Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 12

16 Mar

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ (Wanita)
Surah Madaniyyah; surah ke 4: 176 ayat

tulisan arab alquran surat an nisaa' ayat 12“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahapenyantun. (QS. An-Nisaa’: 12)

Allah berfirman, “Hai laki-laki! kamu berhak memperoleh setengahdari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, apabila mereka wafat tanpa meninggalkan anak. Dan jika mereka meninggalkan anak, maka kamu memperoleh seperempat dari peninggalan mereka setelah dipenuhi wasiat atau utang piutang.”

Dalam pembahasan yang lalu dijelaskan bahwa utang-piutang didahulukan daripada wasiat, setelah itu baru wasiat dan warisan. Hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama. Dan Allah swt. menetapkan bahwa ketetapan (bagian) untuk cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan ketetapan anak kandung. Kemudian Allah berfirman: wa laHunnar rubu’u mimmaa taraktum… (“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…”)(Hingga akhir ayat), baik dalam seperempat atau seperdelapan sama ketetapannya, apakah untuk satu isteri, dua, tiga atau empat isteri, maka mereka bersekutu dalam bagian tersebut. Dan firman-Nya: mim ba’di washiyyatim… (“Sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat.” (Dan seterusnya), pembicaraan masalah ini sudah berlalu.

Sedangkan firman-Nya: wa in kaana rajuluy yuuratsu kalaalatan (“Jika seorang laki-laki mewariskan kalalah.”) Al-Kalalah diambil dari kata al-Iklil (sesuatu yang mengelilingi seluruh bagian kepala. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat ini adalah, orang yang hanya memiliki ahli waris dari kaum kerabatnya saja, tidak ada dari ahli waris pokok (ayah dan seterusnya) atau ahli waris cabang (anak dan seterusnya). Sebagaimana yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ditanya tentang al-Kalalah, maka ia menjawab: “Al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak mempunyai orang tua”. Di saat `Umar diangkat (menjadi Khalifah) beliau berkata: “Sesungguhnya aku malu untuk menyelisihi Abu Bakar dalam pendapatnya, al-Kalalah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua.”

Begitulah pendapat yang dikemukakan `Ali dan Ibnu Mas’ud. Telah shahih pula (pendapat ini) bukan hanya dari satu orang ulama, di antaranya Ibnu`Abbas dan Zaid bin Tsabit. Ini pula yang dikemukakan oleh tujuh orang fuqaha, empat Imam madzhab serta Jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya. Bukan hanya satu ulama yang menceritakan telah terjadinya ijma’ dalam masalah tersebut disamping ada pula hadits marfu’ yang menjelaskannya.

Firman Allah: wa laHu akhun au ukhtun (“Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan.”) Artinya, dari pihak ibu (seibu), sebagaimana qira-at sebagian ulama Salaf, di antaranya Sa’ad bin Abi Waqqash. Demikian pula yang ditafsirkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq yang diriwayatkan oleh Qatadah. Wa likulli waahidim min Humas sudusu fa in kaanuu aktsara min dzaalika faHum syurakaa-u fits-tsulutsu (“Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”)

Saudara seibu berbeda dengan ahli waris lainnya dari beberapa segi:
– Pertama, mereka mendapatkan warisan bersamaan dengan orang yang lebih dekat kepada jenazah, yaitu ibu.
– Kedua, laki-laki dan perempuan dari pihak ibu adalah sama.
– Ketiga, mereka tidak mendapatkan waris kecuali dalam masalah kalalah. Maka, mereka tidak mendapatkan waris jika bersama bapak, kakek, anak atau cucu dari anak laki-laki.
– Keempat, mereka tidak mendapat lebih dari sepertiga sekalipun laki-laki dan perempuannya banyak. Ibnu Abi Hatim mengatakan dari az-Zuhri, ia berkata: “Umar memutuskan bahwa warisan saudara-saudara seibu, bagian laki-lakinya sama dengan dua bagian perempuannya.” Az-Zuhri berkata: “Aku tidak melihat `Umar menetapkannya kecuali setelah ia mengetahui hal tersebut dari Rasulullah dan dari ayat ini yang mana Allah berfirman, “Tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah persekutuan, yaitu suami, ibu atau kakek, dua orang saudara seibu lain bapak dan satu atau lebih saudara sekandung. Menurut pendapat Jumhur adalah suami mendapat setengah, ibu atau kakek seperenam, saudara seibu lain bapak mendapat sepertiga serta dipersekutukan bagian saudara sekandung di antara mereka sesuai kadar persekutuan, yaitu sama-sama saudara seibu.

