah membunuh seorang manusia,”) yakni, seorang Qibthi; fa najjainaaka minal ghammi (“Lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan, ” yakni, apa yang dirasakannya karena keinginan keras para pengikut Fir’aun untuk membunuhnya. Lalu dia melarikan diri dari mereka hingga akhirnya sampai di sumber air negeri Madyan.

Kemudian orang shalih itu berkata kepadanya, “Jangan takut. Engkau telah selamat dari orang-orang yang dhalim.” (QS. Al-Qashash: 25)

Firman Allah Ta’ala: wa fatannaaka futuunan (“Dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.”) Imam Abu `Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i meriwayatkan tentang penjelasan ayat ini di dalam kitab at-Tafsiir dalam Sunannya, mengenai firman-Nya, “Dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan.”

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 22-35

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 22-35“’Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), (QS. 20:22) untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar. (QS. 20:23) Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampai batas.’ (QS. 20:24) Berkata Musa: ‘Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, (QS. 20:25) dan mudahkanlah untukku urusanku, (QS. 20:26) dan lepaskanlah kekakuan lidahku, (QS. 20:27) supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. 20:28) dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (QS. 20:29) (yaitu) Harun saudaraku, (QS. 20:30) teguhkanlah dengan dia kekuatanku, (QS. 20:31) dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. 20:32) supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, (QS. 20:33) dan banyak mengingat Engkau. (QS. 20:34) Sesungguhnya Engkau adalah Mahamalihat (keadaan) kami.’” (QS. 20:35) (ThaaHaa: 22-35)

Inilah bukti kedua bagi Musa as, yaitu bahwa Allah telah memerintahkannya untuk memasukkan tangannya ke leher baju, sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat yang lain. Di sini pun hat itu diungkapkan dengan jelas melalui firman-Nya: wadl-mum yadaka ilaa janaahika (“Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu.”)
Di ayat yang lain, Dia berfirman: wadl-mum ilaika janaahaka minar raHbi fadzaanika burHaannaani mir rabbika ilaa fir’auna wa mala-iHi (“Dan dekapkanlah kedua tanganmu [ke dada]-mu bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mukjizat dari Rabbmu [yang akan kamu hadapkan] kepada Fir’aun dan pembesar pembesarnya.”) (QS. Al-Qashash: 32)

Mujahid mengatakan: “Masukkanlah tanganmu ke ketiakmu, telapak tanganmu berada di bawah lenganmu. Jika Musa as. memasukkan tangannya ke leher bajunya, lalu mengeluarkannya kembali, maka akan keluar warna putih yang berkilauan, seakan-akan ia adalah potongan dari bulan.”

Firman-Nya: takhruj baidlaa-a min ghairi suu-in (“Niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat,”) yakni, tanpa belang dan tidak juga penyakit serta tanpa cela. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu `Abbas, Mujahid, `Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahhak, as-Suddi, dan selain mereka. Dengan demikian, Musa mengetahui bahwa dirinya telah bertemu dengan Rabbnya.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: linuriyaka min aayaatinal kubran (“Untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar.”) Wahab mengatakan: “Rabbnya berkata kepadanya, ‘Mendekatlah kepadanya.’ Dia masih terus mendekatinya sampai dia menyandarkan punggungnya ke sebuah batang pohon, sehingga dia bisa menguasai diri dan rasa takut pun hilang. Dia pun menyatukan tangannya pada tongkat itu seraya menundukkan kepala dan lehernya.”

Firman-Nya: idzHab ilaa fir’auna innaHuu thaghaa (“Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampai batas.”) Maksudnya, pergilah kepada Fir’aun, raja Mesir yang engkau telah pergi melarikan diri darinya. Serulah dia untuk beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Perintahkan dia untuk berbuat baik kepada Bani Israil dan tidak menyiksa mereka, karena sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas, serta lebih mengutama-
kan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Mahatinggi.

