Kesedihan Seorang Janda

3 Mar

Wanita dalam Pandangan Islam
Karya: Dr. Syarief Muhammad abdul adhim;
Penerjemah: Ibrahim Qamaruddin, Lc.

Disebabkan Perjanjian Lama mengharamkan perempuan untuk mendapatkan haknya dalam warisan, maka seorang janda akan menjadi orang yang paling lemah dan fakir dalam masyarakat Yahudi. Meskipun kerabatnya telah mewarisi semua harta suaminya yang telah meninggal, mereka bertanggung jawab untuk memberikan nafkah terhadapnya (janda tersebut), akan tetapi dia tidak mempunyai jaminan apapun yang mewajibkan mereka (kerabat tersebut) untuk melakukan hal itu, dan hidup di bawah belas kasih mereka. Oleh karena itu, seorang janda termasuk orang yang paling rendah derajatnya dalam masyarakat Israel. (Isy`iyaa` 54 :4).

Akan tetapi kesedihan seorang janda tidak cukup sampai disini, bahkan akan sampai pada tingkatan yang dijelaskan dalam Kitab al-Muqaddas (Takwien (penciptaan) 38) bahwasanya seorang perempuan janda yang tidak mempunyai keturunan harus menikah dengan saudara suaminya walaupun saudara suaminya itu telah menikah, agar dia dapat memberikan kepada saudaranya anak-anak (keturunan) dan supaya dia dapat menjamin bahwasanya nama saudaranya akan tetap hidup (dikenang) dan tidak akan berakhir dengan kematiannya. “Yahuza berkata kepada Onan:

“Masuklah kepada isteri saudaramu dan menikahlah dengannya dan buatlah keturunan untuk saudaramu”.” (Takwien (penciptaan) 38: 8).

Dan perempuan tidak berhak untuk menolak pernikahan ini. Oleh karena itu, dia diperlakukan seperti bagian dari harta peninggalan suaminya yang meninggal dan satu-satunya tugas dia ialah menjaga keturunan suaminya. Hukum ini masih senantiasa dipraktekkan di Israel sampai sekarang.

Janda adalah warisan untuk saudara suaminya. Dan jika saudara suaminya itu masih terlalu kecil untuk menikah, maka dia wajib menunggunya sampai ia pada umur yang cocok untuk menikah. Akan tetapi jika saudara suaminya menolak untuk menikah dengannya, maka dia terbebas dan dia boleh menikah dengan siapapun yang dia kehendaki. Oleh karena itu sangat jelas bentuk pemerasan saudara suami kepada seorang janda agar dia dapat memperoleh kebebasannya. Orang-orang Arab sebelum Islam mereka mempunyai adat yang mirip dengan adat-adat ini. Oleh karena janda merupakan bagian dari harta peninggalan suami yang akan diwarisi oleh keluarga laki-laki, maka menjadi suatu adat bahwa tidak akan menikah anak laki-laki yang sulung dari anak-anak suami yang meninggal dengan isteri yang lain. Kemudian al-Qur`an datang mengharamkan semua adat-adat yang hina ini:

“Dan jangan kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (QS. An-Nisaa: 22).

Oleh karena itu janda dan perempuan yang tertalak sangat hina sekali dalam akidah orang-orang Yahudi dan tidak boleh bagi Santo (orang suci/pendeta) untuk menikahi janda dan wanita yang tertalak atau wanita penzina.

“Oleh karena ini, (santo) akan menikahi wanita yang perawan. Adapun janda, wanita tertalak, wanita yang kotor dan wanita penzina mereka tidak akan diambil sebagai isteri tapi yang akan diambil ialah para perawan dari perempuan kaumnya. Dan dia tidak akan mengotori tanamannya di antara rakyatnya karena saya adalah Tuhan yang suci”. (Lawien 21: 13-15).

Terdapat di Israel sekarang orang yang keturunannya rentetan pendeta-pendeta yang sudah senior sejak ayyamul ma`bad (yang telah lampau), dan tidak boleh bagi mereka untuk menikahi janda, wanita yang tertalak dan wanita penzina.

Pada peraturan-peraturan Yahudi, perempuan Yahudi yang janda yang telah menikah tiga kali dan ketiga suami tersebut meninggal mereka dikategorikan sebagai “pembunuh” dan dia tidak berhak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya.

Adapun dalam al-Qur`an, ini semua tidak akan ditemukan. Perempuan janda atau yang tertalak berhak untuk menikah lagi sebagaimana yang ia kehendaki. Dan tidak terdapat celaan apapun terhadap janda atau wanita yang tertalak dalam al-Qur`an:

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir `iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf (baik), atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma`ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemadaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 231).

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al-Baqarah: 234).

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma`ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 240).

&

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: