Fiqih Sunnah; Sayyid Sabiq
1. Maksud Adzan
Adzan ialah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafadz-lafadz tertentu.
Dengan adzan tercapailah seruan untuk berjamaah dan mengumandangkan syariat Islam. Hukumnya wajib atau sunah.
Berkata Qurthubi dan lain-lain: “Walaupun kalimat-kalimatnya tidak banyak, tetapi adzan mengandung soal-soal aqidah, karena ia dimulai dengan takbir dan memuat tentang wujud Allah dan kesempurnaan-Nya. kemudian diiringi dengan tauhid dan menyingkirkan sarikat, lalu menetapkan kerasulan Muhammad saw. serta seruan untuk patuh dan taat sebagai akibat pengakuan risalah karena ia tidak mungkin dikenal kecuali dengan tuntunan Rasul. Lalu diserukan kemenangan, yakni kebahagiaan yang kekal lagi abadi, dimana terdapat isyarat mengenai kampung akhirat, kemudian beberapa kalimat diulang sebagai penegasan dan untuk menguatkan.
2. Keutamaan Adzan
a. Diterima dari Abu Hurairah: Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Seandainya manusia tahu apa yang terdapat pada adzan dan shaf pertama, kemudian tak ada jalan lagi bagi mereka untuk mendapatkannya kecuali dengan memasang undian, tentulah akan mereka pasang undian itu. Dan jika mereka tahu apa artinya menyegerakan dhuhur, tentulah mereka akan berlomba-lomba untuk itu, bagitupun jika mereka mengerti kepentingan shalat-shalat ‘Isya dan Shubuh, pastilah akan mereka datangi, walaupun dengan merangkak sekalipun.” (HR Bukhari dan lain-lain)
b. Dari Mu’awiyah: Bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya para Muadzdzin adalah orang-orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat.” (HR Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah)
c. Dari Barra’ bin ‘Azib: Bahwa Nabi Allah saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat memberi shalawat terhadap shaf pertama, sedang muadzdzin diampuni sepanjang suaranya, ucapannya dibenarkan oleh para pendengarnya, baik dari kalangan yang basah maupun yang kering, dan ia akan beroleh pahala sebanyak orang yang ikut shalat bersamanya.” (Menurut Mudziri hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dengan isnad yang cukup baik.”)
d. Dari Abu Darda’, katanya: Saya dengar Rasulullah saw. bersabda: “Bila tiga orang mengerjakan shalat tanpa adzan dan iqamat, maka mereka akan dikuasai setan.” (HR Ahmad)
e. Dari Abu Hurairah ra: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Imam itu menjamin, sedang muadzdzin orang yang dipercaya. Ya Allah, berilah petunjuk kepada para imam dan ampunilah para muadzdzin.” ()
f. Dari ‘Uqbah bin ‘Amr, katanya: Saya dengar Nabi saw. bersabda: “Tuhanmu ‘Azza wa Jalla kagum terhadap seorang gembala di sebuah padang di kaki bukit, dia serukan adzan lalu shalat. Maka berfirmanlah Allah ‘Azza wa Jallaa: ‘Lihatlah hamba-Ku ini. Ia adzan dan iqamat ketika hendak shalat. Ia takut kepada-Ku maka telah Kuampuni hamba-Ku, dan Kumasukkan ia ke dalam surga.’” (HR Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i)
3. Sebab Disyariatkannya Adzan
Adzan mulai disyariatkan pada tahun pertama dari hijrah. Sebab-sebab disyariatkannya ialah seperti dinyatakan oleh hadits-hadits berikut:
a. Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar mengatakan sebagai berikut: Dulu kaum Muslimin berkumpul dan mengira-ngirakan waktu shalat dan tak ada orang yang menyerukannya. Maka pada suatu hari mereka bicarakan hal itu. Di antaranya ada yang mengatakan: “Pergunakanlah lonceng seperti lonceng orang-orang Nasrani.” Ada pula yang menganjurkan: “Lebih baik tanduk seperti runai orang Yahudi.” Maka berkatalah Umar: “Kenapa tidak disuruh saja seseorang untuk menyerukan shalat?”
Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Hai Bilal, bangkitlah, lalu serukan adzan.” (HR Ahmad dan Bukhari)
b. Dari Abdullah bin Zaid bin Abi Rabbih, katanya: Tatkala Rasulullah saw. menyuruh menyediakan lonceng buat dipukul guna menghimpun orang-orang untuk shalat, -dalam suatu riwayat: sedang sebenarnya beliau tidak suka karena sama dengan orang-orang Nasrani- tiba-tiba waktu saya tidur, saya dikelilingi oleh seorang laki-laki yang membawa lonceng di tangannya. Maka kataku padanya: “Hai hamba Allah. Apakah anda bersedia menjual lonceng itu?” Ujarnya: “Apa gunanya buat anda?” “Buat memanggil orang untuk shalat fardlu.” Ujarku. “Maukah anda saya tunjukkan yang lebih baik dari itu?” “Baiklah.” Ujarku pula. Maka katanya: “Ucapkanlah sebagai berikut:
AllaaHu akbar, AllaaHu akbar (2x)
AsyHadu allaa ilaaHa illallaaH (2x)
AsyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH (2x)
hayya ‘alash shalaaH (2x)
hayya ‘alal falaah (2x)
AllaHu akbar, AllaaHu akbar
Laa ilaaHa illallaaH
Lalu ia undur sedikit lalu katanya: “Jika shalat hendak didirikan bacalah sebagai berikut:
AllaaHu akbar, AllaaHu akbar
AsyHadu allaa ilaaHa illallaaH
AsyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH
hayya ‘alash shalaaH
hayya ‘alal falaah
Qad qaamatish shalaaH (2x)
AllaHu akbar, AllaaHu akbar
Laa ilaaHa illallaaH
Dan tatkala hari telah pagi, saya pun datang mendapatkan Rasulullah saw. lalu menceritakan apa yang saya alami. Maka ujar beliau: “Insya Allah. Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar. Berdirilah dengan Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau dengar itu supaya diserukannya, karena suaranya lebih baik dan lebih lantang daripada suaramu.”
