Arsip | 23.33

Penyusuan

13 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa kemuhriman lantaran sepersusuan sama dengan kemuhriman karena nasab. Namun, mereka berbeda pendapat tentang jumlah susuan yang mengharamkan pernikahan.

Hanafi dan Maliki mengatakan: sekali susuan saja. Syafi’i berpendapat: lima kali susuan. Dari Hambali diperoleh beberapa riwayat, yaitu lima, tiga dan sekali susuan.

Para imam madzhab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim adalah jika anak bayi yang disusukan tersebut dalam usia kurang dari dua tahun. Mereka berbeda pendapat apabila usia anak yang disusukan lebih dari dua tahun. Hanafi berpendapat: tetap kemuhrimannya hingga ia berumur dua setengah tahun. Zufar berpendapat hingga umur tiga tahun. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: batas maksimalnya hanya sampai dua tahun. Maliki menganggap baik jika kemuhrimannya itu sampai lebih satu tahun.

Dawud berpendapat: menyusui orang dewasa tetap menjadikan muhrim. Hal ini berbeda pendapat kebanyakan fuqaha, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.

Para imam madzab sepakat bahwa susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah apabila air susu itu dari tetek perempuan, baik masih gadis maupun sudah janda, baik sudah disetubuhi maupun belum. Namun Hambali mempunyai pendapat: susuan yang menjadikan muhrim tersebut adalah dari tetek perempuan yang memancarkan air susu karena kehamilan.

Para imam madzhab sepakat bahwa laki-laki yang mempunyai payudara, lalu disusu oleh bayi, maka tidak menjadikan muhrim. Mereka juga sepakat tentang haramnya menghirup susu ke hidung dan menuangkannya dalam kerongkongan. Namun ada sebuah riwayat dari Hambali yang mensyaratkan susuan itu langsung dari puting susu.

Para imam madzhab sepakat atas tidak haramnya mengumpulkan air susu, kecuali pendapat Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan sebuah riwayat dari Maliki.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang air susu yang bercampur dengan makanan. Hanafi berpendapat: jika susu lebih banyak dari air maka hal itu menjadi muhrim. Sedangkan jika airnya lebih banyak daripada susu maka hal itu tidak menjadi muhrim. Adapun, air susu yang bercampur dengan makanan, menurut Hanafi tidak menjadikan muhrim, baik yang lebih banyak air susu maupun makanan.

Maliki berpendapat: air susu yang bercampur dengan air adalah menjadikan muhrim jika percampuran itu tidak menghilangkan sifat susu. Oleh karena itu, jika hal tersebut menghilangkan sifat susu, seperti disamak, dicampur obat atau dengan yang lainnya, maka tidak menjadikan muhrim. Demikian menurut jumhur ulama pengikut Maliki. Dalam masalah ini Maliki sendiri tidak menyebutkan ketetapan hukumnya.

Syafi’i dan Hambali mengatakan: kemuhriman dari air susu yang bercampur dengan makanan dan minuman bergantung pada lima kali pemberian, baik air susu tersebut menjadi rusak maupun tidak.

&

Komentar Para Ulama tentang Perubahan Wujud Malaikat Maut

13 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Para ulama kita berkata: Tikdaklah aneh jika malaikat Maut itu bisa tampil dalam dua rupa dalam pandangan dua orang yang berbeda. Hal itu tidak lebih seperti halnya perubahan-perubahan kondisi yang biasa dialami tubuh manusia, seperti sehat, sakit, kecil, besar, muda, tua warna bersih karena sering mandi, dan wajah suram karena terbakar terik matahari dalam perjalanan.

Bedanya, bahwa perubahan-perubahan yang dialami para malaikat ‘alaiHimus salaam bisa terjadi dalam sehari dan satu saat, sedang pada manusia, hal itu tidak bisa terjadi kecuali setelah melewati waktu yang berjauhan dan bertahun-tahun yang panjang. Ini jelas.

&

Rupa Malaikat Maut Ketika Mencabut Nyawa Orang Mukmin dan Orang Kafir

13 Jul

At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi;
Imam Syamsuddin al-Qurthubi

Kata para ulama kita, adapun rupa Malaikat Maut, dan betapa rasa takut dan ngeri yang dialami hati manusia saat melihatnya, adalah hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena sangat mengerikan dan bengis. Tidak ada yang tahu hakekat rupa Malaikat Maut di waktu itu, kecuali orang yang mana Malaikat Maut sendiri sengaja menampakkan diri kepadanya. Kalaupun ada yang bercerita tentang dia, barangkali itu adalah hanya perumpamaan-perumpamaan dan cerita-cerita belaka yang dibuat orang.

Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa dia berkata, “Aku melihat pada suatu Shuhuf Syits, bahwa Adam as berkata, ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku malaikat maut, supaya aku bisa melihatnya.’ Allah Ta’ala mewahyukan kepada Adam, ‘Sesungguhnya malaiat maut itu mempunyai sifat-sifat tertentu yang yang membuat kamu tak mampu melihatnya. Tapi Aku akan menurunkan dia kepadamu dalam ujud seperti biasa dilihat oleh para Nabi dan orang-orang pilihan.’

Kemudian Allah menyuruh Jibril, Mikail dan Malaikat Maut turun menemui Adam. Adapun malaikat maut sendiri menemui Adam dalam wujud seekor domba biru tua. Dia membentangkan 4000 sayap dari sayap-sayap yang dimilikinya. Diantaranya ada sayap yang lebarnya mencapai langit dan bumi, ada yang mencapai seluruh bumi-bumi, ada yang mencapai timur yang terjauh, ada juga sayap yang mencapai barat terjauh. Ternyata bagi malaikat maut, bumi dengan segala isinya, seperti gunung-gunung, lembah, hutan, jin, manusia dan bintang dengan segala jenisnya, laut dan udara dengan segala isinya masing-masing semuanya di lekukan leher malaikat maut hanyalah seperti sebutir biji sawi berada di tanah lapang. Dan ternyata, dia juga mempunyai beberapa mata yang hanya dia buka di tempat-tempat tertentu saja, dan beberapa sayap yang hanya dia bentangkan di tempat-tempat tertentu saja. ada sayap-sayap yang dia bentangkan sebagai kabar gembira bagi orang-orang pilihan, dan ada pula sayap-sayap yang dia bentangkan kepada orang-orang kafir, dimana terdapat batang-batang besi penusuk, batang-batang besi pengait dan gunting-gunting. Melihat itu semua, nabi Adam as sangat terkejut dan pingsan, dan baru sadar kembali pada jam yang sama di hari ketujuh sejak peristiwa itu. Dan ketika sadar, terasa seolah-olah dia baru bangkit dari ranting-ranting za’faran yang banyak durinya. (Khabar ini disampaikan oleh Ibnu Zhafar al-Wa’izh yang lebih dikenal dengan nama Abu Hasyim Muhammad bin Muhammad dalam kitab “an-Nasha’ih”)

Dan diriwayatkan dari Ibn Abbas ra, bahwa Nabi Ibrahim as. pernah meminta malaikat Maut memperlihatkan kepada dirinya bagaimana rupa wajahnya ketika mencabut nyawa orang mukmin. Maka malaikat Maut berkata, “Palingkan wajahmu dariku.” Ibrahim memalingkan wajahnya. Dan setelah itu ia melihat malaikat Maut dalam wujud seorang pemuda yang amat tampan, berpakaian indah, beraroma harum, dengan penampilan yang sangat menarik. Maka Ibrahim berkata kepadanya, “Demi Allah, andaikan seorang mukmin tidak mendapatkan kegembiraan apapun, selain melihat wajahmu, niscaya cukuplah.”
Kemudian Ibrahim berkata, “Sekarang, perlihatkan kepadaku bagaimana rupamu ketika mencabut nyawa orang kafir.” “Kamu tidak akan kuat,” jawab Malaikat Maut. “Tetapi perlihatkanlah,” desak Ibrahim. Maka malaikat Maut pun berkata, “Palingkanlah wajahmu.”
Ibrahim memalingkan wajahnya, kemudian melihat kembali malaikat Maut, dan ternyata dia berupa seorang manusia berkulit hitam. Kedua kakinya di bumi dan kepalanya di langit. Rupanya buruk sekali, seburuk-buruk rupa yang pernah kamu lihat. Di bawah tiap-tiap helai rambut yang ada di tubuhnya ada nyala api. Maka Ibrahim berkata, “Demi Allah, andaikan seorang kafir tidak menerima siksa apapun selain melihat wujudmu, niscaya cukuplah itu.”

Pengertian tentang malaikat ini akan disampaikan lagi secara marfu’ dari Nabi saw. nanti, dalam sebuah riwayat al-Barra’ dan lainnya, insya Allah.

Ibnu Abbas ra mengatakan pula, bahwa nabi Ibrahim as adalah seorang yang sangat pencemburu. Dia punya rumah khusus untuk beribadah. Kelau dia keluar rumah itu dikuncinya. Pada suatu hari ia hendak masuk ke rumah itu, dan ternyata di dalamnya sudah ada seseorang. Dia bertanya, “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke rumahku?”
“Aku disuruh masuk oleh pemiliknya,” jawab orang itu.
“Aku pemiliknya,” kata Ibrahim. Orang itu kembali menjawab, “Aku disuruh masuk oleh Yang lebih memiliki daripada kamu.”
Dengan jawaban itu agaknya Ibrahim maklum, maka dia bertanya, “Kalau begitu malaikat yang manakah kamu?”
“Aku malaikat maut.” Kata orang itu memperkenalkan.
Ibrahim berkata, “Dapatkah kamu memperlihatkan diri kepadaku dengan rupa seperti kamu mencabut nyawa orang mukmin?” “Ya,” jawab malaikat Maut.