Qaala rabbisy rahlii shadrii, wa yassirlii amrii (“Musa berkata: ‘Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.’”) Hal itu merupakan permintaan dari Musa as. kepada Rabbnya, agar Dia melapangkan dadanya dalam mengemban apa yang dengannya dia diutus. Di mana Allah telah menyuruhnya dengan suatu hal yang sangat agung.

Dia mengutusnya kepada raja yang paling berpengaruh di muka bumi ini pada saat itu, paling bengis, paling kufur, paling banyak memiliki bala tentara, paling sewenang-wenang, dan paling ingkar. Dia sungguh keterlaluan, di mana dia mengaku bahwa dia tidak mengenal Allah dan tidak juga memperkenalkan bagi rakyatnya Rabb lain selain dirinya. Demikianlah, sedang Musa pernah tinggal di kediaman Fir’aun ketika kecil, di kamar Fir’aun dan bahkan tidur di atas kasurnya. Kemudian dia membunuh seseorang di antara mereka, sehingga dia takut mereka juga akan membunuhnya. Lalu dia pun lari dari mereka, selama sekian masa ini. Setelah itu, Rabbnya mengutusnya kepada mereka lagi untuk memberikan peringatan seraya mengajak mereka kepada Allah A agar mereka beribadah kepada-Nya semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.

Oleh karena itu, Musa berkata: Qaala rabbisy rahlii shadrii, wa yassirlii amrii (“Musa berkata: ‘Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku.’”) Yakni, jika Engkau tidak menjadi penolong, pembela, pembantu dan pengayomku, niscaya tidak ada kekuatan padaku untuk melakukan hal tersebut.

Wahlul ‘uqdatam mil lisaanii yafqaHuu qaulii (“Dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku. “) Yang demikian itu, karena dia pernah mengalami pelat (cadel), yakni ketika ditawarkan kepadanya tamrah (kurma) dan jamrah (bara api), lalu dia mengambil bara api dan meletakkannya di atas lidahnya, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut. Dia tidak meminta hal itu dihilangkan secara keseluruhan, tetapi hanya dihilangkan kesulitan berbicara dan dapat memahamkan kepada mereka apa yang dikehendakinya, yaitu sesuai dengan kebutuhan. Jika dia meminta dihilangkan hal itu secara keseluruhan, niscaya semuanya itu akan hilang, tetapi para Nabi itu tidak meminta kecuali sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu masih ada sisa-sisa cadel itu padanya.

Allah Ta’ala berfirman seraya menceritakan tentang Fir’aun, di mana dia berkata: am ana khairum min Haadzal ladzii Huwa maHiinuw walaa yakaadu yubiin (“Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan [perkataannya].”) (QS. Az-Zukhruf: 52). Yakni, fasih berbicara.

Mengenai firman-Nya: wahlul ‘uqdatam mil lisaanii (“Dan lepaskanlah kekakuan lidahku,”) al-Hasan al-Basliri mengatakan: “Yakni, pelepasan satu kekakuan saja, seandainya Musa meminta lebih dari itu, pasti Allah akan memberinya.” Ibnu `Abbas mengatakan: “Musa pernah mengadukan kepada Rabbnya tentang apa yang ditakutkan dari pembunuhan pengikut Fir’aun dan kekakuan lidahnya, karena pada lidahnya terdapat kekakuan yang menghalanginya dari banyak bicara. Lalu dia meminta Rabbnya agar dibantu oleh saudaranya, Harun, yang akan menjadi pendukung baginya dan menyampaikan kata-kata darinya yang mana lidahnya sendiri tidak begitu lancar berbicara. Maka Allah Ta’ala pun mengabulkan permintaannya, lalu dia melepaskan kekakuan lidahnya.