Maka saya pun berdiri bersama Bilal dan saya ajarkanlah kepadanya bacaan-bacaan itu sementara ia adzan.
Selanjutnya katanya: “Suara itu kedengaran oleh Umar yang sedang berada di rumahnya, ia pun keluarlah dengan kainnya yang terjela ke belakang seraya katanya: ‘Demi Tuhan yang telah mengutus anda dengan kebenaran, saya juga bermimpi sebagaimana apa yang anda impikan!’”
Maka Nabi saw. pun bersabda: “Maka bagi Allah segala puji.”
(HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah serta Turmudzi yang mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih.”)
4. Tata Cara Adzan.
Diterima tiga cara dari adzan:
a. Takbir pertama empat kali, sedang kalimat-kalimat yang lain dua kali-dua kali tanpa diulang, kecuali kalimat tauhid yang hanya satu kali. Maka bilangan kalimatnya sebanyak lima belas, berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid yang lalu.
b. Empat kali takbir serta mengulangi kembali masing-masing dua kalimat syahadat, artinya hendaklah muadzdzin mengucapkannya:
“AsyHadu allaa ilaaHa illallaaH (2x)
asyHadu anna Muhammadar RasuulullaaH (2x)”
dengan suara lunak, kemudian mengulanginya kembali dengan suara keras.
Diterima dari Abu Mahdzurah: Bahwa Nabi saw. mengajarkan adzan kepadanya sebanyak sembilan belas kalimat.” (HR Yang Berlima dan menurut Turmudzi hadits ini hasan lagi shahih)
c. Dua kali takbir dengan mengulangi dua kalimat syahadat, hingga kalimatnya berjumlah tujuh belas, karena apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mahdzurah: Bahwa Rasulullah saw. mengajarinya adzan sebagai berikut:
“allaaHu akbar, allaaHu akbar
asyHadu allaa ilaaHa illallaaH (2x)
asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH (2x)
kemudian diulangi:
asyHadu allaa ilaaHa illallaaH (2x)
asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH (2x)
hayya ‘alash shalaaH (2x)
hayya ‘alal falaah (2x)
allaaHu akbar, allaaHu akbar
laa ilaaHa illallaaH”
5. Tatswib
Disyariatkan bagi muadzdzin tatswib yakni mengucapkan waktu adzan shubuh: setelah “hayya ‘alal falaah” menyerukan: “ash shalaatu khairum minan nauum.”
Dari Abu Mahdzurah, katanya: “Ya Rasulallah, ajarkanlah kepadaku tata cara adzan.” Maka diajarkannlah oleh Rasulullah, dan pesannya: “Jika shalat shubuh, hendaklah ucapkan:
“ash shalaatu khairum minan nauum (2x)
allaaHu akbar, allaaHU akbar.
Laa ilaaHa illallaaH.”
(HR Ahmad dan Abu Daud)
Selain dari shalat shubuh tidaklah disyariatkan.
6. Tata cara Qamat.
a. Pertama: takbir pertama sebanyak empat kali, serta kalimat-kalimat yang lain dua-dua kali, kecuali kalimat yang terakhir. Berdasarkan hadits Abu Mahdzurah:
Bahwa Nabi saw. mengajarkan qamat kepadanya sebanyak 17 kalimat sebagai berikut:
“AllaaHu akbar, AllaaHu akbar (2x)
asyHadu allaa ilaaHa illallaaH (2x)
asyHadu anna Muhammadar RasuulullaaH (2x)
hayya ‘alash shalaaH (2x)
hayya ‘alal falaah (2x)
qad qaamatish shalaaH (2x)
allaaHu akbar, allaaHu akbar
laa ilaaHa illallaaH
(HR Yang Berlima dan dinyatakan sah oleh Bukhari)
b. Kedua: dua kali takbir pertama dan yang terakhir, begitupun qad qamatish shalaaH, sedang yang lainnya satu kali, hingga berjumlah sebelas kalimat. Dalam hadits Abdullah bin Zaid yang lalu, tersebut: “Bila anda hendak qamat, ucapkanlah:
AllaaHu akbar, AllaaHu akbar
asyHadu allaa ilaaHa illallaaH
asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH
hayya ‘alash shalaaH
hayya ‘alal falaah
qad qaamatish shalaaH (2x)
AllaaHu akbar, AllaaHu akbar
Laa ilaaHa illallaaH.”
c. Ketiga: cara ketiga ini sama dengan cara kedua kecuali kalimat “Qad qaamatish shalaah” di sini tidak dua kali hanya sekali saja, hingga kalimatnya berjumlah sebelas. Cara ini dipakai oleh Malik, karena ia merupakan amalan penduduk Madinah, hanya Ibnul Qayim mengatakan: “Tidak benar sekali kali bahwa mengucapkan “Qad qaamatish shalaah” hanya satu kali, berasal dari Rasulullah.”
