Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ (1)

26 Sep

Tafsir Al-Qur’an Surah An-Israa’ (Memperjalankan di Malam Hari)
Surah Makkiyyah; surah ke 17: 111 ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Lubabah, aku pernah mendengar ‘Aisyah ra. menceritakan: “Rasulullah saw. membaca surah al-Israa’ dan az-Zumar pada setiap malam.”

tulisan arab alquran surat al israa ayat 1bismillaaHir rahmaanir rahiim
“Dengan menyebut Nama Allah Yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang.”
“1. Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (al-Israa’: 1)

Allah memuji diri-Nya sendiri, mengagungkan kedudukan-Nya, karena kekuasaan-Nya ata apa yang tidak dikuasai oleh siapapun selain Dia. dengan demikian, tidak ada Ilah [yang berhak diibadahi] selain Dia dan tidak pula ada Rabb selain diri-Nya saja. alladzii asraa bi’abdiHii (“Yang telah memperjalankan hamba-Nya.”) yaitu Muhammad. Lailan (“pada suatu malam.”) yakni pada sebagian malam. Minal masjidil haraami (“Dari masjidil Haram”) yaitu masjid di Makkah. Ilal masjidil aqshaa (“Menuju ke Masjidil Aqsha.”) yaitu Baitul Maqdis yang terletak di Iliya yang merupakan pusat para Nabi dari sejak Nabi Ibrahim al-Khalil as. Oleh karena itu, mereka berkumpul di sana untuknya. Beliau [Ibrahim] menjadi imam mereka di tempat dan rumah mereka semua. Dengan demikian menunjukkan, beliau adalah seorang imam yang besar, dan pemimpin terdepan –shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada mereka-.

Dan firman-Nya: alladzii baaraknaa haulaHuu (“Yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”) yakni berbagai tanaman dan buah-buahan. linuriyaHuu (“Agar Kami perlihatkan kepadanya.”) yakni Muhammad saw. Min aayaatinaa (“Sebagian dari tanda-tanda Kami.”) yakni kebesaran Kami. Sebagaimana yang Dia firmankan: laqad ra-aa min aayaati rabbiHil kubraa (“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Rabb-nya yang paling besar.”)(an-Najm: 18)

Firman Allah: innaHuu Huwas samii’ul bashiir (“Sesungguhnya Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.”) maksudnya, Mahamendengar perkataan hamba-hamba-Nya; baik yang beriman maupun yang kafir, perkataan yang membenarkan maupun yang mendustakan. Dan Mahamelihat, sehingga Dia berikan kepada masing-masing mereka segala yang menjadi haknya di dunia dan di akhirat.

Imam Abu ‘Abdullah al-Bukhari meriwayatkan dari Syuraik bin ‘Abdullah, ia bercerita, aku pernah mendengar Anas bin Malik berkata pada malam Rasulullah saw. diperjalankan dari masjidil Haram, bahwa beliau didatangi oleh tiga orang sebelum beliau diberi wahyu, yang ketika itu beliau tengah tidur di Masjidil Haram. Orang yang pertama bertanya: “Yang manakah ia [Muhammad] di antar mereka itu?” Orang yang kedua menjawab: “Ia adalah orang yang paling baik di antara mereka.” Sedangkan orang yang terakhir berkata: “Ambillah yang paling baik di antara mereka.”

Pada malam itu beliau tidak melihat mereka sehingga mereka mendatangi beliau pada malam yang lain, dimana hatinya melihat padahal matanya tidur sedang hatinya tidak tidur. Demikian halnya para nabi lainnya, mata mereka tidur tetapi hati mereka tidak pernah tidur. Ketiga orang itu tidak mengajak beliau berbicara sehingga mereka membawa beliau dan meletakkannya di dekat sumur zam-zam. Kemudian Jibril mengambil beliau dari mereka, lalu Jibril membelah tenggorokannya sampi ke perutnya. Setelah dada dan perutnya terbelah, Jibril mencucinya dengan air zam-zam dengan tangannya sehingga isi dada dan perutnya benar-benar bersih. Kemudian dibawalah wadah dari emas yang di dalamnya terdapat bejana yang juga terbuat dari emas yang dipenuhi dengan iman dan hikmah. Kemudian Jibril mengisi dadanya dengannya, demikian juga urat-urat lehernya, selanjutnya ditutup kembali. setelah itu Jibril membawanya naik ke langit dunia, lalu ia mengetuk salah satu pintunya, sehingga ia diseru oleh penghuni langit: “Siapa itu.?” “Jibril.” Jawabnya. “Siapakah bersamamu?” tanya mereka. Jibril menjawab: “”Muhammad bersamaku.” “Sudahkah dia diangkat menjadi nabi?” tanya mereka. Jibril menjawab: “Ya benar.” Mereka pun berkata: “Kalau begitu selamat datang kepadanya.”

