Peranan Syariat dalam Pendidikan Perilaku

3 Jan

Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat; Abdurrahman An-Nahlawi

Syariat Islam memiliki kekhasan aspek pendidikan yang terlihat jelas dalam penyajian yang menggunakan metode targhib dan tarhib, pengambilan hikmah atau pelajaran dari sejarah, atau dorongan untuk takwa dan takut kepada Allah swt. Karenanya kita banyak menemukan hukum-hukum arahan al-Qur’an yang mengatakan: “….agar kamu bertakwa.” Atau menyucikan atau membersihkan, seperti tercantum dalam firman Allah: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikana mereka…” (at-Taubah: 103).

Aplikasi syariat terlihat jelas dalam bentuk perintah dan larangan pengharaman dan penghalalan, pembolehan dan pelarangan, hudud, hukuman, qishash, dan bimbingan hingga cara atau metode tertentu dalam jual beli, perkawinan, perjanjian, serta berbagai masalah hidup lainnya.

a. Syariat: Pengontrol Perilaku Individu
Jika ajaran atau syariat telah terpatri dalam diri dan perasaan individu, syariat akan menjadi pengontrol perilaku seorang muslim. Dengan demikian seorang muslim akan menjadikan syariat sebagai acuan utama ketika dia dihadapkan pada suatu masalah, misalnya dalam jual beli, bergaul dan lain-lain.

Kontrol perilaku ini berbeda dengan batasan-batasan yang secara mutlak mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Pengertian kontrol mengacu kepada ajakan seksama dalam suatu masalah, misalnya aspek saling merugikan diharamkan dalam jual beli, dengan demikian kita dilarang untuk mendekatinya. Kontrol adalah sesuatu yang mengatakan bahwa pandangan adalah panah beracun. Dengan demikian kita harus menjaga diri dari memandang wanita lain. Jika pun terpaksa misalnya ingin mengetahui pribadinya, kita melihat atau memandang wanita itu tanpa tujuan maksiat dan tidak berulang-ulang. Tentang syariat ini, sedikitnya umat Islam harus mengetahui batas-batas minimal penerapan syariat sehingga ketika dia ke pasar, dia memahami batasan halal dan haram dalam jual beli.

Pengembangan kontrol tersebut dapat disempurnakan melalui halaqah atau pengkajian ilmu. Artinya setiap orang harus meluangkan waktunya untuk mencari ilmu. Masjid-masjid yang biasanya dipenuhi jamaah shalat, harus juga dipenuhi oleh jamaah yang menuntut ilmu dan memiliki motivasi yang satu, yaitu ketakwaan kepada Allah. Dengan demikian tidak ada seorang muslim pun yang melarikan diri dari syariat. Itulah hal penting yang membedakan syariat Islam dengan undang-undang buatan manusia.

b. Syariat: Pengontrol Perilaku Sosial
Jika masyarakat muslim membiasakan aplikasi syariat dalam tatanan masyarakat atau majelis ilmu, hukum-hukum tersebut akan menjadi konsep atau terminologi sosial. Sebagai gambaran, ada seorang yang dipermalukan dengan panggilan ribawi (pemakan riba). Pemberina istilah itu menunjukkan betapa masyarakat yang terdorong oleh perasaan religius menolak orang yang secara terang-terangan melakukan kemaksiatan. Begitu juga dengan pemabuk, orang fasik, atau pelacur. Islam lah yang telah mengembangkan fitrah sosial ini. Islam memerintahkan kema’rufan dan melarang kemungkaran. Bagi Islam, meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu indikator runtuhnya masyarakat. Dalam al-Qur’an Allah swt berfirman:

“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78-79)

Dari Abu Bakar, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya apabila manusia melihat kemungkaran kemudian tidak mengubahnya, maka Allah nyaris meliputi mereka dengan siksaan-Nya.” (HR Imam Ahmad)

c. Syariat: Pengontrol Perilaku Politis
Jika sebuah pemerintahan menjalankan syariat, ajaran-ajaran tersebut akan menajdi perilaku politik yang dijalankan negara bersama seluruh rakyatnya. Negera akan memotong tangan pencuri, merajam pezina, melarang khamr, mewajibkan hijab, mengawasi jual beli, melarang monopoli, menyebarkan ilmu, menyebarkan para da’i, mengadakan bimbingan keagamaan, mengibarkan panji Islam, serta mengarahkan sarana informasi secara islami.

Generasi mudanya dididik untuk lebih dalam mengenal konsep-konsep Islam, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat melalui seruan-seruan dakwah yang dikumandangkan dari menara atau mimbar masjid, radio, televisi, media massa dan lain-lain. Dengan demikian pandangannya tidak akan tertuju kecuali pada kebaikan, pendengarannya tidak akan menyimak sesuatu yang dimurkai Allah, dan dalam dirinya tidak akan terbersit niat selama kharisma negera Islam dan umatnya melarang semua perbuatan itu.

Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa syariat Islam mendidik manusia melalui tiga metode berikut:

– Pertama, pendidikan psikologis
Yang tujuan utamanya adalah diri sendiri. Pengontrol utamanya adalah rasa takut kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Pelaksanaan syariat didasarkan para rasa takut terhadap murka dan azab Allah, serta ingin memperoleh keridlaan Allah. Bara metode ini kadang-kadang padam pada sebagian orang, atau disingkirkan oleh orang yang dalam hatinya tidak terpatri keimanan. Akibatnya, nafsunya membujuknya untuk mempermainkan kehormatan Islam. Orang yang memiliki penyakit hati senantiasa menginginkan harta atau syahwat yang diharamkan. Untuk itu, syariat Islam mengobatinya melalui metode saling menasehati.

– Kedua, saling menasehati serta berpesan dalam kebenaran dan kesabaran
Masyarakat yang antusias terhadap syariat Allah dan kemuliaan-Nya tidak akan membiarkan kemungkaran tumbuh, misalnya meninggalkan shalat, zakat, shaum atau jihad. Mereka akan menolong orang yang meninggalkan salah satu pokok Islam tersebut untuk berjalan bersama-sama atau membantu mendidik anak-anaknya.

– Ketiga, mewujudkan sistem pemerintahan yang melaksanakan syariat dengan tujuan stabilitas keamanan, pemantapan kekuasaan, serta keadilan syariat bagi manusia.

Dalam mewujudkan konsep-konsep Islam dan aplikasinya dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara, ketiga metode tersebut saling menopang. Dengan demikian kehidupan menjadi lebih dekat pada kesempurnaan, kebahagiaan, keberadaban, kesejahteraan, tanggung jawab, ketentraman, dan keistiqamahan. Karena dasar utama syariat Islam adalah keimanan, peribadahan, dan ketakwaan kepada Allah lahirlah individu Islami yang mengamalkan syariat Islam berdasarkan ketakwaannya. Sebaliknya di negara-negara yang memiliki undang-undang positif buatan manusia, manusia dibiarkan dalam keinginan pribadinya. Itulah keistimewaan terbesar yang membedakan syariat Islam dengan perundang-undangan buatan manusia.

&

Tinggalkan komentar