Dan berkata Ibnu Abdil Bir: “Bagaimanapun, kalimat itu hendaklah diucapkan dua kali.”
7. Dzikir ketika adzan
Bagi orang yang mendengar muadzdzin, disunnahkan berdzikir sebagai berikut:
a. Mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin, kecuali ketika “hayya ‘alash shalaaH” dan “hayya ‘alal falaah” hendaklah dijawab dengan: “laa haula walaa quwwata illaa billaaH.”
Dari Abu Sa’id al Khudri ra: bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika kamu mendengar panggilan adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzdzin.”
Dan dari Umar: bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika muadzdzin mengatakan AllaaHu akbar- AllaaHu akbar, maka salah seorang di antaramu mengatakan: AllaaHu akbar- AllaaHu akbar.
Lalu bila ia mengucapkan asyHadu allaa ilaaHa illallaaH, diucapkannya asyHadu allaa ilaaHa illallaaH.
Dan waktu ia mengucapkan asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH, diucapkannya ash Hadu anna Muhammadar rasuulullaaH.
Kemudian bila ia mengatakan: hayya ‘alash shalaaH, dikatakannya: laa haula walaa quwwata illaa billaaH.
Dan bila ia mengatakan: hayya ‘alal falaah, dikatakannya laa haula walaa quwwata illaa billaaH.
Lalu ia mengucapkan AllaaHu akbar-AllaaHu akbar, diucapkannya AllaaHu akbar-AllaaHu akbar.
Kemudian bila muadzdzin mengucapkan Laa ilaaHa illaallaaH orang itu mengucapkan Laa ilaaHa illallaaH, dan semua itu dari dalam hatinya, maka orang itu akan masuk surga.” (HR Muslim dan Abu Daud)
Berkata Nawawi: “Para shahabat kita menerangkan sebagai berikut: disunnahkan bagi para pendengar untuk mengikuti bacaan muadzdzin kecuali pada ‘hayya ‘alash shalaaH’ dan ‘hayya ‘alal falaah’ ialah karena demikian itu menunjukkan ridla dan persetujuannya atas maksudnya.”
Mengenai “hayya ‘alash shalaaH” dan “hayya ‘alal falaah” tujuannya ialah panggilan untuk melakukan shalat, dan ini tidak pantas keluar kecuali dari mulut muadzdzin. Maka disunahkan bagi para pendengar membaca “laa haula walaa quwwata illaa billaaH” yang berarti penyerahan mutlak kepada Allah Ta’ala semata.
Dan dalam dua shahih telah sah diterima dari Abu Musa al-‘Asy’ari, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Laa haula walaa quwwata illaa billaaH adalah suatu perbendaharaan dari berpendaharaan surga.”
Berkata para shahabat kita: “Disunahkan menyahutinya bagi semua pendengar, baik yang suci maupun yang berhadats junub, haid, berhadats besar maupun kecil, karena itu merupakan dzikir.” Dikecualikan dalam hal ini orang itu dalam keadaan shalat, dan orang yang sedang dalam kakus atau sedang senggama.
Dan jika seseorang sudah keluar dari kakus hendaklah ia menyahutiny. Dan jika ia sedang membaca al-Qur’an, dzikir atau belajar dan lain-lain hendaklah dihentikannya lalu menyahuti muadzdzin, kemudian kembali mengerjakan amalannya itu jika dikehendakinya.
Dan jika ia sedang shalat, baik fardlu maupun sunnah, maka menurut Syafi’i dan para shahabatnya, tidaklah disahutinya. Barulah setelah selesai ia boleh menyahuti. Dan dalam al-Mughni: “Bila seorang masuk masjid dan mendengar adzan, disunnahkan ia menunggu muadzdzin itu sampai selesai serta mengucapkannya, dengan maksud menghimpun dua keutamaan. Tetapi jika tidak menyahutinya, hanya ia langsung mengerjakan shalat, maka tidak jadi apa.” Demikian dinyatakan oleh Ahmad.
b. Mengucapkan shalawat Nabi saw. sesudah adzan dengan salah satu rangkaian kalimat yang diakui sah, kemudian memohonkan wasilah baginya kepada Allah.
Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr: Bahwa mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Jika kamu mendengar muadzdzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, kemudian ucapkanlah shalawat bagiku, karena siapa yang mengucapkan shalawat bagiku, maka Allah akan memberinya shalawat sepuluh kali. Dan setelah itu mohonkanlah pula kepada Allah wasilah untukku, karena ia adalah sebuah tempat dalam surga yang hanya layak bagi salah seorang di antara hamba-hamba Allah, sedang aku berharap akan memiliki itu. Maka barangsiapa memohonkan wasilah untukku kepada Allah, pastilah akan beroleh syafaatku.” (HR Muslim)
Dan dari Jabir, bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Siapa yang mengatakan setelah panggilan adzan: ‘AllaaHumma rabba HaadziHid da’watit taammati, wash shalaatil qaa-imati, aati muhammadanil wasiilata wal fadliilata, wab’atsu maqaamam mahmuudanil ladzii wa-‘adtaHu. (“Ya Allah tumpuan doa yang sempurna dan shalat yang didirikan ini. Berilah kepada Nabi Muhammad wasilah dan kemuliaan, dan tempatkanlah ia pada kedudukan yang terhormat yang telah Engkau janjikan.”) pasti akan beroleh syafaatku di hari kiamat.” (HR Bukhari)
8. Berdoa Selesai Adzan.
Waktu di antara adzan dan qamat, merupakan suatu waktu yang besar harapan akan dikabulkannya doa ketika itu, maka disunnahkan banyak berdoa kepada-Nya.
Dan dari Annas bahwa Nabi saw. bersabda: “Tidaklah ditolak doa antara adzan dan qamat.” (HR Abu Daud, Nasa’i dan Turmudzi yang mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih.”)
Serta menambahkan lagi Turmudzi: “Mereka bertanya: ‘Apa yang kami baca ya Rasulallah?’ Ujar beliau: ‘Mohonlah kepada Allah ampunan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.’”
Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr: Bahwa seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulallah, para muadzdzin itu lebih utama daripada kami.” Maka ujar Rasulullah saw.: “Ucapkanlah apa-apa yang mereka ucapkan, dan jika telah selesai maka memohonlah, tentu akan dikabulkan.” (HR Ahmad dan Abu Daud)
Dan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Dua perkara yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan di saat genting, yaitu di waktu berkobarnya pertempuran hingga bertemu rapat.” (HR Abu Daud dengan isnadnya yang sah)
Dan dari Ummu Salamah, katanya: “Rasulullah saw. mengajarkan kepadaku setelah adzan Maghrib: allaaHumma inna Haadzaa iqbaalu lailika, wa idz baaru naHaarika, wa ashwaatu du’aa-ika faghfirlii (Ya Allah, ini adalah saat datangnya malam-Mu dan berlalunya siang-Mu, serta suara orang-orang yang memohon kepada-Mu, maka ampunilah aku).”
9. Dzikir ketika qamat
Disunnahkan bagi orang yang mendengar qamat untuk mengucapkan seperti apa yang diucapkan orang yang qamat itu, kecuali waktu “qad qaamatish shalaaH” maka hendaklah disebutnya “AqamaHallaaHu wa adamaHaa.”
Dari sebagian shahabat Nabi saw. diterima hadits: Bahwa Bilal mengucapkan qamat, maka tatkala sampai pada “qad qaamatish shalaaH.” Nabi pun mengucapkan: “AqaamaHallaaHu wa adamaHaa.” Dikecualikan pula sewaktu “hayya ‘alash shalaaH dan hayya ‘alal falaah” maka si pendengar hendaklah mengucapkan “Laa haulaa walaa quwwata illaa billaaH.”
10. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Muadzdzin
Disunnahkan muadzdzin itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Hendaklah dengan adzan itu ia mengharap keridlaan Allah hingga tiada menerima upah. Dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash katanya: saya minta kepada Rasulullah: “Ya Rasulallah, jadikanlah saya sebagai imam dari kaumku.” Ujar Nabi saw.: “Baiklah, anda jadi imam bagi mereka, dan hendaklah jadikan sebagai patokan orang yang terlemah di antara mereka dan carilah sebagai muadzdzin orang yang tak hendak menerima bayaran atas adzannya itu.” (HR Abu Daud, Nasa-i, Ibnu Majah dan Turmudzi, tetapi lafadznya sebagai berikut: “Dan yang terakhir dipesankan Nabi saw. kepadaku adalah: Hendaklah ambil sebagai muadzdzin orang yang tak hendak menerima upah atas adzannya.” Selanjutnya Turmudzi mengatakan selesai meriwayatkan itu: “Hadits ini hasan lagi shahih, dan menurut kebanyakan ahli, dimakruhkan mengambil upah atas adzan. Mereka juga mamandang sunnah bila dalam adzan itu muadzdzin mawas diri.)
b. Hendaklah suci dari hadats kecil maupun besar, karena hadits Muhajir bin Qunfudh ra: bahwa Nabi saw. mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya tak ada halangan bagiku untuk menjawab salamnya, hanyalah karena aku tidak suka menyebut nama Allah itu kecuali dalam keadaan suci.” (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa-i dan Ibnu Majah serta disahkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Jika seseorang adzan dalam keadaan tidak suci, maka dibolehkan, hanya makruh menurut golongan Syafi’i, tetapi madzab Ahmad dan pengikut-pengikut Hanafi dan lain-lain menganggapnya tidak makruh.
c. Hendaklah ia berdiri menghadap kiblat. Berkata Ibnul Mundzir: “Sudah menjadi ijma’ bahwa berdiri waktu adzan itu disunnahkan, karena dengan demikian seruan akan lebih terdengar.”