Dan firman-Nya: waj’al lii waziiram min aHlii, Haaruuna akhii (“Dan jadikanlah aku seorang pembantu dari keluargaku, [yaitu] Harun saudaraku.”) Ini pun merupakan permintaan Musa as, mengenai hal di luar dirinya, yaitu bantuan saudaranya, Harun. Ats-Tsauri menceritakan dari Ibnu `Abbas, di mana dia mengatakan: “Harun diangkat menjadi Nabi pada saat itu, ketika Musa diangkat menjadi Nabi.

Dan firman-Nya: usy-dudbiHii azrii (“Teguhkanlah ke kuatanku dengannya.”) Mujahid mengatakan: “Punggungku.” Wa asy-rikHu fii amrii (“Dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku”) yakni dalam memberikan pendapatnya kepadaku.
Kai nusabbihaka katsiiraw wa nadzkuraka katsiiran (“Supaya kami banyak bertasbih dan banyak mengingat-Mu.”) Mujahid mengatakan: “Tidaklah seorang hamba termasuk orang-orang yang berdzikir kepada Allah sehingga dia mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.

Dan firman-Nya lebih lanjut: innaka kunta binaa bashiiran (“Sesungguhnya Engkau adalah Mahamelihat [keadaan] kami.”) Yakni, dalam pemilihan-Mu bagi kami dan pemberian-Mu kepada kami berupa kenabian dan pengutusan-Mu kepada musuh-Mu, Fir’aun. Dan segala puji hanya bagi-Mu dalam hal itu.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 17-21

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 17-21“’Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?’ (QS. 20:17) Berkata Musa: ‘Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.’ (QS. 20:18) Allah berfirman: ‘Lemparkanlah ia, hai Musa!’ (QS. 20:19) Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (QS. 20:20) Allah berfirman: ‘Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,’” (QS. 20:21) (ThaaHaa: 17-21)

Ini merupakan bukti dari Allah Ta’ala bagi Musa as sebagai mukjizat yang besar, diluar kebiasaan lagi nyata, yang menunjukkan bahwasanya tidak ada yang mampu melakukan hal tersebut kecuali hanya Allah swt. Dan bahwasanya tidak ada yang membawanya kecuali Nabi yang diutus.

Firman-Nya: wa maa tilka biyaminika yaa muusaa (“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?”) Sebagian ahli tafsir berpendapat, Allah Ta’ala mengatakan hal itu kepada Musa hanya sebagai sapaan kepadanya. Ada juga yang berpendapat lain, bahwa Dia mengatakan hal itu kepada Musa sebagai suatu keputusan. Dengan pengertian, apa yang ada di tangan kananmu ini, yaitu tongkatmu yang kamu kenal, maka kamu akan mengetahui apa yang akan Kami perbuat dengannya sekarang.

wa maa tilka biyaminika yaa muusaa (“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?”) dalam bentuk pertanyaan keputusan. Qaala Hiya ‘ashaaya atawaka-u ‘alaiHaa (“Berkata Musa: ‘Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya,’”) yakni, bersandar padanya pada saat berjalan. Wa aHasy-syu biHaa ‘alaa ghanamii (“Dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku,”) yakni, aku goyang pohon agar daun-daunnya berjatuhan untuk menggembalakan kambingku.

`Abdurrahman bin al-Qasim mengatakan dari Imam Malik: “Al-Hisysyu berarti, seseorang meletakkan tongkat melengkung pada dahan pohon, lalu menggerakkannya sehingga daun dan buahnya berjatuhan tanpa mematahkan pohonnya.” Demikian juga yang dikemukakan oleh Maimun bin Mahran.

Firman-Nya: wa liya fiiHaa ma-aaribu ukhraa (“Dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”) Yakni, berbagai kepentingan, manfaat dan kebutuhan lain selain itu.

Firman-Nya lebih lanjut: qaala alqiiHaa yaa muusaa (“Allah berman: `Lemparkanlah ia, hai Musa!’”) Yakni lemparkanlah tongkat yang ada di tanganmu itu, hai Musa,.
Fa alqaaHaa fa idzaa Hiya hayyaatun tas’aa (“Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.”) Yakni, pada saat itu juga tongkat tersebut menjadi seekor ular yang sangat besar lagi panjang yang bergerak merayap dengan cepat. Dan ternyata dia bergoyang seakan-akan ia itu Jaan, sejenis ular yang paling cepat bergerak, tetapi is kecil. Sedangkan ular Musa ini amat besar dan amat cepat gerakannya.