Dan setelah Ibrahiim menoleh kepadanya, ternyata dia telah berubah menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya, indah pakaiannya dan harum aromanya. Maka Ibrahim berkata, “Hai malaikat Maut, andaikan orang mukmin pada saat meninggal dunia tidak memperoleh apa-apa selain melihat rupamu, niscaya cukuplah itu.” Kemudian Ibrahim pun dicabut nyawanya.

&

Sumpah

13 Jul

Kajian Fiqih Empat Imam Madzab;
Syekh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi

Para imam madzhab sepakat bahwa orang yang bersumpah untuk melakukan ketaatan maka ia wajib memenuhinya. Apakah dibolehkan ia mengganti dengan kafarah saja, padahal ia mampu memenuhi sumpahnya? Hanafi dan Hambali mengatakan: tidak boleh. Syafi’i berpendapat: yang utama adalah tidak menggantinya dengan kafarah.
Dari Maliki diperoleh dua riwayat seperti dua pendapat di atas.

Para imam madzhab sepakat tentang tidak bolehnya menjadikan nama Allah sebagai penghalang dalam melakukan kebajikan dan bersilaturahim. Yang utama adalah sumpah demikian dibatalkan saja, dan dibayar kafarahnya jika bersumpah untuk meninggalkan suatu kebajikan.

Para imam madzhab sepakat bahwa segala sumpah kembali pada niat. Kalau tidak ada niat maka dilihat sebab-sebab yang membangkitkan adanya sumpah tersebut.

Para imam madzhab sepakat bahwa sumpah itu sah dengan menyebutkan nama Allah dan semua nama-Nya yang terdapat dalam asmaul husna. Demikian juga menggunakan semua sifat Allah, seperti: “Demi keperkasaan Allah serta keagungan-Nya.”

Hanafi mengecualikan sumpah dengan menggunakan lafadz ‘ilmullah [ilmu Allah]. Menurutnya, hal itu tidak dipandang sebagai sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang bersumpah palsu, yakni bersumpah dengan menggunakan nama Allah terhadap suatu perkara yang telah berlalu dengan sengaja berdusta. Apakah sumpah yang demikian itu dikenai kafarah?

Hanafi, Maliki dan Hambali dalam suatu riwayatnya mengatakan: tidak dikenai kafarah karena dosa bersumpah palsu itu lebih besar daripada pahala yang membayar kafarah. Syafi’i dalam riwayat lain dari Hambali mengatakan: harus membayar kafarah.

Adapun jika seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya pada masa yang akan datang, kemudian sumpah tersebut dilanggar, maka wajiblah atasnya kafarah. Demikian menurut ijma para imam madzhab.

Apabila seseorang berkata, “Aku bersumpah dengan nama Allah” atau “Aku telah bersaksi dengan nama Allah”, maka hal demikian itu dihukumi sebagai sumpah, walaupun ia tidak berniat sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali.

Maliki berpendapat: jika ia mengatakan, “Aku bersumpah” kemudian diteruskan dengan kalimat “dengan nama Allah”, baik diucapkan maupun diniatkan, maka yang demikian dihukumi sumpah. Sedangkan jika tidak diucapkan dan tidak diniatkan, maka hal itu bukanlah sumpah.

Menurut Syafi’i: orang yang mengatakan: “Kami bersumpah dengan nama Allah” dan diniatkan sumpah maka hal itu dihukumi sebagai sumpah. Sedangkan jika ia niatkan kabar saja, maka hal itu bukan sumpah.

Jika hal itu tidak diniatkan apa-apa maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara ulama pengikut Syafi’i. Sebagian mereka berpendapat: bukan sumpah. Inilah pendapat yang paling kuat.

Syafi’i berpendapat: tentang orang yang mengatakan: “Aku bersaksi dengan nama Allah” jika diniatkan sumpah maka jadilah sumpah. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka bukanlah sumpah. Inilah pendapat Syafi’i yang dipandang paling kuat oleh para ulama pengikutnya.

Apabila seseorang mengatakan: “Aku bersaksi, aku tidak mengerjakannya” dan tidak diniatkan apa-apa maka jadilah sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan salah satu riwayat pendapat Hambali. Menurut Maliki, Syafi’i dan riwayat lain dari Hambali: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi hak Allah,” maka jadilah sumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak menjadi sumpah.