Juga disunnahkan sewaktu adzan itu menghadap kiblat. Alasannya ialah karena para muadzdzin Rasulullah saw. menyerukan adzan sambil menghadap kiblat. Jika muadzdzin melanggar ini maka hukumnya makruh, tetapi tetap sah.
d. Supaya ia menoleh ke sebelah kanan dengan kepala, leher dan dadanya ketika mengucapkan “hayya ‘alash shalaaH- hayya ‘alash shalaaH” dan ke sebelah kiri ketika mengucapkan “hayya a’alal falaah- hayya ‘alal falaah”. Berkata Nawawi mengenai cara ini: “Ia merupakan cara yang paling sah.” Berkata Abu Jahifah: “Bilal adzan, maka kuikuti mulutnya kesana kesini yakni ke kanan dan ke kiri, waktu ia membaca “hayya ‘alash shalaaH, hayya ‘alal falaah.” (Riwayat Ahmad dan Bukhari Muslim)
Adapun berputar atau menoleh sekeliling, maka berkatalah Baihaqi: “Itu tidak berasal dari sumber yang benar.”
Dan dalam al-Mughni dari Ahmad: “Tidak boleh berputar, kecuali jika ia di atas menara yang dimaksudkan untuk menyampaikan adzan kepada penduduk dari kedua arah.”
e. Memasukkan kedua anak jarinya ke dua belah telinganya. Berkata Bilal: “Maka saya masukkan anak jariku ke dalam telinga, dan saya pun adzanlah.” (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban)
Dan menurut Turmudzi, para ahli ilmu memandang sunah bila muadzdzin itu memasukkan dua buah jari ke kedua telinganya.
f. Mengeraskan suara panggilannya, walau ia berada seorang diri di Padang Sahara. Diterima dari ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, dari bapaknya, bahwa Abu Sa’id al Khudri ra. berkata: saya melihat anda mencintai kambing dan padang pasir. Maka jika anda sedang berada di lingkungan kambing anda, atau di tengah padang pasir, keraskanlah suara anda menyerukan adzan, karena tidak seorang pun yang mendengar bunyi suara muadzdzin baik dari kalangan jin, manusia maupun benda, kecuali akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” Selanjutnya Abu Sa’id berkata: “Hal itu saya dengar dari Rasulullah saw.” (Hr Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah)
g. Melambatkan bacaan adzan dan memisah di antara tiap-tiap dua kalimat dengan berhenti sebentar. Sebaliknya menyegerakan bacaan qamat. Telah diriwayatkan hadits yang menunjukkan sunnah hal tersebut dari beberapa sumber.
h. Supaya tidak berbicara sementara qamat. Mengenai berbicara sewaktu adzan, dianggap makruh oleh segolongan para ahli, sementara Hasan, ‘Atha’ dan Qatadah memberi keringanan dalam hal ini.
Berkata Abu Daud: “Saya bertanya kepada Ahmad: ‘Bolehkah seseorang berbicara sewaktu adzan?’ ‘Boleh.’ Ujarnya. Lalu ditanyakan orang pula: ‘Bagaimana kalau sewaktu qamat?’ jawabnya: ‘Tidak boleh.’ Dan selanjutnya ialah karena di waktu qamat disunnahkan menyegerakan bacaan.”
11. Adzan pada Awal Waktu dan Sebelumnya
Adzan itu hendaklah di awal waktu, tanpa memajukan atau mengundurkannya, kecuali adzan waktu fajar, maka disyariatkan memajukannya dari awal waktu, jika dapat dibedakan antara adzan pertama dan yang kedua hingga tidak terjadi kekeliruan. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah kamu sampai adzan pula Ibnu Ummi Maktum.” (disepakati oleh ahli-ahli hadits)
Adapun hikmah dibolehkannya memajukan adzan fajar dari waktunya, ialah sebagaimana diterangkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain, dari Ibnu Mas’ud: bahwa Nabi saw. bersabda: “Janganlah terhalang makan sahurmu oleh adzan Bilal, karena ia adzan –atau mungkin katanya menyampaikan seruan- agar orang yang sedang shalat malam kembali pulang, dan membangunkan orang yang sedang tidur.” Sedang Bilal tidak pernah menyampaikan seruan itu kecuali dengan kata-kata atau lafadz adzan. Sementara itu Thahawi dan Nasa-i menambahkan: “Tak ada perbedaan di antara adzan Bilal dengan adzan Ibnu Ummi Maktum, kecuali bahwa yang pertama suaranya menaik, sedang yang kedua menurun.”
Ibnu Ummi Maktum adalah seorang buta. Ini menjadi dalil bahwa orang buta itu boleh adzan, jika ia sanggup mengetahui waktu, sebagaimana boleh pula adzan anak kecil yang sudah mumayyiz.