Tas’aa (“Merayap dengan cepat,”) yakni berjalan dan bergoyang-goyang. Setelah Musa menyaksikan hal itu, maka Musa berbalik tanpa melihat lagi kebelakang, kemudian dia pergi. Lalu dia ingat kepada Rabbnya sehingga dia berhenti karena merasa malu terhadap-Nya. Selanjutnya, dia diseru: “Hai Musa, kembalilah ke tempatmu semula.” Maka Musa pun kembali sedang dia benar-benar merasa ketakutan.

Lalu Allah berfirman: khud-Haa (“Peganglah ia,”) dengan tangan kananmu; wa laa takhaf sanu-‘iiduHaa siirataHal uulaa (“Dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”)

Pada saat itu, di atas tubuh Musa terdapat baju jubah dari kulit wol, lalu dia memasukinya dari sela-selanya. Setelah diperintahkan untuk memegangnya, Musa melipat ujung baju pada tangannya, maka Malaikat berkata kepadanya: “Hai Musa, bagaimana menurutmu, jika Allah mengizinkan apa yang kamu takuti itu, apakah jubah itu akan berguna bagimu?” “Tidak, tetapi
aku ini seorang yang lemah dan dari kelemahan aku diciptakan.” Kemudian dia melepaskannya dari tangannya lalu meletakkannya di mulut ular tersebut sehingga dia mendengar gesekan gigi-gigi dan taring taring, lalu dia menangkapnya dan ternyata dia sudah menjadi tongkat yang dimilikinya, dan ternyata tangannya sudah berada di tempat dimana dia meletakkannya jika dia bersandar diantara dua bahunya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: sanu-‘iiduHaa siirataHal uulaa (“Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”) yakni, keadaan semula yang kamu ketahui sebelum ini.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 11-16

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 11-16“Maka ketika ia datang ke tempat api itu, ia dipanggil: ‘Hai Musa. (QS. 20:11) Sesungguhnya Aku ini Rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. (QS. 20:12) Dan Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). (QS. 20:13) Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang haq) selain Aku, maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS. 20:14) Sesungguhnya hari Kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS. 20:15) Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkanmu binasa.’” (QS. 20:16) (ThaaHaa: 11-16)

Allah Ta’ala berfirman: falammaa ataaHaa (“Maka, ketika ia datang ke tempat api itu,”) yakni, ia mendekati api itu; nuudiya yaa muusaa (“Ia dipanggil: Hai Musa.”) innii ana rabbuka (“Sesungguhnya Aku ini Rabbmu,”) yakni, yang berbicara dan berfirman langsung kepadamu; fakhla’ na’laika (“Maka tanggalkanlah kedua terompahmu.”) ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abu Ayyub, dan tidak sedikit dari kaum Salaf mengatakan: “Kedua terompah itu berasal dari kulit keledai yang kurang baik.”

Ada juga yang mengatakan: “Allah menyuruh Musa menanggalkan kedua terompahnya itu sebagai penghormatan bagi tempat tersebut.” Sedangkan Sa’id bin Jubair mengatakan: “Sebagaimana seseorang diperintahkan untuk menanggalkan kedua terompahnya jika hendak memasuki Ka’bah.” Ada juga yang berpendapat: “Agar Musa menginjak langsung tanah suci itu dengan kedua kakinya dalam keadaan tidak beralas kaki, tanpa terompah yang melapisinya.” Dan ada juga yang berpendapat lain. WallaHu a’lam.

Firman-Nya: thuwaa (“Thuwa.”) ‘Ali bin Abi Thalhah bercerita dari Ibnu `Abbas, “Yaitu nama lembah.” Demikian juga yang dikatakan beberapa ulama lainnya. Dan berdasarkan hal itu, penyambungan di sini sebagai penjelasan.