Para penghuni langit pun merasa gembira dengan kedatangan beliau. Mereka tidak mengetahui apa yang dikehendaki Allah dengannya di bumi sehingga Allah memberitahu mereka. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Adam di langit, maka Jibril pun berkata kepadanya: “Ini adalah bapakmu, Adam. Karenanya ucapkanlah salam kepadanya.” Maka beliau mengucapkan salam kepada Adam. Dan Adam pun menjawab salam beliau. Kemudian Adam berkata kepadanya: “Selamat datang, wahai anakku, sungguh engkau anak yang menyenangkan.”

Ternyata di langit itu beliau menemukan dua sungai, maka beliau bertanya: “Sungai apa keduanya itu wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Itu adalah sungai Nil dan sungai Furat.”

Lalu Jibril membawa beliau berjalan di langit, tiba-tiba beliau melihat sungai yang lain lagi yang di atasnya terdapat istana yang terbuat dari mutiara dan batu permata. Kemudian beliau memukulkan tangannya, ternyata [keluar] bersamanya minyak kasturi yang sangat wangi. Kemudian beliau bertanya: “Apa ini, ya Jibril?” Jibril menjawab: “Ini adalah al-Kautsar yang disembunyikan Rabb-mu untuk dirimu.”

Setelah itu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat kedua. Maka para malaikat disana pun berkata seperti yang dikatakan oleh para malaikat di langit tingkat pertama: “Siapa itu?” “Jibril.” Jawabnya. “Lalu siapa bersamamu itu?” tanya mereka. Jibril menjawab: “Muhammad saw.” “Sudahkah dia diangkat sebagai nabi?” sahut mereka. “Ya benar.” Papar Jibril. “Kalau begitu, selamat datang kepadanya.” Ujar mereka.

Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat ketiga. Para malaikat di sana juga berkata seperti apa yang dikatakan oleh para malaikat yang berada di tingkat pertama dan kedua.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat keempat, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama seperti sebelumnya.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat kelima, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama seperti itu.
Lalu Jibril membawa beliau naik ke langit tingkat keenam, dan para malaikat pun mengatakan hal yang sama.

Kemudian Jibril membawanya ke langit tingkat tujuh, dan merekapun mengatakan hal yang serupa. Di setiap langit terdapat para Nabi yang berliau telah menyebut namanya dan aku mengingatnya, mereka itu adalah Idris berada di tingkat kedua, Harun di tingkat keempat, dan yang lainnya berada di tingkat kelima yang aku tidak hafal namanya. Dan Ibrahim berada di tingkat enam, Musa berada di tingkat ketujuh dengan diberikan keistimewaan yang pernah berbicara langsung dengan Allah. Musa berkata: “Wahai Rabb-ku, aku tidak mengira Engkau akan mengangkat seseorang di atasku.”

Selanjutnya beliau dibawa kepada (tingkat) yang lebih tinggi dari itu yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata, hingga akhirnya beliau sampai di Sidratul Muntaha, lalu mendekati (Allah) yang Mahaperkasa, Rabbul `Izzati, lalu bertambah lebih dekat lagi, sedang jarak beliau dengan-Nya hanya antara setengah tali busur panah dan ujungnya atau bahkan lebih dekat dari itu.

Kemudian Allah Ta’ala mewahyukan kepada beliau, yaitu perintahkan umatmu untuk mengerjakan shalat lima puluh kali dalam satu hari satu malam. Lalu beliau dibawa turun kembali hingga akhirnya sampai kepada Musa lagi, maka Musa pun menahannya seraya bertanya: “Hai Muhammad, apa yang ditetapkan Rabbmu kepadamu?” Beliau menjawab: “Dia menetapkan shalat lima puluh kali dalam satu hari satu malam.” Musa berkata: “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Karenanya, kembalilah dan mintalah keringanan kepada Rabbmu untukmu dan untuk umatmu!”

Maka Nabi Muhammad menoleh ke arah Jibril seolah-olah beliau meminta pendapat darinya dalam masalah itu. Kemudian Jibril pun memberikan usulan kepadanya: “Silahkan saja jika engkau menghendaki.” Maka Jibril pun membawa beliau kembali menemui Allah yang Mahaperkasa, Mahatinggi, lagi Mahasuci, lalu beliau berkata dengan tetap di tempatnya, “Wahai Rabbku, berikanlah keringanan kepada kami, karena sesungguhnya umatku tidak (akan) mampu mengerjakan hal itu.”