Apabila seseorang mengatakan, “la amrullah” atau “wa aymullah” maka yang demikian menjadi sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya.
Menurut pendapat sebagian ulama pengikut Syafi’i: jika tidak diniatkan sumpah maka hal itu bukanlah sumpah. Seperti ini juga pendapat Hambali dalam riwayat lainnya.

Apabila seseorang bersumpah dengan al-Qur’an maka sah sumpahnya, dan jika dilanggar ia dikenai kafarah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Ibn Hubairah berpendapat: dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat jika yang bersumpah melanggar sumpahnya. Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abdil Barr dalam kitab al-Tahmid bahwa mengenai hal ini ada beberapa pendapat dari kalangan para shahabat dan Tabi’in, serta kesepakatan mereka atas wajibnya kafarah atasnya. Ibn ‘Abdil Barr mengatakan: tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini, kecuali tentang seseorang yang melanggar sumpahnya.

Para imam madzhab berbeda pendapta tentang banyaknya kafarah sumpah dengan al-Qur’an. Maliki dan Syafi’i mengatakan: wajib satu kafarah. Sedangkan Hambali mempunyai dua riwayat. Pertama, satu kafarah. Kedua tiap-tiap ayat diberikan satu kafarah.

Apabila seseorang bersumpah dengan nama Nabi saw. maka sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah. Demikian menurut Hambali dalam riwayatnya yang jelas. Sedangkan Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengatakan: sumpahnya tidak jadi, dan ia tidak dikenai kafarah.

Apakah sumpah orang kafir itu sah? Hanafi berpendapat: tidak sah. Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: sumpahnya sah, dan jika dilanggar maka dia dikenai kafarah.

Para imam madzhab sepakat bahwa kafarah menjadi wajib lantaran pelanggaran sumpah, baik sumpah untuk mengerjakan ketaatan atau meninggalkan kemaksiatan maupun mengerjakan perkara yang mubah.

Akan tetapi para imam madzhab berbeda pendapat tentang membayar kafarah, apakah didahulukan atau ditunda sesudah pelanggaran. Hanafi berpendapat: kafarah tidak boleh dibayarkan kecuali setelah terjadi pelanggaran. Syafi’i berpendapat: boleh mendahulukan kafarah atas pelanggaran sumpah dalam perkara yang mubah. Dari Maliki diperoleh dua riwayat: pertama boleh didahulukan. Seperti ini juga pendapat Hambali. Kedua tidak boleh didahulukan.

Apabila membayar kafarah sumpah dengan puasa, adakah perbedaannya dengan kafarah berupa memerdekakan budak atau memberi makan orang miskin? Maliki berpendapat: tidak ada perbedaan. Syafi’i berpendapat: tidak boleh mendahulukan pembayaran kafarah dengan puasa, tetapi yang lain boleh.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang sumpah yang tidak disengaja. Menurut Hanafi, Maliki, dan Hambali dalam satu riwayatnya mengatakan: sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah dengan nama Allah terhadap suatu urusan, tetapi ternyata tidak sama, baik dengan sengaja maupun tidak, atau karena terlanjur mengatakannya. Namun Maliki dan Hanafi berpendapat: hal itu boleh untuk apa yang telah lalu atau yang akan terjadi. Adapun menurut pendapat Hambali: hal itu diperbolehkan dalam masalah yang telah berlalu saja. kemudian ketiga imam tersebut sepakat bahwa sumpah yang demikian tidak berdosa dan tidak pula ia dikenai kafarah.

Menurut Maliki, sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang yang berkata, “Tidak, demi Allah” atau “ya, demi Allah” yaitu yang terjadi dalam suatu percakapan tanya jawab tanpa dimaksudkan bersumpah.