Firman-Nya: anakhtartuka (“Dan Aku telah memilihmu.”) Penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya:
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihi an)mu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku.” (QS. Al-A’raaf: 144).

Yakni, kepada seluruh umat manusia yang ada pada masanya. Ada juga yang mengatakan, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Hai Musa, apakah kamu tahu mengapa Aku mengistimewakan dirimu di antara semua umat manusia untuk Aku ajak berbicara langsung dengan-Ku?”
“Tidak,” jawab Musa. Allah berfirman, “Karena tidak ada seorang pun yang bertawadhu’ (merendahkan diri) kepada-Ku melebihi tawadhu’mu.”

Firman-Nya: fastami’ limaa yuuhaa (“Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan [kepadamu].” Maksudnya, sekarang dengarkanlah apa yang akan Aku katakan dan wahyukan kepadamu. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang haq) selain Aku,” dan inilah kewajiban pertama yang dilimpahkan kepada para mukallaf, yaitu hendaklah mereka mengetahui bahwasanya tidak ada Ilah (yang haq) kecuali Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya.

Fa’buduunii (“Maka sembahlah Aku,”) yakni, esakanlah diri-Ku dan sembahlah Aku dengan tidak menyandingkan sekutu selain diri-Ku.
Wa aqimish shalaata lidzikrii (“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”) Ada yang mengatakan, artinya, dirikanlah shalat untuk mengingat diri-Ku. Ada juga yang mengatakan lain, artinya, dirikanlah shalat pada saat engkau ingat kepada-Ku. Pendapat yang kedua itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Anas, dari Rasulullah saw, di mana beliau bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur sehingga tertinggal shalat atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia mengerjakannya pada saat dia ingat, karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman, `Dan dirikanlah shalat untuk mengingat diri-Ku.’”

Dan dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan dari Anas, dimana dia bercerita, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa tertidur sehingga tidak mengerjakan shalat atau lupa (mengerjakan)nya, maka kafaratnya adalah hendaklah dia mengerjakannya jika dia mengingatnya, dan tidak ada kafarat lain selain itu.”

Dan firman-Nya: innas saa’ata aatiyatun (“Sesungguhnya hari Kiamat itu akan datang.”) Maksudnya, hari Kiamat itu pasti terjadi, tidak diragukan lagi dan menjadi suatu keharusan. `Ali bin Abi Thalhah menceritakan dari Ibnu `Abbas, “Aku merahasiakan (waktunya).” Dia menyatakan, “Aku tidak memperlihatkan kepada seorang pun selain diri-Ku. As-Suddi mengatakan: “Tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi ini melainkan telah disembunyikan darinya pengetahuan tentang hari Kiamat.”

Firman Allah: litujzaa kullu nafsim bimaa tas’aa (“Agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang diusahakannya.”) Maksudnya, Aku pasti mendatangkan hari Kiamat untuk memberikan balasan kepada setiap orang atas apa yang dikerjakannya.

Firman-Nya: falaa yashuddannaka ‘anHaa mal laa yu’minu biHaa (“Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh yang tidak beriman kepadanya.”) Yang menjadi sasaran dari khithab ini adalah setiap individu dari para mukallaf. Yakni, janganlah kalian mengikuti jalan orang-orang yang mendustakan hari Kiamat dan lebih memilih kenikmatan dunianya, mendurhakai tuannya serta mengikuti hawa nafsunya. Barangsiapa mengikuti mereka dalam melakukan hal tersebut, maka dia benar-benar telah gagal lagi merugi; fatardaa (“Yang menyebabkan kamu binasa. “Yakni, hancur dan lenyap.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Thaahaa ayat 9-10

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Thaahaa
Surah Makkiyyah; surah ke 20: 135 ayat

tulisan arab alquran surat thaaHaa ayat 9-10“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS. 20:9) Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: ‘Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu.’”(QS. 20:10) (ThaaHaa: 9-10)