Kemudian Allah menguranginya sepuluh shalat dalam satu hari satu malam. Lalu beliau kembali lagi kepada Musa, dan Musa pun menahannya dan menyarankan beliau untuk kembali lagi kepada Rabbnya hingga akhirnya menjadi lima kali shalat dalam satu hari satu malam. Kemudian, Musa menahan beliau ketika sampai ketetapan lima kali shalat, dan ia berkata kepadanya: “Hai Muhammad, demi Allah, aku telah menyuruh kaumku Bani Israil untuk melakukan kurang dari jumlah itu, namun mereka lemah untuk melaksanakannya dan akhirnya meninggalkannya. Sedangkan umatmu lebih lemah secara fisik, hati, pandangan dan penglihatan. Karenanya kembalilah kepada Rabbmu sehingga Dia akan meringankannya untukmu.

Setiap saat, Rasulullah saw. menoleh ke arah Jibril untuk meminta pendapatnya, dan Jibril sendiri tidak merasa keberatan untuk itu. Kemudian Jibril mengangkatnya kembali untuk yang kelima kalinya, lalu beliau berkata: “Wahai Rabbku, sesungguhnya umatku ini kaum yang lemah fisik, hati, pendengaran, pandangan dan badan mereka, karenanya, berikanlah keringanan kepada kami.” Maka Allah Tabaaraka wa Ta ala berfirman: “Wahai Muhammad.”
“Aku memenuhi panggilan-Mu,” sahut Rasulullah. Dia berfirman: “Sesungguhnya tidak ada perubahan perkataan bagi-Ku, sebagaimana Aku telah mengharuskan kepadamu di dalam Ummul Kitab, di mana setiap satu kebaikan memperoleh sepuluh kali lipat, di mana ia tertulis lima puluh di dalam Ummul Kitab dan yang menjadi kewajibanmu adalah lima kali saja.”

Kemudian beliau kembali kepada Musa, dan Musa pun bertanya: “Bagaimana usahamu?” Beliau menjawab: “Dia telah memberikan keringanan kepada kami. Dari setiap kebaikan Dia memberi kami sepuluh kali lipat kebaikan yang serupa.” Musa berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku telah membujuk Bani Israil untuk melaksanakan sesuatu yang lebih rendah dari itu, tetapi mereka meninggalkannya. Karenanya, kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah agar Dia memberikan lagi keringanan untukmu.”
Maka Rasulullah berkata: “Hai Musa, demi Allah, sesungguhnya aku malu kepada Rabbku yang Mahaperkasa lagi Mahamulia karena sudah berulang kali datang kepada-Nya.” Musa berkata: “Turunlah dengan menyebut nama Allah.”

Lebih lanjut, Anas bin Malik menceritakan: “Kemudian beliau bangun, sedang beliau berada di Masjidil Haram.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Harun bin Said. Wallahu a’lam.

Mengenai hadits Syuraik, al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan bahwa ada tambahan yang dikemukakan sendiri oleh orang yang mengatakan bahwa Rasulullah melihat Allah. Yakni, dalam ucapannya, “Kemudian beliau mendekati (Allah) yang Mahaperkasa, Rabbul `Izzati lalu bertambah lebih dekat lagi, sedang jarak beliau dengan-Nya hanya antara setengah tali busur panah dan ujungnya atau bahkan lebih dekat dari itu.”

Kemudian al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan: “Pendapat `Aisyah dan Ibnu Mas’ud serta Abu Hurairah dalam pengertian yang mereka berikan terhadap ayat di atas bahwa beliau melihat Jibril adalah pendapat yang lebih benar.” Itu pula yang menjadi pendapat al-Baihaqi dalam masalah ini, dan itulah yang benar. Sesungguhnya Abu Dzar pernah berkata: “Ya Rasulullah, apakah engkau telah melihat Rabbmu?” Beliau menjawab: “Cahaya yang kulihat.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Aku melihat cahaya.” (Demikian yang diriwayatkan Imam Muslim.)

Dan firman Allah Ta’ala dalam surat an-Najm, ayat 8: “Kemudian ia mendekat, lalu bertambah lebih dekat lagi. ” Yakni Jibril as.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain, dari `Aisyah, Ummul Mukminin, dan dari Ibnu Mas’ud. Demikian juga yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, dari Abu Hurairah. Tidak diketahui adanya penolakan terhadap mereka dari para sahabat mengenai penafsiran ayat di atas. Hal itu pula yang dikemukakan oleh al-Baihagi.

Dan dalam siyaq (redaksi) tersebut terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Mi’raj itu dilakukan pada malam beliau diperjalankan dari Makkah ke Baitul Maqdis. Yang dikatakan itulah yang benar yang tidak diragukan lagi.

Imam Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Pada malam diperjalankan, aku melewati Musa as. yang ketika itu ia tengah berdiri mengerjakan shalat di kuburnya.” Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Anas bin Malik.