12. Memisahkan di antara Adzan dan Qamat
Diperlukan tersedianya jangka waktu di antara adzan dan qamat hingga pendengar dapat bersedia shalatdan menghadirinya. Karena maksud disyariatkannya adzan ialah buat keperluan ini dan kalau tidak demikian maka percumalah adanya. Hanya hadits-hadits yang diterima memuat pengertian ini semuanya lemah. Bukhari telah menguraikan: “Bab jangka waktu di antara adzan dan qamat.” Tetapi tidak ada hinggaan. Berkata Ibnul Baththal: “Tak ada hinggaan tentang ini kecuali dari mulai masuk waktu sampai berkumpulnya orang-orang yang hendak mengerjakan shalat.”
Diterima dari Jabir bin Samrah ra. katanya: “Muadzdzin Rasulullah menyerukan adzan lalu berhenti dan tidak qamat, sampai dilihatnya Rasulullah saw. telah keluar, barulah ia qamat.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Turmudzi)
13. Siapa yang adzan, maka dialah yang qamat
Baik muadzdzin maupun lainnya boleh qamat. Demikian kesepakatan ulama. Tetapi lebih utama bila muadzdzin itu sendiri yang mengucapkan qamat. Berkata Syafi’i: “Bila seorang laki-laki adzan, saya lebih suka jika ia sendiri yang mengucapkan qamat.”
Dan berkata pula Turmudzi: “Mengenai soal ini, menurut kebanyakan ahli, siapa yang adzan maka dialah yang qamat.”
14. Bilakah orang bangkit hendak shalat?
Berkata Malik dalam Muwaththa’: “Tak pernah saya dengar batasan tertentu kapan orang bangkit sewaktu qamat. Menurut pendapatku, demikian tergantung kepada kesanggupan orang, karena di antara mereka ada yang lamban dan ada pula yang lincah.”
Dan Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas bahwa ia berdiri ketika muadzdzin menyerukan “Qad qaamatish shalaaH.”
15. Keluar dari Masjid sesudah adzan
Telah datang larangan terhadap diabaikannya sahutan bagi muadzdzin, begitupun terhadap keluar dari masjid setelah adzan, kecuali bila ada halangan atau ada niat hendak kembali.
Diterima dari Abu Hurairah ra. katanya: Kami diperintahkan oleh Nabi saw. sebagai berikut: “Jika kamu berada dalam masjid, kemudian diserukan adzan buat shalat, maka janganlah kamu keluar sebelum shalat lebih dahulu.” (HR Ahmad dengan isnad yang sah)
Dan dari Abu Sya’tsa’, dari bapaknya diterimanya dari Abu Hurairah, katanya: seorang lelaki keluar dari masjid –setelah muadzdzin menyerukan adzan, maka katanya: ‘Orang ini sungguh telah mendurhakai Abu Qasim yakni Nabi Muhammad saw.’” (HR Muslim dan Ash-habus Sunan)
Dan diterima dari Mu’adz al Juhni, dari Nabi saw. sabdanya: “Adalah kasar dibalik yang kasar, kufur lagi nifaq, bila seseorang mendengar muadzdzin Allah menyerunya kepada kemenangan, tetapi ia tak hendak menyahutinya.” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani)
Berkata Turmudzi: “Telah diriwayatkan dari bukan hanya seorang shahabat Nabi saw. bahwa mereka berkata: ‘Siapa yang mendengar adzan dan ia tidak menyahutinya, maka tak ada shalat baginya.”
Kata sebagian ahli ini hanya merupakan tekanan dan ancaman karena tak ada keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkan shalat berjamaah kecuali bila ia udzur.
16. Adzan dan Qamat bagi Shalat yang Luput
Siapa yang tertidur dan lupa shalat, maka disyariatkan baginya adzan dan qamat waktu hendak shalat itu.
Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dimana Nabi saw. bersama para shahabat tertidur dan mereka belum juga bangun sampai matahari terbit, disebutkan bahwa beliau menyuruh Bilal yang menyerukan adzan dan qamat lalu shalat.
Dan seandainya banyak shalat yang luput, maka disunnahkan ia adzan dan qamat bagi shalat pertama, selanjutnya qamat bagi shalat-shalat berikutnya. Berkata Astram: Saya dengan Abu Abdillah ditanya mengenai seorang lelaki yang hendak mengqadla shalat, bagaimana cara adzannya. Maka disebutkannyalah hadits Hasyim dari Abu Zubeir yang diterimanya dari Nafi’ bin Zubeir dari Abu Ubeidah bin Abdillah dari bapaknya:
“Bahwa kamu musyrikin mengganggu Nabi dari melakukan empat buah shalat sewaktu peperangan Khandak, hingga berlalu waktu malam yang hanya Allah saja yang tahu berapa lamanya.” Selanjutnya ceritanya: “Maka Nabi pun menyuruh Bilal, yang menyerukan adzan dan qamat, lalu beliau shalat Dhuhur, kemudian disuruhnya qamat kembali dan beliau pun shalat ‘Ashar, kemudian disuruhnya lagi untuk qamat dan beliau pun shalat Maghrib, dan setelah itu disuruhnya pula qamat lalu shalat ‘Isya.”
17. Adzan dan Qamat bagi Wanita
Berkata Ibnu Umar ra.: “Tak ada adzan dan qamat bagi perempuan.” (HR Baihaqi dengan sanad yang sah)
Pendapat ini juga dianut oleh Anas, Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, Tsauri, Malik, Abu Tsaur dan ahli-ahli pikir lainnya. Sementara Syafi’i dan Ishak berpendapat: “Jika mereka adzan dan qamat maka tidak ada salahnya.” Dan diceritakan pula pendapat Ahmad: “Jika mereka lakukan tidak menjadi apa, sebaliknya jika tidak mereka kerjakan juga boleh.”
Dan dari ‘Aisyah: bahwa ia biasa adzan, qamat dan memimpin wanita sebagai imam dalam shalat, dan berdiri di tengah-tengah mereka. (Riwayat Baihaqi)
18. Masuk ke masjid dimana telah dilakukan Shalat
Berkata pengarang Mughni: “Dan siapa memasuki suatu masjid dimana orang yang telah melakukan shalat sebelumnya, maka jika dikehendakinya ia boleh adzan dan qamat.” Hal ini ditegaskan Ahmad berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Astram dan Sa’id bin Manshur dari Anas, bahwa ia masuk ke suatu masjid dimana orang-orang telah shalat sebelumnya. Maka disuruhnya seseorang untuk adzan dan qamat, lalu ia shalat berjamaah dengan mereka.
Dan jika dikehendakinya, ia dapat shalat tanpa adzan dan qamat, karena kata ‘Urwah: “Jika tiba di suatu masjid, dimana orang telah adzan dan qamat, maka adzan dan qamat mereka telah cukup memadai bagi orang-orang yang datang kemudian.” Ini juga merupakan pendapat Hasan, Syafi’i dan Nakha’i. Hanya menurut Hasan, menurut pendapat orang-orang lebih baik ia qamat. Dan jika adzan, hendaklah secara lunak dan tidak bersuara lantang, agar orang tidak salah paham dengan menyerukan adzan bukan pada tempatnya.
19. Terpisahnya Qamat dari Shalat
Boleh memisahkan di antara qamat dan shalat dengan bebicara dan lain-lain. Dan qamat tidak diulang lagi, walaupun jarak di antara keduanya lama.
Diterima dari Anas bin Malik, katanya: Telah dibacakan qamat untuk shalat, sedang Nabi saw. masih bicara di bawah empat mata dengan seseorang di samping masjid. Maka Nabi belum juga mengerjakan shalat, hingga orang-orang pun tertidur.” (HR Bukhari)
“Dan pada suatu hari Nabi saw. ingat bahwa ia dalam keadaan junub setelah orang qamat untuk shalat. Maka Nabi pun kembali pulang, lalu mandi, dan shalat bersama para shahabat tanpa qamat lagi.”
20. Adzan dari Muadzdzin yang tidak diangkat
Tidak boleh orang lain adzan tanpa izin dari muadzdzin yang telah ditetapkan, juga tidak boleh orang lain itu adzan bila muadzdzin terlambat, karena takut luput waktu adzan.
21. Hal-hal yang ditambahkan kepada adzan dan tidak termasuk di dalamnya
Adzan merupakan suatu ibadah, sedang yang menjadi dasar satu-satunya dalam ibadah itu ialah mengikuti apa yang telah diajarkan. Maka tidak boleh dalam agama itu kita menambah sesuatu atau menguranginya.
Dalam hadits yang sah disebutkan: “Barangsiapa mengada-ada dalam urusan kita ini apa yang tidak termasuk di dalamnya, maka dia ditolak [artinya batal].”
Maka disini kita sebutkan beberapa hal yang tidak disyariatkan tetapi telah jadi kebiasaan bagi orang banyak, hingga oleh sebagian orang dianggap sebagai agama, padahal tidak. Diantaranya:
a. Ucapan muadzdzin sewaktu adzan dan qamat: “AsyHadu anna syayyidina Muhammadar RasuulullaaH.” Menurut Hafidh Ibnu Hajar, tambahan tersebut tidak boleh dimasukkan dalam kata yang berasal dari Nabi. Ia tidak boleh ditambahkan pada perkataan atau kalimat-kalimat lainnya.
b. Berkata syekh Ismail ‘Ajlumi dalam buku “Kasyfu’l Khafa’”: “Menyapu kedua mata dengan kedua kuku telujuk bagian dalam setelah menciumnya sewaktu mendengar seruan muadzdzin: asyHadu anna muhammadar rasuulullaaH; sambil mengatakan asyHadu anna Muhammadan ‘abduHuu wa rasuuluHu, radliitu billaaHi rabba, wabil islaami diina, wa bi Muhammadin saw. nabiyyaw wa raruula; yang diriwayatkan oleh Dailami dari Abu Bakar bahwa ketika itu Abu Bakar mendengar suara muadzdzin: asyHadu anna Muhammadar rasuulullaaH, maka sambil mengulang kalimat itu ia mencium bagian dalam dari dua telunjuknya lalu mengusapkan ke kedua matanya. Maka sabda Nabi saw: “Barangsiapa mengerjakan seperti yang diperbuat shahabatku, pasti akan beroleh syafaatku.”