Dari sini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala mulai menceritakan kisah Musa dan bagaimana permulaan wahyu yang diberikan kepadanya serta firman-Nya yang disampaikan langsung kepadanya. Hal itu berlangsung setelah Musa menyelesaikan waktu yang ditentukan antara dirinya dengan semendanya dalam menggembalakan kambing. Dia dan keluarganya berangkat menuju Mesir setelah sekian lama meninggalkannya, lebih dari sepuluh tahun. Dia bersamanya isterinya. Lalu dia tersesat, yang waktu itu malam sangat dingin.

Kemudian dia singgah di suatu tempat antara bukit dan gunung dengan cuaca yang sangat dingin di musim dingin dipenuhi dengan awan, kegelapan, dan berkabut. Dia berusaha mencari percikan api dari benturan batu untuk memberi kehangatan, sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan baginya. Tetapi dia tidak mendapatkan percikan api darinya. Ketika keadaan seperti itu, tiba-tiba muncul api dari samping gunung Thursina, maksudnya, muncul api dari samping gunung yang berada di sebelah kanannya. Kemudian dia memberitahukan hal itu kepada keluarganya:

Innii aanastu naaral la’allii aatiikum minHaa biqabasin (“Sesungguhnya aku melihat api, mudah-rnudahan aku dapat membawa sedikit darinya kepadamu”) yakni, sepercik api. Dan dalam ayat yang lain: aw jadzwatim minan naari (“Atau [membawa] sesuluh api.”) Yakni, bara api yang menyala. La’allakum tashthaluun (“Agar kamu dapat menghangatkan badan.”) (QS. Al-Qashash:
29), yang menunjukkan adanya hawa dingin.

Firman-Nya: biqabaasin (“Sedikit [api],”) menunjukkan adanya kegelapan.
Firman-Nya: aw ajidu ‘alan naari Hudan (“Atau aku mendapat petunjuk di tempat api itu.”) Yakni, siapa yang menunjukkan jalan kepadaku. Hal itu menunjukkan bahwa dia telah tersesat. Sebagaimana yang dikatakan ats-Tsauri dari Ibnu `Abbas, mengenai firman-Nya: aw ajidu ‘alan naari Hudan (“Atau aku mendapat petunjuk di tempat api itu.”) dia mengatakan, yakni, siapa yang menunjukkanku jalan, yang pada waktu itu mereka dalam keadaan kedinginan lagi tersesat.

Ketika melihat api, Musa pun berkata, kalau memang aku tidak mendapatkan seseorang yang bisa menunjukkan jalan kepadaku, aku akan bawakan kepada kalian api yang bisa kalian nyalakan.

Bersambung

Tafsir Ibnu Katsir Surah Maryam ayat 96-98

25 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Maryam
Surah Makkiyyah; surah ke 19: 98 ayat

tulisan arab alquran surat maryam ayat 96-98“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shalih, kelak Allah Yang Mahapemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang. (QS. 19:96) Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang. (QS. 19:97) Dan berapa banyak telah Kami binasakan umat-umat sebelum mereka. Adakah kamu melihat seorang saja dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (QS. 19:98)” (Maryam: 96-98)

Allah mengabarkan bahwa Dia mananamkan kepada hamba-hamba-Nya kaum mukminin yang beramal shalih, yaitu amal-amal yang diridhai Allah; dengan mengikuti syari’at Muhammad saw. Dia akan menanamkan bagi mereka di dalam hati hamba-hamba-Nya yang shalih, perasaan cinta dan kasih sayang. Ini suatu perkara yang mesti dan harus.

Penjelasan hal tersebut terdapat dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah dalam beberapa segi. Imam Ahmad berkata dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah, jika mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: `Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Lalu Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril memanggil seluruh penghuni langit dan berkata: `Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia,” lalu seluruh penghuni langit pun akan mencintainya.