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Ibnu Syihab, ia bercerita, Abu Salamah pernah menceritakan, aku pernah mendengar Jabir bin `Abdillah menyampaikan sebuah hadits, di mana ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ketika aku didustakan oleh kaum Quraisy, aku bangun dari tidur di Hijir Isma’il, lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku, maka aku segera memberitahu mereka tentang tanda-tanda Baitul Maqdis, sedang pada saat itu aku melihatnya.”
Hadits terakhir diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih mereka. Wallahu a’lam.

Dan dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits dari Muhammad bin Rafi’, dari Abu Hurairah, ia bercerita, Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya aku telah melihat pada waktu aku bermalam di Hijir Isma’il (dekat Ka’bah) tentang Israa’ ke Baitul Maqdis. Dan ketika kaum Quraisy bertanya kepadaku tentang perjalananku di malam hari itu. Mereka bertanya kepadaku tentang berbagai hal dari Baitul Maqdis yang belum jelas aku melihatnya. Hingga aku benar-benar merasa kesulitan, belum pernah aku mengalami kesulitan sesulit ini sebelumnya. Kemudian Allah membukakanku tabir untuk melihat kepadanya. Mereka tidak bertanya kepadaku tentang sesuatu melainkan aku beritahukan kepada mereka tentang Baitul Maqdis. Dan aku juga melihat diriku berada di sekumpulan para Nabi, dan ternyata Musa tengah berdiri mengerjakan shalat, ternyata ia seorang yang berambut keriting, seakan-akan ia berasal dari kalangan orang Syanu-ah (salah satu tempat di Yaman).
Sedangkan `Isa putera Maryam tengah berdiri mengerjakan shalat, dan orang yang paling mirip dengannya adalah `Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi. Dan Ibrahim tengah berdiri mengerjakan shalat, dan orang yang paling mirip dengannya adalah sahabat kalian ini, yakni Rasulullah sendiri. Kemudian tiba waktu shalat, maka aku menjadi imam mereka. Setelah selesai shalat, ada seseorang yang berkata: “Hai Muhammad, ini adalah Malik (Malaikat) penunggu Jahannam,” maka aku pun menoleh kepada-Nya, lalu Dia yang memulai memberi salam kepadaku.”

Jika diperhatikan secara seksama sekumpulan hadits-hadits, baik yang shahih, yang hasan maupun yang dha’if, maka akan tampak kandungan yang telah disepakati tentang Israa’, yaitu perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Baitul Maqdis. Dan itu berlangsung hanya satu kali meskipun terdapat perbedaan ungkapan para perawi hadits tentang pelaksanaannya, atau ada sebagian mereka yang menambahkan atau mengurangi dalam ungkapannya. Kesalahan itu bisa saja terjadi pada siapa pun selain para Nabi.

Barangsiapa yang membuat riwayat yang bertentangan dengan yang lainnya pada batas tertentu, hingga menetapkan berbagai macam versi tentang perjalanan Israa’ Rasulullah ini, berarti ia telah melangkah terlalu jauh, berlaku janggal, serta berjalan tidak pada proporsinya, dan tidak sampai pada tujuan.

Musa bin ‘Aqabah menceritakan dari az-Zuhri: “Israa’ itu terjadi satu tahun sebelum Hijrah.” Hal yang sama juga dikemukakan oleh `Urwah. Sedangkan as-Suddi menyatakan: “Yaitu enam belas bulan sebelum hijrah ke Madinah.”

Yang benar, Rasulullah diperjalankan pada malam itu dalam keadaan terjaga dan tidak tidur, yaitu dari Makkah ke Baitul Maqdis dengan menaiki Buraq. Setelah sampai ke pintu Masjid, beliau mengikat tali binatang tunggangan beliau di pintu. Kemudian beliau masuk dan mengerjakan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat. Setelah itu dibawakan kepada beliau Mi’raj, yaitu semacam tangga yang mempunyai anak tangga. Lalu beliau menaiki tangga itu menuju ke langit dunia, kemudian ke langit-langit lainnya yang berjumlah tujuh lapis.

Dan pada setiap langit, ia disambut oleh para penghuni di sana dan beliau mengucapkan salam kepada para Nabi yang ada di langit-langit tersebut sesuai dengan kedudukan dan derajat mereka masing-masing, hingga akhirnya beliau melewati Musa Kalimullah di langit tingkat keenam dan Ibrahim al-Khalil di langit tingkat ketujuh. Hingga akhirnya beliau sampai ke Mustawa di mana beliau mendengar suara goresan pena, yaitu pena yang dibuat mencatat semua ketentuan (takdir) yang berlaku.

