Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Kahfi ayat 21

17 Jul

Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Kahfi (Gua)
Surah Makkiyyah; surah ke 18: 110 ayat

tulisan arab alquran surat al kahfi ayat 21“Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (QS. Al-Kahfi: 21)

Allah berfirman: wa kadzaalika a’tsarnaa ‘alaiHim (“Dan demikian pula Kami mempertemukan [manusia] dengan mereka.” Maksudnya, Kami perlihatkan mereka [Ash-haabul Kahfi] kepada umat manusia: liya’lamuu anna wa’dallaaHi haqquw wa annas saa’ata laa raiba fiiHaa (“Agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat tidak ada keraguan padanya.”) Tidak sedikit dari kalangan ulama salaf yang menyebutkan, orang-orang pada zaman itu telah dirasuki keraguan terhadap adanya kebangkitan dan hal-hal yang menyangkut hari Kiamat. ‘Ikrimah mengatakan, ada satu kelompok di antara mereka yang mengemukakan bahwa yang dibangkitkan itu hanyalah arwah, bukan jasad. Lalu Allah membangkitkan Ash-haabul Kahfi sebagai hujjah dan dalil sekaligus tanda yang menunjukkan bahwa yang dibangkitkan itu arwah dan juga jasad.

Mereka menyebutkan, ketika salah seorang di antara mereka akan keluar ke kota guna membeli sesuatu untuk mereka makan, maka ia pergi dengan menyamar dan berjalan kaki tidak di jalan umum hingga akhirnya sampai di kota. Selain itu, mereka juga menyebutkan bahwa nama kota itu adalah Daqsus. la mengira bahwa hal itu baru saja terjadi, padahal umat manusia telah mengalami pergantian dari kurun ke kurun, dari generasi ke generasi, dari satu umat ke umat yang lain, dan negeri serta penduduknya pun telah mengalami perubahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair:

Adapun rumah-rumah tempat tinggal adalah lama seperti rumah mereka.
Dan aku melihat penduduk kampung bukan penduduknya.

Dengan demikian, ia tidak melihat sesuatu pun tanda-tanda negeri yang dulu pernah dikenalnya dan ia juga tidak mengenal seorang pun dari penduduknya, baik yang khusus maupun yang awam. Sehingga ia pun merasa bingung dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri: “Apa mungkin aku ini tidak waras atau mungkinkah aku ini bermimpi.” la pun berkata, “Demi Allah, aku tidak gila dan tidak pula bermimpi, karena aku baru kemarin sore meninggalkan kota ini, dan ia belum mengalami perubahan seperti ini.”

Lebih lanjut ia mengemukakan: “Sesungguhnya segera pergi dari kota ini adalah lebih baik bagiku.” Kemudian ia melangkah menuju penjual makanan, lalu ia menyerahkan uang yang ada padanya dan meminta agar ditukar dengan makanan. Setelah mengetahui uang peraknya itu, maka penjual itu pun menolak menerima uang tersebut. Kemudian ia membayarkan kepada penjual yang lain, hingga akhirnya mereka saling bergantian melihat seraya berucap: “Mungkin orang ini menemukan harta karun.”
Lalu mereka bertanya kepadanya mengenai keperluannya dan dari mana uang itu ia peroleh, apa mungkin ia memperolehnya dari harta karun, dan siapakah anda sebenarnya? Maka ia menjawab: “Aku adalah penduduk negeri ini dan aku tinggal di kota ini baru saja kemarin sore. Di kota tersebut terdapat seorang yang bernama Daqyanus.”
Maka mereka pun menyebutnya sebagai orang yang tidak waras. Kemudian mereka membawa orang itu kepada pemimpin mereka. Lalu pemimpin mereka itu menanyakan kepadanya tentang keadaannya sehingga ia memberitahukan apa yang dialaminya sedang ia sendiri merasa bingung terhadap keadaan dan apa yang dialaminya. Setelah ia memberitahukan hal itu kepada mereka, maka mereka [raja dan rakyatnya] pun segera berangkat bersamanya ke gua, hingga akhirnya mereka sampai di gua tersebut. Lalu ia berkata kepada rombongan itu: “Tinggallah di sini dulu sehingga aku mohonkan izin kepada teman-temanku agar kalian bisa masuk.” Maka ia pun masuk.

Dikatakan, bahwa rombongan itu tidak mengetahui bagaimana ia memasuki gua, dan Allah Ta’ala telah menyembunyikan berita mereka.
Ada pula yang menyatakan, tetapi rombongan itu masuk menemui dan melihat mereka. Lalu si raja itu mengucapkan salam kepada mereka, lalu memeluk mereka. Raja itu adalah seorang muslim. Menurut suatu pendapat, raja itu bernama Yandusus. Maka mereka pun merasa senang dengannya dan bercengkerama bersamanya, lalu mereka meninggalkannya dan mengucapkan salam kepadanya dan kemudian kembali ke tempat pembaringan mereka
hingga akhirnya Allah mewafatkan mereka. Wallahu a’lam.

Firman-Nya: wa kadzaalika a’tsarnaa ‘alaiHim (“Dan demikian pula Kami mempertemukan [manusia] dengan mereka.”) Maksudnya, sebagaimana Kami telah menidurkan mereka, maka Kami juga membangunkan mereka seperti keadaan mereka semula, di mana mereka Kami perlihatkan kepada orang-orang yang hidup pada zaman itu.

liya’lamuu anna wa’dallaaHi haqquw wa annas saa’ata laa raiba fiiHaa idz yatanaaza’uuna bainaHum amraHum (“Agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka.”) Yakni, dalam masalah hari Kiamat. Ada di antara mereka yang mempercayai keberadaannya dan ada pula yang mengingkarinya. Maka Allah Ta’ala menjadikan peristiwa yang dialami oleh Ash-haabul Kahfi yang mereka saksikan itu sebagai hujjah yang memperkuat orang-orang yang mengimani dan sebagai hujjah untuk mengalahkan orang-orang yang mengngingkarinya.

Faqaalubnuu ‘alaiHim bun-yaanan. rabbuHum a’lamu biHim (“Orang-orang itu berkata, ‘Dirikanlah sebuah bangunan di atas [gua] mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka.’”) Maksudnya, tutuplah pintu gua mereka itu dan tinggalkan mereka dalam keadaan seperti itu. Qaalal ladziina ghalabuu ‘alaa amriHim lanat takhidanna ‘alaiHim masjidan (“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.’”) Mengenai orang-orang yang mengungkapkan hal tersebut, Ibnu Jarir mengisahkan dua pendapat: Pertama, mereka adalah orang-orang Islam di antara mereka. Kedua, orang-orang musyrik di antara mereka. Wallahu a’lam.

bersambung

Tinggalkan komentar