“Demikian itu tidak sah.” Katanya dalam al-Maqashid. Begitu pula yang diriwayatkan oleh seorang yang berlagak jadi sufi, Abul Abbas bin Abi Bakar ar-Raddad al-Yamani dalam bukunya “Mujibatur Rahmah wa ‘azaimul maghfirah” dengan sanad yang disamping terputus, banyak orang-orangnya tidak diketahui, yakni dari Nabi Khidir a.s. bahwa ia bersabda: “Barangsiapa mengatakan sewaktu mendengar muadzdzin menyerukan ‘asyHadu anna muhammadar rasuulullaaH’ kata-kata berikut: ‘Marhaban bihabibi wa qurrati ‘aini Muhammad bin Abdillah saw.’ kemudian diciumnya kedua ibu jarinya dan ditaruhnya di atas kedua matanya, maka ia tidak akan buta-buta atau menderita sakitt mata buat selama-lamanya.’ Dan banyak lagi yang lain-lain.” Selanjutnya katanya: “Semua itu tidak berasal dari Nabi saw. sedikitpun.”
c. Melagukan dan mengiramakan adzan dengan menambah huruf, baris atau tanda panjang. Ini adalah makruh. Dan jika menyebabkan perubahan arti maka diharamkan. Diterima dari Yahya al-Ka’i, katanya: “Saya dengan Ibnu Umar mengatakan pada seorang laki-laki: ‘Sungguh saya membencimu karena Allah.’a kemudian kepada sahabat-sahabatnya dikatakannya: ‘Ia bernyanyi dalam adzannya dan mengambil bayaran dari itu.”
d. Tasbih sebelum fajar.
Berkata pengarang buku al-Iqna’ dan syarahnya, yakni sebuah buku golongan Hambali: “Dan selain adzan sebelum fajar, berupa tasbih, melagukan dan mengeraskan suara dengan doa dan lain-lain yang semacam itu di tempat-tempat adzan, tidaklah termasuk sunnah.”
Dan tidak seorang pun di antara ulama yang mengatakannya sunnah, sebalikny ia termasuk barang bid’ah yang dibenci, karena tiada dijumpai di masa Nabi saw. dan tidak pula di masa shahabatnya, di samping tidak mempunyai dasar di zaman mereka itu yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari itu janganlah seseorang memerintahkan hal demikian, dan tidak boleh ia menyangkal orang yang meninggalkannya, serta janganlah ia menggantungkan penerimaan rizky dengan itu, karena itu berarti membantu hal bid’ah yang tidak boleh dilakukan, walaupun umpamanya disyaratkan oleh yang memberi wakaf, karena itu menyalahi sunnah.
Dan dalam buku “Talbisu Iblis” karangan ‘Abdurrahman al-Jauzi disebut: “Dan saya lihat sendiri banyak orang yang berjaga-jaga di atas menara pada waktu malam buat memberi nasehat dan pengajaran, berdzikir dan membaca salah satu surah al-Qur’an dengan suara keras, hingga mengganggu orang tidur dan mengacaukan bacaan orang yang sedang shalat tahajjut, dan semua itu termasuk barang mungkar.”
Dan berkata pula al-Hafidh dalam al-Fath: “Dan apa yang dibuat-buat orang berupa tasbih sebelum shubuh dan shalawat Nabi sebelum Jum’at, tidaklah termasuk adzan, baik menurut logat maupun dalam syara’.”
e. Membaca shalawat Nabi dengan suara keras setelah adazan tidaklah disyariatkan, tetapi itu adalah suatu yang dibuat-buat dan dibenci.
Berkata Ibnu Hajar dalam al-Fatawi’l Kubra: “Para syekh kita dan lain-lain telah diminta untuk memberikan fatwa mengenai shalawat dan salam bagi Nabi saw. mengiringi adzan, menurut cara yang biasa dilakukan oleh para muadzdzin.”
Merekapun memberi fatwa bahwa dasarnya adalah sunnah, tetapi secara bid’ah. Dan ditanya pula syekh Muhammad ‘Abduh Mufti Negara Mesir tentang shalawat Nabi yang dibaca beriringan dengan adzan, maka jawabnya: “Mengenai adzan, dalam al-Kahnnaiyah terdapat bahwa ia hanya khusus bagi shalat-shalat fardlu, dan bahwa ia terdiri atas 15 buah kalimat sedang akhirnya bagi kita ialah “Laa ilaaHa illallaaH.” Adapun yang diucapkan orang sebelum dan sesudahnya semuanya adalah barang bid’ah yang dibuat-buat, dan sengaja diada-adakan ialah untuk bernyanyi dan karena lainnya, sedang tak seorang pun yang membolehkan lagu atau nyanyian ini.
Dan tidaklah dapat dianggap orang yang mengatakan bahwa di sana terdapat sesuatu yang merupakan bid’ah hasanah, karena setiap bid’ah seperti ini di dalam ibadah adalah buruk. Dan siapa-siapa yang mengakui bahwa di sana tidak dijumpai irama atau lagu, maka ia adalah berbohong.”
&
Tinggalkan Balasan