Dan juga beliau melihat Sidratul Muntaha dan menutupinya dengan perintah Allah u, oleh keagungan yang sangat agung, ditutupinya dengan tirai dari emas, dan dengan berbagai macam warna, juga menutupinya oleh kepadatan Malaikat; Dan di sana beliau melihat Jibril atas bentuknya yang asli, ia mempunyai 600 sayap: Dan beliau melihat raprap (tirai) hijau yang menutupi ufuk. Beliau juga melihat Baitul Ma’mur dan Nabi Ibrahim al-Khalil yang membangun Ka’bah di bumi, beliau sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur, itulah Ka’bah di langit yang setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat untuk beribadah di dalamnya, dan setelah itu mereka tidak kembali lagi kepadanya sampai hari Kiamat kelak.

Selain itu, Rasulullah juga melihat surga dan neraka. Dan di sana pula Allah mewajibkan kepada beliau mengerjakan shalat lima puluh kali hingga akhirnya diringankan sampai lima kali saja dalam satu hari satu malam sebagai rahmat dari-Nya sekaligus kelembutan bagi hamba-hamba-Nya. Dan demikian itu menunjukkan adanya perhatian yang besar terhadap kemuliaan dan keagungan shalat.

Setelah itu, Rasulullah turun di Baitul Maqdis dan ikut turun bersamanya para Nabi. Dan ketika masuk waktu shalat, beliau mengerjakan shalat bersama mereka di sana.

Ada kemungkinan bahwa shalat itu adalah shalat shubuh pada hari itu juga. Ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa beliau menjadi imam para Nabi di langit. Dan yang ada pada kejelasan beberapa riwayat menunjukkan bahwa hal itu terjadi di Baitul Magdis, tetapi sebagian riwayat menyebutkan, yaitu pada awal masuknya beliau ke Baitul Maqdis.

Lahiriyah nash menunjukkan bahwa hal itu adalah setelah kembalinya beliau ke Baitul Maqdis, karena ketika beliau berjalan melewati mereka (Para Nabi) di tempat tinggal mereka masing-masing, Jibril bertanya kepada satu per satu dari mereka seraya memperkenalkan mereka kepada beliau. Dan inilah yang lebih tepat karena pertama kali beliau diminta untuk naik ke hadirat yang Mahatinggi untuk diberikan kewajiban kepada beliau dan juga umatnya yang sudah menjadi kehendak-Nya. Dan setelah selesai dari hal itu, beliau berkumpul dengan saudara-saudara beliau dari kalangan para Nabi, lalu tampaklah kemuliaan dan keistimewaan beliau atas mereka semua dengan diajukannya beliau menjadi imam bagi mereka, dan hal itu melalui isyarat dari Jibril as. Kemudian beliau keluar dari Baitul Maqdis, lalu menaiki Buraq dan setelah itu beliau kembali lagi ke Makkah pada akhir malam. Wallahu a’lam.

Sedangkan dihidangkannya kepada beliau bejana berisi susu dan madu, atau susu dan khamr, atau susu dan air, atau kesemuanya, maka telah disebutkan bahwa ketika itu beliau berada di Baitul Maqdis, ada pula yang menyebutkan bahwa beliau berada di langit, tetapi mungkin juga di sini dan di sana, karena itu sebagai sambutan bagi seorang tamu. Wallahu a’lam.

Kemudian orang-orang berbeda pendapat mengenai perjalanan Isra’ itu, Rasulullah langsung melibatkan fisik secara keseluruhan disertai dengan ruhnya ataukah hanya dengan ruhnya saja. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat, tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau diperjalankan dengan seluruh badan dan juga ruhnya dalam keadaan terjaga, bukan tidur. Dan mereka tidak mengingkari bahwa Rasulullah sebelum itu telah melihatnya di dalam tidur, dan kemudian beliau melihatnya secara langsung dan dalam keadaan terjaga, karena beliau tidak bermimpi melainkan dilihatnya seperti remang -shubuh-.

Yang menjadi dalil hal itu adalah firman Allah Ta’ala: subhaanal ladzii asraa bi-‘abdiHii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshal ladzii baaraknaa haulaHuu (“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram menuju keMasjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”)

Dengan demikian, pengucapan tasbih tersebut dilakukan saat terjadinya masalah-masalah besar. Jadi, seandainya beliau tidur, berarti hal itu bukan suatu masalah yang besar dan bukan hal yang penting. Ketika orang-orang kafir Quraisy berbodong-bondong mendustakan beliau dan ketika ada sekelompok orang yang murtad setelah keislaman mereka, maka sesungguhnya penggunaan kata “hamba” merupakan ungkapan satu kesatuan yang utuh yang mencakup ruh dan jasad, sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman: asraa bi-‘abdiHii lailan (“Yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”) Dan bia juga telah berfirman: wa maa ja’alnaa ru’yal latii arainaaka illaa fitnatal lin naas (“Dan Kami tidak menjadikan pandangan mata yang telah Kami perlihatkan kepadamu melainkan sebagai ujian bagi manusia.”) (QS. A1-Israa’: 60)

Ibnu `Abbas mengemukakan: “Kata ar-ru’-ya dalam ayat tersebut berarti pandangan mata, yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam beliau diperjalankan. Dan pohon yang terkutuk itu adalah pohon Zaqqum.” Demikian yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.