Syafi’i berpendapat: sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya, “laa wallaaHi” (tidak, demi Allah) atau “balaa wallaaHi” (benar, demi Allah) yang terjadi dalam suatu percakapan, ketika marah tanpa disengaja, baik mengenai sesuatu yang sudah lewat maupun yang akan datang. Tidak ada kafarah dan tidak pula dosa dalam hal ini. Seperti ini pula sebuah riwayat dari Hambali.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengerjakan demikian” maka itu menjadi sumpah, baik diniatkan sumpah maupun tidak. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab Syafi’i.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air Zaid” dengan niat untuk memutuskan hubungan, tetapi ia memanfaatkan barang milik Zaid, baik dengan memakan, meminum, meminjam, maupun mengendarainya, berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki dan Hambali.
Hanafi dan Syafi’i mengatakan: tidak dihukumi melanggar sumpah, kecuali diperoleh manfaatnya dengan cara meminum air.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, padahal ia berada di dalamnya, kemudian ia keluar sendirian saja tanpa diikuti oleh keluarga dan kendaraannya, maka hal itu tidak dibenarkan kecuali dengan membawa keluar semuanya, tidak cukup dirinya saja. demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: cukup dirinya saja yang keluar.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah, lalu ia menetap di atas atapnya atau memasuki rumah yang merupakan bagian dari rumah tadi, yang di dalamnya terdapat jalan menuju jalan raya, maka ia dihukumi telah melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah, kecuali ia menginjakkan kakinya sedikit saja ke dalam halamannya. Jika ia menepat di atas atapnya dan tidak turun maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki rumah Zaid, lalu Zaid menjualnya, kemudian orang yang bersumpah tersebut memasukinya setelah rumah itu dibeli orang lain, maka ia tetap dihukumi melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara kepada anak kecil, lalu anak itu menjadi tua; atau tidak akan makan daging kambing muda, lalu kambing itu menjadi tua; atau tidak akan makan kurma mentah lalu kurma itu menjadi matang; atau tidak akan makan kurma basah lalu kurma itu menjadi kering; atau tidak akan makan kurma kering lalu kurma itu menjadi manisan; atau tidak akan masuk suatu rumah lalu rumah itu menjadi halaman kering; atau tidak akan makan kurma, maka menurut Hanafi: ia tidak melanggar sumpah dalam memakan kurma mentah, kurma basah, dan kurma kering, sedangkan dalam hal lainnya dianggap melanggar sumpah. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Maliki dan Hambali mengatakan: semuanya dapat dihukumi melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu rumah lalu ia memasuki masjid atau tempat mandi, maka ia tidak dihukumi melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menetap di suatu rumah, lalu ia menetap di dalam rumah yang terbuat dari bulu atau kulit, atau kemah, sedangkan ia adalah penduduk suatu kota, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Hal demikian tidak terdapat dalam ketetapan Maliki, tetapi usuannya menetapkan pelanggaran sumpah.

Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah jika tidak diniatkan, baik ia penduduk kota maupun penduduk desa. Menurut sebagian para ulama madzhab Syafi’i: terdapat perbedaan di antara keduanya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan melakukan suatu pekerjaan, lalu ia menyuruh orang lain untuk mengerjakannya, kemudian ia mengerjakannya, maka ia dipandang telah melanggar sumpah jika pekerjaan itu berupa pernikahan atau talak, bukan berupa jual beli dan sewa menyewa kecuali pekerjaan tersebut tidak ia kerjakan sendiri. Jika dikerjakan sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi. Maliki berpendapat: jika ia tidak berniat mewakilkan kepada orang itu untuk dirinya sendiri maka ia dianggap melanggar sumpah.

Syafi’i berpendapat: jika orang tersebut adalah seorang penguasa atau orang yang tidak bisa mengerjakan sendiri pekerjaannya, atau tidak ada niat untuk mengerjakan demikian, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika keadaannya tidak demikian, maka ia dipandang telah melanggar sumpah. Hambali berpendapat: ia dianggap telah melanggar sumpah secara mutlak.

Apabila seseorang bersumpah untuk membayar utangnya besok, lalu dibayar sebelumnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat ia melanggar sumpah.

Apabila orang yang mempunyai piutang meninggal sebelum hari besok maka dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah. Maliki berpendapat: jika pembayaran oleh ahli waris atau hakim dilakukan hari besok, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Sedangkan jika orang lain membayarkannya maka ia dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini besok, lalu air itu tumpah sebelum hari besok, maka ia tidak dipandang melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i: jika gelas rusak sebelum hari besok bukan karena perbuatannya maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah akan minum air yang berada dalam gelas ini, lalu air tidak ada, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut kesepakatan pendapat para imam madzhab. Abu Yusuf berpendapat: ia melanggar sumpah.

Apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan yang ia sumpahkan tidak akan dikerjakan, tetapi karena lupa ia mengerjakannya, maka ia dipandang melanggar sumpah secara mutlak, baik ia bersumpah dengan nama Allah, atau dengan talak atau dhihar. Demikian pendapat Hanafi dan Maliki. Sedangkan Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang yang lebih jelas menyatakan: tidak dipandang melanggar sumpah secara mutlak. Dari Hambali diperoleh dua riwayat: pertama, jika sumpah itu dengan nama Allah atau dengan dhihar maka ia tidak melanggar sumpah. Kedua, semuanya merusak sumpah.