Kemudian, diletakkanlah baginya penerimaan di muka bumi. Sesungguhnya Allah, jika membenci seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril dan berfirman: `Hai Jibril, Aku membenci si fulan, maka bencilah dia.’ Lalu Jibril pun membencinya dan memanggil penghuni langit sambil berkata: `Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia,’ lalu penghuni langit pun membencinya. Kemudian, diletakkan baginya kemurkaan di muka bumi.”
(HR. Muslim dari Suhail, Ahmad dan al-Bukhari, dari hadits Ibnu Juraij, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw)

`Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu `Abbas tentang firman-Nya: sayaj’alu laHumur rahmaanu wuddan (“Kelak ar-Rahmaan akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang”) ia berkata: “Perasaan cinta.”
Mujahid berkata dari Ibnu `Abbas, “Kelak ar-Rahmaan akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang,” ia berkata: “Perasaan cinta di dalam hati manusia di dunia.”
Sa’id bin Jubair berkata dari Ibnu `Abbas: “Ia mencintai mereka dan menanamkan rasa cinta kepada mereka, yaitu kepada makhluk-Nya yang beriman.” Demikian yang dikatakan Mujahid, adh-Dhahhak dan selain keduanya.

Qatadah berkata: “Dahulu, ‘Ustman bin ‘Affan berkata: ‘Tidak ada seorang hamba pun yang mengamalkan satu kebaikan atau satu keburukan, kecuali Allah memakaikan selendang amalnya itu.’”

Firman-Nya: fa innamaa yassarnaaHu (“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan”) yaitu al-Qur’an; bilisaanika (“Dengan bahasamu”) hai Muhammad, yaitu bahasa Arab yang jelas, fashih dan sempurna.
Litubasy-syira biHil muttaqiina (“Agar kamu memberi kabar gembira dengan itu kepada orang-orang yang bertakwa,”) yaitu orang-orang yang menyambut seruan Allah dan membenarkan Para Rasul-Nya,”)
Wa tundzira biHii qaumal luddan (“Dan memberi peringatan kepada kaum yang membangkang”) yaitu kaum yang berpaling dari kebenaran dan cenderung ke arah kebathilan.

Ulama lain berkata: “Telinga-telinga hati yang tuli.” Al-‘Aufi berkata dari Ibnu `Abbas: qaumal luddan (“Kaum yang membangkang,”) yaitu orang-orang yang durhaka. Demikian riwayat al-Laits bin Abi Sulaim dari Mujahid. Ibnu Zaid berkata: “Al-aladdu adalah orang-orang yang dhalim, dan ia membaca firman-Nya: wa Huwa aladdul khishaam (“Padahal ia adalah penantang yang paling keras.”) (QS. Al-Baqarah: 204)

Firman-Nya: wa kam aHlaknaa qablaHum min qarnin (“Dan berapa banyak yang telah Kami binasakan kurun-kurun,”) yaitu umat-umat yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan mendustakan Para Rasul-Nya: Hal tuhissu minHum min ahadin aw tasma’u laHum rikzan (“Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar”) yaitu apakah engkau melihat salah seorang di antara mereka atau mendengar samar-samar dari mereka.

Ibnu `Abbas, Abul `Aliyah, `Ikrimah, al-Hasan al-Bashri, Sa’id bin Jubair, adh-Dhahhak dan Ibnu Zaid berkata: “Yaitu mendengar suara.” Al-Hasan dan Qatadah berkata: “Apakah engkau melihat seorang atau mendengar suara?” Ar-rikzu menurut asal bahasa adalah suara yang pelan.

Penyair berkata:
Watawajjasat rikzul aniisi faraa’aHaa
‘an dhaHri ghaibin wal aniisu saqaamuHaa
“Ia mendengar suara halus yang lembut membuatnya terperanjat.
Suara dari balik yang tak nampak, dan yang lembut itulah penyakitnya.”

Sekian