Allah Ta’ala juga berfirman: maa zaaqhal basharu wa maa thaghaa (“Penglihatannya [Muhammad] tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.”) (QS. An-Najm: 17)

Pandangan termasuk alat yang bersifat material, bukan ruh. Selain itu, Rasulullah juga menaiki Buraq, yakni seekor binatang yang berwarna putih yang mempunyai kecepatan sangat tinggi yang bersinar. Dan hal itu menunjukkan untuk tunggangan bagi badan, bukan untuk ruh. Karena ruh itu tidak membutuhkan tunggangan yang dinaikinya untuk bergerak. Wallahu a’lam.

Jadi, hadits yang berkenaan dengan Israa’ telah mendapat kesepakatan dari kaum muslimin, tetapi ditentang oleh kaum zindiq dan atheis. ‘Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah telah menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS. Ash-Shaff: 8)

bersambung

Bersambung

Satu Tanggapan ke “Tafsir Ibnu Katsir Surah An-Israa’ (1)”

  1. Indra Ganie al-Hindi al-Bantani 1 Maret 2021 pada 11.32 #

    ISRAA’ MI’RAJ : PERISTIWA RITUAL-SPIRITUAL SEKALIGUS BERMAKNA SOSIAL-POLITIK

    Mengenang 1400 tahun (621-2021) Peristiwa Israa’ Mi’raj berdasar perhitungan Masehi / Milaadiyyah.

    Oleh : Indra Ganie al-Hindi al-Bantani

    “Maha Suci Allaah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjidil Haraam ke al-Masjidil Aqshaa yang telah Kami berkahi sekelilingnya aga Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
    (QS al-Israa’ ayat 1)

    Pada tahun ini adalah moment tepat mengenang Peristiwa Israa’ Mi’raj mengingat tepat saat ini sudah 1400 tahun berlalu, sekaligus tulisan ini dibuat pada bulan Rajab. Kaum Muslim tentu sudah akrab bahwa, Peristiwa Israa’ Mi’raj terjadi pada bulan Rajab.

    Telah berlalu hingga ribuan tahun peristiwa tersebut dikenang dengan berbagai bentuk : ada yang berbentuk peringatan, ada yang berbentuk perayaan dan ada yang tidak melaksanakan keduanya. Pada sejumlah negeri mayoritas penduduk Muslim, peristiwa itu dikenang dengan kegiatan tertentu, terlepas dari dalil syar’i yang mendasari amalan tersebut. Penulis tidak bermaksud masuk dalam ruang perdebatan tersebut. Itu masalah khilafiyyah atau furu’iyyah yang akan selalu ada hingga akhir zaman.

    Di Indonesia, sebagaimana dengan peringatan peristiwa keagamaan lainnya semisal Maulid Nabi dan Nuzulul Qur-an, biasanya acara mengenang Israa’ Mi’raj berisi pembacaan sejumlah ayat al-Qur-an, pembacaan terjemahannya, ceramah dan ditutup dengan doa oleh yang hadir. Terkadang dirangkai dengan acara bakti sosial semisal khitanan massal atau santunan kepada anak yatim piatu.

    Dalam tulisan ini pembaca mencoba fokus pada materi ceramah terkait Isra’ Mi’raj, penulis memiliki kesan bahwa isi ceramah terkait Israa’ Mi’raj cenderung begitu-begitu saja atau dangkal : berputar-putar pada kisahnya itu sendiri dan ujung-ujungnya adalah uraian perintah shalat 5 waktu. Seakan Israa’ Mi’raj adalah murni peristiwa ritual-spiritual yang harus difahami secara ritual-spiritual pula. Tidak lebih. Sangat jarang yang mengangkat aspek selain itu padahal ada. Penulis menilai ada 2 kemungkinan para penceramah besikap demikian : tidak tahu atau tidak berani.

    Memang Peristiwa Israa’ Mi’raj adalah peristiwa ritual-spiritual, namun sebagaimana aspek atau praktek semua ritual-spiritual dalam ajaran Islam semisal shalat atau puasa, ada nilai-nilai sosial yang dituntut hadir dalam kehidupan sehari-hari. Semua ajaran ritual-spiritual dalam Islam memiliki aspek sosial termasuk politik. Dalam shalat misalnya, praktek ritual-spiritual paling dasar pun dalam Islam ternyata memiliki nilai-nilai sosial semisal disiplin tepat waktu, tepat janji, patuh kepada pemimpin – jika / dalam shalat berjama’ah. Pendidikan dasar mengatur masyarakat atau negara ternyata ada dalam shalat. Ini contoh sederhana saja.