Para imam madzhab berbeda pendapat tentang orang yang dipaksa bersumpah. Maliki dan Syafi’i berkata: tidak sah. Hanafi berpendapat sumpahnya sah.

Para imam madzhab sepakat apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak berbicara dengan si fulan pada suatu waktu” dan ia meniatkan dengan sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut niatnya. Sedangkan jika tidak diniatkan apa-apa maka ia tidak boleh berbicara dengan orang yang dimaksud. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki berpendapat: tidak boleh berbicara selama satu tahun. Syafi’i: sesaat saja.

Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan berbicara dengan si fulan, lalu ia menulis surat dan dikirimkan kepadanya, atau ia memberi isyarat dengan tangannya, matanya atau kepalanya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya. Maliki berpendapat: jika dengan tulisan, maka ia melanggar sumpah. Sedangkan jika dengan surat atau isyarat maka dalam hal ini Maliki mempunyai dua pendapat. Dan Hambali berpendapat: melanggar sumpah. Seperti itu juga qaul qadim Syafi’i.

Apabila seseorang berkata kepada istrinya, “Jika engkau keluar tanpa izinku maka engkau tertalak.” Dan ia niatkan untuk sesuatu tertentu, maka ia dihukumi menurut yang dia niatkan. Jika tidak dimaksudkan apa-apa, atau suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau tertalak jika keluar kecuali aku mengizinkanmu atau hingga aku mengizinkanmu” menurut pendapat Hanafi, jika suami mengatakan “Jika engkau keluar tanpa izinku”, maka setiap kali keluar haruslah diperlukan izin dari suaminya. Sedangkan jika suaminya mengatakan, “kecuali aku mengizinkanmu” atau “sehingga aku mengizinkanmu” atau “sampai aku mengizinkanmu” maka cukuplah minta izin satu kali saja.

Maliki dan Syafi’i mengatakan: keluar yang pertama memerlukan izin dari suaminya, sedangkan keluar berikutnya tidak diperlukan izin. Hambali berpendapat: setiap kali keluar diperlukan izin dari suaminya.

Apabila suami mengizinkannya, tetapi hal itu tidak terdengar istrinya, maka tidak dihukumi izin. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Syafi’i berpendapat: dihukumi izin yang shahih.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan kepala dan ia pun tidak meniatkan untuk kepala tertentu, tetapi kepala secara mutlak, maka sumpah itu berlaku pada semua yang dinamakan kepala, baik secara hakekat dari segi bahasa maupun dari adat kebiasaan, seperti kepala hewan, kepala burung, dan kepala ikan. Demikian menurut pendapat Maliki dan Hambali. Hanafi berpendapat: khusus untuk kepala sapi dan kepala kambing saja. syafi’i berpendapat: termasuk kepala unta, sapi dan kambing.

Apabila seseorang bersumpah akan memukul Zaid dengan seratus cambukan, lalu ia memukulnya dengan menggunakan tangkai pohon bercampur rerumputan seratus kali, apakah hal demikian dapat dibenarkan? Maliki dan Hambali mengatakan: tidak dibernarkan? Syafi’i berpendapat dapat dibenarkan.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan hibah kepada si fulan dengan suatu pemberian, lalu ia bersedekah kepadanya, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hanafi berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah akan membunuh si fulan, dan si fulan telah menjadi mayat, tetapi ia tidak mengetahui kematiannya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika sudah mengetahuinya maka ia dipandang melanggar sumpah. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Maliki berpendapat: tidak melanggar sumpah secara mutlak, baik ia mengetahui kematiannya ataupun tidak.

Jika seseorang bersumpah bahwa dirinya tidak memiliki harta sama sekali, tetapi ternyata ia memiliki piutang, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali: melanggar sumpah.

Seseorang yang bersumpah tidak akan makan buah-buahan, kemudian ia makan kurma, anggur atau delima, maka ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi. Sedangkan Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lauk-pauk, lalu ia makan daging, keju, atau telur maka ia tidak melanggar sumpahnya, kecuali ia memakan sesuatu yang dimasak dengannya. Demikian pendapat Hanafi. Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: ia telah melanggar sumpah dengan memakan masing-masing dari makanan tersebut.

Jika seseorang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi dan Syafi’i.

Menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak makan daging, kemudian ia memakan lemak, maka ia tidak melanggar sumpah. Menurut Maliki: melanggar sumpah.

Menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali: jika seseorang bersumpah tidak akan memakan lemak, kemudian ia makan lemak punggung maka ia telah melanggar sumpahnya. Menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah. Apabila seseorang bersumpah akan mencium bunga lalu mencium minyaknya, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali. Dan Syafi’i berpendapat: tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berbicara, kemudian membaca al-Qur’an, maka secara mutlak ia tidak melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Hanafi berpendapat: jika ia membacanya dalam shalat maka ia tidak dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika membacanya di luar shalat, maka ia dipandang telah melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memasukkan si fulan ke dalam suatu rumah, lalu ia memasukkan orang yang dimaksud ke dalamnya, dan memintanya agar lebih lama tinggal dengannya maka ia tidak melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam salah satu pendaptnya. Menurut Maliki dan Hambali serta pendapat yang keduanya dari Syafi’i: ia telah melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan berdiam di suatu rumah bersama si fulan, lalu mereka membagi rumah tersebut dan membuat pagar di antara kedua bagian tersebut, masing-masing bagian itu ada pintu dan kuncinya, maka ia dianggap melanggar sumpah. Demikian menurut Maliki. Sedangkan Syafi’i dan Hambali mengatakan: hal demikian tidak melanggar sumpah. Dari Hanafi ada dua riwayat.

Para imam madzab sepakat bahwa kafarah sumpah adalah memberikan makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. Orang yang bersumpah boleh memilih mana yang dikehendakinya. Sedangkan jika ia tidak dapat melaksanakannya, hendaknya menggantinya dengan berpuasa tiga hari. Apakah puasa itu wajib dikerjakan berturut-turut? Hanafi dan Hambali mengatakan wajib berturut-turut. Maliki mengatakan tidak wajib berturut-turut. Dari Syafi’i ada dua pendapat. Menurut qaul jadidnya dan yang paling kuat: tidak wajib berturut-turut.

Para imam madzhab sepakat bahwa apabila diberikan makanan kepada seorang miskin saja dalam masa sepuluh hari maka hal itu tidak sah, melainkan dipandang memberi makan seorang saja. Namun Hanafi membolehkannya, yaitu dihitung sepuluh orang miskin.

Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai kadar yang harus diberikan kepada tiap-tiap orang miskin. Maliki berpendapat: satu mud, yaitu dua rithl Baghdad ditambah lauk-pauk. Tetapi jika dibayar dengan satu mud saja tanpa lauk-pauk, hal itu tetap sah.
Hanafi berpendapat: jika ia mengeluarkan gandum maka kadarnya adalah setengah sha’. Sedangkan jika berupa syair atau kurma maka kadarnya adalah satu sha’.
Hambali berpendapat: satu mud gandum atau dua mud kurma atau dua rithal tepung roti.
Syafi’i berpendapat: untuk tiap-tiap orang miskin satu mud.

Adapun untuk pakaian, sedikitnya adalah seukuran kain yang dapat dipakai untuk shalat, yaitu seperti baju gamis atau kain sarung untuk laki-laki, dan baju kurung dan kerudung untuk perempuan. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi dan Syafi’i: ukuran minimalnya adalah apa saja yang dapat dinamakan pakaian. Namun Hanafi memberi batasan, yaitu berupa baju luar, gamis, atau kain selendang. Jika berupa serban, kerudung, celana, atau sarung maka Hanafi mempunyai dua riwayat. Syafi’i berpendapat: semua jenis tersebut sudah mencukupi. Adapun jika berupa kopiah, menurut ulama madzhab Syafi’i ada dua pendapat.

Para imam madzhab sepakat kafarah tersebut hanya boleh diberikan kepada fakir miskin yang beragama Islam dan merdeka. Juga, boleh kepada anak kecil yang sudah makan makanan yang diterima oleh walinya.

Apakah boleh diberikan kepada anak kecil yang belum makan makanan? Hanafi, Maliki dan Syafi’i mengatakan: boleh diberikan kepada mereka. Hambali berpendapat: tidak boleh.

Apabila diberikan makanan kepada lima orang dan diberikan pakaian kepada lima orang lainnya, maka hal demikian adalah boleh. Demikian menurut Hanafi dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Syafi’i: tidak boleh.

Jika seseorang mengulangi sumpahnya terhadap satu barang, atau terhadap beberapa barang, dan ia melanggarnya, maka ia dikenai kafarah untuk masing-masing sumpah. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Namun menurut Maliki: jika dimaksudkan dengan berulang itu untuk menguatkan maka kafarahnya hanya satu. Sedangkan jika dimaksudkan untuk masing-masing barang maka ia dikenai kafarah untuk tiap-tiap sumpah. Menurut Hambali dalam riwayat lainnya: diberikan satu kafarah saja untuk seluruhnya.

Syafi’i berpendapat: jika sumpah itu untuk satu barang, dan diulangnya sumpah tersebut dengan niat untuk menguatkan maka ia hanya dikenakan satu kafarah. Sedangkan jika diniatkan untuk memulai lagi sumpahnya, bukan untuk menguatkan, maka dianggap dua kali sumpah, artinya dua kali kafarah. Jika untuk beberapa barang yang berbeda-beda, maka masing-masing dikenai satu kafarah.

Apabila seseorang berpendapat, “Jika ia berbuat demikian maka ia menjadi Yahudi,” “Kafir”, “terlepas dari Islam”, atau “terlepas dari Rasul”, lalu dikerjakan apa yang diucapkannya, maka ia wajib membayar kafarah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan: tidak dikenai kafarah.

Apabila seseorang berkata, “Demi janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang berkata, “Bagiku ada janji Allah” maka ia dihukumi telah bersumpah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.

Jika seseorang mengatakan, “Demi amanat Allah” maka ia pun dihukumi telah bersumpah. Demikian pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan Maliki dan Syafi’i mengatakan tidak dihukumi telah bersumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakai perhiasan, lalu ia memakai cincin, maka ia melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Hanafi: tidak melanggar sumpah.

Jika seorang perempuan bersumpah tidak akan memakai perhiasan lalu ia mengenakan permata dan intan, maka ia telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpah kecuali jika ia mengenakan perhiasan berupa emas atau perak.

Apabila seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakan roti ini” lalu ia memakan sebagiannya; atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan meminum air gelas ini” lalu ia meminum sebagian, atau mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan memakai pakaian dari benang si fulanah” lalu ia mengenakan pakaian yang di dalamnya terdapat benang hasil pintalan si fulanah itu; atau seseorang mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan memasuki rumah itu” lalu ia memasukkan tangan atau kakinya; maka dalam hal ini tidak melanggar sumpahnya demikian menurut Hanafi dan Syafi’i. Sedangkan menurut Maliki dan Hambali: melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memakan makanan yang dibeli oleh si fulan, lalu ia memakan sebagian yang dibelinya atau lainnya, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Maliki dan Hambali. Demikian pula jika ia bersumpah tidak akan memakai pakaian yang dibeli si fulan dan yang serupa dengan itu.
Hanafi berpendapat: semua itu dianggap telah melanggar sumpah, meskipun dengan memakan makanannya saja. syafi’i: semuanya itu tidak dianggap melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan makan tepung ini, lalu ia membuat roti darinya dan memakannya, maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki dan Hambali. Sedang Hanafi berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dipandang telah melanggar sumpahnya. Syafi’i berpendapat: jika tepung itu dibuat obat maka ia tidak dapat dianggap melanggar sumpah. Sedangkan jika dibuat roti dan roti tersebut dimakan, maka ia dianggap tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menempati rumah si fulan maka dianggap melanggar sumpah jika menempatinya secara makruh. Juga apabila ia bersumpah tidak akan mengendarai kendaraan si fulan, lalu ia mengendarai kendaraan budaknya maka ia dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: jika tidak diniatkan maka ia tidak melanggar sumpah.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan minum dari sungai Dajlah, sungai Eufrat, atau sungai Nil, lalu ia menciduk air darinya dengan tangan atau bejananya kemudian diminum, maka dianggap telah melanggar sumpah. Demikian pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya hingga ia meminum dengan mulutnya.

Jika seseorang bersumpah tidak akan minum air sumur ini, lalu ia meminumnya sedikit, maka ia tidak dianggap telah melanggar sumpah, kecuali jika diniatkan meminum seluruhnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan memukul istrinya, lalu ia mencekiknya, menggigitnya tau mencabut rambutnya maka berarti ia telah melanggar sumpahnya. Demikian pendapat Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut Syafi’i tidak melanggar sumpah.

Jika seseorang bersumpah tidak akan memberikan sesuatu kepada si fulan, lalu ia memberinya tetapi tidak diterima oleh si fulan yang dimaksud, maka ia dihukumi telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Maliki dan Hambali. Sedangkan Syafi’i berpendapat: tidak dianggap telah melanggar sumpah hingga diserahkan atau diterima oleh si fulan.

Apabila seseorang bersumpah tidak akan menjual sesuatu, lalu ia menjualnya dengan syarat khiyar untuk dirinya sendiri, maka ia dianggap telah melanggar sumpahnya. Demikian menurut Hanafi, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki: tidak melanggar sumpahnya.

Apabila seseorang memiliki harta yang jauh, atau berupa piutang, dan ia tidak mendapatkan makanan yang akan dibagikan, dan tidak ada pula pakaian, maka ia tidak boleh terus membayar kafarahnya dengan langsung berpuasa. Ia harus bersabar menunggu hingga hartanya yang jauh itu tiba, kemudian kafarahnya dibayar dengan harta tersebut. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat: boleh langsung berpuasa ketika tidak ada harta.

&