Masalah ini pernah terjadi pada zaman Amirul Mukminin `Umar bin al-Khaththab, lalu beliau memberikan setengah untuk suami, ibu seperenam dan memberikan sepertiga untuk saudara seibu lain bapak. Maka, saudara sekandung bertanya: “Wahai Amirul mukminin, seandainya bapak kami keledai, bukankah kami tetap dari satu ibu?” Kemudian beliaupun mempersekutukan di antara mereka. Persekutuan ini shahih pula dari `Utsman, yaitu merupakan salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, Zaid binTsabit dan Ibnu `Abbas. Serta dikemukakan pula oleh Sa’id bin al-Musayyab, Syuraih al Qadhi, Masruq, Thawus, Muhammad bin Sirin, Ibrahim an-Nakha’i, `Umar bin `Abdul `Aziz, ats-Tsauri dan Syuraik.

Dan inilah madzhab Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ishaq bin Rahawaih. Sedangkan `Ali bin Abi Thalib tidak mempersekutukan bagian mereka, tetapi memberikan sepertiga untuk saudara seibu lain bapak dan tidak memberikan bagian apapun kepada saudara sekandung. Hal itu dikarenakan mereka adalah `ashabah. Waki’ bin al Jarrahberkata: “Tidak ada yang menyelisihinya dalam hal tersebut.” Inilah pendapat Ubay bin Ka’ab dan Abu Musa al-Asy’ari, itulah pendapat yang masyhur dari Ibnu `Abbas. Dan itulah madzhabnya asy-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, al-Hasan bin Ziyad, Zufar bin al-Hudzail, Imam Ahmad, Yahya bin Adam, Nu’aim bin Hammad, Abu Tsaur, Dawudbin `Ali azh-Zhahiri serta dipilih oleh Abul Husain bin al-Lubban al-Fardhi dalam kitabnya “al-iijaaz.”

Dan firman Allah: mim ba’di washiyyatiy yushaa biHaa au dainin ghaira mudlaarran (“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya [jenazah] atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat [kepada ahli waris].”) Artinya hendaklah wasiatnya itu atas dasar keadilan, bukan atas dasar kemudharatan, ketidakadilan dan penyimpangan dengan cara tidak memberikan sebagian ahli waris, menguranginya atau menambahkannya dari yang telah ditetapkan oleh Allah. Barangsiapa yang berupaya demikian, maka dia seperti orang yang menentang Allah dalam hukum dan syari’at-Nya. Karena itu, para Imam berbeda pendapat dalam menetapkan wasiat kepada ahli waris, apakah shahih atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Salah satu pendapat mengatakan tidak sah, karena mengandung unsure kecurigaan.

Di dalam hadits shahih dinyatakan bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Inilah madzhab Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan pendapat lama Imam asy-Syafi’i. Sedangkan dalam pendapat baru Imam asy-Syafi’i adalah bahwa penetapan wasiat itu sah. Dan itulah madzhab Thawus, `Atha’, al-Hasan, `Umar bin ‘Abdul `Aziz dan menjadi pilihan Abu ‘Abdillah al-Bukhari di dalam Shahihnya. Beliau berdalil bahwa Rafi’ bin Khadij memberi wasiat agar keretakan yang harus ditutupi tidak terbuka. Kapan pun penetapannya itu shahih dan sesuai kenyataan, maka perbedaan ini dapat dibenarkan. Sedangkan jika hanya dijadikan tipu daya atau alat untuk menambahkan atau mengurangi sebagian ahli waris, maka hal tersebut haram menurut ijma’ ulama dan nash ayat yang mulia ini.

Ghaira mudlaarraw washiyyatam minallaaHi wallaaHu ‘aliimun hakiim (“Dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris. [Allah’menetapkan hal itu sebagai] syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahapenyantun.”)

&

Tinggalkan komentar