    Islam tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat, jasmani dengan ruhani, syari’at dengan hakikat, material dengan spiritual, ritual dengan sosial. Kesemuanya harus seimbang.

    Kembali kepada Israa’ Mi’raj, penulis melihat ada aspek sosial-politik dibalik peristiwa ritual-spiritual tersebut.

    1. Peristiwa Rasulullaah SAAW menjadi imam shalat bersama ruh para nabi sebelum beliau di kompleks yang disebut dalam al-Qur-an Surah al-Isra’ ayat 1 dengan sebutan Masjid al-Aqshaa. Pertama perlu diketahui bahwa, apa yang disebut dengan Masjid al-Aqshaa tidaklah berbentuk bangunan sebagaimana disaksikan sekarang. Bangunan yang kini disebut Masjid al-Aqshaa ada sejak tahun 691, bangunan tersebut ada pada perioda Kerajaan Ummayah. Artinya bertahun-tahun setelah Israa’ Mi’raj. Ketika Israa’ Mi’raj, pengertian Masjid al-Aqshaa dalam QS al-Isra’ ayat 1 adalah tanah lapang di bagian kota tua Yerussalem – yang kini dikenal dengan sebutan Haraam al-Syariif. Bagian kota tua ada di sisi timur, adapun bagian kota modern ada di sisi barat.

    Peristiwa Rasulullaah SAAW mengimami shalat bersama ruh para nabi mengandung makna bahwa, misi mewujudkan tatanan global berdasar tauhid / monoteisme diserahkan kepada Nabi Muhammad SAAW dan umatnya – yaitu umat Islam. Yang dipilih Allaah sebagai nabi terakhir dan umat terakhir. Selama ribuan tahun tatanan dunia didominasi oleh faham syirik beserta praktek takhyul, bid’ah dan khurafat. Para umat nabi sebelum umat Islam dinilai tidak amanah lagi melaksanakan misi tauhid tersebut. Bahkan mereka justru tenggelam atau tercemar dalam faham dan praktek syirik, takhyul, bid’ah dan khurafat. Mengubah isi kitab suci mereka sesuai dengan selera mereka setelah para nabi mereka wafat. Karena itu kepemimpinan tauhid dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAAW dan umat Islam. Allaah telah memilih bahwa kitab suci Islam yaitu al-Qur-an tetap terjaga keasliannya dan agama yang dibawa oleh Rasulullaah SAAW adalah agama universal, berlaku untuk segala ruang, waktu dan orang. Tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad SAAW.

    Kaum Muslim generasi awal telah sukses melaksanakan misi tersebut, mereka meletakkan dasar supremasi Islam yang kelak bertahan selama sekitar 1000 tahun. Dalam perioda tersebut kaum Muslim menguasai sekitar separuh dunia beradab yang ketika itu mencakup sebagian besar wilayah di Asia, Afrika dan Eropa. Ketika itu benua yang kelak disebut Amerika masih misteri. Bahkan tersebut riwayat bahwa kaum Muslim telah sampai ke benua Amerika jauh sebelum orang Eropa menemukannya. Mereka sempat mengislamkan penduduk pribumi di benua tersebut – yang kelak diberi istilah keliru yaitu “Indian” (orang India). Istilah tersebut diberi oleh Christophorus Colombus yang berniat ke India namun tidak sampai. Kemudian pribumi di situ seenaknya diberi istilah Indian. Dia menyangka telah sampai ke India padahal bukan. Dan ternyata Colombus belum tiba di benua tersebut, namun hanya sampai di wilayah Kepulauan Karibia. Ada kemungkinan nama Karibia berasal dari bahasa Arab.

    Kini, kaum Muslim harus kembali mengingat tugasnya melaksanakan misi tauhid sedunia. Jangan sampai kelamaan bernasib terpuruk sebagaimana sekarang : menjadi bahan mainan, pelecehan, penghinaan umat lain. Nasib jelek begini sudah berlangsung sekitar 200 tahun kemari.

    2. Pemilihan Masjid al-Aqshaa sebagai titik keberangkatan menuju tempat tinggi (mi’raj), yaitu alam spiritual yang paling sakral – yang dikenal dengan nama “Sidratul Muntaha”. Alam paling sakral di semesta ini yang bahkan para malaikat pun tidak diizinkan masuk. Nabi Muhammad lah satu-satunya makhluk yang diizinkan masuk. Langsung melihat Allaah dengan segenap jiwa raganya. Peristiwa ini memiliki makna bahwa, kaum Muslim – yang waktu itu hanya ada di Arabia – harus tahu ada tempat suci di luar negeri mereka. Di luar Arabia. Bukan hanya Masjid al-Haraam di Makkah, bukan hanya Masjid Nabawiy di Madinah – yang dibangun setelah Israa’ Mi’raj, setelah Rasulullaah SAAW hijrah. Tempat suci yang juga harus dijaga sebaik-baiknya yaitu Palestina. Di negeri tersebut ada kota Yerussalem (Arab : Bayt al-Maqdis / al-Quddus al-Syariif / Ursyaliim. Israel / Ibrani : Yerusyyalahim). Kota suci bagi kaum Yahudi, Kristiani dan Muslim. Sekaligus mengingatkan kaum Muslim awal bahwa, mereka tidak sendiri. Kaum Muslim lebih layak menguasai Palestina karena mereka dibebani kewajiban menjaga situs keramat agama lain – yang nota bene adalah agama serumpun – yaitu Yahudi dan Kristiani. Ketiga agama tersebut termasuk agama rumpun Semit(ik) (Arab : Samiyyah) atau rumpun Abraham(ik) (Arab : Ibrahiimiyyah. Israel / Ibrani : Avraham). Selain harus beriman kepada Nabi Muhammad SAAW dan al-Qur-an, mereka juga dituntut beriman kepada Nabi Muusa AS dan kitab Taurat serta Nabi ‘Isa al-Masih AS dan kitab Injil sebagai kitab yang aslinya berasal dari wahyu Allaah. Secara menyeluruh, selama kaum Muslim menguasai Palestina, berbagai situs agama serumpun tersebut terjaga dengan baik. Kaum Yahudi, Kristiani dan Muslim juga secara menyeluruh hidup bersama dengan damai. Harmoni tersebut memang sempat terganggu oleh perang salib yang dikobarkan oleh Kristiani Eropa. Perang yang dilancarkan oleh imperialis-kolonialis Barat tersebut terbentang dari Iberia hingga Levant dalam rangka merebut kembali wilayah tersebut dari kaum Muslim.

    Sejak tahun 1917, Palestina kembali terlepas dari kaum Muslim sebagai akibat kekalahan Turki ‘Utsmaniyyah terhadap Sekutu dalam Perang Dunia-1. Secara berangsur kaum Muslim makin berkurang jumlahnya dan situs-situs keramat Islam diganggu dan ada juga yang lenyap. Sejak menguasai Kota Tua Yerussalem, kaum zionis berusaha melenyapkan situs Islam di Yerussalem – terutama bangunan yang dikenal dengan Masjid al-Aqsha. Di kota Hebron (Arab : al-Khaliil), Masjid Ibrahiim al-Khaliil telah dicaplok oleh kaum zionis seluas 2/3 untuk menjadi sinagoga. Yang masih tersisa sebagai masjid hanya 1/3. Dalam masjid tersebut terdapat makam Nabi Ibrahiim AS, Nabi Is-haq AS dan Nabi Ya’qub AS beserta istri masing-masing. Ketika kaum salibis menguasai Palestina, komplek al-Aqsha dijadikan gereja dan istana para penguasa Eropa. Dari penuturan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa, segala situs sakral ketiga agama serumpun di Pelestina akan terlindungi jika di bawah kuasa kaum Muslim.

    Nah, dari penjelasan tersebut di atas, apakah kaum Muslim harus / layak pesimis? Dalam al-Qur-an jelas ada larangan pesimis. Pada sejumlah ayat, Allaah telah berjanji akan menolong kaum Muslim jika syarat-syaratnya terpenuhi. Penulis kutip sejumlah ayat tersebut dari “Al-Qur-an Dan Terjemahnya”. Hasil kerja sama antara Republik Indonesia dan Arab Saudi.

    1. QS al-Anbiyaa’ ayat 105-107 :

    “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabuur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh al-Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam (surat) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah (Allaah). Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

    Jelas syarat dalam ayat tersebut di atas, untuk layak menguasai bumi ini adalah amal saleh.

    2. QS an-Nuur ayat 55 :

    “Dan Allaah telah berjanji kepada orang-orng yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhaiNya untuk mereka, akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”.

    Jelas syarat dalam ayat tersebut di atas, untuk layak menguasai bumi ini adalah iman kepada Allaah dan dbuktikan dengan amal saleh.

    Demikian uraian sederhana dari penulis terkait dengan mengenang Israa’ Mi’raj. Semoga upaya sederhana ini tercatat sebagai amal saleh bagi penulis sekaligus bemanfaat besar bagi umat. Aamiin yaa Allaah.

    Tangerang Selatan – Banten, 01 Maret 2021.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: